Patofisiologi
Keluarnya eksudat fibrinosa merupakan reaksi awal peritoneum terhadap adanya invasi
bakteri. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang.2 Adanya peradangan dapat menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator inflamasi, seperti interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga menyebabkan kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. 2,5 Organ-organ yang terdapat di dalam cavum
peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler. Penumpukan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus
serta edema seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen akan menyebabkan
hipovolemia.2
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut dapat meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha bernafas menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi. Bila etiologi yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat menyebabkan peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni
dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengakibatkan obstruksi usus.1,2,4 Obstruksi usus yang lama dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik, maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi
usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada
ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.5
Jenis Peritonitis
Peritonitis Aseptik
Merupakan peritonitis sekunder yang biasanya disebabkan oleh perforasi ulkus gaster atau
duodenal.
Peritonitis bilier
Relatif jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kolesistitis akut,
trauma, dan idiopatik
Peritonitis TB
1. secara langsung melalui nodul limfatik, regio ileocaecal atau pyosalping TB.
2. Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru. Kejadiannya dapat secara akut (seperti
peritonitis pada umumnya), dan kronik (onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam,
penurunan berat badan, keringat malam, massa abdomen). Terapinya berdasarkan terapi anti-TB,
digabungkan dengan laparotomi apabila terdapat indikasi untuk komplikasi intraabdominal.
Peritonitis Klamidia
Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan digambarkan oleh nyeri
hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan peritonitis adalah nyeri tekan dan
defans muscular yang disebabkan oleh adanya rangsangan peritonium. Adanya darah atau cairan
di dalam rongga peritoneum merupakan pertanda adanya rangsangan peritoneum. Pekak hepar
dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai
hilang akibat kelumpuhan sementara usus.4 Apabila telah terjadi peritonitis bacterial pasien akan
mengalami demam, takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan dapat terjadi syok.4
Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu pasien bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri
tekan lepas. 4,5
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu tampak kekaburan pada cavum abdomen,
psoas line menghilang, dan adanya udara bebas pada subdiafragma atau intra peritoneal. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
Terapi konservatif yang dapat diberikan pada pasien dengan peritonitis adalah:
1. Pemberian oksigen
Pemberian oksigen sangat vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor
dengan menggunakan pulse oximetri atau BGA.
2. Resusitasi cairan
Resusitasi cairan Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.
Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi
untuk memonitor urine output setiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan
inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan komorbid.
Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke
dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.
3. Analgetik
Analgetik yang digunakan adalah opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.
4. Antibiotik
Antibiotik yang diberikan yaitu antibiotic spektrum luas, yang mengenai baik bakteri aerob dan
anaerob, yang diberikan secara intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah lini
pertama. Bagi pasien yang mengalami peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran
anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua
diberikan meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga
harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.
Bertujuan untuk meredakan muntah dan distensi abdomen serta mengurangi risiko pneumonia
aspirasi.
Terapi definitive
1. Laparotomi
Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi patologi yang
dicurigai. Tujuannya untuk :
2. Laparoskopi
Teori mengatakan bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam
absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi,
belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut
dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon,
tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi
pada laparoskopi.
3. Drainase
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada dinding
sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum.