Anda di halaman 1dari 107

PERUBAHAN KEPEMILIKAN

PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN


TAHUN 1946-1952

OLEH :
WAHYUNINGSIH
K4406045

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

i
PERUBAHAN KEPEMILIKAN
PERUSAHAAN GULA MANGKUNEGARAN
TAHUN 1946-1952

OLEH :
WAHYUNINGSIH
K4406045

Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan
gelar sarjana pendidikan Program Pendidikan Sejarah
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

ii
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji


Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Djono, M.Pd Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd


NIP. 19630702 199003 1 005 NIP. 19560303 198603 1 001

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Pada Hari :
Tanggal :

Tim Penguji Skripsi


Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Dra. Sri Wahyuni, M.Pd 1.......................
Sekretaris : Dra. Sutiyah, M.Pd 2......................
Anggota I : Drs. Djono, M.Pd 3........................
Anggota II : Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd 4......................

Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd


NIP.19600727 198702 1 001

iv
ABSTRAK

Wahyuningsih. PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA


MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952. Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Maret 2010.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) latar belakang
berdirinya perusahaan gula Mangkunegaran, (2) proses perubahan status kepemilikan
dari perusahaan gula Mangkunegaran pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, (3)
pengaruh pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegran terhadap perubahan
ekonomi “praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran.
Sejalan dengan tujuan di atas, maka penelitian ini menggunakan metode
historis. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian merekonstruksikan berdasarkan
data yang diperoleh sehingga dapat menghasilkan historiografi. Sumber data yang
digunakan adalah sumber data primer maupun sumber data sekunder. Sumber data
berupa arsip-arsip tentang perusahaan gula Mangkunegaran dan peraturan pemerintah
yang berkaitan dengan proses pengambilalihan perusahaan gula yang diantaranya
meliputi; PP No. 16/ S.D tahun 1946, PP. No. 3 dan 4 tahun 1946, dan PP. No. 9
tahun 1947. Sumber tertulis sekunder berupa buku-buku yang mempunyai relevansi
dengan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi
pustaka dan wawancara. Studi pustaka yaitu memperoleh data dengan cara membaca
literatur, surat kabar, dokumen atau arsip yang tersimpan dalam perpustakan.
Wawancara ditujukan kepada para abdi dalem Mangkunegaran dan pegawai
perusahaan gula Mangkunegaran.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Berdirinya
perusahaan gula Mangkunegaran terjadi setelah diterapkannya Undang-Undang
Agraria tahun 1870-an untuk berkembangnya usaha penanaman tebu. Selain itu
didukung oleh adanya kondisi geografis yang baik dan adanya usaha KPAA
Mangkunegara IV untuk mendirikan perusahaan gula Colomadu dan perusahaan gula
Tasikmadu, (2) Proses perubahan status kepemilikan dari perusahaan gula
Mangkunegaran pasca kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan melalui kebijakan
pengambilalihan perusahaan-perusahaan perkebunan Mangkunegaran oleh
pemerintah, dan (3) Pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran berpengaruh
besar pada aspek ekonomi “praja”. Pengaruh lainnya terhadap kehidupan ekonomi
pegawai perusahaan gula Mangkunegaran, yang ditandai dengan adanya perubahan
harga sewa tanah yang naik dan adanya perubahan pegawai Belanda ke dalam tenaga
kerja dari golongan bumiputera.
Dari kesimpulan di atas maka muncul implikasi, yaitu: (1) Perubahan status
kepemilikan perusahaan perkebunan merupakan bagian dari adanya perubahan sosial
dalam sistem perkebunan yang terjadi karena kebijakan ekonomi pemerintah RI pasca
kemerdekaan. Hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3, (2) Perubahan
status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran (Tasikmadu dan Colomadu)
yang berlangsung tahun 1946-1952 membawa pengaruh yang besar terhadap
Mangkunegaran terutama dalam aspek ekonomi. Di sisi lain adanya perubahan
kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran membawa dampak yang positif bagi
pegawai perusahaan gula bumiputera untuk menggantikan posisi para pegawai
Belanda.

v
ABSTRACT

Wahyuningsih. THE OWNERSHIP CHANGING OF MANGKUNEGARAN’S


SUGAR FACTORY IN 1946-1952. Skripsi, Surakarta: Faculty of Education and
Teachers Training, Sebelas Maret University, March 2010.

