Anda di halaman 1dari 17

RINGKASAN EKSEKUTIF

DESAIN DAN TANTANGAN MAJOR PROJECT PENGELOLAAN TERPADU


UMKM

Robby Alexander Sirait dan Adhi Prasetyo

Pemerintah menetapkan Pengelolaan Terpadu UMKM sebagai salah satu Major


Project baru pada tahun 2022 sebagai upaya dalam mengintegrasikan kebijakan UMKM
yang selama ini bersifat lintas sektoral atau kewilayahan. Berkaitan dengan pengelolaan
terpadu UMKM, pemerintah mendirikan rumah produksi bersama melalui sinergitas
dengan Pemda, K/L terkait, off taker BUMN, BUMD, dan swasta dengan Kementerian
Koperasi dan UKM sebagai leading sector. Pengelolaan produk UKM dalam satu kawasan
sentra/klaster UMKM yang terintegrasi dari hulu ke hilir ini diharapkan dapat
meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk. Dalam pelaksanaanya pengelolaan
terpadu UMKM tentu saja akan dihadapkan pada beberapa tantangan dan permasalahan
yang bisa ditampik. Lebih lanjut, tantangan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, pembiayaan. Kredit macet merupakan kemungkinan yang akan terjadi
pada penyediaan akses pembiayaan. Lebih lanjut, calon debitur dari sektor IKM umumnya
belum mendapatkan informasi adanya pembiayaan UMKM dari pemerintah. Kedua,
bahan baku dan ruang atau alat produksi bersama. Pengendalian mutu bahan baku
merupakan poin yang wajib diperhatikan pemerintah selain memastikan ketersediaan
bahan baku dan/atau bahan penolong. Disamping itu, dibutuhkan pengaturan dalam hal
distribusi dan antrian supaya penggunaan mesin lebih optimal. Ketiga, kurasi dan
standardisasi produk. Diperlukan penerapan standar berdasarkan pada kebutuhan
industri nasional dan memastikan pengembangannya harmonis dengan standar
internasional dan/atau standar-standar yang diterapkan di negara-negara tujuan ekspor.
Disisi lain, sertifikasi halal masih menjadi kendala bagi UMKM khususnya bagi yang akan
mengekspor produknya.
Keempat, rendahnya kemampuan UMKM mengakses pasar global dan
domestik. Lemahnya kualitas SDM serta implikasinya terhadap keterbatasan informasi,
pemenuhan aspek legalitas, serta pemanfaatan teknologi informasi bagi UMKM
merupakan refleksi masih lemahnya pendampingan yang diberikan oleh negara. Kelima,
minimnya pendampingan UMKM. Dukungan anggaran melalui APBN tidak memadai
untuk memberikan dukungan pendampingan yang optimal. Keenam, regulasi.
Pengurusan perijinan yang memakan waktu dan biaya tidak sedikit, keterbatasan
anggaran Kementerian Koperasi dan UKM serta pendampingan UMKM terkait perijinan
merupakan tantangan yang harus mampu dijawab dalam pengelolaan UMKM terpadu
dalm hal regulasi. Terakhir, pendataan UMKM. Memastikan seluruh pelaku usaha
UMKM terdaftar dan memperoleh izin usaha melalui OSS. Peningkatan pendampingan
pelaku usaha agar memenuhi aspek legalitas.
I. PENDAHULUAN
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran yang sangat strategis
terhadap perekonomian Indonesia. Peran strategis tersebut tergambar dari data
Kementerian Koperasi dan UKM, di mana UMKM mampu menyerap 96,92% tenaga kerja
di Indonesia pada tahun 2019. Sementara itu kontribusi UMKM terhadap PDB Nasional
sebesar 60,51%. Namun di sisi lain, pelaku UMKM sendiri memiliki beberapa
permasalahan, seperti: bidang manajemen, organisasi, teknologi, permodalan,
operasional dan teknis di lapangan, terbatasnya akses pasar, kendala perizinan, serta
biaya-biaya nonteknis di lapangan yang sulit untuk dihindari. Menurut hasil identifikasi
Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat beberapa permasalahan dan kesulitan yang
dihadapi adalah: (1) permodalan, sebesar 51,09%; (2) pemasaran, 34,72%; (3) bahan
baku, 8,59%; (4) ketenagakerjaan, 1,09%; (5) distribusi transportasi, 0,22%; dan (6)
lainya sebesar 3,93%.
Berangkat dari berbagai persoalan di atas, pemerintah menetapkan Pengelolaan
Terpadu UMKM sebagai salah satu Major Project (MP) tahun 2022 sebagaimana tertuang
dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022. Pengelolaan Terpadu UMKM merupakan
upaya mengintegrasikan kebijakan yang bersifat lintas sektoral atau kewilayahan.
Adapun MP Pengelolaan Terpadu UMKM diharapkan mampu menghasilkan
output/outcome: (1) Meningkatnya kontribusi UMKM terhadap PDB dari 60,51% pada
2019 menjadi 63% di 2022; (2) Meningkatnya kontribusi UMKM terhadap ekspor
nonmigas dari 15,65% di 2019 menjadi 30% di 2022; (3) Meningkatnya kontribusi rasio
kredit UMKM terhadap kredit perbankan dari 19,67% menjadi 20,9% di tahun 2022; (4)
Meningkatnya pertumbuhan wirausaha dari 1,71% menjadi 3% di tahun 2022. Dalam
rangka mencapai output/outcome tersebut pemerintah membagi MP Pengelolaan
Terpadu UMKM menjadi beberapa Sub Major Project yang terdiri dari: (1) Penyediaan
Akses Pembiayaan; (2) Penyediaan Akses Bahan Baku dan Ruang/Alat Produksi Bersama;
(3) Kurasi dan Standardisasi Produk; (4) Perluasan Akses Pasar dan Kewirausahan, (5)
Pendampingan SDM UMKM; (6) Regulasi dan Pendataan UMKM.
Gambar 1. Sub Major Project Pengelolaan Terpadu UMKM

Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM


Berdasarkan hal di atas, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana bentuk
pengelolaan terpadu UMKM yang hendak dilakukan pemerintah dan apa saja yang akan
menjadi tantangan dalam pelaksanaannya.

