Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan sains dan teknologi di dunia farmasi saat ini sangat pesat.
Semakin hari semakin banyak jenis dan ragam dari penyakit dan perkembangan
pengobatan pun terus dikembangkan. Untuk mendapatkan obat baru diperlukan
biaya yang tidak sedikit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Akan tetapi,
upaya untuk mengobati penyakit tidak hanya dengan obat baru saja, namun bisa
dengan cara memodifikai obat yang sudah ada atau dari bentuk sediaanya.
Secara garis besar, ada dua tujuan pemberian obat secara oral, yaitu untuk
tujuan lokal dan untuk tujuan sistemik. Efektivitas obat dari kedua tujuan
pengobatan ini dapat ditingkatkan dengan cara mengatur atau mengontrol
pelepasan obat dari tempat pelepasan obat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mendapatkan efektivitas obat yang aman dan optimum. Pada umumnya, sediaan
obat dirancang agar obat dapat dilepaskan dan diabsorpsi secepatnya, akan tetapi
ada produk obat yang dirancang untuk melepaskan obatnya secara perlahan-lahan
supaya pelepasannya lebih lama yang akibatnya akan memperpanjang efek obat.
Pada 30 tahun terahir telah dikembangkan berbagai sistem penghantaran obat
baru untuk mendapatkan suatu bentuk sediaan ideal. Sediaan ideal adalah sediaan
yang memiliki onset (waktu obat mulai memberikan efek farmakologi yang
diinginkan) yang pendek dan durasi (waktu yang diperlukan untuk berlangsungnya
efek farmakologi yang diinginkan) yang lama. Terminologi pelepasan yang dikenal
dalam sistem lepas lambat cukup banyak. Istilah baku yang digunakan dalam USP
XXII ada dua, yaitu delayed release atau lepas tunda (sediaan yang bertujuan untuk
menunda pelepasan obat sampai sediaan melewati lambung, misalnya sediaan salut
enterik) dan extended release atau pelepasan yang diperpanjang (sediaan yang
dibuat sedemikian rupa sehingga zat aktif akan tersedia selama jangka waktu
tertentu setelah obat diberikan).
Pelepasan dan pelarutan obat sangat menentukan jumlah obat yang siap
diabsorpsi. Tidak semua obat dalam bentuk terlarut dapat diabsorpsi, terutama
untuk sediaan oral. Obat sediaan oral memiliki banyak sekali faktor yang
memengaruhi jumlah obat yang akan masuk ke pembuluh darah.

1
Pada makalah ini kami akan membahas tentang perjalanan obat dalam tubuh
yang dimodifikasi dari sediaan obat peroral. Kami akan membahas dari anatomi
dan fisiologi saluran cerna, perjalanan obat dalam tubuh, pelepasan obat dari
sediaan oral yang dimodifikasi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana anatomi dan fisiologi saluran cerna?
2. Bagaimana mekanisme farmakokinetik sediaan peroral dengan pelepasan
yang dimodifikasi?
3. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi penghantaran obat dari sediaan
peroral dengan pelepasan yang dimodifikasi?
4. Bagaimana evaluasi farmasetik obat dari sediaan peroral dengan pelepasan
yang dimodifikasi?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui anatomi dan fisiologi saluran cerna
2. Mekanisme farmakokinetik sediaan peroral dengan pelepasan yang
dimodifikasi
3. Faktor-faktor yang memengaruhi penghantaran obat dari sediaan peroral
dengan pelepasan yang dimodifikasi
4. Evaluasi farmasetik obat dari sediaan peroral dengan pelepasan yang
dimodifikasi

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Pencernaan
2.1.1 Mulut

Mulut adalah bagian pertama saluran cerna yang dibatasi oleh palatum
(atas), dinding dasar mulut (bagian bawah), dan pipi (bagian samping), serta
dasar mulut bertumpu pada ligament otot (lidah). Bersamaan dengan
terjadinya proses pengunyahan secara teratur, akan dikeluarkan air liur dari
berbagai kelenjar liur yang komposisinya berbeda sesuai dengan asalnya.
Jumlah air liur yang dikeluarkan berkisar 0,5-1 liter perhari dengan keasaman
antara 6,7-7. Air liur mengandung enzim ptialin yang merupakan suatu
amilase dengan aktivitas optimum pada pH 6,7. Proses hidrolisis amilum oleh
ptialin akan dilanjutkan sekitar 30 menit di dalam lambung walaupun pH-nya
menurun dengan adanya cairan lambung.
Bagian dalam mulut ditutupi oleh lapisan mukosa yang sangat tipis,
bening dan melekat. Pada mukosa tersebut ada anyaman kapiler tight junction
yang memudahkan absorbs (penyerapan) obat peroral. Daerah lidah
divaskularisasi oleh arteria lingualis dan arteria fasialis yang merupakan
cabang arteria karotis. Pembuluh nadi balik terdiri atas vena fasialis
(kolateralnya) dan vena lingualis (terutama vena ranius) yang bergabung
membentuk vena besar dan masuk vena jugularis interna. Lekungan palatum
dialiri arteri maksilaris interna yang bermuara di vena jugularis interna.

3
Daerah vena dari mulut menuju ke jantung kemudian ke organ-organ
tubuh lainnya baru menuju ke hati. Oleh Karena itu, semua zat aktif yang
diabsorbsi lewat jalur ini tidak mengalami metabolism hepatic sebelum
didistribusikan ke seluruh tubuh. Dengan kata lain, absorbs lewat jalur ini
tidak mengalami eliminasi lintas pertama hepatic atau first fast effect.
Vaskularisasi getah bening berasal dari semua bagian mulut. Pembuluh ini
dapat mencapai limfonoduli yang tersebar, sehingga dapat membantu
absorpsi dan distribusi zat aktif.
2.1.2 Esofagus

Esofagus adalah suatu tabung berotot, panjangnya sekitar 25 cm dan


diameternya 2 cm. Esophagus dialiri oleh arteria oesophageae dan pembuluh
balik vena porta. Bagian superior dialiri oleh sistem vena cava superior.
Esofagus dimulai dari belakang rongga mulut sampai ke lambung yang
dibatasi oleh cardia lambung dan sphincter pharingo-oesophagia yang
membuka pada saat menelan selama 0,5-1 detik.
Dinding bagian dalam esophagus dilapisi mukosa tipis tanpa kelenjar
dengan epitel malfigi. Makanan yang telah dikunyah dan ditelan menuju
lambung melewati esophagus dengan dengan adanya dorongan gaya
peristaltic lapisan otot. Kontraksi bergelombang dari esophagus sepanjang
beberapa sentimeter dengan kecepatan 2-4 cm/detik. Perjalanan bahan padat
atau makanan dari pharingo-oesophagia ke cardia hanya 10 detik. Dan
menjadi 2 detik jika ditelan dengan adanya air. Oleh karena itu, tidak terjadi
proses absorpsi di esophagus, kecuali pada pemberian obat berefek lama
secara perlingual.

4
2.1.3 Lambung

Lambung (gaster atau stomach) terletak dibagian atas abdomen,


terbentang dari permukaan bawah arcus costalis sinistra sampai region
epigastrika umbilikalis. Sebagian besar lambung terletak dibawah costae
bagian bawah. Lambung mempunyai dua lubang (ostium cardiacum dan
ostium pyloricum), dua kurvatura (kurvatura major dan kurvatura minor),
serta dua dinding (paries anterior dan paries posterior). Lambung normal
orang dewasa merupakan kantong yang pada saat kosong memiliki volume
sekitar 1-1,5 liter, panjang 25 cm dan 10 cm.
Secara umum, lambung dibagi menjadi tiga bagian yaitu kardia atau
kelenjar jantung, fundus atau gastrik, dan pylorus. Kardia atau kelenjar
jantung terletak di region mulut jantung yang hanya menyekresi mukus.
Bagian atas lambung yang membentuk kantong udara disebuut fundus yang
terletak hamper di seluruh korpus. Kelenjar ini memiliki tiga tipe utama sel,
yaitu sel zimogenik atau chief cell, sel parietal, dan sel leher mukosa. Sel
zimogenik menyekresi pepsinogen, lipase dan renin. Sel parietal menyekresi
asam hidroklorida dan faktor intrinsik (diperlukan untuk absorpsi vitamin B12
dalam usus halus). Sel leher mukosa ditemukan pada bagian leher semua
kelenjar lambung. Sel ini menyekresi barrier mucus setebal 1 mm dan
melindungi lapisan lambung terhadap kerusakan oleh HCL atau autodigesti.
Bagian akhir lambung pilorus terletak pada daerah antrum pilorus yang
kelenjarnya menyekresi gastrin dan mucus.
Tebal dinding lambung sekitar 3 mm yang terdiri atas empat lapisan,
yaitu lapisan peritoneal luar, lapisan otot, lapisan submukosa, dan membran

5
mukosa. Lapisan peritoneal luar atau lapisan serosa merupakan bagian dari
peritoneum viseralis. Dua lapisan peritoneum visceral menyatu pada
kurvatura minor lambung dan duodenum, memanjang kea rah hati
membentuk omentum minus. Lipatan peritoneum yang keluar dari organ satu
menuju organ lain disebut ligamentum. Kurvatura mayor peritoneum terus ke
bawah membentuk omentum mayus.
Lapisan berotot terdiri atas tiga lapis, yaitu longitudinal, serabut sirkuler,
dan serabut oblik. Serabut longitudinal berhubungan dengan otot esofagus,
sedang serabut oblik yang dijumpai pada fundus lambung dari orifisium
kardiak membelok ke bawah melalui kurvatura minor (lengkung kecil).
Serabut sirkuler yang paling tebal terletak di pilorus serta membentuk otot
sfingter, dan berada di bawah lapisan pertama.
Lapisan submukosa yang terdiri atas jaringan areolar berisi pembuluh
darah dan saluran limfe. Lapisan mukosa yang terletak disebelah dalam, tebal,
dan terdiri atas banyak kerutan atau rugae, yang hilang bila organ itu
mengembang karena berisi makanan. Kelenjar mukosa yang tebal sangat
penting pada proses absorpsi obat. Dinding tersebut menyerupai sarang lebah
dengan adanya lipatan-lipatan.
Membran mukosa dilapisi epitelium silindris dan berisi banyak saluran
limfe. Mukosa terdiri atas empat jenis sel penghasil getah, yaitu sel utama
(chief cell), sel parietal (oxyntic), sel epitel, dan sel mukosa bening. Sel utama
yang mengeluarkan pepsin dan labferment. Sel parietal lebih kecil dari sel
utama, tidak ada di daerah pilorus dan menghasilkan ion H+ dan Cl-.
Permukaan mukosa dilapisi sel epitel yang menghasilkan mukus yang sangat
kental, sedang sel mukosa bening menghasilkan mukus yang larut.
Semua sel penghasil getah bergabung menjadi dua kelenjar utama, yaitu
kelenjar pilorus dan kelenjar fundus. Kelenjar pilorus terdiri atas sel mukosa
dan mukoida yang menghasilkan getah alkali, sedangkan kelenjar fundus
mengandung lebih banyak sel mukus, mukoida serta sel yang mengeluarkan
pepsin dan asam klorida. Pengeluaran cairan lambung terjadi karena tiga
proses, yaitu proses mekanik (kontak makanan dan dinding lambung), proses
hormonal, dan persarafan.

