Anda di halaman 1dari 98

SKRIPSI

HUBUNGAN BERAT BADAN DAN TINGGI BADAN ORANG TUA


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA
USIA 2-5 TAHUN DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS BAROMBONG

DESI FATMASARI
14.01.006

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
STIKES PANAKKUKANG
MAKASSAR
2018
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI (ORSINILITAS)

Yang bertanda tangan dibawah ini

Nama : DESI FATMASARI

Nim : 14.01.006

Program studi : S1 KEPERAWATAN

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya
sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pemikiran
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu
dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian
atau keseluruhan skripsi ini merupakan hasil karya orang lain maka saya bersedia
mempertanggungjawabkan sekaligus bersedia menerima sanksi berupa gelar
kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.
Demikian, pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar dan tanpa ada
paksaan sama sekali.

Makassar, 2018
Yang membuat pernyataan,
(materai 6.000)
DESI FATMASARI
Nim, 14.01.006

iv
ABSTRACT

DESI FATMASARI: The Relationship of Body Weight and Height of


Parentswith the Stunting Occurence on the 2-5 years old Infants in the Work
Region of Puskesmas barombong.(Supervised by Mikawati Rasyid and Efi
Lusiana)
(i-xyi+76 pages + 11 tables + 7 appendices)

Stunting is a chronic malnutrition due to poor nutritional intake for long


time regarding to inadequate needs of nutrition. The aims of this research is to
find out the relationship of body weight an height of the parents with the
occurence of Stunting on the infants at the work region of puskesmas barombong.
This is an observational analityc with the approach of “Cross sectional
study” that conducted measurement and observational concurerently (at the same
time). The sample were gathered throught Total Sampling Technique, as many as
49 of respondents and the research instrumens used data obsrvation.
The analysis by Chi-Square test shows that the value of continuity
correction of correlative fater’s body weight and the occurence of Stunting on he
infants, P = 0,579 where P <a 0,05 thus, there is no association. It is also seen in
the mother’s body weight in the Stunting incidence on the infants that the value of
P= 0,355, means there is no correlation. Mean while, the father’s height and
Stunting on the infants show the value of P = 0,837 where P <a0,05 means there
is no relation. But, it is different from the mother’s height and infants Stunting that
the value of P = 0,026 where P <a 0,05 means there is a correspondence of the
mother’s height and the Stunting on the infants of 2-5 years old in the work region
puskesmas barombong.
It can be concluded that there is no agreement of the parents’ body weight
and the father’s height with the Stunting in the infants. But, in fact, there is
comformity to the mother’s height and Stunting on the infants of 2-5 years in the
work region of puskesmas barombong. It is suggested to meet the needs of
sufficient nutritional intake for the infants. Furthermore, the result of this study
could be as the reference to conduct another factor related to Stunting on the
infants of 2-5 years old

Key words : body weight and height, Stunting, infants


References : 28 (2010-2018)

v
ABSTRAK

DESI FATMASARI: Hubungan Berat Badan Dan Tinggi Badan Orang


TuaDengan Kejadia Stunting Pada Balita Usia 2-5 Tahun Di Wilayah Kerja
Puskesmas Barombong (Di Bimbing Oleh Mikawati Rasyid dan Efi Lusiana)
(i-xyi+76 Halaman+11 Tabel+7 Lampiran)

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang di sebabkan oleh asupan
gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan gizi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan berat badan dan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada
balita di wilayah kerja puskesmas barombong.
Jenis penelitian ini menggunakan observasional analitik dengan
pendekatan “cross sectional study”yaitu melakukan pengukuran atau pengamatan
pada saat yang bersamaan (sekali waktu. Pengambilan sampel menggunakan Total
Sampling, sebanyak 49 responden dan instrumen penelitiannya menggunakan
obsevasi data.
Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Chi-Square menunjukan
bahwa nilai Continuity Correction dari hubungan berat badan bapak dengan
kejadian Stunting pada balita yaitu P = 0,579 dimana P <a 0,05dengan demikian
tidak ada hubungan. Sama dengan hasil berat badan ibu dengan kejadian Stunting
pada balita yaitu nilai P = 0,355 artinya tidak ada hubungan. Adapun hasil dari
hubungan tinggi badan bapak dengan kejadian Stunting pada balita menunjukan
nilai P = 0,837 dimana P <a 0,05 artinya tidak ada hubungan. Berbeda dengan
hubungan tinggi badan ibu pada kejadian Stunting pada balita nilai P = 0,026
dimana P <a 0,05 artinya ada hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian
Stunting pada balita usia 2-5 tahun di wilayah kerja puskesmas barombong.
Kesimpulan dari penelitian ini yaitu tidan ada hubungan berat badan orang
tua dan tinggi badan bapak dengan kejadian Stunting pada balita. Namun ada
hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian Stunting pada balita usia 2-5
tahun di wilayah kerja puskesmas barombong. Disarankan untuk masyarkat
wilayah kerja puskesmas barombong untuk memberikan asupan gizi pada bayi
dan bagi peneliti selanjutnya, menambah referensi penelitian selnjutnya agar
meneliti faktor lain yang berhubungan dengan kejadian Stunting pada balita usia
2-5 tahun.

Kata kunci : Berat Badan dan Tinggi Badan, Stunting, Balita


Referensi : 28 (2010-2018)

vi
KATA PENGANTAR

AlhamdulillahiRabbilAlamin. Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat


Allah SWT, yang telah melimpahkan segala rahmat dan hidayahnya yang tak
terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal di pendidikan program
studi S1 Keperawatan STIKES Panakkukang Makassa.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua
tercinta yang senang tiasa memberikan kasih sayang, doa dan dukungan materi.
Dalam memlakukan penyusunan proposal ini penulis telah mendapatkan banyak
masukan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat berguna dan
bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada
kesempatan ini dengan berbesar hati penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak H. Sumardin Makka, SKM., M.Kes., selaku ketua yayasan perawat
Sulawesi Selatan.
2. Ibu Sitti Syamsiah, SKp.,M.Kes., selaku ketua stikes panakkukang
makassar yang telah memberi izin penelitian untuk keperluan skripsi
selaku penguji 1
3. Bapak Dr.H. Nukman selaku Pimpinan/Direktur PUSKESMAS
BAROMBONG.
4. Bapak Dr. Makkasau Plasay.,S.Kep.,M.Kes.,M.EDM., CWCCA selaku
ketua prodi S1 keperawatan STIKES Panakkukang Makassar yang telah
memberi bimbingan dan petunjuknya selama penelitian.
5. Ibu Mikawati Rasyid, S.Kp.,M.Kesselaku pembimbing I yang telah
memberikan arahan dan bimbingan serta saran yangmembangun selama
ini.
6. Ibu Ns. Evi Lusiana, S.Kep., M.Kep selaku pembimbing II dengan penuh
kesabaran dan keikhlasan meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk
memberikan arahan kepada penulis sehingga proposal ini dapat
terselesaikan dengan tepat waktu.

vii
7. Dosen di prodi S1 Keperawatan yang dengan sabar memberikan
pengarahan yang tiada henti-hentinya dan dorongan sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal ini.
8. Civitas akademik STIKES Panakkukang Makassar.
9. Teman seperjuangan saya Rikawati yusuf, Nurfadillah dan kakak saya
Kasman Halim yang selalu membantu saya dan tidak henti-hentinya
memberikan motivasi dan dorongan untuk menyelesaikan tugas ini.
10. Teman-teman mahasiswa S1 Keperawatan angkatan 2014 yang tidak bisa
di sebutkan satu persatu, kebersamaan dengan kalian semua adalah
kenangan
11. Semua pihak yang tidak bisa di sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuannya.
Dengan kerendahan hati penulis menyadari bahwa dalam
melakukan penyusunan proposal ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu masukan yang berupa saran dan kritik yang membangun dari
para pembaca akan sangat membantu, semoga proposal ini bisa
bermanfaat bagi kita semua dan pihak-pihak terkait terutama penulis.

Makassar, 2018

Desi Fatmasari

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN .....................................................................................i

KATA PENGANTAR ................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 8

A. Tinjauan Umum Tentang Balita ................................................................ 8

B. Tinjauan Umum Status Gizi Balita .................................................... 15

C. Tinjauan Umum Tentang Stunting .................................................... 25

D. Tinjauan Umum Tentang Berat Badan Dan Tinggi Badan ...................36

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ...................48

A. Kerangka Konsep .....................................................................................48

B. Hipotesis Penelitian .................................................................................49

BAB IV METODE PENELITIAN ..........................................................................50

A. Desain Penelitian ......................................................................................50

B. Populasi Sampel dan Sampling ...............................................................50

ix
C. Variabel Penelitian ...................................................................................52

D. Defenisi Operasional ................................................................................53

E. Lokasi dan Waktu Penelitian ...................................................................56

F. Instrument Penelitian ...............................................................................57

G. Prosedur Pengumpulan Data ...................................................................57

H. Teknik Analisa Data ................................................................................57

I. Etika Penelitian .................................................................................. 59

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 60

A. Hasil Penelitian ...................................................................................... 60

B. Pembahasan ........................................................................................... 69

C. Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 74

D. Implikasi Untuk Keperawatan ................................................................ 74

BAB VI PENUTUP ........................................................................................... 75

A. Kesimpulan ............................................................................................ 75

B. Saran ...................................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori dan ambang satus gizi anak

Tabel 2.2 Tinggi badan berdasarkan Berat Badan

Tabel 4.1 Definisi Operasional

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik umur

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi berdasarkan berat badan orang tua

Tabel 5.3 Distribusi frekuensi berdasarkan tinggi badan orang tua

Tabel 5.4 Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian stunting

Tabel 5.5 Hubungan berat badan bapak dengan kejadian stunting pada balita usia
2-5 tahun

Tabel 5.6 Hubungan berat badan ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5
tahun

Tabel 5.7 Hubungan tinggi badan bapak dengan kejadian stunting pada balita usia
2-5 tahun

Tabel 5.8 Hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 2-
5 tahun

xi
DAFTAR GAMBAR

3.1 Skema kerangka konsep penelitian

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian

makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi (Millennium Challenga

Account Indonesia, 2014). Stunting terjadi mulai janin masih dalam

kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi

pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan

penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat

dewasa. Kemampuan kognitif para penderita juga berkurang, sehingga

mengakibatkan kerugian ekonomi jangka panjang bagi Indonesia

(Millennium Challenga Account Indonesia, 2014).

Stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus karena dapat

menghambat perkembangan fisik dan mental anak(Kartikawati, 2011).

Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta

terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan mental. Balita yang

mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan kemampuan

intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di

masa mendatang. Hal ini dikarenakan anak stunting juga cenderung lebih

rentan terhadap penyakit infeksi, sehingga berisiko mengalami penurunan

kualitas belajar di sekolah. Stunting juga meningkatkan risiko obesitas,

1
karena orang dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah.

Kenaikan berat badan beberapa kilogram saja bisa menjadikan Indeks

Massa Tubuh (IMT) orang tersebut naik melebihi batas normal. Keadaan

overweight dan obesitas yang terus berlangsung lama akan meningkatan

risiko kejadian penyakit degenerative (Purwandini K, 2013)

Dampak dari stunting pada balita perlu menjadi perhatian khusus

karena dapat menghambat perkembangan fisik dan mental anak

(Kartikawati, 2011). Stunting berkaitan dengan peningkatan resiko

kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan

motoric dan mental. Balita yang mengalami stunting memiliki resiko

terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan

peningkatan resiko penyakit degenerative di masa mendatang. Hal ini

dikarenakan anak stunting juga cenderung lebih rentan terhadap penyakit

infeksi, sehingga beresiko mengalami penurunan kualitas belajar

disekolah. Stunting juga mengakibatkan resiko obesitas, karena orang

dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah.

Di dunia, lebih dari 2 juta kematian anak dibawah 5 tahun

berhubungan langsung dengan gizi buruk terutama akibat stuntin dan

wasting. Terdapat sekitar 195 juta anak yang hidup dinegara miskin dan

berkembang mengalami stunting (Rahmayana et al., 2014, dalam

Hapsari.W 2018)

Menurut UNICEF, tahun 2011 ada 165 juta (26%) balita dengan

stunting di seluruh dunia. Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan

2
angka balita stunting tertinggi yaitu ada 7,5 juta balita (UNICEF, 2013).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013,

prevalensi pendek secara nasional adalah 37,2%, yang berarti terjadi

peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%)

(Kemenkes, 2013). Prevalensi stuntingdi Indonesia lebih tinggi daripada

negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar (35%), Vietnam

(23%), dan Thailand (16%) (Millennium Challenga Account Indonesia,

2014).