II. DESAIN MAJOR PROJECT “PENGELOLAAN TERPADU UMKM”


Salah satu tantangan yang dihadapi oleh UMKM adalah kemampuan produksi untuk
menghasilkan produk yang memiliki daya saing, khususnya guna meningkatkan
kontribusi ekspor produk UMKM yang masih berada di angka 13,7 persen. Oleh sebab itu

1
pemerintah berupaya meningkatkan peran UMKM melalui pengembangan sentra-sentra
kawasan serta pengintegrasian data UMKM. Data ini dibutuhkan agar program
pengembangan UMKM nasional menjadi terpadu dan tajam. Dalam rangka
pengembangan sentra-sentra kawasan yang berbasis unggulan daerah potensial ekspor
nasional untuk masuk dalam rantai pasok, pemerintah mendirikan rumah produksi
bersama sebagai wadah pengelolaan terpadu UMKM. Rumah produksi bersama ini
ditujukan bagi UMKM yang membutuhkan peralatan modern namun tidak sanggup untuk
membelinya. Lebih lanjut, pengelolaan produk UKM dalam satu kawasan sentra/klaster
UMKM yang terintegrasi dari hulu ke hilir diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah
dan daya saing produk. Nantinya UMKM tersebut bisa menggunakan rumah produksi
bersama ini dalam rangka meningkatkan kualitas produksinya serta membantu dalam hal
pemasarannya. Pendirian rumah produksi bersama merupakan tindak lanjut dari Major
Project Pengelolaan Terpadu UMKM melalui sinergitas dengan Pemda, K/L terkait, off
taker BUMN, BUMD, dan swasta dengan Kementerian Koperasi dan UKM sebagai leading
sector (Gambar 1).
Gambar 2. Desain Major Project “Pengelolaan Terpadu UMKM”

Sumber: Kementerian Koperasi dan UKM


Pada tahap awal pendirian rumah produksi bersama, Kementerian Koperasi dan UKM
beserta Kementrian Perindustrian akan melakukan pemetaan terhadap kluster atau
Sentra UKM yang produk unggulannya menjanjikan untuk diekspor. Selanjutnya
Kementerian Koperasi dan UKM melalui sinergitas bersama Pemda dan K/L terkait akan
melihat potensi usaha, ketersediaan bahan baku, teknologi, sarana dan prasarana
pendukung dari masing-masing kluster atau Sentra UKM. Setelah dilakukan pemetaan,
tentunya akan diketahui bentuk dukungan apa saja yang diperlukan serta bagaimana
dukungan yang dapat diberikan oleh para stakeholder. Sebagai contoh, dalam hal
penyediaan lahan rumah produksi bersama, dukungan perizinan, fasilitasi dan
pendampingan serta ketersediaan penunjang sarana dan prasarana (infrastruktur jalan,
listrik, air, dsb) akan dilakukan oleh Pemda setempat. Kemudian terkait bahan baku akan
mendapat dukungan dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Selanjutnya pada bagian teknologi dan digitalisasi akan menjadi domain
Kementerian Komunikasi dan Informasi. Setelah itu pada aspek kelembagaan, para
pelaku UMKM yang berada pada kluster atau sentra UKM yang dinilai siap dari aspek

2
potensi usaha, ketersediaan bahan aku serta sarana dan prasarana akan didorong untuk
bergabung membentuk koperasi. Dengan koperasi diharapkan para pelaku UMKM dapat
memiliki manajemen yang kuat dan dikelola secara profesional. Lebih lanjut, UMKM dan
Koperasi yang memanfaatkan rumah produksi akan mendapatkan pendampingan serta
difasilitasi baik dalam hal pembiayaan investasi, manajemen, digitalisasi, standarisasi
produk, teknologi produksi dan pemasaran. Setelah itu produk yang dihasilkan pada
rumah produksi bersama diharapkan akan terserap oleh BUMN, BUMD maupun swasta
untuk kemudian dapat di ekspor ke luar negeri serta memenuhi pasar domestik melalui
pasar offline dan marketplace dengan difasilitasi oleh Kementerian Perdagangan. Dengan
demikian, adanya rumah produksi bersama para pelaku UMKM akan mendapatkan
perlindungan, kemudahan, pemberdayaan dan kemitraan.

