DAFTAR ISI
BAB I
A. Pengertian Etika
Etika Berasal dari kata Yunani yaitu ethos yang berarti akhlak, adat kebiasaan, watak,
perasaan, sikap yang baik, yang layak.
Menurut KUBI :
1)Ilmu tentang apa yg baik, apa yg buruk dan tentang kewajiban dan moral
3)Nilai yg benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat
Menurut Martin (1993) etika didefinisikan sebagai “the discipline wich can act as the
performance index or reference for our control system”
Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu
sendiri.
1.Nonmaleficence (tidak merugikan) berarti tidak menimbulkan bahaya/cidera fisik pada pasien.
5.Fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain.
Kode etik (latin:”codex”=himpunan) berarti usaha menghimpun apa yang tersebar. Kode etik
adalah himpunan norma-norma yang disepakati dan ditetapkan oleh dan untuk para pengemban
profesi.
•Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar
dan pekerjaan
•Ciri-ciri pekerjaan profesi :
Kode etik perekam medis dan informasi kesehatan adalah pedoman untuk sikap dan perilaku
perekam medis dalam menjalankan tugas, serta mempertanggung jawabkan segala tindakan
profesi baik kepada profesi itu sendiri, pasien, manajerial dan masyarakat luas.
1.Kewajiban Umum
a.Di dalam melaksanakan tugas profesi, setiap PMIK selalu bertindak demi kehormatan diri,
profesi dan organisasi PORMIKI.
c.PMIK lebih mengutamakan pelayanan daripada kepentingan pribadi dan selalu berusaha
memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan yang bermutu.
d.PMIK wajib menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung di
dalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan
peraturan perundangan yang berlaku.
e.PMIK selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak atas informasi pasien yang terkait
dengan identitas individu atau sosial.
f.PMIK wajib melaksanakan tugas yang dipercaya pimpinan kepadanya dengan penuh
tanggungjawab, teliti dan akurat.
2.Perbuatan/Tindakan yang Bertentangan dengan Kode Etik
b.Menyebarluaskan informasi yang terkandung dalam rekam medis yang dapat merusak citra
PMIK.
c.Menerima imbalan jasa dalam bentuk apapun atas tindakan no.1 dan 2.
a.PMIK wajib mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang dari Kode Etik Profesi.
c.PMIK wajib berpartisipasi aktif dan berupaya mengembangkan serta meningkatkan citra
profesi.
d.PMIK wajib menghormati dan mentaati peraturan dan kebijakan organisasi profesi.
a.PMIK wajib menjaga kesehatan dirinya agar dapat bekerja dengan baik.
b.PMIK wajib meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan perkembangan IPTEK
yang ada
BAB II
Rekam Medis adalah Rekaman atau catatan mengenai siapa, apa. mengapa, bilamana,
dan bagaimana pelayanan yang diberikan kepada pasien selama masa perawatan yang memuat
pengetahuan mengenai pasien dan pelayanan yang diperolehnya serta memuat informasi yang
cukup untuk mengidentifikasi pasien, membenarkan diagnosis dan pengobatan serta merekam
hasilnya.
Rekam Medis adalah Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien
pemeriksaan, pengobatan, tindakan & pelayanan lain yg telah diberikan kepada pasien.
•Catatan : Tulisan yg dibuat oleh Dr/Drg ttg segala tindakan yg dilakukan kepada pasien dlm
rangka pemberian pelayanan kesehatan
•Dokumen : Catatan Dr/Drg dan / atau tenaga kesehatan tertentu, lap hasil pemeriksaan
penunjang, catatan observasi dan pengobatan harian dan semua rekaman, baik berupa foto
radiologi, gambar pencitraan dan rekaman elektro diagnostik.
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa rekam medis memiliki 6 manfaat, yang untuk mudahnya
disingkat sebagai ALFRED, yaitu:
1.Adminstratlve value: Rekam medis merupakan rekaman data adminitratif pelayanan kesehatan.
3.Financial value: Rekam medis dapat dijadikan dasar untuk perincian biaya pelayanan
kesehatan yang harus dibayar oleh pasien
4.Research value: Data Rekam Medis dapat dijadikan bahan untuk penelitian dalam lapangan
kedokteran, keperawatan dan kesehatan.