6
Proses mekanik terjadi karena adanya gerakan peristaltic yang
merupakan gelombang kontraksi, mulai dari fundus bagian tengah menuju
pilorus. Gerakan mulai 5-10 menit setelah makanan masuk ke lambung dan
terjadi sebnyak 4-6 gerakan setiap menit, kemudian mencapai pilorus dalam
20 detik. Pilorus terbuka dengan adanya aksi gelombang peristaltic.
Mekanisme buka tutup pilorus merupakan fungsi pH cairan duodenum
(pilorus hanya dapat membuka jika pH duodenum netral dan menutup jika pH
kembali normal).
Keasaman cairan lambung sangat bervariasi, pada lambung kosong pH-
nya mendekati 1 tetapi dengan adanya pengenceran dapat berkisar antara 0,5-
3,5. Berbeda dengan usus, pH lambung dapat berubah dari 0,5 sampai 9 sesuai
dengan kandungan lambung.
Derajat keasaman lambung tergantung pada perbandingan relatif getah
alkali yang dikeluarkan kelenjar pilorus dan getah asam yang dikeluarkan
kelenjar fundus. Cairan lambung yang dikeluarkan dengan pengaruh hormon
adalah enzim (pepsin, katepsin, kimosin, atau renin dan lipase), asam klorida
(HCL), mukus, air, faktor intrinsic, dan bifidogen.
Enzim pepsin dikeluarkan dalam bentuk tidak aktif (pro-enzim)
pepsinogen. Pepsinogen dengan adanya cairan lambung berubah menjadi
bentuk aktif (pepsin) jika pH dibawah 6. Pepsin inilah yang mengawali
metabolism protein, oksitoksin, insulin, dan lain-lain. Enzim katepsin
merupakan suatu enzim proteolitik yang bekerja optimum pada pH 3,5. Enzim
kimosin dapat mengendapkan susu dan lipase memetabolisme lemak.
Sel parietal mengeluarkan getah kental ekivalen dengan HCl 0,5 N
(maksimum HCl cairan lambung 145 mEq/l) yang selanjutnya diencerkan
oleh getah lainnya sehingga pH cairan lambung mendekati satu. Obat yang
bersifat asam lemah dapat diendapkan serta senyawa-senyawa tertentu dapat
diendapkan dengan kondisi lambung yang asam. Keasaman cairan lambung
ini merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses pelarutan,
penyerapan, dan ketersediaan hayati obat.
Mukus merupakan senyawa yang dikeluarkan oleh sel mukosa tertentu
bersamaan dengan bikarbonat. Adanya rangsangan mekanik pada mukosa

7
akan meningkatkan pembentukan mukus. Mukus berperan sebagai pendapar
yang melindungi lambung terhadap cerna diri dari pepsin, 100 ml mukus
dapat dinetralkan oleh 40 ml asam klorida. Mukus juga dapat membentuk
kompleks dengan zat-zat tertentu karena mengandung asam glukoronat dan
galaktosa. Mukus yang sangat kental ini melapisi mukosa dan kekentalannya
berkurang jika pH meningkat diatas 5. Selain mengandung getah utama,
lambung juga mengandung air yang bergerak pasif dari sel menuju lumen
lambung yang akan diserap kembali di usus halus.
Faktor intrinsic di lambung disebabkan oleh mukoprotein termolabil
yang dihasilkan sel utama. Vitamin B12 dapat diabsorpsi jika membentuk
kompleks dengan mukoprotein. Getah lambung juga mengandung bifidogen
yang merupakan senyawa spesifik golongan darah, asam polisakharida
(heparin), dan lain-lain. Lambung juga mengandung unsur-unsur mineral
seperti Cl- dari HCL, natrium, kalium, dan kalsium.
Pengosongan isi lambung terjadi dengan pembukaan pilorus.
Pengosongan lambung dipengaruhi oleh viskositas, volume, dan keasaman
lambung, juga oleh aktivitas osmotic, keadaan fisik, emosi, obat-obatan, dan
kerja. Pengosongan lambung ini diatur oleh saraf dan hormonal.
Persarafan pada lambung bersifat otonom dan simpatis. Suplai saraf
simpatis untuk lambung dihantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf
vagus. Serabut-serabut afferent simpatis menghambat pergerakan dan sekresi
lambung. Pleksus auerbach dan submukosa (meissner) membentuk persarafan
intrinsic dinding lambung dan mengoordinasi aktivitas motoric dan sekresi
mukosa lambung.

8
Suplai darah di lambung berasal dari arteri seliaka. Debit darah ke
lambung sekitar 250 ml/menit. Dua cabang arteri yang mengikuti dua lekukan
lambung. Sejalan dengan vena darah arteri menuju hati melalui vena porta.
Oleh karena itu, obat yang diabsorpsi di lambung akan menuju hati dan
mengalami metabolism (metabolism lintas pertama lewat hati). Pembuluh
getah bening di saluran cerna berasal dari jaringan submukosa dan subserosa.
Pembuluh tersebut berkumpul lagi dalam limfonoduli sekitar pembuluh arteri
besar dan dalam simpul yang lebih kecil dekat kolateral.
2.1.4 Usus Halus

1. Anatomi Usus Halus


Usus halus merupakan lanjutan dari lambung yang terdiri atas
duodenum, jejunum, dan ileum yang bebas bergerak. Diameter usus halus
beragam anatara 2-3 cm dan panjang keseluruhan usus halus antara 5-9 m.
Panjang usus akan berkurang dengan adanya regangan otot yang melingkari
peritoneum.
Duodenum relative pendek (sekitar 12 jari) yang terdiri atas beberapa
simpangan. Bagian pertama juxtapilorus yang sangat lebar dan terdiri atas
bulbus duodenalis. Kedua papilla vateri, yaitu bagian mulut lebar, di sini
ductus pancreaticus (wirsungi) keluar dari pankreas membawa getah
pankreas. Ductus choledochus merupakan penghubung saluran empedu dari
hati (ductus hepaticus) dan saluran kandung empedu (ductus cyticus) yang
menyalurkan empedu ke saluran cerna. Lebih ke bawah lagi adalah papilla
vateri yang merupakan saluran kedua getah pankreas yaitu ductus
pancreaticus accessories (santorini). Jejunum dan ileum panjangnya sekitar

9
6 m yang terbentuk atas 14-15 lipatan. Bagian ini bentuknya pipih jika tidak
berisi, menjadi seperti tabung bila berisi makanan.
2. Histologi
Usus halus secara histologi terdiri atas 5 lapisan melingkar. Lapisan yang
paling dalam lapisan mukosa yang sangat berperan pada absorpsi obat.
Mukosa usus halus berbentuk lipatan-lipatan yang disebut valvulae
conniventes. Bagian ini penuh dengan vili yang tingginya sekitar 0,75-1 mm
dan selalu bergerak. Luas permukaan mukosa menjadi besar dengan adanya
vili-vili ini, yaitu 40-50 m2. Luas permukaan usus halus menurut Wilson T.H.
adalah 3.300 cm2, adanya valvulae conniventes meningkatkan luas
permukaan menjadi tiga kalinya dan dengan adanya vili menjadi 10 kali.
Adanya mikrovili yang menyerupai sikat berbulu halus menambah luas
permukaan menjadi 20 kali lipat, sehingga secara keseluruhan luas
permukaan yang dapat berperan dalam absorpsi menjadi 600 kali luas
permukaan dasarnya.
Usus halus, selain berfungsi untuk mencerna makanan (jejunum bagian
pertama) karena mengeluarkan enzim, juga berfungsi untuk absorpsi (jejunum
bagian kedua dan ileum). Sel enterocyte berbentuk silinder, ramping, dan
pilar-pilarnya tersusun seperti lempeng. Dua jenis sel yang menghasilkan
getah, yaitu sel goblet menghasilkan mukus untuk melindungi mukosa dari
getah lambung dan enzim proteolitik dan sel enterochromaffine yang
menghasilkan serotonin untuk motilitas usus. Kelenjar tubulus Lieberkuhn
(sel Paneth yang dipenuhi granul proenzim) terdapat di antara vili-vili yang
berfungsi sebagai penghasil getah. Proses penggetahan di usus bersumber
pada pankreas, kantong empedu, dan usus.

10
3. Fisiologi Usus
a. Penggetahan Pankreas dan Empedu
Getah eksokrin pankreas dari acini secretoris disalurkan ke bagian kedua
duodenum. Cairan kental getah pankreas ini mengandung musin dan
bikarbonat. (80-120) mEq/l sehingga pH-nya sekitar 8-9. Getah pankreas
hanya dikeluarkan jika ada makanan masuk ke mulut (reflex neurogenic) dan
terjadi kontak dengan geah kimus (chime acid) dari lambung, sehingga pH
menjadi 5-6 dalam duodenum bagian pertama jejunum. Pengeluaran getah
imus dikendalikan oleh aksi hormone sekretin dan pankreosimin. Getah
pankreas dikeluarkan sebanyak 500-1.000 ml/24 jam yang mengandung
enzim proteolitik dalam bentuk tidak aktif menjadi aktif dengan adanya enzim
di cairan usus. Enzim aktif yang terdapat di usus adalah amilase, lipase,
kolesterol esterase, emzim proteolitik, tripsin, kimotripsin, karboksi
peptidase, ribonuclease, dan deoksinuklease.
Getah empedu berupa cairan kuning, berlendir, kental dengan pH 6 dan
berada pada kantung empedu di antara waktu makan, ketika berada di
duodenum pH-nya menjadi 7-7,5. Getah tersebut dikeluarkan secara
berkelanjutan setiap 30 menit selama 2-3 jam sampai 5 jam setelah makan.
Pengeluaran getah diatur oleh persarafan dan hormonal (hormone
cholecystochinin) ketika terjadi kontak antara lemak dan ekstrak daging pada
duodenum. Getah empedu terdiri atas musin, garam empedu, pigmen empedu
(bilirubin yang mewarnai empedu), serta asam lemak kolesterol dan lesitina
yang teremulsi oleh garam empedu.
Garam empedu merupakan turunan asam kolat terkonjugasi dengan
taurine (asam taikolat) atau dengan glisin (asam glukolat) sangat penting
dalam proses absorpsi. Garam empedu ini dapat menurunkan tegangan
permukaan cairan sekitarnya dan membentuk emulsi, karena memiliki gugus
hidrofil dan lipofil. Sifat inilah yang memungkinkan kontak lebih lama antara
enzim dan substrat hidrofob, sehingga dapat meningkatkan aksi lipase, tripsin,
dan amilase. Getah empedu juga diperlukan pada absorpsi vitamin yang tidak
larut lemak seperti vitamin A, D, E, dan K.