Di Indonesia, riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 di

Indonesia mencatat bahwa prevelensi stunting sebesar 37,2%, meningkat

dari tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Kemenkes RI tahun

2016 prevelensi stunting dapatkan 38,9%. Prevelensi stunting di provinsi

jawa tengah sebesar 33,9% dengan kategori pendek sebesar 17,0% dan

sangat pendek sebesar 16,9% (Hapsari. W 2018)

Salah satu penyebab stunting adalah BB dan TB orang tua hal ini

didukung oleh penelitian menurut Riskesdas 2010 menunjukan salah satu

faktor terjadinya anak pendek pada umumnya karena faktor genetik. Anak

yang berperawakan pendek umumnya lahir dari ibu yang rata-rata tinggi

badannya lebih pendek (150,7 cm). dibandingkan rata-rata tinggi badan

ibu kelompok yang normal (152,4 cm). sebaliknya kelompok ibu yang

pendek (tinggi <150 cm)cederung melahirkan bayi pendek yang lebih

banyak (47,2%) dibandingkan kelompok ibu tinggi normal (36,0%).

3
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Nur Afia Amin, Madarina Julia April 2014, dengan judul

“Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya

dengan kejadian stunting pada balita usia 6-23 bulan”. Desain penelitian

adalah case-control. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni

2014 di Kecamatan Sedayu. Besar sampel yang diambil sebesar 252 balita

usia 6-23 bulan. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner untuk

mengetahui identitas balita, identitas responden, status gizi balita, dan data

sosiodemografi . Infantometer digunakan untuk mengukur panjang badan

balita dan microtoise untuk mengukur tinggi badan orang tua. Analisis

bivariat menggunakan uji chi-square dan multivariate menggunakan uji

regresi logistik. Dalam penelitian ini diketahui prevalensi kejadian

stunting di Kecamatan Sedayu sebesar 16,20%. Hasil uji bivariat

menunjukkan bahwa variabel bebas yaitu tinggi badan ibu (p=0,01)

menunjukkan hubungan yang signifi kan terhadap kejadian stunting. Hasil

uji multivariate membuktikan bahwa variabel yang paling berpengaruh

dengan stunting yaitu tinggi badan ibu. Variabel pekerjaan, pendidikan,

pendapatan dan pengeluaran, jumlah anggota keluarga, dan tinggi badan

ayah tidak menunjukkan hasil yang bermakna terhadap kejadian stunting

(Amin. A. A., dan Julia. M., 2014).

Hasil penelitian ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Ampera. M. dkk, pada tahun 2017, dengan judul “

Hubungan Berat Badan Dan Tinggi Badan Orang Tua Dengan Status Gizi

4
Balita Di Kabupaten Aceh Besar”. Penelitian ini menggunakan data

sekunder hasil PSG Aceh 2015, diperoleh melalui studi dokumentasi/

observasi dan diolah mulai tahapan editing, coding, transferring sampai

tabulating. Analisis data univariat dan bivariate menggunakan uji Chi-

Square. Hasil penelitian, terdapat, terdapat hubungan berat badan dan

tinggi badan orang tua dengan status gizi balita berdasarkan indicator

BB/TB dan TB/U (p> 0,05) dengan status gizi balita (BB/U), tetapi berat

dengan tinggi badan ibu tidak menunjukkan hubungannya. Kesimpulan,

tingginya masalah gizi kronis dan akut di Kabupaten Aceh Besar

merupakan akibat berat badan dan tinggi badan orang tua yang berperan

dalam besarnya pravalensi gizi terutama berat dan tinggi badan kepala

keluarga ( Ampera. W. dkk, 2017).

Pada penelitian yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas

Barombong dan data yang diperoleh dari 1 tahun terakhir adanya balita

yang mengalami stunting. Dimana dari hasil wawancara staff Puskesmas

Barombong mengatakan bahwa adanya balita yang mengalami stunting

sebanyak 56 balita. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang”Hubungan Berat badan dan Tinggi badan orang tua

dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di wilayah kerja

puskesmas barombong”

B. Rumusan Masalah

Dari uraian pada latar belakang diatas, maka peneliti menetapkan

suatu rumusan masalah penelitian tentang “ Apakah Ada Hubungan Berat

5
Badan Dan Tinggi Badan Orang Tua Dengan Kejadia Stunting Pada Balita

Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong?”

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Diketahuinya Hubungan Berat Badan Dan Tinggi Badan Orang

Tua Dengan Kejadia Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja

Puskesmas Barombong.

2. Tujuan khusus

a. Diketahuinya gambaran berat badan pada orang tua

b. Diketahuinya gambaran tinggi badan pada orang tua

c. Diketahuinya gambaran kejadian stunting pada balita

d. Diketahuinya hubungan berat badan dan tinggi badan orang tua

dengan kejadian stunting pada balita.

D. Manfaat penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Penelitian ini dapat dijadikan contributor ilmiah dalam usaha

mengembangkan ilmu pengetahuan yang berfokus pada bidang

Keperawatan dan dapat digunakan sebagai literature sekaligus

pembanding untuk penelitian selanjutnya

2. Manfaat Institusi

Sebagai bahan masukan terutama bidang Keperawatan untuk

dapat meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dalam pelaksanaan

asuhan keperawatan khusunya pada balita yang mederita stunting

6
3. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi

perkembangan ilmu Keperawatan

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi perawat

tentang hubungan berat badan dan tinggi badan orang tua dengan

kejadian stunting

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan umum balita

1. Definisi balita

Balita merupakan anak yang berusia diatas satu tahun atau biasa

juga disebut dengan bayi di bawah lima tahun (Muaris, 2009).

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2014) seorang anak

dikatakan balita apabila anak berusia 12 bulan sampai dengan 59

bulan. Price dan Gwin (2014) mengatakan bahwa seorang anak dari

usia 1 sampai 3 tahun disebut batita atau toddler dan anak usia 3

sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah atau preschool child.

Usia balita merupakan sebuah periode penting dalam proses

pertumbuhan dan perkembangan seorang anak (Febry, 2008 dalam

Haryansyah. R. A, 2017).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan

balita merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan

setiap individu berbeda-beda, bisa cepat maupun lambat tergantung

dari beberapa faktor diantaranya herediter, lingkungan, budaya dalam

lingkungan, sosial ekonomi, iklim atau cuaca, nutrisi dan lain-lain

(Aziz, 2006 dan Nurjannah, 2013 dalam Haryansyah. R. A, 2017).

8
2. Karakteristik balita

Septiari (2012) menyatakan karakteristik balita dibagi menjadi dua

yaitu:

a. Anak usia 1-3 tahun

Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak

menerima makanan yang disediakan orang tuanya. Laju 7

pertumbuhan usia balita lebih besar dari usia prasekolah, sehingga

diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Perut yang lebih

kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya

dalam sekali makan lebih kecil bila dibandingkan dengan anak

yang usianya lebih besar oleh sebab itu, pola makan yang diberikan

adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.

b. Anak usia prasekolah (3-5 tahun)

Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah

mulai memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan

anak cenderung mengalami penurunan, disebabkan karena anak

beraktivitas lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak

makanan yang disediakan orang tuanya.

Anak usia 1 sampai 3 tahun akan mengalami pertumbuhan

fiisik yang relatif melambat, namun perkembangan motoriknya

akan 12 meningkat cepat (Hatfield, 2008). Anak mulai

mengeksplorasi lingkungan secara intensif seperti anak akan mulai

mencoba mencari tahu bagaimana suatu hal dapat bekerja atau

9
terjadi, mengenal arti kata “tidak”, peningkatan pada amarahnya,

sikap yang negatif dan keras kepala (Hockenberry, 2016 dalam

Haryansyah. R. A, 2017).

3. Tumbuh kembang balita

Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun

prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:

a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian

bawah (sefalokaudal). Pertumbuhannya dimulai dari kepala

hingga ke ujung kaki, anak akan berusaha menegakkan tubuhnya,

lalu dilanjutkan belajar menggunakan kakinya.

b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya

adalah anak akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak

tangan untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda

dengan jemarinya.

c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar

mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti

melempar, menendang, berlari dan lain-lain

Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala

kuantitatif. Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan

jumlah sel, serta jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata

lain, berlangsung proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai

penambahan ukuran-ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:

1. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.

10
2. Bertambahnya ukuran lingkar kepala.

3. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham

4. Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.

5. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku,

dan sebagainya.

Penambahan ukuran-ukuran tubuh ini tentu tidak harus

drastis. Sebaliknya, berlangsung perlahan, bertahap, dan terpola secara

proporsional pada tiap bulannya. Ketika didapati penambahan ukuran

tubuhnya, artinya proses pertumbuhannya berlangsung baik.

Sebaliknya jika yang terlihat gejala penurunan ukuran, itu sinyal

terjadinya gangguan atau hambatan proses pertumbuhan.

4. Kebutuhan utama proses tumbuh kembang

Menurut Evelin dan Djamaludin. N. 2010, dalam proses

tumbuh kembang, anak memiliki kebutuhan yang harus terpenuhi,

kebutuhan tersebut yakni :

a. Pemenuhan kebutuhan gizi (asuh).

Usia balita adalah periode penting dalam proses tubuh

kembang anak yang merupakan masa pertumbuhan dasar anak.

Pada usia ini, perkembangan kemampuan berbahasa,

berkreativitas, kesadaran sosial, emosional dan inteligensi anak

berjalan sangat cepat. Pemenuhan kebutuhan gizi dalam rangka

menopang tumbuh kembang fisik dan biologis balita perlu

diberikan secara tepat dan berimbang. Tepat berarti makanan

11
yang diberikan mengandung zat-zat gizi yang sesuai

kebutuhannya, berdasarkan tingkat usia. Berimbang berarti

komposisi zat-zat gizinya menunjang proses tumbuh kembang

sesuai usianya. Dengan terpenuhinya kebutuhan gizi secara

baik, perkembangan otaknya akan berlangsung optimal.

Keterampilan fisiknya pun akan berkembang sebagai dampak

perkembangan bagian otak yang mengatur sistem sensorik dan

motoriknya. Pemenuhan kebutuhan fisik atau biologis yang

baik, akan berdampak pada sistem imunitas tubuhnya sehingga

daya 13 tahan tubuhnya akan terjaga dengan baik dan tidak

mudah terserang penyakit (Sulistyoningsih, 2011).

b. Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang (asih).

Kebutuhan ini meliputi upaya orang tua men gekspresikan

perhatian dan kasih sayang, serta perlindungan yang aman dan

nyaman kepada si anak. Orang tua perlu menghargai segala

keunikan dan potensi yang ada pada anak. Pemenuhan yang

tepat atas kebutuhan emosi atau kasih sayang akan menjadikan

anak tumbuh cerdas secara emosi, terutama dalam

kemampuannya membina hubungan yang hangat dengan orang

lain. Orang tua harus menempatkan diri sebagai teladan yang

baik bagi anak- anaknya. Melalui keteladanan tersebut anak

lebih mudah meniru unsur- unsur positif, jauhi kebiasaan

memberi hukuman pada anak sepanjang hal tersebut dapat

12
diarahkan melalui metode pendekatan berlandaskan kasih

sayang (Almatsier, 2008).

c. Pemenuhan kebutuhan stimulasi dini (asah)

Stimulasi dini merupakan kegiatan orangtua memberikan

rangsangan tertentu pada anak sedini mungkin. Bahkan hal ini

dianjurkan ketika anak masih dalam kandungan dengan tujuan

agar tumbuh kembang anak dapat berjalan dengan optimal.

Stimulasi dini meliputi kegiatan merangsang melalui sentuhan-

sentuhan lembut secara bervariasi dan berkelanjutan, kegiatan

mengajari anak berkomunikasi, mengenal objek warna,

mengenal huruf dan angka. Selain itu, stimulasi dini dapat

mendorong munculnya pikiran dan emosi positif, kemandirian,

kreativitas dan lain- 14 lain. Pemenuhan kebutuhan stimulasi

dini secara baik dan benar dapat merangsang kecerdasan

majemuk (multiple intelligences) anak. Kecerdasan majemuk

ini meliputi, kecerdasan linguistic, kecerdasan logis-matematis,

kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan musical,

kecerdasan intrapribadi (intrapersonal), kecerdasan

interpersonal, dan kecerdasan naturalis (Sulistyoningsih, 2011).

13
B. Tinjauan Umum Status Gizi Balita

1. Definisi status gizi balita

Status gizi adalah Status gizi status kesehatan yang dihasilkan oleh

keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient (Beck 2002

dalam Jafar 2010).

2. Klasifikasi status gizi balita

Dalam menentukan status gizi balita harus ada ukuran baku yang

sering disebut reference. Pengukuran baku antropomentri yang

sekarang digunakan di Indonesia adalah WHO-NCHS. Menurut

Harvard dalam Supariasa 2012, klasifikasi status gizi dapat dibedakan

menjadi empat yaitu:

a. Gizi lebih (Over weight)

Gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam

jumlah berlebihan sehingga menimbulkan efek toksis atau

membahayakan (Almatsier, 2008). Kelebihan berat badan pada

balita terjadi karena ketidakmampuan antara energi yang masuk

dengan keluar, terlalu banyak makan, terlalu sedikit olahraga atau

keduanya. Kelebihan berat badan anak tidak boleh diturunkan,

karena penyusutan berat akan sekaligus menghilangkan zat gizi

yang diperlukan untuk pertumbuhan (Arisman, 2009 dalam

Supariasa 2012).