5.Education value: Data-data dalam Rekam Medis dapat bahan pengajaran dan pendidikan
mahasiswa kedokteran, keperawatan serta tenaga kesehatan lainnya.
6.Documentation value: Rekam medis merupakan sarana untuk penyimpanan berbagai dokumen
yang berkaitan dengan kesehatan pasien.
Terdapat 3 isu hukum utama yang berkaitan dengan rekam medis dan informasi kesehatan,
yaitu : (1) Kompilasi, pemeliharaan, dan retensi Rekam Medis/ Rekam Kesehatan, (2)
Penggunaan dan Pengungkapan Informasi kesehatan, dan (3) Penggunaan catatan pasien dan
informasi kesehatan dalam proses peradilan. Selain itu juga terdapat isu hukum di bidang
kepemilikan, perlindungan dan komputerisasi.
Kompilasi dan pemeliharaan informasi kesehatan harus dilakukan dengan benar dan
sesuai dengan standar-standar, etika,dan huku. Undang-Undang dan Permenkes telah mengatur
kewajiban dan poko-pokok pembuatan dan pengelolaan rekam medis, selanjutnya pedoman dan
standar profesi mengatur rincian pelaksanaannya. Tidak mentaati standar-standar dan ketentuan
hukum diatas akan mengakibatkan diperolehnya sanksi tertentu, seperti dicabutnya izin atau
akreditasi, denda, atau bahkan hukuman penjara. Sebagai contoh, dokter yang sengaja tidak
membuat rekam medis dapat di ancam pidana penjara satu tahun (lihat Pasal 46 dan Pasal 79 UU
Praktik Kedokteran).
Setiap rumah sakit sebaiknya memiliki kebijakan yang memastikan keseragaman isi
maupun bentuk dari rekam kesehatan berdasarkan standar adreditasi yang dipakai, kebutuhan si
pembayar, dan standar profesi . Berikut adalah acuan umum untuk menentukan bentuk dan isi
rekam kesehatan. :
a.Rekam kesehatan hendaknya disusun secara sistematik untuk memudahkan pencarian dan
kompilasi data
b.Hanya orang-orang tertentu yang ditunjuk oleh kebijakan rumah sakit saja yang diperbolehkan
mendokumentasikan dan menyimpan rekam kesehatan
c.Kebijakan rumah sakit dan atau peraturan internal staf medis hendaknya menspesifikasi siapa
yang berhak menerima dan menulis perintah verbal dokter dan tata caranya.
d.Masukan pada pada rekam kesehatan hendaknya dicatat pada saat perawatan yang diuraikan
diberikan (tidak retrospektif)
h.Untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi dalam rekam kesehatan, hendaknya digunakan
tatacara sebagaimana diatur dalam Permenkes No.269 tahun 2008.
i.Bila pasien ingin mengubah isi rekam kesehatanya, perubahan hendaknya dibuat sebagai
adendum. Sebaiknya tidak ada perubahan pada masukan yang asli, dan perubahan harus secara
jelas merupakan dokumen tambahan yang disertakan dalam rekam kesehatan yang asli atas
permintaan pasien, yang selanjutnya akan bertanggungjawab untuk menjelaskan perubahan
tersebut
Permenkes No.269 tahun 2008 mengatur tentang lamanya retensi rekam medis hingga
setidaknya 5 tahun sejak kunjungan pasien terakhir, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat
khusus dapat ditetapkan sendiri.
Selain hukum, peraturan dan standar akreditasi, retensi rekam medis bergantung juga
kepada penggunaannya dalam suatu institusi kesehatan . Sebagai contoh, sebuah fasilitas yang
menyediakan layanan khusus untuk anak-anak mungkin memiliki kebijakan retensi yang berbeda
dengan sebuah klinik dokter keluarga. Demikian pula sebuah fasilitas perawatan akut mungkin
memiliki kebijakan retensi yang berbeda dengan sebuah fasilitas perawatan jangka panjang yang
merawat lansia/geriatri. Komite Medis dari setiap fasilitas layanan kesehatan harus menganalisis
kebutuhan medis dan administratif untuk memastikan bahwa rekam medis pasien-pasiennya
selalu siap untuk dilihat kembali, dinilai kualitasnya, dan lain-lain . Maka pada banyak kasus,
instutusi layanan kesehatan meretensi rekam medis lama dari yang ditetapkan oleh hukum.
