Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan

ridho Nyalah kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah system penghantaran obat

baru yang membahas tentang “komponen & nasib obat didalam tubuh dalam sediaan

rektal”. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna

serta masih banyak kekurangan. Untukitu, kritik dan saran sangat dinantikan guna

penyempurnaan makalah ini dimasa mendatang.

Kami juga memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kesalahan dan

kekeliruan sehingga membingungkan pembaca dalam memahami maksud kami. Semoga

makalah ini dapat memberikan wawasan dan pengetahuan serta bermanfaat bagi kami maupun

pembaca. SemogaTuhan senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk kepada kita semua.

Jakarta , November 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... 1

DAFTAR ISI..........................................................................................................................2

BAB I : PENDALUHUAN

1.1 LatarBelakang ...............................................................................................................3

1.2 TujuanPenulisan ............................................................................................................4

1.3 RumusanMasalah ..........................................................................................................4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi fisiologi rektum ...............................................................................................5

2.2 Formulasi Rektal yang Tersedia ...................................................................................6

2.3 Masalah fisiologi dan farmasetika berkaitan dengan penghantaran oabt rektal ............8

2.4 Keuntungan penghantaran obat rektal .........................................................................10

2.5 Kerugian penghantaran obat rektal ..............................................................................10

2.6 Mukoadhesi .................................................................................................................11

BAB III : PEMBAHASAN

3.1. Mekanisme pelepasan obat melalui rektum ................................................................15

3.2 Absorpsi obat melalui rektum .....................................................................................17

3.3 Pencegahan metabolisme lintas pertama ....................................................................18

3.4 karakteristik dan pengaturan absorpsi .........................................................................18

3.5 Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal ....................................22

BAB IV. PENUTUP ............................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................25

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rute per oral merupakan pemberian obat yang paling umum dalam penelitian dan
pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi pemberian oral tidak selalu
menghasilkan efek yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien. Obat yang
absorpsinya tidak baik di saluran gastrointestinal dan tidak stabil oleh enzim proteolitik
merupakan beberapa masalah pada pemberian obat pada rute oral. Beberapa obat
menyebabkan iritasi lokal pada lambung atau saluran gastrointestinal atas atau
membutuhkan dosis lebih dari 500 mg. Populasi pasien tertentu, umumnya anak-anak,
orang tua dan pasien yang sulit menelan, seringnya kesulitan untuk mengonsumsi tablet
dan kapsul oral. Sebagai tambahan, pengobatan beberapa penyakit paling baik dilakukan
dengan pemberian langsung pada tempat yang sakit, umumnya pada penyakit di mata,
mulut, dermal, rongga oral, dan jaringan anorektal. Pemberian oral dapat digunakan
untuk tujuan drug targeted untuk jaringan yang terkena penyakit, namun terpaparnya
seluruh kompartemen tubuh pada pemberian obat melalui oral tidak efisien dan bisa
memicu efek yang tidak diinginkan.
Pemberian obat rektal dapat diterima baik untuk penghantaran obat lokal dan
sistemik. Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit local pada
area anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari pemberian
oral. Obat-obat yang mengalami metabolismee lintas pertama ketika diberikan oral,
masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute rektal. Formulasi
penghantaran obat melalui rektal terdapat dalam berbagai bentuk sediaan, antara lain
supositoria, gel, aerosol, busa (foam), krim maupun controlled release. Meskipun
pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian yang umumnya
diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal untuk penggunaan tertentu dan
masalah terapeutik tertentu memberikan rute penghantaran obat alternatif yang dapat
sukses diterapkan dalam terapi obat.

3
Pelepasan obat dari basis merupakan faktor penting dalam keberhasilan terapi
dengan menggunakan sediaan supositoria. Di dalam tubuh obat akan diabsorbsi dalam
keadaan terdispersi, karena itu obat harus dilepaskan dari bahan pembawa kemudian larut
dalam cairan tubuh. Kecepatan pelarutan obat dipengaruhi oleh formulasi sediaan sediaan
obatnya yaitu kadar zat aktif, basis dan cara pembuatannya.
Pada awal tahun 1980-an, konsep adhesif mucosal atau mukoadhesif mulai
dikenalkan dalam sistem penghantaran obat terkendali. Mukoadhesif adalah polimer
sintetik atau alam yang berinteraksi dengan lapisan mucus yang menutupi permukaan
epithelial-permukaan dan molekul musin yang merupakan konstituen utama dari mucus.
Sistem penghantaran obat mukoadhesif memperpanjang waktu tinggal sediaan di lokasi
aplikasi atau memperpanjang waktu absorbsi dan memfasilitasi kontak yang rapat antara
sediaan dengan permukaan absorpsi sehingga dapat memperbaiki dan/atau meningkatkan
kinerja terapi obat. Dalam beberapa tahun terakhir banyak sistem penghantaran obat
mukoadhesif telah dikembangkan untuk penggunaan oral, buccal, nasal, rektal, dan rute
vagina untuk efek sistemik dan lokal.

I. 2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana mekanisme pelepasan obat pada penghantaran obat melalui rektum?
2. Bagaimana mekanisme absorpsi obat pada penghantaran obat melalui rektum?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi mukoadhesif rektal
I. 3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi rectal
2. Mengetahui mekanisme kerja DDS mucoadhesif rektal
3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mukoadhesif rektal

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Fisiologi Rektum

Panjang rektum kira-kira 15 cm, berakhir di anus. Tanpa adanya bahan fekal,
rektum mempunyai sejumlah kecil cairan (kurang lebih 2 ml) dengan pH sekitar 7.
Rektum diperfusi oleh vena hemorrhoid superior, tengah dan inferior. Vena hemorrhoid
inferior (dekat dengan sfinkter anal) dan vena hemorrhoid tengah masuk ke dalam vena
kava dan kembali ke jantung. Vena hemorrhoid superior bergabung dengan sirkulasi
mesenterika, masuk ke dalam vena porta hepatika dan kemudian ke liver.

