1) Umur
Umur responden yang diukur sejak dilahirkan sampai saat penelitian
berlangsung dalam satuan tahun dan dikategorikan menurut Depkes RI
tahun 2009 menjadi dewasa dan lansia awal. Kategori dewasa yakni
responden yang memiliki umur 26-45 tahun, sedangkan kategori lansia awal
merupakan kategori untuk responden yang memiliki umur 46-55 tahun.
Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel
4.1 yang menunjukkan bahwa dari 51 responden, distribusi frekuensi umur
58
59
pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel
4.9 berikut:
sided) digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara variabel
pengetahuan dan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran. P-value > α (0,05)
maka tidak ada hubungan antara kedua variabel, sebaliknya p-value < α (0,05)
maka ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Distribusi frekuensi
pengetahuan tentang kebakaran dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran
pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel
4.11 berikut:
Pengetahuan Kesiapsiagaan
Total
tentang Kurang Baik P-value C
Kebakaran N % N % N %
Kurang 5 71.4 2 28.6 7 100
Baik 1 2.3 43 97.7 44 100 <0.00001 0.594
Total 6 11.8 45 88.2 51 100
Kesiapsiagaan
Pelatihan Pemadaman Total
Kurang Baik P-value C
Kebakaran
N % N % N %
Kurang 6 28.6 15 71.4 21 100
Baik 0 0 30 100 30 100 0.003 0.400
Total 6 11.8 45 88.2 51 100
70
Kesiapsiagaan
Sarana Total
Kurang Baik P-value C
Prasarana
N % N % N %
Baik 0 0 25 100 25 100
Total 6 11.8 45 88.2 51 100
dari α artinya ada hubungan antara kedua variabel. Distribusi frekuensi dukungan
rekan kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di
gedung bertingkat Universitas Jember dapat dilihat pada tabel 4.15 berikut:
4.2 Pembahasan
4.2.1 Faktor Predisposisi
a. Karakteristik Responden
1) Umur
Umur ialah usia individu tersebut yang dihitung sejak saat dilahirkan
sampai waktu dimana usia tersebut dihitung. Menurut Mangkunegara (2009)
umur merupakan salah satu faktor yang tidak dapat diabaikan karena dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan lingkungan
kerjanya.
Kategori umur dalam penelitian ini dikategorikan menjadi umur dewasa
yakni 26-45 tahun, dan umur lansia awal untuk responden yang memiliki
umur 46-55 tahun. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini ialah
responden terbanyak memiliki umur pada kategori dewasa yakni berjumlah
38 orang (74.5%), namun beberapa responden juga termasuk dalam kategori
umur lansia awal yakni sebanyak 13 orang (25.5%). Notoatmodjo (2012)
menyatakan, umur seseorang dapat mempengaruhi banyaknya pengalaman
yang dimiliki, hal ini juga berlaku terhadap pembentukan karakter
kesiapsiagaan. Menurut Dharmawati dan Wirata (2016) di umur yang
semakin tua tingkat kematangan dan kekuatan seseorang, akan lebih matang
dalam hal berfikir dan bekerja, namun dalam hal kesiapsiagaan kelompok
umur lansia menurut Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2008 lansia
termasuk ke dalam kelompok rentan. Keterbatasan fsik, daya ingat,
mobilitas fisik, akan mempengaruhi kesiapsiagaan lansia semakin
berkurang.
2) Masa Kerja
Masa kerja ialah kurun waktu atau lamanya tenaga kerja tersebut
bekerja disuatu tempat (Tarwaka, 2010). Masa kerja banyak dikaitkan
dengan pengalaman yang diperoleh. Menurut Notoatmodjo (2012), semakin
lama masa kerja seseorang, semakin banyak pula pengalaman yang
diperoleh. Hal tersebut dapat mempengaruhi sikap, dan persepsi.
74
Pada penelitian ini masa kerja dikategorikan menjadi masa kerja > 10
tahun dan ≤ 10 tahun. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh sebagian besar
responden memiliki masa kerja > 10 tahun yaitu sebanyak 37 orang (72.5%).
Masa kerja yang lama dapat memberikan pengaruh positif dan negatif pada
seseorang. Pengaruh positif masa kerja yang lama ialah dapat memberikan
pengalaman lebih pada seseorang sehingga membuat semakin bertambahnya
pengetahuan dan kemampuan terakait pencegahan bahaya kebakaran,
sedangkan pengaruh negatifnya yaitu semakin rendahnya tingkat
kewaspadaan seseorang karena menganggap sudah berpengalaman dalam
bekerja dan menyepelekan risiko kebakaran.
3) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan diartikan sebagai tinggi rendahnya ketercapaian
seseorang memperoleh suatu pendidikan formal. Pengukuran tingkat
pendidikan dilakukan dari ijazah terakhir yang dimiliki. Menurut Marnisah
(2017) pendidikan formal menjadi salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi tenaga kerja dalam melaksanakan pekerjaan. Pendidikan
formal diharapkan mampu meberikan perbedaan pada keberhasilan tenaga
kerja melakukan pekerjaannya, sebab pendidikan mempengaruhi pola
berfikir seseorang atau tenaga kerja dalam pengambilan keputusan.
Undang-Undang Republik Indonesia no 20 tahun 2003
mengkategorikan tingkat pendidikan menjadi pendidikan menengah untuk
SMA/SMK dan pendidikan tinggi untuk Perguruan Tinggi. Sebagian besar
responden pendidikan formal terakhir yang ditempuh ialah kategori
pendidikan menengah yakni SMA/SMK, dan terdapat beberapa responden
yang memiliki pendidikan formal terakhir kategori pendidikan tinggi yakni
D2, D3, dan S1. Tingkat pendidikan sangat diperlukan oleh pekerja karena
dapat memberikan pengaruh yang positif untuk dirinya sendiri maupun
untuk instansi tempat dia bekerja. Munculnya pengaruh yang positif ini
dikarenakan dengan pendidikan yang memadai tercipta pengetahuan dan
keterampilan pekerja yang lebih luas sehingga pekerja mampu untuk
menyelesaikan masalah yang dihadapi serta dapat meningkatkan kinerjanya
75
besar responden telah mengetahui akibat yang ditimbulkan dari kebakaran, contoh
cara pencegahan kebakaran, peralatan penanggulangan kebakaran berupa APAR
dan Hydrant, sarana penyelamatan jiwa serta tempat berkumpul aman atau muster
point penghuni gedung apabila terjadi kebakaran. Namun, masih banyak
responden yang tidak mengetahui prinsip dari terbentuknya api yakni ketika
bertemunya bahan bakar, sumber panas, dan oksigen. Responden juga masih
banyak yang tidak mengetahui pengertian dari sistem proteksi kebakaran serta
masih ada beberapa responden yang masih memiliki pengetahuan tentang
kebakaran kategori kurang. Hal ini perlu mendapat perhatian sebab dapat
mempengaruhi kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran.
Salah satu kegiatan pokok SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember
yakni melakukan patroli untuk memastikan lingkungan kerjanya bebas dari
ancaman dan gangguan. Berkaitan dengan kegiatan tersebut dibutuhkan
pengetahuan tentang kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas
Jember agar mampu membedakan lingkungan kerjanya telah bebas dari ancaman
dan gangguan atau sedang terdapat ancaman dan gangguan. SATPAM gedung
bertingkat Universitas Jember juga mempunyai kegiatan pokok untuk
memberikan pertolongan dan bantuan penyelamatan pada saat terjadi keadaan
darurat sehingga diperlukan pengetahuan yang berkaitan dengan kebakaran.
Peningkatan pengetahuan responden dapat dilakukan melalui pelatihan
pemadaman kebakaran.
c. Sikap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran
Sikap menurut Notoatmodjo (2012) merupakan suatu respon atau reaksi dari
seseorang yang masih tertutup terhadap objek atau stimulus. Sikap terkait
kesiapsiagaan kebakaran diartikan sebagai respon seseorang berdasarkan perasaan
dan pikirannya tentang hal-hal yang berkaitan dengan pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran. Husna (2012) menyatakan pengetahuan dapat
mempengaruhi terbentuknya sikap yang baik. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
pendidikan kebencanaan yakni untuk mengajari dasar-dasar sikap tanggap dan
responsif terhadap datangnya suatu bencana sehinggap diharapkan mampu
mengurangi risiko yang fatal, karena prinsip dasarnya yakni bukan hanya
77
memahami apa itu bencana tetapi, lebih ke paham bagaimana cara yang dilakukan
untuk menghadapi risiko bencana melalui sikap yang siaga dan responsif sehingga
dapat meminimalisir timbulnya dampak yang lebih parah.
Pengukuran sikap yang digunakan pada penelitian ini yakni pengukuran
sikap secara langsung. Pengukuran sikap secara langsung dilakukan dengan cara
responden diminta untuk memberikan pendapat atau pernyataan terhadap suatu
objek. Hasil penelitian menunjukkan kategori sikap pencegahan penanggulangan
kebakaran responden didominasi oleh kategori sikap baik yakni sebanyak 46
orang (90.2%). Sikap yang dimiliki sebagian besar responden terkait dengan
pencegahan kebakaran seperti ingin mengetahui risiko bahaya kebakaran yang
mungkin terjadi di tempat kerja, tidak bersikap cuek apabila melihat saluran listrik
yang rusak/usang dan alat pemadam api yang rusak. Sebagian besar responden
juga selalu memperhatikan tanda-tanda peringatan bencana yang terpasang di
tempat kerja serta memilih untuk memadamkan api apabila muncul kebakaran
kecil di area tempat kerja. Upaya untuk membentuk sikap pencegahan dan
penanggulangan kebakaran pada responden harus terus dilakukan sebab masih ada
responden yang memiliki sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran
kategori kurang. Hal ini dapat berdampak pada kesiapsiagaan SATPAM dalam
menghadapi kondisi darurat kebakaran.