11
Usus halus mendapat aliran darah dari pembuluh nadi (arteri) yang
berasal dari ketiga cabang aorta abdominal dan kolateral, sedang pembuluh
balik (vena) berada pada lintasan yang hampir sama dengan arteri. Arteri di
saluran cerna tersusun seperti anyaman yang sejajar dengan dinding usus.
Pembuluh darah yang pendek keluar saling berhubungan satu sama lainnya di
bawah mukosa. Kapiler yang keluar dari jonjot-jonjot usus saling
berhubungan, kemudian keluar berupa pembuluh pendek yang menyebar
dalam atap pembuluh halus. Pembuluh tersebut menuju vena iliaka dan vena
jejunalis, kemudian bersatu dengan vena mensentrika superior menuju vena
porta.
Semua darah vena yang mengalir dari usu mengumpul di vena porta dan
menuju ke hati. Jumlah aliran darah pada usus halus sekitar 900 ml/menit, dan
pada saat puasa serta pada penggunaan vasokonstriktor aliran darah menjadi
lambat, dan jika terjadi pengurangan jumlah aliran darah maka jumlah
absorpsi akan berkurang. Hal ini terjadi karena adanya perubahan konsentrasi
di kedua sisi membrane biologis yang akhirnya terjadi hambatan terhadap
transport aktif karena kandungan oksigen berkurang.
Ada dua jaringan pembuluh getah bening, yaitu submukosa dan
subserosa. Pembuluh mukosa tersebut mengaliri usus halus dalam ganglion
satelit dari arteri mesenterika, bergabung dengan cesterna Pecquet dan ductus
thoracicus menuju vena suvclavia sinistra selanjutnya ke vena cava superior.
Gerakan jonjot-jonjot usus mencerminkan kandungan pembuluh getah bening
menuju kanal yang menyatu. Usus halus sangat berperan pada proses
absorpsi, karena adanya jonjot-jonjot di usus yang memiliki luas permukaan
vena caliper dan chylifere.
2.1.5 Usus Besar
Valvula ileocaecal atau valvula Bauchin adalah pemisah antara usus
besar (kolon) dengan ileum. Usus besar panjangnya 1,4-1,8 m dengan
diameter kearah distal yang semakin membesar. Bagian usus besar yang
menaik (kolon asenden) panjangnya 15 cm mulai dari sekum dengan diameter
6 cm, bagian yang membesar dan usus buntu. Bagian melintang (transversal)
panjangnya 50 cm dengan diameter 4-5 cm, bagian ini mulai dari sudut

12
hepatic (fleksura hepatika) menuju limpa (lien) yang sebagiannya menempel
di lambung. Kolon ileosekal menuju kolon pevinal atau sigmoid.
Usus besar merupakan organ tempat terjadinya absorpsi air, serta tempat
penampung dan pengeluaran feses. Usus besar terdiri atas lapisan serabut
longitudinal atau sirkuler dan mukosa yang kaya dengan limpfoid tebal dan
berlipat, tetapi tidak memiliki valvulae conniventes dan vili. Pada usus besar
terdapat sel-sel pipih bergaris, sejumlah sel goblet (penghasil mukus) dan
glandula lieberkuhn.

Pada usus besar penggetahan sangat lemah, pengeluaran enzim terjadi


secara mekanik dan proses pencernaan oleh enzim hampir tidak ada serta
tidak ditemukan lagi cairan empedu. Getah diusus besar merupakan cairan
jernih yang sangat kental dengan konsentrasi mukus yang tinggi. Penyerapan
kembali air di usus besar mengakibatkan terjadinya pengentalan isi usus
sehingga feses di kolon sigmoid menyerupai pasta.
Pada bagian sekum (bagian akhir ileum) pH-nya sekitar 7,5-8 dan banyak
terdapat flora mikroba. Clostridium tertentu menghasilkan selulose yang
dapat menguraikan lapisan selulosa dengan sangat aktif. Pada proses
fermentasi tersebut dihasilkan karbohidrat yang mngatalisasi pelepasan asam
formiat, asetat, laktat, propionate, dan butirat. Adanya penurunan pH di usus
besar bagian awal diiringi peningkatan berkembangnya flora pembusuk yang
menghasilkan amoniak dan basa amina.
Isi usus dapat bergerak karena adanya gerakan peristaltik dan
antiperistaltik caecum dan usus besar sebelah kanan. Kontraksi usu besar

13
diiringi dengan kontraksi segmen sehingga mengalirkan isi usus. Kolon
transfersum dikosongkan 2-3 kali setiap hari ke dalam kolon desenden.
Gerakan peristaltik ini dikontrol oleh saraf sedangkan segmentasi di control
kimus. Menurut Bonflis perpindahan isi usus besar sebelah kanan
berlangsung selama 6-9 jam dan jika terjadi stagnasi kembali berhenti selama
6-10 jam.
Usus besar dialiri oleh arteria mesentrikum superior dan inferior, serta
pembuluh nadi vena mesentrikum superior (dari sekum dan usus sebelah
kanan) serta inferior (dari sigmoid). Rangkaian pembuluh getah bening yang
mengaliri usus besar adalah submukosa dan subaerosa. Jaringan ini
dikeluarkan oleh koliaka submukosa.

2.2 Pelepasan, Pelarutan, Difusi, dan Absorpsi Obat Peroral


Suatu sediaan obat, bila diberikan secara oral untuk dapat diabsorpsi di saluran
cerna, maka obat tersebut harus berada dalam bentuk terlarut. Apabila obat tersebut
sudah dalam bentuk larutan maka obat akan segera berdifusi dengan cairan lambung
dan mengalami absorpsi ke pembuluh darah. Tergantung dari sifat fisika kimia
obatnya: apakah absorpsi di lambung atau di usus halus. Obat yang berada dalam
bentuk sediaan suspensi jika masuk ke dalam lambung maka obat yang berada
dalam bentuk terlarut akan berdifusi ke cairan lambung (pelepasan dari bentuk
sediaan), kemudian diabsorpsi. Bentuk partikel padatnya ada yang larut dalam
cairan pembawa dan berdifusi ke cairan lambung, dan ada juga yang dilepaskan

14
langsung ke cairan lambung dan larut dalam cairan lambung kemudian diabsorpsi.
Absorpsi bisa terjadi di lambung atau di usus halus, tetapi karena luas permukaan
usus jauh lebih besar dari lambung, kebanyakan obat diabsorpsi di usus halus.
Apabila bentuk sediaannya emulsi, karena oabtnya larut minyak dan berada dalam
fase maka cairan emulsi (fase luarnya) akan bercampur dengan cairan lambung dan
obatnya akan berdifusi ke cairan lambung, kemudian terjadi absorpsi.
Obat yang diberikan oral dalam bentuk padat dapat berupa serbuk, granul, pil,
mikrokapsul, kapsul, tablet, tablet salut, dan lain-lain. Obat dalam bentuk campuran
serbuk akan mengalami proses melarut di dalam cairan lambung, kemudian
menempel di permukan lambung dan diabsorpsi. Ketika obat dalam bentuk granul
dan pil bertemu dengan cairan lambung, sediaan tersebut akan mengalami
deagregasi menjadi partikel-partikel halus padat dan selanjutnya akan mengalami
proses pelarutan dalam cairan lambung. Sediaan mikrokapsul jika bertemu dengan
cairan lambung maka obat atau zat aktifnya ada yang dilepas dan larut di lambung
atau ada yang diusus tergantung tujuan pembuatannya. Pada akhirnya, setelah larut
dalam cairan lambung atau cairan usus, obat akan mengalami absorpsi baik di
lambung atau di usus.
Apabila obat yang diberikan peroral dalam bentuk kapsul, tahap pertama yang
terjadi adalah cangkang akan larut di cairan lambung kemudian granul yang terlepas
akan teragregasi menjadi partikel zat aktif yang halus. Proses selanjutnya adalah
proses larut yang dapat terjadi dari bentuk granul dan dari bentuk partikel halus, di
mana konstanta kecepatan melarut dari bentuk granulnya.
Obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet, ketika ditelan bersama air
dan masuk ke lambung akan mengalami proses desintegrasi menjadi granul
kemudian proses deagregasi menjadi partikel yang halus. Proses melarut terjadi
pada saat masih berbentuk tablet, bentuk granul dan bentuk partikel halus.
Kecepatan melarut dari tablet lebih lambat dibandingkan dengan kecepatan obat
dari bentuk granul dan jauh lebih lambat dibandingkan bentuk halus obatnya. Obat
dalam bentuk terlarut kemudian akan diabsorpsi masuk ke dalam pembuluh darah.
Apabila obat diberikan dalam bentuk tablet salut dan kapsul, tahap pertama
yang akan dialaminya adalah proses pelarutan penyalut tablet (untuk tablet salut)
dan proses pelarutan cangkang kapsul. Tahap selanjutnya yang terjadi adalah proses

15
desintegrasi tablet menjadi granul dan deagregasi menjadi pertikel halus, kemudian
menjadi proses melarut dengan tahap seperti pada tablet biasa. Tahap yang terjadi
pada sediaan kapsul jika ditelan adalah cangkang kapsul larut dalam saluran cerna
lalu granul di dalam kapsul akan mengalami proses deagregasi dan proses melarut.
Berbeda dengan tablet salut enteric, sediaan ini dibuat dengan tujuan untuk
dapat tahan dari asam lambung dan akan melarut di usus. Obat yang tidak tahan
terhadap asam lambung akan mengalami peruraian atau ionisasi, biasanya diberikan
dalam bentuk tablet salut enteric. Tablet tersebut tidak akan mengalami proses
apapun selama berada di lambung, baru ketika sudah sampai di usus akan
mengalami proses desintegrasi dan deagregasi serta proses melarut dan proses
absorpsi.

2.3 Perjalanan Obat Peroral Dalam Tubuh


Proses absorpsi untuk obat yang diberikan secara oral selain tergantung pada
sifat fisika kimia obat, formula, metode pembuatan sediaan, dan bentuk sediaan
yang diberikan, juga tergantung pada anatomi fisiologi tempat terjadinya absorpsi
(saluran cerna), dan mekanisme absorpsi. Absorpsi obat dapat tejadi di sepanjang
saluran cerna asal obat tersebut dapat diserap. Penyerapan obat beragam menurut
bagian saluran cerna. Pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana absorpsi obat di
saluran cerna, setelah dibahas pada bagian sebelumnya tentang anatomi fisiologis
saluran cerna dan bagaimana pelepasan dan pelarutan dari bentuk sediaan.
2.3.1 Absorpsi Obat di Rongga Mulut
Rongga mulut memiliki karakteristik yang cocok untuk absorpsi obat-
obat tertentu. Oleh karena itu, ada obat yang diberikan secara sublingual dan
perlingual. Rongga mulut memiliki epitel berbentuk feriselular tipis,
keasaman antara pH 6,7 sampai 7, serta kaya vaskularisasi sehingga
memungkinkan penembusan yang cepat menuju pembuluh darah. Aliran
darah eferen melalui vena maksilaris dan sublingualis menuju vena jugularis
eksterna dengan membawa obat. Darah vena dari mulut menuju ke jantung
kemudian ke organ-organ tubuh lainnya dan ada yang sampai ke hati.
Absorpsi lewat jalur ini tidak mengalami eliminasi lintas pertama hepatic atau
‘first fast effect’. Vaskularisasi getah bening berasal dari semua bagian mulut.

