Anda di halaman 1dari 18

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Analisa Univariat
a. Karakteristik demografi
Tabel 4.1 Karakteristik Berdasankan Usia

Kategori Frekuensi Persentase (%)


21-30 Tahun 36 58.1
31-40 Tahun 20 32.3
> 40 Tahun 6 9.7
Total 62 100.0

Berdasarkan tabel 4.1 didapatkan bahwa responden dengan


usia rentang 21-30 Tahun sebanyak 36 perawat (58.1%), umur 31-
40 Tahun sebanyak 20 perawat (32.3%), umur > 40 Tahun
sebanyak 6 perawat (9.7%), sehingga responden berdasarkan umur
didominasi pada usia 21-30 Tahun.

Tabel 4.2 Karakteristik Berdasankan Jenis Kelamin

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Laki-laki 24 38.7
Perempuan 38 61.3
Total 62 100.0

Berdasarkan tabel 4.2 didapatkan bahwa responden dengan


jenis kelamin laki-laki berjumlah 24 perawat (38,7%) dan jenis
kelamin perempuan berjumlah 38 perawat (61,3%).
Tabel 4.3 Karakteristik Berdasankan Pendidikan

Kategori Frekuensi Persentase (%)


D3 Keperawatan 29 46.8
S1 Keperawatan 4 6.5
Profesi Ners 29 46.8
Total 62 100.0
Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa responden dengan
pendidikan D3 Keperawatan berjumlah 29 perawat (46,8%),
pendidikan S1 berjumlah 4 perawat (6,5%), dan Ners berjumlah 29
perawat (46,8%).

Tabel 4.4 Karakteristik Berdasankan Masa Kerja

Kategori Frekuensi Persentase (%)


0-5 Tahun 36 58.1
6-10 Tahun 12 19.4
11-15 Tahun 11 17.7
> 15 Tahun 3 4.8
Total 62 100.0

Berdasarkan tabel 4.4 didapatkan bahwa responden dengan


masa kerja 0-5 Tahun berjumlah 36 perawat (58.1%), masa kerja 6-
10 Tahun berjumlah 12 perawat (19.4%), masa kerja 11-15 Tahun
berjumlah 11 perawat (17.7%), sedangkan masa krja >15tahun
berjumlah 3 perawat (4.8%).

Tabel 4.5 Karakteristik Berdasankan Ruang Kerja

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Inayah 14 22.6
Barokah 17 27.4
Multazam 31 50.0
Total 62 100.0

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan bahwa responden di ruang


Inayah berjumlah 14 perawat (22.6%), di ruang Barokah berjumlah
17 perawat (27,4%), dan di ruang Multazam berjumlah 31 perawat
(50%).
b. Fungsi Manajemen Kepala Ruang
Tabel 4.6 Fungsi Manajemen Kepala Ruang

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Baik 46 74.2
Kurang Baik 16 25.8
Total 62 100.0

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan data bahwa gambaran


manajemen kepala ruang dalam kategori baik dengan jumlah 46
(74,2%), sedangkan kurang baik berjumlah 16 (25,8%).

Tabel 4.7 Manajemen Kepala Ruang Fungsi Perencanaan

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Baik 41 66.1
Kurang Baik 21 33.9
Total 62 100.0

Berdasarkan fungsi perencanaan, didapatkan hasil jumlah


terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 41 (66.1%),
sedangkan kurang baik 21 (33,9%).
Tabel 4.8 Manajemen Kepala Ruang Fungsi Pengorganisasian

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Baik 37 59.7
Kurang Baik 25 40.3
Total 62 100.0

Berdasarkan fungsi pengorganisasian, didapatkan hasil


jumlah terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 37 (59.7 %),
sedangan kurang baik berjumlah 25 (40,3%).
Tabel 4.9 Manajemen Kepala Ruang Fungsi Pengaturan Staf

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Baik 44 71.0
Kurang Baik 18 29.0
Total 62 100.0
Berdasarkan fungsi pengaturan staf, didapatkan hasil
jumlah terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 44 (71%),
sedangkan kurang baik berjumlah 18 (29%).
Tabel 4.10 Manajemen Kepala Ruang Fungsi Pengarahan