Gambar 1. Anatomi Pembuluh Darah di Rektum, 1: vena tengah rektal; 2 : tunica muscularis
: stratum longitudinal; 3: otot levator ani; 4: vena inferior rektal; 5 : otot sfingter ani externus;
6 : vena superior rektal; 7 dan 8 : plexus venosus rektalis (submukosus); 9 : kulit; 10 : vena
marginalis (Aulton,2007)

5
Rektum berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum
ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens.
Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan
untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum karena penumpukan
material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang menimbulkan keinginan untuk
melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering kali material akan dikembalikan ke
usus besar, di mana penyerapan air akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi
untuk periode yang lama, konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi

2.2. Formulasi Rektal yang Tersedia


a. Supositoria Padat
Supositoria padat merupakan bentuk sediaan yang paling umum digunakan untuk
pemberian obat rektal dan lebih dari 98 % bentuk sediaan rektal berada dalam bentuk
supositoria. Umumnya bentuk sediaan ini berbentuk torpedo yang terdiri dari basis lemak
atau basis larut air yang beratnya bervariasi dari 1 g (anak-anak) sampai 2,5 g (dewasa).
Komposisi supositoria disesuaikan dengan sifat fisikokimia obat dan profil pelepasan
obat yang diinginkan. Obat-obat lipofilik biasanya diinkorporasikan ke dalam basis larut
air sedangkan obat-obat hidrofilik diformulasikan ke dalam basis supositoria berlemak.
Secara teori, metode ini memaksimalkan pelepasan obat yang segera dari basis
supositoria ke dalam lingkungan rektal atau kolon bagian bawah. Untuk supositoria yang
dibuat dari basis berlemak, pelelehan harus terjadi secepat mungkin pada suhu mendekati
suhu tubuh (37°C). Idealnya hasil pelelehan akan memiliki sifat mudah mengalir untuk
menyediakan penutupan yang luas dan tipis pada jaringan rektal, sehingga meminimalkan
efek lag time yang disebabkan karena pelepasan obat yang lambat dari basis supositoria.
Supositoria larut air harus melarut pada suhu 37°C untuk memfasilitasi pelepasan obat
dan absorpsi obat setelah itu. Baik supositoria basis lemak atau larut air, efek potensial
dari obat yang diinkorporasikan pada pelelehan atau sifat kelarutan perlu untuk
dievaluasi.

6
b. Larutan
Larutan, suspensi atau enema merupakan bentuk sediaan rektal yang terbatas
penggunaannya. Hal ini disebabkan karena ketidaknyamanan penggunaannya dan
kurangnya kepatuhan pasien. Pada banyak kasus, formulasi ini dimaksudkan untuk
pemberian media pengontras dan imaging agents untuk roentgenografi saluran
gastrointestinal bawah.

c. Gel/Busa/Salep
Penggunaan bentuk sediaan gel, busa (foams) atau salep untuk pemberian rektal
dapat memberikan manfaat yang melebihi formulasi cair karena retensi bentuk sediaan
pada saluran rektal mengurangi masalah kepatuhan pasien. Pelepasan obat dengan bentuk
sediaan semisolid biasanya terbatas untuk indikasi lokal seperti hemorrhoid dan radang
perut bawah (proctitis). Pelepasan obat dan aksi farmakologik setelahnya biasanya lebih
cepat dengan formulasi semisolid dibandingkan dengan supositoria padat karena tidak
ada waktu tunda (lag time) untuk pelelehan atau pelarutan. Miyazaki dkk, meneliti
tentang gel thermoreversible dari polisakarida xyloglucan yang diperoleh dari biji
tamarind. Cairan yang mengandung 1-2 % xyloglukan membentuk gel pada temperatur
27-32°C. Suhu kemudian diturunkan dengan peningkatan konsentrasu xyloglukan. Profil
pelepasan in vitro untuk indometasin dan diltiazem dikarakterisasi. Pelepasan
indometasin yang lambat dari gel secara in vitro dibuktikan secara in vivo dimana
diperoleh puncak absorpsi yang lebih luas dan waktu tinggal yang lebih panjang. Dari
hasil penelitian tersebut diperoleh tidak ada perbedaan bioavailibilitas yang signifikan
antara formulasi gel thermal dengan supositoria konvensional indometasin.
Ryu dkk meneliti tentang supositoria mukoadhesif cair yang dikombinasikan
dengan senyawa bioadhesif dengan polimer thermal gelling. Hidroksipropilselulosa,
polivinilpirolidon, carbopol, polikarbofil dan natrium alginate digunakan sebagai polimer
bioadhesif dalam polimer thermal gelling yang terdiri atas poloxamer 407 dan poloxamer
188. Suhu saat terjadi gel antara 30-36°C diperoleh dengan tekanan mukoadhesif antara
430-5800 dyne/cm2. Dengan propanolol sebagai senyawa model, bioavailabilitas
meningkat dengan peningkatan tekanan mukoadhesif dan jarak migrasi bentuk sediaan
diturunkan. Dengan demikian tidak terdapat hubungan langsung antara bioavailabilitas

7
dan suhu terbentuknya gel. Natrium alginat dan polikarbofil memberikan tekanan
mukoadhesif terbesar dan memberikan perbaikan yang signifikan pada bioavailabilitas
propranolol.

d. Formulasi Pelepasan Terkontrol (Controlled-release)


