Anda di halaman 1dari 40

BAB 4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Distribusi Frekuensi Faktor Predisposisi
a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden ialah ciri-ciri yang dimiliki oleh responden sebagai
bagaian dari identitas dirinya. Responden dalam penelitian ini ialah SATPAM
gedung bertingkat Universitas Jember yang berstatus sebagai pekerja aktif.
Distribusi frekuensi terkait dengan karakteristik responden dapat dilihat pada tabel
4.1 berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden


Karakteristik Individu Jumlah (n) Persentase (%)
Umur
Dewasa 38 74.5
Lansia Awal 13 25.5
Total 51 100
Masa Kerja
> 10 tahun 37 72.5
≤ 10 tahun 14 27.5
Total 51 100
Tingkat Pendidikan
Pendidikan Menengah 47 92.2
Pendidikan Tinggi 4 7.8
Total 51 100

1) Umur
Umur responden yang diukur sejak dilahirkan sampai saat penelitian
berlangsung dalam satuan tahun dan dikategorikan menurut Depkes RI
tahun 2009 menjadi dewasa dan lansia awal. Kategori dewasa yakni
responden yang memiliki umur 26-45 tahun, sedangkan kategori lansia awal
merupakan kategori untuk responden yang memiliki umur 46-55 tahun.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel
4.1 yang menunjukkan bahwa dari 51 responden, distribusi frekuensi umur

58
59

yang terbanyak yaitu pada kategori dewasa yaitu sebanyak 38 orang


(74.5%).
2) Masa Kerja
Masa kerja diartikan sebagai lama waktu kerja responden dimulai saat
pertama kali bekerja hingga saat penelitian yang dikategorikan menjadi ≤
10 tahun dan > 10 tahun. Distribusi frekuensi responden berdasarkan masa
kerja pada tabel 4.1 menunjukkan dari 51 responden sebagian besar
responden memiliki masa kerja > 10 tahun yakni berjumlah 37 orang
(72.5%).
3) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan ialah jenjang pendidikan formal yang ditempuh
oleh responden dibangku sekolah yang diukur dari ijazah terakhir yang
dimilikinya. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia no 20 tahun
2003 tingkat pendidikan dikategorikan menjadi tingkat pendidikan
menengah untuk pendidikan SMA/SMK, dan tingkat pendidikan tinggi
untuk Perguruan Tinggi. Distribusi frekuensi responden berdasarkan tingkat
pendidikan pada tabel 4.1, menunjukkan bahwa sebagian besar responden
penelitian tergolong dalam kategori pendidikan menengah yakni sebanyak
47 orang (92.2%).
b. Pengetahuan tentang Kebakaran
Pengetahuan tentang kebakaran ialah informasi yang telah diketahui dan
dipahami oleh responden mengenai prinsip kebakaran, pencegahan dan
penanggulangan kebakaran. Pengukuran pengetahuan tentang kebakaran pada
responden dilakukan dengan wawancara menggunakan angket. Angket berisi 9
pertanyaan yang diajukan tentang prinsip kebakaran, pencegahan, dan
penanggulangan kebakaran. Pengetahuan responden dikategorikan menjadi 2,
yakni pengetahuan kurang dan pengetahuan baik. Distribusi frekuensi berdasarkan
pengetahuan responden dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:
60

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Kebakaran


Pengetahuan tentang Kebakaran Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang 7 13.7
Baik 44 86.3
Total 51 100

Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan pada tabel 4.2


menunjukkan dari 51 sampel responden dalam penelitian ini, sebagian besar
memiliki pengetahuan kategori baik yakni berjumlah 44 orang (86.3%).
c. Sikap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
Sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran ialah reaksi atau respon
responden dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran. Pengukuran
sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran dilakukan dengan wawancara
menggunakan angket yang terdiri dari 9 pertanyaan. Kategori sikap terdiri dari 2
kategori, yakni sikap baik dan sikap kurang. Distribusi frekuensi sikap responden
dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut:

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Sikap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran


Sikap Pencegahan dan
Jumlah (n) Persentase (%)
Penanggulangan Kebakaran
Kurang 5 9.8
Baik 46 90.2
Total 51 100

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar responden memiliki


sikap kategori baik. Responden yang memiliki sikap kategori baik berjumlah 51
orang (90.2%).

4.1.2 Distribusi Frekuensi Faktor Pemungkin


a. Pelatihan Pemadaman Kebakaran
Pelatihan pemadaman kebakaran diartikan sebagai tindakan yang dilakukan
untuk menciptakan dan meningkat-kan pengetahuan serta keterampilan responden
dalam kesiapsiagaan menghadapi bahaya kebakaran. Pengukuran pelatihan
61

pemadaman kebakaran dilakukan dengan wawancara menggunakan angket yang


terdiri dari 5 pertanyaan. Pelatihan pemadaman kebakaran dikategorikan menjadi
kategori kurang dan baik. Distribusi frekuensi pelatihan pemadaman kebakaran
dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Pelatihan Pemadaman Kebakaran


Pelatihan Pemadaman Kebakaran Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang 21 41.2
Baik 30 58.8
Total 51 100

Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa dari 51 responden penelitian,


responden terbanyak memiliki pelatihan pemadaman kebakaran kategori baik.
Pelatihan pemadaman kebakaran kategori baik didasarkan pada jenis kegiatan
pelatihan yang pernah diikuti oleh responden. Jumlah responden yang memiliki
pelatihan pemadaman kebakaran kategori baik yakni 30 orang (58.8%).
b. Sarana Prasarana
Sarana prasarana yakni persepsi responden terkait ketersediaan sarana
prasarana di masing-masing lokasi kerja yang terdiri dari sarana pemadaman
kebakaran dan sarana penyelamatan jiwa. Pengukuran sarana prasarana dilakukan
dengan wawancara menggunakan angket. Angket terdiri dari 11 pertanyan yang
ditujukan untuk mengetahui persepsi responden terkait ketersediaan sarana
prasarana pada lokasi kerja responden. Sarana prasarana dikategorikan menjadi 2
kategori, yakni baik dan kurang. Distribusi frekeuensi sarana prasarana dapat
dilihat pada tabel 4.5 berikut:

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Sarana Prasarana


Sarana Prasarana Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang 26 51
Baik 25 49
Total 51 100

Berdasarkan tabel 4.5, diketahui bahwa 26 (51%) responden menyatakan


sarana prasarana yang tersedia pada lokasi kerjanya termasuk dalam kategori
62

kurang. Sedangkan 25 (49%) responden menyatakan sarana prasarana yang


tersedia pada lokasi kerjanya termasuk dalam kategori baik.

4.1.3 Distribusi Frekuensi Faktor Penguat


a. Dukungan Rekan Kerja
Dukungan rekan kerja adalah sokongan atau bantuan yang diterima oleh
responden dari teman bekerja. Pengukuran dukungan rekan kerja dilakukan
dengan wawancara menggunakan angket yang terdiri dari 6 pertanyaan.
Dukungan rekan kerja dikategorikan menjadi kategori kurang dan baik. Distribusi
frekuensi dukungan rekan kerja dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Dukungan Rekan Kerja


Dukungan Rekan Kerja Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang 17 33.3
Baik 34 66.7
Total 51 100

Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa dari 51 responden sebagian besar


responden memiliki dukungan rekan kerja kategori baik yakni berjumlah 34
(66.7%).

4.1.4 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran pada


SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember adalah serangkaian tindakan yang disiapkan dan
direncanakan untuk merespons kondisi darurat kebakaran secara cepat dan tepat
agar mampu menyelamatkan diri dan mengurangi risiko yang ditimbulkan.
Pengukuran kesiapsiagaan dilakukan dengan wawancara menggunakan angket.
Angket terdiri dari 26 pertanyaan yang ditujukan untuk mengetahui parameter-
parameter kesiapsiagaan berupa pengetahuan dan sikap, rencana tanggap darurat,
63

sistem peringatan bencana, serta mobilisasi sumber daya. Kesiapsiagaan kondisi


darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember
dikategorikan menjadi kategori kurang dan baik, dengan distribusi frekuensi dapat
dilihat pada tabel 4.7 berikut:

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kesiapsiagaan Jumlah (n) Persentase (%)
Kurang 6 11.8
Baik 45 88.2
Total 51 100

Distribusi frekuensi Kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada


SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember pada tabel 4.7 menunjukkan,
dari 51 responden sebagian besar responden memiliki kesiapsiagaan pada kategori
baik. Jumlah responden yang memiliki kesiapsiagaan kategori baik yakni 45
orang (88.2%).

