Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH BIOFARMASETIKA

BIOFARMASETIKA PEMBERIAN OBAT SECARA


PER REKTAL

KELAS D

KELOMPOK 4

Laura Meity 2016210137


Luluk Pramesti 2016210139
Lutfah Romdiah 2016210140
Maria Dewinta 2016210145
Mia Raina C. 2016210149
M. Zulfian 2016210158
Mutiara Salsabila 2016210161
Nadiah Putri 2016210164
Nadira Anggunita 2016210165
Novia Avianti 2016210173

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya
dengan rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Biofarmasetika Pemberian Obat Secara Per Rektal” ini dengan baik tepat pada
waktunya.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing
yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat dalam
proses penyusunan makalah ini. Rasa terima kasih juga hendak kami ucapkan kepada
rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya baik secara langsung
maupun tidak langsung sehingga makalah ini bisa selesai pada waktu yang telah
ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang


penyusunan makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah yang telah
kami susun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami
mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya makalah lain
yang lebih lagi. Akhir kata, kami berharap agar makalah ini bisa memberikan banyak
manfaat.

Jakarta, Mei 2019

Penyusun
Daftar Isi

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB 1.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN .....................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG DAN MASALAH........................................................................1
B.     RUMUSAN MASALAH..................................................................................................2
C. TUJUAN………….………………………………………………….……….……….....2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
I.    FISIOLOGI TEMPAT PEMBERIAN OBAT…………………………….........................3
II BENTUK SEDIAAN DAN CARA PEMBERIAN............................................................5
III. FAKTOR FISIOLOGIS TERKAIT ABSORBSI OBAT...................................................6
IV. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOAVAILABILITAS.......................................8
BAB III.......................................................................................................................................9
PENUTUP..................................................................................................................................9
KESIMPULAN..........................................................................................................................9
DAFTAR  PUSTAKA.............................................................................................................10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah

Rute per oral merupakan pemberian obat yang paling umum dalam penelitian
dan pengembangan obat baru dan bentuk sediaan, tetapi pemberian oral tidak selalu
menghasilkan efek yang diinginkan atau dapat diterima oleh pasien. Obat yang
absorpsinya tidak baik di saluran gastrointestinal dan tidak stabil oleh enzim
proteolitik merupakan beberapa masalah pada pemberian obat pada rute oral.
Beberapa obat menyebabkan iritasi lokal pada lambung atau saluran gastrointestinal
atas atau membutuhkan dosis lebih dari 500 mg. Populasi pasien tertentu, umumnya
anak-anak, orang tua dan pasien yang sulit menelan, seringnya kesulitan untuk
mengonsumsi tablet dan kapsul oral. Sebagai tambahan, pengobatan beberapa
penyakit paling baik dilakukan dengan pemberian langsung pada tempat yang sakit,
umumnya pada penyakit di mata, mulut, dermal, rongga oral, dan jaringan anorektal.
Pemberian oral dapat digunakan untuk tujuan drug targeted untuk jaringan yang
terkena penyakit, namun terpaparnya seluruh kompartemen tubuh pada pemberian
obat melalui oral tidak efisien dan bisa memicu efek yang tidak diinginkan.
Rektum merupakan salah satu organ terakhir dari usus besar pada manusia dan
beberapa jenis mamalia lainnya yang berakhir di organ anus. Organ ini berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Mengembangnya dinding rectum
karena penumpukan material di dalam rectum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defikasi.
Pemberian obat rektal dapat diterima baik untuk penghantaran obat lokal dan
sistemik. Pemberian obat rektal efektif digunakan untuk mengobati penyakit lokal
pada area anorektal juga untuk menghasilkan efek sistemik sebagai alternatif dari
pemberian oral. Obat-obat yang mengalami metabolisme lintas pertama ketika
diberikan oral, masalah ini dapat diatasi dengan pemberian obat tersebut melalui rute
rektal. Formulasi penghantaran obat melalui rektal terdapat dalam berbagai bentuk
sediaan, antara lain supositoria, gel, aerosol, busa (foam), krim maupun controlled
release. Meskipun pemberian obat secara rektal tidak dapat menjadi rute pemberian
yang umumnya diterima, penggunaan teknologi penghantaran obat rektal untuk
penggunaan tertentu dan masalah terapeutik tertentu memberikan rute penghantaran
obat alternatif yang dapat sukses diterapkan dalam terapi obat.
Pemberian obat baik bentuk padat maupun cair pada terapi pengobatan
maupun perawatan di rectum akan mengalami suatu proses farmakodinamika
(absorbs, distribusi, metabolisme, serta ekskresi) yang berupa serangkaian sistem dari
pemberian hingga pelepasan molekul zat aktif pada reseptor.