Sikap dapat menjadi dasar terbentuknya perilaku seseorang. Namun, sikap
bukanlah suatu tindakan (reaksi terbuka) atau aktifitas melainkan sikap hanya
menjadi faktor predisposisi tindakan atau perilaku. Menurut Notoatmodjo (2012)
diperlukan faktor pendukung lainnya atau kondisi yang memungkinkan seperti
tersedianya sarana prasarana dan dukungan dari lingkungan sekitar agar
mewujudkan sikap menjadi tindakan yang nyata.
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember harus memiliki sikap
tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran karena sesuai dengan tugas
pokok SATPAM yakni menyelenggarakan keamanan di lingkungan kerjanya, dan
salah satunya yakni keamanan pada saat terjadi kebakaran. Berdasarkan tata tertib
SATPAM Universitas Jember, salah satu sikap yang harus dimiliki yakni cepat
tanggap (responsive) dalam memberikan perlindungan dan pengamanan. Hal ini
78
sesuai dengan tujuan dari kesiapsiagaan yakni agar mampu merespon kondisi
darurat kebakaran secara cepat.
diperlukan suatu usaha dan kegiatan untuk memantau dan mengetahui kondisi
kesiapsiagaan serta menjaga dan meningkatkan kesiapsiagaan tersebut karena
tingkat kesiapsiagaan dapat menurun setiap saat seiring dengan terjadinya
perubahan dalam kehidupannya. Peningkatan kesiapsiagaan dapat dilakukan
melalui pendidikan dan pelatihan. Upaya peningkatan kesiapsiagaan harus terus
dilakukan sebab masih ada responden yang memiliki kesiapsiagaan kategori
kurang. Kondisi darurat kebakaran dapat terjadi pada lokasi, waktu, situasi yang
tidak dikehendaki dan kepada siapa pun. Satu SATPAM saja apabila memiliki
kesiapsiagaan kurang dapat mempengaruhi proses penanggulangan kebakaran,
sehingga diperlukan kesiapsiagaan yang baik pada setiap individu SATPAM.
Peningkatan kesiapsiagaan juga penting untuk dilakukan karena menurut Efelin
(2018) kesiapsiagaan menjadi tahapan paling strategis dalam suatu manajemen
risiko bencana sebab kesiapsiagaan menentukan bagaimana tingkat ketahanan
anggota masyarakat ketika menghadapi suatu bencana. Menurut Fitriana (2017)
kesiapsiagaan penghuni gedung dalam menghadapi kondisi darurat kebakaran
mempengaruhi keselamatan penghuni gedung dan ikut menentukan keberhasilan
proses pemadaman kebakaran.
Kesiapsiagaan yang baik harus terbentuk pada setiap anggota SATPAM
gedung bertingkat Universitas Jember karena salah satu tugas SATPAM gedung
bertingkat Universitas Jember yakni pengamanan saat terjadi kebakaran.
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember juga memiliki kegiatan untuk
memberikan tanda-tanda bahaya atau keadaan darurat serta memberikan
pertolongan dan bantuan penyelamatan. Pengetahuan serta keterampilan
SATPAM berkaitan dengan kebakaran harus ditingkatkan karena pada standar
operasional prosedur pengamanan bencana alam/kebakaran, langkah pertama
yang harus dilaksanakan SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember dalam
penanggulangan bencana yakni melakukan kegiatan penyuluhan kepada warga
kampus yang rawan bencana agar selalu waspada dan siap siaga dengan cara
melakukan pelatihan simulasi menghadapi bencana.
Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) kebijakan dapat mempengaruhi
kesiapsiagaan masyarakat atau penghuni gedung. Kebijakan dapat mempengaruhi
84
serta terdapat ventilasi berupa pengedali asap. Menuut NFPA 101 pintu daruat
ialah pintu yang langsung menuju tangga darurat dan hanya digunakan saat terjadi
kebakaran. Lampu darurat juga sangat diperlukan saat kondisi darurat kebakaran
karena umumnya listrik di suatu gedung akan dimatikan agar tidak memperparah
kondisi kebakaran atau bahkan telah terjadi gangguan akibat kondisi kebakaran
tersebut. Menurut SNI 03-6574-2000 lampu darurat harus dapat bekerja secara
otomatis dan memiliki tingkat pencahayaan yang memadai untuk evakuasi yang
aman. Titik kumpul juga harus tersedia di setiap bangunan gedung karena
digunakan untuk tempat berkumpul setelah proses evakuasi, dan digunakan untuk
tempat menghitung jumlah anggota penghuni gedung saat terjadi kebakaran. Titik
kumpul menurut NFPA 101 harus aman dari bahaya kebakaran maupun bahaya-
bahaya lainnya.