14
b. Gizi baik (well nourished)

Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh

memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien

sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,

kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi

mungkin (Almatsier, 2008 dalam Supariasa 2012).

c. Gizi kurang (under weight)

Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu

atau lebih zat-zat esensial (Almatsier, 2008 dalam Supariasa 2012).

d. Gizi buruk (severe PCM)

Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan

kekurangan nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya

berada di bawah standar rata-rata. Nutrisi yang dimaksud bisa

berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia, kasus KEP

(Kurng Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang

banyak dijumpai pada balita (Lusa, 2009 dalam Supariasa 2012).

Menurut Kemenkes RI (2009) Paremeter BB/TB berdasarkan

Z-Score diklasifikasikan menjadi :

a. Gizi Buruk (Sangat Kurus) : <-3 SD

b. Gizi Kurang (Kurus) : -3SD sampai <-2SD

c. Gizi Baik (Normal) : -2 SD sampai +2SD

d. Gizi Lebih (Gemuk) : > +2 SD

15
3. Gizi seimbang pada balita

Gizi Seimbang adalah susunan makanan sehari–hari yang

mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan

kebutuhan tubuh, dengan memerhatikan prinsip keanekaragaman atau

variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan (BB) ideal

(Koalisi Fortifikasi Indonesia, 2011). Bahan makanan yang

dikonsumsi anak sejak usia dini merupakan fondasi penting bagi

kesehatan dan kesejahteraannya di masa depan. Dengan kata lain,

kualitas sumber daya manusia (SDM) hanya akan optimal, jika gizi

dan kesehatan pada beberapa tahun kehidupannya di masa balita baik

dan seimbang. SDM berkualitas inilah yang akan mendukung

keberhasilan pembangunan nasional di suatu negeri. Secara global,

tercapainya keadaan gizi dan kesehatan yang baik serta seimbang ini

merupakan salah satu tujuan utama Millennium Develpoment Goals

(MDGs) 2015 yang dicanangkan oleh UNICEF (Soekirman, 2006

dalam Jafar, 2010).

Menurut Koalisi Fortifikasi Indonesia dalam Wahyuningsih 2011,

PGS memperhatikan 4 prinsip, yaitu:

a. Variasi makanan;

b. Pedoman pola hidup sehat;

c. Pentingnya pola hidup aktif dan olahraga:

d. Memantau berat badan ideal.

16
Prinsip Gizi Seimbang adalah kebutuhan jumlah gizi

disesuaikan dengan golongan usia, jenis kelamin, kesehatan, serta

aktivitas fisik. Tak hanya itu, perlu diperhatikan variasi jenis

makanan. Bahan makanan dalam konsep gizi seimbang ternbagi

atas tiga kelompok, yaitu:

1) Sumber energi/tenaga: Padi-padian, umbi-umbian, tepung-

tepungan, sagu, jagung, dan lain-lain.

2) Sumber zat Pengatur: Sayur dan buah-buahan

3) Sumber zat pembangun: Ikan, ayam, telur, daging, susu,

kacang-kacangan dan hasil olahannya seperti tempe, tahu,

oncom,susu kedelai (Candra. A, 2013 dalam Liswati. E. M,

2016).

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi gizi balita

a. Keadaan Infeksi

Ada hubungan yang erat antara infeksi (bakteri, virus dan

parasit) dengan kejadian malnutrisi. Ditekankan bahwa terjadi

interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi

(Supariasa, 2012). Penyakit infeksi akan menyebabkan gangguan

gizi melalui beberapa cara yaitu menghilangkan bahan makanan

melalui muntah-muntah dan diare. Selain itu penyakit infeksi

seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu

makan (Arisman, 2009). Mekanisme patologisnya dapat

bermacam-macam, baik secara sendirisendiri maupun bersamaan,

17
yaitu penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan,

menurunnya absorbsi dan kebiasaan mengurangi makan pada saat

sakit, peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat penyakit diare,

mual/muntah dan perdarahan terus menerus serta meningkatnya

kebutuhan baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit dan parasit

yang terdapat dalam tubuh (Supariasa, 2012).

b. Tingkat komsumsi makanan

Konsumsi makanan oleh keluarga bergantung pada jumlah

dan jenis pangan yang dibeli, pemasakan, distribusi dalam

keluarga. Hal ini bergantung pada pendapatan, agama, adat

kebiasaan, dan tingkat pendidikan. Dinegara Indonesia yang

jumlah pendapatan penduduk sebagian rendah adalah golongan

rendah dan menengah akan berdampak pada pemenuhan bahan

makanan terutama makanan yang bergizi (Almatsier, 2008 dalam

Supariasa, 2012).

Pengukuran konsumsi makan sangat penting untuk

mengetahui kenyataan apa yang dimakan oleh masyarakat dan hal

ini dapat berguna untuk mengukur status gizi dan menemukan

faktor diet yang dapat menyebabkan malnutrisi (Supariasa, 2009).

Kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara kualitas

maupun kuantitas dapat menurunkan status gizi. Anak yang

makanannya tidak cukup maka daya tahan tubuhnya akan melemah

18
dan mudah terserang infeksi (Ernawati, 2009 dalam Supariasa,

2012).

c. Pengaruh budaya

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaruh budaya

antara lain sikap terhadap makanan, penyebab penyakit, kelahiran

anak, dan produksi pangan. Dalam hal sikap terhadap makanan,

masih terdapat pantangan, tahayul, tabu dalam masyarakat yang

menyebabkan konsumsi makanan menjadi rendah. Konsumsi

makanan yang rendah juga disebabkan oleh adanya penyakit,

terutama penyakit infeksi saluran pencernaan. Jarak kelahiran anak

yang terlalu dekat dan jumlah anak yang terlalu banyak akan

mempengaruhi asupan gizi dalam keluarga. Konsumsi zat gizi

keluarga yang rendah, juga dipengaruhi oleh produksi pangan.

Rendahnya produksi pangan disebabkan karena para petani masih

menggunakan teknologi yang bersifat tradisional (Supariasa,

2012).

d. Penyediaan Pangan

Penyediaan pangan yang cukup diperoleh melalui produksi

produksi pangan dalam menghasilkan bahan makanan pokok, lauk

pauk, sayur-mayur dan buah-buahan. Merupakan program untuk

menambah nutrisi pada balita ini biasanya diperoleh saat mengikuti

posyandu. Adapun pemberin tambahan Universitas Sumatera Utara

makanan tersebut berupa makanan pengganti ASI yang biasa

19
didapat dari puskesmas setempat (Almatsier, 2008). Penyebab

masalah gizi yang pokok di tempat paling sedikit dua pertiga dunia

adalah kurang cukupnya pangan untuk pertumbuhan normal,

kesehatan, dan kegiatan normal. Kurang cukupnya pangan

berkaitan dengan ketersediaan pangan dalam keluarga. Tidak

tersedianya pangan dalam keluarga yang terjadi terus menerus akan

menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi (Ernawati, 2009

dalam Supariasa, 2012).

e. Keterjangkauan kesediaan pelayanan

Status gizi anak berkaitan dengan keterjangkauan terhadap

pelayanan kesehatan dasar. Anak balita sulit dijangkau oleh

berbagai kegiatan perbaikan gizi dan kesehatan lainnya karena

tidak dapat datang sendiri ke tempat berkumpul yang ditentukan

tanpa diantar (Sediaoetama, 2000 dalam Ernawati, 2009). Beberapa

aspek pelayanan kesehatan dasar yang berkaitan dengan status gizi

anak antara lain: imunisasi, pertolongan persalinan, penimbangan

anak, pendidikan kesehatan anak, serta sarana kesehatan seperti

posyandu, puskesmas, rumah sakit, praktek bidan dan dokter.

Makin tinggi jangkauan masyarakat terhadap sarana pelayanan

kesehatan dasar tersebut di atas, makin kecil risiko terjadinya

penyakit gizi kurang (Ernawati, 2009 dalam Supariasa, 2012).

20
f. Higine dan sanitasi lingkungan

Hal ini bergantung pada kebersihan lingkungan atau ada

tidaknya penyakit yang berpengaruh zat-zat gizi oleh tubuh.

Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersediaan air bersih,

ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan

makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih Universitas

Sumatera Utara untuk kebutuhan sehari-hari, makin kecil risiko

anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman, 2008). Higienitas

makanan adalah Tindakan nyata dari ibu anak balita dalam

kebersihan dalam mengelola bahan makanan, penyimpanan sampai

penyajian makanan balita

g. Tingkat pendapatan

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki

posisi pertama pada kondisi yang umum di masyarakat (Latief dkk

2000 dalam Ernawati 2009). Batas kriteria UMR (Upah mimimum

regional) menurut BPS untuk daerah pedesaan adalah

Rp.1.375.000,-

h. Tingkat pendidikan ibu

Pendidikan sangat mempengaruhi penerimaan informasi

tentang gizi. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah akan

lebih mempertahankan tradisitradisi yang berhubungan dengan

makanan sehingga sulit menerima informasi baru di bidang Gizi.

Selain itu tingkat pendidikan juga ikut menentukan mudah

21
tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan. Semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang, akan semakin mudah dia menyerap

informasi yang diterima termasuk pendidikan dan informasi gizi

yang mana dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan akan

tercipta pola kebiasaan yang baik dan sehat Universitas Sumatera

Utara (Handayani 1994 dalam Ernawati 2009). Tingkat pendidikan

yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat

untuk menyerap informasi dan menginplementasikannya dalam

perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal

kesehatan dan perbaikan gizi. Tingkat pendidikan dapat

disederhanakan menjadi pendidikan tinggi (tamat SMA- lulusan

PT) dan pendidikan rendah (tamat SD – tamat SMP). Hal ini sesuai

dengan kebijakan pemerintah untuk daerah wajib belajar 12 tahun.

i. Pengetahuan ibu tentang gizi

Pengetahuan tentang kadar gizi dalam berbagai bahan

makanan, kegunaan makanan bagi kesehatan keluarga dapat

membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya tidak begitu

mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Soekanto 2002 dalam

Yusrizal 2008). Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi berakibat

pada rendahnya anggaran untuk belanja pangan dan mutu serta

keanekaragaman makanan yang kurang. Keluarga lebih banyak

membeli barang karena pengaruh kebiasaan, iklan, dan lingkungan.

Selain itu, gangguan gizi juga disebabkan karena kurangnya

22
kemampuan ibu menerapkan informasi tentang gizi dalam

kehidupan sehari-hari (Winarno 1990 dan 2009, dalam Supariasa,

2012).

5. Indikator dan cara penentuan status gizi balita

Menurut Soekirman (2008), beberapa cara pengukuran status gizi

adalah sebagai berikut :

a. Pengukuran anthropometri

Pengukuran tubuh manusia dengan anthropometric

dipelopori oleh antropolog Amerika Serikat bernama Ales

Hrdlicka (1869-1943). Dalam anthropometric dapat dilakukan

beberapa macam pengukuran, yaitu pengukuran terhadap berat

badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan sebagainya. Dari

beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan

lingkar lengan sesuai dengan usia adalah yang paling sering

dilakukan dalam survei gizi. Untuk keperluan perorangan di

keluarga, pengukuran berat badan (BB) dan tinggi badan (TB)

adalah yang paling dikenal. Untuk mengetahui tingkat status gizi

seorang baik tinggi, normal atau rendah, harus dibandingkan

dengan standar internasional yang ditetapkan oleh WHO.

Indikator yang sering digunakan untuk mengetahui status

gizi ada 3 macam, yaitu berat badan menurut umur yang

disimbulkan dengan BB/U, tinggi badan menurut umur

disimbulkan dengan TB/U dan kombinasi BB dan TB yang

23
disimbulkan dengan BB/TB. Indikator BB/U menunjukkan secara

sensitif status gizi saat ini (saat diukur) karena mudah berubah,

tetapi indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan selain

dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.

Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu, sedangkan

indikator BB/TB menggambarkan secara sensitif dan spesifik

status gizi saat ini.