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Baik 44 71.0
Kurang Baik 18 29.0
Total 62 100.0

Berdasarkan fungsi pengarahan, didapatkan hasil jumlah


terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 44 (71%), sedangkan
kurang baik berjumlah 18 (29%)
. Tabel 4.11 Manajemen Kepala Ruang Fungsi Pengendalian

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Baik 46 74.2
Kurang Baik 16 25.8
Total 62 100.0

Berdasarkan fungsi pengendalian, didapatkan hasil jumlah


terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 46 (74.2%),
sedangkan kurang baik berjumlah 16 (25,8%).
c. Patient Safety Culture
Tabel 4.12 Patient Safety Culture

Kategori Frekuensi Persentase (%)


Baik 40 64.5
Kurang Baik 22 35.5
Total 62 100.0

Berdasarkan tabel 4.12 didapatkan data bahwa gambaran


patient safety culture dengan kategori baik berjumla 40 (64,5%),
sedangkan kategori kurang baik berjumlah 22 (35,5%).
2. Analisa bivariat
Analisa bivariat dalam penelitian ini dilakukan untuk
membuktikan hipotesis yang telah dibuat sebelumnya, dimana
hipotesis yang telah dilakukan sebelumnya adalah ada hubungan antara
hubungan antara fungsi manajemen kepala ruang dengan patient safety
culture di ruang rawat inap.
Tabel 4.12 Hubungan antara Fungsi Manajemen Kepala Ruang dengan
Patient Safety Culture di Ruang Rawat Inap

Fungsi
Patient Safety
Manajemen
Culture
Kepala Ruang
Fungsi Correlation Coefficient 1.000 .641**
Manajemen Sig. (2-tailed) . .000
Kend Kepala
N 62 62
all's Ruang
tau_b Patient Correlation Coefficient .641**
1.000
Safety Sig. (2-tailed) .000 .
Culture N 62 62

Berdasarkan tabel 4.12 dapat disimpulkan bahwa terdapat


hubungan yang signifikan antara fungsi manajemen kepala ruang dengan
patient safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-
value <0,05).

Tabel 4.13 Hubungan antara Fungsi Perencanaan dengan Patient Safety


Culture di Ruang Rawat Inap

Fungsi Patient Safety


Perencanaan Culture
Kendall' Fungsi Perencanaan Correlation 1.000 .324*
s tau_b Coefficient
Sig. (2-tailed) . .011
N 62 62
Patient Safety Correlation .324* 1.000
Culture Coefficient
Sig. (2-tailed) .011 .
N 62 62

Berdasarkan tabel 4.13 dapat disimpulkan bahwa terdapat


hubungan yang signifikan antara fungsi perencanaan dengan patient safety
culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-value
<0,05).

Tabel 4.14 Hubungan antara Fungsi Pengendalian dengan Patient Safety


Culture di Ruang Rawat Inap

Fungsi Patient Safety


Pengendalian Culture
Correlation Coefficient 1.000 .564**
Fungsi
Sig. (2-tailed) . .000
Kendal Pengendalian
N 62 62
l's
Correlation Coefficient .564** 1.000
tau_b Patient Safety
Sig. (2-tailed) .000 .
Culture
N 62 62

Berdasarkan tabel 4.14 dapat disimpulkan bahwa terdapat


hubungan yang signifikan antara fungsi pengendalian dengan patient safety
culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-value
<0,05).

Tabel 4.15 Hubungan antara Fungsi Pengorganisasian dengan Patient


Safety Culture di Ruang Rawat Inap

Fungsi Patient Safety


Pengorganisasia Culture
n
Kendall's Fungsi Correlation 1.000 .352**
tau_b Pengorganisasian Coefficient
Sig. (2-tailed) . .006
N 62 62
Patient Safety Correlation .352** 1.000
Culture Coefficient
Sig. (2-tailed) .006 .
N 62 62