III. TANTANGAN IMPLEMENTASI PENGELOLAAN TERPADU UMKM


Dalam pengelolaan terpadu UMKM, terdapat beberapa Sub Major Project
sebagaimana telah diuraikan dibagian atas (gambar 1). Berkenaan dengan itu, dalam
pelaksanaanya pengelolaan terpadu UMKM tentu saja akan dihadapkan pada beberapa
tantangan dan permasalahan yang bisa ditampik. Lebih lanjut, tantangan tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penyediaan Akses Pembiayaan. Dalam beberapa tahun terakhir
pemerintah memberikan dukungan dengan menyediakan akses pembiayaan yang lebih
luas terhadap UMKM melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Ultra Mikro (UMi),
Permodalan Nasional Madani (PNM), Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera dan Unit
Layanan Modal Mikro (PNM Mekaar dan ULaMM), Lembaga Pengelola Dana Bergulir
(LPDB). Dari beberapa dukungan pembiayaan di atas, kasus kredit macet merupakan
kemungkinan terbesar yang akan terjadi pada penyediaan akses pembiayaan terlebih
dengan adanya pandemi Covid-19. Berdasarkan data OJK sejak April 2020, terdapat
penurunan kinerja kualitas kredit dengan mengingkatnya rasio Non Performing Loan.
Sebagaimana kita ketahui bersama sebelum pandemi, mayoritas kredit macet pada
UMKM banyak diakibatkan oleh gagal panen, gagal produksi, serta ketidakmampuan
debitur dalam mengelola usahanya. Adanya pandemi tentu akan memberikan tekanan
tersendiri terhadap kinerja dari kredit tersebut. Lebih lanjut menurut Bank Indonesia,
masih banyak pelaku UMKM yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses kredit
dari bank atau lembaga keuangan lainya, baik karena kendala teknis, sebagai contoh tidak
mempunyai/tidak cukup agunan, maupun kendala nonteknis, misalnya keterbatasan
akses informasi ke perbankan. Dari sisi pengembangan usaha, pelaku UMKM masih
memiliki keterbatasan informasi mengenai pola pembiayaan untuk komoditas tertentu.
Kedua, penyediaan Akses Bahan Baku dan Ruang atau Alat Produksi Bersama.
Bahan baku merupakan salah satu faktor yang sangat penting dan akan mempengaruhi
terhadap mutu produk yang dihasilkan suatu industri. Untuk itu, sebagaimana paparan
dari Asisten Deputi Rantai Pasok Kemenkop UKM, pada tahap awal rumah produksi
bersama akan mengidentifikasi kebutuhan bahan baku mulai dari jenis bahan baku yang
tersedia, harga bahan baku, posisi bahan baku, waktu tunggu bahan baku hingga legalitas

3
bahan baku. Sebagai bentuk pengendalian mutu, beberapa poin tersebut perlu
diperhatikan secara serius oleh pemerintah. Selain itu, terkait dengan bahan baku
pemerintah perlu juga memastikan ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong.
Ini diperlukan apabila melihat dari 5 (lima) daerah yang terpilih sebagai pilot project,
terdapat 1 (satu) daerah yaitu industri rotan di Jawa Tengah yang sumber bahan bakunya
berasal dari Sulawesi dan Kalimantan. Sedangkan bahan baku industri lainnya seperti
Nilam, Sapi, Biofarmaka, Kelapa merupakan komoditas unggulan dari lokasi pengelolaan
terpadu UMKM tersebut. Lebih lanjut, sehubungan dengan ruang atau alat produksi
bersama tentunya akan melibatkan sinergi dengan banyak pihak mulai dari pemda hingga
kementerian terkait. Sementara itu, dengan banyaknya jumlah pelaku usaha yang akan
bergabung dalam pengelolaan terpadu dan memproduksi produk yang sama, tentunya
dibutuhkan pengaturan dalam hal distribusi dan antrian supaya penggunaan mesin lebih
optimal.
Ketiga, kurasi dan Standardisasi Produk. Dari berbagai produk unggulan yang
dipunyai pelaku UMKM di lokasi rumah pro duksi, menentukan produk mana yang tepat
didorong supaya mampu bersaing dan menembus pasar ekspor merupakan suatu
tantangan tersendiri bagi pemerintah. Adapun penerapan standar akan mendorong daya
saing produk nasional. Untuk itu standar tersebut harus berdasarkan pada kebutuhan
industri nasional dan pengembangannya harmonis dengan standar internasional
dan/atau standar-standar yang diterapkan di negara-negara tujuan ekspor. Pemerintah
sendiri telah memberikan layanan sertifikasi gratis secara terbatas kepada pengusaha
mikro bagi pengajuan Sertifikat Produksi Pangan-Industri Rumah Tangga, Sertifikasi
Halal, pendaftaran Merek, dan Izin Edar BPOM Makanan Dalam. Meskipun demikian
berdasarkan penuturan pelaku usaha kepada tim dari Pusat Kajian Anggaran pada 2021
di beberapa Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, sertifikasi halal
masih menjadi kendala bagi UMKM khususnya bagi yang akan mengekspor produknya.
Kendala yang dihadapi yaitu dalam hal biaya apabila tidak mendapatkan kuota sertifikasi
gratis dan pemahaman yang tidak sama pada semua UMKM dalam proses pengajuan
sertifikasi halal dimana sosialisasi lebih banyak dilakukan oleh BPOM. Lebih lanjut,
pendamping UMKM juga menyampaikan apabila kebijakan proses perijinan sertifikasi
halal saat ini lebih menyulitkan ketimbang sebelumnya. Dengan kata lain, dibutuhkan
keterlibatan lembaga sertifikasi dalam hal penyediaan bimbingan teknis dan penyusunan
dokumen yang dibutuhkan dalam proses sertifikasi merupakan dukungan yang
diharapkan dalam hal standarisasi produk.
Keempat, rendahnya kemampuan UMKM mengakses pasar global dan
domestik. Di satu sisi, jumlah UMKM di Indonesia pada 2019 mencapai 65,46 juta usaha
atau setara 99,99 persen dari total usaha yang ada di Indonesia. Di sisi lain, kontribusi
ekspor UMKM terhadap terhadap total ekspor nonmigas baru mencapai 15,65 persen.
Kontradiksi ini mensiratkan masih begitu rendahnya akses pasar UMKM ke pasar global.
Rendahnya akses pasar pada 2019 tersebut lebih buruk dibanding 2015, di mana ekspor
UMKM pada 2015 masih mampu mencatatkan kontribusi sebesar 15,73 persen terhadap
total ekspor nonmigas. Data lain yang menunjukkan rendah atau terbatasnya akses pasar