1) Indikator BB/U menjadi bagian dari pengukuran

antropometri

Status gizi dapat diketahui dengan melihat berat badan

menurut umur, kemudian dibandingkan dengan standar

WHO. Kemungkinan yang terjadi adalah lebih rendah, lebih

tinggi atau normal. BB/U normal, digolongkan pada status

gizi baik, BB/U lebih rendah berarti status gizi kurang atau

buruk, BB/U tinggi berarti status gizi lebih. Status gizi

kurang yang diukur dengan indikator BB/U dikelompokkan

menjadi berat badan rendah (BBR). Menurut tingkat

keparahannya, BBR dibedakan menjadi ringan (mild), sedang

(moderate) dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat

berat sering disebut dengan status gizi buruk. Di masyarakat

gizi buruk pada orang dewasa disebut HO sedangkan pada

anak-anak disebut marasmus dan kwashiorkor. Kelebihan

indikator BB/U dalam penentuan status gizi di adalah mudah

24
dan cepat dimengerti oleh masyarakat umum, sensitif untuk

melihat perubahan status gizi dalam jangka waktu pendek

dan dapat mendeteksi kegemukan.

2) Indikator TB/U menjadi bagian ke dua dari pengukuran

antropometri

Indikator TB/U dipakai untuk mengukur status gizi

anak balita umur 0-24 bulan yang pengukurannya dilakukan

dengan terlentang (tidak berdiri). Hasil pengukuran dapat

digolongkan menjadi TBnya normal, kurang dan tinggi

setelah dibandingkan dengan standar WHO. TB/U kurang

disebut pendek tak sesuai umurnya (PTSU). Hasil

pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu,

seorang yang tergolong PTSU kemungkinan keadaan gizi

masa lalu tidak baik. Indikator TB/U dapat digunakan untuk

menggambarkan riwayat keadaan gizi masa lalu dan dapat

dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk.

3) Indikator BB/TB bagian ke tiga dari pengukuran

antropometri

BB/TB merupakan indikator pengukuran antropometric

yang paling baik, karena dapat meggambarkan status gizi saat

ini dengan lebih sensitif dan spesifik. Berat badan berkorelasi

linier dengan tinggi badan, artinya perkembangan berat badan

akan diikuti oleh pertambahan tinggi badan. Oleh karena itu,

25
berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi

badannya.

Indikator BB/U dipakai di dalam kartu menuju sehat

(KMS) untuk memantau pertumbuhan anak secara

perorangan. Indikator ini digunakan karena relatif lebih

mudah dalam menentukan status gizi balita. Kartu Menuju

Sehat yang digunakan di posyandu pada dasarnya adalah

penerapan Pengukuran status gizi anak balita. Kartu menuju

sehat adalah alat yang sederhana dan murah yang digunakan

untuk memantau pertumbuhan anak dan harus selalu dibawa

setiap mengunjungi posyandu atau fasilitas pelayanan

kesehatan termasuk bidan dan dokter.

4) Kategori dan ambang bata status gizi anak berdasarkan Skala

Antropometri, (2010), adalah sebagai mana terdapat pada

table dibawah ini :

Indeks Kategori status Ambang batas (Z-Score


gizi
Berat Badan Gizi buruk < - 3 SD
menurut Umur Gizi kurang -3 SD sampai dengan <-2 SD
(BB/U) Anak Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Umur 0-60 Bulan Gizi lebih >2 SD
Panjang Badan Sangat pendek < -3 SD
menurut Umur Pendek -3 SD sampai dengan < -2 SD
(PB/U) atau Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi Badan Tinggi >2 SD
menurut Umur

26
(TB/U) Anak
Umur 0-60 Bulan
Berat Badan Sangat kurus < - 3 SD
menurut Panjang Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Badan (BB/PB ) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
atau Gemuk >2 SD
Berat Badan
menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Anak Umur 0-60
Bulan
Indeks Massa Sangat kurus < -3 SD
Tubuh menurut Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur (IMT/U) Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Anak Umur 0-60 Gemuk >2 SD
Bulan
Indeks Massa Sangat kurus < -3 SD
Tubuh menurut Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Umur (IMT/U) Normal -2 SD sampai dengan 1 SD
Anak Umur 5-18 Gemuk >1 SD sampai dengan 2 SD
Tahun Obesitas >2 SD

C. Tinjauan umum stunting

1. Definisi stunting

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita dari

kekurangan gizi kronis hingga anak terlalu pendek untuk usianya.

(kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa

27
awal setelah anak lahir, tetapi baru Nampak setelah anak berusia 2

tahun) (kementrian keuangan 2018).

Stunting merupakan suatu kondisi dimana kurang gizi kronis yang

di sebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam jangka waktu yang

cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi (Millennium Challenga Account, 2014 dalam Hapsari,

W. 2018 ).

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada

indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian

status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas

(Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD

(sangat pendek / severely stunted). Stunting adalah masalah kurang gizi

kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu

cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan gizi. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam

kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun (Rachim, A.

N. F. 2017).

Balita Pendek (Stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada

indeks PB/U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian

status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas

(Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3 SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD

(sangat pendek / severely stunted) (Kemenkes R.I, 2012). Stunting

digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang menggambarkan

28
riwayat kurang gizi anak dalam jangka waktu lama sehingga kejadian

ini menunjukkan bagaimana keadaan gizi sebelumnya (Kartikawati,

2011).

Stunting yang telah tejadi bila tidak diimbangi dengan catch-up

growth (kejar tumbuh) mengakibatkan menurunnya pertumbuhan,

masalah stunting merupakan masalah kesehatan masyarakat yang

berhubungan dengan meningkatnya risiko kesakitan, kematian dan

hambatan pada pertumbuhan baik motorik maupun mental. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Kusharisupeni menyatakan bahwa

stunting dibentuk oleh growth faltering dan catcth up growth yang

tidak memadai yang mencerminkan ketidakmampuan untuk mencapai

pertumbuhan optimal, hal tersebut mengungkapkan bahwa kelompok

balita yang lahir dengan berat badan normal dapat mengalami stunting

bila pemenuhan kebutuhan selanjutnya tidak terpenuhi dengan baik

(Kusharisupeni, 2011 dalam Kartikawati, 2011).

Stunting atau pendek merupakan kondisi gagal tumbuh pada bayi

0-11 bulan dan anak balita 12-59 bulan akibat dari kekurangan gizi

kronis terutama dalam 1.000 hari pertama kehidupan sehingga anak

terlalu pedek untuk usianya (Ramayulis. R, dkk 2018).

2. Faktor penyebab stunting

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada

anak. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri anak itu sendiri

maupun dari luar diri anak tersebut. Faktor penyebab stunting ini dapat

29
disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung. Penyebab

langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya

penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola

asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya,

ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya (Bappenas R.I, 2013).

a. Asupan gizi balita

Saat ini Indonesia mengahadapi masalah gizi ganda,

permasalahan gizi ganda tersebut adalah adanya masalah kurang

gizi dilain pihak masalah kegemukan atau gizi lebih telah

meningkat. Keadaan gizi dibagi menjadi 3 berdasarkan

pemenuhan asupannya yaitu:

1. Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat

pemenuhan asupan zat gizi yang lebih banyak dari kebutuhan

seperti gizi lebih, obesitas atau kegemukan

2. Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul akibat

pemenuhan asupan zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan.

3. Kurang gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat

pemenuhan asupan zat gizi yang lebih sedikit dari kebutuhan

seperti gizi kurang dan buruk, pendek, kurus dan sangat kurus

(Kemenkes R.I, 2009 dalam Bappenas R.I, 2013).

Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk

pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini

merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang

30
dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi

sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik

sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan

perkembangannya. Namun apabila intervensinya terlambat balita

tidak akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya yang

disebut dengan gagal tumbuh. Begitu pula dengan balita yang

normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan

yang diterima tidak mencukupi. Dalam penelitian yang

menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi

balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu

pada level rumah tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah

rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita pendek

(Sihadi dan Djaiman, 2011, dalam Bappenas R.I, 2013).

Dalam upaya penanganan masalah stunting ini, khusus

untuk bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan

bayi dalam pemenuhan kebutuhan gizinya yaitu 1) Inisiasi

Menyusu Dini (IMD) yang harus dilakukan sesegera mungkin

setelah melahirkan; 2) Memberikan ASI eksklusif sampai bayi

berusia 6 bulan tanpa pemberian makanan dan minuman

tambahan lainnya; 3) Pemberian makanan pendamping ASI yang

berasal dari makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi

berusia 6 bulan; dan 4) Pemberian ASI diteruskan sampai anak

berusia 2 tahun (Bappenas R.I, 2013).

31
Asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan

membantu pertumbuhan dan perkembangan anak. Sebaliknya

asupan gizi yang kurang dapat menyebabkan kekurangan gizi

salah salah satunya dapat menyebabkan stunting.

b. Penyakit infeksi

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab

langsung stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan

pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit

infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan

asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah

terkena penyakit infeksi. Penyakit infeksi akan ikut menambah

kebutuhan akan zat gizi untuk membantu perlawanan terhadap

penyakit ini sendiri. Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai

dengan kebutuhan namun penyakit infeksi yang diderita tidak

tertangani akan tidak dapat memperbaiki status kesehatan dan

status gizi anak balita. Untuk itu penanganan terhadap penyakit

infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan

gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan

kebutuhan anak balita.

Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti

cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan

infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu

pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas

32
lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas R.I, 2013). Ada

beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit

infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan

salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak usia dibawah

5 tahun (Taguri et all, 2007; Paudel et all, 2012 dalam Bappenas

R.I, 2013).

c. Ketersediaan pangan

Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas adalah

kondisi penguasaan sumberdaya (sosial, teknologi,

finansial/keuangan, alam, dan manusia) yang cukup untuk

memperoleh dan/atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan

pangan, termasuk kecukupan pangan di rumah tangga. Masalah

ketersediaan ini tidak hanya terkait masalah daya beli namun juga

pada pendistribusian dan keberadaan pangan itu sendiri,

sedangkan pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan

yang biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah dan frekuensi dan

jangka waktu tertentu. Aksesibilitas pangan yang rendah

berakibat pada kurangnya pemenuhan konsumsi yang beragam,

bergizi, seimbang dan nyaman di tingkat keluarga yang

mempengaruhi pola konsumsi pangan dalam keluarga sehingga

berdampak pada semakin beratnya masalah kurang gizi

masyarakat (Bappenas R.I, 2013).

33
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada

kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri.

Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di Indonesia masih

di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat

mengakibatkan anak balita perempuan dan anak balita laki-laki

Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7

cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO 2005

(Bappenas R.I, 2013). Oleh karena itu penanganan masalah gizi

ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga

melibatkan lintas sektor lainnya.

Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian

stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh

pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan

biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih

rendah merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak

pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011). Penelitian di Semarang

Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah

merupakan faktor risiko kejadian stunting (Nasikhah dan

Margawati, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku

Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh

banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu

defisit pangan dalam keluarga (Ramli et all, 2009; Paudel et all,

2012 dalam Bappenas R.I, 2013).

34
Adapun penyebab stunting menurut Rita Rahmayulis dkk

tahun 2018, yaitu stunting disebabkan oleh faktor multidimensi,

di antaranya praktik pengasuhan gizi yang kurang baik, termasuk

kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi

sebelumnya dan pada masa kehamilan serta setelah ibu

melahirkan (Rahmayulis. R, dkk 2018).

Salah satu faktor penyebab lainnya yaitu stunting di

sebabkan oleh faktor genetik (turunan). Genetik merupakan

modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang

anak. Melalui instruksi genetik yang terkandung dalam sel telur

yang telah dibuahi, dapat ditentukan kualitas dan kuantitas

pertumbuhan. Hal-hal yang termasuk dalam faktor genetic antara

lain berbagai faktor bawaan yang normal dan patologis, jenis

kelamin, dan suku bangsa. Gangguan pertumbuhan di Negara

maju disebabkan oleh faktor genetik, sedangkan di Negara

berkembang selain faktor genetik, penyebab tumbuh kembang

terbesar adalah faktor lingkungan yang kurang memadai, seperti

asupan gizi, infeksi penyakit, kekerasan pada anak, dan lain

sebagainya (Sulistyawati. A 2014).

3. Pencegahan stunting

Pencegahan stunting dapat dilakukan melalui intervensi gii

spesifik yang ditujukan dalam 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Intervensi gizi spesifik untuk mengatasi permasalahan gizi pada ibu

35
hamil, ibu menyusui 0-6 bulan, ibu menyusui 7-23 bulan, anak usia 0-

6 bulan, dan anak usia 7-23 bulan. Permasalah gizi ini bisa diatasi

ketika mereka memahami masalahnya dan mengetahui cara

mengatasinya sesuai dengan kondisi masing-masing (Rahmayulis. R,

dkk 2018).

Pemberian konseling gizi kepada individu dan keluarga dapat

membantu untuk mengenali masalah kesehatan terkait gizi,

memahami penyebab terjadinya masalah gizi, dan membantu individu

serta keluarga memecahkan masalahnya sehingga terjadi perubahan

perilaku untuk dapat menerapkan perubahan perilaku makan yang

telah disepakati bersama (Rahmayulis. R, dkk 2018)

D. Tinjauan Umum Tentang Berat Badan Dan Tinggi Badan

1. Berat Badan

a. pengertian berat badan

Berat badan adalah ukuran tubuh dalam sisi beratnya yang

ditimbang dalam keadaan berpakaian minimal tanpa perlengkapan

apapun. Berat badan diukur dengan alat ukur berat badan dengan

satuan kilogram. Dengan mengetahui berat badan seseorang maka

kita akan dapat memperkirakan tingkat kesehatan atau gizi

seseorang (surono 2000, Mabella, 2010 dalam Febriana. F., 2015).

