Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangunan gedung merupakan suatu fenomena daerah perkotaan, dimana


semakin banyak didirikan diberbagai kota besar di Indonesia. Faktor keselamatan
telah menjadi persyaratan penting yang harus dipenuhi oleh bangunan gedung. Salah
satu aspek keselamatan adalah keselamatan dari bahaya kebakaran. Sesuai dengan
Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 02/KPTS/1985 tentang Ketentuan
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Pada Bangunan Gedung diharapkan
dapat menjamin keselamatan gedung agar dapat digunakan sesuai dengan fungsinya.
Kebakaran pada bangunan gedung dapat menimbulkan kerugian berupa
korban manusia, harta benda, terganggunya proses produksi barang dan jasa,
kerusakan lingkungan dan terganggunya ketenangan masyarakat. Seiring
meningkatnya ukuran dan kompleksitas bangunan gedung, sudah seharusnya pula
diiringi dengan peningkatan perlindungan terhadap masyarakat. Penanganan
kebakaran di gedung-gedung masih mengandalkan kesiagapan dan peralatan
dari pemadam kebakaran setempat. Kesiagaan dari pemadam kebakaran gedung
pun terkadang masih kurang memadai.
Sekolah Pascasarjana Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) adalah
salah satu universitas swasta di Jakarta, yang merupakan salah satu dari jaringan
Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Indonesia. Universitas yang berdiri sejak 18
November 1957, yang terdiri dari gedung pertemuan, gedung perkuliahan,
laboratorium, gedung teleconference, mushola dan kantin. Gedung yang memiliki 7
lantai ini belum memiliki proteksi kebakaran aktif seperti APAR, padahal salah
satu cara pemadaman awal yang tepat adalah dengan menggunakan APAR. Alat
Pemadam Api Ringan (APAR) adalah alat yang ringan serta mudah dilayani
oleh satu orang untuk memadamkan api pada mula terjadinya kebakaran, serta
belum adanya sarana proteksi kebakaran pasif salah satunya sistem tanggap
darurat (ERP).
Bedasarkan kondisi tersebut perlu dilakukan perencanaan Emergency
Response Plan yang berfokus terhadap bahaya kebakaran, adapun alasan untuk
melakukan pembentukan sarana tanggap darurat yang berfokus pada kebakaran
karena kebakaran dalam gedung direktorat dapat mengakibatkan terhentinya
proses dan aktivitas yang sangat penting guna memberi petunjuk dan arah
penyelamatan diri apabila terjadi keadaan darurat. Untuk itu perancangan sistem
emergency response yang tepat dan efektif akan sangat membantu sekali dalam
melakukan pertolongan jalan keluar dari dalam gedung jika nantinya timbul
musibah kebakaran.

B. Perumusan Masalah
Perencanaan emergency respon plan perlu dilakukan pada SPS UHAMKA. Adapun
perumusan masalah yang akan dibahas pa da tugas besar Emergency Respon
Plan (ERP) ini adalah sebagai berikut
1. Berapa jumlah dan letak meeting point yang dibutuhkan sebagai tempat
evakuasi, peta evakuasi dan petunjuk arah menuju tempat evakuasi dari
gedung SPS UHAMKA.
2. Bagaimana melakukan perancangan fasilitas escape kebakaran kebakaran (exit
route, tangga darurat, exit sign, meeting point, pintu darurat dan lebar
tempat keluar) pada gedung SPS UHAMKA.
3. Bagaimana menentukan penempatan, jumlah dan jenis APAR yang diperlukan
pada gedung SPS UHAMKA.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam Perencanaan Emergency Response Plan dan Penempatan
APAR pada Gedung SPS UHAMKA adalah :
1. Untuk menentukan jumlah dan letak meeting point yang
dibutuhkan sebagai tempat evakuasi, peta evakuasi dan petunjuk arah
menuju tempat evakuasi dari gedung SPS UHAMKA.
2. Melakukan perancangan fasilitas escape kebakaran (exit route, tangga
darurat, exit sign, meeting point, pintu darurat dan lebar tempat keluar)
pada gedung SPS UHAMKA.
3. Untuk penempatan, jumlah dan jenis APAR yang diperlukan pada gedung
SPS UHAMKA.
D. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian dilakukan pada gedung SPS UHAMKA.
2. Penelitian ini hanya untuk perancangan Emergency Response Plan dan
penempatan APAR.
3. Difokuskan pada perancangan fasilitas escape kebakaran yaitu : exit
route, tangga darurat, exit sign, meeting point, pintu darurat dan lebar
tempat keluar.
4. Tidak membahas prosedur pemeliharaan APAR.
5. Menggunakan standar NFPA 101 Life Safety Code edisi tahun 2000

dan SFPE 3rd edition 2002 untuk perancangan Emergency Response


Plan.
6. Menggunakan standar NFPA 10 tahun 1998 dan PERMENAKERTRANS RI
No. 04/MEN/1980 untuk pemasangan APAR.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori dan Anatomi Api


1. Teori Api
Nyala api adalah suatu fenomena yang dapat diamati gejalanya yaitu adanya cahaya
dan panas dari suatu bahan yang sedang terbakar. Gejala lainnya yang dapat
diamati adalah bila suatu bahan telah terbakar maka akan mengalami perubahan
baik bentuk fisiknya maupun sifat kimianya. Keadaan fisik bahan yang telah
terbakar akan berubah pula menjadi zat baru. Gejala perubahan tersebut
menurut teori perubahan zat dan energi adalah perubahan secara kimia.
2. Teori Segitiga Api (Triangel of Fire)
Untuk dapat berlangsungnya proses nyala api diperlukan adanya tiga unsur pokok
yaitu adanya unsur : bahan yang dapat terbakar (fuel), oksigen (O2) yang cukup dari
udara atau bahan oksidator dan panas yang cukup. Apabila salah satu unsur tersebut
tidak berada pada keseimbangan yang cukup, maka api tidak akan terjadi.