Berdasarkan tabel 4.15 dapat disimpulkan bahwa terdapat


hubungan yang signifikan antara fungsi pengorganisasian dengan patient
safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-value
<0,05).
Tabel 4.16 Hubungan antara Fungsi Pengaturan Staf dengan Patient
Safety Culture di Ruang Rawat Inap

Fungsi Patient Safety


Pengaturan Culture
Staf
Kendall's Fungsi Pengaturan Correlation Coefficient 1.000 .491**
tau_b Staf Sig. (2-tailed) . .000
N 62 62
Patient Safety Correlation Coefficient .491** 1.000
Culture Sig. (2-tailed) .000 .
N 62 62

Berdasarkan tabel 4.16 dapat disimpulkan bahwa terdapat


hubungan yang signifikan antara fungsi pengaturan staf dengan patient
safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-value
<0,05).

Tabel 4.17 Hubungan antara Fungsi Pengarahan dengan Patient Safety


Culture di Ruang Rawat Inap

Fungsi Pengarahan Patient Safety


Culture
Kendall's Fungsi Correlation Coefficient 1.000 .491**
tau_b Pengarahan Sig. (2-tailed) . .000
N 62 62
Patient Safety Correlation Coefficient .491** 1.000
Culture Sig. (2-tailed) .000 .
N 62 62

Berdasarkan tabel 4.17 dapat disimpulkan bahwa terdapat


hubungan yang signifikan antara fungsi pengarahan dengan patient safety
culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-value
<0,05).

