Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

FORMULASI SEDIAAN SALEP

Disusun Sebagai pemenuhan nilai tugas kelompok mata kuliah Teknologi Sediaan Farmasi
Liquid-Semi Solid dengan

Dosen : apt.Nurfitriyana, M.Farm

Oleh

Dumora Bertine - 202051046


Fitri Dewi Julianti - 202051061
Nurul Aliyah - 202051111

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang formulasi sediaan salep
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Ibu
apt.Nurfitriyana, M.Farm selaku Dosen mata kuliah Teknologi Formulasi Sediaan Liquid dan
Semi Solid yang telah memberikan tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pendahuluan
Sediaan Topikal dalam Bentuk Semi Solid. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga
makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah
yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.
Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan
kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di
waktu yang akan datang.

Jakarta, Januari 2023

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .......................................................................... 1
B. PERUMUSAN MASALAH ................................................................. 1
C. BATASAN MASALAH ....................................................................... 2
D. TUJUAN MAKALAH ......................................................................... 2
BAB II TINJAUAN ................................................................................................. 3
A. DEFINISI SALEP ................................................................................. 3
A.1. PENGGOLONGAN SALEP ................... ..................................... 4
A.2. KUALITAS DASAR SALEP .................. ..................................... 5
A.3. PERSYARATAN SALEP ....................... ..................................... 5
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI KULIT ........... ..................................... 6
C. PENDEKATAN RASIONAL UNTUK FORMULASI SALEP ........... 10
D. PRINSIP DASAR DIFUSI MELALUI KULIT .................................... 11
E. METODE STUDI ABSORBSI PERKUTAN . ..................................... 12
F. BASIS,PRESERVATIF, ANTIOKSIDAN, ECHANTER, DAN
PROTIPE FORMULA ..................................... ..................................... 14
G. METODE PEMBUATAN SEDIAAN SALEP ..................................... 18
H. CONTOH FORMULASI, LANGKAH LANGKAH DESAIN
FORMULA DAN METODA PEMBUATAN SEDIAAN SALEP ...... 19
I. EVALUASI SEDIAAN SALEP ...................... ..................................... 20
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 24
A. KESIMPULAN .....................................................................................24
B. SARAN ..................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................25

ii
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada zaman sekarang ini perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berkembang
pesat, begitu juga dengan dunia kefarmasian. Hal ini dapat dilihat dari bentuk
sediaannya yang beragam yang telah di buat oleh tenaga farmasis. Diantara sediaan obat
tersebut menurut bentuknya yaitu solid (padat), semisolid (setengah padat) dan liquid
(cair). Dengan adanya bentuk sediaan tersebut diharapkan dapat memberikan
kenyamanan dan keamanan bagi konsumen. Salah satu contoh sediaan farmasi yang
beredar di pasaran, Apotek, Instalasi kesehatan, maupun toko obat adalah sediaan cair
(liquid).
Sediaan topikal adalah sediaan yang penggunaannya pada kulit dan membran mukosa
dengan tujuan untuk menghasilkan efek lokal, contoh: lotio, salep, dan krim. Pemberian
topikal dilakukan dengan mengoleskannya di suatu daerah kulit, memasang balutan
lembab, merendam bagian tubuh dengan larutan, atau menyediakan air mandi yang
dicampur obat. Dalam bentuk liquid atau cairan dapat digunakan sebagai kompres dan
antiseptik, bahan aktif yang dipakai biasanya bersifat astringen dan antimikroba. Dalam
bentuk padat dapat berupa bedak, namun bedak tidak dapat berpenetrasi ke lapisan kulit
karena komposisinya yang terdiri dari partikel padat. Sedangkan dalam bentuk setengah
padat dapat berupa krim, gel, lotio, pasta maupun salep dimana sediaan ini dapat
berpenetrasi ke lapisan kulit dengan prosedur pembuatan yang sedemikian rupa.
Dengan demikian pembuatan sediaan dengan aneka fungsi sudah banyak digeluti oleh
sebagian besar produsen. Sediaan yang ditawarkanpun sangat beragam mulai dari segi
pemilihan zat aktif serta zat tambahan, sensasi yang beraneka ragam, hingga merk yang
digunakan pun memiliki peran yang sangat penting dari sebuah produk sediaan tersebut.

B. PERUMUSAN MASALAH
1. Definisi salep
2. Anatomi dan Fisiologi Kulit
3. Bagaimana pendekatan yang rasional untuk formulasi topikal ? dan Apa saja prinsip-
prinsip dasar difusi melalui kulit ?

1
4. Apa saja metode-metode untuk studi absorpsi perkutan ?
5. Apa yang dimaksud basis, preservatif, antioksidan enhancer dan prototipe formula ?
6. Metode Pembuatan salep ?
7. Langkah langkah untuk mendesain formula sediaan salep ?
8. Evaluasi, pengujian keamanan dan sensitivitas sediaan salep ?
9. Contoh formulasi sediaan salep dan metode pembuatannya ?

C. BATASAN MASALAH
Pembuatan makalah yang akan dilakukan adalah jenis makalah yang pengumpulan data
dari jurnal jurnal farmasi yang mengupas tentang sediaan salep.

D. TUJUAN MAKALAH
Tujuan makalah yang ingin dicapai yaitu untuk memahami pendekatan rasional untuk
formulasi topikal, mengetahui prinsip-prinsip dasar difusi melalui kulit, mengetahui
metode-metode untuk studi absorpsi perkutan, mengetahui pengertian dari basis,
preservatif, antioksidan dan enhancer serta prototype formula, mengetahui metode
pembuatan, langkah langkah untuk desain formula, serta untuk mengetahui evaluasi
sediaan salep terutama saat pengujian keamanan dan sensitivitasnya

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Salep

Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat
luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok
(Depkes RI, 1995). Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam empat
kelompok yaitu dasar salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang
dapat dicuci dengan air, dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah
satu dasar salep tersebut.
Dasar salep hidrokarbon dikenal sebagai dasar salep berlemak antara lain vaselin putih
dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen berair dapat dicampurkan kedalamnya.
Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang kontak bahan obat dengan kulit dan
bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar salep hidrokarbon digunakan terutama
sebagai emolien, dan sukar dicuci. Tidak mengering dan tidak tampak berubah dalam
waktu lama.
Dasar salep serap dapat dibagi menjadi dua kelompok.

a. Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air
membentuk emulsi air dalam minyak (Parrafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan

b. kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan
sejumlah larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga bermanfaat sebagai
emolien (Depkes RI, 1995).