36
b. Faktor- Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan berat badan

Faktor – faktor yang mempengaruhi pertumbuhan berat

badan menurut Chamidah, 2009 dalam Mumpuni. E. A., 2012)

yaitu:1)

a) Faktor dalam:

1) Ras/etnik atau bangsa,

2) Keluarga/genetik/keturunan,

3) Umur

4) Jenis kelamin.

b) Faktor luar:

1) Gizi (pada saat ibu hamil), dan gizi masa pertumbuhan,

2) Racun/zat kimia dan radiasi .

3) Kekurangan hormon

4) Penyakit Infeksi,

5) Sosio-ekonomi yang kurang. berdasarkan pendapatan dan

pekerjaan orangtua.

6) Lingkungan pengasuhan.

7) Stimulasi / rangsangan.

8) pendidikan dan pengetahuan ibu.

9) Jumlah anggota keluarga.

c. Cara menghitung berat badan ideal untuk pria dan wanita

Cara menghitung berat badan dengan kakulator BMI. BMI

merupakan kepanjangan dari Body Mass Index. BMI merupakan

37
perhitungan kalkulasi berdasarkan tinggi dan berat badan Anda

yang kemudian dihitung dan diketahui apakah berat badan Anda

yang sekarang ideal atau masuk dalam kategori kurus atau gemuk.

Cara menghitung berat badan dengan menggunakan

kalkulator BMI dapat dimulai pada umur 20 tahun Perhitungan

untuk di bawah usia 20 tahun berbeda. Namun cara menghitung

berat badan ideal dengan menggunakan kalkulator BMI akan

sedikit menyesatkan bagi atlet atau olahragawan. Hal ini

dikarenakan berat badan berasal dari massa otot. Jadi bisa saja BMI

menunjukkan kegemukan, padahal tidak. Adapun berat badan ideal

berdasarkan hasil IMT yang di dapatkan yang telah dibandingkan

dengan skala yang dikemukakan oleh World Healt Organisation

(WHO), yaitu sebagai berikut.

Keterangan :

1) Angka BMi yang normal berkisar dari 18,5 sampai 25.

2) Ketika angka BMI Anda terletak di atas 25, Anda memiliki

risiko yang lebih tinggi terhadap penyakit jantung,

osteoarthritis, kanker, dan diabetes level 2.

3) Dan jika angka BMI berada di bawah 18, akan berisiko tinggi

terhadap osteoporosis.

4) Sebaiknya Anda dengan angka BMI di atas 27 dan di bawah

18 meminta saran dokter atau memperbaiki pola hidup Anda

agar berat badan menjadi ideal.

38
5) Terutama bagi Anda dengan angka BMI di atas 40, berhati-

hatilah karena situasinya sangat berbahaya.

Cara menghitung :

Berat tubuh ideal = Berat badan (kg) : (Tinggi badan x Tinggi badan)
(m)

Contoh :

Berat badan Anda 50 kg dengan tinggi 1,68 m maka 50 kg : (1,68 m


x 1,68 m) = 45 : 2,82 = 17.0 maka nilai BMI Anda 17.0

Keterangan :

1) Angka BMI normal adalah 18.5-25

2) Di bawah 17 anda termasuk dalam kategori kekurangan berat

badan

3) Di atas 25 termasuk kategori kelebihan berat badan ringan

4) Sedangkan di atas 40 maka anda sebaiknya hati-hati karena

anda termasuk dalam kategori kelebihan berat badan

berbahaya.

Sedankan Cara menghitung berat badan dengan

menggunakan rumus Brosca ini ditemukan oleh Pierre Paul Brosca.

Rumus brosca terbagi menjadi dua, untuk perempuan dan laki-laki.

1) Laki-laki : Berat badan ideal (kg) = {tinggi badan (cm) - 100}

- {[tinggi badan (cm) - 100] x 10%}

2) Perempuan : Berat badan ideal (kg) = {tinggi badan (cm) -

100} - {[tinggi badan (cm) - 100] x 15%}

39
Contoh jika Anda laki-laki dengan tinggi badan 172 maka

berat badan ideal anda adalah (172-100) - {(172-100) x 10%}

= 72 - 7.2 = 64.8 (Merdeka, 2017).

2. Tinggi Badan

a. Pengertian tinggi badan

Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan

keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan

tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi

badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif pada

masalah kekurangan gizi dalam waktu singkat. Pengaruh defisiensi

zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang

relatif lama (Riswatularyah, 2016).

Tinggi atau panjang badan ialah indikator umum dalam

mengukur tubuh dan panjang tulang. Alat yang biasa dipakai

disebut stadiometer. Ada dua macam yaitu: ‘stadiometer portabel’

yang memiliki kisaran pengukur 840-2060 mm dan ‘harpenden

stadiometer digital’ yang memiliki kisaran pengukur 600-2100

mm.

Tinggi badan adalah parameter yang dapat melihat status gizi

sekarang dan masa lampau. Pertumbuhan tinggi badan tidak

signifikan berat badan serta relative kurang sensitive untuk

masalah kekurangan gizi dalam waktu singkat (Anggraini, 2012).

40
Anak dengan keterbatasan fisik seperti kontraktur dan tidak

memungkinkan dilakukan pengukuran tinggi seperti di atas,

terdapat cara pengukuran alternatif. Indeks lain yang dapat

dipercaya dan sahih untuk mengukur tinggi badan ialah: rentang

lengan (arm span), panjang lengan atas (upper arm length), dan

panjang tungkai bawah (knee heigb. ht). Semua pengukuran di atas

dilakukan sampai ketelitian 0,1 cm (Izzati, I. S., 2017).

b. Pengukuran Tinggi Badan

Tulang rangka manusia merupakan bangunan tubuh yang

memberi bentuk dan sebagai penyangga tubuh. Tulang tumbuh

karena adanya lapisan pertumbuhan karena adanya lapisan

pertumbuhan tulang ( Epifise dan Diafise ) pada bentuk tulang

panjang. Tingkat kematangan / pertumbuhan tulang ditandai

dengan bersatunya Epifise dan Diafise dimana Epifise distalis

bersatu pada usia 17-19 tahun, sedangkan Epifise lateralis bersatu

pada usia 19-20 tahun.

Untuk menentukan tinggi badan ideal atau tidak dapat

ditentukan dengan melihat tinggi badan berdasarkan usia dan berat

badan.

Tinggi badan ideal berdasarkan usia adalah :

1. Tinggi badan ideal berdasarkan usia 3-4 tahun 96-108 cm

2. Tinggi badan ideal berdasarkan usia 5-6 tahun 109-112 cm

3. Tinggi badan ideal berdasarkan usia 7-8 tahun 123-140 cm

41
4. Tinggi badan ideal berdasarkan usia 9-10 tahun 141-153 cm

5. Tinggi badan ideal berdasarkan usia 11-15 tahun 154-165

cm

6. Tinggi badan ideal berdasarkan usia 16-20 tahun 166-170

cm

7. Tinggi badan ideal berdasarkan usia 21-25 tahun 171-176

cm

Tinggi badan ideal berdasarkan berat badan adalah :

Berat Badan
Tinggi Badan (CM)
Wanita Pria

150 43-45 49-51

154 47-49 51-53

159 50-55 55-60

164 52-60 60-68

169 55-65 64-75

174 57-70 68-82

180 60-74 73-89

184 62-78 77-96

Alat : Pengukur Tinggi Badan

· Microtoise stature meter

· Pengukur digital

· Pita meteran

42
Cara Mengukur tinggi badan :

1) Lepas sepatu atau alas kaki.

2) Berdiri tegak, pandangan lurus kedepan, telapak kaki menapak

pada alas

3) Ukur tinggi badan mulai dari tumit sampai puncak tengkorak

dengan tongkat pengukur.

4) Catat Hasil Yang ditunjukan tongkat pengukur dalam satuan

(cm) (Riswatularyah, 2016).

c. Faktor yang mempengaruhi tinggi badan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi badan

menurut Nutrisains 2017 yaitu :

1) Asupan nutrisi

Tubuh memerlukan asupan nutrisi yang memadai setiap

hari dari pola makan sehat dengan menu bervariasi agar dapat

tumbuh secara maksimal. Karbohidrat dan lemak diperlukan

tubuh untuk energi. Selain protein yang memberi tubuh asam

amino, tubuh juga memerlukan kalsium dan vitamin D untuk

menunjang pertumbuhan tulang yang sehat. Begitu pula

dengan niasin. Nutrisi ini diperlukan untuk pembentukan

energi dari karbohidrat, protein dan lemak, serta berperan

dalam produksi sel darah merah. Fungsi dari niasin ini

berdampak signifikan terhadap pertumbuhan tinggi badan.

43
2) Aktifitas fisik

Mengapa kebanyakan atlet memiliki tubuh yang tinggi?

Karena mereka sering melakukan aktivitas fisik! Selain asupan

makanan yang sehat, olahraga merupakan faktor penting yang

memengaruhi tinggi badan. Berenang dan basket adalah contoh

olahraga yang dapat membantu Anda meraih tinggi badan yang

maksimal.

3) Metabolisme

Kemampun tubuh untuk melarutkan dan menyerap nutrisi

dalam tubuh (metabolism) juga memengaruhi tinggi badan.

Jika Anda banyak makan, tapi berat badan tak kunjung

bertambah, kemungkinan metabolisme Anda yang buruk.

Begitu pula dengan tinggi badan anak yang masih dalam masa

pertumbuhan. Nutrisi dari makanan yang diasup bisa jadi tidak

terserap sempurna. Metabolisme yang buruk ini bisa

disebabkan oleh penyakit atau kurang berolahraga.

4) Obat –obatan

Obat-obatan tertentu dapat menghambat pola pertumbuhan

dan menyebabkan seorang anak tumbuh lebih lambat dari

teman sebayanya. Menurut penelitian, anak-anak yang

mengonsumsi obat stimulan untuk ADHD di masa

pertumbuhannya cenderung tumbuh lebih lambat dari teman

seusianya.

44
5) Penyakit

Sistem endokrin mengangkut hormon ke seluruh tubuh,

termasuk hormon pertumbuhan yang menunjang pertumbuhan

tinggi badan. Anak yang memiliki penyakit atau gangguan

yang memengaruhi sistem endokrin, seperti defisiensi hormon

pertumbuhan atau hipotiroidisme, menjadi lebih berisiko

tumbuh lebih lambat. Perawakan pendek juga umumnya

ditemukan pada anak perempuan dengan sindrom Turner.

Kondisi ini disebabkan oleh adanya masalah pada kromosom

X sehingga membuat indung telur tidak berkembang dengan

baik. Akibatnya, pertumbuhan pun terhambat.

6) Kecukupan istirahat

Pola tidur yang baik juga berkontribusi terhadap penambahan

tinggi badan. Hormon pertumbuhan sebagian besar diproduksi

saat tidur. Tidur malam yang baik adalah tidur lelap (deep

sleep) selama 7-8 jam.

3. Hubungan berat badan dan tinggi badan orang tua dengan

kejadian stunting

Faktor keluarga yang mempengaruhi kejadian stunting salah

satunya adalah karakteristik atau keadaan ibu, dimana ibu memegang

perang penting dalam mengatasi permasalahan gizi (Anindita, 2012).

Karakteristik ibu atau keadaan ibu yang meliputi tinggi badan

merupakan faktor genetik yang menyebabkan stunting. Orang tua yang

45
memiliki tinggi badan yang pendek karena gen pembawa kromosom

pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut

terhadap anaknya. Hal ini dikarenakan adanya kondisi patologis yaitu

defesiensi hormone pertumbuhan yang dimiliki oleh gen pembawa

kromosom tersebut, apabila tidak didukung dengan aupan yang

adekuat untuk menyokong pertumbuhan, pada generasi berikutnya

akan berdampak terhadap kegagalan pertumbuhan atau stunting (Kuku

dan Nuryanto, 2013 dalam Astuti. D. K, 2016).

Penilaian status gizi seseorang juga bisa dinilai dengan

menggunakan pengukuran tinggi badan. Pengukuran tinggi badan

merupakn salah satu proses dalam antropometri. Pengukuran tinggi

badan ibu merupakan salah satu proses monitoring untuk memantau

kesehatan anak selama masa kehamilan. Tinggi badan merupakan

ukuran panjang dari ujung kepala hingga ujung kaki yang dituliskan

dengan satuan centi meter (cm). Menurut Zhang et al (2015),

hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting karena

dimana dimana perempuan yang lebih pendek memiliki ukuran rahim

yang kecil, sehingga kemudian membatasi pertumbuhan janin (Sogen.