Dalam kaitannya dengan retensi informasi kesehatan, AHIMA memberikan pedoman sebagai
berikut :
a.Setiap pemberi layanan kesehatan harus memastikan bahwa informasi kesehatan pasien
tersedia untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan pasien, kebutuhan hukum, riset,
pendidikan, dan kebutuhanlain yang sah.
Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali tertukar . akan tetapi
terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya :
-Privasi adalah “hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk bebas dari campur tangan atau
observasi terhadap hal-hal pribadi seseorang serta hak untuk mengontrol informasi-informasi
pribadi tertentu dan informasi kesehatan”(Harman,2001a, hal.376).
-Kerahasiaan merupakan “pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu. Dalam hal ini
mencakup tanggung jawab untuk menggunakan, mengungkapkan, atau mengeluarkan informasi
hanya dengan sepengetahuan dan izin individu.”(Harman, 2001a,370). Informasi yang bersifat
rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal
-Keamanan meliputi “Perlindungan fisik dan elektronik untuk informasi berbasis komputer
secara utuh, sehingga menjamin ketersediaan dan kerahasiaan. Termasuk kedalamnya adalah
sumber-sumber yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, mengolah,dan menyampaikan,
alat-alat untuk mengukur akses dan melindungi informasi dari pengungkapan yang tak sengaja
maupun yang disengaja (Harman,2001a,hlm.372).
Tanggung jawab profesional MIK antara lain adalah memastikan bahwa privasi dan
kerahasiaan informasi pasien terlindungi serta melakukan pengamanan dat yang digunakan untuk
mencegah terjadinya akses yang tidak sah terhadap informasi tersebut. Selain itu tanggungjawab
profesional MIK juga menjamin pengeluaran peraturan dan prosedur yang akurat dan terbaru,
dipatuhi dan bahwa semua pelanggaran dilaporkan kepada pihak yang berwenang.
Kerahasiaan rekam medis diatur didalam UU Praktik Kedokteran Pasal 47 ayat (2) yang
menyatakan bahwa “rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau
dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan”. Hal yang sama di kemukakan dalam Pasal 11
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Selanjutnya,Pasal 1 PP yang sama menyatakanbahwa “ yang dimaksud dengan rahasia
kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang dalam Pasal 3 pada waktu atu
selam melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran”. Profesional MIK adalah salah satu
tenaga kesehatan yang mengemban wajib simpan rahasia kedokteran.
Dengan melihat masalah diatas dan mengingat Kode Etik Rumah Sakit, adalah menjadi
tanggungjawab sarana pelayanan kesehatan untuk menyediakan tempat yang cukup dan memadai
bagi penyimpanan dokumen rekam medis agar aspek privasi , kerahasiaan dan keamanan
dokumen dapat terjamin.
Sarana pelayanan kesehatan atau rumah sakit memiliki fungsi utama memberikan
perawatan dan pengobatan yang sempurna kepada pasien, baik pasien rawat inap,rawat jalan
maupun gawat darurat. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab atas mutu
pelayanan medik yang diberikan kepada pasien. Rekam medis sangat penting dalam menunjang
upaya pengendalian mutu pelayanan medik yang diberikan oleh sarana kesehatan beserta staf
medik dan keperawatannya.
Dokter yang merawat pasien bertanggung jawab atas kelengkapan dan keakuratan
pengisian rekam medis. Di dalam praktek memang dapat saja pengisian rekam medis dilakukan
oleh tenaga kesehatanlain (perawat, asisten, residen, co-ass), namun dokter yang merawat pasien
lah yang memikul tanggung jawabnya. Perlu diingat bahwa kelengkapan dan keakuratan isi
rekam medis sangat bermanfaat, baik bagi perawatan dan pengobatan pasien, bukti hukum bagi
rumah sakit dan dokter, maupun bagi kepentingan penelitian medis dan administratif.