Dasar salep yang dapat dicuci dengan air adalah emulsi minyak dalam air antara lain
salep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Krim”. Dasar ini dinyatakan juga dapat dicuci
dengan air karena mudah dicuci dari kulit dan dilap basah, sehingga lebih dapat diterima
untuk dasar kosmetik. Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan
dasar salep ini daripada dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini
adalah dapat diencerkan dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada
kelainan termatologik. Dasar salep larut dalam air merupakan kelompok yang sering juga
disebut sebagai dasar salep tak berlemak dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep

3
jenis ini memberikan banyak keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air
dan tidak mengandung bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau
malam. Dasar salep ini lebih tepat disebut “gel”

2.1.1 Penggolongan Salep


A. Menurut Konsistensinya salep dapat dibagi:
a) Unguenta adalah salep yang mempunyai konsistensinya seperti mentega, tidak
mencair pada suhu biasa, tetapi mudah dioleskan tanpa memakai tenaga.
b) Cream (krim) adalah salep yang banyak mengandung air, mudah diserap kulit,
suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.
c) Pasta adalah salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat (serbuk), suatu
salep tebal karena merupakan penutup atau pelindung bagian kulit yang diolesi.
d) Cerata adalah salep lemak yang mengandung presentase lilin (wax) yang tinggi
sehingga konsistensinya lebih keras (ceratum labiale).
e) Gelones/spumae/jelly adalah salep yang lebih halus, umumnya cair dan sedikit
mengandung atau tanpa mukosa, sebagai pelicin atau basis, biasanya terdiri atas
campuran sederhana dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah.
B. Menurut sifat farmakologi/terapeutik dan penetrasinya, salep dapat dibagi:
a. Salep epidermis digunakan untuk melindungi kulit dan menghasilkan efek lokal,
tidak diabsorpsi, kadang-kadang ditambahkan antiseptik anstrigensia untuk
meredakan rangsangan atau anasteti lokal. Dasar salep yang baik adalah dasar
salep senyawa hidrokarbon.
b. Salep endodermis adalah salep yang bahan obatnya menembus ke dalam kulit,
tetapi tidak melalui kulit, terabsorpsi sebagian, digunakan untuk melunakkan kulit
atau selaput lendir. Dasar salep yang terbaik adalah minyak lemak.
c. Salep diadermis adalah salep yang bahan obatnya menembus ke dalam tubuh
melalui kulit dan mencapai efek yang diinginkan, misalnya salep yang
mengandung senyawa merkuri iodida, beladona.
C. Menurut dasar salepnya. Salep dapat dibagi:
a. Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep dengan dasar salep
berlemak (greasy bases) tidak dapat dicuci dengan air misalnya campuran lemak-
lemak dan minyak lemak.

4
b. Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik air, biasanya dasar
tipe M/A.
2.1.2 Kualitas Dasar Salep
Kualitas dasar salep yang ideal adalah:
a. Stabil selama masih dipakai mengobati. dimana salep harus bebas dari
inkompatibilitas, yakni stabil pada suhu kamar dan kelembapan yang ada dalam
kamar.
b. Lunak yaitu semua zat dalam keadaan halus dan seluruh produk menjadi lunak dan
homogen, sebab salep digunakan untuk kulit yang teriritasi, inflamasi dan ekskoriasi.
c. Mudah dipakai, umumnya salep tipe emulsi adalah yang apling mudah dipakai dan
dihilangkan dari kulit
d. Dasar salep yang cocok yaitu dasar salep harus kompatibel secara fisika dan kimia
dengan obat yang dikandungnya. Dasar salep tidak boleh merusak atau menghambat
aksi terapi dari obat yang mampu melepas obatnya pada daerah yang diobati.
e. Terdistribusi merata, obat harus terdistribusi merata melalui dasar salep padat atau
cair pada pengobatan dan Lembut, mudah dioleskan serta mudah melepaskan zat aktif
(Anief, 2007).
Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor seperti khasiat yang diinginkan,
sifat obat yang dicampurkan, ketersediaan hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi.
Dalam beberapa hal perlu menggunakan dasar salep yang kurang ideal untuk
mendapatkan stabilitas yang diinginkan. Misalnya obat- obat yang terhidrolisis, lebih
stabil dalam dasar salep hidrokarbon dari pada dasar salep yang mengandung air,
meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mengandung air,
meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam dasar salep yang mengandung air
(Depkes RI, 1995).
2.1.3 Persyaratan salep
Berikut ini adalah persyaratan dari salep yang baik:
a. Pemerian : tidak boleh berbau tengik.
b. Kadar : kecuali dinyatakan lain dan untuk salep yang mengandung obat keras, kadar
bahan obat adalah 10%.

5
c. Dasar salep : tergantung dari sifat bahan obat dan tujuan pemakaian salep, kecuali
dinyatakan lain.
d. Homogenitas : jika dioleskan pada sekeping kaca, harus menunjukkan susunan yang
homogen.
e. Penandaan : pada etiket harus tertera “obat luar” (Syamsuni, 2006).

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kulit


2.2.1 Definisi Kulit
Kulit adalah organ tubuh terluas yang menutupi otot dan mempunyai peranan dalam
homeostatis. Kulit mempunyai fungsi sebagai pelindung tubuh dari berbagai trauma
dan penahan terhadap bakteri, virus, dan jamur. Kehilangan panas dan penyimpanan
panas diatur oleh vasodilatasi atau sekresi kelenjar-kelenjar keringat. Kulit terdiri
dari tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis dan jaringan subkutan (Effendi, 1999).
2.2.1.1 Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit, yang terdiri dari :
a. Stratum korneum, yaitu sel yang telah mati, selnya tipis, datar, tidak mempunyai
inti sel dan mengandung zat keratin.
b. Stratum lusidum, yaitu sel bentuk pipih, mempunyai batas tegas, tetapi tidak ada
inti. Lapisan ini terdapat pada telapak kaki. Dalam lapisan ini terlihat seperti
pita yang bening, batas-batas sudah tidak begitu terlihat.
c. Stratum glanulosum, sel ini berisi inti dan glanulosum.
d. Zona germinalis, terletak dibawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua lapisan
epitel yang tidak tegas.
e. Sel berduri, yaitu sel dengan fibril halus yang menyambung sel satu dengan
yang lainnya, sehingga setiap sel seakan-akan tampak berduri.
f. Sel basale, sel ini secara terus-menerus memproduksi sel epidermis baru. Sel ini
disusun dengan teratur, berurutan dan rapat sehingga membentuk lapisan
pertama atau lapisan dua sel pertama dari sel basal yang posisinya diatas papilla
dermis (Susanto dan Ari, 2013).
2.2.1.2 Dermis