The aims of this research are to describe: (1) the background of the building
of Mangkunegaran’s sugar factory, (2) the changing process of ownership status
Mangkunegaran’s sugar factory post Indonesia Independence Day, (3) the influece of
take over Mangkunegaran’s sugar factory to the economic life of “praja” and staffs
sugar factory.
Along with the aims, this research to use historical method. Historical method
is the process of testing and analyzing critically of the record and inheritance of the
past and reconstructed to historiography. The source of data used primary and
secondary data is archives of Mangkunegaran sugar factory and the regulation related
to the taking over of the sugar factory; PP No. 16/S.D 1946, PP. No. 3 and 4 1946,
PP. No. 9 1947. The secondary data source is the books that relevance with the
problem of the research. The technique of collecting data is literary study and
interview. The literary study is review of literatures, newspapers, documents or
archives. Interview was done to the internal staffs of Mangkunegaran and the staffs
that worked to Mangkunegaran’s sugar factory.
Based on the result of the research was conclude that: (1) The building of
Mangkunegaran’s sugar factory was happened after the implementation of the growth
of plantation and Agrarische Wet 1870’s, besides supported by geographical
condition and efforts of KPAA Mangkunegara IV to built Colomadu and Tasikmadu
sugar factory, (2) The changing process of ownership status Mangkunegaran’s sugar
factory post RI independence day was marked by taking over the farming factory of
Mangkunegaran by the Government, (3) The taking over of Mangkunegaran’s sugar
factory was influence very important to the economic life of “praja” and staffs sugar
factory, it can be seen the changing of land rent price is increasing and the alteration
of Dutch workers to the internal worker.
From the above conclusion, there are implication which can be stated as: (1)
The status changing of the ownership of farming factory is a part of the social
changing in the farming system that had happened because of Indonesian Republics
government policy in post independence day. This is based to the UUD 1945 chapter
33 verse 2 and 3, (2) the status changing of sugar factory that last in 1946-1952 gave
large influence especially in economic aspects. In the other side, this gave positive
influence to the staffs of the sugar factory to replace the Dutch staffs.

vi
MOTTO

”Pabrik iki openono, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinaryo papan pangupo
jiwone kawulo dasih” (Pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi
menghidupi, memberikan perlindungan, menjadi jiwa rakyat kecil )

(Mangkunegoro IV)

Bila kita belajar sejarah hanya sebatas hafalan dan nilai bagus saja, maka tidak akan
ada gunanya, tetapi bila kita ditanamkan rasa cinta kepada tanah air, maka makna
belajar sejarah akan mempengaruhi seluruh karya kita karena berkarya bukan sekedar
dengan pikiran, tetapi dengan rasa yang menciptakan keunikan dan kreatifitas.

(Wahyu Sanjaya)

vii
PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:


v Ayah dan Ibuku tercinta, terima kasih atas
do’a dan dukungannya,
v Adikku Wuri Indri Astuti tersayang,
v My True Love,
v Mr. Mitshubishi S. terima kasih atas
dukungan dan motivasinya,
v Sahabat-sahabatku Bunda Herlina, Siti,
Nining, Ima, Aris dan teman sejarah ’06,
v Keluarga besar Program Pendidikan Sejarah,
v Teman-temanku di Lembaga Pendidikan SA
v My Bos dan teman di PT Uniflex Hyundai
International Industrial Estate Cikarang,
v Almamaterku.

viii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahNya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan, untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan yang penulis hadapi dalam penyelesaian penulisan skripsi
ini, namun berkat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akirnya kesulitan-
kesulitan yang timbul dapat teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah menyetujui atas
permohonan skripsi ini.
3. Ketua Program Pendidikan Sejarah yang telah memberikan pengarahan dan
bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Drs. Djono, M.Pd selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan pengarahan
dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Drs. Hermanu Yubagyo, M.Pd selaku dosen pembimbing II yang telah
memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan do’a dan segala dukungan.
7. K.R.T Soemarso Pontjosoetjitro dan segenap karyawan perpustakaan Reksa
Pustaka Mangkunegaran atas dukungan dan kemudahan dalam penelitian ini.
8. Ir. H. Soeroto H.S atas dukungan dan kemudahan dalam penelitian ini.
9. Pihak PTPN IX yang telah berkenan memberikan ijin kepada penulis untuk
mengadakan penelitian di PG.Tasikmadu-Colomadu, dan Museum Gula Jawa
Tengah di PG.Gondang Baru Klaten.
10. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu

ix
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan guna penyempurnaan skripsi ini. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan Ilmu Pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Januari 2010


Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


HALAMAN PENGAJUAN.............................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN.......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv
ABSTRAK ........................................................................................................ v
HALAMAN MOTTO ....................................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ix
DAFTAR ISI..................................................................................................... xi
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xviii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian...................................................................... 7

BAB II. LANDASAN TEORI


A. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 8
1. Perubahan Sosial dalam Sistem Perkebunan ........................... 8
2. Kebijakan Pemerintah terhadap Perusahaan Perkebunan ........ 21
B. Kerangka Berfikir ........................................................................ 26

xi
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan waktu penelitian ....................................................... 29
B. Metode Penelitian......................................................................... 30
C. Sumber Data ................................................................................. 33
D. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 35
E. Teknik Analisis Data .................................................................... 36
F. Prosedur Penelitian ....................................................................... 37

BAB IV. PEMBAHASAN


A. Latar Berdirinya Perusahaan Gula Mangkunegaran ..................... 41
1. Kondisi Geografis Mangkunegaran .......................................... 41
2. Munculnya Perkebunan Tebu Mangkunegaran ........................ 42
3. Usaha Mangkunegara IV Mendirikan Perusahaan Gula........... 45
4. Perkembangan Perusahaan Gula Mangkunegaran .................... 48
B. Proses Perubahan Status Kepemilikan Perusahaan Gula
Mangkunegaran Pasca Kemerdekaan RI ..................................... 58
1. Kondisi Perusahaan Gula Pasca Kemerdekaan.......................... 58
2. Kebijakan Pengambilalihan Perusahaan Gula ........................... 61
3. Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran ...... 64
4. Reaksi Pihak Mangkunegaran.................................................... 68
C. Pengaruh Perubahan Status Kepemilikan Perusahaan Gula
Mangkunegaran.............................................................................. 70
1. Pengaruh bagi Kehidupan Ekonomi “praja” Mangkunegaran ... 70
2. Pengaruh bagi Perubahan Kehidupan Ekonomi Pegawai
Perusahaan Gula Mangkunegaran............................................... 72

xii
BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan……………............................................................... 78
B. Implikasi……............................................................................... 80
C. Saran…..……............................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 83


LAMPIRAN ..................................................................................................... 87

xiii
DAFTAR ISTILAH

Singkatan
BHM : Bewindvoeder over Het Mangkoenegorosche (penguasa Mangkunegaran)
BPPGN : Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara
DMKM : Dana Milik Kekayaan Mangkunegaran (Fonds van Eigendomman van het
Mangkoenegorosche Rijk’s)
GG : Gouverner General (Gurbenur Jenderal)
HMH : Hoofd van Mangkoenegoroshe Huis (Kepala trah Mangkunegaran)
K.P.A.A : Kanjeng Pangeran Aryo Adipati
MN : Mangkunegaran (nama praja)
NIS : Netherlands Indishe Strootraam (Perkeretapian Swasta Hindia Belanda)
PNP : Perusahaan Nasional Perkebunan (Lands Landbouw Bedrijven)
PNS : Perusahaan Nasional Surakarta
PP : Peraturan Pemerintah
PPN : Perusahaan Perkebunan Negara
PPRI : Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia
SHS : Superior High Sugar ( Gula kelas nomer satu atau tertinggi)
SS : Staats-Spoorwegen (Kereta Api Milik Pemerintah Belanda)
SKK : Saibai Kigyo Kanrikodan (Badan Perusahaan Perkebunan)
VOC : Vereenigde Oost Indische Compagnie (Persekutuan Dagang/ Perusahaan
Hindia Timur Belanda).