Formulasi pelepasan terkontrol dirancang untuk melepaskan zat aktif dengan cara
yang terkontrol dan terus-menerus. Hidrogel menunjukkan sistem polimerik yang dapat
diterima pada uji klinis pada manusia untuk penghantaran terkontrol antipirin dan
teofilin. Sistem penghantaran osmotik terkontrol juga terbukti berguna untuk
penghantaran obat yang berefek sistemik dibandingkan dengan pemberian intravena.
Karena ukuran keterterimaan total dari formulasi rektal secara signifkan melebihi ukuran
yang mungkin untuk formulasi oral, pemberian rektal untuk tujuan pelepasan terkontrol
memberikan manfaat yang signifikan. Faktor yang membatasi adalah kebutuhan untuk
menginkoporasikan zat pengontrol yang dirancang untuk mengatur pelepasan obat yang
secara sgnifikan akan meningkatkan ukuran total dari bentuk sediaan. Bentuk sediaan
untuk orang dewasa yang dapat diterima adalah sampai 2,5 g, jumlah obat yang bisa
diformulasi dalam bentuk sediaan pelepasan terkontrol bisa 2-3 kali lebih besar dari
formulasi oral. Untuk beberapa zat terapeutik, jumlah obat yang lebih tinggi ini
memberikaan keuntungan yang tidak diperoleh lewat rute oral.. Pengembangan dan
pemasaran bentuk sediaan rektal pelepasan terkontrol masih belum menguntungkan
karena masih enggannya pasien untuk menggunakan rute ini dan masalah kepatuhan
pasien.

2.3. Masalah Fisiologis dan Farmasetik Berkaitan dengan Penghantaran


Obat Rektal

a. Pertimbangan Anatomi Rektum


Tidak seperti usus halus dan kolon bagian atas kolon, pembuluh darah yang
terdapat pada saluran rektal tidak seluruhnya langsung menuju suplai darah ke hati. Vena
hemorrhoidal bawah dan tengah dari bypass rektum, merupakan sirkulasi portal selama
lintas pertama menuju sirkulasi umum, mengizinkan obat yang diserap mendesak efek

8
sistemik disebabkan oleh metabolisme dan ekskresi via mekanisme hepatik.
Saluran rektal juga dikosongkan oleh sirkulasi limfatik yang luas yang memfasilitasi
absorpsi dan paparan sistemik dari obat yang terserap. Walaupun villi dan mikrovilli
tidak terdapat pada jaringan rektum dan kolon, luas permukaan yang mencukupi
mengizinkan absorpsi dari obat yang permeable. Kurangnya motilitas pada rektum dan
kolon, menyediakan keuntungan tambahan untuk mempertahankan gradient konsentrasi
yang maksimal pada permukaan absorpsi. Bersamaan dengan terbatasnya volume cairan
pada bagian bawah kolon, umumnya 2-3 ml dari cairan inert mucus jika tanpa adanya
feses, lingkungan yang statis dari rektum dan kolon bagian bawah menyediakan area
untuk mempertahankan konsentrasi obat yang lebih tinggi daripada di usus halus. Sisi
negatifnya bagi potensi absorpsi, kompleks persimpangan interselular lebih ketat di kolon
dan rektum dibadingkan usus halus, yang bisa menurunkan kesempatan bagi obat-obat
yang larut dalam air dan berukuran kecil untuk berpermeasi ke ruang interselular dan
mendapatkan akses ke sirkulasi sistemik tanpa melewati membran selular.

b. Biokimia
Metabolisme selular dari obat, saat mereka melewati sawar mukosa pada rektum
atau kolon, dapat diharapkan sama seperti pada usus halus karena peralatan dasar
metabolic intraselular sama pada sel epitel. Perbedaan utama pada metabolisme obat
terjadi pada enzim-enzim dimana obat terpapar pada lumen usus dan membran apical dari
lapisan sel epitel. Karena kolon dan rektum tidak memiliki fungsi cerna, tidak terdapat
enzim lumen, yang secara aktif diekskresikan oleh usus halus bagian atas. Sehingga, obat
yang tidak stabil oleh enzim proteolitik seperti peptida dan protein memiliki stabilitas
yang lebih besar jika dilepaskan pada rektum atau kolon bagian bawah.
Penelitian yang dilakukan Saffran et al. menunjukkan bahwa vasopressin, peptida
yang menjadi subyek hidrolisis proteolitik, lebih aktif ketika diberikan melalui rute rektal
dibandingkan rute oral. Absorpsi rektal yang signifikan pada hormon pertumbuhan dan
insulin juga ditunjukkan dengan bantuan zat peningkat absorpsi. Pembawa untuk vitamin
juga terdapat pada jaringan usus halus. Pembawa ini tidak terdapat pada mekanisme
transport di jaringan kolon dan rektal sehingga senyawa seperti asam amino, sakarida dan
vitamin dan senyawa lain yang memiliki struktur yang mirip dan membutuhkan pembawa

9
untuk absorpsinya mengurangi absorpsinya di rektal. pH pada kompartemen rektal
umumnya netral, antara 7 sampai 8, dengan kapasitas dapar yang minimal jika
dibandingkan dengan usus halus. Supositoria atau larutan diformulasi untuk
mempertahankan pH spesifik yang bertujuan untuk mengoptimalksan absorpsi obat pada
pH tersebut. Hal ini menguntungkan untuk obat yang sifat permeasinya optimal pada pH
mendekati netral. Hal yang perlu diingat adalah untuk menjaga pH permukaan membrane
epitel, pada rentang pH 6,0-6,5.

2.4. Keuntungan Penghantaran Obat Rektal

a. Bentuk sediaan relatif besar dapat ditampung dalam rektum


b. Rute rektal aman dan nyaman bagi pasien usia lanjut dan muda
c. Pengenceran obat diminimalkan karena volume cairan residu rendah
d. Rektum umumnya kosong
e. Adjuvant absorpsi memiliki efek lebih jelas daripada di saluran pencernaan bagian atas
f. Enzim degradatif dalam lumen rektal beradapadakonsentrasi yang relatif rendah
g. Terapi dapat dengan mudah dihentikan
h. Eliminasi lintas-pertama (first-pass elimination) obat oleh hati dihindari sebagian
Rute rektal sering digunakan ketika pemberian bentuk sediaan melalui mulut tidak sesuai,
misalnya, dengan adanya mual dan muntah, pada pasien tidak sadar, jika menderita penyakit
pada pencernaan bagian atas yang dapat mempengaruhi absorpsi obat, atau
jika rasa obat tidak menyenangkan atau tidak stabil oleh asam.