4.1.5 Hubungan Faktor Predisposisi dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
a. Hubungan Umur dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran pada
SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Umur dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember dianilis dengan menggunakan uji statistik
chi-square. Tujuan analisis ini untuk melihat hubungan antara umur dengan
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran. Penarikan kesimpulan ada atau tidaknya
hubungan antara kedua variabel tersebut yakni dengan melihat nilai p-value pada
Fisher’s Exact Test Asymp. Sig (2-sided). Kedua variabel dikatakan terdapat
hubungan apabila nilai p-value lebih kecil dari α (0.05). Distribusi frekuensi
hubungan umur dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM
di gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut:
64

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Usia
Kesiapsiagaan
Total
Umur Kurang Baik P-value C
N % N % N %
Dewasa 5 13.2 33 86.8 38 100
Lansia Awal 1 7.7 12 92.3 13 100 1.000 0.074
Total 6 11.8 45 88.2 51 100

Berdasarkan tabel 4.8 kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada


SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember kategori baik lebih banyak
ditemukan pada kategori dewasa yakni sebanyak 33 orang (86.8%) dan
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran kategori kurang juga lebih banyak
ditemukan pada kategori dewasa. Hasil uji fisher’s exact test, diperoleh nilai p-
value sebesar 1.000 yang berarti lebih besar dari nilai α sehingga 𝐻0 diterima. Hal
tersebut artinya tidak terdapat hubungan antara umur dengan kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember. Hasil perhitungan nilai C menunjukkan keeratan hubungan kedua
variabel tersebut termasuk dalam kategori sangat lemah.
b. Hubungan Masa Kerja dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran
pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Masa kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM
di gedung bertingkat Universitas Jember dianalisis dengan menggunakan uji
statistik chi-square. Tujuan analisis ini untuk mengetahui hubungan antara masa
kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember. Ada atau tidaknya hubungan antara variabel masa
kerja dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran diketahui melalui nilai p-valur
pada Fisher’s Exact Test Asymp. Sig (2-sided). Selanjutnya p-value dibandingkan
dengan nilai α (0.05), apabila nilai p-value kurang dari α maka kedua variabel
memiliki hubungan yang signifikan. Sebaliknya, apabila p-value lebih besar dari α
maka kedua variabel tidak memiliki hubungan yang signifikan. Distribusi
frekuensi hubungan masa kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
65

pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel
4.9 berikut:

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Masa Kerja
Kesiapsiagaan
Total
Masa Kerja Kurang Baik P-value C
N % N % N %
> 10 Tahun 4 10.8 33 89.2 37 100
≤ 10 Tahun 2 14.3 12 85.7 14 100 0.661 0.048
Total 6 11.8 45 88.2 51 100

Berdasarkan tabel 4.9 diperoleh hasil bahwa kesiapsiagaan kondisi darurat


kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember kategori baik
lebih banyak ditemukan pada responden dengan masa kerja > 10 tahun yakni
sebanyak 33 orang (89.2%) dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran kategori
kurang juga didominasi oleh responden yang memiliki masa kerja > 10 tahun
yakni sebanyak 4 orang (10.8%). Nilai p-value pada tabel 4.9 diperoleh sebesar
0.661 yang berarti nilai p-value lebih besar dari nilai α sehingga 𝐻0 diterima. Hal
tersebut berarti tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember. Keeratan hubungan antara kedua variabel tersebut yang dilihat pada nilai
menunjukkan nilai 0.048 yang berarti masuk ke dalam kategori tingkat keeratan
hubungan sangat lemah.
c. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Tingkat pendidikan dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada
SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dianalisis dengan
menggunakan uji statistik chi-square untuk mengetahui hubungan antara kedua
variabel tersebut. Tingkat pendidikan dan kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran dikatakan berhubungan apabila nilai p-value pada Fisher’s Exact Test
Asymp. Sig (2-sided) < α (0,05). Distribusi frekuensi antara variabel tingkat
66

pendidikan dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di


gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel 4.11 berikut:

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Tingkat Pendidikan
Kesiapsiagaan
Total
Umur Kurang Baik P-value C
N % N % N %
Tingkat Pendidikan
6 12.8 41 87.2 47 100
Menengah
Tingkat Pendidikan 1.000 0.106
0 0 4 100 4 100
Tinggi
Total 6 11.8 45 88.2 51 100

Berdasarkan tabel 4.10 diperoleh hasil bahwa kesiapsiagaan kondisi darurat


kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember kategori baik
lebih banyak ditemukan pada responden dengan tingkat pendidikan menengah
yakni sebanyak 41 orang (87.2%) dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
kategori kurang juga didominasi oleh responden yang memiliki tingkat
pendidikan menengah yakni sebanyak 6 orang (12.8%). Nilai p-value pada tabel
4.10 diperoleh sebesar 1.000 yang berarti nilai p-value lebih besar dari nilai α
sehingga 𝐻0 diterima. Hal tersebut berarti tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember. Nilai C untuk menunjukkan keeratan
hubungan antara kedua variabel tersebut yakni sebesar 0.106 yang berarti tingkat
pendidikan dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran memiliki keeratan
hubungan sangat lemah.
d. Hubungan Pengetahuan tentang Kebakaran dengan Kesiapsiagaan Kondisi
Darurat Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas
Jember
Pengetahuan tentang kebakaran dan kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dianalisis
dengan menggunakan uji statistik chi-square untuk mengetahui hubungan antara
kedua variabel tersebut. Nilai p-value pada Fisher’s Exact Test Asymp. Sig (2-
67

sided) digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel
pengetahuan dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran. P-value > α (0,05)
maka tidak ada hubungan antara kedua variabel, sebaliknya p-value < α (0,05)
maka ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Distribusi frekuensi
pengetahuan tentang kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel
4.11 berikut:

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Pengetahuan tentang Kebakaran

Pengetahuan Kesiapsiagaan
Total
tentang Kurang Baik P-value C
Kebakaran N % N % N %
Kurang 5 71.4 2 28.6 7 100
Baik 1 2.3 43 97.7 44 100 <0.00001 0.594
Total 6 11.8 45 88.2 51 100

Berdasarkan tabel 4.11 dari 51 responden penelitian diperoleh hasil bahwa


sebagian besar responden yang memiliki kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember pada kategori baik
mempunyai pengetahuan tentang kebakaran kategori baik yakni berjumlah 43
orang (97.7%). Kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember pada kategori kurang lebih banyak
ditemukan pada responden yang mempunyai pengetahuan tentang kebakaran
kategori kurang yakni berjumlah 5 orang (71.4%). Nilai p-value yakni <0.00001
artinya lebih kecil dari α sehingga tolak 𝐻0 atau terdapat hubungan antara
pengetahuan tentang kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember. Hasil analisis nilai C
yakni sebesar 0.594 sehingga keeratan hubungan variabel pengetahuan tentang
kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran termasuk dalam
kategori sedang.
68

e. Hubungan Sikap Sikap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran dengan


Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran pada SATPAM di Gedung
Bertingkat Universitas Jember
Sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember dianalisis dengan menggunakan uji statistik chi-square untuk mengetahui
hubungan antara kedua variabel tersebut. Sikap pencegahan dan penanggulangan
kebakaran dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran dikatakan berhubungan
apabila nilai p-value pada Fisher’s Exact Test Asymp. Sig (2-sided) < α (0,05).
Distribusi frekuensi antara variabel sikap pencegahan dan penanggulangan
kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut:

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Sikap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
Kesiapsiagaan
Sikap Pencegahan Total
dan Penanggulangan Kurang Baik P-value C
Kebakaran
N % N % N %
Kurang 5 100 0 0 5 100
Baik 1 2.2 45 97.8 46 100 <0.00001 0.670
Total 6 11.8 45 88.2 51 100

Berdasarkan tabel 4.12 didapatkan hasil bahwa kesiapsiagaan kondisi


darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember
kategori baik lebih banyak ditemukan pada responden yang memiliki sikap
pencegahan dan penanggulangan kebakaran kategori baik yakni sebanyak 45
orang (97.8%) dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran kategori kurang
didominasi oleh responden yang memiliki sikap pencegahan dan penanggulangan
kebakaran kategori kurang yakni sebanyak 5 orang (100%). Hasil uji chi-square
menunjukkan, nilai p-value yakni <0.00001 berarti lebih kecil dari α. Hal ini
berarti tolak 𝐻0 atau terdapat hubungan antara sikap pencegahan dan
penanggulangan kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada
69

SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember. Nilai C yakni sebesar 0.670


yang berarti keeratan hubungan antara kedua variabel tersebut termasuk dalam
kategori kuat.

4.1.6 Hubungan Faktor Pemungkin dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
a. Hubungan Pelatihan Pemadaman Kebakaran dengan Kesiapsiagaan Kondisi
Darurat Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas
Jember
Pelatihan pemadaman kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dianalis
menggunakan uji statistik chi-square. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara pelatihan pemadaman kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi
darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember. Nilai
p-value yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
kedua variabel tersebut didapatkan dari Fisher’s Exact Test Asymp. Sig (2-sided).
Kedua variabel memiliki hubungan yang signifkan ketika nilai p-value < α (0,05)
dan tidak memiliki hubungan ketika nilai p-value > α (0,05). Distribusi frekuensi
variabel pelatihan pemadaman kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat
pada tabel 4.13 berikut:

Tabel 4.13 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Pelatihan Pemadaman Kebakaran

Kesiapsiagaan
Pelatihan Pemadaman Total
Kurang Baik P-value C
Kebakaran
N % N % N %
Kurang 6 28.6 15 71.4 21 100
Baik 0 0 30 100 30 100 0.003 0.400
Total 6 11.8 45 88.2 51 100
70

Berdasarkan tabel 4.13 hasil penelitian menunjukkan bahwa kesiapsiagaan


kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember kategori baik lebih banyak ditemukan pada responden yang memiliki
pelatihan pemadaman kebakaran kateogri baik yakni sebanyak 30 orang (100%)
dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran kategori kurang lebih banyak
ditemukan pada responden yang memiliki pelatihan pemadaman kebakaran
kategori kurang yakni sebanyak 6 orang (28.6%). Hasil uji chi-square
menunjukkan, nilai p-value yakni 0.003 berarti lebih kecil dari α artinya tolak 𝐻0
atau terdapat hubungan antara pelatihan pemadaman kebakaran dengan
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat
Universitas Jember. Hasil analisis nilai C yakni sebesar 0.400 yang berarti
keeratan hubungan antara kedua variabel tersebut termasuk dalam kategori
sedang.
b. Hubungan Sarana Prasarana dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Sarana prasarana dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada
SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dianalis menggunakan uji
statistik chi-square. Uji statistik chi-square bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara sarana prasarana dengan kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember. Terdapat
hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut jika nilai p-value pada
Fisher’s Exact Test Asymp. Sig (2-sided) < α (0,05), sebaliknya jika p-value > α
(0,05) maka kedua variabel tidak terdapat hubungan. Distribusi frekuensi variabel
sarana prasarana, dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM
di gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel 4.14 berikut:

Tabel 4.14 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Sarana Prasarana
Kesiapsiagaan
Sarana Total
Kurang Baik P-value C
Prasarana
N % N % N %
Kurang 6 23.1 20 76.9 26 100 0.023 0.337
71

Kesiapsiagaan
Sarana Total
Kurang Baik P-value C
Prasarana
N % N % N %
Baik 0 0 25 100 25 100
Total 6 11.8 45 88.2 51 100

Berdasarkan tabel 4.14 diketahui bahwa jumlah responden yang memiliki


kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat
Universitas Jember kategori baik paling banyak ditemukan pada responden yang
lokasi kerjanya memiliki sarana prasaran kategori baik yakni berjumlah 25 orang
(100%). Seluruh responden yang memiliki kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember kategori
kurang, memiliki sarana prasarana di lokasi kerjanya dalam kategori kurang juga
yakni berjumlah 6 orang (23.1%). Hasil uji chi-square menunjukkan nilai p-value
sebesar 0.023 berarti lebih kecil dari α. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara sarana prasarana dengan kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember atau tolak 𝐻0 .
Keeratan hubungan antara variabel sarana prasarana dengan kesiapsiagaan kondisi
darurat kebakaran yakni termasuk kategori lemah karena hasil analisi nilai C
sebesar 0.337.

4.1.7 Hubungan Faktor Penguat dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
a. Hubungan Dukungan Rekan Kerja dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan dukungan rekan
kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember menggunakan uji statistic chi-square. Ada atau
tidaknya hubungan antara variabel dukungan rekan kerja dengan kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran diketahui melalui nilai p-value pada Fisher’s Exact
Test Asymp. Sig (2-sided). P-value dibandingkan dengan α (0,05), jika kurang
72

dari α artinya ada hubungan antara kedua variabel. Distribusi frekuensi dukungan
rekan kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel 4.15 berikut:

Tabel 4.15 Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran Berdasarkan


Dukungan Rekan Kerja
Kesiapsiagaan
Dukungan Rekan Total
Kurang Baik P-value C
Kerja
N % N % N %
Kurang 5 29.4 12 70.6 17 100
Baik 1 2.9 33 97.1 34 100 0.012 0.361
Total 6 11.8 45 88.2 51 100

Berdasarkan tabel 4.15 dari 51 responden penelitian, responden yang


memiliki kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember kategori baik lebih banyak ditemukan pada
responden yang memiliki dukungan rekan kerja kategori baik yakni berjumlah 33
orang (97.1%). Responden yang memiliki kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember kategori
kurang paling banyak ditemukan pada responden yang memiliki dukungan rekan
kerja kategori kurang yakni berjumlah 5 orang (29.4%). Hasil uji chi-square
menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan rekan kerja
dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember. Hal ini dikarenakan nilai p-value lebih kecil dari α
yaitu sebesar 0.012 yang berarti tolak 𝐻0 . Keeratan hubungan antara variabel
dukungan rekan kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran termasuk
kategori lemah karena nilai C yakni sebesar 0.361.
73

4.2 Pembahasan
4.2.1 Faktor Predisposisi
a. Karakteristik Responden
1) Umur
Umur ialah usia individu tersebut yang dihitung sejak saat dilahirkan
sampai waktu dimana usia tersebut dihitung. Menurut Mangkunegara (2009)
umur merupakan salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan karena dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan
kerjanya.
Kategori umur dalam penelitian ini dikategorikan menjadi umur dewasa
yakni 26-45 tahun, dan umur lansia awal untuk responden yang memiliki
umur 46-55 tahun. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini ialah
responden terbanyak memiliki umur pada kategori dewasa yakni berjumlah
38 orang (74.5%), namun beberapa responden juga termasuk dalam kategori
umur lansia awal yakni sebanyak 13 orang (25.5%). Notoatmodjo (2012)
menyatakan, umur seseorang dapat mempengaruhi banyaknya pengalaman
yang dimiliki, hal ini juga berlaku terhadap pembentukan karakter
kesiapsiagaan. Menurut Dharmawati dan Wirata (2016) di umur yang
semakin tua tingkat kematangan dan kekuatan seseorang, akan lebih matang
dalam hal berfikir dan bekerja, namun dalam hal kesiapsiagaan kelompok
umur lansia menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2008 lansia
termasuk ke dalam kelompok rentan. Keterbatasan fsik, daya ingat,
mobilitas fisik, akan mempengaruhi kesiapsiagaan lansia semakin
berkurang.
2) Masa Kerja
Masa kerja ialah kurun waktu atau lamanya tenaga kerja tersebut
bekerja disuatu tempat (Tarwaka, 2010). Masa kerja banyak dikaitkan
dengan pengalaman yang diperoleh. Menurut Notoatmodjo (2012), semakin
lama masa kerja seseorang, semakin banyak pula pengalaman yang
diperoleh. Hal tersebut dapat mempengaruhi sikap, dan persepsi.
74

Pada penelitian ini masa kerja dikategorikan menjadi masa kerja > 10
tahun dan ≤ 10 tahun. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebagian besar
responden memiliki masa kerja > 10 tahun yaitu sebanyak 37 orang (72.5%).
Masa kerja yang lama dapat memberikan pengaruh positif dan negatif pada
seseorang. Pengaruh positif masa kerja yang lama ialah dapat memberikan
pengalaman lebih pada seseorang sehingga membuat semakin bertambahnya
pengetahuan dan kemampuan terakait pencegahan bahaya kebakaran,
sedangkan pengaruh negatifnya yaitu semakin rendahnya tingkat
kewaspadaan seseorang karena menganggap sudah berpengalaman dalam
bekerja dan menyepelekan risiko kebakaran.
3) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan diartikan sebagai tinggi rendahnya ketercapaian
seseorang memperoleh suatu pendidikan formal. Pengukuran tingkat
pendidikan dilakukan dari ijazah terakhir yang dimiliki. Menurut Marnisah
(2017) pendidikan formal menjadi salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaan. Pendidikan
formal diharapkan mampu meberikan perbedaan pada keberhasilan tenaga
kerja melakukan pekerjaannya, sebab pendidikan mempengaruhi pola
berfikir seseorang atau tenaga kerja dalam pengambilan keputusan.
Undang-Undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003
mengkategorikan tingkat pendidikan menjadi pendidikan menengah untuk
SMA/SMK dan pendidikan tinggi untuk Perguruan Tinggi. Sebagian besar
responden pendidikan formal terakhir yang ditempuh ialah kategori
pendidikan menengah yakni SMA/SMK, dan terdapat beberapa responden
yang memiliki pendidikan formal terakhir kategori pendidikan tinggi yakni
D2, D3, dan S1. Tingkat pendidikan sangat diperlukan oleh pekerja karena
dapat memberikan pengaruh yang positif untuk dirinya sendiri maupun
untuk instansi tempat dia bekerja. Munculnya pengaruh yang positif ini
dikarenakan dengan pendidikan yang memadai tercipta pengetahuan dan
keterampilan pekerja yang lebih luas sehingga pekerja mampu untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat meningkatkan kinerjanya
75

untuk melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan yang telah ditetapkan


dengan baik. Pendidikan juga dapat berpengaruh terhadap proses belajar
seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin mudah
orang tersebut dalam menerima informasi sehingga, dapat meningkatkan
kesiapsiagaan.
b. Pengetahuan tentang Kebakaran
Pengetahuan merupakan hasil dari “tahu” yang didapatkan setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Menurut Notoatmodjo (2012)
manusia melakukan penginderaan melalui seluruh panca indra yang dimilikinya,
namun sebagian besar pengetahuan diperoleh manusia melalui indra mata dan
telinga. Pengetahuan menjadi faktor yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku seseorang karena perilaku yang didasari oleh pengetahuan bersifat lebih
langgeng dibandingkan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Qirana
(2018) mengkategorikan pengetahuan menjadi tinggi dan rendah. Seseorang yang
mampu mengungkapkan informasi yang diterima oleh indra dari objek dengan
benar termasuk memiliki pengetahuan yang tinggi. Sebaliknya, seseorang
dikatakan memiliki pengetahuan rendah apabila tidak dapat mengungkapkan
objek yang diterima indra dengan benar.
Pengukuran pengetahuan seseorang dapat dilakukan dengan cara meminta
responden mengungkapkan hal-hal atau informasi yang diketahuinya dalam
bentuk bukti atau jawaban (Sari, 2016). Bukti atau jawaban tersebut merupakan
reaksi terhadap stimulus yang diberikan berupa pertanyaan lisan atau tulisan.
Notoatmodjo (2012) menyatakan pertanyaan yang digunakan untuk mengukur
pengetahuan seseorang dikelompokkan menjadi 2 yakni, pertanyaan terbuka
dalam bentuk essay dan pertanyaan tertutup dalam bentuk benar atau salah dan
pilihan ganda. Pertanyaan yang digunakan untuk mengukur pengetahuan dalam
penelitian ini menggunakan pertanyaan tertutup benar atau salah. Responden
diminta untuk menjawab “ya” apabila pertanyaan yang diajukan dianggap benar,
dan menjawab “tidak” apabila pertanyaan yang diajukan dianggap salah.
Sebagian besar responden dalam penelitian ini mempunyai pengetahuan
tentang kebakaran kategori baik yakni berjumlah 44 orang (86.3%). Sebagian
76

