Fiqh ( )الفقهadalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya)
adalah فقه يفقه فقها. Kata fiqh semula berarti ( العلمpengetahuan) dan ( الفهمpemahaman). Al-fiqh,
al-‘ilm dan al-fahm merupakan kata-kata yang sinonim. Dalam bahasa Arab dikatakan:
Tetapi Imam muhammad Abu Zahrah sedikit membedakan antara lafadz “al-Fiqh” dengan “al-
Fahm”. Beliau mengatakan bahwa al-Fiqh berarti:
“Pemahaman yang mendalam lagi tuntas yang dapat menunjukkan tujuan dari perkataan-
perkataan dan perbuatan-perbuatan”.
Dalam al-Qur’an banyak digunakan kata al-Fiqh dengan arti mengetahui dan memahami secara
umum, sebagaimana tersebut di atas dengan berbagai perubahan bentuknya, di antaranya
adalah:
“Mengapa kaum munafiq itu hampir tidak dapat memahami hakikat kebenaran…”. (QS. Al-
Nisa`: 78)
“…Mereka berkata: Hai Syu’aib, kami tidak begitu mengerti tentang apa yang engkau
bicarakan…”. (QS. Hud: 91)
“…Karena itu Tuhan menutup hatinya, sehingga mereka tidak mengerti”. (QS. Al-Taubah: 87)
“Barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, niscaya Allah akan berikan kepadanya
mengerti tentang agama”.
Jelaslah bahwa kata al-Fiqh menurut bahasa, dari semua ayat dan hadits (baca: penjelasan
hadits) di atas, berarti pengetahuan, pemahaman dan pengertian terhadap sesuatu secara
mendalam. Pengertian ini sangat luas karena meliputi aqidah, ‘ibadah, mu’amalah dan akhlak.
Secara istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada hukum-
kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili). Definisi tersebut
bisa dilihat berikit ini:
“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci (tafsili)”.
“Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-
dalil yang terperinci (tafsili)”.
Lebih jelas lagi imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai
ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-
perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perikatan
yang sahih (sah), perikatan yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang
ibadah yang dilaksanakan secara qada’ (pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) dan hal-
hal lain semacamnya.
Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis yang lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu
dinamakan al-Fiqh, baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil
pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum yang
berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih.