Anda di halaman 1dari 31

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran
2.1.1 Definisi Kebakaran
Kebakaran adalah peristiwa atau kejadian timbulnya api yang tidak
terkendali yang dapat membahayakan keselamatan jiwa maupun harta benda
(Peraturan Daerah DKI No. 8 Tahun 2008). Ramli (2010:16) mendefinisikan
kebakaran sebagai api yang tidak terkendali artinya diluar kemampuan manusia
dan keinginan manusia. Kebakaran dapat disimpulkan sebagai suatu nyala api
baik kecil maupun besar pada situasi, waktu, dan lokasi yang tidak dikehendaki,
bersifat sukar dikendalikan dan dapat membahayakan keselamatan jiwa maupun
harta benda.

2.1.2 Penyebab Kebakaran


Menurut Ramli (2010: 6-7) secara umum kebakaran disebabkan oleh dua
faktor yakni:
a. Faktor Manusia
Sebagian besar kejadian kebakaran disebabkan oleh faktor manusia
yang lalai, alpa, tidak peduli dan ceroboh. Contohnya:
1) Membuang puntung rokok secara ceroboh atau sembarangan pada
tempat beradanya benda yang mudah terbakar.
2) Mengganti sekring dengan kawat, menggunakan atau merusak instalansi
listrik, penyambungan dengan cara tidak benar.
3) Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berisiko menimbulkan kebakaran
tanpa melakukan pengamanan yang memadai. Contoh: mengelas bejana
bekas berisi minyak atau bahan mudah terbakar lainnya.
4) Melakukan pekerjaan yang mengandung sumber gas dan api tanpa
mengikuti persyaratan keselamatan. Contoh: mengoperasikan dan
10

mengoplos tabung gas LPG dengan cara yang tidak aman atau memasak
menggunakan LPG secara tidak aman.
b. Faktor Teknis
Faktor teknis juga dapat menyebabkan kebakaran khususnya kondisi
tidak aman dan membahayakan. Contohnya:
1) Kondisi instalansi listrik yang tidak standar atau sudah tua
2) Penempatan bahan mudah terbakar seperti minyak, gas atau kertas yang
berdekatan dengan panas atau sumber api

2.1.3 Teori Kebakaran


Menurut National Fire Protection Association (NFPA) api didefinisikan
sebagai suatu massa zat yang sedang berpijar yang dihasilkan dalam proses kimia
oksidasi yang berlangsung dengan cepat dan disertai pelepasan energi atau panas.
Menurut Ramli (2010:16) teori kebakaran disebut juga teori segitiga api. Teori
segitiga api menyatakan bahwa untuk dapat berlangsungnya proses nyala api
diperlukan tiga unsur pokok pada kesetimbangan tertentu. Tiga unsur pokok
tersebut ialah:
a. Bahan Bakar
Bahan bakar (fuel) adalah unsur bahan bakar baik padat, cair, atau gas yang
dapat terbakar yang bercampur dengan oksigen dari udara
b. Sumber Panas
Panas adalah suatu bentuk energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan
temperatur suatu benda atau bahan bakar sampai ke titik dimana dapat
terjadi penyalaan. Untuk mencapai suhu penyalaan dibutuhkan sumber
panas. Sumber panas dapat berasal dari radiasi matahari, arus listrik, kerja
mekanik, reaksi kimia, rekasi nuklir, dan lain-lain.
c. Oksigen
Kebakaran dapat terjadi apabila prosentasi oksigen di udara paling sedikit
sekitar 16%. Udara merupakan sumber oksigen. Pada atmosfir udara normal
mengandung 21% volume oksigen
11

Kebakaran dapat terjadi apabila ketiga unsur dalam segitiga api


tersebut saling bereaksi satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya salah satu
unsur tersebut maka tidak akan terbentuk api.

2.1.4 Klasifikasi Kebakaran


Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.04/MEN/1980 tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan alat
pemadam api ringan, kebakaran dibagi menjadi 4 golongan, yakni:
a. Golongan A
Kebakaran golongan A adalah kebakaran yang terjadi pada benda-
benda padat kecuali logam. Kebakaran golongan A adalah kebakaran yang
paling sering terjadi pada kehidupan sehari-hari seperti kebakaran bangunan
atau rumah, kayu, kain, hutan, sampah dan sebagainya. Benda padat yang
berperan sebagai bahan bakar harus dalam keadaan kering dan memerlukan
waktu pemanasan sebelum terbakar dimana setiap benda memerlukan waktu
yang berbeda. Bahan pemadam yang dapat digunakan yakni air, uap air,
pasir, busa, CO2, serbuk kimia kering, cairan kimia
b. Golongan B
Kebakaran atau api terjadi pada bahan bakar cair seperti bensin,
minyak tanah, spirtus, solar, avtur. Bahan pemadam yang dapat digunakan
yakni jenis CO2, serbuk kimia kering, dan busa
c. Golongan C
Kebakaran golongan C terjadi pada instalasi listrik bertegangan.
Kebakaran golongan C terjadi pada atau di dekat peralatan bertenaga listrik
dimana harus menggunakan non-konduktif untuk memadamkannya. Bahan
pemadam yang digunakan ialah serbuk kimia kering atau CO2. Jangan
menggunakan bahan pemadam jenis busa atau semprotan air karena
keduanya adalah konduktor listrik yang baik dan akan mengakibatkan
operatornya terkena syok atau akibat listrik.
12

d. Golongan D
Kebakaran golongan D terjadi pada logam mudah terbakar seperti
magnesium, titanium, zirchonium, lithium, potassium, dan sodium. Bahan
pemadam yang dapat digunakan ialah serbuk kimia, sodium klorida, grafit.