4
juga terlihat dari pola sebaran pemasaran Industri Mikro dan Kecil (IKM) pada tahun yang
sama. Pada 2019, sebanyak 89,15 persen dari total IKM yang berjumlah 4,38 juta usaha
hanya memasarkan produknya di dalam satu kabupaten/kota tempat IKM berkedudukan
dan hanya 0,5 persen yang memasarkan produknya ke luar negeri (BPS, 2020). Jika
dibandingkan dengan 2015, kondisinya juga tidak jauh berbeda, dimana 89,45
memasarkan ke kabupaten/kota domisili perusahaan dan 0,1 persen ke luar negeri. Data
tersebut menunjukkan bahwa UMKM di Indonesia belum mampu menjangkau pasar
domestik di luar kabupaten/kota tempat UMKM menjalankan produksinya dan
rendahnya kemampuan UMKM menembus pasar global dalam kurun waktu lima tahun
terakhir. Hal ini merupakan salah satu tantangan terbesar yang harus dipecahkan oleh
pemerintah melalui pengelolaan UMKM terpadu. Pemecahan yang akan dilakukan
pemerintah tersebut haruslah berangkat dari permasalahan fundamental UMKM yang
menjadi determinan rendahnya akses pasar UMKM, di mana beberapa permasalahan
tersebut memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Secara umum, determinan
sulit dan rendahnya kemampuan UMKM mengakses pasar adalah harga yang tidak
mampu bersaing, kualitas dan standarisasi produk, keterbatasan modal produksi dan
pengiriman, biaya logistik, keterbatasan informasi (antara lain informasi yang mencakup
peluang pasar, media pemasaran, promosi, market research, perizinan ekspor, akses
pembiayaan, serta perizinan dan legalitas lainnya), pemenuhan aspek legalitas (antara
lain: NPWP, Nomor Induk Usaha, Izin Ekspor, Izin Usaha, dan Sertifikasi), pemanfaatan
dan ketersedian akses teknologi informasi, keterbatasan pemanfaatan teknologi
produksi, serta lemahnya kapasitas sumber daya manusia (Shobaruddin, 2020;
Vrisvintati, 2020; Okezone, 2021; Antaranews, 2021; Tempo, 2021). Apabila melihat
keterkaitan beberapa faktor dengan faktor lainnya, masalah paling fundamental yang
dihadapi UMKM dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga). Pertama, keterbatasan
permodalan. Hal ini didasarkan pada efek rambatan keterbatasan permodalan terhadap
beberapa faktor lainnya. Keterbatasan permodalan akan berdampak pada
ketidakmampuan UMKM untuk mencapai skala produksi yang paling efisien dan
rendahnya pemanfaatan teknologi dalam memacu produktivitas. Kondisi ini pada
akhirnya akan berdampak pada tingginya biaya produksi yang berimplikasi pada harga
yang tidak bersaing dan rendahnya kualitas produk. Selain itu, keterbatasan permodalan
juga akan berdampak pada kemampuan UMKM untuk mengakses media pemasaran dan
promosi, memenuhi biaya logistik untuk pengiriman, serta memenuhi biaya standarisasi
atau sertifikasi. Kedua, lemahnya sumber daya manusia. Sebagai gambaran, sumber daya
manusia yang mengelola atau memimpin IKM dengan tingkat pendidikan SD ke bawah
pada 2019 mencapai 54,24 persen dan pendidikan diploma ke atas hanya 3,53 persen
(BPS, 2020). Data ini dapat menjadi cerminan bahwa masih rendahnya kualitas sumber
daya manusia UMKM di Indonesia, yang pada akhirnya akan berimplikasi pada
kemampuan UMKM untuk mengkases berbagai informasi, memanfaatkan teknologi
produksi, memahami pentingnya aspek legalitas dan perizinan (termasuk pengurusan),
serta pemanfaatan teknologi informasi dalam menjangkau pasar. Ketiga, lemahnya
pendampingan yang diberikan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah. Permasalahan masih lemahnya kualitas sumber daya manusia serta