16
Pembuluh ini dapat mencapai limfonoduli yang tersebar sehingga dapat
membantu absorpsi dan distribusi obat tertentu. Semua mekanisme absorpsi
dapat terjadi di sepanjang saluran cerna, termasuk di rongga mulut. Obat yang
diserap di rongga mulut memiliki beberapa keuntungan, akibat dari
karakteristik yang dimiliki oleh anatomi dan fisiologis rongga mulut. Obat
yang diasbsorpsi di rongga mulut dapat terhindar dari adanya perubahan pH
yang berbeda-beda seperti di lambung dan usus, terhindar dari pengaruh
enzim dan flora bakteri, serta terhindar dari kemungkinan pembentukan
kompleks dengan senyawa makanan yang dapat mengubah aktivitas dan atau
mengubah konsentrasi obat. Oleh karena itu, konsentrasi obat yang mencapai
darah lebih tinggi dari konsentrasi setelah penyerapan pada bagian bawah
saluran cerna.
Walaupun demikian, tidak semua obat dapat diabsorpsi di rongga mulut.
Oleh karena rasa sejumlah senyawa obat tidak enak untuk berada lama-lama
di rongga mulut. Hanya beberapa obat yang bisa diberikan sublingual, seperti
hormone kelamin dari steroid tertentu yang dirusak di saluran cerna, dan
nitrogliserin pada pemberian angina pectoris. Dosis nitrogliserin kecil sekali,
sehingga jika diberikan secara oral maka di lambung akan mengalami
pengenceran oleh cairan lambungdan usus yang tidak akan menghasilkan
kadar yang dapat diandalkan untuk terjadinya absorpsi, baik di lambung
maupun di usus. Selain daripada itu, nitrogliserin dapat dimetabolisme di hati
sehingga obat yang mencapai reseptor tempat bekerjanya obat menjadi
berkurang (terjadi eliminasi lintas pertama atau first past effect).
2.3.2 Absorpsi Obat di Lambung
Lambung merupakan organ kedua dari saluran cerna yang dilewati oleh
obat setelah diberikan secara oral. Obat dapat diabsorpsi di lambung selain
karena sifat fisika dan kimia obat dan bentuk sediaan yang diberikan juga
disebabkan karena karakteristik yang dimiliki oleh lambung itu sendiri.
Lambung mempunyai fungsi sebagai motoric dan sekretorik. Vaskularisasi
permukaan lambung bagian dalam untuk proses absorpsi obat cukup terbatas
jika dibandingkan dengan usus, sehingga jumlah yang diabsorpsi sedikit.
Suplai darah di lambung berasal dari arteri seliaka dengan debit darah ke

17
lambung sekitar 250ml/menit. Dua cabang arteri yang mengikuti dua lekukan
lambung, sejalan dengan vena darah arteri menuju hati melalui vena porta,
sehingga darah akan mengaliri lambung. Oleh karena itu obat yang diabsorpsi
di lambung akan menuju hati dan mengalami metabolisme sebelum
didistribusikan ke seluruh tubuh (metabolism lintas pertama lewat hati).
Pembuluh getah bening di saluran cerna berasal dari jaringan submukosa dan
subserosa. Pembuluh tersebut berkumpul lagi dalam limfonoduli sekitar
pembuluh arteri besar dan dalam simpul yang lebih dekat kolateral.
Absorpsi obat di lambung sangat dipengaruhi oleh keadaan lambung,
apakah lambung dalam keadaan kosong atau penuh. Pada saat saluran cerna
dalam keadaan istirahat, stringer pylorus agak terbuka sehingga obat yang
diberikan peroral dapat melewati celah tersebut dan langsung masuk ke usus
halus untuk diserap di usus halus. Keasaman cairan lambung sangat
bervariasi, pada lambung kosong pH-nya mendekati 1, tetapi dengan adanya
pengenceran dapat berada berkisar antara 0,5 sampai 3,5. Berbeda dengan
usus, pH lambung dapat berubah dari 0,5 sampai 9 sesuai dengan kandungan
lambung. Pada kondisi patologis tertentu, pH lambung berbeda-beda antara
0,5-6,8. Perbedaan pH ini menentukan jumlah obat yang berada dalam
benetuk terionisasi dan tidak terionisasi yang berada di lambung yang akan
menentukan jumlah obat yang dapat diabsorpsi.
Pada keadaan lambung kosong obat akan diabsorpsi lebih cepat dengan
cara filstrasi atau difusi pasif. Air dan molekul berukuran kecil akan dengan
mudah masuk ke peredaran darah. Untuk senyawa yang memiliki derajat
ionisasi rendah, senyawa ini memiliki bentuk tak terionisasi yang lebih larut
dalam lemak penyerapannya akan lebih besar. Pada saat lambung kosong pH
nya asam (1,5-3), sehingga bahan elektrolit yang berifat asam lemah dapat
mencapai peredaran darah dengan cepat, sedang alkaloid tidak dapat
diabsorpsi sama sekali.
Pada saat lambung penuh (berisi makanan) pH lambung sesuai dengan
isi lambung tersebut dapat bervariasi dari 3 sampai 8. Obat yang berada dalam
lambung lama akan berdifusi lebih lambat, karena adanya pengenceran obat
dalam lambung dan kontak dengan permukaan tempat absorpsi terbatas yang

18
akibatnya absorpsi ke dalam pembulu darah lebih sedikit. Hal ini akan
menguntungkan untuk obat yang mengiritasi lambung, sehingga biasanya
obat tersebut diberikan setelah makan.
Pemberian obat dengan cara menelan obat merupakan pilihan pertama
dari berbagai cara pemberian obat. Obat yang tidak efektif apabila diberikan
secara oral dan jika obat membutuhkan waktu onset yang cepat biasanya tidak
diberikan secara oral. Obat yang tidak efektif jika diberikan secara oral adalah
obat yang dapat terurai oleh adanya suasana cairan yang dikandung oleh
lambung dan usus dapat terurai oleh enzim-enzim tertentu.
2.3.3 Absorpsi Obat di Usus Halus
Anatomi dan fisiologis usus memiliki karakter yang lebih
menguntungkan pada penyerapan obat. Mukosa usus halus berbentuk lipatan-
lipatan, terutama di duodenum dan jejunum yang disebut valvulae
conniventes. Bagian ini penuh dengan vili dan adanya mikrovili yang
menyerupai sikat berbulu halus menambah besar luas permukaan. Permukaan
usus yang sangat luas inilah yang menyebabkan penyerapan obat yang paling
banyak terjadi di usus.
Usus halus mendapat aliran darah dari pembuluh nadi (arteri) yang
berasal dari ketiga cabang aorta abdominal dan kolateral, sedang pembuluh
balik (vena) berada pada lintasan yang hampir sama dengan arteri. Arteri di
saluran cerna tersusun seperti anyaman yang sejajar dengan dinding usus.
Pembuluh darah yang pendek keluar saling berhubungan satu sama lainnya
dibawah mukosa. Kapiler yang keluar dari jonjot-jonjot usus saling
berhubungan kemudian keluar berupa pembuluh pendek yang menyebar

19
dalam atap pembuluh halus. Pembuluh tersebut menuju vena iliaka dan vena
jejunalis, kemudian bersatu dengen vena mesentrika superior menuju vena
porta. Gerakan jonjot-jonjot usus mencerminkan kandungan pembuluh getah
bening menuju kanal yang menyatu. Usus halus sangat berperan pada proses
absorpsi, karena adanya jonjot-jonjot di usus yang memiliki luas permukaan
vena caliper dan chylifere.
Semua darah vena yang mengalir dari usus halus sekitar 900ml/menit,
pada saat puasa dan pada saat penggunaan vasokonstriktor aliran darah
menjadi lambat. Jika terjadi pengurangan jumlah aliran darah maka jumlah
absorpsi akan berkurang. Hal ini terjadi karena adanya perubahan konsentrasi
di kedua sisi membrane biologis yang akhirnya terjadi hambatan terhadap
transport aktif karena kandungan oksigen berkurang.
Kondisi pH serta tebal dinding yang beragam di setiap bagian
menyebabkan perbedaan absorpsi yang cukup besar pada molekul obat
terutama molekul asam yang penyerapannya dipengaruhi oleh pH lambung.
Bagian pertama duodenum memegang peranan sangat penting pada proses
absorpsi Fe dan Kalsium serta gula dan asam amino serta pengaliran air dan
elektrolit. Adanya getah empedu dan getah pancreas yang dapat melarutkan
lemak yang akan mempermudah absorpsinya. Bagian usus halus yang lain
merupakan tempat terjadinya absorpsi dengan difusi pasif sejumlah senyawa
larut lemak atau bagian tidak terionkan (lipofil). Konsentrasi obat yang tinggi
pada lubang usus akan meningkatkan gradient konsentrasi, sehingga difusi
pasif terjadi pada bagian pertama usus halus, usus bagian bawahnya.
Transport aktif terjadi juga di bagian usus halus dengan bantuan carier
atau pembawa. Jumlah carrier di usus terbatas obat dapat juga terjadi
kejenuhan, karena carrier telah berikatan semua dengan senyawa obat atau
senyawa obat yang lain atau makanan, sehingga absorpsi dengan transport
aktif yang terbatas. Absorpsi molekul yang tidak larut juga terjadi di bagian
ileum dengan mekanisme pinositosis.
2.3.4 Absorpsi Obat di Usus Besar
Usus besar dialiri oleh arteri mesentrika superior dan inferior, serta
pembuluh nadi vena mesentricum superior (dari sekum dan usus sebelah

20
kanan) dan inferior. Rangkaian pembuluh getah bening yang mengaliri usus
besar adalah submukosa dan subserosa. Jaringan ini dikeluarkan oleh koliaka
submukosa.
Obat diabsorpsi secara pasif dengan rute parasellular atau rute transelular
di usus besar. Absorpsi transelular terjadi ketika obat yang terutama bersifat
lipofilik melewati sel, sedang absorpsi paraselular adalah transpor obat
meulalui tight function yang terjadi pada semua obat hidrofililk. Waktu transit
obat yang lama di usus besar (kolon) dengan luas permukaan yang kecil
memungkinkan obat untuk tinggal dan kontak lebih lama dengan mukosa
dibandingkan di usus halus. Akibatnya kandungan kolon menjadi kental
akibat absorpsi air yang progresif. Hal ini menyebabkan laju disolusi
berkurang, proses difusi pada pelarutan obat melalui mukosa menjadi lambat.
Sistem penghantaran obat spesifik di kolon hanya untuk pemberian obat
yang terdegradasi oleh enzim di lambung dan usus seperti protein dan
peptidase, serta dapat juga menghantarkan senyawa dengan bobot molekul
rendah yang digunakan untuk pengobatan penyakit kolon atau usus halus
seperti colitis ulcer, diare, dan kanker kolon. Secara klinis bioavailabilitas
peptide dapat dicapai jika peptide dapat dilindungi dari asam dan enzim yang
ada di lambung dan usus bagian atas. Kolon kaya dengan jaringan limfoid,
jadi absorpsi dalam sel mast mukosa kolon mengakibatkan produk local
antibody yang cepat serta efisien untuk penghantaran vaksin.
2.3.5 Absorpsi Obat yang Diberikan Peroral
Obat dari pembuluh darah saluran cerna akan dibawa aliran darah menuju
hati. Obat dari hari hati melalui vena hepatic menuju serambi kanan (atrium)
jantung, bilik kanan jantung dibawa arteri pulmonalis menuju paru-paru,
kemudian melalui vena pulmonalis kembali jantung serambi kiri, ke bilik kiri
(ventrikel), lalu diedarkan ke seluruh jaringan tubuh. Jadi obat yang
diabsorpsi dari saluran cerna sebelum didistribusi ke seluruh tubuh akan
dibawa ke hati terlebih dahulu dan di hati akan mengalami metabolism. Baru
setelah dimetabolisme obat aktif dan metabolitnya akan didistribusikan ke
seluruh tubuh.