2.5. Kerugian Penghantaran Obat Rektal


a. Kurangnya keterterimaan dan kepatuhan pasien
Pemberian supositoria yang kurang nyaman bagi pasien menurunkan kepatuhan pasien.
b. Potensi untuk hilangnya obat
Setidaknya ada dua masalah umum yang dapat menyebabkan hilangnya obat pada
pemberian rektal. Pertama, untuk absorpsi yang efektif, sediaan harus tertahan dalam
rektum, sehingga jika sediaan atau bagiannya hilang dari rektum, absorpsi obat akan
menurun. Kedua, terdapat kemungkinan obat atau beberapa eksipien penting berinteraksi

10
dengan isi rektum seperti feses atau cairan rektum. Hal ini dapat menurunkan absorpsi
obat dan mengurangi keefektifan obat.
c. Terbatasnya cairan dalam rektum
Jumlah cairan rektum sekitar 3 ml, jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan jumlah
cairan di saluran gastrointestinal ketika obat diberikan secara oral. Volume cairan yang
sedikit tersebut dapat membatasi pelarutan obat, khususnya yang memiliki kelarutan
dalam air yang rendah. Hal ini juga menjadi masalah apabila pelarutan pembawa
merupakan rate determining step pada pelepasan obat dari pembawa.
d. Formulasi
Terdapat begitu banyak variabel dan pertimbangan formulasi yang dapat menyebabkan
kesulitan dalama absorpsi obat melalui rektal, termasuk pelelehan dan sifat pencairan
pembawa. Kelarutan obat dalam pembawa, ukuran partikel obat, kapasitas penyebaran
pembawa, viskositas pembawa dan eksipien pada suhu rektum, dan kemungkinan retensi
obat oleh eksipien, semua itu dapat mempengaruhi kecepatan pelepasan dan selanjutnya
absorpsi obat. Lebih jauh lagi, pKa obat, pH cairan rektum, adanya dapar, dan kapasitas
dapar pada cairan rektum juga koefisien partisi dari obat mempengaruhi absorpsi obat
dan harus dipertimbangkan saat memformulasi supositoria atau bentuk sediaan rektal
yang lain. Suhu penyimpanan, waktu dan kondisi penyimpanan ditemukan memberikan
efek baik pada stabilitas dan sifat pelepasan obat dari bentuk sediaan rektal. Setiap
pertimbangan faktor-faktor di atas menyebabkan kesulitan dalam formulasi, pembuatan
dan distribusi dari sediaan rektal.
e. Biaya
Supositoria dan bentuk sediaan rektal lain memerlukan biaya yang lebih banyak untuk
penyiapan dan pencampuran dibandingkan tablet sederhana.

2.6. Mukoadhesi
Adhesi dapat didefinisikan sebagai ikatan yang dihasilkan oleh kontak antara adhesif
sensitif-tekanan dan permukaan.The American Society of testing and materials
mendefinisikan sebagai keadaan di mana dua permukaan yang diadakan bersama oleh gaya
antarmuka, yang dapat terdiri dari gaya-gaya valensi, aksi atau keduanya saling terkait.

11
Untuk tujuan penghantaran obat, istilah bioadhesi menyiratkan pelengkap sistem
pembawa obat menuju lokasi biologis yang spesifik.Permukaan biologis dapat menjadi
jaringan epitel.Jika tambahan perekat adalah sebuah lapisan mukus, fenomena ini disebut
sebagai mukoadhesi.Bioadhesi dapat dimodelkan setelah tambahan bakteri menuju
permukaan jaringan, dan mukoadhesi dapat dimodelkan setelah pelekatan mukus pada
jaringan epitel.

1. Mekanisme Mukoadhesi
Bioadhesi merupakan fenomena yang tergantung pada sifat bioadhesif.Ada 2
tahap terjadinya mukoadhesi, yaitu :
a. Tahap Kontak (Contact stage)
Merupakan tahap pertama yang melibatkan kontak yang rapat antara
bioadhesif dan membran, baik dari permukaan bioadhesif yang memiliki
pembasahan bagus, maupun dari pengembangan bioadhesif.
b. Tahap Konsolidasi (Consolidation stage)
Merupakan tahap kedua, setelah diadakan kontak, penetrasi bioadheshif ke
dalam celah-celah permukaan jaringan atau antar rantai dari bioadhesive
dengan mukus yang terjadi. Pada tingkat molekuler, mukoadhesi dapat
dijelaskan berdasarkan interaksi molekul.Interaksi antara dua molekul
terdiri dari daya tarik dan daya tolak. Interaksi daya tarik muncul dari gaya
Van der Walls, daya tarik elektrostatik, ikatan hidrogen, dan interaksi
hidrofobik. Interaksi daya tolak terjadi karena tolakan elektrostatik dan
tolakan steric.Untuk terjadi mukoadhesi, interaksi daya tarik harus lebih
besar daripada tolakan non-spesifik.

12
Gambar 2. Mekanisme Mukoadhesi

2. Aplikasi Sediaan Mukoadhesif


Ada tiga kategori utama aplikasi sediaan mukoadhesif dalam sistem penghantaran
obat, yaitu :
- Memperlama waktu tinggal (kontak). Kemungkinan ini telah diteliti secara
intensif untuk system penghantaran/pelepasan obat terkendali yang diberikan
secara oral dan rute pemberian okuler.
- Kontak intensif dengan membrane pengabsorpsi. Tablet mukoadhesif atau
laminat menunjukkan sifat pelepasan obat yang menguntungkan jika
digunakan melalui rute bukal.Sediaan dalam bentuk partikel mikro (micro
particles) sudah berhasil digunakan pada aplikasi obat melalui nasal. Selain
itu, terbuka juga peluang untuk memberikan obat secara rectal dan vaginal.
- Lokalisasi system penghantaran obat. Dalam beberapa kasus, obat secara
preferensial diabsorpsi pada daerah tertentu (spesifik) dari saluran cerna yang
juga dinamakan jendela absorpsi (absorption window).
-
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi mukoadhesi
Proses mukoadhesi ditentukan oleh berbagai faktor, baik dari formulasi
sistem mukoadhesif, yaitu dari polimer yang digunakan, maupun dari lingkungan
tempat aplikasi sistem mukoadhesif tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain
(Smart, 2005; Zate, et al, 2010):