2.1.5 Akibat Kebakaran


Berdasarkan Napitupulu dan Dulbert (2015:56-60) kebakaran dapat
mengakibatkan:
a. Kerugian Harta Benda
b. Shock (guncangan) Psikologis
c. Cedera atau Luka
d. Cacat Permanen
e. Kematian atau Korban Jiwa
f. Kerugian Ekonomi
g. Permasalahan Sosial
h. Kerugian Lingkungan

2.1.6 Manajemen Bencana Kebakaran


Ramli (2010:138) manajemen kebakaran dilaksanakan dalam 3 tahapan
yakni pencegahan, penanggulangan kebakaran, dan rehabilitasinya. Pencegahan
dilaksanakan sebelum kebakaran terjadi (pra kebakaran), penanggulangan
dilakukan saat kejadian dan rehabilitasi dijalankan setelah kebakaran (pasca
kebakaran). Tun Lin Moe dan Pathranarakul P (dalam Ulum, C., 2014:13) juga
menyatakan tahapan dalam manajemen bencana terdiri dari tahap pra bencana,
saat bencana dan pasca bencana. Secara umum kegiatan utama dari manajemen
bencana terdiri dari:
a. Pra bencana : Kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan
b. Saat bencana : kegiatan tanggap darurat
c. Pasca bencana : kegiatan pemulihan
13

2.1.7 Standar Operasional Prosedur Penanggulangan Kebakaran dan


Penyelamatan Diri
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (2015) menyatakan yang
perlu dilakukan pada saat terjadi kebakaran yakni penanggulangan kebakaran dan
penyelamatan diri. Tindakan penanggulangan kebakaran dilakukan dengan cara:
a. Menyediakan alat pemadam kebakaran di tempat kerja. Disetiap ruangan
kerja disediakan selimut pemadam (fire blanket).
b. Selimut pemadam dapat diganti dengan karung goni (karung beras yang
terbuat dari serat manila hennep). Basahi terlebih dahulu karung goni
sebelum digunakan untuk memadamkan api.
c. Lakukan panggilan kepada dinas pemadam kebakaran apabila masih
sempat. Letakkan nomor-nomor penting di dekat telephone, atau program
telephone untuk nomor penting. Hal yang perlu diingat bahwa pemadam
kebakaran tidak akan datang dalam waktu singkat, sehingga kemungkinan
api telah berkobar lebih besar.
Prinsip-prinsip yang perlu diingat dalam melakukan penanggulangan kebakaran
yakni, cepat dan tepat, prioritas, keterpaduan dan koordinasi, berdayaguna dan
berhasil guna, kemitraan, pemberdayaan, serta non diskriminatif.
Berikut ini merupakan standar operasional prosedur pengamanan bencana
alam/kebakaran untuk SATPAM Universitas Jember
a. Pengamanan Bencana Alam/Kebakaran
1) Langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam penanggulangan
bencana:
a) Melakukan kegiatan penyuluhan kepada warga kampus yang rawan
bencana agar selalu waspada dan siap siaga dengan cara melakukan
pelatihan simulasi menghadapi bencana.
b) Memberikan bantuan penyampaian informasi/berita dari badan
meteorologi, klimatologi, dan geofisika (BMKG) yang berwenang
untuk diteruskan kepada warga kampus baik melalui jalur
komunikasi yang ada ditingkat Fakultas atau Upt. di Universitas
Jember agar warga kampus dapat melakukan tindakan
14

penyelamatan diri dan langkah antisipasi ketempat yang


diperkirakan lebih aman.
c) Melakukan koordinasi dengan unsur atau instasi terkait untuk
menentukan tempat atau lokasi aman di wilayah tugas masing-
masing sebagai tempat penyelamatan atau evakuasi.
d) Selain tindakan sebagaimana dimaksud, apabila pada saat terjadi
bencana dilokasi dijumpai adanya tindakan kejahatan atau
kriminalitas, maka dilakukan tindakan hukum sesuai ketentuan
yang berlaku.
2) Cara bertindak,
a) Cara bertindak untuk pengamanan lokasi.
(1) Penugasan kepada anggota yang dinilai cakap untuk
melakukan tugas penjagaan dan pengamanan orang dan barang
dilokasi bencana atau kecelakaan.
(2) Membawa peralatan yang diperlukan untuk tugas pengamanan
lokasi yang disesuaikan dengan jenis bencana.
(3) Menjauhkan massa dari daerah berbahaya dan mengamankan
jalur lalu lintas yang digunakan oleh petugas pertolongan atau
evakuasi.
(4) Melarang orang atau kendaraan yang tidak berkepentingan
untuk memasuki lokasi bencana.
(5) Apabila dipandang perlu petugas dapat memasang garis polisi
dengan ijin kepolisian setempat.
(6) Mengawasi dan menindak orang yang mengambil kesempatan
melakukan kejahatan dilokasi bencana (melakukan perekaman
bantuan kegiatan dan pertolongan menggunakan video fisual
bersifat umum maupun khusus atau menonjol).
(7) Melakukan pendataan terhadap identitas dan jumlah korban
bencana atau kecelakaan.
b) Cara bertindak untuk pencarian atau penanggulangan bencana
meliputi:
15

(1) Melakukan pencarian korban terutama yang masih hidup yang


dikhawatirkan masih berada ditempat lokasi becana.
(2) Secepat mungkin melaksanakan evakuasi korbam yang masih
hidup dari lokasi bencana dan menyerahkan kepada petugas
atau tim evakuasi atau instasi terkait lainnya.
(3) Mengutamakan keselamatan jiwa maupun terpaksa harus
merusak barang atau benda lain yang menghalangi tugas.
(4) Mengumpulkan dan mengidentifikasi jenazah bila ditemukan
korban meninggal dunia ditempat yang ditentukan dengan
menggunakan alat peralatan yang ada serta menyerahkannya
kepada petugas atau tim evakuasi yang ada,
(5) Berkoordinasi dengan satuan khusus terkait kendaraan khusus
SAR Polri digunakan untuk mengangkut peralatan dalam
bantuan dan pertolongan, sedangkan kendaraan truk bantuan
taktis Polri dilakukan untuk melakukan evakuasi terhadap para
korban yang ditemukan.
(6) Komandan Satpam selaku penanggung jawab lapangan
melaporkan setiap perkembangan situasi kepada pihak kampus
secara berjenjang.
c) Cara bertindak utnuk evakuasi penanggulangan bencana meliputi:
(1) Menentukan lokasi penampungan untuk evakuasi atau tenda
sementara yang aman atau terbuka sasuai rute yang ditentukan
untuk penampungan korban.
(2) Membantu memberikan P3K pada korban terutama pada
korban yang masih hidup sesuai dengan petunjuk tim kesehatan
lapangan.
(3) Menyerahkan korban pada petugas kesehatan lapangan untuk
mendapatkan pertolongan pertama.
(4) Mengadakan koordinasi dengan unsur pendukung dan instasi
terkait lainnya dalam pelaksanaan evakuasi.
16

(5) Melakukan evakuasi korban yang dalam keadaan kritis dan


perlu mendapatkan pertolongan lanjutan segera.
(6) Dalam pelaksanaan tugas tetap memperhatikan petunjuk dari
pihak kampus selama pelaksanaan evakuasi.
d) Manajemen penganggulangan bencana ini dapat dioprasionalkan
sebelum pemerintah menyatakan “status keadaan darurat bencana”.