xiv
Glosari (Arti Istilah)
Absolute : mutlak
Acte van verband : perjanjian yang mengikat
Administratur : pengurus administrasi, manajer utama dari pabrik gula.
Afdeling : wilayah administrasi Pemerintah Kolonial Belanda di
Indonesia yang berada di bawah Karesidenan
Algemene begroting : anggaran umum
Apanage : tanah lungguh yang diberikan kepada para bangsawan dan
pejabat kerajaan sebagai gaji.
Beslit : surat keputusan
Bahu : ukuran luas sama dengan ¾ hektar
Bekel : petani penghubung antara pemilik atau penguasa tanah
dengan petani penggarap
Cikar : andong.
Comissie van Beheer : Komisi Pengawas
Dubbel besture : pemerintahan ganda
Erfpacht : sewa tanah secara turun-temurun
Eigendomman : kekayaan milik pribadi: dana milik
Employe : pegawai kantor
Gratificatte : gratifikasi; penggolongan kerja.
Gurbernemen : Pemerintah Kolonial Belanda (setingkat Provinsi)
Gunseikan : Kepala Pemerintahan Militer Jepang.
Hofd Suiker (HS) : gula murni
Instalasi Carbonatie : pemasangan karbonasi
Jung : satuan luas sekitar 4 bahu atau 28,386 m2
Kapitalisme : sistem (paham) yang modalnya bersumber dari modal
pribadi/ perusahaan swasta dengan ciri persaingan pasar bebas.
Kuli kenceng : petani penggarap dengan pengusaan tanah minimal seluas 0,5

xv
hektar ditambah tanah pekarangan dan tegal.
Legiun : korps tentara milik kerajaan (praja) Mangkunegaran.
Matschappij : perkumpulan dagang perseroan
Praja Kejawen : kerajaan Jawa; wilayah kerajaan Jawa
Priayi : kerabat atau keluarga raja; bangsawan
Reorganisasi : pengorganisasian kembali; pembaharuan.
Sereh : jenis hama yang menyerang tanaman tebu.
Sinder : pengawas perkebunan tebu.
Superitenden : pimpinan administrasi yang mengatur suatu badan usaha milik
seseorang atau badan
Swapraja : pemerintahan yang berdiri sendiri (kerajaan)
Togyo Rengokai : Persatuan Perusahaan Gula (masa Jepang).
Tripple Effect : akibat yang berlibat tiga
Wachtgelder : pegawai yang dibebas-tugaskan dan menerima tunjangan.
Zelfbestuurgelen : peraturan pemerintah Mangkunegaran
Mangkunegaran

xvi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Nama-nama Perusahaan Gula di Surakarta Perdistrik tahun 1863


Tabel 2. Ikhtisar tentang para apanage dari anggota kraton tahun 1871
Tabel 3. Produksi gula Pabrik Colomadu 1884-1889
Tabel 4. Produksi pabrik gula Tasikmadu 1884-1889
Tabel 5. Luas lahan tanaman tebu dan banyaknya tebu hasil pembelian dari pabrik
gula Tasikmadu 1911-1917
Tabel 6. Luas Lahan Tebu Colomadu tahun 1904
Tabel 7. Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran tahun 1899-1917
Tabel 8. Luas lahan tanaman tebu pabrik gula Mangkunegaran pasca krisis
ekonomi dunia 1930-an
Tabel 9. Produksi Gula PG. Tasikmadu masa pendudukan Jepang
Tabel 10. Perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1945/1946
Tabel 11. Pengeluaran P.G Tasikmadu dan P.G Colomadu tahun 1945
Tabel 12. Nilaian pengeluaran tahun tebang 1946/ 1947 di PG. Tasikmadu
Tabel 13. Mangkunegaransche Eigendommenfonds yang dikuasai PPRI tahun 1947
Tabel 14. Daftar Gaji Pegawai P.G. Colo Madu Bulan Maret 1947
Tabel 15. Jabatan Perusahaan Gula sebelum kemerdekaan RI (1930-an)
Tabel 16. Jabatan di PG. Tasikmadu berdasarkan Gratifikasi tahun 1942-1952

