Anda di halaman 1dari 5

Infeksi bakteri yang dapat menyebabkan peritonitis tersier adalah bakteri gram negative (species

Enterobacter, Pseudomonas dan Enterococcus) dan bakteri gram positif (species


Staphylococcus).

 Patofisiologi

Keluarnya eksudat fibrinosa merupakan reaksi awal peritoneum terhadap adanya invasi
bakteri. Abses terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi
menghilang.2 Adanya peradangan dapat menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat, maka dapat
menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator inflamasi, seperti interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga menyebabkan kegagalan banyak organ. Karena
tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal,
produk buangan juga ikut menumpuk. 2,5 Organ-organ yang terdapat di dalam cavum
peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler. Penumpukan cairan di dalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus
serta edema seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen akan menyebabkan
hipovolemia.2

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut dapat meningkatkan
tekanan intra abdomen, membuat usaha bernafas menjadi sulit dan menimbulkan penurunan
perfusi. Bila etiologi yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat menyebabkan peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni
dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengakibatkan obstruksi usus.1,2,4 Obstruksi usus yang lama dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik, maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi
usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada
ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan
berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.5

 Jenis Peritonitis

 Peritonitis Aseptik

Merupakan peritonitis sekunder yang biasanya disebabkan oleh perforasi ulkus gaster atau
duodenal.
 Peritonitis bilier

Relatif jarang terjadi dan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti kolesistitis akut,
trauma, dan idiopatik

 Peritonitis TB

Biasanya terjadi pada pasien dengan imunokompromise. Menyebar ke peritoneum melalui:

1. secara langsung melalui nodul limfatik, regio ileocaecal atau pyosalping TB.

2. Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru. Kejadiannya dapat secara akut (seperti
peritonitis pada umumnya), dan kronik (onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam,
penurunan berat badan, keringat malam, massa abdomen). Terapinya berdasarkan terapi anti-TB,
digabungkan dengan laparotomi apabila terdapat indikasi untuk komplikasi intraabdominal.

 Peritonitis Klamidia

Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan digambarkan oleh nyeri
hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.

 Manifestasi Klinis

Gejala klinis yang dapat ditemukan pada pasien dengan peritonitis adalah nyeri tekan dan
defans muscular yang disebabkan oleh adanya rangsangan peritonium. Adanya darah atau cairan
di dalam rongga peritoneum merupakan pertanda adanya rangsangan peritoneum. Pekak hepar
dapat menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma. Peristaltik usus menurun sampai
hilang akibat kelumpuhan sementara usus.4 Apabila telah terjadi peritonitis bacterial pasien akan
mengalami demam, takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan dapat terjadi syok.4
Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu pasien bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri
tekan lepas. 4,5

 Diagnosis (acute abdomen)


 Gejala
Gejala yang sering muncul pada pasien peritonitis adalah pucat, lesu dan cemas, mata
cekung karena dehidrasi. Dapat ditemukan beberapa gejala syok septik, syok
hipovolemik, atau kegagalan multi-organ. Nyeri merupakan gejala yang paling umum
ditemukan pada pasien dengan peritonitis. Nyeri dapat terlokalisasi atau menyebar
dan memiliki karakteristik nyeri tajam atau pasien merasakan nyeri seperti ditusuk.
Perforasi viseral menyebabkan nyeri hebat yang tiba-tiba yang biasanya muncul
pertama kali di area perforasi saja dan dapat menyebar. Nyeri dapat menyebar ke
daerah bahu ipsilateral jika peritoneum diafragma terlibat. Anoreksia, malaise, mual
dan muntah merupaka gambaran umum yang berhubungan. Konstipasi biasanya juga
dapat ditemukan kecuali jika terjadi abses panggul yang akan menyebabkan diare.
 Pemeriksaan fisik
Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau
distended. Saat palpasi ditemukan nyeri tekan dan defans muskular yang
menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum parietal (nyeri
somatik). Defans yang murni adalah proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi
dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan. Saat perkusi
nyeri ketok menunjukkan adanya udara bebas atau cairan bebas melalui pemeriksaan
pekak hepar dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis, pekak hepar akan
menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya udara bebas. Pada
pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan pemeriksaan colok
dubur. Pada pemeriksaan auskultasi pasien dengan peritonitis ditemukan bising usus
akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal
yang lumpuh sehingga menyebabkan ileus paralitik. Sedangkan pada peritonitis
terlokalisata bising usus dapat terdengar normal.
 Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan laboratorium

1. Darah Lengkap: ditemukan leukositosis, hematokrit yang meningkat

2. BGA (Blood Gas Arterial), menunjukan asidosis metabolik dimana terdapat


kadar karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.