2.2 Kesiapsiagaan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2007
kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan
berdaya guna. Kesiapsiagaan ditujukan untuk memastikan upaya yang cepat dan
tepat dalam menghadapi kejadian bencana. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun
2008 menyatakan salah satu cara untuk meningkatkan kesiapsiagaan yakni
melalui pendidikan dan pelatihan. Menurut Efelin (2018) kesiapsiagaan
merupakan tahapan paling strategis dalam manajemen risiko bencana karena
menentukan bagaimana ketahanan anggota masyarakat dalam menghadapi suatu
bencana.
Kesiapsiagaan bersifat dinamis. Tingkat kesiapsiagaan suatu komunitas
dapat menurun setiap saat seiring terjadinya perubahan dalam kehidupannya.
Karena itu diperlukan kegiatan untuk memantau dan mengetahui kondisi
kesiapsiagaan suatu masyarakat dan melakukan usaha untuk menjaga dan
meningkatkan kesiapsiagaan tersebut (Sopaheluwakan dkk., 2006). Menurut
Hidayati (2017) untuk mengkaji tingkat kesiapsiagaan diperlukan suatu alat ukur.
Alat ukur ini merupakan instrumen yang didesain dalam bentuk daftar pertanyaan
tertutup (kuesioner).
Kesiapsiagaan yang baik harus terbentuk pada setiap anggota SATPAM
gedung bertingkat Universitas Jember karena salah satu tugas SATPAM gedung
bertingkat Universitas Jember yakni pengamanan saat terjadi kebakaran.
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember juga memiliki kegiatan untuk
17

memberikan tanda-tanda bahaya atau keadaan darurat serta memberikan


pertolongan dan bantuan penyelamatan. Pengetahuan serta keterampilan
SATPAM berkaitan dengan kebakaran harus ditingkatkan karena pada standar
operasional prosedur pengamanan bencana alam/kebakaran, langkah pertama
yang harus dilaksanakan SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember dalam
penanggulangan bencana yakni melakukan kegiatan penyuluhan kepada warga
kampus yang rawan bencana agar selalu waspada dan siap siaga dengan cara
melakukan pelatihan simulasi menghadapi bencana. Berkaitan dengan berbagai
hal tersebut maka diperlukan kesiapsiagaan SATPAM gedung bertingkat
Universitas Jember dalam menghadapi kondisi darurat kebakaran. Menurut LIPI-
UNESCO/ISDR (2006) parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat kesiapsiagaan yakni terdiri dari pengetahuan dan sikap, rencana tanggap
darurat, sistem peringatan bencana, dan mobilisasi sumber daya.

2.3 SATPAM
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 24 Tahun 2007 menyatakan
Satuan Pengamanan (SATPAM) adalah satuan atau kelompok petugas yang
dibentuk oleh instansi/badan usaha untuk melaksanakan pengamanan dalam
rangka menyelenggarakan keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya. Tugas
pokok SATPAM ialah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di
lingkungan/tempat kerjanya yang meliputi aspek pengamanan fisik, personel,
informasi dan pengamanan teknis lainnya. SATPAM, berfungsi untuk melindungi
dan mengayomi lingkungan/tempat kerjanya dari setiap gangguan keamanan, serta
menegakkan peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan kerjanya.
SATPAM merupakan personil yang terdapat dalam sistem manajemen
pengamanan. Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 24 Tahun
2007 sistem manajemen pengamanan adalah bagian dari manajemen secara
keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab,
pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi
pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan
18

pengamanan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan


usaha guna mewujudkan lingkungan yang aman, efisien dan produktif. Salah satu
unsur yang terdapat dalam standar dan penerapan sistem manajemen pengamanan
pada organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah adalah
penanganan keadaan darurat. SATPAM dituntut untuk dapat bisa melakukan
penanganan apabila terjadi keadaaan darurat dikarenakan SATPAM merupakan
personil dari sistem manajemen pengamanan.
Berikut ini merupakan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember:
a. Tugas Pokok SATPAM
Menyelenggarakan ketertiban dan keamanan di lingkungan kerja
b. Fungsi SATPAM
Segala usaha dan kegiatan melindungi dan mengamankan lingkungan kerja
dan sekitarnya dari setiap gangguan keamanan dan ketertiban serta
pelanggaran hukum
c. Bentuk Pengamanan
1) Pengaturan berlalu lintas
2) Pengamanan tamu
3) Pengamanan kegiatan dalam kampus
Terdiri dari:
a) Pengamanan kendaraan bermotor
b) Pengamanan unjuk rasa
c) Pengamanan bencana alam/kebakaran
d) Pengamanan tindak pelaku kejahatan
d. Kegiatan Pokok SATPAM
1) Mengadakan peraturan dengan maksut menegakkan tata tertib yang
berlaku di lingkungan Universitas Jember
2) Melaksanakan penjagaan dengan maksut mengawasi keadaan atau hal-
hal yang mencurigakan di sekitar lingkungan Universitas Jember
3) Melakukan patroli sekitar kawasan kerjanya menurut rute dan waktu
yang ditentukan dengan maksut mengadakan penelitian dan
19

pemeriksaan terhadap segala sesuatu yang tidak wajar dan tidak pada
tempatnya yang dapat atau diperkirakan menimbulkan ancaman atau
gangguan serta mengatur kelancaran lalu lintas diluar kawasan atau
sekitar lingkungan Universitas Jember
4) Mengambil langkah-langkah dan tindakan sementara bila terjadi tindak
pidana
5) Memberikan tanda-tanda bahaya atau keadaan darurat melalui alat-alat
alarm atau kejadian lain yang membahayakan jiwa, harta benda, dan
lingkungan Universitas Jember serta memberikan pertolongan dan
bantuan penyelamatan
e. Sikap tampak dan perilaku anggota SATPAM
1) Anggota SATPAM diwajibkan menjaga kebersihan badan dan pakaian
2) Bertindak sopan, ramah tetapi tetap tegas, luhur, berani adil, dan
bijaksana
3) Ulet, tabah, sabar, dan percaya diri dalam mengemban tugas
4) Memegang teguh rahasia yang dipercayakan kepadanya
5) Cepat tanggap (responsive) dalam memberikan perlindungan dan
pengamanan
6) Mentaati peraturan dan menghormati norma yang berlaku di lingkungan
kerja
7) Dilarang bersikap acuh tak acuh, tidak sopan baik kepada tamu,
penghuni maupun masyarakat sekitarnya
8) Dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang bersih, aman,
nyaman, dan tentram
f. Pelatihan SATPAM
1) Memberikan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan
pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan bagi anggota SATPAM
guna melaksanakan tugas dan untuk menuju profesionalisme
2) Pendidikan dan pelatihan dilaksanakan secara berjenjang dan berlanjut
yang pelaksanaannya pada setiap triwulan pada setiap tahunnya
20

