Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Telaah Pustaka
1. Konsep Kebakaran
a. Definisi Kebakaran
Menurut Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional
(DK3N), kebakaran adalah suatu peristiwa bencana yang berasal dari
api yang tidak dikehendaki yang dapat menimbulkan kerugian, baik
kerugian materi (berupa harta benda, bangunan fisik, deposit/asuransi,
fasilitas sarana dan prasaran, dan lain-lain), maupun kerugian non
materi (rasa takut, shock, ketakutan, dan lain-lain) hingga kehilangan
nyawa atau cacat tubuh yang ditimbulkan akibat kebakaran tersebut.
Bahaya kebakaran adalah bahaya yang diakibatkan oleh adanya
ancaman potensial dan derajat terkena pancaran api sejak awal
kebakaran hingga penjalaran api yang menimbulkan asap dan gas
(PERMEN PU No 26, 2008: 1).
Kebakaran adalah api yang tidak terkendali artinya diluar
kemampuan dan keinginan manusia. Api unggun misalnya walaupun
berkobar besar dan tinggi, belum disebut kebakaran karena masih
dalam kendali dan diinginkan terjadinya. Api kompor juga belum
disebut kebakaran karena bisa dikendalikan dan dimanfaatkan. Namun
jika kompor bocor dan api berkobar, maka disebut kebakaran karena
tidak diinginkan dan diluar kendali. Oleh karena itu api tersebut harus
dipadamkan dengan segera (Ramli, 2010a: 16).
b. Klasifikasi Kebakaran
Tujuan klasifikasi kebakaran adalah agar memudahkan usaha
pencegahan dan pemadaman kebakaran. Klasifikasi kebakaran
digunakan untuk memilih bahan pemadam yang tepat dan sesuai kelas

6
7

kebakaran, sehingga usaha pencegahan dan pemadaman akan efisien


(Ramli, 2010a: 26).
1) Menurut NFPA
Tabel 1
Klasifikasi Kebakaran Menurut NFPA
Resiko Material Alat Pemadam
Kelas A Kayu, kertas, kain Air sebagai
(bahan padat) pemadam utama
Kelas B Bensin, minyak Jenis basa sebagai
tanah (bahan cair) alat pemadam utama
(foam)
Kelas C Kebakaran pada Dry chemical, CO2,
alat-alat listrik gas Hallon
Kelas D Magnesium, Bubuk kimia kering
potassium, titanium (drysand, bubuk
(bahan logam) pryme)
Sumber ; Ramli, 2010a: 28.

2) Klasifikasi Indonesia
Menurut peraturan menteri tenaga kerja dan transmigrasi
No.4/Men/1980, kebakaran dapat diklasifikan sebagai berikut.
Tabel 2
Klasifikasi Kebakaran Indonesia
Resiko Material Alat Pemadam
Kelas A Kebakaran dengan Air sebagai alat
bahan padat bukan pemadam rokok
logam
Kelas B Kebakaran dengan Jenis basa sebagai
bahan bakar cair alat pemadam pokok
atau gas mudah
terbakar
Kelas C Kebakaran instalasi Dry chemical, CO2,
listrik bertegangan gas Hallon
Kelas D Kebakaran dengan Bubuk kimia kering
bahan bakar logam (drysand, bubuk
pryme)
Sumber ; Ramli, 2010a: 29.
8

2. Konsep Sistem Tanggap Darurat Kebakaran


a. Sistem Tanggap Darurat Kebakaran
1) Definisi Tanggap Darurat
Tanggap Darurat adalah tindakan segera untuk mengatasi
kebakaran yang terjadi dengan mengarahkan sumber daya yang
tersedia, sebelum bantuan dari luar datang. Untuk menghadapi
kebakaran ini, perlu disusun organisasi tanggap darurat yang
melibatkan semua terkait dengan operasi atau kegiatan (Ramli,
2010a: 157).
Menurut Permenkes Nomor 48 Tahun 2016 (Halaman 37),
Keadaan darurat dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu :
a) Keadaan Darurat Tingkat I (Tier I)
Keadaan Darurat Tingkat I adalah keadaan darurat yang
berpotensi mengancam bahaya manusia dan harta benda
(asset), yang secara normal dapat diatasi oleh personil jaga dan
suatu instalasi/pabrik dengan menggunakan prosedur yang
telah dipersiapkan, tanpa perlu adanya regu bantuan yang
dikonsinyir.
b) Keadaan Darurat Tingkat II (Tier II)
Keadaan Darurat Tingkat II adalah suatu kecelekaan besar
dimana semua pekerja yang bertugas dibantu dengan peralatan
dan material yang tersedia diinstalasi/pabrik tersebut, tidak
mampu mengendalikan keadaan darurat tersebut, seperti
kebakaran besar, ledakan dahsyat, bocoran bahan B3 yang
kuat, semburan liar sumur minyak/gas dan lain-lain, yang
mengancam nyawa manusia atau lingkungannya atau asset dan
instalasi tersebut dengan dampak bahaya atas
karyawan/daerah/masyarakat sekitar. Bantuan tambahan masih
berasal dari industri sekitar, pemerintah setempat dan
masyarakat sekitar.
9

c) Keadaan Darurat Tingkat I (Tier III)


Keadaan Darurat Tingkat III adalah keadaan darurat berupa
malapetaka/bencana dahsyat dengan akibat lebih besar
dibandingkan denogan Tier II, dan memerlukan bantuan,
koordinasi pada tingkat nasional.
2) Definisi Sistem Tanggap Darurar Kebakaran
Berdasarkan Kepmenaker No.186/MEN/1999 tentang
Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja pasal 1 huruf c dan d,
penanggulangan kebakaran adalah segala upaya untuk mencegah
timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian setiap
perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan
sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat
untuk memberantas kebakaran. Sedangkan unit penanggulangan
kebakaran ialah unit kerja yang dibentuk dan ditugasi untuk
menangani masalah penanggulangan kebakaran di tempat kerja
yang meliputi kegiatan administrasi, identifikasi sumber-sumber
bahaya, pemeriksaan, pemeliharaan dan perbaikan sistem proteksi
kebakaran.
b. Organisasi Tanggap Darurat Kebakaran
Untuk mengelola upaya pencegahan kebakaran diperlukan
pengorganisasian yang baik misalnya dengan membentuk organisasi
kebakaran, baik yang bersifat struktural maupun non struktural. Pada
perusahaan dengan risiko kebakaran tinggi, misalnya petrokimia dan
kilang minyak, biasanya dibentuk organisasi bagian kebakaran yang
bertugas mencegah sekaligus menanggulangi jika kebakaran terjadi.
Pada organisasi atau perusahaan lainnya, mungkin cukup dibentuk
organisasi tanggap darurat yang berperan membantu penanggulangan
kebakaran jika terjadi (Ramli, 2010a: 142).
Menurut Kepmenaker No.186/MEN/1999 tentang unit
penanggulangan kebakaran di Tempat Kerja, organisasi tanggap
darurat adalah pembentukan suatu tim saat terjadi kebakaran yang
10