21
Obat yang diberikan peroral di dalam tubuh akan mengalami proses
LADME, yaitu liberasi (pelepasan obat dari bentuk sediaannya), absorpsi,
distribusi, metabolism, dan ekskresi. Obat yang telah diabsorpsi dan masuk
ke pembuluh darah akan dibawa ole darah ke seluruh tubuh untuk
didistribusikan. Distribusi selain tergantung pada aliran darah juga tergantung
pada karakteristik fitokimia obat. Jika dilihat dari perfusi aliran darah ke
jaringan, mala ada distribusi obat fase pertama dan fase kedua. Fase pertama
terjadi segera setelah penyerapan ke organ yang perfusinya sangat baik seperti
jantung, hati, ginjal, dan otak. Fase kedua mencakup jaringan yang perfusinya
tidak sebaik organ fase satu, yaitu otot, visera, kulit, dan jaringan lemak.
Distribusi obat adalah proses dimana obat secara reversibel
meninggalkan aliran darah dan memasuki interstitium (cairan ekstrasel) dan
atau sel-sel jaringan. Komponen cairan tubuh jumlahnya sekitar 60% bobot
badan, yang terdiri atas cairan intraselular 35%, ekstraselular 4%, cairan celah
jaringan 12%, cairan tulang 4%, dan lumen 1,5%. Pendistribusiannya obat
dari plasma ke cairan ekstraseluler tergantung pada aliran darah,
permeabilitas kapiler, afinitas pengikatan obat melewati membran, ikatam
obat dengan protein plasma, serta ikatan obat dengan jaringan lain. Kecepatan
distribusi obat ke jaringan dibatasi oleh kecepatan perfusi atau kecepatan
difusi berbanding lurus kecepatan absorpsi. Kecepatan perfusi obat ke paru-
paru adalah 10ml/menit ml paru, perfusi ke otot 0,025ml/menit ml otot. Pada
distribusi obat yang tidak kalah pentingnya harus diperhatikan , adalah faktor
yang berhubungan dengan distribusi obat, seperti perfusi darah melalui
jaringan, adanya perbedaan konsentrasi obat, pH lingkungan, adanya ikatan
obat dengan makromolekul, koefisien partisi, mekanisme transport aktif, ada
tidaknya sawar serta besarnya fisikokimia kapiler, struktur kapiler yang
beralasan untuk melewatkan molekul dari sirkulasi sistemik ke cairan
intestinal serta adanya reseptor.
Proses terjadi selanjutnya setelah obat yang sudah diabsorpsi dan berada
di pembuluh darah, adalah proses yang sangat dipengaruhi hanya oleh sifat
fisika kimia obat itu sendiri, sedangkan faktor cara pemberian, bentuk sediaan
dan formula tidak berpengaruh lagi. Oleh karena itu suatu obat yang diberikan

22
dengan cara pemberian dan bentuk sediaan yang berbeda, maka obat tersebut
akan didistribusikan ke tempat yang sama. Obat didistribusikan ke darah
menurut Schanker akan terikat dengan reseptor maka akan muncul efek
farmakologi, sedang jika obat terikat dengan reseptor atau depot tidak akan
menimbulkan efek farmakologi. Ikatan antara obat dengan acceptor maupun
reseptor sifatnya reversibel, sedang jika obat berikatan dengan enzim sifatnya
tidak reversibel dan akan menghasilkan metabolit aktif atau tidak aktif.
Obat dapat terakumulasi di sel jaringan karena ditransport aktif atau lebih
sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein, fosfolipid,
atau nucleoprotein. Seperti pada penggunaan kronis kuinakrin akan
menumpuk di sel hati. Jaringan lemak dapat berlaku sebagai reservoar yang
penting untuk obat larut dalam lemak seperti thiopental. Protein plasma,
seperti albumin plasma, asam ɑ1 glikoprotein, tulamg, cairan transelular dan
saluran cerna dapat berfungsi sebagai reservoar.

Obat Sel Jaringan yang Berikatan dengan Obat


Kuinakrin Sel hati
Tiopental Jaringan lemak
Obat asam Albumin plasma
Logam berat (missal:Pb) Tulang
Obat basa lemah Cairan transselular: asam lambung
Sediaan lepas lambat peroral Saluran cerna

Redistribusi obat dari tempat kerjanya ke jaringan lain merupakan faktor


yang dapat menghentikan kerja obat. Hal ini terjadi pada obat yang sangat
larut lemak seperti tiopental. Distribusi ke sistem saraf pusat (SSP) sulit
karena harus melewati sawar otak. Obat yang sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk ion seperti ammonium kuartener atau penisilin dalam keadaan normal
tidak dapat masuk ke otak. Penisilin dosis besar dapat masuk keotak hanya
pada radang otak karena permeabilitasnya meningkat di tempat radang. Sawar
uri yang memisahkan darah ibu dan janin terdiri atas sel epitel vili dan sel
endotel kapiler janin, tidak berbeda dengan sawar saluran cerna. Oleh karena

23
itu semua obat oral yang diberikan pada ibu akan masuk ke sirkulasi janin dan
distribusi obat dalam tubuh ibu dan janin mencapai keseimbangan paling
cepat 40 menit.
2.3.6 Metabolisme dan Ekskresi Obat yang Diberikan Peroral
1. Metabolisme Obat yang Diberikan Peroral
Obat yang diberikan peroral melalui mulut, akan melalui saluran cerna
kemudian diabsorpsi di saluran cerna dan masuk ke pembuluh darah lalu

didistribusikan ke seluruh tubuh, dimetabolisme dan diekskresi. Proses


metabolisme obat peroral dapat terjadi mulai di saluran cerna sebelum
diabsorpsi ke pembuluh darah dan dapat juga setelah mengalami absorpsi di
hati. Obat yang diabsorpsi dari saluran cerna akan ditransportasi oleh darah
menuju hati baru didistribusi ke seluruh tubuh. Berbagai enzim banyak berada
di hati sehingga obat akan mengalami metabolism terlebih dahulu di hati
sebelum didistribusikan ke seluruh tubuh. Oleh karena itu jika akan
memberikan obat peroral harus dipertimbangkan akan mengalami
metabolisme lintas pertama (first past effect).
Metabolisme atau biotransformasi obat adalah proses perubahan struktur
kimia obat yang terjadi didalam tubuh dengan bantuan enzim. Senyawa obat
akan diubah menjadi senyawa yang lebih polar sehingga kurang laut dalam
lemak dan lebih mudah larut dalam air yang akibatnya akan lebih mudah
untuk diekskresi melalui ginjal. Reaksi biokimia yang dapat terjadi, yaitu fase
I saja, fasa II saja dan atau I dan fasa II. Enzim yang berperan pada proses
metabolism adalah enzim mikrosom yang terdapat pada reticulum
endoplasma dan enzim nonmikrosom. Kedua enzim ini terdapat paling

24
banyak di hati tetapi ada juga di ginjal, epitel saluran cerna yang dihasilkan
flora usus. Enzim mikrosom mengkatalis reaksi konjugasi glukuronid,
sebaian reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis.
Reaksi fase I atau reaksi fungsionalisasi meliputi reaksi oksidasi, reduksi
dan hidrolisis. Reaksi oksidasi umumnya terjadi pada senyawa yang memiliki
gugus fungsi OH, COOH, NH2, dan SH. Seyawa tersebut berupa senyawa
golongan alcohol, aldehid, senyawa aromatic, olifen atau tidak jenuh,
senyawa alil (C-ɸ), imin (Cɑ-C=o), C-alifatik atau alisiklik, C-heteroatom:
CN aromatis atau alifatik, N-dan O dealkilasi, deaminasi pada senyawa
aminprimer dan sekunder, pembentukan N-Oksida, N-hiroksilasi, C-S (S
dealkilasi), Suldoksidasi, dan desulfurasi. Reaksi oksidasi biasanya dikatalis
oleh enzim mikrosom (sitokrom P450). Reaksi terjadi di mitokondria, plasma
sel hati serta jaringan lain yang dikatalis oleh enzim alcohol dan aldehid
dehydrogenase, xantin oksidase, tiroksin hidroksilase dan monoamine
oksidase.
Reaksi reduksi terjadi pada senyawa yang mengandung gugus aldehid,
keton dan gugus nitro, sedangkan reaksi hidrolisis terjadi pada senyawa ester,
amida dan hidrasi epoksida. Reaksi reduksi dikatalis oleh enzim mikrosom
dan nonmikrosom. Reaksi ini sering dikatalis oleh enzim flora usus dalam
lingkungan usus anaerob. Reaksi hidrolisis dikatalis oleh enzim esterase
nonspesifik di hati, plasma, saluran cerna dan di tempat lain serta enzim
amidase di hati.
Reaksi fase II atau reaksi sintesis berupa reaksi konjugasi antara obat atau
metabolit dengansubstrat endogen, seperti glukuronat, sulfat, asetat, atau asa,
amino. Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan lebih mudah diekskresi.
Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi dikenal dengan MFO (mixed-
function oxidase atau monooksigenase) dengan sitokrom P450 sebagai
komponen utamanya. Reaksi yang dikatalis oleh MFO adalah reaksi N- dan
O-dealkilasi, hidrolisasi cincin aromatic dan rantai sampingnya, deaminasi
pada senyawa amin primer dan sekunder. Metabolit utama dari obat yang
mempunyai gugus fenol, alcohol atau asam karboksilat adalah glukuronid.
Metabolit ini biasanya tidak aktif dan akan diekskresi melalui ginjal dan

25
empedu. Glukuronid yang diekskresi empedu dapat dihidrolisis oleh enzim β
glukuronidase yang dihasilkan bakteri usus dan obat yang dibebaskan dapat
diserap kembali. Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat.
Reaksi glukuronidasi dikatalis oleh beberapa enzim glukuronil-transferase.
Beberapa enzim mikrosom dan nonmikrosom dapat dirangsang atau
dihambat oleh aktivitas senyawa tertentu yang ada di lingkungannya.
Senyawa ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi
substratnya. Zat penginduksi ada dua kelompok, yaitu yang kerjanya mirip
fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik. Fenobarbital kerjanya
meningkatkan metabolisme banyak obat, sedangkan kelompok ihidrokarbon
polisiklik meningkatkan metabolisme beberapa obat saja. Pada umumnya
obat dimetabolisme menjadi bentukinaktif sehingga metabolism ini berperan
dalam mengakhiri kerja obat. Ada obat metabolitnya sama aktifnya denga
obat awal, ada juga yang lebih aktif tetapi ada juga yang lebih toksik. Perlu
diketahui bahwa ada obat yang dimetabolisme dari non-aktif menjadi aktif,
obat ini namanya prodrug (calon obat).
Gambar menunjukkan skema metabolism obat siklobenzaprine yang
diberikan peroral dan sublingual. Obat yang diberikan peroral setelah
diabsorpsi dari dinding saluran cerna langsung dibawa ke hati dan
dimetabolisme menjadi norsiklobenzaprin oleh enzim P450 dalam waktu
sekitar dua jam, baru kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh dan sampai
ke otak. Siklobenzaprin yang diberikan sublingual akan langsung didistribusi
sampai ke otak tanpa mengalami metabolism terlebih dahulu.