5
implikasinya terhadap keterbatasan informasi, pemenuhan aspek legalitas, serta
pemanfaatan teknologi informasi bagi UMKM bukanlah permasalahan baru. Faktor-faktor
ini merupakan permasalahan klasik yang dihadapi UMKM dari tahun ke tahun. Dengan
demikian, kondisi yang berulang ini merupakan refleksi masih lemahnya pendampingan
yang diberikan oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Kelima, minimnya pendampingan UMKM. Pada bagian sebelumnya telah
dijelaskan bahwa salah satu masalah paling fundamental adalah lemahnya
pendampingan. Hal senada juga diakui oleh Ketua Asosiasi UMKM Indonesia yang
menyebutkan pendampingan UMKM untuk mendukung ekspor belum memadai (Bisnis,
2020). Tidak hanya terkait ekspor saja, minimnya pendampingan bagi UMKM juga
meliputi produksi, tata kelola usaha, pemasaran, pengurusan perizinan, legalitas dan
sertifikasi, serta pemanfaatan teknologi informasi (Kontan, 2019; Pusat Kajian Anggaran,
2021; Kementerian KUMKM, 2021). Lemahnya pendampingan terkonfirmasi dari
sedikitnya tenaga pendamping yang dimiliki oleh Kementerian Koperasi dan UKM. Hingga
saat ini, jumlah pendamping yang dimiliki hanya berjumlah 6.495 orang (Kementerian
KUMKM, 2021). Sedangkan jumlah usaha menengah yang menjadi tanggungjawab
langsung pemerintah pusat menurut UU tentang Pemda berjumlah 65.465 unit usaha.
Artinya, rasio pendamping sebesar 1 berbanding 10. Dengan kata lain, jumlah
pendamping masih terbatas dan beban kerja pendamping sangat besar apabila dikaitkan
dengan besarnya berbagai kendala yang dihadapi oleh UMKM. Oleh karena itu,
ketersediaan pendamping yang memadai merupakan pekerjaan berat yang harus
diselesaikan oleh pemerintah, baik kuantitas maupun kualitasnya. Sejatinya, pekerjaan
berat ini harus didukung oleh alokasi anggaran yang juga memadai. Namun, faktanya
tidak demikian. Hal ini terlihat dari kecilnya alokasi anggaran yang diperoleh Deputi
Bidang Rekturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM, yang salah satu tugas
utamanya adalah memberikan pendampingan bagi UMKM. Pada 2019, alokasinya hanya
sebesar Rp24,9 miliar. Padahal jumlah usaha menengah yang perlu mendapat
pemberdayaan dan menjadi kewenangan pemerintah pusat berjumlah 59,26 ribu pada
2019. Jika kita berasumsi bahwa alokasi anggaran tersebut digunakan keseluruhannya
untuk pendampingan saja (mengesampingkan tugas lain di Deputi Bidang Rekturisasi
Usaha), maka akan terlihat jelas bahwa memang dukungan anggaran pendampingan
masih sangat kecil. Dengan membagi alokasi Deputi Bidang Rekturisasi Usaha yang
sebesar Rp24,9 miliar dengan total usaha menengah yang berjumlah 59,26 ribu untuk
diberikan pendampingan, maka alokasinya hanya Rp380,35 ribu selama setahun atau
Rp31,69 ribu per bulan untuk setiap satu unit usaha menengah. Demikian juga apabila
kita berasumsi bahwa anggaran Kementerian Koperasi dan UKM yang sebesar Rp961,43
miliar pada 2019 digunakan keseluruhannya untuk pendampingan usaha menengah
(mengesampingkan tugas lain Kementerian Koperasi dan UKM). Hasil simulasinya
menunjukkan bahwa dari keseluruhan total anggaran Kementerian Koperasi dan UKM
tersebut, alokasinya hanya Rp14,69 juta selama setahun atau Rp1,22 juta per bulan untuk
setiap satu unit usaha menengah. Simulasi ini dapat dijadikan rujukan yang merefleksikan
bahwa memang dukungan anggaran melalui APBN juga tidak memadai untuk
memberikan dukungan pendampingan yang optimal. Rendahnya dukungan anggaran ini

6
merupakan tantangan berat yang harus dipecahkan oleh pemerintah dalam konteks
pengelolaan UMKM terpadu. Tantangan tersebut juga akan semakin berat apabila
dibandingkan dengan jumlah Usaha Mikro dan Kecil yang mencapai sekitar 65,46 juta unit
usaha yang mayoritas memerlukan pendampingan. Jika merujuk pada pengaturan dalam
UU tentang Pemda, pemberdayaan (termasuk pendampingan) usaha kecil memang
merupakan tanggungjawab pemerintah provinsi dan usaha mikro merupakan
tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota. Namun, pendampingan yang diberikan oleh
pemerintah daerah juga relatif kecil dan tidak memadai akibat terbatasnya alokasi
anggaran yang diperoleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi Koperasi
dan UMKM. Hasil pengumpulan data oleh Pusat Kajian Anggaran pada 2021 di beberapa
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menemukan fakta yang
sama, di mana dukungan anggaran yang relatif kecil berdampak pada tidak maksimalnya
upaya pendampingan yang dapat dilakukan terhadap UMKM. Indikator lain yang dapat
digunakan untuk menggambarkan rendahnya dukungan APBD terhadap UMKM
(termasuk pendampingan) adalah rasio antara anggaran OPD Koperasi dan UMKM
terhadap total APBD. Per 2019, jumlah IKM di Pulau Jawa mencapai 2,73 juta atau setara
62,26 persen dari total IKM di Indonesia. Dengan kata lain, IKM mayoritas terkonsentrasi
di enam provinsi yang ada di Pulau Jawa, demikian juga dengan UMKM secara umum.
Dengan menggunakan data APBD di keenam provinsi, rata-rata alokasi anggaran OPD
Koperasi dan UMKM hanya 0,35 persen dari total APBD. Rendahnya rasio alokasi ini
merupakan bukti bahwa minimnya dukungan anggaran terhadap UMKM di daerah.
Minimnya dukungan ini juga terlihat dari rasio total anggaran OPD terhadap jumlah IKM
di keenam provinsi. Dengan menggunakan data IKM 2019, alokasi anggaran OPD dan
asumsi seluruh anggaran digunakan untuk pendampingan IKM, maka diperoleh informasi
bahwa rata-rata dukungan anggaran terhadap satu unit usaha IKM di keenam provinsi di
Pulau Jawa hanya sebesar Rp426.138 selama setahun atau Rp35.110 per bulan. Angka ini
akan jauh lebih kecil jika membandingkan alokasi anggaran OPD terhadap UMKM di
seluruh sektor atau tidak hanya sektor industri pengolahan/IKM.
Kelima, regulasi. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja
(UU tentang Cipta Kerja), sekurang-kurangnya terdapat 3 (tiga) masalah krusial dari
aspek regulasi yang menjadi faktor penghambat perkembangan UMKM. Ketiga masalah
tersebut adalah perbedaan pengaturan kriteria usaha mikro, kecil, dan menenga 1 ,
terdapat permasalahan perizinan UMKM yang berkaitan dengan tumpang tindih
peraturan yang ada2, dan belum adanya regulasi yang memastikan terciptanya kemitraan
yang tidak seimbang (Arifianti, 2020). Secara umum, ketiga permasalahan tersebut sudah
dicoba diselesaikan melalui lahirnya UU tentang Cipta Kerja serta Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi
Dan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah (PP Nomor 7 Tahun 2021) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis

1 Sekurang-kurangnya perbedaan dimaksud diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan
menengah, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 Tahun 2016 tentang Skala Usaha Pengolahan.
2 Baik izin usaha maupun izin komersial/operasional.