6
Dermis terletak dibawah lapisan epidermis. Dermis merupakan jaringan ikat
longgar dan terdiri atas sel-sel fibrinoplas yang mengeluarkan protein kolagen
dan elastin. Serabut-serabut kolagen dan elastin tersusun secara acak, dan
menyebabkan dermis terenggang dan memiliki daya tahan. Seluruh dermis
terdapat pembuluh darah, saraf sensorik dan simpatis, pembuluh limfe, folikel
rambut, serta kelenjar keringat dan sebasea. Pada dermis terdapat sel mast yang
berfungsi mengeluarkan histamin selama cidera atau peradangan dan makrofag
yang memililki fungsi memfagositosis sel-sel mati dan mikroorganisme
(Corwin, 2009). Dermis terdiri dari dua lapisan; lapisan atas yaitu pars papilaris
(stratum papilaris), dan bagian bawah yaitu pars retikularis terdiri dari jaringan
ikat longgar yang tersusun atas serabut- serabut; serabut kolagen, serabut
elastic, dan serabut retikulus (Susanto dan Ari, 2013).
2.2.1.3. Subkutan
Subkutan mengikat kulit secara longgar dengan organ-organ yang berada di
bawahnya. Lapisan subkutan mengandung jumlah sel lemak yang beragam,
bergantung pada area tubuh dan nutrisi individu, serta berisi banyak pembuluh
darah dan ujung saraf (Sloane, 1994). Sel lemak berbentuk bulat dengan intinya
berdesakan kepinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini
disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada setiap tempat dan
jumlah antara laki-laki dan perempuan. Fungsi penikulus adipose adalah sebagai
shok breaker atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit,
isolator panas atau untuk mempertahankan suhu. Di bawah subkutan terdapat
selaput otot dan lapisan berikutnya yaitu otot (Susanto dan Ari, 2013).
2.2.2. Bagian-bagian Kulit
Kulit pada manusia mempunyai bagian-bagian yang terdiri dari:
2.2.2.1.Hipodermis
Merupakan zona tradisional diantara kulit dan jaringan adipose dibawahnya.
Mengandung lemak demikian juga jaringan ikat putih dan kuning. Kumparan
dari sejumlah gradual sebasea atau porium tergantung vena dan limfatika. Baik
saraf bermealin maupun tidak bermealin ditemukan dalam kulit yang berisi

7
organ akhir dan banyak serat saraf. Organ ini member respon sensasi panas, dan
dingin nyeri (Susanto dan Ari, 2013).
2.2.2.2. Kelenjar Keringat
Terdiri dari dua jenis kelenjar, yaitu ekrin dan apokrin. Kelenjar keringat ekrin
menghasilkan keringat encer yang keluar melalui duktus kelenjar keringat ke
pori permukaan kulit dan memiliki fungsi sebagai termolegulasi. Kelenjar
keringat apokrin terletak di genitalia eksternal, lipat paha, aksila, dan areola.
Kelenjar keringat apokrin masih belum aktif hingga pubertas, saat kelanjar aktif
mulai mengeluatkan keringat yang lebih pekat dan jika terkena bakteri akan
menimbulkan bau khas (Brooker, 2005).
2.2.2.3. Kelenjar Sebasea
Kelenjar sebasea disebut juga kelenjar holokrin (sel-sel sekretori selama sekresi
sebum. Kelenjar sebasea mengeluarkan sebum yang biasanya dialirkan ke
folikel rambut. Sebum adalah campuran lemak, zat lilin, minyak dan pecahan-
pecahan sel yang berfungsi sebagai emoliens atau pelembut kulit dan
merupakan
suatu barier terhadap evaporasi serta memiliki aktivitas bakterisida (Sloane,
1995).
2.2.4.4. Appendises (meliputi rambut dan kuku)
2.2.4.4.1 Rambut
Rambut adalah keratin mengeras yang tumbuh dengan kecepatan yang berbeda
di bagian tubuh yang berlainan. Rambut tumbuh sebagai suhu folikel di sebuah
saluran, yang dimulai di bagian dalam lapisan dermis. Setiap folikel rambut
saling berhubungan dalam saluran tersebut dengan sebuah kelenjar sebasea dan
serabut otot polos, ysng disebut otot erector pili. Apabila sel otot erector pili
terangsang oleh saraf simpatis, maka rambut akan berdiri tegak.
Rambut di kepala berfungsi sebagai proteksi untuk menghindari kulit kepala
terbakar sinar matahari.
2.2.4.4.2 Kuku
Kuku merupakan suatu bentuk kulit khusus yang dibentuk oleh bagian kulit
yaitu akar kuku (nail root) yang letaknya di jari tangan dan kaki. Kuku