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Hal
Lampiran 1. Daftar Informan ......................................................................... 87
Lampiran 2. Daftar pertanyaan ...................................................................... 89
Lampiran 3 Peta Pabrik gula di Surakarta tahun 1920-an ............................ 93
Lampiran 4. Arsip Suiker Fabriek Colomadu 1930 ....................................... 94
Lampiran 5. Arsip Suiker Fabriek Tasikmadu 1930 ...................................... 95
Lampiran 6. Produksi gula tahun 1943,1944,1948 ........................................ 96
Lampiran 7. Nilaian tebang PG. Tasikmadu tahun 1946/1947...................... 97
Lampiran 8. Daftar Gratificatte PG Tasikmadu tahun 1942-1952 ................ 98
Lampiran 9. Turunan PP. No.16/SD Tahun 1946 .......................................... 99
Lampiran 10. Turunan PP. No. 3 Tahun 1946 ................................................. 100
Lampiran 11. Turunan PP. No. 4 Tahun 1946 ................................................. 102
Lampiran 12. Penyerahan Perusahaan Mangkunegaran ke Pemerintah RI ..... 104
Lampiran 13. Surat Kuasa Penyerahan Benda Milik Mangkunegaran ............ 107
Lampiran 14. Turunan PP. No. 9 Tahun 1947 tentang PPRI........................... 108
Lampiran 15. Turunan Keputusan Presiden RI Tahun 1952 ........................... 112
Lampiran 16. Foto-foto Lokasi Penelitian ...................................................... 124
Lampiran 17. Surat Perijinan .......................................................................... 126

xviii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Surakarta dan Jogyakarta merupakan bagian dari wilayah Jawa Tengah yang
di sebut sebagai Vorstenlanden, yang berarti ”tanah raja-raja” atau ”daerah kerajaan
Jawa”. Vorstenlanden merupakan daerah otonom yang tidak dikuasai secara langsung
oleh pemerintah Hindia Belanda, dengan pemerintahan yang dibagi dalam dua
karesidenan yakni karesidenan Surakarta dan Jogyakarta. Karesidenan Surakarta
dibagi dalam dua wilayah yaitu Kasunanan Surakarta milik Susuhunan (Yang
Disanjung) dan Mangkunegaran merupakan wilayah Adipati Mangkunegoro (Ribaan
Negara). Kedua penguasa ini mempunyai istana di Surakarta (Larson, 1900 :1).
Mangkunegaran mengacu pada dua konsep, yakni unit pemerintahan dan
wilayah. Sebagai unit pemerintahan, yang dimaksud dengan Mangkunegaran adalah
sebutan bagi sebuah praja atau kerajaan kecil atau kadipaten besar yang didirikan
oleh Raden Mas Said yang kemudian bergelar Mangkuneggara I setelah perjanjian
Salatiga 1757. Sebagai unit wilayah, Mangkunegaran terdiri dari kota praja dan
daerah diluarnya yang sebagian besar terdiri dari daerah pedesaan. Kota praja
merupakan pusat pemerintahan yang berlokasi di Kota Surakarta bagian utara.
Daerah pedesaan berlokasi di selatan Kota Surakarta yang sekarang menjadi
Kabupaten Wonogiri dan sebagian lainnya di sebelah timur kota Surakarta yang
sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Karanganyar (Wasino, 2008 : 11).
Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden yang
mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal (capital) pengusaha
Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan keuntungan besar. Kondisi ini
ditandai dengan berkembangnya berbagai perusahaan perkebunan, misalnya
perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan kina (H.R.Soetono, 2000 : 2). Penanaman
berbagai jenis tanaman perdagangan ini baru terjadi sejak diterapkannya Sistem