Gambar 2.1 Segitiga Api


(Sumber: http://en.wikipedia.org)

3. Teori Piramida bidang Empat (Tetrahedron of Fire)


Fenomena pada suatu bahan yang terbakar adalah terjadi perubahan bentuk dan
sifat-sifatnya yang semula menjadi zat baru, maka proses ini adalah perubahan
secara kimia. Proses pembakaran ditinjau dengan teori kimia adalah reaksi satu
unsur atau satu senyawa dengan oksigen yang disebut oksidasi atau pembakaran.
Produk yang terbentuk disebut oksida.
Gambar 2.2 Fire Tetrahedron
(Sumber : http://www.exelgard.com.au)

B. Fenomena Kebakaran
Fenomena kebakaran atau gejala pada setiap tahapan mulai awal
terjadinya penyalaan sampai kebakaran padam, dapat diamati beberapa fase
tertentu seperti source energy, initiation, growth, flashover, full fire dan
bahaya-bahaya spesifik pada peristiwa kebakaran seperti : back draft,
penyebaran asap panas dan gas dll. Tahapan - tahapan tersebut antara lain:

Gambar 2.3 Diagram Fenomena Kebakaran


(Sumber: DEPNAKERTRANS RI)

a. Tidak diketahui kapan dan dimana awal terjadinya api/kebakaran, tetapi


yang pasti ada sumber awal pencetusnya (source energy), yaitu adanya
potensi energi yang tidak terkendali.
b. Apabila energi yang tidak terkendali kontak dengan zat yang dapat terbakar,
maka akan terjadi penyalaan tahap awal (initiation) bermula dari sumber
api/nyala yang relatif kecil
c. Apabila pada periode awal lebakaran tidak terdeteksi, maka nyala api akan
berkembang lebih besar sehingga api akan menjalar bila ada media
disekelilingnya
d. Intensitas nyala api meningkat dan akan menyebarkan panas kesemua
arah secara konduksi, konveksi dan radiasi, hingga pada suatu saat kurang
lebih sekitar setelah 3-10 menit atau setelah temperatur mencapai 300ºC
akan terjadi penyalaan api serentak yang disebut Flashover, yang biasanya
ditandai pecahnya kaca
e. Setelah flashover, nyala api akan membara yang disebut periode
kebakaran mantap (Steady/full development fire). Temperatur pada saat
kebakaran penuh dapat mencapai 600-1000ºC. Bangunan dengan
struktur konstruksi baja akan runtuh pada temperatur 700ºC. Bangunan
dengan konstruksi beton bertulang setelah terbakar lebih dari 7 jam
dianggap tidak layak lagi untuk digunakan
f. Setelah melampaui puncak pembakaran, intensitas nyala akan
berkurang/surut berangsur-angsur akan padam yang disebut periode
surut.

C. Klasifikasi Kebakaran
Klasifikasi kebakaran yang dimiliki di Indonesia mengacu pada
standard National Fire Protection Association (NFPA Standard No. 10, for
the installation of portable fire extinguishers) yang telah dipakai oleh
PERMENAKERTRANS RI No. Per. 04/MEN/1980 tentang Syarat-
syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR).
Klasifikasi dari kebakaran adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Klasifikasi Kebakaran Menurut NFPA


Kelas Klasifikasi Kebakaran
Kebakaran pada benda pada mudah terbakar yang
Kelas A menimbulkan arang/karbon (contoh : Kayu, kertas,
karton/kardus, kain, kulit, plastik)
Kebakaran pada benda cair dan gas yang mudah terbakar (contoh :
Kelas B Bahan bakar, bensin, lilin, gemuk, minyak tanah, thinner)

Kebakaran pada benda yang menghasilkan listrik atau yang


Kelas C mengandung unsur listrik
Kebakaran pada logam mudah terbakar (contoh : Sodium, lithium,
Kelas D radium)

(Sumber : NFPA 10 Tahun 1998)

D. Klasifikasi Bahaya Hunian


Klasifikasi bahaya hunian ini dimaksudkan untuk dapat disesuaikan
dengan sarana dan prasarana emergency, klasifikasi tersebut, terdiri dari:
1. Bahaya kebakaran ringan ialah hunian yang mempunyai nilai kemudahan
terbakar rendah dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas rendah,
serta menjalarnya api lambat. Yang termasuk hunian bahaya kebakaran
ringan antara lain:
o Ibadat
o Perkantoran
o Klub
o Perumahan
o Tempat pendidikan
o Rumah Makan
o Tempat Perawatan
o Hotel
o Lembaga
o Rumah Sakit
o Perpustakaan
o Penjara
o Museum