3) Pelatihan yang berkaitan dengan pengamanan dan kebakaran


dilaksanakan pada triwulan II. Pelatihan pada triwulan II terdiri dari:
a) Pengetahuan tentang pengamanan
b) Mengenai alat-alat pemadam kebakaran
c) Pencegahan dan penanggulangan kebakaran
d) Pengetahuan tentang bahaya teroris dan ancaman bom
e) Pengetahuan tentang P3K
f) Pengetahuan tentang tempat kejadian perkara
Parameter yang digunakan untuk mengetahui kesiapsiagaan SATPAM
mengadopsi dari parameter yang dibuat oleh LIPI-UNESCO/ISDR (2006) serta
standar minimum kesiapsiagaan masyarakat yang ditentukan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Parameter tersebut terdiri dari:
a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan faktor kunci kesiapsiagaan. Indikator dari
pengetahuan yang harus dimiliki oleh individu meliputi pengetahuan
tentang kebakaran, penyebab terjadinya kebakaran, dampak yang
diakibatkan oleh kebakaran pada gedung bertingkat, letak sarana prasarana
yang digunakan untuk penanggulangan kebakaran. Pengetahuan tentang hal-
hal yang berkaitan dengan kebakaran harus dimiliki oleh anggota SATPAM
gedung bertingkat Universitas Jember sesuai dengan kegiatan pokok
SATPAM yakni melakukan patroli untuk memastikan lingkungan kerjanya
bebas dari ancaman dan gangguan sehingga perlunya pengetahuan tentang
kebakaran, penyebab dan dampak dari kebakaran agar mampu menjalankan
kegiatan pokok tersebut dengan baik. SATPAM gedung bertingkat
Universitas Jember juga harus memiliki pengetahuan tentang tindakan yang
dilakukan ketika terjadi kebakaran karena salah satu kegiatan pokok
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember yakni memberikan
pertolongan dan bantuan penyelamatan pada saat terjadi keadaan darurat.
b. Sikap
Pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi sikap dalam
mengantisipasi suatu bencana. LIPI-UNESCO/ISDR (2006) menjelaskan
21

bahwa pengetahuan yang dimiliki suatu individu dapat mempengaruhi sikap


serta kepedulian suatu kelompok untuk siap siaga dalam menghadapi suatu
ancaman bencana. Indikator sikap dalam hal ini yakni memiliki motivasi
untuk melakukan tindakan penyelamatan dan penanggulangan kebakaran.
Sikap tersebut harus ada pada setiap individu SATPAM gedung bertingkat
Universitas Jember karena sesuai dengan tugas pokok SATPAM yakni
menyelenggarakan keamanan di lingkungan kerjanya, dan salah satunya
yakni keamanan pada saat terjadi kebakaran. Berdasarkan tata tertib
SATPAM Universitas Jember, salah satu sikap yang harus dimiliki yakni
cepat tanggap (responsive) dalam memberikan perlindungan dan
pengamanan. Hal ini sesuai dengan tujuan dari kesiapsiagaan yakni agar
mampu merespon kondisi darurat kebakaran secara cepat.
c. Rencana tanggap darurat
Rencana tanggap darurat merupakan suatu rencana yang dimiliki
oleh individu atau masyarakat dalam menghadapi keadaan darurat disuatu
tempat akibat terjadinya bencana. Rencana tanggap darurat berhubungan
dengan evakuasi, pertolongan, penyelamatan. Indikator rencana tanggap
darurat terdiri dari beberapa komponen yakni adanya rencana atau prosedur
untuk memberikan pertolongan kepada penghuni gedung, melakukan
evakuasi, tersedianya alat komunikasi dan nomor telepon penting seperti
pemadam kebakaran. Rencana tanggap darurat harus ada pada setiap lokasi
kerja agar mampu mengahadapi kondisi darurat secara cepat dan tepat.
SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember telah memiliki rencana
tanggap darurat yakni berupa standar operasional prosedur untuk
pengamanan bencana alam/kebakaran.
d. Sistem peringatan bencana
Sistem peringatan bencana ditujukan untuk memberitahu pada
pengguna gedung bahwa dalam waktu yang singkat akan terjadi ancaman
bencana agar pengguna gedung bisa menyelamatkan diri ke tempat yang
lebih aman. Indikator dari sistem peringatan bencana yakni mengetahui
22

adanya sistem peringatan bencana di dalam gedung dan langkah apa yang
dilakukan bila alarm/sirine tanda peringatan bencana berbunyi.
Sistem peringatan bencana sangat diperlukan untuk menunjang
kegiatan pokok SATPAM gedung bertingkat Universitas Jember yakni
memberikan tanda-tanda bahaya atau keadaan darurat melalui alat-alat
alarm atau kejadian lain yang membahayakan jiwa, harta benda, dan
lingkungan Universitas Jember serta memberikan pertolongan dan bantuan
penyelamatan. Berkaitan dengan hal tersebut maka dibutuhkan sistem
peringatan bencana pada setiap lokasi kerja SATPAM gedung bertingkat
Universitas Jember serta pengetahuan mengenai tindakan apa yang harus
dilakukan ketika mendengar sistem peringatan bencana berbunyi agar
mampu memberikan pertolongan dan bantuan penyelamatan.
e. Mobilisasi sumber daya
Indikator mobilisasi sumberdaya meliputi keikutsertaan SATPAM
dalam pertemuan, seminar, atau pelatihan kesiapsiagaan bencana, atau
adanya pengetahuan SATPAM yang berkaitan dengan kesiapsiagaan.
Indikator ini sesuai dengan tujuan kegiatan pelatihan SATPAM gedung
bertingkat Universitas Jember yakni untuk meningkatkan kemampuan dan
keterampilan bagi anggota SATPAM guna melaksanakan tugas dan menuju
profesionalisme. Pelatihan yang berkaitan dengan kebakaran terdiri dari
pengetahuan tentang pengamanan, mengenal alat-alat pemadam kebakaran,
pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pengetahuan tentang P3K.
Penelitian yang dilakukan oleh Kartikawati, T (2017:5) security atau
SATPAM pada Terminal Peti Kemas Semarang merupakan anggota dari unit
penanggulangan kebakaran dan pada keadaan darurat bertugas untuk mensterilkan
jalur, koordinasi, dan membantu pemadaman jika terjadi kebakaran. Utami
(2019:7) dalam penelitiannya menyatakan, apabila terjadi keadaan darurat
kebakaran petugas keamanan atau SATPAM di pusat perbelanjaan Golden Market
Jember bertugas untuk melakukan penanganan di lapangan. SATPAM
mempunyai peran penting dalam penanggulangan suatu peristiwa kebakaran
23

sehingga, diperlukan kesiapan dan kemampuan para SATPAM apabila sewaktu-


waktu terjadi keadaan darurat kebakaran.