dibentuk dan ditugasi untuk menanggulangi kebakaran. Maka


organisasi darurat hanya berfungsi dan melaksanakan kegiatan pada
keadaan darurat saja, sehingga dalam penyusunan dan penetapan
organisasi pelaksana kegiatan normal (rutin) yang ada pada bangunan.
Dengan demikian penetapan susunan organisasi serta tugas dan fungsi
dari setiap unit yang ada harus disesuaikan dengan organisasi dalam
keadaan normal termasuk kedudukan dan sifat hubungan antara
masing-masing unit tersebut.
Menurut (Ramli, 2010b: 156) Organisasi kebakaran adalah
sistem yang mempelajari penanggulangan keadaan darurat secara
terorganisasi dengan melibatkan berbagai fungsi dalam organisasi
sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Penanganan keadaan darurat sekurang-kurangnya harus melibatkan
fungsi sebagai berikut:
1) Operasi, bertugas menjamin keamanan dan kelancaran operasi
selama keadaan darurat berlangsung.
2) Teknik, bertugas menjamin dan mendukung sarana teknis yang
diperlukan untuk penanggulangan keadaan darurat.
3) Sekuriti, bertugas menjaga keamanan selama keadaan darurat.
4) Medis, untuk memberi bantuan dan pertolongan medis terhadap
korban.
5) Pemadam kebakaran, bertugas menanggulangi keadaan darurat.
6) Safety, bertugas menjaga dan memberikan saran dan pertimbangan
keselamatan.
7) Logistik, bertugas menyediakan perlengkapan dan kebutuhan
logistik untuk penanggulan.
8) Transportasi, bertugas memberi dukungan sarana transportasi dan
alat berat jika diperlukan.
Selain itu, Kepmenkes RI No.432/MENKES/SK/2007
menjelaskan bahwa organisasi K3 berada 1 (satu) tingkat dibawah
11

direktur, bukan kerja rangkap dan merupakan unit organisasi yang


bertanggung jawab masing-masing.
Menurut KEPMENKES RI No.432/MENKES/SK/IV/2007
Tugas dan fungsi organisasi kebakaran, yaitu:
1) Tugas dan fungsi organisasi/unit pelaksanaan K3 Rumah Sakit
a) Tugas pokok :
(1) Memberi saran dan kebijakan kepada Direktur Rumah
Sakit mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan
K3.
(2) Merumuskan kebijakan, peraturan, pedoman, petunjuk,
pelaksanaan dan prosedur.
(3) Membuat program K3 Rumah Sakit
b) Fungsi
(1) Mengumpulkan dan mengolah seluruh data dan
informasi serta permasalahan yang berhubungan dengan
K3.
(2) Membantu Direktur Rumah Sakit mengadakan dan
meningkatkan upaya promosi K3, pelatihan dan
penelitian K3 di Rumah Sakit.
(3) Pengawasan terhadap pelaksanaan program K3
(4) Memberikan saran dan pertimbangan berkaitan dengan
tindakan korektif.
(5) Koordinasi dengan anggota K3 yang ada di Rumah Sakit.
(6) Memberikan nasehat tentang manajemen K3 di tempat
kerja, kontrol bahaya, mengeluarkan peraturan dan
inisiatif pencegahan.
(7) Investigasi dan melaporkan kecelakaan serta
merekomendasikan sesuai kegiatannya.
(8) Berpartisipasi dalam perencanaan pembelian peralatan
baru, pembangunan gedung dan proses.
12

2) Struktur Organisasi K3 di Rumah Sakit


Organisasi K3 bukan merupakan kerja rangkap, tetapi ia
berada 1 tingkat di bawah Direktur.
Model 1 :
Merupakan organisasi yang terstruktur dan bertanggung
jawab kepada Direktur Rumah Sakit, bentuk organisasi K3 di
Rumah Sakit merupakan organisasi struktural yang terintegrasi
kedalam komite yang ada di Rumah Sakit dan disesuaikan dengan
kondisi/kelas masing-masing Rumah Sakit, misalnya Komite
Medis/Nosokomial.
Model 2 :
Merupakan unit organisasi fungsional (non structural),
bertanggung jawab langsung ke Direktur Rumah Sakit. Nama
organisasinya adalah unit pelaksana ke Rumah Sakit, yang
dibantu oleh unit K3 yang beranggotakan seluruh unit kerja di
Rumah Sakit.
Keanggotaan :
1) Organisasi/unit pelaksana K3 Rumah Sakit beranggotakan
unsur-unsur dari petugas dan jajaran direksi Rumah Sakit.
2) Organisasi/unit pelaksana K3 Rumah Sakit terdiri dari
sekurang-kurangnya ketua, sekretaris dan anggota.
Organisasi/unit pelaksana K3 Rumah Sakit dipimpin oleh
ketua.
3) Pelaksanaan tugas ketua dibantu oleh wakil ketua dan
sekretaris serta anggota.
4) Ketua organisasi/unit pelaksana K3 Rumah Sakit sebaiknya
adalah salah satu manajemen tertinggi di Rumah Sakit atau
sekurang-kurangnya manajemen dibawah langsung Direktur
Rumah Sakit.
13