B. Pembahasan
1. Karakteristik Demografi Responden
Penelitian ini menggunakan responden sebanyak 62 perawat
dengan karakteristik responden yang berbeda-beda. Berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan pada pasien di ruang rawat inap
menunjukkan hasil bahwa karakteristik responden berdasarkan usia
jumlah terbanyak dalam rentang usia 21-30 tahun dengan jumlah 30
perawat (58.1%). Menurut WHO usia 30 tahun masuk ke dalam usia
dengan kategori dewasa (adult). Perawat usia 26-35 tahun cenderung
memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perawat yang
berusia 36-45 tahun (Handayani, Fannya, & Nazofah, 2018).
Studi yang dilakukan oleh Alhidayah et al., (2020), lebih jelas
mengemukakan perbedaan usia tidak menjamin kepatuhan dalam
melakukan pekerjaan. Berbeda dengan WHO yang mengungkapkan
bahwa usia merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
pelibatan pasien (World Health Organization, 2016). Asumsi peneliti
bahwa usia tidak menjamin kedewasaan seseorang untuk melakukan
pekerjaan secara optimal. Namun usia juga sebagai stimulus individu
dalam melakukan pekerjaan termasuk salah satunya pelibatan pasien.
Berdasarkan jenis kelamin jumlah terbanyak dengan jenis
kelamin perempuan dengan jumlah 38 perawat (61.3%). Hasil
penelitian menunjukan perawat perempuan memiliki kecenderungan
untuk melibatkan pasien dalam asuhan keperawatan dibandingkan laki-
laki. Tenaga kesehatan perempuan dibandingkan dengan laki-laki
memiliki kecenderungan untuk melibatkan pasien dala asuhan.
Perempuan cenderung lebih berempati dan kemampuan komunikasi
yang baik sehingga sikap terhadap pelibatan pasien dalam perawatan
lebih baik (Sun, et al, 2019).
Berdasarkan jenjang pendidikan jumlah terbanyak denga
jenjang D3 dan Ners. Jenjang D3 keperawatan dengan jumlah 29
perawat (46.8%), dan jenjang Ners dengan jumlah 29 perawat (46.8%),
sedangkan 4 perawat (6.5%). lainnya dengan jenjang S1 Keperawatan.
Level edukasi individu mempengaruhi kapasitasnya dalam melakukan
pelibatan pasien dalam asuhan. Peneliti berasumsi bahwa perawat
dengan jenjang pendidikan tinggi akan memiliki kinerja lebih baik,
namun mereka juga harus melakukan proses perawatan sesuai standar
masing-masing rumah sakit, sehingga tidak akan terlihat perbedaan
yang bermakna (Sun, et al, 2019).
Berdasarkan masa kerja jumlah terbanyak dengan rentang 0-5
tahun dengan jumlah 36 perawat (58.1%). Alhidayah et al., (2020),
mengungkapkan bahwa jumlah masa kerja perawat yang bekerja di
rumah sakit tidak menunjukkan hasil yang signifikan hubungannya
dengan tingkat kepatuhan melakukan asuhan keperawatan.
Berdasarkan ruang kerja, dari 62 perawat sebagai responden
terdiri dari 31 perawat (50%) bekerja di ruang Multazam, 17 perawat
(27.4%) di ruang Barokah, dan14 perawat (22.6%) di ruang Inayah.
2. Fungsi Manajemen Kepala Ruang
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan kepada 62
perawat sebagai responden, didapatkan hasil bahwa fungsi manajemen
kepala ruang dalam kategori baik dengan jumlah 46 (74,2%),
sedangkan kurang baik berjumlah 16 (25,8%).
Berdasarkan fungsi perencanaan, didapatkan hasil jumlah
terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 41 (66.1%). Sebuah
studi mengungkapkan bahwa fungsi perencanaan kepala ruangan
berpengaruh 5,80 kali terhadap kinerja perawat (Rohmawati, 2016).
Dalam hal ini jika dikaitkan dengan pelibatan pasien, maka apabila
kepala ruangan memiliki kemampuan penetapan tujuan, pemikiran
strategis, dan perencanaan yang efektif makan pelibatan pasien akan
berjalan optimal.
Berdasarkan fungsi pengorganisasian, didapatkan hasil jumlah
terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 37 (59.7 %). (Sebuah
studi etnografi mengenai “Organizing Patient Involvement”
mengungkakan bahwa manajer dan manajemen yang baik merupakan
sebuah elemen penting dalam menjalankan pekerjaan yang spesifik
dengan negosiasi dan hubungan/koordinasi tentang pelibatan pasien
(Johansen, 2018). Apabila koordinasi tidak optimal maka pelibatan
pasien dalam asuhan keperawatan di ruangan juga tidak akan
maksimal.
Berdasarkan fungsi pengarahan, didapatkan hasil jumlah
terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 44 (71%). Fungsi
pengarahan, merupakann fase kerja manajemen, manajer berusaha
membangun lingkungan yang kondusif dan menciptakan suasana yang
memotivasi pegawai (Huber, 2014); (Marquis & Huston, 2015).
Perawat manajer akan memotivasi stafnya untuk senantiasa melibatkan
pasien dalam asuhan keperawatan.
Berdasarkan fungsi pengendalian, didapatkan hasil jumlah
terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 46 (74.2%). seorang
manajer di rumah sakit harus mampu melakukan monitoring secara
konstan pelaksanaan pelibatan pasien yang dilakukan oleh stafnya.
Sebaliknya apabila kepala ruangan tidak memiliki kemampuan
mengevaluasi kerja, pelibatan pasien yang dilakukan di ruangan tidak
akan optimal (Abbasi-moghaddam, et al, 2019).
Berdasarkan fungsi pengaturan staf, didapatkan hasil jumlah
terbanyak dalam kategori baik dengan jumlah 44 (71%). Faktor
orgaisasi diantaranya staf dan manajemen merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi pelibatan pasien (World Health Organization,
2016). Fungsi dan peran manajer merupakan faktor eksternal yang
dapat mendukung optimalnya pelibatan pasien (Moy, et al, 2020),
Sejalan dengan sebuah studi kualitatif mengenai persepsi dari 18 staf
perawat di Inggris mengemukakan bahwa proses melibatkan pasien
dalam asuhan di rumah sakit berhubungan dengan manajemen yang
baik (Flott, et al, 2018).
3. Patient safety culture
Keselamatan pasien merupakan tujuan utama memberi asuhan
keperawatan, dan pelayanan di rumah sakit. Keselamatan pasien dapat
terjaga bila dilakukan dengan pedoman standar asuhan keperawatan
dan memberi jaminan mutu pelayanan. Dampak bila kepala bidang