2.4 Universitas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 menyatakan
univeristas merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan
akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai
rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi dan jika memenuhi syarat,
universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020
bangunan yang digunakan untuk perguruan tinggi harus memenuhi persyaratan
keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan, serta dilengkapi dengan
instalasi listrik yang berdaya memadai dan instalasi, baik limbah domestik
maupun limbah khusus, apabila diperlukan. Perguruan tinggi memiliki berbagai
ruangan yang digunakan untuk prasarana pembelajaran. Standar prasarana yang
ada di perguruan tinggi menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 terdiri diri lahan, ruang kelas,
perpustakaan, laboratorium/studio/bengkel kerja/unit produksi, tempat
berolahraga, ruang untuk berkesenian, ruang unit kegiatan mahasiswa, ruang
pimpinan perguruan tinggi, ruang dosen, ruang tata usaha, dan fasilitas umum
yang meliputi jalan, air, listrik, jaringan komunikasi suara, dan data
Hasil penelitian tentang penilaian risiko kebakaran gedung bertingkat di
Kampus I Universitas Muhammadiyah Semarang menunjukkan, kategori risiko
kebakaran tergolong risiko extreme. Risiko kebakaran di gedung universitas
diakibatkan oleh berbagai potensi-potensi penyebab kebakaran. Menurut
penelitian Fatra (2015) yang dilakukan di Kampus I Universitas Muhammadiyah
Surakarta menyatakan potensi kebakaran di lingkungan Kampus I berasal dari
listrik, Gas LPG dan Bahan Kimia. Sumber penyebab kebakaran lainnya menurut
Kurniawan (2014) berasal dari arsip-arsip dosen, buku-buku di dalam
24

perpustakaan, instalansi listrik di setiap ruang gedung, bahan kimia di dalam


laboratorium.
Pengendalian terhadap risiko kebakaran di universitas dapat dilakukan sejak
dini (Dede, 2018). Kegiatan pengendalian dapat dilakukan melalui pemeriksaan
secara rutin dan berkala setahun sekali terhadap jaringan listrik, sarana prasarana
ruangan, menempatkan bahan-bahan mudah terbakar seminimal mungkin,
menyediakan perlengkapan seperti ceklist untuk mengetahui potensi bahaya
kebakaran, menyediakan sumber daya manusia, personil, dan lembaga dari
internal untuk melakukan pemantauan sumber bahaya termasuk melakukan
pemantauan SOP terhadap pengendalian bahaya kebakaran.
Universitas Jember memiliki jumlah dosen tetap sebanyak 1,196 orang,
jumlah mahasiswa 33,231 berdasarkan dara Ristekdikti 2019 dan merupakan
universitas dengan jumlah dosen tetap dan mahasiswa terbanyak di kota Jember.
Dalam rangka meningkatkan mutu perguruan tinggi, Universitas Jember terus
melakukan pembangunan sarana prasarana termasuk pembangunan fasilitas
gedung yang terdiri dari gedung science policy and communication, auditorium,
dan gedung-gedung lainnya. Hal ini menyebabkan semakin tingginya risiko
kebakaran yang ada di gedung-gedung Universitas Jember karena semakin banyak
faktor penyebab kebakaran seperti konsleting listrik, arsip-arsip dosen dan lain-
lain. Ketika terjadi kebakaran, Universitas Jember akan mengalami kerugian yang
lebih besar dibandingkan universitas lainnya di kota Jember karena banyaknya
jumlah dosen tetap, mahasiswa, dan berbagai sarana-prasarana yang ada di
lingkungan Universitas Jember.
Jumlah SATPAM Universitas Jember yakni 151 orang. Keseluruhan
SATPAM tersebut bertugas di masing-masing fakultas, pos jaga, UPT
Perpustakaan, Kantor Pusat-Rektorat, dan berbagai gedung-gedung lainnya.
SATPAM Universitas Jember yang hanya bertugas di gedung bertingkat
berjumlah 103 orang. Lama jam kerja SATPAM yakni 8 jam sehari, dengan 3
shift kerja yaitu shift pagi, siang, dan malam.
25

2.5 Teori Lawrence Green


Green (1980) menyatakan perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor
pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor di luar perilaku (non-
behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari
tiga faktor (Notoatmodjo, 2012:194)
a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor predisposisi adalah faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya perilaku seseorang (Maulana, 2012:226). Faktor ini terdiri dari:
1) Karakteristik individu
Karakteristik individu terdiri dari:
a) Umur
Umur adalah usia individu tersebut yang dihitung sejak saat
lahir sampai waktu dimana usia tersebut dihitung. Umur dapat
mempengaruhi kondisi fisik, mental, kemampuan kerja, dan
tanggung jawab sehingga harus mendapatkan perhatian. Menurut
Dharmawati dan Wirata (2016) di umur yang semakin tua, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam
berfikir dan bekerja. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
tahun 2009 mengkategorikan umur menjadi:
(1) Masa balita : 0-5 tahun
(2) Masa kanak-kanak : 6-11 tahun
(3) Masa remaja Awal :12-1 6 tahun
(4) Masa remaja Akhir :17-25 tahun
(5) Masa dewasa Awal :26- 35 tahun
(6) Masa dewasa Akhir :36- 45 tahun
(7) Masa Lansia Awal :46- 55 tahun
(8) Masa Lansia Akhir :56 – 65 tahun
(9) Masa Manula :65-sampai atas
Notoatmodjo (2012) menyatakan, semakin tua seseorang
semakin banyak pengalaman yang dimiliki. Hal ini juga akan
berlaku terhadap pembentukan karakter kesiapsiagaan. Menurut
26

peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2008, lansia termasuk


kedalam kelompok rentan. Keterbatasan fsik, daya ingat, mobilitas
fisik, akan mempengaruhi kesiapsiagaan lansia semakin berkurang.
b) Masa Kerja
Tarwaka (2010) menyatakan masa kerja adalah suatu kurun
waktu atau lamanya tenaga kerja itu bekerja disuatu tempat. Masa
kerja dapat berkaitan dengan pengalaman seseorang akan
pekerjaannya. Masa kerja menurut Budiono (2003) dikategorikan
menjadi dua. Yakni:
(1) ≤ 10 tahun
(2) > 10 tahun
Masa kerja yang lebih lama akan memiliki lebih banyak pengalaman
dan keterampilan yang lebih baik dalam menyelesaikan
pekerjaannya.
c) Tingkat Pendidikan
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pendidikan
adalah usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan, yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan
negara. Tingkat pendidikan adalah tinggi rendahnya ketercapaian
seseorang memperoleh pendidikan formal. Menurut UU Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 pendidikan seseorang dikategorikan
menjadi:
(1) Pendidikan dasar : SD-SMP
(2) Pendidikan menengah : SMA/SMK
(3) Pendidikan tinggi : Perguruan tinggi
Pendidikan mempengaruhi proses belajar seseorang, semakin tinggi
pendidikan maka akan semakin mudah orang tersebut menerima
informasi sehingga dapat meningkatkan kesiapsiagaan.
27

2) Pengetahuan
a) Definisi
Pengetahuan didapatkan setelah orang mengadakan
penginderaan terhadap objek tertentu dan merupakan hasil dari
“tahu”. Menurut Notoatmodjo (2012:138), pengetahuan adalah hasil
dari penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap suatu
objek dari indra yang dimilikinya. Manusia melakukan melalui
seluruh panca indra yang dimiliknya, yakni indra penglihatan, indra
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,
2012:138).
b) Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan menjadi domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan semakin langgeng dibandingkan dengan perilaku
yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut Notoadmodjo
(2012:138-140) pengetahuan terdiri dari 6 tingkat yaitu:
(1) Tahu (Know)
(2) Memahami (Comprehension)
(3) Aplikasi (Application)
(4) Analisis (Analysis)
(5) Sintesis (Synthesis)
(6) Evaluasi (Evaluation)
c) Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan melalui
wawancara menggunakan kuesioner yang menanyakan tentang isi
materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden.
Budiman dan Riyanto (2013) mengelompokkan tingkat
pengetahuan untuk responden masyarakat umum menjadi dua
kelompok yakni :
(1) Tingkat pengetahuan kategori baik : > 50%
28

(2) Tingkat pengetahuan kategori kurang baik : ≤ 50%


3) Sikap (Attitude)
Notoatmodjo (2012:140) menyatakan sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, yang
menjadi predisposisi tindakan suatu perilaku, bukan pelaksanaan motif
tertentu (Notoatmodjo, 2002:140). Sikap dapat menjadi dasar kepada
orang tersebut untuk membuat respon atau berperilaku dalam cara yang
dipilihnya. Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yakni:
a) Menerima (Receiving)
Menerima berarti orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek). Contoh, sikap orang terhadap gizi dapat
dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-
ceramah tentang gizi.
b) Merespons (Responding)
Merespon diartikan sebagai memberikan jawaban apabila ditanya,
mengerjakan, menyelesaikan tugas yang diberikan dan hal ini
menjadi suatu indikasi dari sikap.
c) Menghargai (Valuing)
Menghargai diartikan sebagai mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga.
d) Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan
segala risiko merupakan tingkatan sikap yang paling tinggi.
Notoatmodjo (2012:142), pengukuran sikap dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Pengukuran sikap secara langsung
dapat dilakukan melalui menanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek.
b. Faktor Pemungkin (Enabling Factor)
29

Faktor pemungkin adalah faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku.


Hal ini berupa tersedianya sarana-sarana keselamatan, pemberian pelatihan guna
meningkatkan keterampilan, adanya komitmen atau peraturan, rencana tanggap
darurat. Berikut ini merupakan faktor pemungkin terbentuknya kesiapsiagaan
kondisi darurat kebakaran:
1) Pelatihan
Goldstsein dan Gressner (1988) dalam Kamil (2010)
mendefinisikan pelatihan adalah usaha sistematis untuk menguasai
keterampilan, peraturan, konsep, ataupun cara berperilaku yang
berdampak pada peningkatan kinerja. Dearden (1984) dalam Kamil
(2010) menyatakan pelatihan pada dasarnya meliputi proses belajar
mengajar dan latihan bertujuan untuk mencapai tingkatan kompetensi
tertentu atau efisiensi kerja.
Pelatihan pegawai yang berkepentingan terhadap penanggulangan
kebakaran tidak boleh luput dari perhatian (Napitupulu dan Dulbert,
2015:99). Para pegawai harus menerima instruksi bagaimana
menghidupkan alarm tanda bahaya bila mereka menemukan kebakaran,
serta mereka yang memberi peringatan kebakaran kepada penghuni.
Menurut Napitupulu dan Dulbert (2015:100) pelatihan-pelatihan yang
dilaksanakan memberi pengetahuan tentang:
1) Pencegahan kebakaran secara umum
2) Tindakan yang diambil pada waktu mendengarkan alarm dan
menemukan api
3) Metode yang benar dalam memanggil pasukan pemadam
4) Lokasi, kegunaan dan penggunaan peralatan pemadam
5) Rute penyelamatan
6) Prosedur evakuasi
Pelatihan pemadaman kebakaran adalah proses sistematis
mengubah tingkah laku pekerja untuk dapat melakukan tindakan
penanggulangan jika terjadi kebakaran. Menurut Fitriana (2017)
pelatihan berkaitan dengan keahlian dan kemampuan karyawan dalam
30