7
Risiko (PP Nomor 5 Tahun 2021) sebagai peraturan pelaksana. Namun, masih terdapat
beberapa tantangan yang harus diselesaikan ke depan. Salah satunya adalah kemudahan
perizinan berusaha dan bebas biaya sebagai salah satu komponen perizinan tunggal yang
dimaksud dalam PP Nomor 7 Tahun 2021 hanyalah izin usaha atau legalitas usaha.
Sedangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, perizinan berusaha terdiri dari Izin
Usaha3 dan Izin Komersial4 atau Operasional5. Dengan demikian, pelaku usaha (UMKM)
wajib memenuhi izin komersial atau operasional apabila ada pengaturan yang dilakukan
oleh regulator sektoral. Beberapa contoh izin tersebut adalah Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga (SPP-IRT), Sertifikasi Halal6, Merek dan Hak Cipta, serta izin edar
BPOM MD (Makanan Dalam). Dalam prakteknya, proses pengurusan izin-izin tersebut
membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit, yang pada akhirnya menjadi salah satu
kendala bagi UMKM (Pusat Kajian Anggaran, 2021; Okezone, 2021; Detik, 2021).
Tantangan yang berikutnya adalah keterbatasan anggaran yang diperoleh oleh
Kementerian Koperasi dan UKM. Guna mengatasi kendala biaya dan pengurusan izin
komersial/operasional, Kementerian Koperasi dan UKM telah menginisasi program
fasilitasi perizinan bagi 3 juta UKM untuk memperoleh aneka sertifikasi usaha tanpa
dikenakan biaya pada 2021 (Okezone, 2021). Namun, sasaran pemenerima manfaat
masih tergolong rendah, di mana 3 juta berbanding 65,46 juta unit UMKM yang ada.
Sedangkan di sisi lain, alokasi anggaran yang diperoleh oleh Kementerian Koperasi dan
UKM juga sangat rendah, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Apabila
keterbatasan anggaran tidak mampu dipecahkan, maka akan sulit bagi pemerintah untuk
memberikan dukungan yang maksimal bagi UMKM dalam hal mengatasi kesulitan
perizinan izin komersial/operasional secara berkesinambungan. Tantangan terakhir
berkaitan regulasi ini adalah kesiapan pemerintah memberikan pendampingan bagi
UMKM. Salah satu penyebab masih banyaknya UMKM yang tidak memenuhi aspek
legalitas (aspek perizinan) adalah minimnya pengetahuan UMKM akan aspek legalitas
dan proses pengurusannya, serta rendahnya kapasitas sumber daya manusia pelaku
UMKM (Viva, 2018; Pusat Kajian Anggaran, 2021). Apabila kendala pengetahuan dan
sumber daya manusia tidak dibenahi, maka kemudahan izin usaha/legalitas dan fasilitasi
izin komersial/operasional yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan berjalan optimal.
Oleh karena itu, peningkatan pendampingan kepada UMKM terkait perizinan juga
merupakan tantangan yang harus mampu dijawab dalam pengelolaan UMKM terpadu.
Terakhir, masalah pendataan UMKM. Keberhasilan dan efektivitas sebuah
kebijakan publik salah satunya ditentukan oleh ketersediaan data yang valid dan handal,

3 Pasal 1 Angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
menyebutkan “Izin Usaha adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur,
atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran dan untuk memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum
pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/ atau Komitmen.”
4 Pasal 1 Angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik

menyebutkan “Izin Komersial atau Operasional adalah izin yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan
lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha mendapatkan Izin Usaha dan untuk melakukan kegiatan komersial
atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/ atau Komitmen.”
5 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
8
6 Sertifikasi halal agar dapat dicantumkan dalam kemasan produk tetap harus diurus karena jaminan halal menurut PP No. Tahun

2021 merupakan jaminan halal atas pernyataan pelaku usaha menurut aturan perundang-undangan.
di mana data tersebut merupakan sumber informasi yang akan digunakan untuk
merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi kebijakan. Realitasnya, pemerintah belum
memiliki data yang valid dan andal berkaitan dengan UMKM. Salah satu buktinya adalah
pelaksanaan Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM) pada 2020 yang banyak terkendala
dengan basis data dan bahkan salah satu indikasinya adalah pengusulan BPUM 2020
dilakukan melalui banyak stakeholders atau pintu (Pusat Kajian Anggaran, 2021).
Kementerian Koperasi dan UKM sudah mempunyai data UMKM, namun sayangnya data
tersebut belum dapat diandalkan untuk menjadi basis data rujukan untuk pelaksanaan
program bantuan seperti BPUM (Helmizar et,al, 2021). Untuk mengatasi kelemahan data
tersebut, pemerintah telah mengeluarkan PP Nomor 7 Tahun 2021 sebagai salah satu
turunan UU tentang Cipta Kerja. Dalam beleid tersebut, telah diatur tentang
penyelenggaraan basis data tunggal melalui sistem informasi data tunggal UMKM,
Penyenggaraan basis data tunggal ini dapat menjadi jawaban atas kelemahan basis data
UMKM yang terjadi selama ini. Namun dalam pelaksanaannya, akan terdapat beberapa
tantangan. Salah satunya adalah bagaimana memastikan seluruh pelaku usaha UMKM
dapat terdaftar dan memperoleh izin usaha melalui sistem Sistem Online Single
Submission (OSS). Hal ini diperlukan agar memudahkan penyelenggaraan basis data
tunggal yang berkelanjutan. Tantangan selanjutnya adalah peningkatan pendampingan
pelaku usaha agar memenuhi aspek legalitas ditengah minimnya pengetahuan/informasi
dan kapasitas sumber daya manusia pelaku UMKM, keseriusan pemerintah daerah untuk
melakukan pendataan dan pemuktahiran data melalui dukungan anggaran dalam APBD,
serta peningkatan dukungan anggaran Kementerian Koperasi dan UKM yang diselaraskan
dengan beban tanggungjawab yang diamanahkan oleh UU tentang Cipta Kerja dan PP
Nomor 7 Tahun 2021.