xix
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem Tanam Paksa sebagai
kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke 19 ini tidak berlaku di daerah
Vorstenlanden, karena telah berlakunya sistem apanage (tanah lungguh) di wilayah
Vosrtenlanden, khususnya di daerah Mangkunegaran.
Perkebunan tebu mulai berkembang di Jawa pada pertengahan abad XIX yang
meliputi daerah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1859 sudah
berkembang perusahaan perkebunan swasta Barat untuk penanaman tebu di kedua
kerajaan, khususnya di Surakarta. Pengusaha Eropa mendukung berkembangnya
perusahaan perkebunan tebu dengan menanamkan modalnya ke daerah itu untuk
menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini ditandai dengan adanya 44 perusahaan
yang bergerak dalam bidang penanaman tebu dari total 138 perusahaan Eropa di Solo
pada tahun 1862, sedangkan pada tahun 1863 di Surakarta terdapat sedikitnya 46
pabrik gula. Dengan demikian 31% perusahaan Eropa di Surakarta bergerak dalam
usaha perkebunan tebu (Vincent.J.H.Houbben, 2002 : hal 585-587).
Sistem Tanam Paksa berakhir secara resmi tahun 1870-an dan digantikan
dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”, sehingga banyak pengusaha Belanda yang
menanamkan modalnya di Jawa untuk usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser
dari pemerintah kolonial ke pengusaha swasta. Modal yang ditanamkan oleh
pengusaha Belanda diinvestasikan dalam jumlah yang besar untuk usaha perkebunan
tebu di Jawa, misalnya di daerah Mangkunegaran (Wasino, 2008 : 2). Dengan
demikian, perusahaan perkebunan menjadi berkembang luas di Mangkunegaran pada
masa”Politik Pintu Terbuka” setelah tahun 1870-an, karena pemerintah kolonial
Belanda memberi kesempatan kepada pihak swasta dalam kebebasan untuk
mendirikan usaha khususnya di bidang perkebunan tebu.
Perkebunan Mangkunegaran yang terkenal mulai dibuka, bahkan membawa
pengaruh yang besar terutama bagi keuangan kerajaan (kemudian negara). Sistem
Tanam Paksa di tanah-tanah pemerintah yang terjadi pada masa itu telah
mendatangkan banyak laba, sedangkan kebijakan sistem sewa tanah lungguh yang

xx
dilakukan Mangkunegara IV menjadikan beliau sebagai penguasa yang mandiri dan
kuat (H.R.Soetono, 2000 : 2). KPAA Mangkunegara IV (1853-1881) mempelopori
berdirinya perusahaan gula, yakni dengan mendirikan pabrik gula Colomadu tahun
1861 dan pabrik gula Tasikmadu tahun 1871. Tanah-tanah lungguh dari sanak
saudara dan bangsawan di Mangkunegaran telah berhasil disewa untuk mendirikan
perusahaan gula dengan imbalan ganti-rugi. Sistem apanage (tanah lungguh) bagi
para abdi dalem dan pejabat telah diganti dengan sistem gaji. Tanah-tanah itu dikelola
Mangkunegara IV menjadi perkebunan yang menanam komoditi ekspor yang
menghasilkan keuntungan yang besar untuk industri gula.
Pada masa Mangkunegoro VII (1916-1944) dilakukan pemisahan keuangan
praja dengan keuangan perusahaan. Perusahaan yang khususnya dalam industri gula,
ketika itu berada di bawah suatu badan dengan nama Fonds van Eigendommen van
het Mangkoenegorosche Rijk’s (Dana Milik Praja Mangkunegaran). Badan ini berada
di bawah pengelolaan Comissie van Beheer Fonds van Eigendommen van het
Mangkoenegorosche Rijk’s (Komisi Pengelola Dana Milik Praja Magkunegaran).
Komisi terdiri dari kepala trah Mangkunegaran sebagai ketua komisi, superitenden
(pimpinan administrasi yang mengatur suatu badan usaha) yang berasal dari bangsa
Eropa atas persetujuan gurbenur jenderal, dan pegawai pamong praja Belanda yang
ditunjuk residen. Kegiatan sehari-hari dari komisi ini dikelola oleh superitenden
(Wasino, 2008: 78). Keadaan berubah saat pengelolaan perusahaan gula
Mangkunegaran ini akhirnya beralih ke tangan pemerintah sebagai akibat perubahan
sosial politik pasca kemerdekaan.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan Republik
Indonesia sebagai tanda revolusi nasional yang total dengan meliputi seluruh wilayah
Indonesia, khususnya di daerah Surakarta. Berhubung dengan kekacauan sebagai
akibat dari berakhirnya pemerintahan Jepang dan di keluarkannya proklamasi itu,
telah menunjukkan bahwa pemerintahan swapraja Kasunanan dan Mangkunegaran
tidak berdaya menghadapi dan mengatasi segala kesulitan. Mengenai status Swapraja