8
utamanya terdiri dari lapisan corneum (lapisan tanduk) dan berfungsi untuk
melindungi jari yang kulitnya tergolong sensitive (Corwin, 2009).
2.2.3. Fungsi Kulit
Kulit pada manusia mempunyai banyak fungsi yang berguna dalam menjaga
homeostatis tubuh :
2.2.3.1. Fungsi Absorpsi
Kulit tidak dapat menyerap air, tetapi dapat menyerap larut-lipid seperti vitamin
A, D, E, dan K, oksigen, karbondioksida. Kemampuan absorpsi kulit
dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, dan metabolism.
Penyerapan dapat berlangsung melalui celah antar sel atau melalui muara
saluran kelenjar, tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis daripada
melalui muara kelenjar (Watson, 2002).
2.2.3.2. Fungsi Ekskresi
Kulit berfungsi sebagai tempat pembuangan suatu cairan yang keluar dari dalam
tubuh dengan perantara 2 kelenjar keringan, yakni kelenjar keringat sebaseae
dan kelenjar keringat (Watson, 2002).
2.2.3.3. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh
Sistem pengaturan suhu dilakukan dengan melebarkan pembuluh darah. Kulit
akan mengeluarkan sejumlah keringat dalam keadaan panas melalui pori-pori,
panas dalam tubuh dibawa keluar bersama keringat. Sebaliknya, jika kondisi
udara dingin, pembuluh darah akan mengecil. Pengecilan pembuluh darah ini
bertujuan untuk menahan panas keluar dari tubuh yang berlebihan. Dengan
adanya sistem pengaturan ini, maka suhu tubuh akan selalu dalam kondisi stabil
(Anderson, 1996).
2.2.3.4. Fungsi Pelindung
Kulit dapat melindungi tubuh dari gangguan fisik berupa tekanan dan gangguan
yang bersifat kimiawi. Selain itu, kulit juga dapat melindungi kita dari gangguan
biologis seperti halnya serangan bakteri dan jamur. Kulit juga menjaga tubuh
agar tidak kehilangan banyak cairan dan melindungi tubuh dari sinar UV
(Gibson, 2002).
2.2.3.5. Fungsi Peraba

9
Pada lapisan dermis terdapat kumpulan saraf yang bisa menangkap rangsangan
beruupa suhu, nyeri dan tekanan. Rangsangan tersebut akan disampaikan ke
otak sebagai pusat informasi sehingga dapat mengetahui apa yang dirasakan
(Gibson, 2002).

2.3 Pendekatan Rasional untuk Formulasi Topikal


Sediaan topikal adalah obat yang cara pemberiannya bersifat lokal, misalnya tetes mata,
salep mata, tetes telinga, salep, bedak, dll. Pemberian obat pada kulit merupakan cara
memberikan obat pada kulit dengan cara mengoleskan yang bertujuan untuk
mempertahankan hidrasi, melindungi permukaan kulit, mengurang iritasi kulit atau
mengatasi infeksi. Farmakokinetik sediaan topikal secara umum menggambarkan
perjalanan bahan aktif dalam konsentrasi tertentu yang diaplikasikan padaa kulit dan
kemudian diserap ke lapisan kulit, selanjutnya didistribusikan secara sistemik.
Mekanisme ini penting dipahami untuk membantu memilih sediaan topikal yang akan
digunakan dalam terapi dimana obat akan berpenetrasi ke dalam kulit. Kulit merupakan
organ tubuh yang penting yang merupakan permukaan luar organism dan membatasi
lingkungan dalam tubuh dengan lingkungan luar. Fungsi kulit (Mutschler,1991) :
Melindungi jaringan terhadap kerusakan kimia dan fisika, terutama kerusakan mekanik
dan terhadap masuknya mikroorganisme.
Mencegah terjadinya pengeringan berlebihan, akan tetapi penguapan air secukupnya tetap
terjadi (perspiration insensibilis).
Bertindak sebagai pengatur panas dengan melakukan kontriksi dan dilatasi pembuluh
darah kulit serta pengeluaran keringat.
Dengan pengeluaran keringat ikut menunjang kerja ginjal, dan bertindak sebagai alat
pengindera dengan reseptor yang dimilikinya yaitu reseptor tekan, suhu dan nyeri.
Kulit terdiri atas :
Bagian ectoderm yaitu epidermis (kulit luar dan kelengkapannya (kelenjar, rambut,
kuku).
Bagian jaringan ikat, yaitu korium (kulit jangat). Epidermis terdiri dari beberapa lapisan
yaitu stratum corneum (lapisan tanduk), stratum lucidum (lapisan keratohialin, hanya
terdapat pada telapak kaki dan tangan), stratum granulosum (lapisan bergranul) dan

10
stratum germinativum (lapisan yang bertumbuh), yang dapat dibagi lagi menjadi stratum
spinosum (lapisan berduri) dan stratum basal (lapisan basal). (Mutschler,1991). Bagian
atas kulit yang disebut stratum corneum terdiri atas sel tak berinti yang disusun oleh brick
(komponen selnya/korneosit) dan mortasr (kandungan lipid interselular).
Stratum cornemum dapat ditembus oleh senyawa obat atau zat kimia yang diaplikasikan
ke permukaannya disebut pemberian obat secara perkutan. Tujuan pengobatan obat
secara perkutan dapat ditunjukkan untuk pengobatan lokal hanya dipermukaan kulit atau
pada jaringan yang lebih dalam seperti otot dan dapat pula ditunjukkan untuk pengobatan
sistemik.
Mekanisme kerja obat pemberian secara perkutan harus mampu berpenetrasi kedalam
kulit melalui stratum corneum, terjadi proses difusi pasif. Difusi dapat terjadi melalui
stratum corneum (jalur transdermal), atau dapat juga melalui kelenjar keringat, minyak,
atau melalui folikel rambut (jalur transapendagel/transfolikular). Difusi pasif merupakan
proses perpindahan masa dari tempat yang berkonsentrasi tinggi ke tempat yang
berkonsentrasi rendah.

2.4 Prinsip-Prinsip Dasar Difusi Melalui Kulit


Membran dalam kajian formulasi dan biofarmasi merupakan suatu fase padat, setengah
padat, atau cair dengan ukuran tertentu, tidak larut atau tidak tercampurkan dengan
lingkungan sekitarnya dan dipisahkan satu dan lainnya, umumnya oleh fase cair. Dalam
biofarmasi, membran padat digunakan sebagai model untuk mempelajari kompleks atau
interaksi antara zat aktif dan bahan tambahan serta proses pelepasan dan pelarutan
(Aiache, 1993).
Perlintasan dalam membran sintesis pada umumnya berlangsung dalam dua tahap. Tahap
awal adalah proses difusi zat aktif menuju permukaan yang kontak dengan membran, dan
tahap kedua adalah pengangkutan. Pada tahap difusi zat aktif daya difusi merupakan
mekanisme pertama untuk menembus daerah yang tidak diaduk, dari lapisan kontak
dengan membran. Tahap kedua adalah pengangkutan. Tahap ini dapat dibagi atas dua
bagian. Bagian yang pertama adalah penstabilan gradien konsentrasi molekul yang
melintasi membran sehingga difusi terjadi secara homogen dan tetap. Bagian kedua
adalah difusi dengan cara dan jumlah yang tetap. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan

11
konsentrasi tidak berubah sebagai fungsi waktu. Dalam hal ini diasumsikan interaksi zat
aktif-pelarut dan pelarut-pelarut tidak berpengaruh terhadap aliran zat aktif. Sebagian
besar obat-obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi dengan mekanisme difusi pasif
(Aiache, 1993). Difusi pasif merupakan bagian terbesar dari proses transmembran bagi
umumnya obat. Tenaga pendorong untuk difusi pasif ini adalah perbedaan konsentrasi
obat pada kedua sisi membran sel. Menurut hukum difusi Fick, molekul obat berdifusi
dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah konsentrasi obat rendah

Difusi obat berbanding lurus dengan konsentrasi obat, koefisien difusi, viskositas dan
ketebalan membran. Di samping itu difusi pasif dipengaruhi oleh koefisien partisi, yaitu
semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat.