3. Pada peritonitis tuberkulosa cairan peritoneal mengandung banyak protein


(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma
tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.

 Pemeriksaan radiologi

Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu tampak kekaburan pada cavum abdomen,
psoas line menghilang, dan adanya udara bebas pada subdiafragma atau intra peritoneal. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :

1. Supine dimana sinar dari arah vertikal dengan proyeksi anteroposterior ( AP )


2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri jika memungkinkan dengan sinar horizontal
proyeksi AP.
3. Left lateral decubitus = LLD dengan sinar horizontal, proyeksi AP.
 Terapi (acute abdomen)
 Terapi konservatif
Terapi konservatif diindikasikan jika:
 Infeksi yang terlokalisasi (misalnya massa pada appendix)
 Etiologi peritonitis tidak memerlukan pembedahan (misalnya pankreatitis
akut)
 Pasien kontraindikasi dilakukan anestesi umum (mis. Lanjut usia, pasien
dengan komorbiditas parah)
 Fasilitas kesehatan yang tidak mendukung pengelolaan pembedahan

Terapi konservatif yang dapat diberikan pada pasien dengan peritonitis adalah:

1. Pemberian oksigen

Pemberian oksigen sangat vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia dapat dimonitor
dengan menggunakan pulse oximetri atau BGA.

2. Resusitasi cairan

Resusitasi cairan Biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan derajat syok dan dehidrasi.
Penggantian elektrolit (biasanya potassium) biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi
untuk memonitor urine output setiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan
inotropik sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan komorbid.
Hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit bergerak dari lumen usus ke
dalam rongga peritoneal dan menurunkan caran ke dalam ruang vaskuler.

3. Analgetik

Analgetik yang digunakan adalah opiat intravena dan mungkin dibutuhkan antiemetik.

4. Antibiotik

Antibiotik yang diberikan yaitu antibiotic spektrum luas, yang mengenai baik bakteri aerob dan
anaerob, yang diberikan secara intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah lini
pertama. Bagi pasien yang mengalami peritonitis di RS (misalnya oleh karena kebocoran
anastomose) atau yang sedang mendapatkan perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua
diberikan meropenem atau kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga
harus dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida.

5. NGT dan aspirasi

Bertujuan untuk meredakan muntah dan distensi abdomen serta mengurangi risiko pneumonia
aspirasi.

 Terapi definitive
1. Laparotomi

Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi patologi yang
dicurigai. Tujuannya untuk :

 Menghilangkan penyebab peritonitis


 Mengkontrol sumber sepsis dengan membuang organ yang mengalami inflamasi atau
ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami perforasi)
 Melakukan lavage peritoneal yang efektif
Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Relaparotomi mempunyai
peran yang penting pada penanganan pasien dengan peritonitis sekunder, dimana setelah
laparotomi primer berefek memburuk atau timbul sepsis. Operasi ulang dapat dilakukan
sesuai kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dilakukan dengan membuka
dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi. Penelitian
menunjukkan bahwa five year survival rate di RS, lebih tinggi pada relaparotomi sewaktu
daripada relaparotomi yang direncanakan. Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis
dilakukan laparotomy. Mengatasi masalah dan mengontrol sepsis saat operasi adalah
sangat penting karena sebagian besar operasi berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas

2. Laparoskopi
Teori mengatakan bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik dalam
absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang mengalami inflamasi,
belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif pada penanganan appendicitis akut
dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon,
tetapi angka konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi
pada laparoskopi.

3. Drainase
Efektif digunakan pada tempat yang terlokalisir, tetapi cepat melekat pada dinding
sehingga seringkali gagal untuk menjangkau rongga peritoneum.

Anda mungkin juga menyukai