2. Bahaya kebakaran sedang kelompok I, yakni hunian yang mempunyai


kemudahan terbakar rendah penimbunan bahan yang mudah terbakar
sedang dengan tinggi tidak lebih dari 2,5 meter dan apabila terjadi
kebakaran melepaskan panas sedang. Yang termasuk hunian bahaya
kebakaran sedang kelompok I antara lain:
o Parkir Mobil
o Pabrik Susu
o Pabrik Roti
o Pabrik Elektronika
o Pabrik Minuman
o Binatu
o Pengalengan
o Pabrik Permata
o Pabrik Barang Gelas

3. Bahaya kebakaran sedang kelompok II, yakni hunian yang mempunyai nilai
kemudahan terbakar sedang, penimbunan bahan yang mudah terbakar
dengan tinggi tidak lebih dari 4 meter dan apabila terjadi
kebakaran melepaskan panas sedang, sehingga menjalarnya api sedang.
Yang termasuk hunian bahaya kebakaran sedang kelompok II antara lain:
o Penggilingan Gandum atau Beras
o Pabrik Bahan Makanan
o Pabrik Kimia
o Pertokoan Dengan Pramuniaga Kurang Dari 50 Orang

4. Bahaya kebakaran sedang kelompok III, yakni hunian yang mempunyai nilai
kemudahan terbakar tinggi dan apabila terjadi kebakaran, melepaskan panas
tinggi, sehingga menjalarnya api cepat. Yang termasuk hunian bahaya
kebakaran sedang kelompok III antara lain:
o Pameran
o Gudang (Cat, Minuman keras)
o Pabrik Ban
o Pabrik
o Permadani
o Bengkel Mobil
o Studio Pemancar
o Penggergajian Kayu
o Pabrik Pengolahan Tepung
o Pertokoan Yang Pramuniaga lebih dari 50 orang

5. Bahaya kebakaran berat, yakni hunian yang mempunyai nilai kemudahan


terbakar tinggi dan apabila terjadi kebakaran melepaskan panas tinggi
dan penjalaran api cepat. Yang termasuk hunian bahaya kebakaran
berat:
o Pabrik Kimia, Bahan Peledak dan Cat
o Pabrik Korek Api, Kembang Api
o Pemintalan Benang
o Studio Film dan Televisi
o Penyulingan Minyak
o Pabrik Karet Busa, Plastik Busa

E. Keadaan Darurat
Keadaan Darurat (emergency) adalah situasi atau kondisi yang tidak
dikehendaki yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak terduga yang dapat
membahayakan kehidupan, asset dan operasi perusahaan serta lingkungan sekitar
sehingga memerlukan tindakan yang cepat untuk mengatasinya. Keadaan ini bisa
dipicu oleh bencana alam, pencurian, sabotase, penyanderaan, ancaman ataupun
akibat dari penyimpangan prosedur yang ada atau standar operasi yang baku.
Untuk mengahadapi suatu keadaan darurat serta penaggulangannya diperlukan
keterlibatan dari seluruh orang yang berada dilingkungan pabrik, baik pekerja
(karyawan), kontraktor, tamu atau penduduk disekitar pabrik. Agar semua
karyawan bisa mengerti apa tugas dan tanggungjawabnya bila terjadi suatu keadaan
darurat. Maksud dan tujuan dari rencana penanggulangan keadaan darurat ini ialah
untuk memberikan informasi dan petunjuk kepada semua karyawan yang
bersangkutan guna penanggulangan secepatnya keadaan darurat terutama didalam
pabrik. Hal ini termasuk prosedur yang bersifat operasional, seperti :
a. Untuk menangani dan mengkontrol kecelakaan
b. Mencegah bahaya yang mimgkin timbul dan mencegah jangan sampai
menyebar
c. Melindungi keselamatan karyawan dan juga siapa saja yang ada didalam
maupun diluar pabrik
d. Meminimalkan tingkat bahaya yang ada untuk melindungi harta
perusahaan dan juga lingkungan disekitar pabrik
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas memerlukan pengorganisasian
pertanggungjawaban, komunikasi dan prosedur yang diperlukan didalam
menanggulangi keadaan darurat tersebut.
Pada umumnya keadaan darurat itu dapat diklasifikasikan menjadi dua
kelompok dan setiap keadaan darurat ini harus dilaporkan. Klasifikasi keadaan
darurat:
1. Keadaan darurat ringan
Ialah suatu keadaan yang masih dapat diatasi oleh karyawan ditempat
kejadian dengan menggunakan peralatan yang tersedia seperti tabung
pemadam kebakaran, sprinkler dan sebagainya tanpa bantuan dari pihak luar.
2. Keadaan sangat darurat
Ialah suatu keadaan yang memerlukan bantuan pihak luar untuk
mengatasinya, seperti bantuan dari Dinas Pemadam Kebakaran, polisi
ataupun pihak lain.