5) Sedangkan sekretaris organisasi/unit pelaksana K3 Rumah


Sakit adalah seorang tenaga profesional K3 Rumah Sakit, yaitu
Manager K3 Rumah Sakit atau ahli K3.
3) Mekanisme Kerja
Ketua organisasi/unit pelaksana K3 Rumah Sakit
pemimpin dan mengkoordinasikan kegiatan organisasi/unit
pelaksana K3 Rumah Sakit. Sekretaris organisasi/unit pelaksana
K3 Rumah Sakit memimpin dan mengkoordinasikan tugas-tugas
kesekretariatan dan melaksanakan keputusan organisasi/unit
pelaksana K3 Rumah Sakit. Anggota organisasi/unit pelaksana
K3 Rumah Sakit mengikuti rapat organisasi/unit pelaksana K3
Rumah Sakit dan melakukan pembahasan atas persoalan yang
diajukan dalam rapat, serta melaksanakan tugas-tugas yang
diberikan organisasi/unit pelaksana K3 Rumah Sakit. Untuk dapat
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, organisasi/unit
pelaksana K3 Rumah Sakit mengumpulkan data informasi
mengenai pelaksanaan K3 di Rumah Sakit. Sumber bisa dari
tempat pengobatan Rumah Sakit sendiri antara lain jumlah
kunjungan, P3K dan tindakan medik karena kecelakaan, rujukan
ke Rumah Sakit bila perlu pengobatan lanjutan, lama perawatan
dan lama berobat. Informasi juga dikumpulkan dari hasil
monitoring tempat kerja dan lingkungan kerja Rumah Sakit.
Terutama yang berkaitan dengan sumber bahaya potensial baik
yang berasal dari kondisi berbahaya maupun tindakan berbahaya
serta data dari bagian K3 berupa laporan pelaksanaan K3 dan
analisisnya.
Data dan informasi dibahas dalam organisasi/unit
pelaksana K3 Rumah Sakit, untuk menemukan penyebab masalah
dan merumuskan tindakan korektif maupun tindakan preventif.
Hasil rumusan disampaikan dalam bentuk rekomendasi kepada
Direktur Rumah Sakit. Rekomendasi berisi saran tindak lanjut
14

dari organisasi/unit pelaksana K3 RS serta alternative pilihan


serta perkiraan hasil/konsekuensi setiap pilihan.
Organisasi/unit pelaksana K3 Rumah Sakit membantu
melakukan upaya promosi di lingkungan Rumah Sakit baik pada
petugas, pasien maupun pengunjung, yaitu mengenai segala
upaya pencegahan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan Penyakit
Akibat Kerja (PAK) di Rumah Sakit. Juga bisa diadakan lomba
pelaksanaan K3 antar bagian atau unit kerja yang ada di
lingkungan kerja Rumah Sakit, dan yang terbaik atau terbagus
pelaksanaan dan penerapan K3 nya mendapat reward dari
Direktur RS.
c. Sistem Evakuasi Kebakaran
Menurut KEPMEN PU Nomor 10/Kpts/2000 sistem
penyelamat atau sistem evakuasi adalah sarana yang dipersiapkan
untuk dipergunakan oleh penghuni maupun petugas pemadam
kebakaran dalam upaya penyelamatan jiwa manusia maupun harta
benda bila terjadi kebakaran pada suatu bangunan gedung dan
lingkungan. Sarana evakuasi sangat diperlukan untuk penyelamatan
penghuni bangunan, adapun sarana evakuasi yang dibutuhkan adalah:
1) Pintu Darurat
Pintu kebakaran (fire doors) adalah pintu-pintu yang
langsung menuju tangga kebakaran dan hanya dipergunakan
apabila terjadi kebakaran.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pintu darurat sesuai
dengan Permenkes Nomor 48 Tahun 2016 adalah:
a) Pintu harus tahan terhadap api sekurang-kurangnya 2 jam.
b) Pintu harus dilengkapi minimal 3 engsel.
c) Pintu juga harus dilengkapi dengan alat penutup otomatis
(door closer). Bila pintu dioperasikan dengan tenaga listrik
maka harus dapat dibuka secara manual bila terjadi kerusakan,
dapat membuka langsung kearah jalan umum dan harus dapat
15

membuka otomatis bila terjadi kegagalan pada daya listrik atau


saat aktivasi alarm kebakaran.
d) Pintu dilengkapi dengan tuas atau tungkai pembuka pintu yang
berada diluar ruang tangga (kecuali tangga yang berada
dilantai dasar, berada didalam ruang tangga) dan sebaiknya
menggunakan tuas yang memudahkan, terutama dalam
keadaan panik (panic bar).
e) Pintu dilengkapi dengan tanda peringatan “Tangga Darurat –
Tutup Kembali”.
f) Pintu dapat dilengkapi dengan kaca tahan api.
g) Ambang pintu harus tidak mengenai anak tangga atau ramp
minimal selebar daun pintu.
h) Pintu paling atas membuka kearah luar (atap bangunan) dan
semua pintu lainnya membuka kearah ruangan tangga kecuali
pintu paling bawah membuka keluar dan langsung
berhubungan ruang luar.
2) Tangga Darurat
Tangga darurat adalah tangga yang direncanakan khusus
untuk penyelamatan bila terjadi kebakaran. Tangga darurat
dilindungi oleh saf tahan api dan termasuk didalamnya lantai dan
atap atau ujung atas struktur penutup (Permenkes Nomor 48 Tahun
2016).
Dalam pemasangan jalan keluar atau jalan penyelamatan
(emergency exit) berupa tangga kebakaran (fire escape) harus
memperhatikan syarat-syarat Permenkes Nomor 48 Tahun 2016
yaitu:
a) Setiap bangunan gedung yang bertingkat lebih dari 3 lantai,
harus mempunyai tangga darurat atau penyelamatan minimal 2
(dua) buah dengan jarak maksimum 45 m (bila dalam gedung
terdapat sprinkler, maka jarak maksimal bisa 67,5 m).
16