besar responden telah mengetahui akibat yang ditimbulkan dari kebakaran, contoh
cara pencegahan kebakaran, peralatan penanggulangan kebakaran berupa APAR
dan Hydrant, sarana penyelamatan jiwa serta tempat berkumpul aman atau muster
point penghuni gedung apabila terjadi kebakaran. Namun, masih banyak
responden yang tidak mengetahui prinsip dari terbentuknya api yakni ketika
bertemunya bahan bakar, sumber panas, dan oksigen. Responden juga masih
banyak yang tidak mengetahui pengertian dari sistem proteksi kebakaran serta
masih ada beberapa responden yang masih memiliki pengetahuan tentang
kebakaran kategori kurang. Hal ini perlu mendapat perhatian sebab dapat
mempengaruhi kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran.
Salah satu kegiatan pokok SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember
yakni melakukan patroli untuk memastikan lingkungan kerjanya bebas dari
ancaman dan gangguan. Berkaitan dengan kegiatan tersebut dibutuhkan
pengetahuan tentang kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember agar mampu membedakan lingkungan kerjanya telah bebas dari ancaman
dan gangguan atau sedang terdapat ancaman dan gangguan. SATPAM gedung
bertingkat Universitas Jember juga mempunyai kegiatan pokok untuk
memberikan pertolongan dan bantuan penyelamatan pada saat terjadi keadaan
darurat sehingga diperlukan pengetahuan yang berkaitan dengan kebakaran.
Peningkatan pengetahuan responden dapat dilakukan melalui pelatihan
pemadaman kebakaran.
c. Sikap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
Sikap menurut Notoatmodjo (2012) merupakan suatu respon atau reaksi dari
seseorang yang masih tertutup terhadap objek atau stimulus. Sikap terkait
kesiapsiagaan kebakaran diartikan sebagai respon seseorang berdasarkan perasaan
dan pikirannya tentang hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran. Husna (2012) menyatakan pengetahuan dapat
mempengaruhi terbentuknya sikap yang baik. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
pendidikan kebencanaan yakni untuk mengajari dasar-dasar sikap tanggap dan
responsif terhadap datangnya suatu bencana sehinggap diharapkan mampu
mengurangi risiko yang fatal, karena prinsip dasarnya yakni bukan hanya
77

memahami apa itu bencana tetapi, lebih ke paham bagaimana cara yang dilakukan
untuk menghadapi risiko bencana melalui sikap yang siaga dan responsif sehingga
dapat meminimalisir timbulnya dampak yang lebih parah.
Pengukuran sikap yang digunakan pada penelitian ini yakni pengukuran
sikap secara langsung. Pengukuran sikap secara langsung dilakukan dengan cara
responden diminta untuk memberikan pendapat atau pernyataan terhadap suatu
objek. Hasil penelitian menunjukkan kategori sikap pencegahan penanggulangan
kebakaran responden didominasi oleh kategori sikap baik yakni sebanyak 46
orang (90.2%). Sikap yang dimiliki sebagian besar responden terkait dengan
pencegahan kebakaran seperti ingin mengetahui risiko bahaya kebakaran yang
mungkin terjadi di tempat kerja, tidak bersikap cuek apabila melihat saluran listrik
yang rusak/usang dan alat pemadam api yang rusak. Sebagian besar responden
juga selalu memperhatikan tanda-tanda peringatan bencana yang terpasang di
tempat kerja serta memilih untuk memadamkan api apabila muncul kebakaran
kecil di area tempat kerja. Upaya untuk membentuk sikap pencegahan dan
penanggulangan kebakaran pada responden harus terus dilakukan sebab masih ada
responden yang memiliki sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran
kategori kurang. Hal ini dapat berdampak pada kesiapsiagaan SATPAM dalam
menghadapi kondisi darurat kebakaran.
Sikap dapat menjadi dasar terbentuknya perilaku seseorang. Namun, sikap
bukanlah suatu tindakan (reaksi terbuka) atau aktifitas melainkan sikap hanya
menjadi faktor predisposisi tindakan atau perilaku. Menurut Notoatmodjo (2012)
diperlukan faktor pendukung lainnya atau kondisi yang memungkinkan seperti
tersedianya sarana prasarana dan dukungan dari lingkungan sekitar agar
mewujudkan sikap menjadi tindakan yang nyata.
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember harus memiliki sikap
tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran karena sesuai dengan tugas
pokok SATPAM yakni menyelenggarakan keamanan di lingkungan kerjanya, dan
salah satunya yakni keamanan pada saat terjadi kebakaran. Berdasarkan tata tertib
SATPAM Universitas Jember, salah satu sikap yang harus dimiliki yakni cepat
tanggap (responsive) dalam memberikan perlindungan dan pengamanan. Hal ini
78

sesuai dengan tujuan dari kesiapsiagaan yakni agar mampu merespon kondisi
darurat kebakaran secara cepat.

4.2.2 Faktor Pemungkin


a. Pelatihan Pemadaman Kebakaran
Pelatihan menurut Golstsein dan Gressner (1988) dalam Kamil (2010)
berarti usaha sistematis untuk menguasai peraturan, keterampilan, konsep,
ataupun cara berperilaku yang dapat berdampak pada peningkatan kinerja.
Pelatihan pemadaman kebakaran ialah proses sistematis yang bertujuan untuk
mengubah tingkah laku pekerja agar mampu melakukan tindakan penaggulangan
kebakaran. Menurut Dewi (2010) pelatihan bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pekerja sehingga terbentuk perilaku tertentu.
Sebanyak 30 orang (58.8%) mempunyai pelatihan pemadaman kebakaran
kategori baik, namun masih terdapat 21 orang (41.2%) mempunyai pelatihan
pemadaman kebakaran kategori kurang. Responden yang tergolong kategori
pelatihan pemadaman kebakaran kurang dikarenakan belum pernah mengikuti
pelatihan mengenai pemadaman kebakaran. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan
pelatihan yang harus diikuti SATPAM Universitas Jember bahwa anggota
SATPAM harus mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan kebakaran seperti
mengenal alat-alat pemadam kebakaran, pencegahan dan penanggulangan
kebakaran, dan pengetahuan tentang P3K. Sebagian besar responden mengatakan
pelatihan pemadaman kebakaran yang diikuti tidak dilaksanakan rutin minimal 1
kali dalam setahun, padahal sesuai ketentuan pelatihan SATPAM Universitas
Jember seharusnya pelatihan-pelatihan tersebut harus dilaksanakan secara
berjenjang dan berlanjut yang pelaksanaannya pada setiap triwulan pada setiap
tahunnya. Menurut Fitriani (2019) pelatihan pemadaman kebakaran sebaiknya
dilakukan rutin minimal 1 kali dalam setahun karena jika tidak dilaksanakan
secara rutin, pekerja bisa jadi lupa tentang materi pelatihan contohnya praktik
penggunaan APAR. Masih banyak responden yang belum pernah mengikuti
simulasi penanggulangan kebakaran, hanya mengikuti praktik penggunaan APAR.
Hal ini tidak sesuai dengan langkah pertama yang harus dilakukan SATPAM
79

Universitas Jember dalam penanggulangan kebakaran yakni melakukan kegiatan


penyuluhan kepada warga kampus yang rawan bencana dengan cara melakukan
simulasi menghadapi bencana.
Pelatihan menjadi hal yang sangat penting karena umumnya setiap gedung
memiliki alat proteksi kebakaran. Menurut Fitriana (2017) pekerja atau anggota
pemadaman harus diberikan pelatihan mengenai alat proteksi kebakaran yang
terpasang di gedung tersebut agar mengetahui cara penggunaan alat pemadam api
secara baik dan benar. Pelatihan pemadaman kebakaran mejadi bentuk kepedulian
perusahaan terhadap karyawannya agar tercipta peningkatan kesiapsiagaan
karyawan dalam menghadapi bahaya kebakaran serta agar mampu bekerja secara
efektif dan efisien ketika menghadapi perisitiwa kebakaran.
b. Sarana Prasarana
Sarana prasarana terdiri dari prasarana pemadaman kebakaran serta sarana
penyelamatan jiwa. Prasarana pemadaman kebakaran terdiri dari sistem deteksi,
alarm kebakaran, APAR, hydrant, dan sprinkler. Sarana penyelamatan jiwa terdiri
dari pintu darurat, tangga darurat, lampu darurat, petunjuk arah keluar (exit) serta
muster point. Berdasarkan hasil penelitian, hasil dari jawaban 26 orang (51%)
menunjukkan sarana prasarana di lokasi kerja responden tergolong kategori
kurang. Hasil dari jawaban 25 orang (49%) menunjukkan sarana prasarana di
lokasi kerjanya termasuk dalam kategori baik. Umumnya sarana prasarana yang
tersedia di lokasi kerja responden yakni berupa APAR. Masih ada responden yang
menyatakan bahwa kondisi fisik APAR yakni slang, tabung dan nozzle tidak
dalam keadaan baik. Sebagian besar responden juga menyatakan bahwa lokasi
kerja mereka tidak terdapat hydrant, sprinkler, serta detektor kebakaran. Menurut
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no 26 tahun 2008, untuk hunian siswa
dibawah tingkat eksit pelepasan pada hunian pendidikan yang sudah ada atau
bukan bangunan baru tidak diperlukan proteksi sprinkler otomatik namun harus
mendapat persetujuan dari organisasi berwenang setempat untuk tidak
menggunakan sprinkler, serta jendela untuk keperluan penyelamatan dan ventilasi
perlu disediakan sesuai ketentuan. Detektor kebakaran jenis detektor panas tidak
diperlukan untuk bangunan yang sudah dilingdungi dengan sprinkler otomatik.
80