Komite Medik sarana kesehatan bertanggung jawab atas upaya penjagaan dan
peningkatan mutu pengolahan informasi kesehatan, dengan membentuk panitia rekam medik,
membuat peraturan internal bagi staf medik yang relevan, serta pendidikan dan pelatihan yang
sesuai.
Konsil Asosiasi Dokter Sedunia (WMA) di bidang etik dan hukum menerbitkan ketentuan di
bidang ini pada tahun 1994. Beberapa petunjuk yang penting adalah :
1.Informasi medis hanya dimasukkan ke dalam komputer oleh personel yang berwenang
2.Data pasien harus dijaga dengan ketat. Setiap personel tertentu hanya bisa mengakses data
tertentu yang sesuai, dengan menggunakan security level tertentu.
3.Tidak ada informasi yang dapat dibuka tanpa izin pasien. Distribusi informasi medis harus
dibatasi hanya kepada orang-orang yang berwenang saja. Orang-orang tersebut juga tidak
diperkenankan memindahtangankan informasi tersebut kepada orang lain.
4.Data yang telah “tua” dapat dihapus setelah memberitahukan kepada dokter dan pasiennya
(atau ahli warisnya).
5.Terminal yang on-line hanya dapat digunakan oleh orang yang berwenang.
Sistem juga harus dapat mendeteksi siapa dan kapan ada orang yang mengakses sesuatu
data tertentu (footprints). Di sisi lain, sistem harus bisa memberikan peluang pemanfaatan data
medis untuk kepentingan auditing dan penelitian. Dalam hal ini perlu diingat bahwa data yang
mengandung identitas tidak boleh diakses untuk keperluan penelitian. Kopi rekam medis juga
hanya boleh dilakukan di kantor rekam medis sehingga bisa dibatasi peruntukannya. Suatu
formulir “perjanjian” dapat saja dibuat agar penerima kopi berjanji untuk tidak membuka
informasi ini kepada pihak-pihak lainnya.
Pengaksesan rekam medis juga harus dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang tidak
berwenang tidak dapat mengubah atau menghilangkan data medis, misalnya data jenis read-only
yang dapat diaksesnya. Bahkan orang yang berwenang mengubah atau menambah atau
menghilangkan sebagai data, harus dapat terdeteksi “perubahannya” dan “siapa dan kapan
perubahan tersebut dilakukan”.
Masalah hukum lainnya apakah rekam medis elektronik tersebut masih dapat
dikategorikan sebagai bukti hukum dan bagaimana pula dengan bentuk elektronik dari informed
consent? Memang kita menyadari bahwa berkas elektronik juga merupakan bukti hukum, namun
bagaimana membuktikan keautentikannya? Bila di berkas kertas selalu dibubuhi paraf setiap ada
perubahan, bagaimana dengan berkas elektronik? Cukupkah dengan PIN dan electronic
signature? UU Praktik Kedokteran No.29/2004 mengisyaratkannya demikian dalam Pasal 46
ayat (3). Secara formal hukum Indonesia belum mengatur admissibility dari dokumen elektronik.
Namun demikian hingga saat ini belum ada landasan hukum bagi informasi kesehatan elektronik,
khususnya yang berkaitan dengan keabsahannya secara hukum, baik sebagai bukti hukum
ataupun dalam lalu-lintas informasi. Diharapkan revisi Permenkes tentang Rekam Medis dalam
waktu dekat ini akan mengatur hal tersebut.
Di sisi lain, komputerisasi mungkin memberikan bukti yang lebih baik, yaitu perintah
jarak jauh yang biasanya hanya berupa per telepon (tanpa bukti), maka sekarang dapat diberikan
lewat e-mail yang diberi tanda tangan (signature).