2.5 Metode-Metode untuk Studi Absorpsi Perkutan


Absorpsi perkutan adalah masuknya molekul obat dari kulit ke dalam jaringan di bawah
kulit, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah dengan mekanisme difusi pasif (Chien,
1987). Penyerapan perkutan merupakan gabungan fenomena penembusan senyawa dari
lingkungan luar ke bagian dalam kulit ke dalam peredaran darah dan kelenjar getah
bening. Istilah perkutan menunjukkan bahwa penembusan terjadi pada lapisan epidermis
dan penyerapan dapat terjadi pada lapisan epidermis yang berbeda (Aiache, 1993). Untuk
memasuki sistem sistemik, tahapan pada absorpsi perkutan dapat melalui penetrasi pada

12
permukaan stratum corneum di bawah gradien konsentrasi, difusi melalui stratum
corneum, epidermis dan dermis, kemudian masuknya molekul ke dalam mikrosirkulasi
(Chien, 1987).
Penembusan molekul dari luar ke bagian dalam kulit secara nyata dapat terjadi baik
melalui penetrasi transepidermal maupun penetrasi transapendageal. Kulit merupakan
organ yang kemungkinan dapat merubah obat setelah penggunaan secara topikal.
Biotransformasi yang terjadi dapat berperan sebagai absorpsi perkutan (Swarbrick dan
Boylan, 1995)
a. Penetrasi Transepidermal
Sebagian besar obat berpenetrasi melintasi stratum corneum melalui ruang
intraselluler dan ekstraselluler. Pada kulit normal, jalur penetrasi obat umumnya
melalui transepidermal, dibandingkan penetrasi melalui folikel rambut maupun
melewati kelenjar keringat (transappendageal). Pada prinsipnya, masuknya
penetran ke dalam stratum corneum adalah adanya koefisien partisi dari penetran.
Obat-obat yang bersifat hidrofilik akan berpartisi melalui jalur transeluler
sedangkan obat bersifat lipofilik akan masuk ke dalam stratum corneum melalui
rute interselluler. Jalur interselluler yang berliku dapat berperan sebagai rute utama
permeasi obat dan penghalang utama dari sebagian besar obat-obatan (Swarbrick
dan Boylan, 1995).
b. Penetrasi Transappendageal
Penetrasi melalui rute transapendageal adalah penetrasi melalui kelenjar-kelenjar
dan folikel yang ada pada kulit (Swarbrick dan Boylan, 1995). Pada penetrasi
transappendageal akan membawa senyawa obat melalui kelenjar keringat dan
folikel rambut yang berhubungan dengan kelenjar sebaseus. Rute transappendageal
merupakan rute yang sedikit digunakan untuk transport molekul obat, karena hanya
mempunyai daerah yang kecil (kurang dari 0,1% dari total permukaan kulit). Akan
tetapi, rute ini berperan penting pada beberapa senyawa polar dan molekul ion
yang hampir tidak berpenetrasi melalui stratum corneum (Moghimi, et al, 1999).
Pada rute ini, dapat menghasilkan difusi yang cepat dan segera setelah penggunaan
obat karena dapat menghilangkan waktu yang diperlukan oleh obat untuk melintasi

13
stratum corneum. Difusi melalui transapendageal ini dapat terjadi dalam 5 menit
dari pemakaian obat.
Sebelum obat dapat memberikan efek, obat perlu dilepaskan dari basisnya setelah obat
kontak dengan stratum korneum maka obat akan menembus epidermis dan masuk ke
dalam sirkulasi sistemik secra difusi pasif. Laju absorbsi melintasi kulit tidak segera
tunak tetapi selalu teramati adanya waktu laten. Waktu laten mencerminkan penundaan
penembusan senyawa kebagian dalam struktur tanduk dan pencapaian gradien difusi
(Syukri, 2002). Absorbsi melalui kulit (permukaan) bila suatu obat digunakan secara
topikal maka obat akan keluar dari pembawanya dan berdifusi ke permukaan jaringan
kulit. Ada 3 jalan masuk yang utama melalui daerah kantong rambut, melalui kelenjar
keringat atau melalui jaringan keringa atau stratum corneum yang terletak dianara
kelenjar keringat dan kantong rambut (Lachman, 1989)

2.6 Basis, Preservative, Antioksidan, Enhancer dan Prototipe Formula


Dalam pembuatan sediaan setengah padat membutuhkan berbagai formulasi agar
terbentuk sediaan yang diinginkan. Formulasi-formulasi tersebut berupa zat aktif dan zat
tambahan. Zat aktif atau dikenaal API dalam bahasa inggris merupakan senyawa kimia
yang pada umumnya sintetik, yang digunakan dalam farmasetik sebagai zat yang dapat
mengobati baik dalam sediaan oral maupun topikal. Sedangkan zat tambahan merupakan
zat-zat yang digunakan untuk menyokong dan melindungi zat aktif dari berbagai
pengaruh buruk lingkungan selama proses penyimpanan. Beberapa komponen zat
tambahan:
A. Basis

Basis terbagi menjadi empat macam, yaitu:

1. Tipe Lemak Disebut juga hidrokarbon karena komponen utamanya petrolatum,

petrolatim putih, kining atau salep putih, minyak mineral. Basis ini bersifat

emolient, oklusif, dan mempertahankan bahan pada permukaan untuk waktu yang

lama.