F. Standar Sarana Penyelamatan


1. Tangga Darurat
Sesuai dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 1992 Tentang
Penanggulangan Bahaya Kebakaran Dalam Wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta dinyatakan bahwa tangga darurat dilarang berbentuk tangga spiral.
Semua tangga darurat harus dapat melayani semua lantai mulai dari lantai
bawah sampai lantai teratas bangunan. Tangga ini harus berhubungan
langsung dengan jalan, halaman atau tempat terbuka yang langsung
berhubungan dengan jalan umum. Semua tangga luar yang permanen dapat
digunakan sebagai saran jalan keluar bila memenuhi ketentuan tersebut
diatas. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh sebuah tangga darurat,
yaitu :
1. Tangga ini harus dilengkapi dengan pagar pengaman setinggi
minimum 1,2 meter
2. Harus berjarak sekurang-kurangnya 1 meter dari bukaan yang
berhubungan dengan tangga tersebut.
3. Lebar pijakan pada anak tangga minimum 25 cm
4. Injakan anak tangga harus padat, kecuali untuk pembuangan air
selebar 2,5 cm
5. Konstruksi tangga yang terbuat dari logam harus dibungkus
dengan pasangan bata atau beton atau diberi lapisan tahan api dan kedap
air.
6. Semua tangga harus dilengkapi oleh langkan (pegangan tangga) atau
pelindung pada kedua sisinya dengan ketinggian 75 cm dan maksimum
105 cm
7. Langkah atau pelindung harus dibuat sedemikian rupa sehingga
dapat menahan tekanan minimum 100 kg

Gambar 2.5 Tangga darurat


(Sumber: Bickerdike, 1996)

Jumlah orang yang terakomodasi tangga darurat dirumuskan dengan:


P=200W+50(W-0,3)(n-1)………………………………….(2-4)
Dimana :
P : Jumlah orang yang dapat terakomodasi melalui tangga w : Lebar tangga
dalam meter
n : Jumlah lantai bangunan
Berikut ini merupakan contoh tangga darurat yang dapat
diaplikasikan pada gedung bertingkat:
Gambar 2.6 Tangga darurat luar
(Sumber: Peraturan Daerah DKI Jakarta No.3 Tahun 1996)

2. Waktu Escape
Waktu escape merupalan waktu yang dibutuhkan oleh seluruh
penghuni bangunan untuk keluar bangunan melalui yang tersedia
menuju tempat yang aman. Waktu escape dipengaruhi beberapa variabel,
antara lain :
a. Tingkat kepadatan penghuni bangunan (density factor)
b. banyaknya halangan pada exit route seperti: tangga, tembok dll
c. Tingkat respon dari penghuni bangunan
Perhitungan pada saat waktu escape sangat penting dilakukan
untuk dijadikan patokan saat melakukan latihan tanggap darurat
kebakaran, sehingga waktu yang diperoleh ketika latihan tanggap darurat
kebakaran dapat dibandingkan dengan perbandingan waktu escape.

3. Exit route
Persyaratan untuk exit route tercantum pada regulasi OSHA 1910.36,
2002 yaitu:
a. Setiap exit route harus dibuat secara permanen.
b. Setiap exit route harus dibangun dengan material yang tahan api.
c. Jalur exit route harus memiliki tinggi minimum 2,3 m
d. Setiap exit route harus memiliki lebar minimum 0,71 m
e. Jalur exit route harus bersih dari segala halangan
Selain persyaratan di atas, terdapat pertimbangan lain yaitu
travel distance atau panjang jarak maksimum yang harus ditempuh
dari setiap titik terjauh pada suatu lantai bangunan sampai pada sebuah
jalan keluar (exit).(Bickerdike, 1996).

4. Jarak Tempuh
Adalah panjang jarak jarak maksimum yang harus
ditempuh dari setiap titik terjauh pada suatu lantai bangunan sampai
pada sebuah jalan keluar (exit). Pengaturan jarak tempuh sangat erat
hubungannya dengan tipe penggunaan suatu bangunan, hal ini
dimaksudkan bahwa semakin tinggi tingkat ancaman bahaya suatu
bangunan yang digunakan maka maksimum jarak yang tempuhnya
semakin pendek.
Apabila terdapat gang (koridor) yang harus dilengkapi pintu keluar
(exit), tidak diperbolehkan melebihi 45 m jaraknya (untuk bangunan
tingkat satu), sedang untuk tingkat selanjutnya tidak boleh lebih dari 18
m jaraknya dari penghuni berada. (The Building Regulations, 2000)
Tabel 2.6 Pengaturan jarak tempuh ke exit pada hunian-hunian bangunan
tertentu menurut Life Safety Code, NFPA No.101

Jarak Tempuh Maximum ke Exit


Bagunan tak Bangunan
Berseprinkler berseprinkler
(feet) (feet)
School 150 200
Institutional 150 200
Hotel & Apartement 100 150
Dormito 100 150
ry Store 100 150
Office 200 300

Factory 100 150

Factory high hazard 75 75

Storage 75 100

Parking hazard 100 150

Jarak tempuh (travel distance) ke jalan keluar (exit) dengan melihat


gambaran diatas, harus diupayakan sesuai dengan kondisi penggunaan
bangunan. Persediaan horizontal exit dan pemasangan sprinkler
nampaknya merupakan jawaban yang memadai untuk dipakai disetiap
bangunan. Dengan sprinkler, penjalaran kebakaran secara cepat tidak
dimungkinkan, dengan catatan sprinkler tesebut terpasang dengan benar.