13
- Konsentrasi polimer : semakin tinggi konsentrasi polimer, maka gaya adhesi
akan semakin kuat.
- Konformasi polimer : gaya adhesi juga tergantung pada konformasi polimer,
contohnya heliks atau linier. Bentuk heliks dapat menyembunyikan gugus-
gugus aktif polimer sehingga mengurangi kekuatan adhesi polimer.
- Bobot molekul primer : untuk polimer linier, semakin besar bobot polimer
maka kemampuan mukoadhesi akan semakin meningkat.
- Fleksibilitas rantai polimer : Fleksibilitas rantai polimer penting untuk
interpenetrasi dan pembelitan rantai polimer dengan rantai musin. Apabila
penetrasi rantai polimer ke mukosa berkurang, maka kekuatan mukoadhesif
juga akan berkurang.
- Derajat hidrasi : hidrasi yang berlebihan dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan mukoadhesi akibat pembentukan mucilago yang licin
- pH : pH akan mempengaruhi muatan pada permukaan mukosa dan polimer
sehingga adhesi juga akan dipengaruhi.
- Waktu kontak awal : Waktu kontak awal antara sistem mukoadhesif dan
lapisan mukosa menentukan tingkat pengembangan dan interpenetrasi
polimer. Kekuatan mukoadhesif akan meningkat jika waktu kontak awal
meningkat.
- Variasi fisiologis : kondisi fisiologis yang dapat mempengaruhi mukoadhesi
antara lain ketebalan mukus dan pergantian musin.

14
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Mekanisme Pelepasan Obat Melalui Rektum


Lima puluh persen aliran darah dari rektum memintas sirkulasi portal (melalui
hati-biasanya pada rute oral), sehingga biotransportasi obat oleh hati dikurangi. Bagian
obat yang diabsorpsi dalam 2/3 bagian bawah rektum langsung mencapai vena cava
inferior dan tidak melalui vena porta. Keuntungan pemberian melalui rektal (juga
sublingual) adalah mencegah penghancuran obat oleh enzim usus atau pH dalam
lambung. Supositoria, yang dipakai secara rektal mengandung zat aktif yang tersebarkan
(terdispersi) di dalam lemak yang berupa padatan pada suhu kamar tetapi meleleh pada
suhu sekitar 35ºC, sedikit di bawah suhu badan. Jadi setelah disisipkan ke dalam rektum
sediaan padat ini akan meleleh dan melepaskan zat aktifnya yang selanjutnya terserap
dalam aliran darah.

Gambar 2. Mekanisme Pelepasan Zat Aktif dari Basis Supositoria (Aulton, 2007)

15
Secara rektal supositoria digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat
diserap oleh mukosa dalam rektum. Aksi kerja awal dapat diperoleh secara cepat,
karena obat diabsorpsi melalui mukosa rektal langsung masuk kedalam sirkulasi
darah, serta terhindar dari pengrusakan obat dari enzim didalam saluran gastro-
intestinal dan perubahan obat secara biokimia didalam hepar. Obat yang
diabsorpsi melalui rektal beredar dalam darah tidak melalui hati dahulu hingga
tidak mengalami detoksikasi atau biotransformasi yang mengakibatkan obat
terhindar dari tidak aktif.
Penyerapan direktum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu:
a. lewat pembuluh darah secara langsung
b. lewat pembuluh getah bening
c. lewat pembuluh darah secara tidak langsung melalui hati
Penyerapan hanya terjadi pada pembuluh darah secara langsung lewat
inferior dan vena intermedier yang berperan dan membawa zat aktif melalui vena
iliaca ke vena cava inferior. Menurut Quecauviller dan Jund bahwa penyerapan
dimulai dari vena haemorrhoidalles inferior terutama vena haemorrhoidalles
superior menuju vena porta melalui vena mesentricum inferior. Saluran getah
bening juga berperan pada penyerapan rektal yaitu melalui saluran toraks yang
mencapai vena subclavula sinistra. Menurut Fabre dan Regnier pengaruh tersebut
hanya berlaku pada obat-obat yang larut lemak.
Mukosa rektum dalam keadaan tertentu bersifat permeabel sempurna.
Penyerapan rektum kadang-kadang lebih baik dari penyerapan bukal. Selain itu
penyerapan juga tergantung pada derajat pengosongan saluran cerna jadi tidak
dapat diberlakukan secara umum. Bahkan bebrapa obat tertentu tidak diserap oleh
mukosa rektum. Banyak obat yang tidak diresorbsi secara teratur dan lengkap dari
rektum, sebaiknya diberikan dosis yang melebihi dosis oral dan digunakan pada
rektum kososng, akan tetapi setelah obat diresorbsi efek sistemisnya lebih cepat
dan lebih kuat dibandingkan per oral, berhubung vena-vena bawah dan tengah
dari rektum tidak tersambung pada sistem porta dan obat tidak melalui hati pada
peredaran darah pertama, sehingga tidak mengalami perombakan FPE (first pass
effect). Pengecualian adalah obat yang diserap dibagian atas rektum dan oleh vena

16
rektalis superior disalurkan ke vena portae dan kemudian ke hati, misalnya
thiazinamium.dengan demikian penyebaran obat di dalam rektum yang tergantung
dari basis supositoria yang digunakan, dapat menentukan rutenya kesirkulasi
darah. Supositoria dan salep juga sering kali digunakan untuk efek lokal pada
gangguan poros-urus, misalnya wasir.

3.2. Absorpsi Obat Melalui Rektum


Terdapat beberapa faktor yang harus diatasi untuk obat dapat diserap
setelah pemberian rektal. Jika obat diberikan dalam bentuk supositoria, pelelehan
atau pencairan basis harus terjadi dan hal ini akan menentukan penyebaran dosis
ke seluruh rektum. Obat juga harus melarut pada cairan rektal yang jumlahnya
terbatas, antara 1 ml sampai 3 ml. Jumlah obat yang tersedia untuk diserap bisa
dikurangi oleh isi lumen, adsorpsi isi lumen dan defekasi. Obat kemudian harus
berdifusi melewati air dan lapisan mucus menuju epithelium.
Obat bisa diserap melalui sel epitel atau melalui tight junction, dengan
mekanisme transport pasif. Vena balik dari kolon dan vena di rektum atas
merupakan vena portal menuju ke hati. Jika obat diberikan pada bagian atas
rektum, maka obat akan diangkut ke sistem portal dan akan mengalami
metabolisme lintas pertama di hati. Satu-satunya cara menghindari metabolisme
lintas pertama adalah memberikan obat pada bagian bawah rektum.
Absorpsi obat melalui epitel rektal melibatkan dua rute transport yaitu rute
transelular dan rute paraselular. Mekanisme pengambilan pada rute transelular
bergantung pada lipofilisitas sedangkan rute paraselular adalah difusi obat melalui
ruang antara sel-sel epithelial. Absorpsi rektal dari obat bergantung pada beberapa
sifat obat seperti koefisien partisi dan ukuran molecular. Koefisien partisi yang
kecil, ukuran molecular yang besar, muatan dan kemampuan pembentukan ikatan
hydrogen yang tinggi adalah faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi yang
rendah dari obat. Faktor lainnya adalah adanya feses yang bisa mengubah
absorpsi obat. Larutan, suspensi dan supositoria merupakan bentuk sediaan yang
umum untuk pemberian rektal. Kandungan rektal umumnya bersifat basa dan
larutan basa biasanya cepat diserap dibandingkan larutan yang bersifat asam.

17
Larutan berair dan alkohol diserap dengan cepat sedangkan suspensi dan
supositoria absorpsinya lambat dan kontinyu. Metode utama yang digunakan
untuk memperbaiki absorpsi rektal dari obat termasuk :
- Modifikasi formulasi untuk memperbaiki tahap pelarutan dari obat-obat yang
kelarutannya dalam air kurang baik.
- Modifikasi fungsi barrier dari mukosa membran rektal.
- Modifikasi kimia dari obat untuk meningkatkan koefisien partisi.

3.3. Pencegahan Metabolisme Lintas Pertama


Pemberian obat melalui rektal sebagian bertujuan untuk mencegah
metabolisme lintas pertama di hati. Vena superior rektal yang terdapat pada
bagian atas rektum menuju vena portal dan hati sedangkan vena inferior dan
tengah rektum yang terdapat di bagian bawah rektum dan memasuki vena cava
inferior dan tidak melewati hati sebelum memasuki sirkulasi umum. Sehingga
obat yang diberikan pada bagian bawah rektum tidak melewati hati dan
menghindarkan terjadinya metabolisme lintas pertama hepatik dan meningkatkan
sirkulasi sistemik.

3.4. Karakteristik dan Pengaturan Absorpsi


a. Modifikasi atau Kontrol Absorpsi Obat Rektal
 Partisi pH
Mekanisme absorpsi dari rektum sama dengan bagian –bagian pada saluran
gastrointestinal, yaitu difusi pasif. Obat diserap paling baik melalui mukosa rektal
dalam bentuk tidak terionisasi atau netral. Obat-obat dengan koefisien partisi yang
tinggi (lebih lipofilik) cenderung diabsorpsi lebih baik. Jika obat bisa berada dalam
bentuk tidak terionisasi pada pH fisiologik, faktor-faktor lainnya tetap, maka absorpsi
bisa diperbaiki.
 Kelarutan
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, volume cairan dalam rektum sangat kecil.
Pada banyak kasus, dipercaya bahwa obat harus dilarutkan dulu dalam cairan rektal
agar dapat diabsorpsi. Hal ini membutuhkan kelarutan obat yang sangat tinggi untuk

18
obat bisa diserap dengan efisien dari rektum. Voigt dan Falk melaporkan hubungan
langsung antara kelarutan dalam air dengan kecepatan pelepasan untuk 35 senyawa
yang berbeda. Umumnya, ketika senyawa berada dalam bentuk kelarutan yang
relative rendah (asam netral) atau dalam bentuk yang lebih larut air (contohnya,
garam natrium), kelarutannya lebih tinggi dan kecepatan melarutnya juga lebih tinggi
dalam cairan rektal, sehingga absorpsinya lebih baik. Faktor ini harus diseimbangkan
dengan fakta bahwa bagian yang tidak terionisasi cenderung lebih cepat melewati
mukosa rektal. Kelarutan obat juga mempengaruhi pemilihan basis supositoria atau
pembawa lainnya. Umumnya, obat harus memiliki kecenderungan yang kecil untuk
tetap tinggal dalam pembawa saat pembawanya meleleh atau melarut. Oleh karena itu
biasanya disarankan bahwa obat-obat yang larut air paling baik diberikan dalam
pembawa yang berlemak dan senyawa yang lebih lipofilik pada pembawa yang larut
air.
 Ukuran molekular
Semakin kecil ukuran molekul obat, semakin siap atau cepat obat tersebut diabsorpsi.
Untuk molekul-molekul yang besar, beberapa tipe transport terfasilitasi atau
penggunaan zat peningkat penetrasi (penetration enhancers) dapat meningkatkan
absorpsi obat dari rektum juga rute penghantaran obat yang lain.
 Muatan
Molekul yang bermuatan kurang efektif untuk melewati mukosa rektal dibandingkan
molekul yang netral. Hal ini bisa diatasi dengan memodifikasi pH atau dengan
mengizinkan zat yang bermuatan untuk berinteraksi dengan molekul atau ion yang
lain yang membantu menetralisir muatan. Pasangan ion, sebagai contoh, dapat
digunakan untuk mengatasi masalah ini. Dari sudut pandang kelarutan zat yang
bermuatan umumnya lebih disukai. Zat peningkat penetrasi bisa memperbaiki
penghantaran obat-obat yang larut dalam air.
 Adsorpsi non-spesifik
Sifat permukaan dari padatan dapat mempengaruhi secara signifikan obat tersebut
ketika mencapai antarmuka antara pembawa dan cairan rektal. Jumlah pembasahan,
yang ditunjukkan dengan sudut kontak, yang terjadi atau berubah pada saat tegangan
antarmuka akibat interaksi dengan surfaktan dalam pembawa atau cairan rektal bisa