14
2. Tipe Anhidrat Disebut juga basis absorbsi karena mempunyai kemampuan untuk

menyerap air.

3. Tipe Emulsi Basis emulsi dapat berupa A/M A atau M/A.

4. Tipe Larut Air Sebagian besar adalah basis dari polietilen glikol tidak occlusive,

tidak greasi (tidak berminyak) dan dapat dicuci dengan air

B. Preservative

Preservative atau pengawet ditambahkan pada sediaan semi padat untuk mencegah

kontaminasi, perusakan dan pembusukan oleh bakteri atau fungi karena banyak basis

salep yang merupakan substrat mikroorganisme.

Sifat presetvative yang ideal, yaitu :

1. Efektif pada konsentrasi rendah

2. Larut pada konsentrasi yang diperlukan

3. Tidak toksik

4. Tidak mengiritasi konsentrasi yang digunakan

5. kompatibel dengan komponen bahan dalam formulasi dan dengan wadah.

6. Tidak berbau dan berwarna

7. Stabil

Contoh pengawet yang digunakan: Senyawa-senyawa amonium kuarterner

(cetiltrimetil amonium bromida), senyawa-senyawa merkuri organik (thimerosal),

formaldehid, asam sorbid atau kalium sorbat, asam benzoat atau natrium benzoat,

paraaben (metil/propil), dan alkohol-alkohol.

C. Antioksidan

15
Antioksidan merupakan zat-zat yang digunakan untuk melindungi sediaan dari

pertumbuhan mikroba. Dalam penelitian antioksidan ini perlu memperhatikan warna,

bau, potensi iritan, toksisitas, stabilitas dan kompatibilitas. Antioksidan yang

dipergunakan berkisar antara 0,001-0,1%. Contoh-contoh dari antioksidan adalah :

1. Tokoferol

2. BHA (butylated hydroxy ansole)

3. BHT (butylated hydroxy toluen)

4. Propil galat

5. Alkil galat

D. Enhancer

1. Surfaktan

Surfaktan dibutuhkan sebagai emulsifying untuk membentuk sistem o/w atau w/o,

sebagai bahan pengsuspensi, thickening, cleansing, penambah kelarutan,

pembasah dan bahan pemflokulasi. Surfaktan yang biasa digunakan yaitu

surfaktan nonionik (contoh ester polioksietilen), kationik (benzalkonium klorida)

atau anionik (contoh natrium dodesil sulfat). Surfaktan yang dibutuhkan dalam

sediaan semi padat tergantung pada tipe dari sediaan tersebut misal krim,

ointment, lotion dan lainnya. Fungsi surfaktan ini tergantung nilai HLB

(Hidrophyle-lipophyle balance). Surfaktan dengan HLB tinggi bersifat hidrofil,

sementara itu surfaktan dengan HLB rendah bersifat lipofil.

2. Organic solvent

Digunakan untuk menurunkan tegangan permukaan. Bahan-bahan seperti steril,

miristil dan lauril alkohol yang merupakan surface active, dapat digunakan untuk

16
membantu pencampuran bagian hidrofobik dan hidrofilik dalam suatu formula

sehingga terbentuk suatu struktur yang homogen dari sediaan semipadat dengan

konsistensi tertentu. Senyawa-senyawa hidrofilik seperti bentonit, veegum, PEG,

juga dapat digunakan sebagai bahan pembentuk matriks.

Peningkat penetrasi atau penetration enhancer merupakan zat tambahan yang

dapat membantu proses difusi zat aktif untuk masuk melalui scrutum korneum

secara kimia. Sejumlah bahan dapat meningkatkan penyerapan senyawa yang

terlarut didalamnya, terutama pelarut aprotik misalnya dimetil-sulfoksida

(DMSO), dimetilasetamida (DMA), dan dimetilformida (DMF). Ketiga senyawa

tersebut, terutama DMSO secara in vitro dapat mempercepat penembusan air,

eserin, flusiolon asetonida. Secara in vitro, hasil yang serupa diperoleh pada

griseofulvin, hidrokortison dan sejumlah senyawa lain. Pemakaian DMSO bahkan

memudahkan penimbunan steroida didalam stratum corneum. DMA kurang

beracun dan kurang iritan sedangkan DMSO memberikan efek seperti

heksaklorofen. Sebaliknya pada bahan pembawa yang klasik, bahan peningkat

penembusan dapat melintasi kulit. Meskipun bahan-bahan tersebut diserap,

namun tidak mempercepat perpindahan senyawa yang terlarut. Setiap bahan

dalam larutan berpindah dengan kecepatan tertentu dalam kulit. Pelarut- pelarut

higroskopik yang dipakai murni tanpa pengenceran atau larutan yang sedikit

diencerkan, secara pasti akan mengubah struktur lapisan tanduk : disatu sisi

menyebabkan pembengkakan sel dasar, dan di sisi lain terjadi penggantian air

yang terdapat dalam sel dasar.

E. Prototipe Formula

17
Prototipe adalah contoh awal, model, atau pelepasan produk yang dibangun untuk

menguji konsep atau proses atau bertindak sebagai hal yang harus direplikasi atau

dipelajari.

2.7 Metode Pembuatan Salep


Menurut Ansel (1989), Salep dibuat dengan dua metode umum, yaitu: metode
pencampuran dan metode peleburan. Metode untuk pembuatan tertentu terutama
tergantung pada sifat- sifat bahannya.
a. Metode Pencampuran

Dalam metode pencampuran, komponen dari salep dicampur dengan segala cara

sampai homogen atau sediaan salep yang rata tercapai.

b. Metode Peleburan

Pada metode peleburan, semua atau beberapa komponen dari salep dicampurkan

dengan melebur bersama-sama dan didinginkan dengan pengadukan yang konstan

sampai mengental. Komponen-komponen yang tidak dicairkan biasanya

ditambahkan pada cairan yang sedang mengental setelah didinginkan. Bahan yang

mudah menguap ditambahkan terakhir bila temperatur dari campuran telah cukup

rendah tidak menyebabkan penguraian atau penguapan dari komponen.