Jenis dari Travel Distance itu ada 2, yaitu :


a. Actual Travel Distance
b. Direct Travel Distance
Gambar 2.7
Actual dan Direct Travel Distance (The Building Regulations, 2000)

5. Tempat Berkumpul
Selain sarana jalan keluar, juga harus disediakan tempat dimana
bila terjadi suatu keadaan darurat maka dapat digunakan sebagai tempat
berkumpul. Tempat berkumpul ini harus aman dari kemungkinan bahaya.
Tempat aman diklasifikasikan menjadi 2, yaitu :
a. Tempat Aman Mutlak ( Ultimate Safety )
Adalah tempat terbuka yang jauh dari bahaya, dimana dapat dicapai. Sarana
penyelamat diri biasanya tidak dirancang untuk dapat lolos dengan mudah
ke tempat aman mutlak
b. Tempat Aman Sementara ( Comparative Safety )
Adalah tempat yang terlindungi dari bahaya api, asap, dan lain sebagainya

6. Exit Sign
Exit sign merupakan merupakan bagian penting dalam saran
escape guna memudahkan pekerja untuk menuju tempat yang aman. Exit sign
diletakkan pada tempat-tempat yang telah dipersiapkan sebagai petunjuk
sarana penyelamatan diri ketika terjadi sebuah bencana, seperti pintu
darurat, exit route, tangga darurat dan meeting point.
Berikut tata cara pemasangan :
1. Lokasi pemasangan
a. Arah menuju tempat aman dan dilokasi yang mudah terbaca
b. Pada setiap pintu menuju tangga yang aman setinggi 15 cm-20 cm
dari dasar tanda ke lantai dengan tulisan “EXIT”
c. Dipasang pada pintu darurat dengan jarak 10 cm dari rangka pintu
d. Tidak ada dekorasi atau perabotan yang menghalangi tanda
tersebut
2. Ukuran exit sign
a. Tanda “EXIT” diberi warna kontras dengan latar belakan
b. Tanda “EXIT” ditulis dengan huruf kapital dengan tinggi minimal
15 cm, tebal minimal 2 cm, lebar minimal 5 cm dan jarak minimum
antar huruf 1 cm.
Berikut ini merupakan contoh exit sign :

Gambar 2.8 Exit Sign


(Sumber : SNI 03-6574-2001)

7. Pengamanan Rute Penyelamatan


a. Rute penyelamatan harus bebas dari barang-barang yang dapat
mengganggu kelancaran penyelamatan dan mudah dicapai
b. Koridor, terowongan, tangga darurat harus merupakan daerah aman
sementara dari bahaya api, asap dan gas
c. Rute penyelamatan harus diberi penerangan yang cukup dan tidak
tergantung dari sumber utama
d. Arah menuju exit harus dipasang petunjuk yang jelas
e. Pintu keluar darurat (emergency exit) harus diberi tanda tulisan

8. Memilih Rute Penyelamatan


Para penghuni/karyawan harus sudah dapat memilih rute- rute untuk
menyelamatkan diri dari bahaya api. Rute-rute meloloskan diri harus
setiap waktu dijaga agar tetap bebas dan harus dirancang untuk memuat
jumlah orang yang akan memakainya. Rute ini harus menjamin keamanan
pengungsi dari asap, gas-gas dan nyala api. Sekiranya tempat ke luar menuju ke
tempat aman atau daerah yang aman ada 2 buah, jarak perjalanan ke luar ke
tempat aman atau ke daerah yang hanya memiliki 1 buah tempat keluar. Dalam
keadaan apapun rute untuk meloloskan diri tidak boleh sempit atau menyebabkan
kemacetan.

G. Prosedur Tanggap Darurat


Tanggap darurat (emergency response) dalam setiap organisasi dan
institusi merupakan bagian dari salah satu fungsi manajemen yaitu perencanaan
(planning) atau rancangan. Oleh karenanya, setiap dan institusi harus
mempersiapkan rencana/rancangan untuk menghadapi keadaan darurat
berikut prosedur-prosedurnya, dan semua ini harus disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan organisasi dan institusi secara menyeluruh.

H. APAR (Alat Pemadam Api Ringan)


Alat pemadam api ringan (APAR) ialah alat yang ringan serta
mudah dilayani oleh satu orang untuk memadamkan api pada mula terjadi
kebakaran.
1. Jenis – jenis media pemadam kebakaran
Mengenal berbagai jenis media pemadam api dimaksudkan agar
dapat menentukan jenis media yang tepat, sehingga dapat dicapai
pemadaman yang efektif, efisien dan aman. Media pemadaman api yang
umum dipakai untuk alat pemadam api ringan adalah :

a. Air
Sifat air dalam memadamkan kebakaran adalah secara fisik
mengambil panas (cooling) dan sangat tepat untuk memadamkan bahan
padat (kelas A) karena dapat menembus sampai bagian dalam.
Ada 3 (tiga) macam APAR air ialah air dengan pompa tangan, air
bertekanan dan asam soda/soda acid.
Gambar 2.9 Water Extinguisher
(Sumber: Guide to fire risk assasment)

b. Busa
Ada 2 (dua) macam busa, busa kimia dan busa mekanik. Busa
kimia dibuat dari gelembung yang berisi antara lain zat arang dan
karbondioksida , sedangkan busa mekanik dibuat dari campuran zat arang
udara. Dapat digunakan untuk memadamkan kebakaran kelas A dan B.
Busa memadamkan api melalui kombinasi tiga aksi pemadaman
yaitu menutupi, melemahkan dan mendinginkan.
1) Menutupi yaitu membuat selimut busa di atas bahan yang
terbakar, sehingga kontak dengan oksigen (udara) terputus
2) Melemahkan yaitu mencegah penguapan cairan yang mudah
terbakar
3) Mendinginkan yaitu menyerap kalori cairan yang mudah
terbakar sehingga suhunya turun