b) Tangga darurat penyelamatan harus dilengkapi dengan pintu


tahan api, minimum 2 (dua) jam, dengan arah pembukaan ke
tangga dan dapat menutup secara otomatis, dilengkapi dengan
kipas (fan) untuk memberi tekanan positif. Pintu harus
dilengkapi dengan lampu dan petunjuk KELUAR atau EXIT
yang menyala saat listrik/PLN mati. Lampu exit dipasok dari
baterai UPS terpusat.
c) Tangga darurat penyelamatan yang terletak didalam bangunan
harus dipisahkan dari ruang-ruang lain dengan pintu tahan api
dan bebas asap, pencapaian mudah, serta jarak pencapaian
maksimum 45 m dan minimum 9 m.
d) Lebar tangga darurat penyelamatan minimal 1,20 m.
e) Tangga darurat penyelamatan tidak boleh berbentuk tangga
melingkar vertikal.
f) Peletakan pintu keluar (exit) pada lantai dasar langsung kearah
luar halaman.
g) Dilarang menggunakan tangga melingkar (tangga spiral)
sebagai darurat.
h) Tangga darurat dan borders harus memiliki lebar minimal 1,20
m dan tidak boleh menjepit kearah bawah.
i) Tangga darurat harus dilengkapi pegangan (hand rail) yang
kuat setinggi 1,10 m dan mempunyai lebar injakan anak tangga
minimal 28 cm dan tinggi maksimal anak tangga 20 cm.
j) Tangga darurat terbuka yang terletak diluar bangunan harus
berjarak minimal 1 m dari bukaan dinding yang berdekatan
dengan tangga kebakaran tersebut.
k) Jarak pencapaian ke tangga darurat dari setiap titik dalam
ruang efektif, maksimal 25 m apabila tidak dilengkapi dengan
springkler dan maksimal 40 m apabila dilengkapi dengan
sprinkler.
17

3) RAM
RAM adalah jalur sirkulasi yang memiliki kemiringan
tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat
menggunakan tangga. Syarat dan ketentuan pemasangan RAM
menurut Permenkes RI Nomor 24 Tahun 2016 yaitu:
a) Kemiringan suatu ram didalam bangunan tidak boleh melebihi
70, perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan
dan akhiran RAM (curb ramps/landing).
b) Panjang mendatar dari satu RAM (dengan kemiringan 70)
tidak boleh lebih dari 900 cm. Panjang RAM dengan
kemiringan yang lebih rendah dapat lebih panjang.
c) Lebar minimum dari RAM adalah 2,40 m dengan tepi
pengaman
d) Muka datar (bordes) pada awalan atau akhiran dari suatu RAM
harus bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-
kurangnya untuk memutar kursi roda dan brankar/tempat tidur
pasien, dengan ukuran minimum 160 cm.
e) Lebar tepi pengaman RAM (low curb) maksimal 10 cm
sehingga dapat mengamankan roda dari kursi roda atau
brankar/tempat tidur pasien agar tidak terperosok atau keluar
RAM.
f) Apabila letak RAM berbatasan langsung dengan lalu lintas
jalan umum atau persimpangan, RAM harus dibuat tidak
mengganggu jalan umum.
g) Pencahayaan harus cukup sehingga membantu penggunaan
RAM saat malam hari. Pencahayaan disediakan pada bagian
RAM yang memiliki ketinggian terhadap muka tanah
sekitarnya dan bagian-bagian yang membahayakan.
h) Dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang
dijamin kekuatannya dengan ketinggian yang sesuai.
18

4) Lift Kebakaran
Permenkes RI No. 24 Tahun 2016 tentang persyaratan teknis
bangunan dan prasarana rumah sakit, setiap bangunan rumah sakit
yang menggunakan lift harus menyediakan lift khusus kebakaran
yang dimulai dari lantai dasar bangunan (ground floor) luas lift
pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kecil berukuran
1,50 x 2,30 meter dengan lebar pintu tidak kurang dari 1,20 meter
untuk memungkinkan lewatnya tempat tidur dan brankar/tempat
tidur pasien bersama-sama dengan pengantarnya.
Dalam hal ini rumah sakit tidak memiliki lift khusus
kebakaran, lift pasien, lift pengunjung atau lift servis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diatur pengoperasiannya sehingga
dalam keadaan darurat dapat digunakan khusus oleh petugas
kebakaran. Ketentuan teknis lift kebakaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) dan ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5) Penerangan Darurat
Penerangan darurat adalah sebuah lampu yang dirancang
untuk digunakan pada sistem pencahayaan darurat. Pencahayaan
darurat pada sarana jalan keluar harus terus menerus menyala
selama penghuni membutuhkan sarana jalan keluar. Pencahayaan
buatan yang dioperasikan sebagai pencahayaan darurat dipasang
pada tempat-tempat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu
sesuai kebutuhan untuk menjaga pencahayaan sampai ketingkat
minimum yang ditentukan (SNI 03-6574-2001).
Persyaratan penerangan darurat menurut (SNI 03-6574-2001)
adalah:
a) Sinar lampu harus berwarna kuning sehingga mendapat asap
dan tidak menyilaukan 10 lux.
b) Ruangan yang disinari adalah jalan menuju pintu darurat saja.
c) Tersedia penerangan darurat dari aliran listrik darurat.
19

d) Penempatan lampu darurat dengan baik sehingga bila satu


lampu mati tidak akan menyebabkan gelap.
6) Tanda Petunjuk Keluar
Petunjuk jalan keluar harus diberi tanda apabila di isyaratkan
untuk seluruh klasifikasi bangunan gedung. Lokasi pemasangannya
yaitu tanda petunjuk jalan keluar dibawah yang baru harus
diletakkan pada jarah vertikal tidak lebih dari 20 cm diatas ujung
bagian atas bukaan jalan keluar, dimaksud yang ditujukan oleh
penandaan. Tanda petunjuk jalan keluar harus diletakkan pada
jarak horizontal tidak lebih lebar dari disyaratkan untuk bukaan
jalan keluar, dimaksud untuk menunjukkan oleh penanda ke ujung
terdekat dari penandaan.
7) Tempat Berkumpul
Tempat berkumpul atau berhimpun adalah tempat diarea
sekitar atau diluar lokasi yang dijadikan sebagai tempat berkumpul
setelah proses evakuasi dan dilakukan perhitungan saat terjadi
kebakaran (Hadi dkk, 2015).
d. Pembinaan dan Pelatihan Tanggap Darurat Kebakaran
Tujuan pembinaan dan pelatihan adalah agar tim tanggap
darurat dan semua pekerja memahami dan terlatih dalam menghadapi
keadaan darurat serta untuk memastikan semua sarana/peralatan selalu
dalam keadaan siap pakai dan berfungsi dengan baik, perlu disiapkan
skenario kejadian secara rinci yang memuat siapa, berbuat apa, dan
sistem, peralatan, sarana yang digunakan (Ramli, 2010b)
Untuk melaksanakan pembinaan dan pelatihan diperlukan 3
(tiga) tahap yaitu :
1) Tahap persiapan meliputi membuat jadwal rencana pelaksanaan,
sosialisasi protap kesiapsiagaan tanggap darurat pabrik ataupun
tempat kerja tentang tindakan yang harus dilakukan jika terjadi
keadaan darurat pada pabrik ataupun tempat kerja, pada umumnya
untuk penghuni pabrik ataupun tempat kerja dan khususnya darurat
20