melaksanakan tindakan penanggulangan kebakaran saat ini. Pelatihan


juga bertujuan untuk menciptakan kesiapsiagaan anggota tim
penanggulangan kebakaran dalam menghadapi kebakaran agar mampu
bekerja secara efektif dan efisien. Pelatihan pemadaman kebakaran
merupakan bentuk kepedulian perusahaannya akan karyawannya dalam
meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bahaya kebakaran (Fitriana,
2017). Menurut Fitriani (2019), pelatihan pemadaman kebakaran
sebaiknya dilakukan rutin 1 kali dalan setahun karena jika tidak
dilaksanakan secara rutin, pekerja bisa jadi lupa tentang materi pelatihan
contohnya praktik penggunaan APAR
2) Sarana Prasarana
Keberhasilan upaya penanggulangan kebakaran akan bergantung
pada ketersediaan sarana prasarana penanggulangan kebakaran yang
memadai. Menurut Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor
11 Tahun 2000 prasarana penanggulangan bahaya kebakaran ditekankan
pada:
a) Cukup tersedianya sumber air sehingga memudahkan pemadaman
api apabila terjadi kebakaran
b) Jalan evakuasi yang terdapat dalam bangunan tidak terhalang
sehingga apabila terjadi keadaan darurat dapat dilakukan evakuasi
tanpa hambatan
c) Tersedianya akses mobil pemadam kebakaran yang cukup sehingga
memudahkan mobil pemadam kebakaran bersirkulasi tanpa
hambatan
d) Alat komunikasi internal di dalam bangunan berfungsi dengan baik
seperti telepon kebakaran (fire telephone), PABX, dan PA (Public
Addres)
Sarana penanggulangan kebakaran terdiri dari sistem deteksi dan
alarm kebakaran, serta sistem pemadam kebakaran. Sistem pemadam
kebakaran dalam bangunan gedung terdiri dari Alat Pemadam Api
31

Ringan (APAR), sistem hydran kebakaran, sistem sprinkler kebakaran,


sistem pengendalian asap, dan lain-lain.
3) Komitmen atau Peraturan
Komitmen adalah tekad atau kesanggupan dari pimpinan puncak
yang dituangkan secara tertulis dengan singkat biasanya berisi kebijakan
dan sasaran manajemen. Komitmen dari pimpinan puncak merupakan
hal yang paling penting dalam terlaksananya manajemen
penanggulangan kebakaran. Program pengendalian dan penanggulangan
kebakaran dalam organisasi atau perusahaan seharusnya merupakan
kebijakan manajemen (Ramli, 2010: 141). Pihak manajemenlah
sesungguhnya yang berkepentingan dengan upaya pencegahan
kebakaran karena apabila terjadi kebakaran, manajemenlah pihak yang
paling menanggung akibat besar. Oleh karena itu, program pencegahan
kebakaran dalam organisasi atau perusahaan harus merupakan keinginan
dan sekaligus kebijakan manajemen (Ramli, 2010:141).
Kebijakan menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) dapat
mempengaruhi kesiapsiagaan masyarakat. Kebijakan dapat
mempengaruhi pengetahuan tentang kebakaran dan tindakan untuk
menyelamatkan dari bencana. Kebijakan juga berpengaruh terhadap
rencana tanggap darurat, peringatan dini bencana, dan mobilisasi sumber
daya. Kebijakan merupakan bentuk komitmen perusahaan dalam
menciptakan lingkungan kerja yang aman, efektif, dan produktif atau
bentuk pelaksanaan SMK3 di perusahaan. Langkah pertama dalam
menerapkan SMK3 menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 50 tahun
2012 yakni penetapan kebijakan K3 yang disahkan oleh pucuk pimpinan
perusahaan, tertulis, tertanggal, dan ditanda tangani. Bentuk kebijakan
K3 salah satunya yakni berkaitan dengan kebijakan tentang pencegahan
dan penanggulangan kondisi darurat kebakaran. Untuk melaksanakan
kebijakan tersebut, pengusaha dan/atau pengurus harus menyediakan
anggaran, tenaga kerja yang berkualitas dan sarana-sarana lain yang
diperlukan di bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta
32

menetapkan personil yang mempunyai tanggung jawab, wewenang dan


kewajiban yang jelas dalam penanganan kondisi darurat kebakaran.
Penetapan personil tersebut dapat dilakukan melalui pembentukan tim
penanggulangan kebakaran.
4) Rencana Tanggap Darurat
Rencana tanggap darurat akan melindungi kesehatan, keselamatan,
dan kehidupan masyarakat/pekerja di tempat kerja (Sholihah, Q.,
2018:74). Rencana tanggap darurat juga akan meminimalkan kerugian
bisnis yang terkait merusak lingkungan dan properti. Menurut Molla et
al., (dalam Sholihah, Q., 2018:75), rencana tanggap darurat harus
mencakup:
a) Identifikasi potensi keadaan darurat yang didasarkan pada penilaian
bahaya
b) Prosedur yang digunakan untuk menangani keadaan darurat yang
teridentifikasi
c) Identifikasi lokasi dan prosedur operasional untuk peralatan darurat
d) Persyaratan pelatihan tanggap darurat
e) Lokasi dan penggunaan fasilitas darurat
f) Persyaratan alarm dan komunikasi darurat
g) Layanan pertolongan pertama yang dibutuhkan saat keadaan darurat
h) Prosedur penyelamatan dan evakuasi
i) Melakukan latihan secara teratur
j) Petugas yang ditunjuk untuk penyelamatan dan evakuasi
c. Faktor Penguat (Reinforcing Factor)
Faktor penguat adalah faktor yang memperkuat terjadinya perilaku.
Faktor ini meliputi sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan
tokoh masyarakat (Maulana, 2012:227).
Beberapa faktor penguat yang kemungkinan dapat memperkuat
terjadinya perilaku kesiapsiagaan ialah:
1) Dukungan Rekan Kerja
33

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Suharso dan


Retnoningsih, 2005:417) rekan kerja adalah orang yang mempunyai
hubungan timbal balik dalam satu tempat kerja. Dukungan rekan kerja
merupakan salah satu bentuk dukungan sosial yang ada di lingkungan
kerja. Menurut Albrecht dan Adelman (dalam Mattson’s, 2011:182)
dukungan sosial adalah komunikasi verbal atau non verbal antara
penerima dan pemberi yang mengurangi ketidaktentuan tentang situasi,
diri, atau hubungan dan berfungsi meningkatkan nilai persepsi dan
sebagai kontrol dalam pengalaman hidup seseorang. Gottlieb (dalam
Mattson’s, 2011:183) menyatakan dukungan sosial yang diberikan oleh
orang lain atau didapat karena hubungan mereka dengan lingkungan
mempunyai manfaat emosional atau efek perilaku bagi dirinya.
2) Pengawasan Petugas K3
Pengawasan ialah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan
pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang
diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan. Pengawasan
merupakan bagian dari proses pengendalian yang merupakan tindak
lanjut follow up kegiatan implementasi untuk memastikan agar
pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana dan waktu yang telah
disiapkan (Fitriana, 2017). Tujuan dari pengawasan antara lain untuk
meningkatkan hasil kegiatan, terpeliharanya kelancaran pelaksanaan
dan dikenalinya masalah oleh petugas.
3) Pimpinan Perusahaan
Pimpinan perusahaan atau top management mempunyai peranan
penting dalam terciptanya budaya keselamatan di tempat kerja. Menurut
Astuti (2010:35) terciptanya budaya keselamatan di tempat kerja dapat
dilakukan melalui pembuatan kebijakan keselamatan organisasi,
dikomunikasikan dengan jelas oleh pimpinan kepada pekerja diberbagai
kesempatan yang ada secara konsisten. Apabila tercipta budaya
keselamatan yang baik, maka akan mengurangi timbulnya kecelakaan
maupun bencana termasuk bencana kebakaran.
34