Kepemilikan informasi kesehatan dalam bentuk fisik sebagai medium dipegang oleh
rumah sakit, fasilitas pelayanan kesehatan, atau dokter yang menyimpan rekam medis pasien
tersebut, termasuk hasil foto rontgen, hasil laboratorium, hasil konsultasi, dan dokumen lain yang
berkaitan dengan perawatan langsung terhadap pasien. Akan tetapi tidak berarti bahwa pasien
atau pihak lain yang berwenang tidak memiliki hak hukum untuk mengakses informasi kesehatan
tersebut.
Dengan dinyatakannya secara hukum bahwa sarana kesehatan sebagai pemilik berkas
rekam medis sekaligus pengemban kewajiban menjaga isinya sebagai rahasia, serta menyadari
betapa pentingnya peran rekam medis sebagai bukti pemberian layanan kesehatan kepada pasien,
maka sarana kesehatan memberlakukan ketentuan bahwa rekam medis tidak boleh hilang
ataupun dibawa keluar dari sarana kesehatan tersebut kecuali atas izin pimpinan sarana kesehatan
tersebut. Profesional MIK bertanggung jawab atas keberadaan dan keutuhan rekam medis, serta
menjaganya dari kemungkinan pencurian atau pembocoran IK kepada yang tidak berhak.
Di sisi lain, pasien, sebagai pemilik isi rekam medis/informasi kesehatan, memiliki hak
untuk mengakses informasi kesehatannya dan hak untuk menentukan boleh atau tidaknya
informasi kesehatnnya diakses oleh pihak lain. Kecuali apabila peraturan perundang-undangan
mengaturnya lain. Adapun mengenai tata cara penyerahan informasinya dikenal terdapat dua
pendapat, yaitu :
a.Pasien menerima surat keterangan yang berisikan informasi kesehatannya. Apabila pendapat
ini yang dilaksanakan maka sarana kesehatan harus dapat memastikan bahwa informasi
kesehatan yang diberikan sudah cukup lengkap dan akurat.
b.Pasien menerima fotokopi rekam medisnya. Apabila pendapat ini yang dilaksanakan maka
sarana kesehatan harus membubuhkan stempel, paraf dan tanggal di setiap lembar fotokopi
tersebut.
Pengungkapan informasi kesehatan seseorang pasien kepada pihak lain hanya dapat dilakukan
apabila :
1.Dengan persetujuan atau otorisasi pasien, misalnya informasi kesehatan untuk kepentingan
asuransi kesehatan, perusahaan, pemberi kerja dan lain-lain. Dalam hal ini harus diingat prinsip
minimal, relevan dan cukup, yaitu bahwa informasi kesehatan yang diberikan harus minimal
tetapi harus relevan dengan yang dibutuhkan serta cukup dalam menjawab pertanyaan.
2.Dengan perintah undang-Undang, misalnya :
3.Untuk kepentingan pasien, misalnya pada waktu konsultasi medis antar tenaga kesehatan
/medis, terutama dalam hal pasien berada dalam keadaan darurat dan tidak bisa memberikan
persetujuan.
Masalah bisa saja timbul pada saat keluarga pasien meminta informasi kesehatan pasien.
Pada umumnya keluarga inti – terutama pada budaya timur – di anggap secara implied memiliki
hak akses atas informasi kesehatan, namun menjadi tidak berlaku apabila pasien secara eksplisit
melarangnya.
Pasal 43 Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengisyaratkan
bahwa rekam medis tidak dapat disita tanpa persetujuan sarana kesehatan atau orang yang
bertanggung jawab atas rekam medis tersebut.
“Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-
undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat
kecuali undang-undang menentukan lain
Selain itu, pemberi layanan kesehatan dapat saja menetapkan sebagian informasi
kesehatan sebagai rahasia dan tidak menyampaikannya ke petugas penuntut umum, sepanjang
informasi tersebut tidak relevan dengan perkaranya. Hak menjaga kerahasiaan informasi tertentu
tersebut dilindungi oleh Pasal 43, 120, dan 170 KUHAP.
Pedoman Praktis
Selanjutnya sebagai pedoman praktis bagi sarana kesehatan dapat digunakan ketentuan
umum di bawah ini, kecuali terdapat ketentuan khusus yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku :
2.Secara umum dapat dikatakan bahwa menjaga sebagai rahasia berarti bahwa bila
mengungkapkan identitas maka tidak boleh mengungkap data medisnya, dan sebaliknya bila
mengungkap data medis maka tidak boleh mengungkap identitasnya.