xxi
Kasunanan dan Mangkunegaran diatur dalam Peraturan Pemerintah 15 Juli 1946
No.16 untuk di jadikan sebagai satu karesidenan Surakarta (Arsip No. 464 MN, hal
4). Selain pengaturan sruktur kewilayahan itu pemerintah juga berusaha memulihkan
perekonomian negara, sebagai contohnya adalah masalah ekonomi yang menyangkut
perusahaan perkebunan.
Perekonomian pasca berakhirnya pendudukan Jepang dalam kondisi kacau
dan tidak menentu, sehingga bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah merdeka
harus membangun dan memulihkan perekonomian nasional. Langkah yang diambil
pemerintah setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, yakni dengan
menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 dan membentuk struktur pemerintahan.
Pengakuan kemerdekaan akhirnya diperoleh bangsa Indonesia, tetapi tidak berarti
perjuangan telah selesai dan berbagai masalah telah diselesaikan, terutama masalah
yang menyangkut bidang ekonomi. Sejumlah persoalan kesehjateraan, perbaikan
keadaan dan penciptaan struktur ekonomi nasional merupakan permasalahan negara
yang penting untuk segera diatasi dan dipulihkan bagi kepentingan nasional
(Leireza,R.Z.dkk.1996 : 92-95). Pemerintah menerapkan perekonomian yang sesuai
dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak. Pemikiran membangun
suatu perekonomian nasional muncul kembali dan menempati agenda utama kabinet
pemerintahan, dengan mendasarkan pada :
pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh
negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”

Pemerintah berhak atas pengelolaaan kekayaaan negara yang menguasai


kepentingan rakyat secara umum. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam
membangun perekonomian pasca kemerdekaan, salah satunya melalui kebijakan
dalam mendirikan Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia dengan berdasarkan
pada Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1947. Badan Pemerintah tersebut menguasai

xxii
perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam kantor perusahaan perkebunan
pemerintah (dulu Gouverments Landbouwbedrijven) di wilayah Jawa dan Sumatra,
perusahaan yang tergabung dalam perusahaan Kasunanan, dan perusahaan yang
tergabung dalam perusahaan Mangkunegaran.
Perlu di ketahui bahwa kajian ini tidak akan mengupas secara menyeluruh
setiap perusahaan perkebunan yang dikelola oleh pemerintah dalam Perusahaan
Perkebunan Republik Indonesia tersebut, melainkan akan dibatasi pada salah satu
saja yakni perusahaan yang dimiliki Mangkunegaran, khususnya perusahaan gula.
Hal ini terkait dengan suatu pandangan bahwa kajian yang dilakukan hanya bersifat
mikro atau spesifik secara terbatas. Dengan demikian, diharapkan melalui kajian
mikro itu akan dapat mengungkapkan dimensi perusahaan gula Mangkunegaran,
khususnya pada masa terjadinya perubahan kepemilikan perusahaan gula tersebut
dari pengelolaan Mangkunegaran yang beralih di bawah pengelolaan pemerintah RI.
Perusahaan gula Mangkunegaran telah diambil alih pemerintah, yakni pabrik
gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu untuk di kelola oleh Perusahaan
Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Pada masa pemerintahan Mangkunegara
VIII tepatnya tahun 1952, perusahaan gula Mangkunegaran yang sebelumnya di
kelola oleh Dana Milik Mangkunegaran telah dinasionalisasi oleh pemerintah
Republik Indonesia (Tempo, 12 September 1987: hal 29). Pengelolaan perusahaan
gula Mangkunegaran yang diambilalih oleh pemerintah pada awalnya dikelola oleh
BPPGN (Badan Pengelola Perusahaan Gula Negara) dan PNS (Perusahaan
Nasional Surakarta), kemudian dilebur ke dalam PPRI (Perusahaan Perkebunan
Republik Indonesia).
Pengelolaaan perusahaan gula Mangkunegaran sebelumnya dikelola oleh
Dana Milik Mangkunegaran, setelah adanya kebijakan pemerintah beralih ke dalam
pengelolaan pemerintah pusat melalui Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia.
Status kepemilikan perusahaan gula juga berubah, yang awalnya milik praja
Mangkunegaran kemudian menjadi milik pemerintah pusat (nasional). Keputusan

xxiii
pengadilan Negeri Jakarta pada tahun 1952 tentang pembekuan harta kekayaan
Mangkunegaran dapat memperjelas status kepemilikan perusahaan gula secara resmi
adalah milik pemerintah. Perubahan kepemilikan perusahaan gula ini berdampak bagi
kehidupan sosial-ekonomi Mangkunegaran.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
dan meneliti secara lebih mendalam serta mengangkatnya dalam sebuah skripsi yang
berjudul ”PERUBAHAN KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA
MANGKUNEGARAN TAHUN 1946-1952”