Kesesuaian dan kehandalan sarana prasarana baik peralatan pemadaman
kebakaran maupun sarana penyelamatan jiwa sangat diperlukan guna menciptakan
kesiapsiagaan yang baik dan mewujudukan keberhasilan proses pemadaman
kebakaran. Penelitian ini ternyata tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nursalekha (2019) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
sarana prasarana dengan kesiapsiagaan penghuni dalam menghadapi kebakaran di
Rusunawa Undip Semarang. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden tidak
bisa membedakan jenis-jenis alat pemadam api serta kegunaannya, sehingga
meskipun tersedia sarana prasarana yang baik belum tentu bisa menciptakan
kesiapsiagaan yang baik.
Sosialisasi maupun penjelasan mengenai tata letak dan kegunaan dari
masing-masing sarana prasarana harus diberikan kepada pekerja khususnya
SATPAM sehingga dalam kondisi darurat kebakaran dapat mempermudah dalam
memanfaatkan sarana prasarana tersebut. Kemudahan untuk menjangkau sarana
prasarana yang tersedia juga sangat mempengaruhi perilaku atau tindakan yang
dilakukan seseorang. Ketika sarana prasarana sulit untuk dijangkau akan
menghambat seseorang dalam melakukan tindakan tertentu, begitu juga
sebaliknya. Dengan demikian, agar tercipta kesiapsiagaan kondisi darurat
kebakaran yang baik diperlukan ketersediaan sarana prasarana yang memadai dan
96
terjangkau serta diperlukan sosialisasi mengenai tata letak dan kegunaan sarana
prasarana tersebut.
4.2.7 Hubungan Faktor Penguat dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
a. Hubungan Dukungan Rekan Kerja dengan Kesiapsiagaan Kondisi Darurat
Kebakaran pada SATPAM di Gedung Bertingkat Universitas Jember
Menurut Lawrence Green dalam teori perubahan perilaku, dukungan rekan
kerja termasuk dalam faktor penguat dimana perilaku dan tindakan rekan kerja
dianggap dapat mempengaruhi sikap seseorang untuk bertindak. Notoatmodjo
(2012) menyatakan rekan kerja dapat menjadi kelompok referensi sehingga
perkataan maupun perbuatannya cenderung untuk dicontoh. Teori-teori ini sejalan
dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara dukungan rekan kerja dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada
SATPAM di gedung bertingkat Universitas Jember. Penelitian yang dilakukan
oleh Kartikawati (2017) pada security juga menunjukkan bahwa ada hubungan
antara dukungan rekan sekerja dengan praktik kesiapsiagaan Security Terminal
Peti Kemas Semarang terkait kebakaran. Variabel dukungan rekan kerja terhadap
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran memiliki keeratan hubungan kategori
lemah, namun tetap harus diciptakan dukungan rekan kerja yang baik sebab
variabel ini memiliki hubungan yang signifikan terhadap pembentukan
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran.
Dukungan yang diberikan oleh rekan kerja akan mengubah sikap seseorang
(reaksi tertutup) menjadi tindakan yang nyata (reaksi terbuka). Menurut teori
Health Belief Model anjuran yang diberikan oleh rekan kerja dapat menjadi
pendorong seseorang untuk bertindak. Fungsi rekan kerja dalam perubahan
perilaku seseorang yakni memberikan informasi, saran, mengingatkan maupun
memberikan ide mengenai berbagai hal mengenai pencegahan dan
penanggulangan kebakaran dengan tujuan akhir yakni bertambahnya pengetahuan
seseorang serta menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan aman.
Interaksi atau hubungan antar pekerja merupakan hal yang penting guna
menciptakan iklim organisasi yang baik (Septiani, 2017). Ketika orang-orang
97
yang ada dalam suatu organisasi mampu berinteraksi dan berhubungan dengan
baik, maka organisasi atau institusi tersebut akan produktif. Interaksi yang baik
antar orang dalam suatu institusi mampu menciptakan motivasi kerja pada setiap
diri individu. Motivasi kerja ini akan berdampak pada kesiapsiagaan, karena pada
akhirnya pekerja akan memiliki motivasi untuk melakukan berbagai tindakan
yang dapat mencegah maupun melakukan penanggulangan kondisi darurat
kebakaran.