3.Sarana kesehatan tidak boleh dengan sekehendaknya menggunakan rekam medis dengan cara
yang membahayakan kepentingan pasien, kecuali jika sarana kesehatan itu sendiri akan
menggunakannya untuk melindungi dirinya atau mewakilinya.
4.Dokter yang merawat pasien beserta timnya setiap saat dapat mengakses informasi kesehatan
pasien tersebut dalam rangka melaksanakan pekerjaannya. Di dalam rumah sakit pendidikan,
residen, dan co-ass juga memiliki hak akses tersebut untuk kepentingan pendidikan, pelayanan,
dan penelitian.
6.Informasi kesehatan pasien diserahkan kepada pasien dalam dua pilihan cara, yaitu dalam
bentuk keterangan (resume) medis atau dalam bentuk fotokopi rekam medis, dengan pengesahan
berupa paraf, tanggal dan stempel sarana kesehatan pada setiap lembarnya. Cara manapun yang
dipilih harus dapat dipastikan bahwa informasi kesehatan yang diberikan telah cukup lengkap
dan benar.
7.Rekam medis asli tidak dapat diperkenankan dibawa keluar rumah sakit atau sarana kesehatan.
8.Rumah sakit atau dokter bukan yang merawat pasien tidak diperkenankan mengakses rekam
medis pasien tanpa persetujuan atau kuasa pasien.
9.Pihak lain selain pasien hanya dapat meminta informasi kesehatan pasien dengan persetujuan
pasien. Permohonan harus tertulis dan dilampiri dengan bukti persetujuan pasien.
10.Persetujuan atau kuasa pasien harus jelas mencantumkan informasi kesehatan mana yang
disetujui, kepada siapa persetujuan/kuasa tersebut diberikan, hingga kapan kuasa tersebut
berlaku, dan kapan kuasa tersebut ditanda tangani.
11.Dokter atau tenaga kesehatan lain yang memerlukan informasi kesehatan pasien untuk
kepentingan penelitian, atas izin pimpinan sarana kesehatan dapat mengakses rekam medis
pasien tanpa memerlukan persetujuan pasien, dalam hal ini maka identitas pasien harus
dikaburkan.
12.Khusus tentang informasi kesehatan hasil dari suatu pengujian kesehatan dapat diberikan
kepada pihak peminta penguji kesehatan, persetujuan tertulis terperiksa agar dimintakan pada
saat pemeriksaan akan dilakukan.
13.Aparat penegak hukum, dalam rangka penegakan hukum, dapat meminta secara tertulis
informasi kesehatan pasien tanpa memerlukan persetujuan pasien.dalam hal ini sarana kesehatan
akan menyerahkan fotokopi rekam medis yang disahkan.
14.Informasi kesehatan dalam bentuk visum et repertum hanya diberikan kepada institusi
penyidik yang memintanya secara resmi.
15. Pada anak yang diadopsi, orang tua lama kehilangan haknya untuk mengakses informasi
kesehatan anak sejak ia diadopsi, namun tetap berhak atas informasi kesehatan anak sebelum
diadopsi orang tua baru.
16.Pada anak yang diadopsi, orang tua baru pada dasarnya tidak berhak mengakses informasi
kesehatan anak sebelum ia diadopsi, kecuali atas pertimbangan dokter dan informasi kesehatan
tersebut diperlukan untuk kepentingan kesehatan anak. Orang tua baru tidak doperkenankan
mengakses informasi tentang orang tua asli si anak yang diadopsinya.
17.Pada anak yang diadopsi, anak dapat mengakses rekam medis, baik sebelum maupun sesudah
adopsi, namun tidak diperkenankan mengakses informasi tentang orang tua asli.