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana anatomi fisiologi rektum?
2. Apa saja bentuk sediaan dan bagaimana cara pemberian sediaan per rektal?
3. Apa saja faktor fisiologis yang mempengaruhi absorbsi obat?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat?
5. Bagaimana evaluasi ketersediaan hayati zat aktif yang terdapat dalam sediaan
supositoria?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui anatomi fisiologi rektum.
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk sediaan per rektal dan cara pemberiannya.
3. Untuk mengetahui faktor fisiologis yang mempengaruhi absorbsi obat.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat.
5. Untuk mengetahui evaluasi ketersediaan hayati zat aktif yang terdapat dalam
sediaan supositoria.

BAB II

PEMBAHASAN
I. FISIOLOGI TEMPAT PEMBERIAN OBAT

Rektum adalah bagian ujung dari sistem pencernaan di mana kotoran


menumpuk tepat sebelum dibuang. Rektum menyambung dengan kolon sigmoid dan
memanjang 13 sampai 15 cm (5 sampai 6 inci) ke anus. Selembar otot yang disebut
diafragma panggul berjalan tegak lurus ke persimpangan rektum dan anus dan
mempertahankan penyempitan antara dua segmen dari usus besar.
Rongga internal rektum dibagi menjadi tiga atau empat kamar; setiap
ruang sebagian tersegmentasi dari lainnya dengan lipatan melintang permanen
(katup dari Houston) yang membantu untuk mendukung isi rektum. Sebuah
selubung otot memanjang mengelilingi dinding luar rektum, sehingga
memungkinkan bagi rektum untuk memperpendek dan memanjang. Sampah
makanan tetap dalam kolon sigmoid sampai mereka siap untuk dikeluarkan
dari tubuh. Saat feces memasuki rektum, dinding menggembung untuk
mengakomodasi materi. Ketika tekanan yang cukup menumpuk dalam rongga
dubur membesar, dorongan untuk menghilangkan limbah terjadi.
Rektal atau rektum merupakan salah satu organ dalam saluran
pencernaan yang diketahui sebagai bagian akhir proses ekskresi feses sebelum
anus. Rectal merupakan bagian dari kolon. Luas permukaan rectal 200-400
cm2, pada saat kosong rektum mengandung sejumlah kecil cairan (1-3 ml)
dengan kapasitas buffer yang rendah; pH sekitar 7,2 karena kD (kecepatan
disolusi), pH akan bervariasi sesuai obat yang terlarut di dalamnya. Panjang
dari kolon sekitar 5 kaki (150 cm) dan terbagi lagi menjadi 5 segment.
Rectum adalah segmen anatomi terakhir sebelum anus yang merupakan bagian
distal usus besar.
Rectum memiliki panjang pada manusia dewasa rata-rata 15-19 cm,
12-14 cm bagian pelvinal sampai 5-6 cm bagian perineal, pada bagian teratas
dibungkus dengan lapisan peritoneum. Sedang pada bagian bawah tidak
dibungkus dengan peritoneum maka disebut pula dengan rectal ampula, yaitu
membran serosa yang melapisi dinding rongga abdomen dan pelvis dan
melapisi visera. Kedua lapisan tersebut menutupi ruang potensial, rongga
peritoneum. Anal canal memiliki panjang 4-5 cm.

Rektum dialiri 3 jenis pembuluh darah :


a) Vena haemorrhoidales superior yang bermuara ke vena mesentericum
inferior, selanjutnya masuk kedalam vena porta, dan juga membawa darah
langsung ke peredaran umum.
b) Vena haemorrhoidales medialis dan vena haemorhoidales inferior yang
bermuara ke venae cava inferior dengan perantara venae iliaca interna
selanjutnya membawa darah ke peredaran umum (kecuali hati).
c) Vena haemorrhoidales anterior = Vena haemorrhoidales medialis
o Volume cairan dalam rektum sangat sedikit ( 2 mL) sehingga laju
difusi obat menuju tempat absorpsi lebih lambat.
o pH cairan rektum netral 7,2 -7,4, sehingga kemungkinan obat
melarut lebih kecil dibanding oral yang terdiri dari beberapa
bagian.
o Adanya feses menghambat penyerapan, sehingga sebaiknya
pemberian sediaan setelah defekasi.