M. D. P, 2018).

Anak yang dilahirkan dari kedua atau salah satu orang tua yang

pendek, memiliki resiko anak stunting sebesar 11,13 kali dibandingkan

dengan anak yang dilahirkan dari orang tua dengan tinggi badan

normal (Lestari et al, 2014). Orang tua yang pendek karena gen dalam

46
kromosom yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan

menurunkan sifat pendek tersebut kepada anaknya. Tetapi bila pendek

orang tua disebabkan karena masalah nutrisi maka sifat pendek

tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya ( Chirande et al, 2015

dalam Sogen. M. D. P, 2018).

47
BAB III

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konsep

Berat badan dan tinggi badan orang tua merupakan variabel bebas

(independen) ini , yang dapat dilihat dari gambar kerangka konsep berikut

ini :

Variabel Independen Variabel dependen

Berat badan orang tua

Kejadian Stunting
Tinggi Badan Orang Pada Balita
Tua

Keterangan :

: variabel independen

: garis penghubung antara variabel independen

dengan dependen

: variabel dependen

48
B. Hipotesis penelitian

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan atau pertanyaan

penelitian (Nursalam, 2016). Hipotesis alternatif atau Hipotesis kerja (Ha)

adalah hipotesis yang menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh dan

perbedaan antara dua variabel (Nursalam, 2016).

Berdasarkan kerangka konsep maka hipotesis yang di ajukan untuk

penelitian yang akan dilakukan ialah :

Ha: Ada hubungan berat badan dan tinggi badan orang tua dengan

kejadian stunting pada balita

49
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian

Desain penelitian merupakan wadah untuk menjawab pertanyaan

penelitian. Berdasarkan tujuan penelitian maka jenis penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian observasional dengan

metode pendekatan cross sectional study.

B. populasi sampel dan sampling

1. Populasi Dan Sampel

Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas:

obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karateristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya ( Sugiyono, 2013 ).

Populasi pada penelitian adalah balita stunting,pada pendataan awal

jumlah populasi yang ditemukan sebanyak 56 orang.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah balita stunting berjumlah 49

orang.

Besar sampel yang diambil dalam penelitian hubungan berat badan dan

tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting di wilayah kerja

puskesmas barombong dihitung menggunakan rums slovin penentuan

besar sampel menurut (Nusalam, 2016) sebagai beikut :

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑 )2

50
56
𝑛=
1 + 56(0,05)2

56
𝑛=
1 + 56(0,0025)

56
𝑛=
1 + 1,14

56
𝑛=
1,14

𝑛 = 49,122

𝑛 = 49 orang

Keterangan:

n = Besar Sampel

N = Besar Populasi

d = Tingkat Signifikan

3. Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi. Cara pengambilan pada sampel ini menggunakan

metode Teknik pengambilan sampel yaitu dengan cara menggunakan

Sampling Jenuh atau disebut juga Total Sampling dimana semua

anggota populasi digunakan sebagai sampel.

4. Kriteria sampel

Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subjek

penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat

51
sebagai sampel. Pertimbangan ilmiah harus menjadi pedoman

dalam menentukan kriteria inklusi (Hidayat, 2014 dalam

Nursalam, 2016).

a) Balita yang tinggal di wilayah kerja puskesmas

barombong

b) Balita stunting

c) Balita dengan usia < 5 tahun

d) Orang tua yang bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek

penelitian tidak dapat mewakili sampel karen tidak memenuhi

syarat sebagai sampel penelitian (Hidayat, 2014 dalam

Nursalam, 2016).

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Orang tua yang menolak menjadi responden

b) Balita yang cacat fisik

C. Variable penelitian

1. Variabel independen (bebas)

Variabel independen adalah variabel yang memengaruhi atau

nilainya menentukan variabel lain. Suatu kegiatan stimulus yang

dimanipulasi oleh peneliti menciptakaan suatu dampak pada varibel

dependen. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati, dan diukur

untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variabel lain.

52
Dalam ilmu keperawatan, variabel bebas biasanya merupakan stimulus

atau intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien untuk

memengaruhi tingkat klien (Nursalam, 2016).Pada penelitian ini

variabel independen yang digunakan adalah berat badan dan tinggi

badan orang tua.

2. Variable dependen (terikat)

Variable dependen adalah variabel yang dipengaruhi nilainya

ditentukan oleh variabel lain. Variabel respon akan muncul sebagai

akibat dari manipulassi variabel-variable lain. Dalam ilmu perilaku,

variabel terikat adalah faktor yang diamati dan diukur untuk

menentukan ada tidaknya hubungan atau pengaruh dari variabel bebas

(Nursalam, 2016).

Pada penelitian ini variabel dependen yang digunakan adalah stunting

D. Defenisi operasional

Definisi operasional merupakan sesuatu yang dirumuskan untuk

kepentingan akurasi, komunikasi dan replikasi (Nursalam, 2016).

Berikut klasifikasi variabel dan definisi operasional dalam bentuk tabel

dengan rincian sebagai berikut :

Variable Defenisi Parameter Alat ukur Skor Skala ukur

penelitian operasional

Variabel Berat badan 𝐵𝑀𝐼 = 𝐵𝐵2 Observasi Ordinal Berat badan


𝑇𝐵

independen orang tua Data  Ideal:

1. berat Yang dikatakan berat

53
badan dimaksud badan ideal jika

orang dengan berat mencapai nilai

tua badan orang BMI normal

tua adalah 18.5-25

BB yang  Tidak ideal:

dinilai Dikatakan berat

dengan badan tidak ideal

pengukurang jika nilai BMI

Body Mass kurang atau lebih

Indeks (BMI) dari nilai yang

telah ditentukan

< 18,5 atau > 25

2. Tinggi TB orang Centimeter Observasi Ordinal Tinggi badan

badan tua dengan data  Pendek:

orang Yang skala cm Dikatakan pendek

dimksud jika tinggi badan

dengan TB yang dimiliki

orang tua seseorang tidak

dalam sesuai dengan

penelitian ini berat badannya.

adalah  Normal:

panjang Dikatakan normal

badan orang jika tinggi badan

54
tua yang yang dimiliki

diukur seseorang sesuai

dengan berat badannya.

menggunakan

meteran

dengan

menggunakan

skala cm

Variabel Stunting Mengetahui Dihitung Ordinal 1= dikatakan pendek

Dependen : Tinggi balita stunting mengguna jika -3SD sampai

stunting menurut pada balita kan Skala dengan < -2SD

umur (TB/U) sering atau Antropom

kurang dari jarang etri 2010 2=dikatakan sangat

-2SD terjadi. pendek jika < -3SD

sehingga

lebih pendek

dari pada

tinggi yang

seharusnya

55
E. Lokasi dan Waktu penelitian

Tempat penelitian dilakukan di wilayah kerja puskesmas

barombong Makassar.

Alasan memilih tempat ini karena dimana wilayah kerja puskesmas ini

memiliki banyak balita yang mengalami stunring sehingga saya akan lebih

mudah mendapatan sampelnya.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan 7 - 16 Agustus 2018

F. Instrument Penelitian

Dalam instrument penelitian ini menggunakan lembar observasi data dan

alat yang terdirir dari

1. lembar observasi data Berat badan dan tinggi badan orang tua

2. lembar observasi data Kejadian Stunting

3. meteran untuk mengukur tinggi badan

4. timbangan untuk mengetahui berat badan

G. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek

dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Langkah-langkah dalam pengumpulan data bergantung pada

rancangan penelitian dan teknik instrumen yang digunakan (Nursalam,

2016).

Pada penelitian ini mengumpulkan data dengan menggunakan

observasi data dengan menggunakan alat ukur berat badan dan tinggi

badan orang tua.

56
H. Teknik Analisa Data

Analisis data digunakan untuk menguji hipotesis dalam rangka

menentukan kesimpulan untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui hubungan berat badan dan tinggi badan orang

tuan dengan kejadian stunting ada balita di wilayah kerja puskesmas

barombong.

Analisis data penelitian ini dilakukan melalui uji secara kuantitatif

dengan menggunakan metode statistik. Hal ini dilakukan untuk

menyajikan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan

diinterpretasikan serta menguji hipotesis penelitian dengan metode uji

statistik Chi-Square.

Langkah – langkah analisa data sebagai berikut :

1. Pengolahan data

Tahap – tahap dalam pengolahan data pada penelitian ini :

a. Penyuntingan

Merupakan kegiatan memeriksa seluruh daftar pernyataan

yang dikembalikan responden.

b. Pengkodean

Adalah kegiatan Setelah diakukannya Penyuntingan data,

kegiatan berikutnya yaitu Pengkodean yang dilakukan

dengan menggunakan cara memberikan simbol atau tanda

yang berupa angka terhadap jawaban responden yang

diterima.

57
c. Tabulasi

Merupakan kegiatan menyusun dan juga menghitung data

dari hasil pengkodean, kemudian akan disajikan dalam

wujud tabel.

2. Penganalisisan data

a. Analisis Univariat

Analisa univariat dilakukan untuk memperoleh

analisis setiap variabel, distribusi frekuensi berbagi variabel

yang diteliti baik variabel dependen maupun variabel

independen dengan melihat distribusi frekuensi dapat

diketahui masing-masing variabel dalam penelitian.

b. Analisis Bivariat

Analisa bivariat yaitu yang dilakukan terhadap dua

variabel yang diduga berhubungan. Variabel bivariat

dilakukan untuk melihat hubungan antara pola asuh orang

tua dengan anak temper tantrum pada anak usia toddler ( 1-

3 tahun) serta menguji hipotesis penelitian dengan metode

uji statistik Chi-Square.

3. Penafsiran hasil analisis

Memberikan kesimpulan untuk membandingkan

hipotesis yang sudah dirumuskan dengan hasil analisa data

yang sudah diperoleh. Sehingga peneliti bisa manarik

58
kesimpulan apakah menerima atau menolak hipotesis yang

sudah dirumuskan.

I. Etika Penelitian

1. Persetujuan (Informed consent)

Informed consent merupakan lembaran persetujuan antara

peneliti dan responden yang diberikan sebelum penelitian. Tujuan

informed consent yaitu responden yang dapat mengerti maksud dan

tujuan penelitian. Bila respon tidak bersedia maka peneliti harus

menghormati hak responden.

2. Tanpa Nama (Anonymity)

Anonymity adalah memberikan jaminan dalam penggunaan subjek

penelitian dengan cara tidak memberikan atau tidak mencantumkan nama

responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembaran

pengumpulan data.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Confidentiality adalah semua informasi yang dikumpulkan

dijamin kerahasiaaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang

dilaporkan pada hasil riset.

59
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian tentang hubungan berat

badan dan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting balita usia 2-5

tahun.Penelitian ini dilaksanakan Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong

mulai tanggal 7 agustus sampai dengan 22 agustus 2018. Jumlah sampel

dalam penelitian ini sebanyak 49 responden yaitu orang tua balita yang

mengalami stunting. Dengan pengambilan data melalui kuesioner.

Setelah data dikumpulkan, selanjutnya dilakukan pengeditan,

pengkodean, dan kemudian ditabulasi serta dianalisis dengan menggunakan

SPSS dan uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 5 % (α = 0.05).

Adapun hasil penelitian disajikan secara berurutan sesuai dengan pola

analisis yang telah direncanakan yaitu pertama dengan analisis univariat yang

meliputi distribusi frekuensi dan data demografi kemudian analisis hubungan

bivariat yaitu analisis hubungan antara variabel independen dan dependen

dengan menggunakan uji Chi-Square.

1. Analisis Univariat

Analisis Univariat dilakukan untuk dapat menggambarkan

tentang distribusi tunggal dari data umum seperti jenis kelamin, umur,

serta variable independen dan dependen. variabel independen yaitu berat

badan dan tinggi badan orang tua serta variabel dependen yaitu kejadian

stunting. Adapun hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut :

60
a. Karakteristik umum responden

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarka Karakteristik umum
Responden Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong
2018
Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%)
Umur Balia (Tahun)
≥3 ( 3 Tahun keatas) 25 51.0

<3 ( D ibawa 3 24 49.0

Tahun) 49 100.0

Total
Umur Bapak (Tahun)
Dewasa madya 17 34.7
Dewasa dini 32 65.3
Total 49 100.0
Umur Ibu (Tahun)
Dewasa dini 33 67.3

Dewasa madya 16 32.7

Total 49 100.0

Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukkan bahwa 49 responden

kataegori usia balita ≥3 tahun sebanyak 25 balita (51.0%), dan

usia < 3 tahun sebanyak 24 balita (49.0 %). Disimpulkan bahwa

balita usia ≥3 tahun lebih banyak daripada balita usia < 3 tahun.