26
2. Ekskresi Obat yang Diberikan Peroral
Eksresi atau pengeluaran obat dapat terjadi melalui ginjal (urine), feses,
paru-paru (gas), kulit (keringat), dan air susu. Ekskresi obat yang diberikan
peroral dapat terjadi berupa obat aktif (obat asal) maupun dalam bentuk
metabolitnya. Obat yang diberikan secara oral ada empat kemungkinan
terjadinya ekskresi. Kemungkinan pertama begitu obat diberikan langsung
dimuntahkan oleh pasien, kemungkinan kedua terjadi setelah obat mengalami
proses pelepasan dan pelarutan di saluran cerna obat dapat saja dimuntahkan
pasien atau obat dapat bereaksi dengan asam lambung, makanan, dan enzim
sehingga jumlah larutan obat menjadi berkurang. Kemungkinan ketiga obat
akan dieksresi dalam bentuk aktif yang menyebabkan konsenstrasi obat dalam
darah menjadi turun serta kemungkinan keempat adalah ekskresi obat dalam
bentuk yang sudah mengalami metabolisme. Obat dalam bentuk aktif dan
metabolit ini dapat diekresi melalui baik melalui ginjal, feses, keringat, air
susu, dan lain-lain.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting yang akan
mengekskresi obat melalui resultante dari proses filtrasi di glomerulus,
sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorpsi di tubulus proksimal dan
distal. Glomerulus merupakan jaringan kapiler yang dapat melewatkan semua
zat yang lebih kecil dari albumin melalui antar sel endotelnya sehingga semua
obat bebas (tidak terikat protein plasma) akan mengalami filtrasi. Senyawa
yang berupa asam organik seperti penisilin, probenesid, salisilat, konjugat
glukuronoid dan asam urat akan disekresi aktif di tubular proksimal melalui
sistem transport untuk asam organik, dan basa organik seperti neostigmine,
kolin, dan histamin disekresi aktif melalui sistem transpor untuk basa organik.
Kedua sistem ini tidak selektif sehingga dapat terjadi kompetisi antar asam
organik dan basa organik dalam sistem transpornya. Asam urat merupakan
senyawa endogen yang dapat mengalami kedua sistem transport ini jadi
mengalami sekresi dan reabsorpsi. Obat-obat elektrolit lemah proses
reabsorpsi tergantung pada pH lumen tubulus yang menentukan derajat
ionisasinya. Apabila urine lebih basa, maka asam lemah akan terionisasi lebih

27
banyak sehingga reabsorpsi bekurang yang mengakibatkan ekskresi yang
meningkat. Demikian juga pada ekskresi basa lemah sebaliknya dari peristiwa
tadi. Prinsip ini digunakan pada orang yang keracunan obat yang ekskresinya
dapat dipercepat dengan pembasaan atau pengasaman urine seperti salisilat
dan fenobarbital.
Pada gangguan fungsi ginjal, ekskresi obat melalui ginjal menurun
sehingga dosis obat yang diberikan harus diturunkan atau interval pemberian
diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam penyesuaian
dosis dan interval waktu pemberian. Apabila kedua usaha ini masih tidak
dapat digunakan karena gagal ginjalnya sudah parah sekali, maka obat
tersebut harus diganti dengan obat yang dieliminasi atau dimetabolisme di
hati.
Kebanyakan obat dimetabolisme di hati menjadi metabolit yang tidak
aktif dan diekskresi ke dalam usus melalui empedu yang akhirnya dibuang
melalui feses. Akan tetapi sebelum dibuang melalui feses lebih sering diserap
kembali di saluran cerna dan akhirnya dieksresi melalui ginjal. Ada tiga
macam sistem transport aktif ke dalam empedu, yaitu untuk asam organik
termasuk glukuronoid, basa organik dan zat netral seperti steroid.
Ekskresi obat juga dapat terjadi melalui keringat, air liur, air mata, air
susu dan rambut, tetapi jumlahya relative kecil sekali. Air liur dapat
digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu.
Rambut dapat digunakan untuk menemukan logam toksik seperti arsen di
dunia forensik.

28
29
BAB III
PEMBAHASAN
Menurut United States Pharmacopoeia XXII sediaan dengan pelepasan yang
dimodifikasi (modified release dosage form) dibedakan atas pelepasan yang
diperpanjang (extended release) dan lepas tunda (delayed release). Sediaan lepas
tunda (delayed release) adalah sediaan yang bertujuan untuk menunda pelepasan
obat sampai sediaan melewati lambung, misalnya sediaan salut enterik. Contoh obat
dari sediaan salut enterik adalah pronalges dan ketoprofen. Sediaan dengan
pelepasan yang diperpanjang (extended release) adalah suatu sediaan yang dibuat
sedemikian rupa sehingga zat aktif akan tersedia selama jangka waktu tertentu
setelah obat diberikan. Extended-release dosage form adalah suatu sediaan yang
dibuat dengan cara khusus, sediaan mencapai level terapi obat dan
mempertahankannya selama 8-12 jam setelah pemberian satu kali dosis tunggal.
Sediaan pelepasan diperpanjang terdiri dari dua jenis, yaitu sustained release
(sustained action = prolong action) atau sediaan lepas lambat dan controlled
release (time release) atau pelepasan terkendali. Sediaan lepas lambat adalah
bentuk sediaan yang diformulasi sedemikian rupa agar pelepasan zat aktifnya
lambat sehingga kemunculan dalam sirkulasi sistemik diperlambat sehingga profil
plasmanya mempunyai waktu yang lama. Pada prinsipnya pengembangan sediaan
lepas lambat umumnya digunakan untuk pengobatan yang bersifat kontinuitas
(berkelanjutan) dan merupakan suatu pengobatan yang efektif. Sediaan lepas
lambat biasanya digunakan untuk pengobatan penyakit yang pemberiannya dapat
beberapa kali dalam sehari. Sediaan dengan pelepasan terkontrol (controlled
release dosage form) adalah suatu bentuk sediaamn yang dibuat secara khusus,
sediaan dirancang untuk melepas obat dengan kinetik orde nol dalam jumlah yang
sesuai untuk mempertahankan efek terapeutik obat selama 24 jam atau lebih.
Contoh obat peroral yang dimodifikasi diantaranya:
1. Sediaan salut enterik: pronalges, voltadex 50, dan ketoprofen
2. Sediaan lepas lambat: avil retard, profenid CR, Isoptin SR, dan Adalat Oros
3. Sediaan penghantar obat baru: aspirin, isordil, roxanole, dan valrelease
4. Sistem effervescent: acetin 600, redoxon, protecal solid, dan CDR

30
5. Obat mengambang yang ditahan di lambung: topalkanR, valrelease r34,
convironR, dan cifran ODR.
Pada sediaan lepas lambat, obat akan dilepaskan sedikit-sedikit sehingga jumlah
obat yang terlarut di tempat terjadinya absorpsi juga sedikit-sedikit, sehingga
efektivitas obat akan diperpanjang. Sediaan ini waktu tinggal di saluran cernanya
juga terbatas, sehingga ada kemungkinan obat dilepaskan dan dilarutkan di tempat
obat tersebut sudah tidak diabsorpsi lagi.
Pelepasan dan pelarutan obat sangat menentukan jumlah obat yang siap untuk
diabsorbsi. Tidak semua yang terlarut dapat diabsorbsi terutama sediaan oral.
Banyak factor yang mempengaruhi jumlah obat yang akan masuk kedalam
pembuluh darah. Sediaan yang dimodifikasi oral antara lain:
1. Pelepasan obat dari sediaan enterik
Tabel salut enterik merupakan salah satu sediaan yang digunakan untuk sediaan
obat dengan tujuan menunda pelepasan obat yaitu menahan pelepasan obat di
lambung. Obat-obat ini perlu dilapisi dengan salut enterik dengan tujuan untuk
melindungi inti tablet sehingga tidak hancur pada asam lambung, mencegah
kerusakan bahan aktif yang tidak stabil pada pH rendah, melindungi lambung
dari efek iritasi dari obat tertentu dan untuk memfasilitasi penghantaran obat
yang diabsorpsi di usus. Penyalutan juga dapat berupa serbuk obat, granul yang
nantinya dimasukkan ke dalam kapsul ataupun tablet yang disalut enteric.
2. Pelepasan obat dari sediaanoral lepas lambat
Pelepasan obat dari sediaan oral lepas lambat adalah sediaan dengan pelepasan
obat diperlambat, sediaan tersebut dapat berupa sediaan yang diberikan secara
oral, parenteral, rektal, dan lain-lain. Memiliki keuntungan sebagai berikut:
a. Mengurangi frekuensi pemberian obat
b. Mengurangi jumlah total obat yang dibutuhkan untuk mendapatkan respon
terapeutik yang diinginkan.
c. Mempertahankan kadar terapeutik obat dalam plasma
d. Meningkatkan kepatuhan penderita.
e. Memberikan efek yang sama atau seragam.
f. Meminimalkan kemungkinan terjadinya akumulasi akumulasi obat pada
pengobatan kronis

31
g. Mengurangi iritasi lambung dan efek samping lain
System penghantar obat oral lepas lambat adalah pelepasan obat yang
dimodifikasi untuk memperpanjang efek obat. Biasanya sediaan oral yang
diberikan secara berkelanjutan, sehingga komnsentrasi obat dalam darah akan
selalu berada diantara konsentrasi efektif minimum dan maksimum. Untuk
sediaan lepas lambat dirancang agar pemakaian doiss tunggal dapat
menghasilkan efek terapi yang diinginkan secara berkesinambungan dalam
jangka waktu yang lama. Efektivitas sediaan obat pelepasan obat diperlambat
yang diberikan secara oral dibatasi oleh beberapa factor fisiologis saluran cerna,
yaitu: waktu pengosongan lambung, waktu transit di saluran cerna, dan waktu
tinggal sediaan di usus bagian atas. Factor-faktor tersebut tidak dapat dikontrol.
3. Pelepasan dan pelarutan obat dari sediaan oral lepas berkesinambungan
Pada kasus tertentu, diperlukan pemberian obat yang memberikan efek segera
dan dilanjutkan dengan pemberian sediaan oral secara berulang sebagai dosis
pemeliharaan untuk memperpanjang efek yang diinginkan. Contohnya
diberikan obat sebagai dosis awal melalui intravena atau injeksi intramuscular,
kemudian dilanjutkan secara oral (tablet, kapsul, atau sirop) sebagai dosis
pemeliharaan. Ada beberapa kondisi yang menyebabkan obat tidak
memberikan efek yang diinginkan. Obat dari sediaan lepas lambat dilepaskan
dan dilarutkan di saluran cerna dalam jumlah sedikit demi sedikit sehingga
ketika diabsorbsi dan masuk ke pembuluh darah, konsentrasi obat dalam darah
berada pada konsentrasi efektif minimum. Pada kondisi seperti ini dirancang
sediaan obat secara bertahap, yaitu pada yahap pertama melepaskan sejumlah
obat sehingga mencapai MEC. Dan pada tahap selanjutnya dilepaskan sedikit-
sedikit untuk mempertahankan konsentrasi obat dalam darah selalu berada pada
di antara konsentrasi efektif minimum dan maksimum, sehingga efek yang
diinginkan berlangsung secara berkesinambungan. Pemberian sediaan seperti
ini satu kali dapat memberikan efek farmakologi yang diinginkan secepatnya
dan akan memberikan efek yang diingikan lebih lama, sehingga dapat
menurunkan frekuensi pemberian obat.

32
4. Pelepasan obat dari sediaan penghataran obat baru
Bentuk sediaan obat baru telah dirancang dengan berbagai tujuan serta proses
pelepasan dan pelaritan obat yang berbeda dengan sediaan konvensional.
Sediaan ini dapat berupa pellet, pellet salut, mikrokapsul, resin, penukar ion,
hydrogel, pompa osmotic, dll. Cara pelepasan obat dari bentuk sediaan dapat
dikelompokkan menjadi bentuk sediaan dengan pelepasan berkesinambungan
dan tidak berkesinambunag (bertahap). Berdasarkan mekanismenya dapat
dikelompokkan menjadi 5 yaitu:
a. Pelepasan dengan disolusi terkendali
b. Pelepasan difusi terkontrol
c. Pelepasan osmotic terkendali,
d. Resin penukaran ion,
e. System gastroretentive (penahanan di lambung).
5. System penghantaran obat atau system keseimbangan hidrodinamik
FDDS merupakan teknologi yang efektif untuk memperpanjang waktu tinggal
di lambung untuk meningkatkan bioavailabilitas obat, dengan densitas rendah
yang memiliki daya apung di atas cairan lambung dan tinggal di lambung dalam
periode waktu yang lama. Selama system terapung diatas cairan lambung,
system akan meningkatkan waktu tinggal obat di lambung, dan obat akan
dilepaskan perlahan dengan kecepatan yang direncanakan, sehingga dapat
menurunkan fluktuasi konsentrasi obat dalam plasma. Proses terapungnya
system dapat dibuat menggunakan mekanisme effervescent dan system non-
effervescent untuk terjadinya proses.
a. System penghantar obat terapung non-efferfescent meliputi: system
keseimbangan hidrodinamika atau hydrodynamic balanced system (HBS),
floating chamber, tablet dengan silinder berongga (hollow cylinder), dan
multilaposan film (multi flexible film).
b. System penghantar obat system effervescent meliputi, system terapung
yang mengandung komponen effervescent, system terapung berdasarkan
pada resin penukar ion, system terapung dengan inflatable chamber, system
penghantar obat yang dikontrol secara osmotic dan programmable drug
delivery.