IV. REKOMENDASI
Dalam rangka memberikan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan UMKM
yang salah satunya dilakukan melalui pengelolaan terpadu UMKM, terdapat beberapa hal
yang perlu menjadi perhatian pemerintah agar pengelolaan terpadu mampu memberikan
dampak yang lebih optimal bagi perkembangan dan kemajuan UMKM di masa mendatang.
Pertama, sebaiknya pengelolaan terpadu UMKM yang akan dilakukan merupakan
penguatan kelembagaan Pusat Layanan Usaha Terpadu Koperasi Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (PLUT-KUMKM) yang sudah dijalankan oleh Kementerian Koperasi dan UKM
sejak tahun 2013, dengan pendekatan fungsional. Penguatan kelembagaan dimaksud
mencakup struktur kelembagaan, baik struktur di dalam kelembagaan PLUT-KUMKM
maupun struktur hirarki dari pusat hingga daerah. Penguatan struktur kelembagaan ini
harus mampu menciptakan struktur organisasi yang mencerminkan berbagai hambatan
fundamental pelaku UMKM. Sekurang-kurangnya struktur organisasi mencerminkan
pembagian tugas dan tanggung jawab yang spesifik berkaitan dengan penyediaan akses
pembiayaan, penyediaan bahan baku, standarisasi produk, perluasan akses pasar,
pendampingan (perizinan berusaha, produksi, dan pemanfaatan tekologi informasi),
pendidikan dan pelatihan dalam rangka upragding SDM, penguatan kemitraan, serta
pendataan UMKM. Kemudian, pembagian tugas dan kewenangan pada struktur

9
organisasi dimaksud disesuaikan dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga atau
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang secara langsung berkaitan erat dengan
hambatan pelaku UMKM. Selain itu, penguatan struktur organisasi tersebut juga harus
secara komprehensif mengatur hubungan kerja dan rantai komando, baik secara vertikal
maupun horizontal. Untuk rumah produksi bersama yang sedang dikonsep dan hendak
dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM sebaiknya menjadi salah satu
program/project atau piloting project yang menjadi tanggung jawab salah PLUT-KUMKM
di tingkat provinsi yang ditunjuk dan dibiayai melalui APBN, setelah penguatan struktur
kelembagaan sudah dilakukan. Demikian juga dengan pembentukan inkubator-inkubator
bisnis yang dapat dilakukan oleh PLUT-KUMKM di tingkat kabupaten/kota atau provinsi.
Kedua, penguatan kelembagaan PLUT-KUMKM sebagai bentuk lembaga pengelolaan
UMKM terpadu harus diatur melalui peraturan pemerintah, yang kemudian nantinya
diturunkan secara teknis melalui peraturan Menteri Koperasi dan UKM. Artinya,
pengelolaan PLUT-KUMKM tidak lagi hanya diatur dengan Keputusan Deputi Bidang
Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM7. Pengaturan setingkat peraturan
pemerintah diperlukan karena penguatan kelembagaan PLUT-KUMKM akan melibatkan
berbagai kementerian/lembaga dan OPD terkait yang memiliki tugas dan fungsi, serta ego
sektoral yang berbeda. Pengaturan melalui peraturan pemerintah tersebut diharapkan
mampu menciptakan dasar hukum yang lebih kuat dan tegas dalam mewujudkan
kolaborasi, sinergi dan tanggungjawab bersama lintas sektoral.
Ketiga, perlu adanya peningkatan alokasi anggaran bagi Kementerian Koperasi dan
UKM melalui APBN dan alokasi anggaran OPD melalui APBD. Di satu sisi, pengelolaan
terpadu UMKM yang akan menyasar 65,46 juta usaha dan tersebar di seluruh Indonesia
akan membutuhkan pendanaan yang cukup besar. Di sisi lain, dukungan anggaran bagi
Kementerian Koperasi dan UKM melalui APBN dan OPD yang membidangi Koperasi dan
UKM di daerah masih sangat rendah. Oleh karena itu, peningkatan alokasi anggaran, baik
melalui APBN maupun APBD harus sejalan dengan penguatan kelembagaan yang akan
dilakukan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah merealokasi seluruh anggaran
berkaitan dengan UMKM yang tersebar di berbagai kementerian/lembaga (khususnya
berkaitan dengan pendampingan dan pemberdayaan UMKM) menjadi alokasi anggaran
bagi Kementerian Koperasi & UMKM yang dikhususkan untuk membiayai pengelolaan
terpadu UMKM, khususnya pada fungsi pendampingan pelaku UMKM dan fasilitasi biaya
perizinan komersial/operasional bagi usaha mikro. Selain itu, implementasi Dana Alokasi
Khusus (DAK) UMKM sebagaimana telah diatur dalam Pasal 139 PP Nomor 7 Tahun 2021,
harus tetap mempertimbangkan dan memastikan fungsi OPD di dalam PLUT-KUMKM
sebagai bentuk lembaga pengelolaan terpadu UMKM sebagai salah satu kriteria teknis
dalam tahap penetapan daerah penerima DAK UMKM.
Keempat, pendampingan yang diberikan oleh PLUT-KUMKM sebagai bentuk
lembaga pengelolaan terpadu UMKM harus mampu komprehensif dan berkelanjutan
dalam mengatasi berbagai persoalan fundamental pelaku UMKM. Pendampingan

7Keputusan Deputi Restrukturisasi Usaha Nomor: 07 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Program Pusat Layanan Usaha Terpadu
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah.