Gambar 2.10 Foam Extinguisher


(Sumber: Guide to fire risk assessment)

c. Serbuk kimia kering


Sifat serbuk kimia ini tidak beracun tetapi dapat menyebabkan untuk
sementara sesak nafas dan pandangan mata agak terhalang. Dapat
digunakan untuk memadamkan kebakaran kelas A, B dan C. Daya
pemadaman dari serbuk kimia kering tergantung pada jumlah serbuk yang
dapat menutupi permukaan yang terbakar. Cara kerja dari
pemadam ini adalah dengan merusak reaksi kimia pembakaran dengan
membentuk lapisan tipis pada permukaan bahan yang terbakar.
Makin halus butiran serbuk kimia kering maka makin luas permukaan
yang ditutupi. Karena kemampuannya untuk mematikan jenis api di tiga
kelas, jenis tabung ini paling banyak digunakan diberbagai kantor
dan perumahan.

Gambar 2.11 Dry Chemical Estinguisher


(Sumber: http://wb8.itrademarket.com)

d. Carbon Dioksida (CO2 )


Media pemadam api CO didalam tabung harus dalam keadaan fase cair
bertekanan tinggi. Prinsip kerjanya dalam memadamkan api adalah
reaksi dengan oksigen sehingga konsentrasinya di dalam udara
berkurang dari 21 % menjadi sama dengan atau lebih kecil dari 14
% sehingga api akan padam. Hal ini disebut pemadaman dengan cara
tertutup. Efektif dalam memadamkan kebakaran kelas B (minyak
dsb) dan C (listrik).

Gambar 2.12 Carbon dioxide extinguisher


(Sumber: http://wb3.itrademarket.com)
e. Halon
Gas halon bila terkena panas api kebakaran pada suhu sekitar 485 ºC
akan mengalami proses penguraian.Zat-zat yang dihasilkan dari proses
penguraian tersebut akan mengikat unsur hidrogen dan oksigen dari udara
sehingga menghasilkan beberapa unsur baru yaitu HF, HBr, COF dan
COBr, karena sifat zat baru tersebut beracun maka cukup membahayakan
terhadap manusia.

2. Tipe konstruksi APAR


Tipe konstruksi adalah :
1. Tipe tabung gas (gas container type) adalah suatu pemadam
yang bahan pemadamnya di dorong keluar oleh gas bertekanan yang
dilepas dari tabung gas
2. Tipe tabung bertekanan tetap (stored preasure type) adalah suatu
pemadam yang bahan pemadamnya didorong keluar oleh gas
tanpa bahan kimia aktif atau udara kering yang disimpan bersama
dengan tepung pemadamnya dalam keadaan bertekanan

3. Penandaaan dan Pengenalan


a. Penandaan APAR
Penandaan yang disyaratkan
Kalimat yang bermakna umum tidak menjurus seperti “mutu”,
“umum”, atau “universal” tidak boleh dituliskan pada pelat nama yang
dipasang pada badan APAR. Setiap APAR harus memiliki keterangan
sebagai berikut:
Kata jenis tepung Kimia Kering “ yang disusul tipe APAR sesuai dengan
ketentuan “Tipe Tabung Gas” atau “Tipe Tabung Bertekanan Tetap”
o Cara pemakaian
o Nama dan alamat pabrik pembuat atau penjualnya yang bertanggung
jawab.
b. Cara Penandaan
Penandaan APAR dapat dialkukan dengan cara:
o Huruf timbul atau sketsa pada plat logam yang disolder atau
diikat pada tabung APAR
o Dicat langsung pada tabung APAR
o Dengan label yang tahan lama
o Tahun harus ditandakan secara permanen pada badan APAR
c. Warna Pengenal
Badan APAR harus berwarna merah. (DEPNAKER, 1999)

4. Klasifikasi bahaya
Berdasarkan NFPA 10 tahun 1998 dijelaskan mengenai klasifikasi
bahaya kebakaran diantaranya:
a. Bahaya Rendah, light (low) hazard
Bahaya ini merupakan bahan-bahan yang mudah terbakar dimana bahaya
ini meliputi area kantor, hotel, motel, aula dan kelas.
Pengelempokkan bahaya ini untuk mengantisipasi agar bahan-bahan
ini tidak mudah menyebarkan bahaya kebakaran.
b. Bahaya Sedang,Ordinary (Moderate) Hazard
Bahaya ini merupakan bahan-bahan yang mudah terbakar dengan cepat
dimana bahaya ini meliputi area gudang, pertokoan, bengkel, laboratorium,
showroom, garasi.
c. Bahaya Tinggi, Extra (High) Hazard
Lokasi ini merupakan bahaya kebakaran kelas A yang mudah terbakar dan
kelas B yang mudah menyala. Dimana area ini meliputi ruang reparasi
pesawat dan kapal, dapur, pekerjaan yang berhubungan dengan kayu dan ruang
pameran.