tindakan yang harus dilakukan disesuaikan dengan tugas dan


tanggung jawabnya bagi tim yang termasuk dalam organisasi
tanggap darurat.
2) Tahap pra-pelaksanaan pembinaan dan pelatihan meliputi
sosialisasi skenario keseluruhan anggota tim organisasi darurat,
pengujian semua peralatan yang akan digunakan dalam simulasi
dan melaksanakan galadi simulasi termasuk koordinasi dengan
pihak luar pabrik ataupun tempat kerja jika diperlukan.
3) Tahap pelaksanaan meliputi pelaksanaan dan evaluasi hasil
pelaksanaan (Kepmenkes, 2010)
Pembinaan dan pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak
yang terkait dengan kegiatan perusahaan. Program pembinaan dan
pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing misalnya :
1) Tim Pemadam Kebakaran
Perlu di beri pembinaan dan pelatihan mengenai teknik
menanggulangi kebakaran, teknik penyelamatan (rescue), cara
pertolongan pertama (P3K), penggunaan peralatan pemadam
kebakaran, teknik menyelamatkan diri dan lainnya. Sasarannya
adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam
melakukan penanggulangan kebakaran. Latihan dapat dilakukan
secara khusus atau bersifat fire drill.
2) Para Pekerja
Diberi pembinaan dan pelatihan mengenai bahaya
kebakaran dengan tujuan untuk meningkatkan kesadarannya.
Mereka juga perlu diberi pelatihan mengenai cara penyelamatan
diri dalam kebakaran, prosedur evakuasi dan petunjuk praktis P3K,
pembinaan dalam meningkatkan kesadaran dalam bekerja akan
bahaya yang ada, dan mempelajari peralatan kebakaran yang
tersedia.
21

3) Manajemen
Diberi pemahaman mengenai risiko kebakaran dan peran
mereka dalam meningkatkan kesadaran di lingkungan kerja.
Manajemen juga perlu diberi pemahaman tentang dampak
kebakaran terhadap bisnisnya sehingga diharapkan mereka akan
lebih peduli dan memiliki komitmen untuk mendukung program
pencegahan kebakaran.
4) Masyarakat dan Lingkungan Sekitar
Mereka juga perlu diberi pembinaan dan pelatihan atau
setidaknya sosialisasi mengenai bahaya kebakaran. Banyak terjadi
kebakaran justru bermula dari pihak luar atau masyarakat
berdekatan dengan aktifitas organisasi.
Berdasarkan KEPMENKES RI NO
1087/MENKES/SK/VIII/2010 tentang Pendidikan dan Pelatihan K3
di Rumah Sakit merupakan hal pokok yang tidak bisa
dikesampingkan. Direktur rmemegang peran penting dalam
membangun kepedulian dan memotivasi pekerja dengan menjelaskan
nilai-nilai organisasi dan mengkomunikasikan komitmennya pada
kebijakan yang telah dibuat. Selanjutnya transformasi sistem
manajemen K3 dari prosedur tertulis menjadi proses yang efektif
merupakan komitmen bersama. Identifikasi pengetahuan, kompetensi
dan keahlian yang diperlukan dalam mencapai tujuan dilakukan mulai
dari proses: rekruitmen, seleksi, penempatan, orientasi, pengkajian,
pelatihan dan pengembangan kompetensi/keahlian lainnya, rotasi dan
mutasi, serta hukuman dan penghargaan (reward and punishment).
Pada Program organisasi ini yaitu pelatihan kebakaran di
Rumah Sakit yang melibatkan semua petugas yang tergabung dalam
organisasi kebakaran dengan menggunakan peralatan keselamatan
yang ada seperti APAR dengan metode yang baik dan benar dalam
pelatihan tersebut, Dimana setiap kegiatan ini di tanggung oleh pihak
rumah sakit sebagai penyelenggara.
22

Program pelatihan yang dikembangkan untuk K3 di Rumah


Sakit setidaknya mempunyai unsur:
1. Identifikasi kebutuhan pelatihan K3 Rumah Sakit yang
dituangkan dalam matriks pelatihan.
2. Pengembangan rencana pelatihan untuk memenuhi kebutuhan
tertentu
3. Ditetapkannya program dan jadwal pelatihan dibidang K3.
4. Ditetapkannya program simulasi atau latihan praktek untuk semua
Sumber Daya Manusia Rumah Sakit dibidang K3.
5. Harus ada kegiatan keterampilan melalui seminar, workshop,
pertemuan ilmiah, pendidikan lanjutan yang dibuktikan dengan
sertifikat.
6. Verifikasi kesesuaian program pelatihan dengan persyaratan
organisasi atau perundang-undangan.
7. Pelatihan untuk sekelompok Sumber Daya Manusia (SDM)
Rumah Sakit yang menjadi sasaran.
8. Pendokumentasian pelatihan yang telah diterima.
9. Evaluasi pelatihan yang telah diterima.
e. Sistem Proteksi Kebakaran
Sistem proteksi kebakaran merupakan sistem yang di pelajari
dalam usaha mengurangi dampak yang tidak di inginkan dari
kebakaran yang berpotensi merusak. Sehingga bangunan juga harus
dibangun sesuai dengan persyaratan standar bangunan yang berlaku
sehingga kompatibel dengan peralatan proteksi kebakaran yang akan
di pasang pada bangunan (Napitupulu dkk, 2015:7).
Persyaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan
gedung dan lingkungan meliputi (Permen PU No.26 tahun 2008) :
1) Ketentuan umum.
2) Akses dan pasokan air untuk pemadaman kebakaran.
3) Sarana penyelamatan.
4) Sistem proteksi kebakaran pasif.
23

5) Sistem proteksi kebakaran aktif.