tidak optimal, yaitu pelayanan tidak berkualitas (Anggeria & Maria,
2018). Berdasarkan hasil penelitian kepada 62 perawat sebagai
responden didapatkan data bahwa sebanyak 40 perawat (64,5%)
memiliki patient safety culture baik, dan 22 perawat (35,5%) memiliki
patient safety culture kurang baik.
Budaya (culture) mengandung dua komponen yaitu nilai dan
keyakinan, dimana nilai mengacu pada sesuatu yang diyakini oleh
anggota organisasi untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang
salah, sedangkan keyakinan mengacu pada sikap tentang cara
bagaimana seharusnya bekerja dalam organisasi. Dengan adanya nilai
dan keyakinan yang berkaitan dengan keselamatan pasien yang
ditanamkan pada setiap anggota organisasi, maka setiap anggota akan
mengetahui apa yang seharusnya dilakukan dalam penerapan
keselamatan pasien (Tika, 2006 dalam (Anwar, 2016).
Salah satu yang membuat budaya pada dimensi persepsi
tentang patient safety meningkatkan adalah adanya kesadaran perawat
tentang pentingnya keselamatan pasien (Nurmalia, 2012). Natário
(2014) mengungkapkan bahwa masalah-masalah yang terjadi dalam
sistem keselamatan dapat diatasi dengan penerapan budaya
keselamatan pasien. Hal ini dapat terjadi karena budaya keselamatan
pasien dapat mendukung pembangunan sistem yang kondusif bagi
kegiatan perawatan pasien yang aman serta bebas dari kesalahan
medis.
Membangun budaya keselamatan pasien di rumah sakit adalah
kewajiban dan tanggung jawab seluruh staf yang bekerja di rumah
sakit lebih utamanya para tenaga medis yang berhubungan langsung
dengan pasien seperti dokter dan perawat. Perawat merupakan tenaga
profesional yang berperan penting dalam fungsi rumah sakit. Hal
tersebut didasarkan atas mayoritas tenaga kerja di rumah sakit adalah
perawat. Dalam menjalankan fungsinya, perawat merupakan staf yang
memiliki kontak terbanyak dengan pasien. Perawat juga merupakan
bagian dari suatu tim, yang di dalamnya terdapat berbagai profesi lain
seperti dokter. Luasnya peran perawat memungkinkannya untuk
menemukan dan mengalami resiko kesalahan pelayanan (Beginta
dalam Rosyada, 2014).
Penerapan budaya keselamatan pasien oleh perawat
mencerminkan kinerja perawat (Herawati, 2015). Kinerja ini dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor individu
(pengetahuan, kemampuan, keterampilan, latar belakang pendidikan ),
faktor psikologis (persepsi, sikap, motivasi, kepribadian), dan faktor
organisasi (sumber daya, kepemimpinan, supervisi) (Gibson, dkk,
2012).
4. Hubungan Fungsi Manajemen Kepala Ruang Dengan Patient Safety
Culture Di Ruang Rawat Inap
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan pada 62 perawat
di ruang rawat inap didapatkan hasil ada hubungan antara fungsi
manajemen kepala ruang dengan patient safety culture di ruang rawat
inap RS PKU Muhammadiyah Gombong dengan nilai signifikasi p
value = 0,000 (<0,05). Secara struktural, pimpinan rumah sakit adalah
penentu kebijakan tertinggi rumah sakit. Dalam pelaksanaan tugasnya
dibantu oleh kepala-kepala bagian atau bidang dalam rumah sakit.
Kepala bidanglah yang secara langsung berhubungan dengan staf
dalam memberikan pelayanan (Armon, Batara, & Nurlinda, 2022).
Berdasarkan fungsi perencanaan didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi perencanaan dengan
patient safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-
value <0,05).
Berdasarkan fungsi peengendalian didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi pengendalian dengan
patient safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-
value <0,05).
Berdasarkan fungsi pengorganisasian didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi pengorganisasian dengan
patient safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-
value <0,05).
Berdasarkan fungsi pengaturan staf didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi pengaturan staf dengan
patient safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-
value <0,05).
Berdasarkan fungsi pengarahan didapatkan hasil bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara fungsi pengarahan dengan
patient safety culture di ruang rawat inap dengan nilai signifikasi 0,000 (p-
value <0,05).
Manajemen keperawatan merupakan pengelolaan aktivitas
keperawatan oleh manajer keperawatan melalui kegiatan manajerial
terhadap perawat pelaksana dalam penyelenggaraan pelayanan
keperawatan kepada pasien/ keluarga/ masyarakat secara profesional.
Kepala ruangan sebagai Manajer keperawatan di setiap ruang
perawatan dituntut untuk merencanakan, mengorganisasikan,
mengarahkan, mengendalikan dan mengevaluasi sarana dan prasarana
yang tersedia untuk dapat memberikan jaminan keamanan dan
kenyamanan yang melindungi keselamatan pasien perawat dan
keluarga pasien (Masahuddin, Rachmawaty, & Bahar, 2020).
Pelayanan keperawatan yang bermutu tidak sepenuhnya
menjadi tanggung jawab perawat pelaksana, kepala Ruang sebagai
manajer lini pelayanan terdepan mempunyai tanggung jawab terhadap
aktifitas proses keperawatan dan menfasilitasi pelaksanaan
keperawatan agar dapat melaksanakan praktek keperawatan sesuai
standar (Masahuddin, Rachmawaty, & Bahar, 2020). Menurut
Anugrahini (2010) ada hubungan bermakna antara kepemimpinan
kepala ruang dengan kepatuhan perawat dalam menerapkan pedoman
patient safety di RSAB Harapan Kita Jakarta. Pendapat ini dikuatkan
oleh Perwitasari (2013) dalam (Anwar, 2016) yang menyatakan bahwa
ada hubungan kepemimpinan dengan penerapan budaya patient safety
di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan
Senopati Bantul, kepemimpinan berkontribusi terhadap budaya patient
safety di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah
Panembahan Senopati Bantul sebesar 22,9%. Hasil penelitian (Pratiwi,
Anggraeni, & Maidin, 2014) juga mengungkapkan bahwa
kepemimpinan efektif kepala ruang tergolong tinggi dalam penerapan
budaya keselamatan pasien.

C. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti mengalami keterbatasan yaitu:
1. Peneliti tidak bisa melakukan penelitian secara bersamaan dikarenakan
jadwal shift perawat yang berbeda-beda.

BAB V
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Karakteristik responden berdasarkan usia jumlah terbanyak dalam
rentang usia 21-30 tahun dengan jumlah 30 perawat (58.1%).
2. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin jumlah terbanyak
dengan jenis kelamin perempuan dengan jumlah 38 perawat (61.3%).
3. Karakteristik responden berdasarkan jenjang pendidikan jumlah
terbanyak denga jenjang D3 dan Ners. Jenjang D3 keperawatan dengan
jumlah 29 perawat (46.8%), dan jenjang Ners dengan jumlah 29
perawat (46.8%),
4. Karakteristik responden berdasarkan masa kerja jumlah terbanyak
dengan rentang 0-5 tahun dengan jumlah 36 perawat (58.1%).
5. Berdasarkan ruang kerja, dari 62 perawat sebagai responden terdiri
dari 31 perawat (50%) bekerja di ruang Multazam, 17 perawat (27.4%)
di ruang Barokah, dan14 perawat (22.6%) di ruang Inayah.
6. Berdasarkan gambaran patient safety culture dengan kategori baik
berjumla 40 (64,5%), sedangkan kategori kurang baik berjumlah 22
(35,5%).
7. Berdasarkan gambaran manajemen kepala ruang dalam kategori baik
dengan jumlah 46 (74,2%), sedangkan kurang baik berjumlah 16
(25,8%).
8. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara hubungan antara hubungan antara fungsi
manajemen kepala ruang dengan patient safety culture di ruang rawat inap
dengan nilai signifikasi 0,000 (p-value <0,05).