Kategori usia orang tua dikelompokan menurut Hurlock

(2011) usia dewasa dini 18-40 tahun, dan dewasa madya 40-60

tahun, kategori usia bapak sebanyak 49 responden menunjukkan

bahwa usia madya sebanyak 17 responden (34.7%), dan usia

dewasa dini sebanyak 32 responden (65.3%). disimpulkan bahwa

61
kategori usia dewasa dini lebih banyak daripada kategori usia

dewasa madya.

Kategori usia ibu sebanyak 49 responden menunjukkan

bahwa usia dewasa dini sebanyak 33 responden (67.3), dan usia

madya sebanyak 16 responden (32.7%). Disimpulkan bahwa usia

ibu dewasa dini lebih banyak daripada kelompok usia dewasa

madya.

b. Variabel independen

1) Berat Badan Orang Tua

Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Berat Badan Orang Tua
Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong
2018
Berat Badan Orang Tua Frekuensi Persentase (%)
Berat Badan Bapak
Tidak Ideal 20 40.8
Ideal 29 59.2
Total 49 100.0
Berat badan Ibu
Tidak Ideal 13 26.5
Ideal 36 73.5
Total 49 100.0
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan Tabel 5.2 diatas,dari 49 Responden Bapak

Balita menunjukkan bahwa 20 responden Berat Badan yang

tidak ideal (40.8%), dan Berat Badan yang Ideal sebanyak 29

responden (59.2%).

Berdasarkan kategori Berat Badan Ibu Balita sebanyak 49

Responden menunjukkan bahwa Berat Badan Ibu yang tidak

62
ideal berjumlah 13 responden (26.5%), sedangkan Berat Badan

Ibu yang ideal berjumlah 36 responden (73.5%). Disimpulkan

bahwa lebih banyak berat badan yang ideal dibandingkan

dengan berat badan yang tidak ideal pada orang tua balita.

2) Tinggi Badan Orang Tua

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Responden
Berdasarkan Tinggi Badan Orang Tua
Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong
2018
Tinggi Badan Orang Tua Frekuensi Persentase (%)
Tinggi Badan Bapak
Pendek 1 2.0
Normal 48 98.0
Total 49 100.0
Tinggi badan Ibu
Pendek 44 89.8
Normal 5 10.2
Total 49 100.0
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan Tabel 5.3 diatas, dari 49 responden kategori

Tinggi Badan Bapak menunjukkan bahwa pendek sebanyak 1

responden (2.0%), dan Normal sebanyak 48 Responden

(98.0%). Disimpulkan bahwa lebih banyak Tinggi Badan

Bapak Balita yang normal sebanyak 48 responden

dibandingkan dengan Tinggi Badan yang pendek sebanyak 1

responden (2.0%).

Dan berdasarkan kategori tinggi badan ibu terdiri dari 49

responden menunjukan kategori tinggi badan ibu pendek

63
sebanyak 44 responden (89,8%) dan tinggi badan ibu normal

sebanyak 5 responden (10,2 %).

c. Variabel Dependen

1) Kejadian Stunting

Tabel 5.4
Distribusi Frekunsi Responden Berdasarkan
kejadian Stunting Di Wilayah Kerja Puskesmas
Barombong
2018

Tinggi Badan Balita Frekuensi Persentase (%)


Pendek 41 83.7
Sangat pendek 8 16.3
Total 49 100.0
Sumber : Data Primer 2018

Berdasarkan Tabel 5.4 diatas dari 49 responden

menunjukkan bahwa tinggi badan balita pendek yaitu 41 balita

(83,7%), dan selebihnya yang sangat pendek yaitu 8 balita

(16,3%). Disimpulkan bahwa lebih banyak tinggi badan balita

pendek dengan jumlah 41 responden (83.7%) dibandingkan

dengan tinggi badan balita yang sangat pendek dengan jumlah

8 responden (16.3%).

64
2. Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara

Berat Badan dan Tinggi Badan Orang Tua dengan Kejadian Stunting

pada Balita usia 2-5 tahun.

a. Berat Badan Bapak dengan kejadian Stunting pada Balita

Tabel 5.5
Hubungan Berat Badan Bapak Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita Usia 2-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong
2018
Tinggi badan balita Total
Berat Badan Sangat
Pendek
Bapak pendek
N % n % n % P
Ideal 24 82.8 5 17.2 29 100.0
Tidak Ideal 17 85.0 3 15.0 20 100.0 0.579
Total 41 83.7 8 16.3 49 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 5.5 menunjukkan bahwa pada baris pertama terdapat 41

responden dengan kategori ideal dan pendek sebanyak 24 responden

(82.8%), kategori ideal dan sangat pendek sebanyak 5 responden

(17.2%). Pada baris kedua terdapat 8 responden dengan kategori

tidak ideal dan pendek sebanyak 17 responden (85.0%), tidak ideal

dan sangat pendek sebanyak 3 responden (15.0%). Berdasarkan nilai

hasil uji Chi-Square maka diketahui bahwa nilai p = 0.579 dimana

p <α 0.05.

Dari hasil uji Chi-Square maka hubungan berat badan bapak

dengan kejadian stunting pada balita. Dengan demikian tidak ada

hubungan antara berat badan bapak dengan kejadian stunting pada

balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong.

65
b. Berat Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada Balita

Tabel 5.6
Hubungan Berat Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita Usia 2-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong
2018

Tinggi badan balita Total


Berat Badan Sangat
Pendek
Ibu pendek
N % n % n % P
Ideal 31 86.1 5 13.9 36 100.0
Tidak Ideal 10 76.9 3 23.1 13 100.0 0.355
Total 41 83.7 8 16.3 49 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa pada baris pertama terdapat 41

responden dengan kategori ideal dan pendek sebanyak 31 responden

(86.1%), kategori ideal dan sangat pendek sebanyak 5 responden

(13.9%). Pada baris kedua terdapat 8 responden dengan kategori

tidak ideal dan pendek sebanyak 10 responden (76.9%), tidak ideal

dan sangat pendek sebanyak 3 responden (23.1%). Berdasarkan nilai

hasil uji Chi-Square maka diketahui bahwa nilai p = 0.355 dimana

p <α 0.05.

Dari hasil uji Chi-Square maka hubungan berat badan Ibu

dengan kejadian stunting pada balita. Dengan demikian tidak ada

hubungan antara berat badan Ibu dengan kejadian stunting pada

balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong.

66
c. Tinggi Badan Bapak dengan kejadian Stunting pada Balita

Tabel 5.7
Hubungan Tinggi Badan Bapak Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita Usia 2-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong
2018

Tinggi badan balita Total


Tinggi Badan Sangat
Pendek
Bapak pendek
N % n % n % P
Pendek 1 100.0 0 0.0 1 100.0
Normal 40 83.3 8 16.7 48 100.0 0.837
Total 41 83.7 8 16.3 49 100.0
Sumber : Data Primer

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa pada baris pertama terdapat 41

responden dengan kategori pendek dan pendek sebanyak 1

responden (100.0%), kategori pendek dan sangat pendek sebanyak 0

responden (0.0%). Pada baris kedua terdapat 8 responden dengan

kategori Normal dan pendek sebanyak 40 responden (83.3%),

kategori Normal dan sangat pendek sebanyak 8 responden (16.7%).

Berdasarkan nilai hasil uji Chi-Square maka diketahui bahwa nilai p

= 0.837 dimana p <α 0.05.

Dari hasil uji Chi-Square maka hubungan tinggi badan bapak

dengan kejadian stunting pada balita. Dengan demikian tidak ada

hubungan antara tinggi badan bapak dengan kejadian stunting pada

balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong.

67
d. Tinggi Badan Ibu dengan kejadian Stunting pada Balita

Tabel 5.8
Hubungan Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian Stunting Pada
Balita Usia 2-5 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong
2018

Tinggi badan balita Total


Tinggi Badan Sangat
Pendek
Ibu pendek
N % n % n % P
Pendek 39 88.6 5 11.4 44 100.0
Normal 2 40.0 3 60.0 5 100.0 0.026
Total 41 83.7 8 16.3 49 100.0
Sumber : Data Primer 2018

Tabel 5.7 menunjukkan bahwa pada baris pertama terdapat 41

responden dengan kategori pendek dan pendek sebanyak 39

responden (88.6%), kategori pendek dan sangat pendek sebanyak 5

responden (11.4%). Pada baris kedua terdapat 8 responden dengan

kategori Normal dan pendek sebanyak 2 responden (40.0%),

kategori Normal dan sangat pendek sebanyak 3 responden (60.0%).

Berdasarkan nilai hasil uji Chi-Square maka diketahui bahwa nilai p

= 0.026 dimana p <α 0.05.

Dari hasil uji Chi-Square maka hubungan tinggi badan ibu

dengan kejadian stunting pada balita. Dengan demikian terdapat ada

hubungan antara tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada

balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong.

68
B. Pembahasan

Balita merupakan anak yang berusia diatas satu tahun atau biasa juga

disebut dengan bayi di bawah lima tahun (Muaris, 2009). Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia (2014) seorang anak dikatakan balita apabila

anak berusia 12 bulan sampai dengan 59 bulan. Price dan Gwin (2014)

mengatakan bahwa seorang anak dari usia 1 sampai 3 tahun disebut batita

atau toddler dan anak usia 3 sampai 5 tahun disebut dengan usia pra sekolah

atau preschool child. Usia balita merupakan sebuah periode penting dalam

proses pertumbuhan dan perkembangan seorang anak (Febry, 2008 dalam

Haryansyah. R. A, 2017).

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita dari kekurangan

gizi kronis hingga anak terlalu pendek untuk usianya. (kekurangan gizi terjadi

sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi

baru Nampak setelah anak berusia 2 tahun) (kementrian keuangan 2018).

Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara berat badan bapak dengan

kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas

Barombong menunjukkan bahwa dari 49 responden (100%) kategori ideal

dan pendek sebanyak 24 responden (82.8%), kategori ideal dan sangat pendek

sebanyak 5 responden (17.2%). Sedangkan kategori tidak ideal dan pendek

sebanyak 17 responden (85.0%), tidak ideal dan sangat pendek sebanyak 3

responden (15.0%). Hasil analisis statistik dengan menggunakan uji chi-

square didapatkan nilai p = 0.579 (p> α = 0,05), hal ini dapat

diinterpretasikan bahwa tidak ada hubungan antara berat badan bapak dengan

69
kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas

Barombong.

berdasarkan penelitian ini sependapat dengan materi yang jelaskan oleh

Nutrisains, (2017) bahwa berat badan bapak tidak berhubungan dengan

kejadian stunting. faktor penyebab stunting ialah tinggi badan ibu, asupan gizi

balita, dan asi ekslusif. berat badan orang tua tidak berhubungan dengan

stunting karena berat badan tidak memiliki nilai paten atau dapat berubah

sewaktu-waktu sehingga tidak dapat di nyatakan berhubungan.

Hasil penelitian dari hubungan berat badan Ibu dengan kejadian stunting

pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong ini

menunjukkan bahwa dari 49 (100%) responden dengan kategori ideal dan

pendek sebanyak 31 responden (86.1%), kategori ideal dan sangat pendek

sebanyak 5 responden (13.9%). Sedangkan responden degan kategori tidak

ideal dan pendek sebanyak 10 responden (76.9%), tidak ideal dan sangat

pendek sebanyak 3 responden (23.1%). Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,355 (p< α = 0,05), hal ini

dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada hubungan antara berat badan Ibu

dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja

Puskesmas Barombong.

Berdasarkan penelitian sebelumnya menurut Nutrisains, (2017) bahwa

berat badan ibu juga tidak berhubungan dengan kejadian stunting karena

sejalan dengan penjelasan di atas tentang hubungan berat badan ayah dengan

kejadian stunting yang menjelaskan bahwa berat badan orang tua tidak

70
berhubungan karena tidak memiliki nilai paten atau dapat berubah ubah

sewaktu-waktu sehingga tidak dapat dinyatakan berhubungan.

Hasil penelitian dari hubungan tinggi badan bapak dengan kejadian

stunting pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Barombong

menunjukkan bahwa dari 49 (100%) responden dengan kategori pendek dan

pendek sebanyak 1 responden (100.0%), kategori pendek dan sangat pendek

sebanyak 0 responden (0.0%). Sedangkan responden dengan kategori Normal

dan pendek sebanyak 40 responden (83.3%), kategori Normal dan sangat

pendek sebanyak 8 responden (16.7%). Hasil analisis statistik dengan

menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p = 0,837 (p< α = 0,05), hal ini

dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada hubungan antara tinggi badan bapak

dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja

Puskesmas Barombong.