4) Tim Penanggulangan Kebakaran


Tim penanggulangan kebakaran atau regu penanggulangan
kebakaran menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik
Indonesia Nomor 186 tahun 1999 adalah satuan tugas yang mempunyai
tugas khusus fungsional di bidang penanggulangan kebakaran. Tim
penanggulangan kebakaran dibentuk oleh pemilik/pengelola bangunan
gedung. Pembentukan tim penanggulangan kebakaran berdasarkan surat
keputusan perusahaan yang tembusannya disampaikan kepada instansi
pemadam kebakaran setempat, serta diumumkan kepada seluruh
penghuni/penyewa bangunan. Jumlah minimal anggota tim
penanggulangan kebakaran didasarkan pada jumlah penghuni/penyewa
dan jenis bahan berbahaya atau bahan mudah meledak yang disimpan
dalam gedung tersebut. Setiap 10 karyawan atau pengguna bangunan
diwajibkan menujuk satu orang untk menjadi anggota kelompok dalam
tim penanggulangan kebakaran.
35

2.6 Kerangka Teori


Manajemen Bencana

Pra Saat Pasca

Faktor Predisposisi:
1. Karakteristik Responden
(Umur, Masa Kerja,
Tingkat Pendidikan)
2. Pengetahuan Respon
3. Sikap (Tanggap Pemulihan
Mitigasi Kesiapsiagaan
Faktor Pemungkin: Darurat)
1. Pelatihan
2. Sarana Prasarana
3. Komitmen, Peraturan
4. Rencana Tanggap
Darurat

Faktor Penguat:
1. Dukungan Rekan Kerja
2. Pengawasan Petugas K3
3. Pemimpin Perusahaan
4. Tim Penanggulangan
Kebakaran

Berkurangnya Korban Nyawa dan Kerugian Harta Benda, Masyarakat Tahan dan Tangguh dalam Menghadapi Bnecana, Korban dapat
Terselamatkan dengan Cepat dan Tepat, Pemulihan Pasca Bencana dapat Dilakukan dengan Cepat

Gambar 2.1 Kerangka Teori Modifikasi Tun Lin Moe dan Pathranarakul P (2006), Ramli (2010), Lawrence Green (1980), Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, LIPI-UNESCO/ISDR (2006), dan Khambali (2017)
36

2.7 Kerangka Konsep

Faktor Predisposisi:
1. Karakteristik Responden
(Umur, Masa Kerja,
Tingkat Pendidikan)
2. Pengetahuan
3. Sikap

Faktor Pemungkin:
1. Pelatihan
2. Sarana Prasarana Kesiapsiagaan
3. Komitmen, Peraturan Kondisi Darurat
3. Komitmen, Peraturan
4. Rencana Tanggap
2. Rencana Tanggap Kebakaran
Darurat

Faktor Penguat:
1. Dukungan Rekan Kerja
2. Pengawasan Petugas K3
2.
3. Pengawasan Petugas
Pemimpin Perusahaan
K3
4. Tim Penaggulangan
3. Pemimpin
Kebakaran Perusahaan
4. Tim Penanggulangan
Kebakaran

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Keterangan:

= Variabel diteliti

= Variabel tidak diteliti


37

Kerangka Konsep di atas merupakan modifikasi Teori Lawrence Green


yang menyatakan, perilaku manusia dalam hal ini perilaku kesiapsiagaan
menghadapi kebakaran dipengaruhi oleh faktor predisposisi, faktor pemungkin,
dan faktor penguat. Pada faktor predisposisi Lawrence Green (1980) serta LIPI-
UNESCO/ISDR 2006 indikator kesiapsiagaan terdiri dari pengetahuan, sikap, dan
karakteristik responden yang meliputi umur, masa kerja dan tingkat pendidikan.
Pada faktor pemungkin Lawrence Green (1980), Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2008, LIPI-UNESCO/ISDR (2006) indikator
kesiapsiagaan terdiri dari sarana prasarana, pelatihan, komitmen, peraturan dan
rencana tanggap darurat. Pada faktor penguat Lawrence Green (1980) serta LIPI-
UNESCO/ISDR 2006 menyatakan indikator kesiapsiagaan terdiri dari dukungan
rekan kerja, pengawasan petugas K3, pemimpin perusahaan, dan tim
penanggulangan kebakaran. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah
variabel pengetahuan, sikap, karakteristik responden, pelatihan, dan dukungan
rekan kerja. Variabel komitmen, peraturan, rencana tanggap darurat, pemimpin
perusahaan, tim penanggulangan kebakaran tidak diteliti dalam penelitian ini
karena variabel tersebut bersifat homogen. Selain bersifat homogen, beberapa
variabel dalam kerangka konsep tidak diteliti karena variabel-variabel tersebut
tidak terdapat di Universitas Jember. Universitas Jember tidak memiliki petugas
K3, dan tim penanggulangan kebakaran.

2.8 Hipotesis Penelitian


Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan (Sugiyono, 2017:63). Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka dapat
disimpulkan hipotesis sebagai berikut:
a. Terdapat hubungan antara faktor predisposisi yakni karakteristik responden
(umur, masa kerja, tingkat pendidikan), pengetahuan tentang kebakaran,
sikap pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan kesiapsiagaan
38

kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung bertingkat Universitas


Jember
b. Terdapat hubungan faktor pemungkin yakni pelatihan dan sarana prasarana
dengan kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember
c. Terdapat hubungan faktor penguat yakni dukungan rekan kerja dengan
kesiapsiagaan kondisi darurat kebakaran pada SATPAM di gedung
bertingkat Universitas Jember

Anda mungkin juga menyukai