ILEUS PARALITIK
Oleh :
NAMA : AYU RAHMAWATI
NIM : 20020015
1.1 PENGERTIAN
Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun
penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus.Obstruksi usus
terdiri dari akut dan kronik, partial atau total (Price & Willson, 2007).
Ileus Paralitik adalah istilah gawat abdomen atau gawat perut
menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang
biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini
memerlukan penanggulangan segera yang sering berupa tindakan bedah,
misalnya pada obstruksi, perforasi, atau perdarahan massif di rongga perut
maupun saluran cerna, infeksi, obstruksi atau strangulasi saluran cerna dapat
menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi
saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
Ileus paralitik yaitu keadaan dimana usus gagal atau tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltic untuk menyalurkan isinya. Keadaan ini
biasanya hanya berlangsung antara 24-72 jam [ CITATION Kat18 \l 1033 ].Ileus
Paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus karena
usus tidak dapat bergerak (mengalami motilitas), pasien tidak dapat buang air
besar. Ileus (Ileus Paralitik, Ileus Adinamik) adalah suatu keadaan dimana
pergerakan kontraksi normal dinding usus untuk sementara waktu berhenti.
Ileus adalah suatu kondisi hipomotilitas (kelumpuhan) saluran gastrointestinal
tanpa disertai adanya obstruksi mekanik pada intestinal. Pada kondisi klinik
sering disebut dengan ileus paralitik. Obstruksi Ileus adalah gangguan aliran
normal isi usus sepanjang saluran usus (Price & Willson, 2007).
1.2 ETIOLOGI
Walaupun predisposisi ileus biasanya terjadi akibat pascabedah abdomen,
tetapi ada faktor predisposisi lain yang mendukung peningkatan resiko
terjadinya ileus, diantaranya sebagai berikut :
1. Sepsis
2. Obat-obatan (misalnya : opioid, antasid, coumarin, amitriptyline,
chlorpromazine)
3. Gangguan elektrolit dan metabolik (misalnya hipokalemia,
hipomagnesemia, hipernatremia, anemia, atau hiposmolalitas)
4. Infark miokard
5. Pneumonia
6. Trauma (misalnya : patah tulang iga, cedera spina)
7. Bilier dan ginjal kolik
8. Cedera kepala dan prosedur bedah saraf
9. Inflamasi intra abdomen dan peritonitis
10. Hematoma retroperitoneal.
1.3 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya
sistem saraf simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus
gastrointestinal, menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang
ditimbulkan oleh sistem parasimpatis. Sistem simpatis menghasilkan
pengaruhnya melalui dua cara : pada tahap yang kecil melalui pengaruh
langsung norepineprin pada otot polos (kecuali muskularis mukosa, dimana ia
merangsangnya), dan pada tahap yang besar melalui pengaruh inhibitorik dari
noreepineprin pada neuronneuron sistem saraf enterik. Jadi, perangsangan
yang kuat pada sistem simpatis dapat menghambat pergerakan makanan
melalui traktus gastrointestinal.
Hambatan pada sistem saraf parasimpatis di dalam sistem saraf enterik
akan menyebabkan terhambatnya pergerakan makanan pada traktus
gastrointestinal, namun tidak semua pleksus mienterikus yang dipersarafi serat
saraf parasimpatis bersifat eksitatorik, beberapa neuron bersifat inhibitorik,
ujung seratnya mensekresikan suatu transmitter inhibitor, kemungkinan
peptide intestinal vasoaktif dan beberapa peptide lainnya.
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama,
tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab
mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik dimana
peristaltic dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik
peristaltik mulamula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.
Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah lumen usus yang
tersumbat secara progresif akan tergang oleh cairan dan gas (70% dari gas
yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan
pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter
cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak
adanya absorbs dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.
Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber
kehilangan utama cairan dan elektrolik [ CITATION Brn02 \l 1033 ].
1.4 MANIFESTASI KLINIS
Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal
distention), anoreksia, mual dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin
pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu
dibedakan dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi.
Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung, tidak disertai
nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah dan
jarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya
menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya
reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit
primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran
peritonitis. Gejala klinis :
1. Distensi yang hebat tanpa rasa nyeri (kolik)
2. Mual dan mutah
3. Tak dapat defekasi dan flatus, sedikitnya 24 – 48 jam
4. Pada palpasi ringan perut, ada nyeri ringan, tanpa defans muskuler
5. Bising usus menghilang
6. Gambaran radiologis : semua usus menggembung berisi udara
1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos abdomen 3 posisi
Dengan posisi terlentang dan tegak (lateral dekubitus) memperlihatkan
dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas antara air dan udara
atau gas (air-fluid level) yang membentuk pola bagaikan tangga, posisi
setengah duduk untuk melihat Gambaran udara cairan dalam usus atau
di luar usus, misalnya pada abses, Gambaran udara bebas di bawah
diafragma, Gambaran cairan di rongga pelvis atau abdomen bawah.
b. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
Mempunyai suatu peran terbatas pada pasien dengan obstruksi usus
halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu
obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos
abdomen. Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema
barium tidak hanya sebagai diagnostik tetapi juga mungkin sebagai
terapi.
c. CT-scan
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen
dicurigai adanya strangulasi. CT–Scan akan mempertunjukkan secara
lebih teliti adanya kelainan-kelainan dinding usus, mesenterikus, dan
peritoneum.
d. USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari
obstruksi
2. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis mungkin menunjukkan adanya strangulasi, pada urinalisa
mungkin menunjukkan dehidrasi.Analisa gas darah dapat mengindikasikan
asidosis atau alkalosis metabolic (Brunner and Suddarth, 2002)
1.6 KOMPLIKASI
1. Nekrosis usus.
2. Perforasi usus dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi terlalu lama pada
organ intra abdomen.
3. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehingga
terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.
4. Sepsis infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan baik
dan cepat.
5. Syok dehidrasi terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.
6. Abses sindrom usus pendek dengan malabsorpsi dan malnutrisi.
7. Pneumonia aspirasi dari proses muntah.
8. Gangguan elektrolit, refluk muntah dapat terjadi akibat distensi abdomen.
Muntah mengakibatkan kehilangan ion hidrogen dan kalium dari lambung,
serta menimbulkan penurunan klorida dan kalium dalam darah
1.7 PENATALAKSANAAN
Secara garis besar, penatalaksanaan medis maupun keperawatan bagi klien
dengan ileus paralitik antara lain sebagai berikut.
a. Secara Konservatif
1. Penderita dirawat di rumah sakit.
2. Penderita dipuasakan
3. Kontrol status airway, breathing and circulation.
4. Dekompresi dengan nasogastric tube.
5. Intravenous fluids and electrolyte
6. Dipasang kateter urin untuk menghitung balance cairan.
b. Farmakologis
a. Antibiotik broadspectrum untuk bakteri anaerob dan aerob. b. Analgesik
apabila nyeri.
c. Operatif
Ileus paralitik tidak dilakukan intervensi bedah kecuali disertai dengan
peritonitis.
1.8 PROSES KEPERAWATAN
1.8.1 Pengkajian
Primary Survey
1. A : Airway
Kaji apakah ada tanda-tanda obstruksi jalan nafas dengan look,
listen dan feel
Apakah pasien dapat berbicara dengan jelas ?
Buka mulut pasien dan kaji apakah ada sumbatan jalan nafas
seperti darah, benda asing
Kaji apakah ada edema dibibir, lidah dan leher
PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang
meliputi :
Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat
nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa
yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda
terbangun saat tidur?
Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti
diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik,
diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.
Region: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri
terlokalisasi di satu titik atau bergerak?
Scale : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0
tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebat
Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat?
Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang
timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya
H : History
A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,
makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang
menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau
penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang
pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan
herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi
berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi
termasuk dalam komponen ini)
E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian
yang menyebabkan adanya keluhan utama)
Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa
menurut (Emergency Nurses Association,2007).
Komponen Nilai normal Keterangan
Suhu 36,5-37,5 Dapat di ukur melalui oral,
aksila, dan rectal. Untuk
mengukur suhu inti
menggunakan kateter arteri
pulmonal, kateter urin,
esophageal probe, atau
monitor tekanan intracranial
dengan pengukur suhu. Suhu
dipengaruhi oleh aktivitas,
pengaruh lingkungan, kondisi
penyakit, infeksi dan injury.
Nadi 60-100x/menit Dalam pemeriksaan nadi
perlu dievaluais irama
jantung, frekuensi, kualitas
dan kesamaan.
Respirasi 12-20x/menit Evaluasi dari repirasi
meliputi frekuensi, auskultasi
suara nafas, dan inspeksi dari
usaha bernafas. Tada dari
peningkatan usah abernafas
adalah adanya pernafasan
cuping hidung, retraksi
interkostal, tidak mampu
mengucapkan 1 kalimat
penuh.
Saturasi oksigen >95% Saturasi oksigen di monitor
melalui oksimetri nadi, dan
hal ini penting bagi pasien
dengan gangguan respirasi,
penurunan kesadaran,
penyakit serius dan tanda
vital yang abnormal.
Pengukurna dapat dilakukan
di jari tangan atau kaki.
Tekanan darah 120/80mmHg Tekana darah mewakili dari
gambaran kontraktilitas
jantung, frekuensi jantung,
volume sirkulasi, dan tahanan
vaskuler perifer. Tekanan
sistolik menunjukkan cardiac
output, seberapa besar dan
seberapa kuat darah itu
dipompakan. Tekanan
diastolic menunjukkan fungsi
tahanan vaskuler perifer.