33
c. System terapung multiunit ada empat macam, yaitu; non- effervescent
system (alginate beads); effervescent system (floating pills); hollow
microspheres; dan raft-forming system.
6. System effervescent
Pil terapung merupakan system terapung barubyang terdiri atas lapisan
effervescent dan lapisan membrane yang dapat mengambangnmenyalut pil
lepas lambat. Lapisan terdalam bahan effervescent natrium bikarbonat dan asam
tartrat dibagi menjadi dua lapisan untu tujuan kontak langsung antara membrane
polimer dari polivinil asetat dan shellac yang dimurnikan. Ketika system
terendam pada 37oC pil mulai mengembang dengan densitas <1,0 g/ml terjadi
untuk memasukkan CO2. Kecepatan pelepasan obat mengikuti kinetik orde nol
dan tergantung pada karakteristik penyusun inti sustained release, pelepasan
tidak dipengaruhi jumlah membrane yang mengambang.
7. System penghantaran obat mukoadhesif yang ditahan di lambung
Berbagai bentuk sediaan obat dapat dibuat dengan menggunakan system
mukoanhesif, tergantung pada bahan yang memiliki sifat adhesi yang
digunakannya. Sifat bioadhesi bahan telah banyak digunakan dalam
pengembangan sistem penghantaran obat seperti system mikro dan nano
partikel padat menggunakan chitosan, mikroemulsi yang stabil secara
termodinamika dengan menggunakan polimer bioadhesi seperti polikarbofil,
disperse koloid untuk sediaan oral hygiene, system setengah padat seperti liquid
crystalline mesophases, hydrogel yang dapat meningkatkan waktu kontak
antara sediaan dan membrane mucus. Psecara umum proses bioadhesi terjadi
melalui dua tahap yaitu, tahap kontak dan tahap konsolidasi. Pada tahap
pertama terjadi kontak yang antara bioadhesi dengan suatu membrane akibat
pembasahan permukaan bioadhesi atau karena pengembangan bioadhesi,
dilanjutkan denga tahap yang kedua yaitu penetreasi bioadhesi ke dalam celah
permukaan jaringan atau rantai bioadhesif dengan mucus. Mekanisme
pelepasan obat dari sediaan dengan pelepasan diperlambat untuk mencapai
tujuan system penghantar mukoadhesif, hanya diperlukan mekanisme yang
menahan obat dalam polimer bioadhesi sampai obat dilepas semua, karena jika
tidak maka obat akan kosong di lambung.

34
8. System penghantaran obat mengambang yang ditahan di lambung
Merupakan upaya yang banyak dilakukan untuk mempertahankan sediaan agar
tetap berada dalam jangka panjang di lambung yaitu sediaan yang
menggunakan system mengembang. System ini dibuat agar dapat membesar
ketika kontak dengan cairan lambung sehingga ukurannya lebig besar dari klep
pirolik pada saat klep terbuka, sehingga dapat bertahan di lambung dengan
waktu yang lebih lama. System penghantaran obat mengembang dikenal dengan
istilah swelling systems. Kekurangan dari sediaan ini adalah penahanan
permanen dari ukuran bentuk sediaan dosis tunggal yang kaku dan besar dapat
menyebabkan obstruksi usus, adhesi usus dan gastroplasti.
Contoh obat dari sediaan peroral dengan pelepasan yang dimodifikasi adalah
obat paroxetine dengan jenis prolonged release dan extended release. Paroxetine
adalah obat yang digunakan untuk mengobati depresi, serangan panik, gangguan
obsesif-kompulsif (OCD), gangguan kecemasan, dan gangguan stres pasca-trauma.
Ia bekerja dengan membantu mengembalikan keseimbangan zat alami tertentu
(serotonin) di otak.
Paroxetine dikenal sebagai reuptake inhibitor serotonin selektif (SSRI). Obat
ini dapat meningkatkan mood, tidur, nafsu makan, dan tingkat energi Anda dan
dapat membantu memulihkan semangat hidup Anda. Obat ini dapat menurunkan
rasa takut, cemas, pikiran yang tidak diinginkan, dan sejumlah serangan panik. Obat
ini juga dapat mengurangi dorongan untuk melakukan suatu akivitas berulang kali
(dorongan seperti mencuci tangan, menghitung, dan memeriksa sesuatu) yang
bersifat mengganggu kehidupan sehari-hari.
Dosis Normal Untuk Orang Dewasa Penderita Depresi
Tablet dan Suspensi Immediate Release:
 Dosis awal: 20 mg sekali minum sekali sehari dengan atau tanpa makanan,
biasanya di pagi hari.
 Dosis pemeliharaan: 20 sampai 50 mg sekali minum sekali sehari dengan atau
tanpa makanan, biasanya di pagi hari.
 Perubahan Dosis: Dosis dapat ditingkatkan sebesar 10 mg per hari kenaikan
dengan interval minimal satu minggu.

35
Tablet Extended Release:
 Dosis awal: Paroxetine- pasien naif: 25 mg sekali minum sekali sehari dengan
atau tanpa makanan, biasanya di pagi hari.
 Konversi: 30 mg Paroxetine Immediate Release diikuti dengan 37,5 mg
Extended Release
 Dosis pemeliharaan: Dosis awal dapat ditingkatkan sampai maksimum 62,5 mg
per hari.
 Perubahan Dosis: Dosis dapat ditingkatkan di 12,5 mg per hari dengan interval
minimal satu minggu.
Paroxetine hidroklorida sepenuhnya diserap setelah pemberian oral larutan
garam hidroklorida. Waktu paruh eliminasi adalah sekitar 15 hingga 20 jam setelah
dosis tunggal PAXIL CR. Paroxetine dimetabolisme secara luas dan metabolitnya
dianggap tidak aktif. Nonlinieritas dalam farmakokinetik diamati dengan
meningkatnya dosis. Metabolisme paroxetine dimediasi sebagian oleh CYP2D6,
dan metabolit utamanya diekskresikan dalam urin dan sampai batas tertentu dalam
tinja. Perilaku farmakokinetik dari paroxetine belum dievaluasi pada subyek yang
kekurangan CYP2D6 (metabolisme buruk).
Tablet PAXIL CR mengandung matriks polimer yang dapat terdegradasi yang
dirancang untuk mengontrol laju disolusi paroxetine selama sekitar 4 hingga 5 jam.
Selain mengendalikan laju pelepasan obat in vivo, mantel enterik menunda
dimulainya pelepasan obat sampai tablet PAXIL CR telah meninggalkan lambung.
Paroxetine hidroklorida sepenuhnya diserap setelah pemberian oral larutan
garam hidroklorida. Ketersediaan hayati 25 mg PAXIL CR tidak terpengaruh oleh
makanan.
Paroxetine didistribusikan ke seluruh tubuh, termasuk SSP, dengan hanya 1%
tersisa dalam plasma.
Sekitar 95% dan 93% paroxetine terikat pada protein plasma masing-masing
100 ng / mL dan 400 ng / mL. Dalam kondisi klinis, konsentrasi paroxetine biasanya
akan kurang dari 400 ng / mL. Paroxetine tidak mengubah ikatan protein in vitro
dari fenitoin atau warfarin.
Waktu paruh eliminasi paroxetine rata-rata adalah 15 hingga 20 jam di seluruh
rentang dosis tunggal PAXIL CR (12,5 mg, 25 mg, 37,5 mg, dan 50 mg). Selama

36
pemberian berulang PAXIL CR (25 mg sekali sehari), keadaan setimbang tercapai
dalam 2 minggu (yaitu, sebanding dengan formulasi pelepasan segera).
Paroxetine dimetabolisme secara luas setelah pemberian oral. Metabolit utama
adalah produk oksidasi dan metilasi terkonjugasi, yang siap dibersihkan. Konjugat
dengan asam glukuronat dan sulfat mendominasi, dan metabolit utama telah
diisolasi dan diidentifikasi. Data menunjukkan bahwa metabolit tidak memiliki
lebih dari 1/50 potensi senyawa induk dalam menghambat penyerapan serotonin.
Metabolisme paroxetine dilakukan sebagian oleh CYP2D6. Kejenuhan enzim ini
pada dosis klinis tampaknya bertanggung jawab atas nonlinieritas kinetika
paroxetine dengan meningkatnya dosis dan meningkatnya durasi pengobatan. Peran
enzim ini dalam metabolisme paroxetine juga menunjukkan potensi interaksi obat-
obat.
Sekitar 64% dari dosis oral paroxetine 30 mg diekskresikan dalam urin dengan
2% sebagai senyawa induk dan 62% sebagai metabolit selama 10 hari pasca dosis.
Sekitar 36% diekskresikan dalam tinja (mungkin melalui empedu), sebagian besar
sebagai metabolit dan kurang dari 1% sebagai senyawa induk selama periode 10
hari setelah pemberian dosis.
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi perjalanan obat peroral dengan
pelepasan yang dimodifikasi diantaranya adalah:
1. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel
Setiap obat memiliki karakteristik obat masing-masing, ada yang memiliki
bentuk kristal, ada yang memiliki berbagai bentuk (polimorf), dan ada yang
tidak memiliki bentuk (amorf). Bentuk amorf merupakan bentuk nonkristal,
sedang solvat merupakan bentuk yang dibuat melalui penghilangan pelarut dari
solvat. Susunan suatu obat dalam berbagai bentuk kristal atau polimorf dikenal
dengan istilah polimorfisme. Polimorf adalah suatu senyawa kimia yang
memiliki satu struktur kimia yang sama tetapi memiliki sifat yang berbeda,
seperti kelarutan, densitas, kekerasan, dan karakteristik pengempaan.
Sifat fisika kimia obat selain berpengaruh pada rancang bangun obat juga
dengan sendirinya akan sangat mempengaruhi terhadap ketersediaan obat dan
tentu saja terhadap absorpsi obat. Absoprsi obat yang diberikan peroral akan
terjadi jika obat telah dilepaskan dan dalam bentuk terlarut di tempat terjadinya

37
absorpsi. Oleh karena itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan kelarutan
dan kecepatan melarutnya suatu obat akan mempengaruhi abropsi obat tersebut.
Pengurangan ukuran partikel obat yang sukar larut untuk meningkatkan laju
absoprsi obat akan menimbulkan permasalahan atau kesulitan dalam
pembahasan karena terjadi aglomerasi partikel. Terjadi efek penumpukan
energi ketika terjadi pengadukan mekanik yang terlalu kuat sehinggga
mengakibatkan laju pelarutan diperlambat. Laju pelarutan umumnya
ditingkatkan melalui partikel yang optimum, yaitu ukurannya cukup kecil untuk
mendapatkan luas permukaan yang besar tetapi tidak terlalu kecil sehingga sulit
untuk dibasahi.
Jika laju absorpsi obat tidak dipengaruhi oleh laju pelarutan, maka pengecilan
ukuran partikel tidak berpengaruh pada laju penyerapan. Beberapa basa lemah
yang terdisosiasi cepat di lambung tetapi penyerapan terutama terjadi di usus
halus. Jadi, waktu pengosongan lambung lebih berperan dalam absorpsi obat
dibandingkan laju pelarutan.
Peningkatan luas permukaan spesifik obat dapat meningkatkan laju pelarutan
dan juga akan mempercepat laju penguraian yang akibatnya terjadi
pengurangan jumlah obat yang diserap.
2. Pengurangan kelarutan zat aktif
Laju pelarutan berbanding lurus dengan perbedaan kelarutan dan jumlah obat
yang terlarut dalam waktu tertentu. Oleh karena itu, apabila memungkinkan
untuk meningkatkan laju pelarutan obat dapat ditingkatkan nilai Cs (kelarutan)
obat-nya. Peningkatan kelarutan dapat dilakukan dengan tiga cara perubahan,
yaitu: perubahan kimia, perubahan fisik, dan perubahan farmasetik. Perubahan
kimia meliputi pembentukan garam, ester plus kompleks, dan lain-lain.
Sedangkan perubahan fisik dapat dilakukan dengan perubahan bentuk kristal
obat dan lain-lain. Adapun perubahan farmasetik dapat dilakukan dengan
penambahan bahan pembantu, seperti bahan peningkatan kelarutan
pembentukan kompleks dan lain-lain.
Perubahan kimia suatu senyawa dapat dilakukan untuk tujuan mendapatkan
perubahan sifat fisik seperti kelarutan atau laju pelarutan, menghindari
ketidakcampuran, memperbaiki rasa dan bau, serta untuk memperbaiki