10
dimaksud antara lain berkaitan pendampingan pengurusan aspek perizinan berusaha,
perizinan eskpor, sertifikasi, permodalan kepada lembaga pembiayaan formal, dan
perpajakan, tata kelola pembukuan atau keuangan, produksi, promosi dan pemasaran,
serta pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka pemasaran.

DAFTAR PUSTAKA

Arifianti, Estu Dyah. 2020. Kertas Advokasi Kebijakan Atas Draf Ruu Cipta Kerja Bidang
Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah. Jakarta: PSHK.
Antaranews. 2021. Menkeu paparkan alasan sulitnya UKM menembus pasar global.
Dikases dari https://www.antaranews.com/berita/2110574/menkeu-paparkan-
alasan-sulitnya-ukm-menembus-pasar-global , pada 15 Agustus 2021.
Bisnis. 2020. Ekspor Produk UMKM Masih Minim, Asosiasi Ungkap Kendalanya. Diakses
dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20201109/12/1315340/ekspor-produk-
umkm-masih-minim-asosiasi-ungkap-kendalanya , pada 15 Agustus 2021.
BPS. 2020. Profil Industri Mikro dan Kecil 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Detik. 2021. Pengusaha Curhat Proses Izin Lambat, Sandiaga Janjikan Ini. Diakses dari
https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5326633/pengusaha-curhat-
proses-izin-lambat-sandiaga-janjikan-ini, pada 17 Agustus 2021.
Helmizar et.al. 2021. Akuntabilitas Pengelolaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional
Bagi UMKM di Masa Pandemi Covid-19. Jakarta: Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan
Negara.
Otoritas Jasa Keuangan. 2020. Bagaimana UMKM & Perbankan dapat Sukses di Era
Disrupsi Ekonomi & Digital. Jakarta: OJK
Kementerian Koperasi dan UKM. 2021. Perlu Pendamping Usaha di Setiap Kecamatan.
Diakses dari https://edukukm.id/artikel/detail/perlu-pendamping-usaha-di-setiap-
kecamatan, pada 15 Agustus 2021.
Kementerian Koperasi dan UKM. 2021. Bahan Paparan Program Major Project
Pengelolaan Terpadu UMKM melalui Rumah Produksi Bersama.
Kementerian Koperasi dan UKM. 2020. Laporan Kinerja Tahun 2019 Deputi Bidang
Restrukturisasi Usaha. Jakarta: Kementerian Koperasi dan UKM
Kontan. 2019. UMKM Indonesia yang go digital masih minim karena pendampingan
kurang. Diakses dari https://industri.kontan.co.id/news/umkm-indonesia-yang-go-
digital-masih-minim-karena-pendampingan-kurang, pada 15 Agustus 2021.
Okezone. 2021. Penyebab UMKM Sulit Tembus Pasar Global. Diakses dari
https://economy.okezone.com/read/2021/04/08/320/2391545/penyebab-umkm-
sulit-tembus-pasar-global?page=1 , pada 15 Agsustus 2021.
Pusat Kajian Anggaran. 2021. Kumpulan Laporan Pengumpulan Data Penguatan Umkm
Dalam Menopang Perekonomian Nasional di beberapa kota/kabupaten di Provinsi
Jawa Barat dan Provinsi Banten. Jakarta: Pusat Kajian Anggaran
Shobaruddin, Muhammad. 2020. Strategi pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM) di Kota Malang melalui literasi informasi. Jurnal Kajian Informasi &
Perpustakaan, Vol. 8, No. 2 (Desember 2020), hal. 151-170.

11
Tempo. 2021. Asosiasi UMKM Minta Pemerintah Permudah Akses Tender Pengadaan
Barang. Diakses dari https://bisnis.tempo.co/read/1379793/asosiasi-umkm-minta-
pemerintah-permudah-akses-tender-pengadaan-barang?page_num=2 , pada 15
Austus 2021.
Vrisvintati, Noviani. 2020. Strategi Pelaku Usaha Syariah dalam Menembus Pasar Ekspor.
Paparan pada Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) 2020, diakses dari
https://isef.co.id/wp-content/uploads/2020/10/2.-Noviani-Vrisvintati.pdf , pada 15
Agustus 2021.
Vivanews. 2018. Alasan Mengapa UMKM Harus Melek Hukum dan Perizinan. Diakses dari
https://www.viva.co.id/berita/bisnis/1103688-alasan-mengapa-umkm-harus-
melek-hukum-dan-perizinan, pada 18 Agustus 2021.
Warta Ekonomi. 2021. Biaya Logistik Mahal Jadi Kendala UMKM Bersaing di Pasar
Domestik. Diakses dari https://www.wartaekonomi.co.id/read329321/biaya-
logistik-mahal-jadi-kendala-umkm-bersaing-di-pasar-domestik , pada 15 Agustus
2021.
_______. 2020. Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran
2019.
Undang-Undang Nomor 11 tentang Cipta Kerja
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, Dan
Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan
Berusaha Berbasis Risiko.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik.

12
PUSAT KAJIAN ANGGARAN
BADAN KEAHLIAN SETJEN DPR RI
Jl. Jend. Gatot Subroto - Jakarta Pusat
Telp. (021) 5715635 - Fax (021) 5715635
http:// www.puskajianggaran.dpr.go.id
puskajianggaran
email: puskaji.anggaran@dpr.go.id

Anda mungkin juga menyukai