CMIndonesia.com
FacebookTwitterWhatsAppEmailTelegramLineEvernoteLinkedInSambung
Banyak kawan menanyakan proses belajar seperti apa yang kami jalani sehari-hari sebagai
homeschooler praktisi metode Charlotte Mason (CM). Meski saya suka berbagi cerita di media sosial,
tapi sepertinya itu masih kurang. Jadi, mumpung sedang banyak waktu di rumah saja, saya mau cerita
lebih lengkap garis besarnya seperti apa.
Dalam metode CM ini, sangat penting mempelajari filosofi pendidikannya dulu sebelum melaju ke
urusan teknis. Punya fondasi dasar akan sangat memudahkan kita menjalani teknis hariannya. Buat saya,
meskipun di awal butuh perjuangan tersendiri untuk merumuskan teknik harian yang sesuai dengan
filosofi CM, tapi setelah menemukan ramuan yang pas, menjalani metode CM ini mudah dan
menyenangkan.
Fokus utama pendidikan CM adalah membentuk karakter anak. Karena itulah, pendidikan akademis
berfungsi pertama-tama sebagai medium pelatihan kebiasaan baik. Dalam sesi belajar akademis, anak-
anak dilatih untuk mampu memusatkan perhatian, mengoptimalkan seluruh indranya, melakukan
observasi dengan teliti, berpikir logis, mengenal hakikat diri sendiri dan sesama manusia, dsb.
Pendidikan juga medium untuk menumbuhkan akalbudi. Sama seperti tubuh, agar bertumbuh akal budi
butuh asupan “makanan bergizi tinggi”, bukan “micin” dan “gula” yang jadi sajian utama. Sebab itu,
kurikulum harus menyajikan buku-buku yang memantik kerja akal budi anak-anak, living books, segala
hasil karya terbaik yang pernah ada.
Kurikulum Kaya
Tubuh butuh variasi makanan, akal budi pun demikian, maka dalam metode CM, anak-anak belajar
dengan kurikulum yang kaya. Sehari-hari, kedua anak saya belajar aneka subjek: matematika, menulis,
puisi, geografi, sejarah, sains, antropologi, lagu daerah, studi lukisan, studi musik, membuat hasta karya,
dan lain-lain.
Tantangannya kemudian adalah menentukan buku mana yang memenuhi kriteria living books untuk
setiap subjek. Ya, living books memang tidak hitam putih melainkan spektrum. Ada buku yang jelas-jelas
living books, dan ada yang jelas-jelas bukan living books, tapi banyak buku yang berada di pertengahan
antara keduanya.
Living books bagai makanan sehat yang enak, sulit digambarkan dengan kata-kata, harus dirasakan
sendiri. Macam wisata kuliner, saya sarankan teman-teman mencicipi buku-buku yang
direkomendasikan oleh para praktisi CM sebagai living books. Setelah merasakan hidupnya ide-ide di
buku-buku tersebut, kalian bisa berburu buku-buku lain dan menilai sendiri mutunya living atau tidak.
Di luar negeri, ada penyedia kurikulum CM seperti Ambleside Online (AO), Simply Charlotte Mason,
Living Books Curriculum, dan Modern Charlotte Mason yang menyajikan rekomendasi living books
masing-masing. Kurikulum AO yang gratis, lengkap, dan sistematik termasuk favorit para CMer di
Indonesia. Kami di rumah juga memakai banyak buku rekomendasi AO karena keindahan ceritanya,
antara lain Fifty Famous Stories Retold, Parable of Nature, Elementary Geography, dll. Namun, saya
kurang sreg memakai kurikulum asing itu sepenuhnya. Selain buku-bukunya berbahasa Inggris, juga
kontennya “Barat” sekali, kurang dekat dengan keseharian anak-anak saya.
Jadi, saya sering berburu buku. Kalau ada buku yang sepertinya oke, saya coba bacakan ke anak di sesi
belajarnya. Kalau ternyata tidak cocok – konten buku itu terlalu berat atau terlalu ringan, atau tuturan
bahasanya terlalu kaku, sehingga entah anak sulit memahami atau kurang tertantang – biasanya buku
tidak saya lanjutkan baca, saya ganti dengan buku lain. Namun, kalau bukunya terlalu bagus untuk
dilewatkan, saya tetap membacakannya meski anak agak tertatih-tatih. Sejujurnya, saya trial and error!