II. BENTUK SEDIAAN DAN CARA PEMBERIAN


Obat-obat sering diberikan secara rektal untuk efek lokal dan jarang
untuk efek sistemik. Obat-obat yang diberikan secara rektal umumnya
diberikan dalam bentuk larutan, supositoria atau salep.
Secara singkat, suppositoria dapat didefinisikan sebagai bentuk-
bentuk padat dngan berbagai macam ukuran berat dan bentuk dngan maksud
untuk di asukkan ke dalam suatu lubang dari tubuh (biasanya rektal, vaginal
atau uretral) dimana obat itu melunak atau melebur, melepaskan zat obatnya
dan memberikan efek. Efek ini secara sederhana dapat berupa laktasi,
penyejukan jaringan yang meradang, atau untuk menghasilkan efek sistemik.
Komposisi dari dasar supositoria atau pembawa dari zat obat dapat
berpengaruh banyak terhadap derajat dan kecepatan pelepasan obat, dan
sebaiknya dipilih dasar tersendiri untuk masing-masing obat yang
dipersiapkan untuk suppositoria.
Penggunaan salep rektal umumnya terbatas pada perawatan keadaan
setempat. Salep rectum terutama digunakan untuk menyembuhkan keadaan
secara local seperti pruritus ani dan untuk mengurangi rasa sakit dan tidak
enak sehubungan dengan haemorrhoid. Obat yang terkandung umumnya sama
dengan supositoria rectum, termasuk local anestetik, analgesic, protektif dan
zat antiinflamasi.
Bentuk sediaan rektum lainnya yaitu larutan rectum. biasanya
digunakan sebagai enema atau larutan pembersih untuk mendapatkan efek
lokal dari obat (misalnya hidrokortison) atau untuk absorpsi sistemik
(misalnya aminofilin, teofilin olamin).
Rektum dan usus besar mampu mengabsorbsi banyak obat yang dapat
larut, dan penggunaan obat secara rektal untuk maksud kerja sistemiknya lebih
disukai karena obat dirusak dan dibuat tidak aktif oleh lingkungan dari
lambung dan usus. Pemberian obat melalui rektum dapat disarankan apabila
cara oral terhalang oleh muntah atau apabila pasien tidak sadar atau tidak
mampu menelan obat dengan baik tanpa tercekik. Juga, obat yang diabsorbsi
melalui rektum tidak melewati hati sebelum masuk ke dalam sirkulasi
sistemik, suatu faktor yang penting apabila mengingat bahwa obat-obat cepat
dirusak dalam hati. Kelemahannya, bila dibandingkan dengan pemberian
oral, pemberian obat melalui rectum tidak menyenangkan dan absorbs obat
eringkali tidak teratur dan sulit diramalkan (Ansel, 1989).
Keuntungan Pemberian Obat lewat Rektal
a. Baik untuk pasien yang mengalami mual dan muntah
b. Baik untuk pasien yang tidak sadar
c. Baik untuk pasien yang menderita penyakit pencernaan bagian atas yang
dapat mempengaruhi absorpsi obat
d. Metabolisme lintas pertama dihindari sebagian
Kerugian Pemberian Obat lewat Rektal
a. Dapat menimbulkan peradangan bila digunakan terus menerus
b. Absorpsi obat tidak teratur
c. Tidak menyenangkan
d. Onset of action lebih lama

III. FAKTOR FISIOLOGIS TERKAIT ABSORBSI OBAT


Absorpsi obat dari supositoria rektal dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu: faktor fisiologis, faktor fisika kimia dari obat dan bahan dasarnya.
1. Faktor fisiologis
a. Kandungan kolon
Efek sistemik dari supositoria yang mengandung obat, absorpsi
yang lebih besar lebih banyak terjadi pada rektum yang kosong dari
pada rektum yang digelembungkan oleh feses. Obat lebih mungkin
berhubungan dengan permukaan rektum dan kolon yang mengabsorpsi
dimana tidak ada feses. Oleh karena itu bila diinginkan suatu enema
untuk mengosongkan dapat digunakan dan dimungkinkan
pemberiannya sebelum penggunaan supositoria dengan obat yang
diabsorpsi
b. Jalur sirkulasi
Obat yang diabsorpsi melalui rektum, tidak melalui sirkulasi
portal sewaktu perjalanan pertamanya dalam sirkulasi yang lazim,
dengan cara demikian obat dimungkinkan untuk dihancurkan dalam
hati untuk memperoleh efek sistemik. Pembuluh hemoroid bagian
bawah yang mengelilingi kolon menerima obat yang diabsorpsi lalu
mulai mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati.Sirkulasi
melalui getah bening juga membantu pengedaran obat yang digunakan
melalui rektum (Ansel, 1989).
c. pH dan tidak ada kemampuan dapar dari cairan rektum
Cairan rektum netral pada pH 7-8 dan kemampuan mendapar
tidak ada, maka bentuk obat yang digunakan lazimnya secara kimia
tidak berubah oleh lingkungan rektum (Ansel, 1989).
2. Faktor fisika kimia dari obat dan basis supositoria
Faktor fisika-kimia dari basis melengkapi kemampuannya melebur,
melunak atau melarut pada suhu tubuh, kemampuannya melepaskan bahan
obat dan sifat hidrofilik atau hidrofobiknya.
a. Kelarutan lemak air
Obat dalam supositoria yang tidak larut, maka ukuran
partikelnya akan mempengaruhi jumlah obat yang dilepas dan melarut
untuk absorpsi. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah melarut
dan lebih besar kemungkinannya untuk dapat lebih cepat diabsorpsi
(Ansel, 1989).
b. Ukuran partikel
Obat dalam supositoria yang tidak larut, maka ukuran
partikelnya akan mempengaruhi jumlah obat yang dilepas dan melarut
untuk absorpsi. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah melarut
dan lebih besar kemungkinannya untuk dapat lebih cepat diabsorpsi
(Ansel, 1989).
c. Sifat basis
Basis harus mampu mencair, melunak atau melarut supaya
melepaskan kandungan obatnya untuk diabsorpsi. Apabila terjadi
interaksi antar basis dengan obat ketika dilepas, maka absorpsi obat
akan terganggu bahkan dicegahnya. Apabila basis mengiritasi
membran mukosa rektum, maka ia akan mulai respons kolon untuk
segera buang air besar, mengurangi kemungkinan penglepasan atau
absorpsi dari obat dengan cermat. Interaksi secara kimia atau fisika
antar bahan obat dengan basis supositoria akan dapat mempengaruhi
stabilitas dan bioavaibilitas dari obat (Ansel, 1989).