38
stabilitas obat. Pembentukan garam dari suatu obat (asam atau basa) untuk
tujuan meningkatkan kelarutan obat yang sukar larut. Pembentukan garam
penting untuk obat yang terion di saluran cerna, di mana kelarutan akan berubah
di saluran cerna jika terjadi perubahan keasaman ketika obat melewati lambung
menuju usus. Obat basa akan terlarut lebih cepat dalam lambung daripada di
usus, sedang obat asam sebaliknya. Pembentukan garam merupakan metode
terpilih untuk meningkatkan kelarutan (Cs) dari asam lemah yang sukar larut
dalam cairan lambung. Penggunakan bentuk garam yang sangat mudah larut
dalam air sehingga menyebabkan laju pelarutan tinggi, hal ini disebabkan
karena garam bertindak sebagai dapur dan segera meningkatkan pH cairan.
Molekul yang terionisasi segera berdifusi meninggalkan partikel obat menuju
cairan lambung (asam lemah) yang sangat tidak larut dalam air, maka endapan
akan terbasahi sempurna, sangat halus, jauh lebih lambut, dari yang diperoleh
secara mikronisasi. Luas permukaannya menjadi jauh lebih besar dan spesifik
sehingga akan lebih cepat melarut kembali.
Pembentukan ester dari suatu obat dapat mengubah kelarutan dan laju
pelarutannya sehingga terjadi penurunan proses pelarutan. Pembentukan ester
dimaksudkan anatara lain untuk tiga tujuan, yaitu : menghindari penguraian
obat di lambung, menghambat, atau memperpanjang aksi beberapa obat serta
menutupi rasa yang tidak enak.
3. Pengaruh perubahan fisik
Partikel padat dat berada dalam bentuk kristal atau amorf dan pada umumnya
senyawa amorf lebih larut dari bentuk kristalnya. Biasanya akan terjadi
perubahan dari bentuk amorf ke bentuk kristal. Ada perbedaan laju pelarutan
kristal asimetrik atau heterosimetrik, semakin teratur susunan kristal laju
pelarutan dan efek terapi semakin produktif terutama bentuk kristal bulat atau
hampir bulat, termasuk kubik. Kristal yang cacat memiliki suhu lebur yang
lebih rendan dan kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan kristal sempurna.
Penggerusan dan pengempaan dapat menyebabkan peningkatan laju pelarutan.
Pada febomena polimorf suatu senyawa dalam keadaan padat memiliki
bebrbagai sistem kristal yang berbeda sebagai fungsi dari suhu dan kondisi
penyimpanan. Bentuk polimorf dari senyawa yang berbeda secara fisik mirip

39
seperti dua kristal dari dua senyawa yang berbeda. Perbedaan ini terutama
berkaitan dengan suhu lebur, kelarutan, sifat oprik dan elektrik. Kisi kristal
menyusun diri karena peleburan atau pelarutan, karena polimorf yang berbeda
akan berada pada keadaan gas atau cairan dan menjadi identik.
4. Pengaruh faktor formulasi dan teknologi obat terhadap pelepasan obat peroral
Kelarutan suatu zat yang sukar larut telah diupayakan untuk ditingkatkan
dengan berbagai cara. Upaya tersebut meliputi pembentukan eutetik,
penggunaan co-solute (membentuk larutan padat dan kompleks, mengubah
tetapan dielektrik cairan pelarut) penggunaan miselar, penyalutan dengan
senyawa yang lebih hidrofil.
Suatu eutetik merupakan campuran padat dua senyawa yang umunya memiliki
suhu lebur dibawah suhu lebur masing-masing senyawa penyusunnya. Larutan
padat dihasilkan dari pencampuran matriks padat yang sangat larut dalam air
yang tidak memiliki efek farmakologi dengan obat yang sukar larut dalam air.
Campuran eutetik ini dibuat dengan meleburkan campuran tersebut kemudian
memadatkannya dan kemudian diserbukkan. Serbuk eutetik ini jika kontak
dengan air atau cairan tubuh akan melepaskan obat dalam keadaan molekuler
dan selanjutnya akan meningkatkan laju kelarutan sehingga mingkatkan laju
absorpsi nya.
5. Faktor Formulasi dan teknologi
a. Peningkatan kompresi (tekanan) pada waktu pembuatan meningkatkan
kekerasan tablet. Hal ini menyebabkan waktu disolusi dan disintegrasi
menjadi lebih lama.
b. Penambahan jumlah bahan pengikat pada formula tablet atau granul akan
meningkatkan kekerasan tablet, mengakibatkan perpanjangan waktu
disintegrasi dan disolusi
c. Peningkatan jumlah pelincir (lubricant) pada formula tablet akan
mengurangi sifat hidrofilik tablet sehingga sulit terbasahi (wetted). Hal ini
memperpanjang waktu disintegrasi dan disolusi
d. Granul yang keras dengan waktu kompresi yang cepat serta kekuatan yang
tinggi akan menyebakan peningkatan suhu kompresi, sehingga obat yang
berbentuk kristal mikro akan membentuk agregat yang lebih besar.

40
6. Faktor fisio-patologi
a. Permukaan penyerap Lambung tidak mempunyai permukaan penyerap
yang berarti dibandingkan dengan usus halus. Namun mukosa lambung
dapat menyerap obat yang diberikan peroral dan tergantung pada keadaan,
lama kontak menentukan terjadinya penyerapan pasfi dari zat aktif lipofil
dan bentuk tak terionkan pada PH lambung yang asam. Penyerapan pasif
dapat terjadi pada usus halus secara kuat pada daerah tertentu tanpa
mengabaikan peranan PH yang akan mengionisasi zat aktif atau
menyebabkan pengendapan sehingga penyerapan hanya terjadi pada daerah
tertentu.
b. Sifat membran biologik Permukaan membran sel bersifat lipofil sehingga
obat yang larut dalam lemak lebih cepat diabsorpsi.
c. Waktu pengosongan lambung Kecepatan pengosongan lambung besar
penurunan proses absorpsi obat-obat yang bersifat asam. Kecepatan
pengosongan lambung kecil peningkatan proses absorpsi obat-obat yang
bersifat basa.
d. Waktu Transit usus Jika terjadi motilitas usus yang besar (ex : diare), obat
sulit diabsorpsi.
e. Abnormalitas saluran cerna Pada pasien yang mengalami tukak lambung
akan mempengaruhi absorbsi obat karena luas permukaan pada lambung
yang akan menyerap obat semakin berkurang karena adanya luka pada
lambung yang tidak bisa mengabsorbsi obat secara baik.
f. Isi Lambung Secara umum absorpsi obat lebih disukai atau berhasil dalam
kondisi lambung kosong. Kadang-kadang tak bisa diberikan dalam kondisi
demikian karena obat dapat mengiritasi lambung.
g. Ph saluran cerna Usus: basa untuk obat-obat yang bersifat asam. Lambung:
asam untuk obat-obat yang bersifat basa.
h. Jumlah pembuluh darah setempat Intra muskular dengan sub kutan Intra
muscular absorpsinya lebih cepat, karena jumlah pembuluh darah di otot
lebih banyak dari pada di kulit.
Sediaan obat peroral dengan pelepasan yang dimodifikasi memiliki evalusi
secara in vitro dan in vivo. Evaluasi in vitro merupakan uji pendahuluan pada saat

41
pengembangan sediaan dan untuk reproduksibilitas pelepasan zat aktif. Evaluasi in
vitro meliputi uji meliputi identitas, kemurnian, kekuatan, stabilitas, perfomance
bentuk sediaan, dan uji disolusi. Evaluasi in vivo dilakukan pada hewan dan
manusia untuk mengetahui efektivitas dan keamanan sediaan. Evaluasi in vivo
dilakukan dengan menentukan ketersediaan hayati (bioavailabilitas dan
bioekuivalensi) dengan cara menentukan kadar obat dalam darah mulai obat
diberikan samapai obat tersebut keluar dari tubuh.

42
BAB IV
KESIMPULAN
1. Anatomi dan fisiologi saluran pencernaan terdiri dari mulut, esofagus, lambung,
usus halus, dan usus besar.
2. Pelepasan dan pelarutan obat sangat menentukan jumlah obat yang siap untuk
diabsorpsi. Tidak semua yang terlarut dapat diabsorpsi terutama sediaan oral.
Pelepasan, pelarutan, difusi dan absorpsi obat peroral dengan pelepasan yang
dimodifikasi di saluran cerna diantaranya:
 Pelepasan obat sediaan enterik
 Pelepasan obat sediaan lepas lambat
 Pelepasan dan pelarutan obat oral lepas berkesinambungan
 Pelepasan obat dari sediaan penghantaran obat baru
 Sistem penghantaran obat baru atau sistem keseimbangan hidrodinamik
 Sistem effervescent
 Sistem penghantaran obat mukoadhesif yang ditahan di lambung
 Sistem penghantaran obat mengambang yang ditahan di lambung
3. Contoh obat peroral dengan pelepasan yang dimodifikasi adalah paroxetine.
Salut enterik pada proxetine menunda pelepasan obat sampai telah
meninggalkan lambung. Paroxetine didistribusikan ke seluruh tubuh, termasuk
SSP, dengan hanya 1% tersisa dalam plasma. Sekitar 64% dari dosis oral
paroxetine 30 mg diekskresikan dalam urin dengan 2% sebagai senyawa induk
dan 62% sebagai metabolit selama 10 hari pasca dosis. Sekitar 36%
diekskresikan dalam tinja (mungkin melalui empedu), sebagian besar sebagai
metabolit dan kurang dari 1% sebagai senyawa induk selama periode 10 hari
setelah pemberian dosis.
4. Faktor yang memengaruhi pelepasan obat peroral yang dimodifikasi
diantaranya pengaruh bentuk dan ukuran partikel, pengurangan kelarutan zat
aktif, pengaruh perubahan fisik, pengaruh faktor formulasi dan teknologi obat
terhadap pelepasan obat peroral, faktor formulasi dan teknologi, dan faktor
fisio-patologi.
5. Evaluasi sediaan obat peroral yang dimodifikasi dibagi menjadi in vitro dan in
vivo. Evaluasi in vitro meliputi uji meliputi identitas, kemurnian, kekuatan,

43
stabilitas, perfomance bentuk sediaan, dan uji disolusi. Evaluasi in vivo
dilakukan dengan menentukan ketersediaan hayati (bioavailabilitas dan
bioekuivalensi) dengan cara menentukan kadar obat dalam darah mulai obat
diberikan samapai obat tersebut keluar dari tubuh.

44

Anda mungkin juga menyukai