(Catatan: Saat ini saya dan tim kurikulum Charlotte Mason Indonesia sedang melakukan kurasi terhadap
buku-buku lokal ataupun terjemahan, untuk menyusun semacam panduan kurikulum CM dengan cita
rasa Indonesia. Daftar buku rekomendasi AO terjemahan bahasa Indonesia yang kami anggap baik
mutunya bisa dilihat di sini.)
Saya melakukan proses kurasi buku tiga kali dalam setahun, karena keluarga kami membagi proses
pembelajaran setahun dalam tiga caturwulan (term). Sebelum memulai caturwulanbaru, biasanya saya
pilah-pilih dulu buku apa yang akan dipakai untuk setiap mata pelajaran. Selain buku, saya juga memilih
satu pelukis dan satu pujangga yang akan dipelajari karya-karyanya dalam caturwulan itu.
Sastra: Mahabharata
Jadwal Belajar
Tidak semua subjek dipelajari dalam satu hari. Saya membagi pelajaran menjadi dua jenis, pelajaran
harian dan pelajaran mingguan. Pelajaran harian artinya subjek yang dikerjakan terus-menerus setiap
hari – misalnya, matematika, latihan membaca lantang, latihan menulis, bahasa Inggris, dan membaca
puisi. Pelajaran mingguan artinya subjek yang dijadwalkan untuk hari tertentu dalam satu minggu.
Contoh pelajaran mingguan si sulung (12 tahun):
Meski belajar berbagai macam subjek, durasi sesi akademis anak-anak saya per hari hanya berkisar 1-2
jam (short lessons). Yang penting mereka melakukannya secara fokus. Bagi kami, jauh lebih baik sesi 10
menit tapi anak-anak fokus maksimal dibanding sesi 1 jam tapi pikiran mereka melayang ke mana-mana.
Menulis – 5 menit
Sejarah – 10 menit
Mendengar/menyanyikan lagu daerah – 5 menit
Matematika – 30 menit
Prinsip saya, setiap hari anak-anak harus selalu memiliki setidaknya satu hal besar untuk dipikirkan, satu
hal indah yang menyentuh hatinya, dan satu hal untuk dikerjakan dengan tangannya. Hal-hal inilah yang
perlu ia dapatkan dari pembelajaran akademis hariannya.
“Belajar sejarah cuma 10 menit? Itu ngapain aja?” seorang kawan menanyai saya. Ah iya, biasanya di
sekolah satu mata pelajaran durasinya sampai 1,5 jam ya? Menjadwalkan hanya 5-15 menit per subjek
tentu mengundang tanya.
Jadi begini, dalam metode CM, setiap anak diyakini sejak lahir punya akalbudi yang mampu mencerna
ide, sama seperti lambungnya sejak lahir bisa mengolah makanan. Maka, fasilitator dilarang ceramah.
Berceramah panjang-panjang sama dengan merendahkan kapasitas berpikir seorang anak. Kita seperti
tak percaya dia mampu mengolah makanannya, lalu terus menerus membantunya mengunyah. Cara ini
malah melumpuhkan akal budinya.
Supaya bertumbuh, anak-anak perlu dilatih mengunyah sendiri makanannya. Latihan mengunyah ide
dalam metode CM disebut dengan narasi. Jadi, setelah memilih buku-buku terbaik, tugas kita “hanya”
membacakan (kecuali nanti anak sudah lancar membaca sendiri) dan minta anak menarasikan yang ia
dengar/baca tersebut.
Untuk anak-anak usia sekolah dasar awal, cukup minta narasi lisan. Seiring dengan berjalannya waktu,
saat narasi lisannya sudah mulai mapan – pertanda ia sudah mampu mengunyah ide dengan baik – anak
bisa mulai dimintai narasi tertulis (biasanya sekitar umur 10 tahun ke atas).