6) Utilitas bangunan gedung.
7) Pencegahan kebakaran pada bangunan gedung.
8) Pengelolaan sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung.
9) Pengawasan dan pengendalian.
Sarana proteksi kebakaran terbagi 2 sistem yakni sistem
proteksi aktif dan sistem proteksi pasif (Kepmen PU No.
10/KPTS/2000: 3).
1) Sistem Proteksi Aktif
Menurut Kepmen PU No. 10/KPTS/2000 sistem proteksi
aktif adalah sistem perlindungan terhadap kebakaran yang
dilakukan dengan mempergunakan peralatan yang dapat bekerja
secara otomatis maupun manual, yang dapat dipergunakan oleh
penghuni atau petugas pemadam kebakaran dalam melaksanakan
operasi pemadaman.
Sarana Pendeteksi dan Peringatan Kebakaran terdiri dari :
a) Detektor Kebakaran
Menurut (Ramli, 2010a: 83) Detektor Kebakaran
memiliki fungsi untuk mendeteksi terjadinya api sedini
mungkin. Detektor dibagi menjadi 3 macam yaitu :
(1)Alat Deteksi Asap
Alat ini mempunyai kepekaan yang tinggi dan akan
menyalakan alarm bila terdapat asap diruangan tempat alat
ini dipasang, Karena kepekaannya, alat deteksi ini akan
langsung aktif bila terdapat asap rokok. Alat deteksi asap
member sinyal ke alarm bahaya dengan cara mendeteksi
adanya asap yang berasal dari nyala api yang tidak terkendali.
(2)Alat Deteksi Panas
Prinsip dasarnya, jika temperature di sekitar pendeteksi
naik lebih tinggi diatas nilai ambang batas yang ditetapkan
dan kemudian akan memicu alarm.
24

(3)Alat Deteksi Nyala Api


Api mengeluarkan radiasi sinar inframerah dan
ultraviolet, keberadaan sinar ini dapat di deteksi oleh sensor
yang terpasang dalam detector.
b) Alarm Kebakaran
(1)Bel
Merupakan alarm yang akan bordering jika terjadi
kebakaran, dapat difungsikan secara manual atau dikoneksi
dengan sistem deteksi kebakaran. Suara bel agak terbatas,
sehingga sesuai ditempatkan dalam ruangan terbatas seperti
kantor.
(2)Sirine
Fungsi sama dengan bel, namun jenis suara yang
dikeluarkan berupa sirine. Sirine mengeluarkan suara yang
lebih keras sehingga sesuai digunakan ditempat kerja yang
luas seperti rumah sakit dan pabrik.
(3)Horn
Horn juga berupa suara yang cukup keras namun lebih
rendah dibandingkan sirine.
(4)Pengeras Suara
Dalam suatu bangunan yang luas dimana penghuni
tidak dapat mengetahui keadaan darurat secara cepat, perlu
dipasang jaringan pengeras suara yang dilengkapi dengan
penguatnya (pre-amplifier).
c) Sarana Pemadam Kebakaran Pemancar Air (Sprinkler)
Menurut PerMen PU No.26/PRT/M/2008, sprinkler
adalah alat pemancar air untuk pemadam kebakaran yang
mempunyai tudung berbentuk detector pada ujung mulut
pancarnya, sehingga air dapat memancar ke semua arah secara
merata.
25

d) Alat Pemadam Api Ringan (APAR)


APAR adalah alat pemadam api yang bisa diangkut,
diangkat dan dioperasikan oleh satu orang. Apar pertama kali
dikenal pada tahun 1723 di Inggris yang diciptakan oleh
Ambrose Godfrey seorang ahli kimia (Ramli, 2010a :102).
Syarat-syarat penempatan alat pemadam api ringan
(APAR) menurut PERMENKES No.48 Tahun 2016, adalah:
(1) Ditempatkan ditempat yang mudah terlihat, dijangkau dan
mudah diambil (tidak diikat, dikunci atau digembok).
(2) Ditempatkan di setiap jarak 15 m dengan tinggi
pemasangan maksimum 125 cm.
(3) Memperhatikan jenis media dan ukurannya harus sesuai
dengan klasifikasi beban api.
(4) Dilakukan pemeriksaan kondisi dan masa pakai secara
berkala minimal 2 (dua) kali setahun.
Jenis-jenis alat pemadam kebakaran dapat dibedakan atas
alat pemadam kebakaran jenis air, alat pemadam kebakaran jenis
busa (foam), alat pemadam kebakaran jenis tepung kimia kering
(Dry Chemical Powder), alat pemadam kebakaran jenis gas
karbondioksida (CO2), dan alat pemadam kebakaran jenis halon
(Napitupulu, Dulbert 2015:82).
(1) Alat Pemadam Kebakaran Jenis Air
Air sampai sekarang masih di anggap sebagai bahan
pemadam api yang utama karena keberadaannya yang
melimpah serta kemampuannya dalam menyerap panas.
Dan hampir pada setiap peristiwa kebakaran air selalu
digunakan, kecuali untuk kebakaran-kebakaran tertentu,
yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.

(2) Alat Pemadam Kebakaran Jenis Busa (FOAM)


26

Bahan pemadam busa yang pertama adalah busa


bahan kimia yang di hasilkan dari pencampuran garam basa
dengan garam asam dalam air. Reaksi tersebut
menghasilkan busa yang berasal dari karbondioksida yang
terbentuk. Pada APAR kedua bahan kimia tadi (garam basa
dan garaam asam) dalam bentuk larutannya dipisahkan
dalam dua tabung. Dan ketika akan di gunakan kedua
larutan tadi dapat bercampur yang menghasilkan busa.
Prinsip pemadaman dari busa adalah mengisolasi
bahan bakar dari oksigen (udara) dan pendinginan karena
mengandung air. Oleh karena itu, untuk kebakaran yang
masih terdapat bahaya aliran listrik busa tidak dapat
digunakan.
(3) Alat Pemadam Kebakaran Jenis Serbuk Kimia Kering (Dry
Chemical Powder)
Dry chemical adalah berbagai campuran dari
partikel-partikel benda padat halus yang kadang diberi
tambahan perlakuan khusus, agar tahan pada kemasannya,
tahan lembab untuk mendapat karakteristik aliran yang
dikehendaki bahan-bahan ini dirancang untuk pemadaman
kebakaran kelas A dan B. Bila bahan ini tidak menghantar
listrik, dapat digunakan untuk situasi kebakaran kelas C.
Berdasarkan prinsip pemadamannya, komponen
pembentuknya yaitu gas inert dan padatan, adalah
penurunan konsentrasi oksigen di titik nyala dan penutupan
permukaan bahan bakar oleh serbuk kimia nya, sedangkan
efek pendinginnya di anggap kurang signifikan untuk
padamnya api.
Sedangkan bahan dasar dari serbuk kimia kering tadi
dapat berupa bahan kimia seperti di bawah ini :
(a) ABC (ammonium phospat bicarbonat base)
27