Pada penelitian ini menunjukan bahwa tinggi badan ayah tidak

berhubungan dengan kejadian stunting. hal ini diduga karena ayah yang

pendek akibat karena patologis atau kekurangan zat gizi bukan karena

kelainan gen dalam kromosom. Kartikawati. (2011) menjelaskan bahwa ayah

yang pendek karena gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek

kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut pada anaknya.

apabila sifat pendek ayah disebabkan masalah gizi maupun ptologis, maka

sifat pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya dan selanjutnya

balita dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama tidak terpapar faktor

resiko yang lain. penelitian ini tidak meneliti faktor-faktor yang

71
mempengaruhi tinggi badan ayah saat ini merupakan pengaruh genetic atau

pengaruh patologis maupun malnutrisi. hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian kusuma dan nuryanto (2013) bahwa tinggi badan ayah tidak

berhubungan dengan tinggi badan balita.

Bila ayah pendek akibat kekurangan gizi atau penyakit kemungkinan

anak dapat tumbuh dengan tinggi badan normal selama anak tersebut tidak

terpapar faktor resiko yang lain (amigo, 1997). walaupun demikian,

berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa ayah yang pendek tidak cenderung

memiliki anak yang pendek lain halnya dengan tinggi badan ibu yang pendek

cenderung memiliki anak yang pendek karena ibu yang pendek memiliki

Rahim yang kecil sehingga bayi dalam kandungan tidak bisa berkembang

sempurna. tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekspresi genetik

dan merupakan faktor yang di turunkan pada anak serta berkaitan dengan

kejadian stunting. anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu atau

keduanya lebih berisiko stunting.

Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara tinggi badan ibu dengan

kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja Puskesmas

Barombong menunjukkan bahwa dari 49 (100%) responden dengan kategori

pendek dan pendek sebanyak 39 responden (88.6%), kategori pendek dan

sangat pendek sebanyak 5 responden (11.4%). Sedangkan responden dengan

kategori Normal dan pendek sebanyak 2 responden (40.0%), kategori Normal

dan sangat pendek sebanyak 3 responden (60.0%). Hasil analisis statistik

dengan menggunakan uji chi-square didapatkan nilai p = 0, 026 (p< α =

72
0,05), hal ini dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan antara tinggi badan

ibu dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5 tahun di Wilayah Kerja

Puskesmas Barombong.

Kondisi tinggi badan ibu menunjukan hasil yang signifikan dengan

kejadian stunting. stunting meruepakan masalah kurang gizi pada balita yang

mengalami kekerdilan yang sifatnya akut. hasil penelitian diatas sejalan yang

menyatakan terdapat hubungan tinggi badan ibu dengan stunting sejalan

dengan penelitia et al. bahwa tinggi ibu merupakan faktor yang paling

penting mempengaruhi pertumbuhan pada anak umumnya hal ini terjadi pada

ibu dengan tinggi <150 cm mempunyai kecenderungan melahirkan anak

stunting atau balita pendek. penelitian juga dilakukan di Aceh besar yang

menyatakan tinggi badan ibu dibawah standar menjadi faktor resiko balita

kependekan pada usia 0-23 bulan sebesar 1,8 kali dibandingkan kondisi ibu

yang normal.

Kesimpulan berat badan orang tua tidak berpengaruh terhadap kejadian

stunting pada anak karena berat badan tidak memiliki nilai paten atau dapat

berubah sewaktu-waktu. sedangkan tinggi badan bapak tidak menunjukan

hubungan yang signifikan karena faktor patologi. berbeda dengan tinggi

badan ibu yang berhubungan dengan kejadian stunting disebabkan ibu yang

mempunyai tubuh pendek cenderung melahirkan anak yang pendek.

73
C. Keterbatasan penelitian

Kelemahan alat ukur yang digunakan hanya berupa kuesioner. Kuesioner

terdiri dari beberapa pertanyaan yang hanya bisa menilai sebagian kecil dari

variabel penelitian. Penelitian ini hanya menggunakan kuesioner yang

dibagikan kepada responden sehingga kesimpulan yang dapat diambil hanya

berdasarkan pada data yang dikumpulkan melalui kuesioner. Penelitian ini

melibatkan subyek penelitian dalam jumlah terbatas, yakni sebanyak 49

responden. tetapi berbagai pendekatan untuk masalah ini telah dilakukan

peneliti seperti bina hubungan saling percaya dengan responden.

D. Implikasi untuk keperawatan

Hasil penelitian ini akan membantu meningkatkan pengetahuan dan

memberikan informasi bagi petugas kesehatan terkait hubungan berat badan

dan tinggi badan orang tua dengan kejadian stunting pada balita usia 2-5

tahun,agar orang tua balita mengetahui pentingnya mengkomsumsi makanan

bergizi untuk anak untuk menunjang pertumbuhan dan nutrisinya agar sifat

stunting pada orang tua tidak menurun kepada anak dari berbagai macam

penyakit yaitu stunting.

74
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil penelitian dan analisa data yang dilakukan dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut:

1. Dari 49 responden Berat Badan bapak menunjukkan bahwa 20

responden Berat Badan yang tidak ideal (40.8%), dan Berat Badan yang

Ideal sebanyak 29 responden (59.2%). Dan kategori Berat Badan Ibu

sebanyak 49 Responden menunjukkan bahwa Berat Badan Ibu yang

tidak ideal berjumlah 13 responden (26.5%), sedangkan Berat Badan

Ibu yang ideal berjumlah 36 responden (73.5%).

2. Dari 49 responden Tinggi badan bapak menunjukkan bahwa kategori

pendek sebanyak 1 responden (2.0%), dan Normal sebanyak 48

Responden (98.0%). Dan Tinggi badan ibu terdiri dari 49 responden

menunjukan bahwa kategori pendek sebanyak 44 responden (89,8%)

dan normal sebanyak 5 responden (10,2 %).

3. Dari 49 responden balita menunjukkan bahwa kategori pendek yaitu 41

balita (83,7%), dan sangat pendek yaitu 8 balita (16,3%).

4. Tidak ada hubungan berat badan orang tua dengan kejadian stunting

pada balita usia 2-5 tahun di wilayah kerja puskesmas barombong.

5. Tidak ada hubungan tinggi badan bapak dengan kejadian stunting pada

balita usia 2-5 tahun di wilayah kerja puskesmas barombong.

6. Ada hubungan tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita

usia 2-5 tahun di wilayah kerja puskesmas barombong.

75
B. Saran

Berdasarkan penelitian diatas, maka penulis memberikan saran sebagai

berikut:

1. perlunya pendidikan kesehatan untuk orang tua agar orang tua bisa

memenuhi kebutuhan gizi pada anak untuk menunjang pertumbuhan anak

agar tidak cenderung mengikut kepada ibu yang pendek.

2. Bagi Masyarakat Wilayah Kerja Puskesmas Barombong Menjadikan masukan

bagi ibu untuk memberikan asupan gizi bagi bayi agar dapat terhindar dari

stunting.

3. Bagi Kader Kesehatan,menjadikan masukan untuk kader agar memberikan

penyuluhan tentang arti pentingnya pemberian asupan gizi yang dapat

menunjang pertumbuhan dan faktor penyebab serta pencegahan stunting.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya,menambah referensi penelitian selanjutnya agar

meneliti faktor lain yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita

usia 2-5 tahun.

76
DAFTAR PUSTAKA

Amin. A. A., dan Julia. M., (2014). Faktor Sosiodemografi Dan Tinggi Badan
Orang Tua serta Hubungannya Dengan Stunting Pada Balita Usia 6-23
Bulan. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia. Diakses pada 03
September 2014.

Ampera. W. Dkk, (2017). Hubungan Berat Dan Tinggi Badan Orang Tua Dengan
Status Gizi Balita Di Kabupaten Aceh Besar. Journal of the Indonesia
nutrition association. Di akses 02 Mei 2017

Antropometri, (2010). Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.


Kemenekes RI :2011.

Astuti. D. K, (2016). Bab I Pendahuluan. Di unduh dari https://eprints.ums.ac.id


tanggal 02 juni 2018.

Bappenas R.I. (2013). Rencana Aksi Nasional Pangandan Gizi 2011-2015.Badan


Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Jakarta:10.

Febriana. R., (2015). Bab I Pendahuluan Latar Belakang Masalah Berat Badan. Di
unduh dari eprint.ums.ac.id 31 Mei 2018

Haryansyah. R. A, (2017). Tinjauan Pustaka Balita. Di unduh dari


https://repository.umy.ac.id>bistream>Handle tanggal 01 juni 2018

Hidayat, (2014). Metodologi penelitian

Jafar, (2010). Bab II Tinjauan Pustaka Status Gizi Balita. Di unduh dari
https://repository.ac.id tanggal 02 juni 2018.

77
Kartikawati. (2011). Faktor Yang Mempengaruhi Kejadiian Stunted Growth Pada
Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Arjasa Kabupaten
Jember. Skripsi.Jember :Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Jember.

Kementrian Keuangan, (2018). Penanganan Stunting Terpadu Pada 2018. Jakarta

Liswati. E. M, (2016). Daftar Pustaka Almatsier Sunita 2005 Penuntut Diet :


Jakarta 2016. Di unduh dari https://eprints.ums.ac.id tanggal 01 juni
2018.

Merdeka, (2017). Cara Menghitung Berat Badan Ideal Untuk Pria Dan Wanita. Di
unduh dari https://www.Merdeka.com/sehat/cara-menghitung-berat-
badan-ideal-untuk-pria-dan- wanita-kln.html 31 mei 2018

Mumpuni. E. A., (2012). Gambaran Berat Badan Anak Usia Toddler Ditinjau Dari
Pendidikan Dan Pekerjaan Jurnal Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta 2012. Di unduh
darihttps://eprints.ums.ac.id> Nasakah_Publikasi 31 Mei
2018.

Milenium Challenga Account Indonesia. (2014). Stunting Dan Masa Depan


Indonesia. Di unduh dari Info@mca -indonesia.go.id | www.mca-
indonesia.go.id tanggal 29 Mei 2018

Nursalam, (2016). Metodologi Penelitian. Di unduh dari


https://repository.umy.ac.id>bitstream>handle tanggal 02 Juni 2018

Nutrisains, (2017). Faktor Yang Mempengaruhi Tinggi Badan. Di unduh dari


https://nutrisain.com/faktor-yang- mempengaruhi-tinggi-badan/ 31 Mei
2018

78
Purwandini K. (2013). Pengaruh Pemberian Mikronutrient Sprinkle Terhadap
Perkembangan Motorik Anak Stunting Usia 13-36 Bulan. Journal
Of Nutrition College; Volume 2 Nomor 1 Halaman 147-163

Rachim, A. N. F. (2017). Tinjauan Pustaka Stunting Balita Pendek. Di unduh dari


https://eprints.undip.ac.id> annisa_nailis_FR.2 tanggal 02 Juni 2018

Ramayulis. R., dkk, (2018). Stop Stunting Dengan Konseling Gizi. Penebar Plus:
Jakarta Timur

Riswatularya, (2016). Menimbang Berat Badan Dan Mengukur Tinggi Badan. Di


unduh dari https://riswatularya.blogspot.com/2016/03/v-
behaviorurdefaultvmlo.html 31 Mei 2018

Sihadi dan Djaiman, (2011). Risiko Kegemukan Terhadap KadarKolestrol


(obesity Risk to The Blood cholestrol Media Gizi & Keluarga, Juli
2006, 30 (1): 58-64

Sogen. M. D. P, (2018). Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang UNS Institutional


Repository. Di unduh dari https://eprints.ums.ac.id tanggal 01 Juni
2018

Sugiyono, (2013). Metodology Penelitian Administratif. Di unduh dari


https://noviamelia1993.blogspot.com>2016/06 tanggal 01 Juni 2018

Sulistyawati. A (2015). Deteksi Tumbuh Kembang Anak. Salemba Medika :


Jakarta

Sulistyoningsih, (2011). Bab II Tinjauan Pustaka Balita. Di unduh dari


https://digilib.unila.ac.id tanggal 01 Juni 2018

79
Supriasa dkk, (2012). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Wahyuningsih, (2011). Bab II Tinjaun Pustaka Status Gizi BalitaRepository. Di


unduh dari https://repository .usu.ac.id>bistream tanggal 01 Juni
2018.

80
L
A
M
P
I
R
A
N
81
82
83
84
85
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS

Nama Lengkap : Desi Fatmasari

Tempat, Tanggal Lahir : Sinjai, 27 Desember 1995

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Pernikahan : Menikah

Alamat : Jl. Banta-Bantaeng, Kec. Rappocini

No. Hp : 082191610815

Alamat Email : fatmasaridesi6@gmail.com

B. PENDIDIKAN

Tingkat Nama Tahun Tahun

Pendidikan Mulai Selesai

SD SDN 102 LAPPA KAB. SINJAI 2003 2009

SMP MTSN SINJAI UTARA KAB. SINJAI 2009 2012

SMA MAN 1 SINJAI UTARA KAB. SINJAI 2012 2014

KULIAH STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR 2014 2018

86

Anda mungkin juga menyukai