Terdengar sangat sederhana, tapi coba saja baca satu tulisan dan ceritakan kembali bacaan itu pada
orang lain. Atau, minta seseorang membacakan sesuatu pada Anda dan ceritakan ulang apa yang sudah
Anda dengar. Bagi saya yang sudah dewasa ini pun, membuat narasi bukan pekerjaan mudah. Saya
harus berkonsentrasi penuh agar mampu menangkap dan mengolah isi cerita lantas mengeluarkannya
kembali dalam kalimat-kalimat yang bisa dimengerti orang lain. Sungguh kerja mental yang menantang!
Lewat narasi, anak-anak membangun kebiasaan mendengar saksama, berpikir mandiri, memahami
gambaran besar suatu ide (bukan sepotong-sepotong), dan terampil mengkomunikasikan isi pikirannya.
Menurut Karen Glass dalam Know and Tell (2018), narasi juga membangun relasi yang lebih dalam
antara pikiran anak dengan pikiran penulis buku.
Kita sebagai fasilitator dilarang ceramah. Biarkan anak menangkap sendiri pesan para penulis. Tapi kita
boleh menjadi teman diskusi saat anak sedang mengunyah ide-ide dari buku. Biasanya jika terpantik, ia
langsung akan mengajukan pertanyaan. Namun, kalau ada ide yang sangat penting, tapi anak tidak
bertanya, fasilitator boleh mengajukan pertanyaan.
Hanya saja yang kita ajukan jangan pertanyaan seperti: Kapan Alexander Agung menjadi raja? Atau:
Siapa tadi nama ibunya? Atau: Apa yang dia lakukan setelah pindah ke kota yang baru? Pertanyaan-
pertanyaan komprehensi semacam itu hanya meminta fakta. Sebaiknya ajukanlah pertanyaan yang
memancing anak berpikir, misalnya: Apakah mungkin mereka berteman selamanya? Persahabatan
seperti apa yang bisa bertahan lama? Yang kita mau adalah akal budi anak terpantik, bukan sekadar
hafal informasinya. Jangan sampai terjebak meminta anak untuk langsung menelan pendapat kita.
Pun demikian, diskusi tidak selalu harus dilakukan. Ada kalanya anak-anak cukup menarasikan. Kalau
memang tidak ada pertanyaan atau komentar tambahan dari anak, sesi selesai. Sederhana sekali.
Masterly Inactivity
Jika anak-anak hanya belajar akademis dengan waktu sependek itu, apa yang mereka kerjakan
sepanjang sisa hari? Jawabannya: terserah mereka. Saya tidak pernah menjadwalkan bagi mereka
kegiatan tertentu di luar sesi akademis, kecuali kami ada janji sebelumnya. Anak-anak saya bebas
menghabiskan sisa waktu: main lego, menggambar, bikin-bikin, bercanda dengan sepupu, main dengan
kucing, main piano, membaca buku, dsb.
Dalam metode CM, prinsip ini bernama masterly inactivity. Dari kata master dan inactive, artinya
orangtua memegang kendali tapi “tidak melakukan apa-apa”. Anak bebas menginisiasi kegiatan selama
tidak melanggar aturan dasar dan batasan yang ditentukan orangtua. Aturan dasarnya barangkali akan
berbeda-beda antar keluarga, tergantung dari yang dianggap penting dan tidak penting.
Masterly inactivity sebenarnya juga bagian dari pendidikan karakter, yakni melatih anak terbiasa
berinisiatif, mengenali dirinya, berpikir mandiri alih-alih terus menerus “disuapi”, juga mengatasi rasa
bosannya sendiri tanpa menunggu pihak lain.
Homeschooling bukan berarti anak-anak di rumah terus. Mereka juga memiliki kegiatan-kegiatan luar
rumah, termasuk sosialisasi dengan teman sebaya. Di tempat les mereka berkawan dengan anak-anak
sekolahan. Lesnya apa saja? Tergantung kebutuhan mereka sendiri, mulai dari berenang, beladiri,
gimnastik, piano, menari, dll.