19
berefek pada disolusi dan selanjutnya absorpsi obat. Hal ini seringnya meningkatkan
ketersediaan obat. Di sisi lain, adsorpsi atau pembentukan kompleks dengan surfaktan
dapat menurunkan ketersediaan obat an absorpsinya.
 Penyebaran formula yang diberikan
Untuk absorpsi obat yang optimal, merupakan hal yang penting untuk supositoria atau
pembawa meleleh atau melarut dengan cepat dan tersebar pada seluruh dinding
rektum. Oleh karena itu sifat rheologik dari pembawa dapat memberikan efek yang
signifikan pada pelepasan obat dan kemampuan obat untuk kontak dengan mukosa
rektal. Beberapa studi menganjurkan viskositas pembawa merupakan hal yang sangat
penting untuk pelepasan obat dari pembawa. Walaupun sifat sebar menentukan secara
langsung area dimana pelepasan dari pembawa terjadi dan kemudian absorpsi,
terdapat juga kesulitan bahwa konsentrasi dan aktivitas termodinamika obat bisa
menurun jika tersebar terlalu banyak dan tersebar sampai bagian atas rektum. Hal ini
dapat menyebabkan absorpsi pada vena hemorrhoidal atas dan menuju ke sirkulasi
darah dan meningkatkan metabolisme lintas pertama.
 Optimalisasi Absorpsi Obat
- Enhancing agents (Zat Peningkat)
Lebih dari 20 tahun, berbagai zat telah diidentifikasi secara signifikan
mampu meningkatkan permeabilitas dari saluran gastrointestinal untuk absorpsi
obat. Kerja peningkat absorpsi dari berbagai adjuvant pembantu absorpsi antara
lain, asilkarnitin, asilkolin, salisilat, garam empedu, derivate fenotiazin, enamin
dan asam-asam lemak. Zat pengkhelat kuat dan fenotiazin meningkatkan absorpsi
rektal baik senyawa dengan bobot molekul tinggi maupun rendah dengan rasio
absorpsi yang konstan melalui rute paraselular. Dietilmaleat meningkatkan
absorpsi rektal dari senyawa bobot molekul rendah melalui rute transelular.
Berbagai salisilat, dietil etilen malonat, dan berbagai macam asam-asam lemak
ditemukan meningkatkan absorpsi baik melalui rute paraselular dan transelular.
Pemberian obat rektal cocok menggunakan zat peningkat absorpsi.
Dengan menggunakan zat-zat seperti asilkarnitin dan asilkolin,
peningkatan yang efektif pada permeabilitas dan peningkatan absorpsi hanya
terjadi sementara yaitu 30-60 menit, sehingga sangat penting untuk obat dan zat

20
peningkat absorpsi berada pada penghalang mukosa pada waktu yang bersamaan
dengan konsentrasi yang cukup untuk memberikan efek perubahan permeabilitas.
Motilitas yang rendah dan terbatasnya isi cairan pada kompartemen rektum
merupakan kondisi ideal. Jika diberikan secara oral, zat peningkat absorpsi kurang
efektif dibandingkan dengan diberikan rektal, hal ini disebabkan karena motilitas
yang tinggi dan pengenceran obat dan enhancer. Penentuan rancangan dan
kinerja dari supositoria solid rektal harus memiliki profil pelepasan dari kedua zat
tersebut (obat dan enhancer agents) sehingga menambah kerumitan dalam proses
formulasi.

- Kontrol pH
pH cairan rektal memiliki efek yang penting dalam absorpsi obat dari
rektum. Karena cairan rektal memiliki kapasitas dapar yang relative rendah dan
volume cairan rektal yang kecil, dapat diperkirakan bahwa kandungan bentuk
sediaan rektal akan sangat mengontrol pH rektum selama pemberian. Berdasarkan
hal ini, formulator dapat menggunakan karakteristik pH dari obat dan
memasukkan dapar yang cocok dan bahan tambahan lain dalam bentuk sediaan
untuk mengontrol pH. Suatu penelitian melaporkan bahwa larutan dengan
kapasitas dapar 0,1 sudah cukup untuk mempertahankan pH sekitar 5,9 selama
perfusi pada manusia. Pada penelitian ini, pH kembali ke nilai normal dengan
kecepatan sekitar 1,5 unit pH per menit, yang diikuti dengan pengeluaran
perfusat. Tubuh tampaknya mencoba untuk mempertahankan pH pada permukaan
penyerapan tetapi dibutuhkan sedikit waktu untuk mengembalikan pH ke pH
normal setelah pemberianbentuk sediaan rektal yang memiliki kapasitas dapar
yang signifikan.
- Solubilizing agents
Diperkirakan bahwa solubilizing agents dapat meningkatkan kecepatan
pelepasan obat dari basis supositoria, mungkin dengan memodifikasi viskositas
dan tegangan antarmuka pembawa dengan cairan rektal. Sebagai tambahan
solubilizing agent atau surfaktan juga dapat memberi efek pada penyalutan mucus