Berat badan Berat badan penting diketahui
di UGD karena berhubungan
dengan keakuratan dosis atau
ukuran. Misalnya dalam
pemberian antikoagulan,
vasopressor, dan medikasi
lain yang tergantung dengan
berat badan.
a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang
datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari
bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh
kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio,
fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit
kepala.
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan
dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa
mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata
selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.
1.Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil
apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex
cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies
visus dan acies campus), apakah konjungtivanya
anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-
gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival
perdarahan, serta diplopia
2.Hidung : periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri,
penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas
(pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan
krepitasi dari suatu fraktur.
3.Telinga : periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan,
penurunan atau hilangnya pendengaran, periksa
dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani
atau adanya hemotimpanum
4.Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas
5.Rahang Bawah : periksa akan adanya fraktur
6.Mulut & Faring : inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah
tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil
meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian
rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan
nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau
tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon
nyeri
c. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan
belakanguntuk adanya trauma tumpul/tajam,luka,
lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi
dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi
dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan
dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace
maker, frekuensi dan irama denyut jantung
Palpasi :seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan
krepitasi.
Perkusi :untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan
keredupan
Auskultasi : suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,
rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
d. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya
pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra
dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala
defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian
depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya
perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar,
ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan
stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan,
nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan
atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas
yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra
abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen
misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera
karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan
transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan.
e. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik
(pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan
masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi
pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
[CITATION Dik \l 1033 ]
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam,
lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur
harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan
kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya
fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada
wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam
vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan
jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh
memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan
pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika
terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada
fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali,
jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan
Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang
dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih
harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,
frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus
diperoleh untuk analisi [ CITATION Brn02 \l 1033 ]
f. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi,
jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur
terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi
distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas
fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam
ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin
luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau
kelumpuhan. Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi,
gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot,
kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta
catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien
hypoxia lambat s/d 5-15 detik).
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai
fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil,
keruskan otot-tendon akan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi
dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh
syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal
pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain
mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan
ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung
penderita (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
g. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada
saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (.Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema
serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.
h. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik.
Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS.
Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis
atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine
board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak
ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk
melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga
penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah
bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma
kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran
penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi
penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang
perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah
syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia
( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji
pula adanya vertigo dan respon sensori.
1.8.2 Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cedera biologis
b. Konstipasi berhubungan dengan hipomotilitas/kelumpuhan intestinal
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan mual, muntah dan anoreksia.
d. Resiko hipovolemia berhubungan dengan gangguan absorbsi cairan
e. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi
f. Gangguan pola tidur berhubungan dengan hambatan lingkungan karena
nyeri
g. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
1.8.3 Intervensi Keperawatan
6 Gangguan pola tidur Setelah dilakukan perawatan selama …x… jam Terapi Musik (1.08250)
berhubungan dengan diharapkan Pola Tidur (L.05045) Identifikasi peubahan peilaku yang akan dicapai
hambatan Keluhan sulit tidur dipertahankan pada skala 3 Identifikasi minat terhadap musik
lingkungan karena sedang ditingkatkan pada skala 5 meningkat Pilih musik yang disukai
nyeri (D.0055) Keluhan tidak puas tidur dipertahankan pada Posisikan dengan senyaman mugkin
skala 3 sedang ditingkatkan pada skala 5 cukup Anjurkan rileks selama mendengarkan musik
meningkat
Keluhan pola tidur berubah dipertahankan pada
skala 3 sedang ditingkatkan pada skala 5
meningkat
7 Defisit Setelah dilakukan perawatan selama …x… jam Edukasi Manajemen Nyeri (1.12391)
pengetahuan diharapkan Tingkat pengetahuan (L.12111) Identifikasi kesiapandan kemampuan menerima
berhubungan Kemampuan menjelaskan pengetahuan tentang informasi
dengan kurang suatu topik pada skala 3 sedang ditingkatkan Jadwalkan pendidika kesehtan sesuai kesepakatan
terpapar informasi pada skala 5 meningkat Jelaskan penyebab,periode dan strategi meredakan
(D.0111) Menjalani pemeriksaan yang tepat pada skala 3 nyeri
sedang ditingkatkan pada skala 5 cukup Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
meningkat Ajarkan teknik nonfarmakologisnuntuk
Perilaku pada skala 3 sedang ditingkatkan pada mengurangi asa nyeri
skala 5 meningkat
DAFTAR PUSTAKA
Association, E. (2007). Sheehy's manual of emergency care edition 6. Elsevier
Mosby.
Katuuk, M., & Bidjuni, H. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Peristaltik
Usus Pada Pasien Pasca Lapartomi di RSU Pancaran Kasih Manado. e-
journal keperawatan volume 6 nomer 1, 1-7.
Suddarth, B. &. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.