B. Saran
1. Bagi responden
Responden diharapkan dapat mempertahankan serta meningkatkan
spiritualias yang dimiliki sehingga dapat mengurangi kecemasan.
2. Bagi tempat penelitian
Diharapkan hasil yang di peroleh dalam penelitian ini dapat menjadi
evaluasi dan referensi terkait dengan spiritualias dan kecemasan pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa, serta dalam
proses pelayanan dapat memberikan dukungan, bimbingan serta arahan
kepada pasien dalam meningkatkan spiritualitas.
3. Bagi institusi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan informasi
bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian lebih lanjut dengan
topik yang berhubungan dengan judul penelitian di atas.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritualias maupun
kecemasan pada responden dengan penyakit yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Abbasi-moghaddam, et al. (2019). Evaluation of service quality from patients ’


viewpoint. BMC Health Services Research, 19(170), 1–7.

Anggeria, & Maria. (2018). Hubungan Supervisi dengan Pelaksanaan Asuhan


Keperawatan di Ruang Rawat Inap Lantai 10 Rumah Sakit Umum Royal
Prima Medan Tahun 2017. JUMANTIK (Jurnal Ilmiah Penelitian) 3 (2).

Anwar. (2016). Hubungan . Medan: Universitas Sumatera Utara.

Armon, Batara, & Nurlinda. (2022). Pengaruh Fungsi Manajemen Kepala Bidang
Keperawatan Terhadap Penerapan Patient Safety Culture di Ruang Rawat
Inap RS Akademis Jaury Jusuf Putera Makassar. Journal of Muslim
Community Health (JMCH) 2022. Vol. 3, No. 1.

Flott, et al. (2018). Improving the Usefulness and Use of Patient Survey Programs
: National Health Service Interview Study Corresponding Author. Journal
of Medical Internet Research, 20(4).

Gibson, dkk. (2012). Organisasi : prilaku, struktur dan proses (terjemahan).


Jakarta: Binarupa Aksara.

Handayani, Fannya, & Nazofah. (2018). Faktor Yang Berhubungan Dengan


Kinerja Tenaga Kesehatan Di Rawat INAP RSUD Batusangkar. Jurnal
Endurance, 3(3), 440.

Herawati. (2015). Budaya keselamatan pasien di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
X Kabupaten Jember. Jurnal IKESMA Volume 11 Nomor 1 Maret 2015.

Huber. (2014). Leadership and Nursing Care Management. Elsevier Saunders.

Johansen. (2018). Organizing Patient Involvement: An Ethnographic Study.


Copenhagen Business School.

Marquis, & Huston. (2015). Leadership Role and Management Functions in


Nursing. Williams & Wilkins.
Masahuddin, Rachmawaty, & Bahar. (2020). Hubungan Pelaksanaan Fungsi
Manajemen Kepala Ruangan Dengan Penerapan Patient Safety Di Ruang
Perawatan RSUD Kota Makassar. Jurnal Ilmiah Keperawatan (Scientific
Journal of Nursing), Vol 6, No 1.

Moy, et al. (2020). Enhancing Patient Engagement in Pulmonary Healthcare The


Art and Science (S. I. S. Rounds, A. Dixon, & L. M. Schnapp (eds.)).
Springer Nature Switzerland AG.

Nurmalia. (2012). Pengaruh Program Mentoring Keperawatan terhadap


Penerapan Budaya Keselamatan Pasien di Ruang Rawat Inap RS Sultan
Agung Semarang. Jakarta : FKM UI.

Pratiwi, Anggraeni, & Maidin. (2014). Gambaran kepemimpinan efektif kepala


ruangan instalasi rawat inap dalam penerapan budaya keselamatan pasien
di RSUD Haji. FKM UNHAS.

Rohmawati. (2016). Hubungan fungsi manajemen kepala ruangan menurut


persepsi perawat pelaksanan dan karakteristik individu dengan
pelaksanaan asuhan keperawatan diRuang Rawat Inap RSUD Sumedang
Tesis. Tesis PPS FIK – UI, 1–2.

Sun, et al. (2019). Socio-demographic predictors associated with capacity to


engage in health care. Patient Experience Journal, 6(2), 35–41.

World Health Organization. (2016). Patient Engagement: Technical Series on


Safer Primary Care. In World Health Organization. World Health
Organization.

Anda mungkin juga menyukai