21
dari membrane rektal. Zat ini dapat meningkatkan absorpsi dengan mengurangi
ketebalan lapisan yang harus dilewati oleh obat atau bertindak seperti penetration
enhancer dengan meningkatkan permeabilitas membrane dengan merusak
mukosa rektal. Nishihata dkk melaporkan bahwa natrium lauril sulfat berinteraksi
dengan fraksi lipoidal dari membran rektal dengan efek yang irreversible dalam
waktu yang singkat. Untuk basis yang berminyak, solubilisasi, dengan
pengurangan viskositas pembawa, dapat memperbaiki penghantaran obat rektal
- Viscosity modifiers
Tekanan lumen pada mukosa rektal bisa bekerja sebagai shearing stress dan
mempengaruhi sifat rheologis dari zat yang memiliki sifat plastik atau
pseudoplastis. Viskositas merupakan hal yang sangat penting untuk pelepasan
obat dari supositoria ketika bahan yang meleleh merupakan cairan Newtonian.
Umumnya, semakin rendah viskositas, semakin cepat dan semakin sempurna
pelepasan obat dari pembawa dan semakin tinggi absorpsi obat.
.
Nasib obat yang diabsorpsi dari rektum tergantung dari posisi obat dalam
rektum. Di daerah sub mucosal pada dinding rektal terdapat banyak pembuluh
darah dan pembuluh limfe.Pembuluh darah hemorrhoidal bagian atas merupakan
saluran ke sirkulasi portal, sehingga obat yang diabsorpsi pada bagian atas akan
melewati hati sebelum masuk ke sirkulasi sistemik. Sedangkan pembuluh darah
hemorrhoidal bagian tengah dan bawah merupakan saluran langsung ke vena cava
inferior, sehingga obat yang diabsorpsi pada bagian tersebut akan langsung masuk
ke sirkulasi sistemik.

3.5. Faktor – faktor yang mempengaruhi absorpsi obat per rektal :


1. Faktor Fisiologis
o Isi Kolon  obat akan mempunyai kemungkinan untuk diabsorpsi lebih
besar ketika rektum dalam keadaan kosong. Untuk tujuan ini diberikan
enema sebelum penggunaan obat melalui rektal.

22
o Rute sirkulasi  jika obat diabsorpsi dari pembuluh darah hemorrhoidal
akan langsung menuju vena cava inferior, sehingga absorpsi akan cepat
dan efektif.
o pH dan minimnya kapasitas buffer cairan rektal  pH cairan rektal 7-8
dan tidak memiliki kapasitas buffer yang efektif.
2. Faktor Fisika Kimia dari Obat atau Basis
- Kelarutan dalam lipid-water  obat lipofil jika diberikan dengan basis lemak
tidak dapat dikeluarkan dengan mudah, sehingga absorpsi obat terganggu.
- Ukuran partikel  semakin kecil partikel semakin besar kelarutannya.
- Sifat basis  jika basis berinteraksi dengan obat atau mengiritasi membran
mukosa akan menurunkan absorpsinya.

23
BAB IV

KESIMPULAN

Penghantaran obat rektal bertujuan antara lain untuk mencegah kerusakan


obat di saluran gastrointestinal, menghindari efek metabolisme lintas pertama dan
untuk pasien yang kesulitan untuk menelan. Formulasi untuk penghantaran obat
rektal antara lain supositoria padat, enema, larutan, suspensi, gel, salep dan
sediaan controlled release. Penghantaran obat rektal bisa menjadi alternatif
pemberian obat untuk meningkatkan absorpsi dan bioavailabilitas obat.
Nasib obat dalam tubuh ketika diberikan dalam bentuk sediaan supositoria
padat adalah basis supositoria meleleh atau melarut dan melepaskan zat aktif,
kemudian zat aktif melarut dalam cairan rektum, kemudian diserap pada membran
mukosa rectum menuju sirkulasi sistemik atau memberi efek lokal. Dalam bentuk
supositoria cair, penambahan poloxamer akan membuat supositoria berbentuk gel
ketika masuk ke dalam rectum karena peningkatan suhu sehingga mencegah
terjadinya kebocoran dan mencegah sediaan mencapai ujung atas kolon, gel
melarut dalam cairan rectum kemudian obat dilepaskan melalui mekanisme difusi.
Sediaan supositoria sustained release dimaksudkan untuk meningkatkan absorpsi
dan memperpanjang efek farmakologi obat.
Absorpsi pada penghantaran obat rektal bergantung pada faktor fisiologis
seperti isi rektum dan pH juga faktor fisikokimia obat dan basis seperti koefisien
partisi, kelarutan, ukuran molekular, dan muatan. Untuk meningkatkan dan
mengoptimalkan absorpsi pada penghantaran obat rektal bisa dilakukan melalui
modifikasi formulasi untuk memperbaiki tahap pelarutan dari obat-obat yang
kelarutannya dalam air kurang baik, modifikasi fungsi barrier dari mukosa
membran rektal, modifikasi kimia dari obat untuk meningkatkan koefisien partisi.
Penambahan surfaktan dan polimer mukoadhesif dapat mengubah kecepatan
pelepasan obat tergantung tipe surfaktan, polimer serta basis yang digunakan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Yugatama, Adi. 2012. Sistem Penghantaran Obat Melalui Rektal.Jurusan Farmasi


FKIK UNSOED. Diakses tanggal 4 Desember 2012.

Yugatama, Adi. 2012. Mucoadhesive Drug Delivery System.Jurusan Farmasi FKIK


UNSOED. Diakses tanggal 4 Des

Abbas, Z. Aditya,N.,Swamy, N. 2013. Fabrication and in vitro Evaluation of


Mucoadhesive, Thermoreversible, in situ Gelling Liquid Suppository of Chloroquine
Phosphate. Indian Journal of Novel Drug Delivery. Diakses dari
http://www.ijndd.com/apr-jun2013/1.%20Research%20article IJNDD%20Apr-
Jun%202013_60-70_SWAMY%20NGN.pdf pada tanggal 22 November 2014

25

Anda mungkin juga menyukai