Peraturan-peraturan pembuatan salep


Menurut Depkes RI,1995, peraturan-peraturan pembuatan salep terdiri dari :
a. Peraturan salep pertama

“Zat-zat yang dapat larut dalam campuran-campuran lemak, dilarutkan

kedalamnya, jika perlu dengan pemanasan”.

b. Peraturan salep kedua

18
“Bahan-bahan yang dapat larut dalam air. Jika tidak ada peraturanperaturan lain,

dilarutkan lebih dahulu dalam air, diharapkan jumlah air yang digunakan dapat

diserap seluruhnya oleh basis salep, jumlah air yang dipakai dikurangi dari basis”.

c. Peraturan salep ketiga

“Bahan-bahan yang sukar atau hanya sebagian dapat larut dalam lemak dan air

harus diserbuk lebih dahulu, kemudian diayak dengan ayakan no.B.40 (no.100)”.

d. Peraturan salep keempat

“Salep-salep yang dibuat dengan melelehkan, campurannya harus diaduk sampai

dingin”

2.8 Contoh formulasi sediaan salep, langkah langkah pendesainan formula


serta metode pembuatannya
Disadur dari jurnal “Formulasi Sediaan Salep Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa
Oleifera Lamk) Dan Uji Aktivitas Antibakteri Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureus”
Pengambilan Sampel daun Kelor diambil didaerah Teling Kecamatan Wanea, Kota
Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Sampel yang diambil yaitu bagian daun yang berwarna
hijau dan tidak layu. Persiapan Sampel Pada tahap awal dilakukan pengumpulan sampel
daun Kelor, kemudian ditimbang dengan berat daun segar 2 kg. Sampel disortasi dengan
tujuan untuk memisahkan kotoran- kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan
simplisia. Selanjutnya dicuci dengan air mengalir dengan tujuan menghilangkan
pengotor. Sampel kemudian dirajang untuk mempermudah proses pengeringan.
Pengeringan sampel dilakukan dengan dimasukkan kedalam oven selama 3 hari dengan
suhu 400C. Sampel yang sudah kering kemudian diblender sampai menjadi serbuk dan
ditimbang. Serbuk yang dihasilkan diayak dengan ayakan mesh 200, hingga diperoleh
serbuk yang halus dan homogen. Serbuk halus daun Kelor diperoleh yaitu sebanyak
200g. Pembuatan Ekstrak Proses ekstraksi daun Kelor dilakukan dengan metode maserasi
yaitu sebanyak 200 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam wadah, kemudian
direndam dengan larutan etanol 96% sebanyak 1000 mL dengan perbandingan 1:5,
selanjutnya ditutup dengan penutup wadah selama 5 hari sambil sesekali diaduk. Sampel
yang direndam tersebut disaring menggunakan kertas saring dan menghasilkan filtrat 1

19
dan residu 1. Residu yang ada kemudian ditambahkan dengan larutan etanol 96%
sebanyak 500 mL dengan perbandingan 1:2, kemudian ditutup dengan penutup wadah
dan dibiarkan selama 2 hari sambil sesekali diaduk. Setelah 2 hari, dilakukan penyaringan
dengan menggunakan kertas saring. Hasil dari penyaringan kedua ini menghasilkan filtrat
2 dan residu 2. Filtrat 1 dan 2 dicampurkan menjadi satu dan dimasukkan dalam oven
dengan suhu 400C selama 4 hari, sehingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kemudian
ditimbang dan diperoleh sebanyak 18,2 gram ekstrak kental. Ekstrak kental kemudian
disimpan didalam eksikator untuk menjaga kestabilan ekstrak.
Formulasi Salep :
Pada penelitian ini, dibuat sediaan salep ekstrak etanol daun Kelor dengan variasi
konsentrasi, yaitu 5%, 10% dan 15%. Berdasarkan standar salep di atas maka akan dibuat
formulasi 20 g salep dengan tiga variasi konsentrasi sebagai berikut :
Tabel 1. Perbandingan jumlah basis dan ekstrak daun Kelor dari masing- masing
konsentrasi :
KONSENTRASI
FORMULASI
BASIS 5% 10% 15%
Ekstrak Daun Kelor 0g 1g 2g 3g
Adeps Lanae 7,5 g 2,85 g 2,7 g 2,55 g
Vaselin Album 42,5 g 16,15 g 15,3 g 14,45g
m.f unguenta 50 g 20 g 20 g 20 g
Cara Pembuatan sediaan salep ekstrak daun Kelor yakni dibuat formulasi sebanyak 20g
pada masing-masing konsentrasi yaitu 5%, 10% dan 15%. Setelah masing-masing bahan
ditimbang sesuai dengan perhitungan diatas. Masing-masing bahan dimasukan kedalam
cawan porselin dileburkan diatas hot plate dengan suhu 60o C dan diaduk dengan
kecepatan konstan. Selanjutnya diangkat dan diaduk sampai terbentuk massa salep.

2.9 Evaluasi, Pengujian keamanan dan sensitivitas.


Sedian salep di uji atau di evaluasi keamanan dan sensitivitasnya dengan berbagai cara,
diantaranya :
a. Uji Organoleptis

20
Salep yang baik harus memiliki ciri organoleptis yaitu berbentuk semi padat, tidak

berbau tengik, tidak berubah warna dan tidak bau dalam penyimpanan (Ansel, 1989).

b. Uji daya menyebar

Uji ini dilakukan untuk mengetahui luas daerah menyebarnya salep pada kulit yang

diobati dan absorbsinya pada tempat pemakaian. Semakin besar daya menyebar salep

maka efek yang akan ditimbulkan semakin cepat. Daya menyebarnya dapat diukur

dengan besarnya diameter salep. Schingga makin besar daya menyebar salep, maka

ketersediaan obat untuk diabsorbsi makin besar.

c. Uji pH

Dimaksudkan untuk mengetahui sifat dari salep dalam pengunaannya pada kulit.

sehingga aman untuk digunakan, karena pH yang terlalu asam dapat mengiritasi kulit

sedangkan pH yang terlalu basa dapat membuat kulit bersisik (Tranggono dan Latifa,

2007). uji ini sangat penting dilakukan karena akan terjadi kontak langsung dengan

kulit sehingga akan mempengaruhi kondisi kulit. Sediaan salep harus memiliki pH

yang sesuai dengan pH kulit yaitu 4- 6,5

d. Uji daya melekat

Untuk mengetahui lamanya salep melekat pada kulit selama pemakaian atau seberapa

lama waktu kontak antara salep dengan kulit. Diuji dengan meletakkan salep diantara

obyek glass dan diberi beban 1 kg selama 5 menit. Makin lama waktu yang diperlukan

hingga kedua obyek glass terlepas, maka makin baik daya melekat obat tersebut.