(b) PURPLEK (sodium bicarbonate base)


(c) ORDINARY (sodium bicarbonate base )
(d) MONEX (urea potasium bicarbonate base)
Di dalam suatu area yang luas, penghuni atau
petugas tidak mungkin mengetahui situasi seluruh bagian
area Untuk gas pendorong nya biasa digunakan gas
nitrogen karena sifatnya inert (tidak bereaksi). Kelebihan
dari kimia kering ini adalah kemampuannya untuk
pemadaman kelas A, B dan C. Sedangkan kekurangannya
adalah untuk pemadaman kelas A dapat terjadi penyalaan
kembali karena fisik bahannya tidak dapat meresap kepori-
pori benda yang terbakar. Satu lagi kekurangannya adalah
karena bentuk fisiknya yang serbuk akan meninggalkan sisa
bahan yang mengotori sekitar tempat kebakaran, dan pada
kasusnya menyangkut pemadaman kebakaran alat-alat
elektronik dapat menyebabakan kerusakan karena
menyusupnya serbuk bahan ke sela-sela komponen
peralatan.
(4) Alat Pemadam Kebakaran Jenis Gas karbondioksida (CO2)
APAR jenis ini berisi gas CO2 yang dimampatkan
sehingga apabila kran dibuka maka gas CO2 akan keluar,
biasanya terlihat seperti awan putih dan sedikit gumpalan
salju. Prinsip pemadamannya adalah pendinginan dan
penggeseran keseimbangan reaksi pembakaran
(pengurangan kadar oksigen dipangkal api). Karena CO2
berbentuk gas maka ia tidak dapat meresap kepori-pori
benda yang terbakar, dengan dasar ini dapatlah dimengerti
bahwa CO2 tidak efektif untuk pemadaman kebakaran kelas
A.

Kelebihan pemakaian CO2 antara lain:


28

(a) Efektif untuk pemadaman pada tangki cairan yang


mudah terbakar, baik yang terbuka ataupun yang
tertutup.
(b) Tidak menghantar arus listrik.
(c) Tidak merusak atau meninggalkan noda.
(d) Menghentikan nyala api kebakaran kelas A.
Kekurangan pemakaian CO2 antara lain:
(a) Setelah karbondioksida hilang, penyalaan kembali
dapat terjadi.
(b) Biasanya tidak dapat memadamkan kebakaran kelas A
secara tuntas.
(c) Tidak ekonomis untuk area kebakaran yang luas.
(d) Menurunkan kadar oksigen dapat menyebabkan sesak
nafas.
(5) Alat Pemadam Kebakaran Jenis Halon
Halon adalah sebutan untuk hidrokarbon
terhalogenisasi dan juga untuk senyawa kimia yang
mengandung unsur karbon plus satu atau lebih unsur dari
golongan halogen (florine, chlorine, bromine atau lodine).
Walau banyak yang termasuk golongan hidrokarbon
terhalogenisasi, hanya beberapa jenis halon yang sesuai
untuk bahan pemadam api. Halon tidak menghantar arus
listrik dan efektif untuk memadamkan kebakaran
permukaan seperti pada cairan yang mudah terbakar,
sebagian besar material padat mudah terbakar dan
kebakaran listrik. Prinsip pemadamnya adalah secara
kimiawi. Yaitu menghentikan proses pembakaran itu sendiri
dengan memutuskan rantai kimia, mencegah perkembangan
lebih jauh dari api. Aksi kimia penghentian terbentuknya
api ini dapat terjadi hanya dengan sedikit konsentrasi halon
untuk kebakaran yang relatif besar. Bahan pemadam api
29

tipe ini efektif mengontrol atau memadamkan api


permukaan pada cairan mudah terbakar, padatan, atau gas.
Kekurangannya adalah harganya relatif mahal dan efeknya
merusak lingkungan.
Menurut (Ramli, 2010a :113) Penggunaan APAR dengan
mudah adalah dengan menggunakan teknik P.A.S.S yaitu:
(1) Pull The Pin (Cabut Pin)
Langkah pertama adalah menarik Pin atau pengaman
yang ada dibagian atas. Kunci ini berupa besi atau kawat
kecil yang diberi rantai. Jika Pin terpasang, maka katup
APAR tidak bisa digerakkan.
(2) Aim (Mengarahkan ke Sumber Api)
Alat Pemadam Api Ringan (APAR) diarahkan ke
sumber api sebagai sarana pemadaman. Perhatikan arah
angin dan sebaiknya berada diatas angin agar pemadaman
dapat efektif dan tidak terkena semburan media pemadam.
(3) Squezee The Handle (Pijat Kutup APAR)
Alat Pemadam Api Ringan (APAR) dilengkapi
dengan kutup atau pemegangnya yang jika dipijit, maka
akan membuka saluran media pemadam, sehingga media
pemadam akan keluar dari ujung penyemprot.
(4) Sweep (Kibaskan kekiri kekanan)
Selanjutnya, slang penyalur dikibaskan kekiri dan
kekanan, menurut arah api sampai api berhasil padam.
Pemadaman sebaiknya dilakukan untuk seluruh penghuni
atau petugas yang terlibat dalam peran kebakaran.
e) Hydrant Kebakaran
Menurut NFPA 14, instalasi hydrant kebakaran adalah
suatu sistem pemadam kebakaran yang menggunakan media
pemadam air bertekanan yang dialirkan melalui pipa-pipa dan
selang kebakaran. Sistem ini terdiri dari sistem persediaan air,
30

pompa perpipaan, kopling outlet dan inlet, selang, dan nozzle.