5. Penempatan APAR
Berdasarkan NFPA 10 tahun 1998 dijelaskan mengenai penempatan
APAR dimana penempatan ini tergantung dari kelas kebakaran dan
luas area bangunan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai penempatan
APAR berdasarkan kelas kebakaran.
Tabel 2.7 Luas area yang dilindungi (ft2)

Bahaya rendah Bahaya Bahaya tinggi


Rating APAR (ft2) sedang (ft2) (ft2)
1A - - -
2A 6000 3000 -
3A 9000 4500 -
4A 11250 6000 4000
6A 11250 9000 6000
10A 11250 11250 10000
20A 11250 11250 11250
30A 11250 11250 11250
40A 11250 11250 11250

(Sumber : NFPA 10 tahun 1998)

Keterangan :

- 1 ft2 = 0,0929 m2
- Travel distance untuk kelas A,C dan D = 22,7 m
a. Kelas A
Jarak minimal penempatan APAR pada tabel berikut :
Tabel 2.8 Penempatan APAR dengan bahaya kebakaran

Jarak Max.
Luas
Klasifikasi APAR Jangkauan
Rating APAR Bangunan
APAR (ft2)

Rendah 2A 75 11250
Sedang 2A 75 11250

Tinggi 4A 75 11250
(Sumber : NFPA 10 tahun 1998)

b. Kelas B
Jarak minimal penempatan APAR dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.9 Penempatan APAR (bahaya kebakaran kelas B)

Klasifikasi Rating Jarak Max. Jangkauan


Bahaya APAR APAR
(ft) (m)
5B 30 9.15
Rendah 10 B 50 15.25
10 B 30 9.15
Sedang 20 B 50 15.25
40 B 30 9.15
Tinggi 80 B 50 15.25
(Sumber : NFPA 10 tahun 1998)

c. Kelas C dan Kelas D


Jarak penempatan APAR untuk kelas C dan kelas D sama dengan jarak
penempatan kelas A dan kelas B

6. Jenis media pemadam kebakaran dan aplikasinya


Pemasangan dan penempatan APAR harus sesuai dengan jenis dan
penggolongan kebakaran berdasarkan PERMENAKERTRANS RI No.
04/MEN/1980 dalam Bab 2 pasal 4 point 4, seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 2.10 Kebakaran dan Jenis APAR

Tetrachoor Tepung BCF


Bahan Air Busa Karbo
Gol kol ostop
yang 9 9 n P P 9H
chloorbrom PG
Terb dioksi + M AL
liter liter methan 1
akar da P C
liter
K
Kelas VV V V/XXX V V VV X V
Kebakaran pada
A V
permukaan bahan
Kebakaran sampai
seperti : kayu, teksil VV V XX X X VV X X
bagian X V
dalam dari bahan
seperti kayu,
Kebakaran
majun, arangdari
batu VV/ XX XX/XXX X X VV X V
barang – X V
barang yang X
jarang terdapat
Kebakaran dari V X XX X X V X X
dan berharga
bahan – bahan yang X V
pada pemanasan V
Kelas mudah mengurai
Kebakaran dari XXX V V/XXX VV V VV X VV
B bensin, bensol, cat ( V
yg tdk bercam pur V
Kebakaran
dgn air ) dr Alcohol X X V/XXX V VV VV X V
& V
sebangsanya
Gas yang Mengalir
(bercampur air) X X V/XXX V VV VV X V
V
Kelas Panel penghubung, XXX XXX VV/XXX VVV V VV X VVV
C Peti
penghubung, Sentral
Kelas telepon,
Magnesium, Natrium, V
Transformator XXX XXXXX X X VV XXX
D Aluminium V
X X V
(Sumber : PERMENAKERTRANS RI No. 04/MEN/1980) X

Keterangan:
VVV : Sangat efektif
VV : Dapat digunakan
V : Kurang tepat/tidak dianjurkan
X : Tidak tepat
XX : Merusak
XXX : Berbahaya
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Langkah-Langkah Penelitian
Dalam pengerjaan emergency response plan ini diperlukan proses penelitian
yang terstruktur dan langkah-langkah yang sistematis dalam pelaksanaannya.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mencapai tujuan dari
penelitian yang diusulkan ini dijelaskan dalam uraian sebagai berikut :
1. Survey Pendahuluan
Pada tahap awal, peneliti melakukan survey pendahuluan yang meliputi
wawancara dan survey lapangan.
a. Wawancara dengan pihak untuk memperoleh informasi tentang gedung
SPS UHAMKA mencangkup layout dan spesifikasi ruangan
b. Survey lapangan yang dilakukan adalah melakukan pengamatan langsung
(fasilitas-fasilitas escape yang tersedia) pada gedung yang ada di SPS
UHAMKA.
2. Perumusan Masalah
Setelah dilakukan survey pendahuluan, maka langkah selanjutnya adalah
perumusan masalah, dimana dalam hal ini dilakukan pengambilan keputusan
untuk mengangkat permasalahan atau kasus yang ditemukan ke dalam tugas
akhir serta merumuskan masalah apa saja yang nantinya akan dihadapi pada saat
pengerjaan tugas akhir.
3. Studi Literatur
Studi Literatur didapatkan dengan cara mencari informasi serta pengumpulan
teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini (Layout Gedung, NFPA

101 edisi th. 2000 dan SFPE 3rd edition 2002, NFPA 10 th. 1988 dan PER.
04/MEN/1980) dan nantinya akan digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini.