Semakin lama salep melekat pada kulit maka efek yang ditimbulkan juga semakin

besar. Salep dikatakan baik jika daya lekatnya itu besar pada tempat yang diobati

21
(misal kulit), karena obat tidak mudah lepas sehingga dapat menghasilkan efek yang

diinginkan.

e. Kemampuan proteksi

Untuk mengetahui kekuatan salep melindungi kulit dari pengaruh luar pada waktu

pengobatan. Contoh dari pengaruh luar diantara lain berupa asam-basa, debu, sinar

matahari dil. Uji proteksi yang baik ditunjukkan dengan adanya noda merah pada

kertas saring yang diolesi salep dan paraffin kemudian ditetesi KOH.

f. Uji kadar air

Uji kadar air biasanya untuk evaluasi absorpsi salep, ada 3 cara yaitu:

a) penentuan kehilangan akibat pengeringan .sebagai kandungan air digunakan

ukuran kehilangan masa maksimal(%) yang dihitung pada saat pengeringan

disuhu tertentu (100-110o C)

b) cara penyulingan. prinsip metode ini terletak pada penyulingan menggunakan

bahan pelarut menguap yang tidak dapat bercampur dengan air.

c) cara titrasi menurut karl fischer. penentuannya berdasar atas perubahan

belerang dioksida dan iod serta air dengan adanya piridin dan metanol.

g. Uji daya menyerap air

Daya menyerap air, diukur sebagai bilangan air, digunakan untuk mengkarakterisasi

basis absorbsi. bilangan air dirumuskan sebagai jumlah air maksimal (g), yang mampu

diikat oleh 100 gram basis bebas air pada suhu tertentu 15-20o C secara terus

menerus/dalam jangka waktu terbatas (24 jam).

h. Uji pelepasan obat

22
Untuk mengetahui berapa persen kadar obat yang lepas dari salep yang dapat terdifusi

melewati membrane.Salep yang baik juga harus melepaskan obatnya dari basis. Hal ini

berkaitan dengan khasiat yang terkandung dalam zat aktifnya.

Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari salep :

a) Kelarutan dari bahan obat terhadap bahan pembawa.

b) Difusi obat dari basis

c) Jenis basis salep atau medium pelepasan

i. Ukuran partikel

Umumnya farmakope tidak memepersyratkan pengujian ukuran partikel dalam salep,

melainkan hanya membatasi penggunaan serbuk halus dan serbuk yang sangat

halus.dalam pembuatannya beberapa farmakope mensyaratkan batas ukuran partikel

sebesar 60/200 mikrometer. alat yang digunakan adalah grindometer.

j. Uji viskositas

Pengujian viskositas salep bertujuan untuk mengetahui kekentalan dari suatu

sediaan. Massa salep dengan konsistensi yang kental atau padat maka viskositas

akan semakin besar. Salep dengan viskositas yang rendah akan memudahkan saat

pemakaian serta pengambilan dari wadah menjadi lebih mudah karena konsistensinya

lunak (Marchaban, 1993). Viskositas salep juga berhubungan erat dengan daya

melekatnya, karena semakin tinggi viskositas maka kemampuan salep untuk melekat

juga semakin lama.

23
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Salep adalah sediaan setengah padat yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat
luar. Bahan obatnya larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok
(Depkes RI, 1995)
Pemberian sediaan salep dilakukan dengan mengoleskannya di suatu daerah kulit,
sebagian besar obat-obat yang diberikan melalui kulit berpenetrasi dengan mekanisme
difusi pasif. Absorpsi pada kulit secara nyata dapat terjadi baik melalui penetrasi
transepidermal maupun penetrasi transapendageal..

B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami tentang makalah yang
kami buat mengenai sediaan salep. Menyadari bahwa tim penulis masih jauh dari kata
sempurna, kedepannya tim penulis akan lebih fokus dan merinci dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber – sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat
di pertanggung jawabkan.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Permenkes. Permenkes RI Nomor: 1176/Menkes/Per/VIII/2010 Tentang Notifikasi


Kosmetika. 2010.
2. Ansel,H.C., 1989. Pengatar Bentuk sediaan Farmasi. Edisi 4. UI Press,Jakarta.
3. Anief, Moh. 2008. Ilmu Meracik Obat. Universitas Gadjah Mada Press,Yogyakarta.
4. Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi. Edisi ke-2. Penerjemah: Dr. Widji
Soeratri. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press.
5. Bronaugh, R.L. and Maibach, H.I. eds., 1999. Percutaneous absorption: drugs--
cosmetics--mechanisms--methodology: drugs--cosmetics--mechanisms--methodology.
CRC Press.
6. Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerbit ITB, Bandung.
7. https://eprints.umm.ac.id/45567/3/BAB%20II.pdf diakses 02 januari 2023
8. https://www.scribd.com/document/436607257/Kfa#
9. https://repository.unair.ac.id/10085/2/Binder1.pdf diakses 02 JAN 2023 jam 10.30 WIB
10. https://doi.org/10.35799/pha.7.2018.18799
11. https://jurnal.umpp.ac.id/index.php/jik/article/download/90/84/179 diakses 04/10/2023
jam 15.00 WIB
12. Mutschler, E. 1991. Dinamika Obat. Edisi kelima. Penerjemah: Mathilda B Widianto.
Bandung: Penerbit ITB. Chien Y. W. (1987). Novel Drug Delivery System 2nd New
York, Marcel Dekker
13. Swarbrick dan Boylan, 1995 Percutaneous Absorption, in Encyclopedia of
Pharmaceutical Technology, Volume 11, Marcel Dekker Inc., New York
14. Vogel, A.I., Tatchell, A.R., Furnis, B.S., Hannaford, A.J. and P.W.G.Smith. Vogel's
Textbook of Practical Organic Chemistry, 5th Edition. Prentice Hall, 1996. ISBN 0-582-
46236-3
15. Voigt. 1984. Buku Ajar Teknologi Farmasi. Diterjemahkan oleh Soendani Noeroto S.
UGM Press, Yogyakarta.

25

Anda mungkin juga menyukai