Ada beberapa klasifikasi hydrant yaitu :
(1) Berdasarkan jenis dan penempatan hydrant
(a) Hydrant gedung, adalah hydrant yang terletak di dalam
bangunan atau gedung dan instalasi serta peralatannya
disediakan serta dipasang, dalam bangunan gedung
tersebut.
(b) Hydrant halaman, adalah hydrant yang terletak di luar
bangunan atau gedung dan instalasi serta peralatannya
disediakan serta dipasang di lingkungan gedung
tersebut.
(2) Berdasarkan besar ukuran pipa hydrant yang dipakai
(a) Hydrant kelas I : menggunakan ukuran selang 2,5”
(b) Hydrant kelas II : menggunakan ukuran selang 1,5”
(c) Hydrant Kelas III : ukuran sistem gabungan kelas I dan
II (Ramli, 2010b).
2) Sistem Proteksi Pasif
Sistem proteksi pasif adalah sistem perlindungan bangunan
terhadap kebakaran melalui pertimbangan sifat termal bahan
bangunan, kebakaran api strukur bangunan, serta sistem
kompartenenisasi dalam bangunan. Menurut Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No. 26/PRT/M/2008, sistem proteksi pasif
terhadap kebakaran bertujuan untuk : Melindungi bangunan dari
keruntuhan serentak akibat kebakaran, meminimalisasi intensitas
kebakaran (supaya tidak terjadi flashover), menjamin
keberlangsungan fungsi gedung, namun tetap aman, melindungi
keselamatan petugas keselamatan pemadam kebakaran saat operasi
pemadaman dan penyelamatan.
a) Kontruksi Bangunan Gedung
Kontruksi bangunan gedung adalah elemen struktur dan
bangunan yang terdiri dinding, bentangan, balok penopang,
31

tiang penopang, lengkungan, lantai, dan atap yang membentuk


suatu bangunan gedung. Permen PU No. 26 tahun 2008
menjelaskan tujuan dari penyediaan sarana penyelamatan adalah
untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau luka pada waktu
melakukan evakuasi pada saat keadaan darurat. Setiap gedung
harus dilengkapi sarana penyelamatan yang dapat digunakan
oleh penghuni bangunan gedung sehingga memiliki cukup
waktu untuk menyelamatkan diri tanpa penghambat.
b) Sarana Jalan Keluar
Sarana jalan keluar dipelihara terus menerus, bebas dari
segala hambatan atau rintangan untuk penggunaan sepenuhnya
pada saat terjadinya kebakaran. Sarana jalan keluar adalah jalan
yang tidak terputus menuju jalan umum. Sedangkan jalan keluar
adalah jalan yang terlindung dari ancaman bahaya kebakaran
dengan bahan-bahan tahan api dengan lebar minimum 1,8 meter.
c) Pencahayaan Darurat
Ketersediaan sumber energy cadangan untuk
pencahayaan darurat sangat penting ketika terjadi kebakaran
yang menimbulkan asap yang dapat menyebabkan kesulitan
untuk melihat.
d) Petunjuk Arah Jalan Keluar
Tanda petunjuk arah jalan keluar harus memiliki tulisan
“KELUAR” atau “EXIT” dengan tinggi minimum 10 cm dan
lebar minimum tulisan 1 cm, terlihat jelas dari jarak 20 m dan
dilengkapi dengan lampu dengan warna dasar hijau.
e) Assembly Point
Assembly Point atau tempat berhimpun adalah tempat disekitar
lokasi yang dijadikan sebagai tempat berkumpul setelah proses
evakuasi dan penghitungan jumlah personal saat terjadinya
kebakaran. Assembly point harus aman dari kebakaran dan
32

lainnya sebaiknya disediakan pada jarak 100 m (200 feet) dari


gedung terdekat sesuai standar NFPA 101/SNI 03-1736-2000.
f) Prosedur Tanggap Darurat
Prosedur tanggap darurat adalah tatalaksana minimal yang harus
diikuti dalam rangka pencegahan dan penanggulangan
kebakaran. Dengan mengikuti ketentuan tersebut diharapkan
tidak terjadi kebakaran atau kebakaran dapat diminimalkan.
Adapun ketentuan prosedur tanggap darurat adalah sebagai
berikut :
(1) Prosedur tanggap darurat harus dimiliki oelh setiap
bangunan gedung, khususnya bangunan gedung umum,
perhotelan, perkantoran, pusat belanja, dan rumah sakit.
(2) Setiap bangunan gedung harus memiliki kelengkapan
prosedur tanggap darurat, antara lain mengenai
pemberitahuan awal, pemadaman kebakaran manual,
pelaksanaan evakuasi, pemeriksaan dan pemeliharaan
peralatan proteksi kebakaran.
(3) Prosedur tanggap darurat dapat diganti atau disempurnakan
sesuai dengan kondisi saat ini dan antisipasi untuk kondisi
yang akan datang.
(4) Prosedur tanggap darurat harus dikoordinasikan dengan
instansi pemadam kebakaran (Kepmen PU, 2000: 43)
g) Tim Penanggulangan Kebakaran
Tim dibentuk oleh pemilik/pengelola bangunan gedung (dengan
surat keputusan perusahaan yang tembusannya disampaikan
kepada Instansi pemadam kebakaran setempat, serta diumumkan
kepada seluruh penghuni/penyewa bangunan). TPK dalam
tugasnya menggunakan tanda-tanda khusus sebagai identitas diri
yang dibuat untuk keperluan itu. Setiap 10 karyawan/pengguna
bangunan diwajibkan menunjuk 1 (satu) orang untuk menjadi
anggota kelompok dalam TPK (Permen PU, 2009: 64)
33

h) Simulasi Kebakaran
Tujuan Simulasi Kebakaran adalah untuk melatih karyawan
agar selalu siap dalam menghadapi keadaan darurat. Kegiatan
ini dilakukan secara periodic dan diwajibkan bagi seluruh
karyawan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh diklat instansi
pemadam kebakaran setempat.

Anda mungkin juga menyukai