4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data yang diperlukan dan
data tersebut dapat dijadikan acuan sebagai bahan untuk penelitian yang telah
ditetapkan, data yang dibutuhkan adalah layout gedung kampus untuk
mengetahui spesifikasi gedung dan data arah angin tahunan (3 tahun terakhir).
5. Perancangan ERP dan Penempatan APAR
a. Perancangan Emergency Respon Plan
Perancangan yang dilakukan adalah menentukan berapa jumlah pintu darurat
yang sesuai dengan jumlah penghuni didalamnya dan menentukan arah,
jalur dan meeting point untuk mengetahui tempat evakuasi tercepat
dan tepat jika kemungkinan terjadi kebakaran.
b. Penempatan APAR
Perencanaan penempatan APAR PERMENAKERTRANS RI
NO.04/MEN/1980 tentang syarat-syarat pemasangan dan pemeliharaan
APAR, NFPA 10 tahun 1998 tentang standart portable for fire extinguisher.
6. Analisa
Setelah data terkumpul maka pada tahap ini peneliti menganalisa hasil
perencanaan apakah sudah memenuhui standar yang berlaku. Setelah itu hasil
perancangan escape digunakan sebagai acuan perancangan standart operational
procedure (SOP) emergency response.
7. Kesimpulan dan saran
Setelah dilakukan analisa secara menyeluruh maka dapat menarik
kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan dapat memberikan saran–
saran untuk menunjang penelitian ini ke depan.

B. Langkah-Langkah Perencanaan Emergency Respon Plan


Dalam perencanaan emergency respon plan diperlukan langkah- langkah
yang harus dipenuhi, langkah-langkah tersebut antara lain
1. Pemahaman Layout Gedung SPS UHAMKA
Pemahaman layout gedung direktorat sebagai langkah awal dalam perencanaan
emergency respon plan. Layout ini diperoleh dari data kontraktor SPS
UHAMKA.
2. Perhitungan Jumlah Orang Sesuai Density Factor dan Luas Bangunan
Density factor yang digunakan berdasar NFPA 101 tahun 2000, dengan
kategori yang disesuaikan dengan jenis fungsi gedung. Sedangkan untuk
memperoleh jumlah orang tiap lantai maka luas bangunan dibagi dengan
density factor.
3. Perhitungan Jumlah Pintu Keluar dan Lebar Pintu Keluar
Setelah diketahui jumlah orang tiap lantai maka dapat dilanjutkan dengan
perhitungan jumlah pintu keluar (number of exit) dan lebar pintu keluar
(LTK)
4. Perancangan Exit Route dan Exit Sign
Penentuan exit route berdasarkan travel distance. Sedangkan travel distance
sendiri diperoleh dari NFPA 101, kemudian perancangan exit sign yang
digunakan disesuaikan dengan standar persyaratan SNI 03-6574-2001.
5. Penentuan Meeting Point
Penentuan meeting point saat penting guna sabagai tempat berkumpul yang
aman dan sebagai tempat evakuasi. Meeting point ini ditentukan berdasarkan
data arah angin. Data ini bersumber dari BMKG Jakarta.
6. Perhitungan Waktu Escape
Perhitungan ini dubutuhkan untuk mengetahui berapa waktu yang
diperlukan untuk sampai pada exit.
7. Analisa
Dari hasil perencanaan dan perhitungan tersebut, kemudian dilakukan analisa
apakah sesuai dengan standar yang digunakan (NFPA 101 edisi 2000 dan

SFPE 3rd edition 2002), jika tidak sesuai maka dilakukan kembali
pemahaman layout gedung, apabila ada kesalahan dalam pembacaan ukuran/luas
gedung.

C. Langkah-Langkah Perencanaan Penempatan Alat Pemadam Api Ringan


(APAR)
Dalam perencanaan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) diperlukan
langkah-langkah yang harus dipenuhi, langkah-langkah tersebut antara lain
1. Pemahaman Layout Gedung SPS UHAMKA
Pemahaman layout gedung direktorat sebagai langkah awal dalam perencanaan
penempatan Alat Pemadam Api Ringan (APAR). Layout ini diperoleh
dari data kontraktor gedung SPS UHAMKA.
2. Menentukan Jumlah APAR Sesuai Luas Gedung
Dari luas gedung dapat dijadikan penentuan jumlah APAR yang sesuai dengan
PER 04/MEN/1980 dan NFPA 10 tahun 1998 serta jenis APAR yang dibutuhkan
sesuai klasifikasi kebakaran gedung.
3. Menentukan Letak APAR
Menentukan letak APAR sesuai dengan PER 04/MEN/1980 dan NFPA 10 tahun
1998. Dalam tiap standar dapat diketahui jarak perlindungan atau radius
perlindungan APAR.
4. Analisa
Dari hasil perencanaan dan perhitungan tersebut, kemudian dilakukan analisa
apakah sesuai dengan standar yang digunakan (PER 04/MEN/1980 dan
NFPA 10 tahun 1998), jika tidak sesuai maka dilakukan kembali penentuan
jumlah APAR sesuai luas gedung, apabila ada kemungkinan kesalahan dalam
pembacaan ukuran/luas gedung.

Anda mungkin juga menyukai