Sarana penyelamatan jiwa yang paling banyak belum tersedia berdasarkan


persepsi responden yakni lampu darurat. Lampu darurat penting untuk dilakukan
pemenuhan karena saat terjadi kebakaran umumnya listrik di lokasi kejadian akan
padam bisa diakibatkan karena konsleting listrik, atau memang dipadamkan untuk
mencegah kebakaran semakin meluas sehingga diperlukan lampu darurat yang
dapat hidup secara ototamis agar memudahkan penyelamatan atau evakuasi
korban. Lampu darurat sumber listriknya berasal dari genset atau baterai.
Teori perilaku yang dikemukakan Lawrence Green memuat faktor
pemungkin (enabling factors) adalah faktor yang memungkinkan sesorang untuk
berperilaku tertentu. Ketersediaan sarana prasarana yang bisa dimanfaatkan
menjadi hal penting dalam terbentuknya perilaku seseorang. Dalam hal ini,
menurut Fitriyana (2016) tersedianya sarana prasarana proteksi kebakaran
menjadi faktor yang memungkinkan terbentuknya perilaku kesiapsiagaan
kebakaran. Ketersediaan sarana prasarana penanggulangan kebakaran yang
memadai juga turut berpengaruh terhadap keberhasilan upaya penanggulangan
kebakaran.
Kesiapsiagaan seseorang dipengaruhi oleh dukungan ketersediaan sarana
prasarana. Sarana prasarana yang disertai pedoman akan mempengaruhi
produktifitas dan kualitas kerja seseorang. Sarana prasarana termasuk material
dalam unsur organisasi dan manajemen yang terdiri dari man, money, method,
material, dan machine. Unsur material berfungsi untuk menunjang kegiatan di
perusahaan berjalan efektif. Ketersediaan sarana prasarana penanggulangan
kebakaran dan penyelamatan jiwa yang baik, akan memungkinkan SATPAM di
Gedung Bertingkat Universitas Jember akan meningkat kesiapsiagaannya dalam
menghadapi kebakaran karena perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan kerja.

4.2.3 Faktor Penguat


a. Dukungan Rekan Kerja
81

Dukungan rekan kerja merupakan bentuk dukungan sosial yang ada di


tempat kerja. Dukungan sosial menurut Albrecth dan Adelman (dalam Mattson’s.
2011:182) dapat mengurangi ketidaktentuan tentang situasi, diri ataupun
hubungan, dapat meningkatkan persepsi maupun sebagai kontrol pada
pengalaman hidup seseorang. Dukungan sosial dapat diberikan dalam bentuk
komunikasi non verbal maupun verbal antara pemberi dan penerima. Dukungan
rekan kerja pada penelitian ini yakni dukungan yang didapatkan oleh SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember dari rekan kerjanya.
Variabel dukungan rekan kerja pada penelitian ini dikategorikan menjadi
kategori kurang dan baik. Sebanyak 34 orang (66.7%) yang diteliti merasa telah
mendapatkan dukungan yang baik dari rekan kerjanya sehingga termasuk dalam
kategori dukungan rekan kerja baik Dukungan yang baik ini terlihat bahwa rekan
kerja mereka telah memberikan informasi dan mengajarkan tindakan yang perlu
dilakukan serta peralatan yang perlu di siapkan di lokasi kerja sebelum terjadinya
kebakaran. Responden juga menyatakan bahwa rekan kerja mereka telah
mengingatkan agar alat komunikasi selalu aktif saat bekerja, agar menggunakan
APD lengkap saat bekerja, membantu dalam simulasi kebakaran, serta siap siaga
apabila membutuhkan bantuan mendadak saat bekerja. Sebanyak 17 orang
(33.3%) menyatakan bahwa masih belum mendapatkan dukungan rekan kerja
yang baik sehingga hasil penelitian menunjukkan bahwa responden tersebut
termasuk dalam dukungan rekan kerja kategori kurang.
Dukungan lingkungan sekitar dalam hal ini dukungan rekan kerja dapat
mempengaruhi tindakan atau perilaku yang dilakukan seseorang. Menurut
Notoatmodjo (2012) dukungan dari lingkungan sekitar dapat mengubah sikap
seseorang yang masih berupa reaksi tertutup menjadi sebuah tindakan yang nyata
(reaksi terbuka). Gottlieb (dalam Mattson’s 2011:183) mengungkapkan dukungan
sosial baik yang diberikan oleh orang lain ataupun yang didapatkan dari hubungan
mereka dengan lingkungan sekitarnya bermanfaat secara emosional ataupun efek
perilaku bagi dirinya. Sharing atau diskusi dengan rekan kerja menurut
Kartikawati (2017) penting untuk dilakukan walaupun materi atau hal-hal yang
disampaikan sudah sering didengar. Hal ini dikarenakan, dengan berdiskusi dapat
82

mengingatkan kembali materi yang telah didapatkan atau bahkan mampu


mengubah dari sebuah sikap menjadi suatu tindakan.

4.2.4 Kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung


bertingkat Universitas Jember
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007
Kesiapsiagaan ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan tujuan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian, serta langkah yang tepat dan
berdaya guna. Kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran berkaitan dengan respon
yang diberikan dan bertujuan untuk memastikan upaya yang dilakukan sudah
cepat dan tepat dalam menghadapi suatu kejadian bencana.
Tingkat kesiapsiagaan menurut Hidayati (2017) dapat dikaji menggunakan
suatu alat ukur berupa instrumen dalam bentuk kuesioner atau daftar pertanyaan
tertutup. Pertanyaan yan digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat
Universitas Jember berbentuk pertanyaan tertutup dengan parameter yang
digunakan yakni pengetahuan tentang kebakaran, sikap pencegahan dan
penanggulangan kebakaran, rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana,
dan mobilisasi sumber daya. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
responden memiliki tingkat kesiapsiagaan kategori baik yakni sebanyak 45 orang
(88.2%). Hal ini dibuktikan dengan responden mampu menjawab pertanyaan
mengenai pengetahuan dan sikap terkait prinsip-prinsip kebakaran, rencana
tanggap darurat yang dilakukan saat terjadi kebakaran mulai dari memberikan
pertolongan, keselamatan dan keamanan, telah mengetahui sistem peringatan
bencana yang tersedia di gedung serta tindakan apa yang perlu dilakukan apabila
tanda peringatan bencana tersebut berbunyi, dan sebagian besar responden
menyatakan bahwa pernah ikut serta dalam kegiatan pelatihan atau sosialisasi
yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana kebakaran.
Sebagian besar responden telah memiliki tingkat kesiapsiagaan kategori
baik namun, kesiapsiagaan bersifat dinamis. Menurut Sopaheluwakan, dkk (2006)
83

diperlukan suatu usaha dan kegiatan untuk memantau dan mengetahui kondisi
kesiapsiagaan serta menjaga dan meningkatkan kesiapsiagaan tersebut karena
tingkat kesiapsiagaan dapat menurun setiap saat seiring dengan terjadinya
perubahan dalam kehidupannya. Peningkatan kesiapsiagaan dapat dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan. Upaya peningkatan kesiapsiagaan harus terus
dilakukan sebab masih ada responden yang memiliki kesiapsiagaan kategori
kurang. Kondisi darurat kebakaran dapat terjadi pada lokasi, waktu, situasi yang
tidak dikehendaki dan kepada siapa pun. Satu SATPAM saja apabila memiliki
kesiapsiagaan kurang dapat mempengaruhi proses penanggulangan kebakaran,
sehingga diperlukan kesiapsiagaan yang baik pada setiap individu SATPAM.
Peningkatan kesiapsiagaan juga penting untuk dilakukan karena menurut Efelin
(2018) kesiapsiagaan menjadi tahapan paling strategis dalam suatu manajemen
risiko bencana sebab kesiapsiagaan menentukan bagaimana tingkat ketahanan
anggota masyarakat ketika menghadapi suatu bencana. Menurut Fitriana (2017)
kesiapsiagaan penghuni gedung dalam menghadapi kondisi darurat kebakaran
mempengaruhi keselamatan penghuni gedung dan ikut menentukan keberhasilan
proses pemadaman kebakaran.
Kesiapsiagaan yang baik harus terbentuk pada setiap anggota SATPAM
gedung bertingkat Universitas Jember karena salah satu tugas SATPAM gedung
bertingkat Universitas Jember yakni pengamanan saat terjadi kebakaran.
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember juga memiliki kegiatan untuk
memberikan tanda-tanda bahaya atau keadaan darurat serta memberikan
pertolongan dan bantuan penyelamatan. Pengetahuan serta keterampilan
SATPAM berkaitan dengan kebakaran harus ditingkatkan karena pada standar
operasional prosedur pengamanan bencana alam/kebakaran, langkah pertama
yang harus dilaksanakan SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember dalam
penanggulangan bencana yakni melakukan kegiatan penyuluhan kepada warga
kampus yang rawan bencana agar selalu waspada dan siap siaga dengan cara
melakukan pelatihan simulasi menghadapi bencana.
Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) kebijakan dapat mempengaruhi
kesiapsiagaan masyarakat atau penghuni gedung. Kebijakan dapat mempengaruhi
84

pengetahuan tentang kebakaran dan tindakan untuk menyelamatkan dari bencana.