Yang pasti, saya cukup selektif dari memilihkan guru atau tempat les bagi anak-anak saya. Bagi saya,
guru les adalah mitra dalam mengajari anak, maka kesamaan visi menjadi syarat penting. Saya butuh
berbincang-bincang dulu dengan guru itu sebelum memutuskan dia bisa menjadi mitra saya atau tidak.
Saya mencari guru yang bukan hanya bisa mengajarkan teknis, tapi juga menularkan kecintaan pada
bidang yang digelutinya.
Anak-anak saya juga tergabung dalam dua komunitas homeschooler dengan aneka kegiatannya. Sama
seperti tempat les, kami juga mencari komunitas yang satu visi. Dalam naungan komunitas, anak-anak
(juga saya) mendapatkan banyak keseruan, persahabatan, serta pengetahuan.
“Seringkali kita meyakini bahwa cara meraih kesuksesan adalah dengan melakukan hal-hal besar yang
membuat banyak orang terkagum-kagum. Sementara itu, hal-hal kecil yang dilakukan setiap hari
seringkali tampak remeh karena tidak tampak bermakna. Tetapi jika kebiasan-kebiasaan kecil ini
dibangun secara konsisten setiap hari dan membuat kemajuan sebanyak 1% per hari, kiranya bagaimana
hasilnya setelah 365 hari?”
Demikian terjemahan bebas dari secuil tulisan James Clear dalam bukunya Atomic Habit (2018). Kutipan
ini mengingatkan kita, proses sederhana akan membuahkan hasil jika dilakukan dengan konsisten dan
bukan hanya sesekali.
Proses akademis yang diusung dalam metode CM, seperti latihan kebiasaan baik dan narasi, tampak
sederhana. Kesederhanaannya bisa membuat kita ragu: apakah hal ini benar akan membuahkan hasil?
Namun, seperti kata Clear, kemajuan 1% yang tidak tampak berarti, jika terus menerus dilakukan akan
membuahkan hasil yang besar.
Agar bisa konsisten, orangtua butuh iman. Kita memahami betul konsepnya dan meyakini bahwa ini
memang bermanfaat. Seperti petani, kita mengimani bahwa tanah yang kita taburi ini subur dan bahwa
benih yang kita taburkan ini baik. Suatu saat benih-benih ini akan tumbuh besar dan bermanfaat, meski
kecepatan pertumbuhannya berbeda-beda. Kita hanya perlu tekun merawatnya.
(Tulisan ini dirangkum dan disunting dari beberapa entry di blog pribadi “Pendidikan Adalah Hidup”)
Facebook Comments
FacebookTwitterWhatsAppEmailTelegramLineEvernoteLinkedInSambung
Article by Ayu P
Ayu Primadini. Ibu dua anak homeschooler, praktisi metode CM yang berdomisili di Jakarta. Dapat
dihubungi lewat ayprimadin@gmail.com
PREVIOUS STORY
NEXT STORY
Berbincang dengan Addie MS Soal Musik Klasik dan Pendidikan Karakter
Related Articles
Keluarga Alexa
Langkah Kami Memilih Homeschooling dan Memulai Sesi Akademis CMVIEW DETAILS
no replies
DISPLAY NAME *
COMMENT *
Media informasi pendidikan karakter. Menyajikan beragam berita, gagasan filosofis sampai tips dan trik
bagi orang tua dan guru agar berhasil mendidik anak menjadi pribadi yang “berpikir tinggi, hidup
membumi.”
Terbaru
April 4, 2022
March 6, 2022
February 6, 2022
Arsip
Select Month
Alamat
Semarang 50249
Jam Kegiatan:
Senin—Jumat: 9:00AM–5:00PM
POPULER
KOMENTAR TERKINI
Hj Kurnianti Herdiandari, S.H., on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #11
Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
Endang sri wahyuni on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
Ellen K on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
Ain on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
Ica on DIBUKA: Program Daring “Training for Habit Trainers” Angkatan #10
Visitors
Today: 347
Yesterday: 375
This Week: 8357
Total: 537906
Copyright ©2011-2021 Charlotte Mason Indonesia. All Rights Reserved. || Web Development: Whoups
Creative Co.