Prinsip-prinsip
Informed consent adalah pengakuan hak autonomy pasien, yaitu hak untuk dapat
menentukan sendiri apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya. Oleh karenanya tidak hanya
informed consent yang kita kenal, melainkan juga informed refusal. Doktrin infomed consent
mensyaratkan agar pembuat consent telah memahami masalahnya terlebih dahulu (informed)
sebelum membuat keputusan (consent atau refusal)
Dengan demikian, informed consent adalah suatu proses yang menunjukan komunikasi
yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan
apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum
bukanlah suatu perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih kearah persetujuan sepihak atas
layanan yang ditawarkan pihak lain. Dengan demikina cukup ditanda tangani oleh pasien
dan/atau walinya, sedangkan pihak rumah sakit, termasuk dokternya, hanya menjadi saksi.
b.Tidak dinyatakan (impliyed). Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis,
namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukan jawabannya: misalnya menggulung
lengan baju ketika diambil darahnya.
Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan buku dikemudian hari, umumnya pada
tindakan yang invasif atau yang berisiko memengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. UU
Praktik Kedokteran dan Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa
semua jenis tindakan operatif dan yang berisiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan
sebelumnya, dan tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan
dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila terjadi keadaan
gawat darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan
consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia
mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan
orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/istri, anak yang sudah dewasa (umur
21 tahun atau pernah menikah), orang tua, saudara kandung, dan lain-lain.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak
menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak
absolut, artinya masih dapat ditolak atau diterima oleh dokter. Hal ini oleh karena dokter akan
mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk
mencegah perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self inflicted, kewajiban melindungi pihak
ketiga, dan integritas etis profesi dokter. Namun perkembangan nilai demikian cepat terjadi
sehingga saat ini telah banyak dikenal permintaan pasien untuk tidak diresusitasi, terapi minimal,
dan menghadapi kematian yang alami tanpa menerima terapi/tindakan yang extraordinary.
Dalam praktik sehari-hari, informed consent tidak hanya diperlukan pada tindakan
operatif, melainkan juga pada prosedur diagnostik atau tindakan pengobatan yang invasif lainya,
misalnya pada waktu arteriografi, pemeriksaan laboratorium tertentu, kateterisasi, pemasangan
alat bantu nafas, induksi partus, ekstraksi vakum, dan lain-lain.
Pelaksanaan
Infomed consent memiliki 7 elemen (beauchamp and childress, 1994), yaitu : (1)
kompeten untuk memahami dan membuat keputusan, (2) sukarela dalam membuat keputusan,
(3) penjelasan yang informatif, jujur dan lengkap, (4) rekomendasi atau rencana tindakannya, (5)
pemahaman atas informasi yang diberikan, (6) pembuatan keputusan, dan (7) otorisasi.
Dengan merujuk kepada doktrin dan ketentuan hukum diatas maka pelaksanaan
informed consent adalah sebagai berikut :
1.Persetujuan tindakan medik dalam bentuk tertulis diperlukan pada tindakan medik yang
mengandung resiko tinggi atau yang membutukan bukti.
2.Selalu didahului dengan penjelasan oleh dokter yang merawat atau oleh dokter penggantinya.
3.Informasi dapat diberikan secara lisan maupun tertulis dengan memberikan kesempatan yang
cukup untuk tanya jawab. Bentuk tertulis dapat dijadikan bukti bahwa informasi tersebut telah
diberikan.
4.Informasi yang diberikan setidak-tidaknya meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognisis terhadap tindakan yang dilakukan.
6.Pertindik tertulis diberikan oleh pasien sendiri bila ia kompeten (dewasa, sadar dan sehat
mental), atau oleh keluarga terdekat atau walinya dalam hal ia tidak kompeten.
7.Pertindik tidak diperlukan apabila pasien tidak kompeten dan tidak ada keluarga yang
mendampingi, sedangkan tindakan medik sangat diperlukan oleh karena pasien dalam keadaan
gawat darurat.
8.Urutan prioritas pemberi persetujuan yang umum adalah pasien sendiri, suami atau istrinya,
anaknya yang sudah dewasa, orang tuanya, dan saudara kandungnya. Sedangkan keluarga lain,
teman dan kenalan lain dapat memberikan persetujuan dalam hal orang-orang yang disebut
sebelumnya tidak ada.