Kebijakan juga berpengaruh terhadap rencana tanggap darurat, peringatan dini
bencana, dan mobilisasi sumber daya. Kebijakan merupakan bentuk komitmen
perusahaan dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman, efektif, dan
produktif atau bentuk pelaksanaan SMK3 di perusahaan. Langkah pertama dalam
menerapkan SMK3 menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 tahun 2012 yakni
penetapan kebijakan K3 yang disahkan oleh pucuk pimpinan perusahaan, tertulis,
tertanggal, dan ditanda tangani. Bentuk kebijakan K3 salah satunya yakni
berkaitan dengan kebijakan tentang pencegahan dan penanggulangan kondisi
darurat kebakaran. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, pengusaha dan/atau
pengurus harus menyediakan anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-
sarana lain yang diperlukan di bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran
serta menetapkan personil yang mempunyai tanggung jawab, wewenang dan
kewajiban yang jelas dalam penanganan kondisi darurat kebakaran. Penetapan
personil tersebut dapat dilakukan melalui pembentukan tim penanggulangan
kebakaran.
Tim penanggulangan kebakaran perlu dibentuk di setiap gedung bertingkat
Universitas Jember. Anggota dari tim penanggulangan kebakaran terdiri dari
SATPAM, dosen, maupun civitas akademika. Hal ini diperlukan karena hampir
seluruh gedung bertingkat yang diteliti di Universitas Jember kecuali gedung
kantor pusat, jumlah SATPAM yang bertugas di setiap shift kerja hanya
berjumlah satu orang. Jumlah SATPAM yang hanya satu orang pada setiap shift
kerja tidak memungkinkan apabila harus melakukan penanggulangan kebakaran
serta membantu evakuasi penghuni gedung. Diperlukan kesiapsiagaan penghuni
gedung lainnya dan tim penanggulangan kebakaran agar mampu menghadapi
kondisi darurat kebakaran secara cepat dan tepat. Tim penanggulangan kebakaran
bertugas untuk mengkoordinasikan pelaksanaan manajemen penanggulangan
kebakaran seperti pembagian tugas untuk personil yang melakukan evakuasi
penghuni gedung, personil yang melakukan pemadaman kebakaran, personil yang
bertugas untuk menghubungi dan meminta bantuan instansi terkait dan berbagai
tugas lainnya.
85

Bentuk komitmen perusahaan atau pimpinan juga dapat dilakukan melalui


pembentukan kebijakan tentang rencana tanggap darurat atau standar operasional
prosedur penanggulangan kondisi darurat kebakaran. Rencana tanggap darurat
diperlukan di setiap gedung bertingkat Universitas Jember agar mampu
menciptakan kesiapsiagaan yang baik. Bentuk rencana tanggap darurat atau
standar operasional prosedur penanggulangan kebakaran yang sudah tersedia di
Universitas Jember yakni berupa rencana tanggap darurat yang dijelaskan secara
lisan saat pelaksanaan simulasi kebakaran dan standar operasional prosedur
pengamanan kebakaran untuk SATPAM Universitas Jember. Pelaksanaan
simulasi kebakaran tidak dilaksanakan di seluruh gedung bertingkat Universitas
Jember sehingga, tidak seluruh gedung bertingkat Universitas Jember mempunyai
rencana tanggap darurat. Diperlukan pembentukan rencana tanggap darurat secara
tertulis dan disahkan oleh pimpinan untuk seluruh gedung bertingkat Universitas
Jember.

4.2.5 Hubungan Faktor Predisposisi dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
a. Hubungan Umur dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran pada
SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember diketahui bahwa umur tidak memiliki hubungan
yang signifikan dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM
di gedung bertingkat Universitas Jember. Hasil analisis Koefisien Kontingensi
juga menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara variabel umur dengan
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran termasuk dalam kategori sangat lemah.
Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah Satpam yang memiliki kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran kategori baik lebih banyak ditemukan pada SATPAM
yang tergolong pada kategori umur dewasa. SATPAM gedung bertingkat
Universitas Jember yang memiliki kesiapsiagaan kategori kurang, juga lebih
banyak ditemukan pada responden dengan kategori umur dewasa, sehingga umur
dewasa maupun lansia awal tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan
86

kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas


Jember.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fitriani (2019) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antar umur dengan
kesiapsiagaan tanggap darurat pada pekerja di bagian Spinning IV OE. Umur
memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan karena umur menjadi variabel pada diri
individu yang konsep dasarnya semakin bertambanya umur seseorang, maka
kedewasaan dan informasi yang dimiliki semakin bertambah pula. Menurut
Hasibuan (2008), umur dapat mempengaruhi kondisi metal, fisik, kempampuan
kerja, serta tanggup jawab seseorang sehingga harus mendapat perhatian. Fitriani
(2019) juga menyebutkan bahwa kematangan usia dapat mempengaruhi
kesiapsiagaan seseorang.
Umur bukan satu-satunya variabel yang dapat menentukan perilaku
seseorang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Kartikawati (2017) bahwa tidak terdapat hubungan antara umur dengan praktik
kesiapsiagaan terkait kebakaran pada Security di Terminal Peti Kemas Semarang.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyana (2016) yang
menyatakan bahwa tidak ada hubungan anatara umur dengan kesiapsiagaan
tanggap darurat pada Aviation Security terhadap bahaya kebakaran di Terminal
Bandara X. Tidak adanya hubungan antara umur dengan kesiapsiagaan kondisi
darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember
karena, terbentuknya kesiapsiagaan individu dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor lain seperti pengetahuan, sarana prasarana, maupun pelatihan. Terkait
dengan adanya berbagai faktor lain yang dapat menunjang terbentuknya
kesiapsiagaan seseorang, maka diperlukan kegiatan yang dapat meningkatkan
kesiapsiagaan seperti pelatihan, maupun pemenuhan sarana prasarana proteksi
kebakaran yang memadai di lingkungan kerja.
b. Hubungan Masa Kerja dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran
pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Komponen faktor predisposisi yang kedua yakni masa kerja. Masa kerja
menjadi salah satu faktor karakteristik pekerja yang dapat membentuk
87

perilakunya. Menurut Madyanti (2012) lama kerja seseorang berkaitan dengan


pengalaman yang diterima di tempat kerja maka, tingkat pengetahuan dan
keterampilan seseorang akan semakin meningkat seiring dengan semakin lamanya
orang tersebut berkerja di perusahaanya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Fitriana (2017) bahwa terdapat hubungan antara masa kerja
dengan upaya kesiapsiagaan kebakaran. Pekerja dengan masa kerja lama akan
cenderung lebih terlatih dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi kebakaran.
Semakin lama seseorang bekerja pada tempat kerjanya maka semakin banyak pula
pengalaman yang diperoleh terkait pekerjaan dan lingkungan kerjanya.
Penelitian yan dilakukan kepada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember ternyata tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriana
(2017). Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara masa
kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran. Tingkat keeratan hubungan
antara kedua variabel tersebut juga termasuk kategori sangat lemah. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriyana (2016) yang
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan
kesiapsiagaan tanggap darurat kebakaran pada Aviation Security di terminal
bandara X. Masa kerja yang tidak berhubungan dengan kesiapsiagaan kondisi
darurat kebakaran dapat terjadi karena pengalaman yang didapatkan selama masa
kerja seseorang bukan menjadi faktor dominan dalam membentuk perilaku. Ada
berbagai faktor lain yang dapat membentuk perilaku kesiapsiagaan seperti
pengetahuan dan pelatihan. Menurut Kartikawati (2017), meskipun masa kerja
seseorang tergolong baru namun apabila rutin mengikuti pelatihan, serta selalu
berusaha menambah pengetahuan maka praktik kesiapsiagaannya pun dapat
meningkat. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
sebagian besar responden yang memiliki masa kerja tergolong ≤ 10 tahun telah
mengikuti pelatihan pemadaman kebakaran kategori baik yakni sebanyak 11
orang (78.6%). Responden yang memiliki masa kerja > 10 tahun hanya sebanyak
19 orang (51.4%) yang memiliki pelatihan pemadaman kebakaran kategori baik.
Maka dari itu, diperlukan pelatihan, serta peningkatan pengetahuan pekerja agar
perilaku kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran yang dimiliki juga meningkat.
88

c. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Komponen faktor predisposisi selanjutnya yakni tingkat pendidikan.
Luasnya pengetahuan seseorang ditentukan oleh pendidikan seseorang yang
dimana akan sangat sulit menerima sesuatu yang baru bagi orang yang tingkat
pendidikannya rendah (Andriyanto, 2017). Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, maka semakin besar juga kemungkinan tenaga kerja dapat bekerja dan
melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Hasil penelitian Setyawan (2013)
menunjukkan ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan praktik
keselamatan kebakaran. Hal ini dikarenakan responden yang berpendikan tinggi
melakukan praktik keselamatan kebakaran dengan lebih baik dari pada yang
berpendidikan rendah karena tingkat pendidikan merupakan standar bagi
seseorang untuk lebih mudah memberikan persepsi, respon, atau tanggapan dari
luar. Notoatmodjo (2012) menyatakan perilaku manusia ditentukan kemampuan
berfikirnya yang bisa didapatkan melalui pendidikan formalnya.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Setyawan (2013). Tingkat pendidikan dengan kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember tidak
memiliki hubungan dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kartikawati
(2017) bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kesiapsiagaan
Security Terminal Peti Kemas. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pendidikan
dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember termasuk kategori sangat lemah. Hal ini
dikarenakan tingkat pendidikan bukan menjadi satu-satunya faktor yang dapat
membentuk pengetahuan dan perilaku seseorang. Menurut Andriyanto (2017)
peningkatan pengetahuan dapat dilakukan melalui pendidikan non formal seperti
pelatihan maupun tukar pikiran dengan sesame rekan kerja, sehingga meskipun
tingkat pendidikan seseorang tergolong rendah apabila rutin mengikuti kegiatan
pelatihan dan selalu berusaha menambah pengetahuannya dapat membentuk
perilaku kesiapsiagaan yang baik.
89