IV. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BIOAVAILABILITAS


Faktor-faktor farmasetik yang mempengaruhi bioavailabilitas obat antara lain:
1) Sifat Fisikokimia Obat
o Ukuran partikel dan Luas Permukaan Obat
Sifat-sifat fisika dan kimia tertentu dari zat obat dipengaruhi oleh distribusi
ukuran partikel. Bila suatu partikel obat dikurangi sampai menjadi
partikel-partikel yang lebih kecil dalam jumlah besar, luas permukaan total
yang diciptakan akan meningkat.
o Kelarutan obat
Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air agar manjur secara
terapi. Senyawa-senyawa yang relative tidak larut seringkali menunjukkan
absorbs yang tidak sempurna atau tidak menentu. Sebagai contoh, jika obat
adalah suatu sam atau basa, kelarutan dapat dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan dalam pH.
o Polimorfisme
Suatu faktor formulasi yang penting adalah bentuk Kristal atau bentuk
amorf dari zat obat tersebut. Bentuk-bentuk polimorfisme biasanya
menunjukkan sifat fisika-kimia yang berbeda termasuk titik leleh dan titik
kelarutan. Energy yang dibutuhkan untuk suatu molekul obat untuk bebas
dari suatu Kristal jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan untuk bebas
dari suatu serbuk amorf. Oleh karena itu, bentuk amorf dari suatu senyawa
selalu lebih mudah larut dibandingkan dengan bentuk kristalnya.
o Stabilitas obat
2) Faktor Formulasi untuk merancang suatu produk obat yang akan
melepaskan obat aktif dalam bentuk yang paling banyak berada dalam
sistemik, farmasis harus mempertimbangkan:
o Jenis produk obat;
o Sifat bahan tambahan dalam produk obat;
o Sifat fisikokimia obat itu sendiri (Shargel dan Yu, 2005).
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
- Rektum adalah organ terakhir dari usus besar pada beberapa jenis mamalia yang
berakhir di anus. Rektal atau rektum merupakan salah satu organ dalam saluran
pencernaan yang diketahui sebagai bagian akhir proses ekskresi feses sebelum
anus. Recal merupakan bagian dari kolon. Terdapat empat lapisan rektum dari
arah luar ke dalam berurutan: lapisan serosa peritoneal, lapisan otot, lapisan
bawah mukosa, dan lapisan mukosa.
- Penyerapan rektum dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang juga mempengaruhi
proses penyerapan pada cara pemberian lainnya, kecuali intravena dan intraarteri.
Penyerapan di rektum dapat terjadi dengan tiga cara yaitu: lewat pembuluh darah
secara langsung, lewat pembuluh getah bening, dan lewat pembuluh darah secara
tidak langsung melalui hati.
DAFTAR PUSTAKA

 Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (4th ed).


Diterjemahkan oleh Ibrahim, Farida. Jakarta: Universitas Indonesia Press
 Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, Farmakologi dan Terapi Edisi
5,Jakarta;2007
 Leon Shargel dkk. Biofarmasetika dan Farmakokinetik terapan, 5 th . Surabaya :
Airlangga university press ;2012

Anda mungkin juga menyukai