d. Hubungan Pengetahuan tentang Kebakaran dengan Kesiapsiagaan Kondisi


Darurat Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas
Jember
Pengetahuan menjadi domain terpenting untuk terbentuknya perilaku
seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan tentang kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
pada SATPAM gedung bertingkat di Universitas Jember. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Qirana (2018) yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kesiapsiagaan petugas dalam
menghadapi bahaya kebakaran. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kartikawati
(2017) juga menyatakan bahwa pengetahuan dengan praktik kesiapsiagaan
memiliki hubungan yang bermakna. Tingkat keeratan hubungan antara variabel
pengetahuan tentang kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
termasuk kategori sedang. Hal ini perlu diperhatikan sebab masih ada responden
yang mempunyai pengetahuan tentang kebakaran kategori kurang, sehingga dapat
mempengaruhi kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran.
Pengetahuan mengenai kebakaran merupakan faktor utama yang menjadi
kunci terbentuknya kesiapsiagaan. Menurut National Fire Protection Association
((NFPA) berbagai usaha teknis yang dilakukan atau diterapkan dalam lingkungan
masyarakat maupun lingkungan kerja untuk mencegah terjadinya kebakaran
ataupun mengurangi kerugian yang dihasilkan dari peristiwa kebakaran tersebut
tidak ada artinya apabila pada diri setiap individu tidak mempunyai pengetahuan
yang cukup tentang bahaya kebakaran, cara pencegahan maupun
penanggulangaannya. Pengetahuan yang baik akan meningkatkan kesiapsiagaan
pekerja itu sendiri.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fitriani (2019) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara
pengetahuan dengan kesiapsiagaan tanggap darruat PT. APAC Inti Corpora
Semarang. Pengetahuan tidak berhubungan dengan kesiapsiagaan dapat
diakibatkan karena kurangnya sikap disiplin pada diri masing-masing pekerja.
Pekerja yang kurang displin mengakibatkan kegiatan-kegiatan pencegahan
90

kebakaran tidak dilaksanakan meskipun mempunyai pengetahuan yang baik,


sehingga tingkat kesiapsiagaannya juga berkurang. Penelitian yang dilakukan
Fitriani (2019) tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Lawrence Green
bahwa pengetahuan menjadi faktor yang memudahkan terbentuknya perilaku
seseorang.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang tidak muncul secara tiba-tiba namun
berdasarkan informasi yang diperoleh (Setiawan, 2013). Informasi ini dapat
berasal dari pendidikan maupun pelatihan yang diikuti. Setelah seseorang
mendapatkan informasi, maka selanjutnya informasi tersebut akan diproses
menjadi pengetahuan. Seseorang yang semakin sering mendapatkan informasi,
maka akan semakin meningkat pula pengetahuannya. Pekerja perlu mendapatkan
informasi mengenai potensi bahaya yang dapat terjadi di lingkungan kerjanya,
serta mengetahui bagaimana cara pencegahan dan penanggulangannya. Dalam
penelitian ini adanya pelatihan pemadaman kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember dapat menjadi salah satu akses bagi SATPAM
untuk mendapatkan informasi terkait bahaya kebakaran. Upaya peningkatan
pengetahuan tentang kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember harus terus dilakukan sebab masih ada SATPAM yang memiliki
pengetahuan tentang kebakaran kategori kurang. Adanya responden yang masih
memiliki pengetahuan tentang kebakaran kategori kurang dapat berpengaruh
terhadap pembentukan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada responden
tersebut.
e. Hubungan Sikap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran dengan
Kesiapsiagaan Kondisi Darurat Kebakaran pada SATPAM di Gedung
Bertingkat Universitas Jember
Sikap yang terbentuk pada diri seseorang dapat bersifat positif maupun
negatif. Sikap positif dapat membentuk perilaku seseorang kearah yang positif,
sebaliknya sikap negatif dapat membentuk perilaku seseorang kearah yang
negatif. Penelitian ini membuktikan bahwa terdapat hubungan antara sikap
pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember. Antara
91

variabel sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan kesiapsiagaan


kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember mempunyai keeratan hubungan yang paling tinggi atau paling erat
dibandingkan hubungan antara variabel-variabel lainnya yakni termasuk dalam
kategori kuat. Hal ini menunjukkan sikap positif yang dimiliki SATPAM dapat
membentuk perilaku kesiapsiagaan yang baik. Penelitian yang dilakukan oleh
Qirana (2018) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara sikap dengan
kesiapsiagaan petugas.
Tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2019) bahwa
sikap tidak ada hubungan dengan kesiapsiagaan tanggap darurat. Sikap tidak
berhubungan dengan kesiapsiagaan karena sikap merupakan suatu reaksi tertutup
terhadap stimulus atau objek tertentu dan bukan sebagai tindakan atau reaksi
terbuka. Sikap hanya menjadi sebuah kesiapan atau kesediaan untuk berperilaku
dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu.
Sikap memang hanya suatu reaksi tertutup dan belum tentu berubah menjadi
suatu tindakan, namun sikap dapat diubah atau diwujudkan menjadi suatu
tindakan apabila didukung oleh berbagai faktor lain. Fasilitas, sarana prasarana,
dukungan dari pihak lain seperti rekan kerja merupakan beberapa faktor yang
dapat mendukung terbentuknya perilaku dari suatu sikap seseorang. Sikap pada
diri seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal
(Shiddiq, 2014). Faktor internal yaitu kondisi psikologis dan fisiologis, lalu faktor
eksternal dapat berubah situasi-situasi yang dihadapi seseorang maupun norma
dan hambatan yang ada dalam masyarakat atau lingkungan kerja.
Sikap menjadi produk dan proses sosialisasi dimana, seseorang akan
bereaksi sesuai rangsangan yang diterimanya. Sikap tidak mungkin terbentuk
tanpa adanya informasi yang didapatkan seseorang. Menurut Septiani (2017)
adanya keyakinan akan akibat dari suatu perilaku dapat membentuk sikap pada
diri individu. Sikap yang terbentuk dapat berupa sikap negatif ataupun positif
tergantung dari besarnya pengetahuan. Jadi menurut Notoatmodjo (2012) semakin
tinggi tingkat pengetahuan individu dapat mempengaruhi terbentuknya sikap yang
selanjutnya akan diwujudukan dalam bentuk perilaku.
92

Pada penelitian ini, sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran


berhubungan dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember. Sikap positif atau sikap kategori baik harus
ada pada setiap individu SATPAM dan untuk menciptakan sikap positif
diperlukan informasi atau pengetahuan-pengetahuan yang positif terkait
kesiapsigaan kondisi darurat kebakaran. Beberapa SATPAM di gedung bertingkat
Universitas Jember masih memiliki sikap pencegahan dan penanggulangan
kebakaran kategori kurang. Upaya-upaya untuk membentuk sikap positif atau
sikap kategori baik harus terus dilakukan karena, apabila masih ada SATPAM
yang memiliki sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran kategori kurang
dapat mempengaruhi pembentukan kesiapsiagaannya sehingga dapat berdampak
pada keberhasilan proses penanggulangan kebakaran. Berbagai faktor lain seperti
tersedianya sarana prasarana dan dukungan rekan kerja yang baik juga diperlukan
agar mampu mewujudukan sikap menjadi suatu perilaku kesiapsiagaan kondisi
darurat kebakaran yang baik.

4.2.6 Hubungan Faktor Pemungkin dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
a. Hubungan Pelatihan Pemadaman Kebakaran dengan Kesiapsiagaan Kondisi
Darurat Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas
Jember
Pelatihan merupakan salah satu faktor pemungkin yang dapat
memungkinkan terbentuknya perilaku seseorang. Hasil penelitian menunjukkan
ada hubungan antara pelatihan pemadaman kebakaran dengan kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember dengan tingkat keeratan hubungan termasuk dalam kategori sedang.
Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kartikawati (2017) yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara pelatihan dengan praktik kesiapsiagaan security
terkait kebakaran di Terminal Peti Kemas Semarang.
93

Pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan


seseorang agar mereka yang dilatih mendapat pengetahuan dan keterampilan
dalam menghadapi permasalahan yang dihadapi sesuai harapan dan tujuan yang
diinginkan mengikuti kegiatan pelatihan. Hasil dari pelatihan, diharapkan peserta
mampu merespon dengan tepat dan sesuai situasi tertentu. Menurut Napitupulu
dan Dulbert (2015) pelatihan untuk pekerja yang berkepentingan pada
penanggulangan kebakaran tidak boleh luput dari perhatian. Hal ini sejalan
dengan pernyataan dari LIPI dan UNESCO (2006) bahwa dalam suatu mobilisasi
sumber daya untuk menciptakan kesiapsiagaan yang baik sangat diperlukan
adanya tim yang telah dilatih untuk menghadapi situasi darurat atau bencana.
SATPAM merupakan kelompok pekerja yang bertugas untuk melakukan
penanggulangan kebakaran. Maka dari itu diperlukan pelatihan pada SATPAM
guna meningkatkan pengetahuan-pengetahuan SATPAM untuk menghadapi
kondisi darurat kebakaran. Pelatihan pemadaman kebakaran harus terus dilakukan
secara rutin kepada semua anggota SATPAM gedung bertingkat Universitas
Jember, hal ini dikarenakan masih ada SATPAM yang memiliki pelatihan
pemadaman kebakaran kategori kurang. Pelatihan pemadaman kebakaran rutin
juga diperlukan agar SATPAM yang sudah pernah mengikuti pelatihan tidak lupa
tentang materi yang sudah pernah diberikan. Pelatihan pemadaman kebakaran
kategori baik harus ada pada diri setiap anggota SATPAM gedung bertingkat
Universitas Jember agar terbentuk kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran yang
baik dan mampu menghadapi peristiwa kebakaran secara cepat dan tepat.
Menurut Napitupulu dan Dulbert (2015) pelatihan mengenai pemadaman
kebakaran dapat memberikan pengetahuan tentang cara pencegahan kebakaran,
tindakan yang harus dilakukan ketika mendengarkan alarm kebakaran dan
menemukan api, metode yang benar dalam memanggil pasukan pemadam
kebakaran, letak atau lokasi, fungsi dan kegunaan peralatan pemadaman
kebakaran, rute penyelamatan, dan prosedur untuk evakuasi. Dengan adanya
pelatihan pemadaman kebakaran diharapkan pekerja mempunyai kesiapsiagaan
yang baik dan mampu menangani kondisi darurat kebakaran dengan cepat dan
tepat.
94

b. Hubungan Sarana Prasarana dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat


Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Keberhasilan upaya penanggulangan kebakaran akan bergantung pada
ketersediaan sarana prasarana penanggulangan kebakaran yang memadai.
Menurut Lawrence Green, sarana prasarana dapat mempengaruhi terbentuknya
perilaku seseorang karena sarana prasarana dapat mewujudkan sikap yang
merupakan reaksi atau respon tertutup menjadi perilaku atau reaksi terbuka. Teori
ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa ada hubungan antara sarana prasarana
dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember. Penelitian yang dilakukan Fitriyana (2016) juga
menyatakan bahwa ada hubungan antara sarana prasarana proteksi kebakaran
dengan kesiapsiagaan tanggap darruat Aviation Security terhadap bahaya
kebakaran. Tingkat keeratan hubungan sarana prasarana dengan kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran termasuk dalam kategori lemah, namun variabel sarana
prasarana tetap harus diperhatikan sebab masih memiliki hubungan yang
signifikan dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran.
Sarana prasarana yang diteliti pada penelitian ini berkaitan dengan peralatan
yang digunakan oleh SATPAM ataupun penghuni gedung untuk melakukan
pemadaman kebakaran serta sarana penyelamatan jiwa. Peralatan tersebut terdiri
dari APAR, sprinkler, hydrant, alarm kebakaran, dan detektor. Sarana
penyelamatan jiwa terdiri dari tangga darurat, tanda petunjuk arah keluar (exit),
lampu darurat, pintu darurat, dan titik kumpul. Menurut Peraturan Menteri PU
Nomor 26 tahun 2008, setiap gedung atau bangunan harus dilengkapi dengan
sarana evakuasi yang digunakan oleh penghuni gedung sehingap mempunyai
waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa terhambat oleh
hal-hal yang diakibatkan oleh kebakaran.
Peralatan yang digunakan untuk pemadaman kebakaran harus rutin
dilakukan pengecekan atau perawatan agar ketika terjadi kondisi darurat
kebakaran peralatan tersebut dapat digunakan dengan baik. Tangga darurat ialah
tangga yang direncanakan khusus untuk penyelamatan saat terjadi kebakaran yang
dilengkapi dengan pegangan, permukaan lantai tidak licin, tidak ada penghalang,
95

serta terdapat ventilasi berupa pengedali asap. Menuut NFPA 101 pintu daruat
ialah pintu yang langsung menuju tangga darurat dan hanya digunakan saat terjadi
kebakaran. Lampu darurat juga sangat diperlukan saat kondisi darurat kebakaran
karena umumnya listrik di suatu gedung akan dimatikan agar tidak memperparah
kondisi kebakaran atau bahkan telah terjadi gangguan akibat kondisi kebakaran
tersebut. Menurut SNI 03-6574-2000 lampu darurat harus dapat bekerja secara
otomatis dan memiliki tingkat pencahayaan yang memadai untuk evakuasi yang
aman. Titik kumpul juga harus tersedia di setiap bangunan gedung karena
digunakan untuk tempat berkumpul setelah proses evakuasi, dan digunakan untuk
tempat menghitung jumlah anggota penghuni gedung saat terjadi kebakaran. Titik
kumpul menurut NFPA 101 harus aman dari bahaya kebakaran maupun bahaya-
bahaya lainnya.
Kesesuaian dan kehandalan sarana prasarana baik peralatan pemadaman
kebakaran maupun sarana penyelamatan jiwa sangat diperlukan guna menciptakan
kesiapsiagaan yang baik dan mewujudukan keberhasilan proses pemadaman
kebakaran. Penelitian ini ternyata tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nursalekha (2019) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
sarana prasarana dengan kesiapsiagaan penghuni dalam menghadapi kebakaran di
Rusunawa Undip Semarang. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden tidak
bisa membedakan jenis-jenis alat pemadam api serta kegunaannya, sehingga
meskipun tersedia sarana prasarana yang baik belum tentu bisa menciptakan
kesiapsiagaan yang baik.
Sosialisasi maupun penjelasan mengenai tata letak dan kegunaan dari
masing-masing sarana prasarana harus diberikan kepada pekerja khususnya
SATPAM sehingga dalam kondisi darurat kebakaran dapat mempermudah dalam
memanfaatkan sarana prasarana tersebut. Kemudahan untuk menjangkau sarana
prasarana yang tersedia juga sangat mempengaruhi perilaku atau tindakan yang
dilakukan seseorang. Ketika sarana prasarana sulit untuk dijangkau akan
menghambat seseorang dalam melakukan tindakan tertentu, begitu juga
sebaliknya. Dengan demikian, agar tercipta kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran yang baik diperlukan ketersediaan sarana prasarana yang memadai dan
96

terjangkau serta diperlukan sosialisasi mengenai tata letak dan kegunaan sarana
prasarana tersebut.
4.2.7 Hubungan Faktor Penguat dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
a. Hubungan Dukungan Rekan Kerja dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Menurut Lawrence Green dalam teori perubahan perilaku, dukungan rekan
kerja termasuk dalam faktor penguat dimana perilaku dan tindakan rekan kerja
dianggap dapat mempengaruhi sikap seseorang untuk bertindak. Notoatmodjo
(2012) menyatakan rekan kerja dapat menjadi kelompok referensi sehingga
perkataan maupun perbuatannya cenderung untuk dicontoh. Teori-teori ini sejalan
dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara dukungan rekan kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada
SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember. Penelitian yang dilakukan
oleh Kartikawati (2017) pada security juga menunjukkan bahwa ada hubungan
antara dukungan rekan sekerja dengan praktik kesiapsiagaan Security Terminal
Peti Kemas Semarang terkait kebakaran. Variabel dukungan rekan kerja terhadap
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran memiliki keeratan hubungan kategori
lemah, namun tetap harus diciptakan dukungan rekan kerja yang baik sebab
variabel ini memiliki hubungan yang signifikan terhadap pembentukan
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran.
Dukungan yang diberikan oleh rekan kerja akan mengubah sikap seseorang
(reaksi tertutup) menjadi tindakan yang nyata (reaksi terbuka). Menurut teori
Health Belief Model anjuran yang diberikan oleh rekan kerja dapat menjadi
pendorong seseorang untuk bertindak. Fungsi rekan kerja dalam perubahan
perilaku seseorang yakni memberikan informasi, saran, mengingatkan maupun
memberikan ide mengenai berbagai hal mengenai pencegahan dan
penanggulangan kebakaran dengan tujuan akhir yakni bertambahnya pengetahuan
seseorang serta menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan aman.
Interaksi atau hubungan antar pekerja merupakan hal yang penting guna
menciptakan iklim organisasi yang baik (Septiani, 2017). Ketika orang-orang
97

yang ada dalam suatu organisasi mampu berinteraksi dan berhubungan dengan
baik, maka organisasi atau institusi tersebut akan produktif. Interaksi yang baik
antar orang dalam suatu institusi mampu menciptakan motivasi kerja pada setiap
diri individu. Motivasi kerja ini akan berdampak pada kesiapsiagaan, karena pada
akhirnya pekerja akan memiliki motivasi untuk melakukan berbagai tindakan
yang dapat mencegah maupun melakukan penanggulangan kondisi darurat
kebakaran.

4.3 Keterbatasan Penelitian


Instrumen yang digunakan untuk pengukuran kesiapsiagaan pada parameter
pengetahuan tentang kebakaran masih kurang sesuai untuk mengukur tingkat
pengetahuan responden. Instrumen yang digunakan untuk pengukuran
kesiapsiagaan pada parameter sikap juga masih kurang sesuai karena tidak
berbentuk pernyataan setuju atau tidak setuju melainkan berbentuk pertanyaan
dengan pilihan jawaban ya atau tidak, sehingga kurang signifikan untuk
menunjukkan sikap yang dimiliki oleh responden terkait pencegahan, dan
penanggulangan kebakaran. Diperlukan perbaikan instrumen pengetahuan tentang
kebakaran serta sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran agar mampu
mengukur pengetahuan tentang kebakaran serta sikap pencegahan dan
penanggulangan kebakaran yang dimiliki responden secara tepat.

Anda mungkin juga menyukai