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ini berguna untuk mempermudah dalam melaksanakan
penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa masalah antara lain :
1. Mengapa KPAA Mangkunegoro IV mendirikan perusahaan gula ?
2. Bagaimana proses perubahan status kepemilikan perusahaan gula
Mangkunegaran setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia ?
3. Bagaimana pengaruh pengambilalihan perusahaan gula terhadap perubahan
kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan jawaban atas masalah yang telah di
rumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan :
1. Latar Belakang KPAA Mangkunegoro IV mendirikan perusahaan gula.
2. Proses perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran setelah
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
3. Pengaruh pengambilalihan perusahaan gula terhadap perubahan kehidupan
ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan gula Mangkunegaran.

xxiv
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang diharapkan adalah manfaat penelitian secara teoritis dan
manfaat penelitian secara praktis.

1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat untuk :
a. Menambah pengetahuan dan wawasan ilmiah tentang kebijakan ekonomi
pemerintah pasca kemerdekaan, khususnya tentang perubahan kepemilikan
perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952.
b. Menambah khasanah pustaka dan kajian mengenai industri perusahaan gula
Mangkunegaran, khususnya pada saat dinasionalisasi tahun 1946-1952.
c. Bahan masukan kepada pembaca untuk digunakan sebagai wacana dan
sumber data dalam bidang sejarah, khususnya sejarah lokal.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
a. Menambah khasanah penelitian pada Program Pendidikan Sejarah Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
b. Menambah kajian penelitian sejarah lokal di Surakarta mengenai industri
perusahaan gula Mangkunegaran pasca kemerdekaan.
c. Dapat memberikan informasi tentang proses perubahan kepemilikan
perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952 yang berpengaruh bagi
kehidupan ekonomi ”praja” dan pegawai perusahaan.

xxv
BAB II
KAJIAN TEORITIK

A. Tinjauan Pustaka
1.Perubahan Sosial dalam Sistem Perkebunan
a. Sistem Perkebunan
Sistem perkebunan di Indonesia diperkenalkan lewat kolonialisme Barat,
dalam hal ini kolonialisme Belanda. Sejarah perkembangan perkebunan sebagai
ekonomi yang menonjol sangat ditentukan oleh politik kolonial yang dijalankan
pemerintah Belanda (Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991:22). Perkebunan
pada awal perkembangannya hadir sebagai sistem perekonomian baru yang semula
belum dikenal, yaitu sistem perekonomian pertanian komersial yang dikembangkan
oleh pemerintah kolonial. Sistem perkebunan pemerintah kolonial atau yang didirikan
oleh pengusaha Belanda pada dasarnya merupakan sistem perkebunan Eropa. Pada
masa pra-kolonial di Indonesia, struktur ekonomi tradisional usaha kebun merupakan
usaha tambahan atau pelengkap kegiatan kehidupan pertanian pokok yang
menghasilkan bahan pangan.

xxvi
Sistem perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian
yang bersifat komersial dan kapitalistik untuk komoditi ekspor di pasaran dunia.
Sistem perkebunan sebagai bagian dari kegiatan sektor perekonomian modern,
berbeda dari sistem pertanian tradisional masyarakat agraris yang masih subsisten dan
pra-kapitalistik (pra-industrial), bentuk usaha kecil, tidak padat modal, penggunaan
lahan terbatas, sumber tenaga kerja berpusat pada anggota keluarga dan kurang
berorientasi pada kebutuhan pasar. Selanjutnya Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo
(1991: 4) mengemukakan bahwa:
Sistem perkebunan diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian berskala
besar dan kompleks, bersifat padat modal (capital intensive), penggunaan
areal pertanahan luas, organisasi tenaga kerja upahan (wage labour),
struktur hubungan kerja yang rapi, dan penggunaan teknologi modern,
spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi, serta penanaman tanaman
komersial (comersial crops) yang ditujukan untuk komoditi ekspor di
pasaran dunia.

Menurut William J.O. Malley (1988: 198), ”Perkebunan sebagai suatu


komponen yang terdiri atas tanah, pekerja, modal, teknologi, organisasi dan skala
tujuan”. Lebih lanjut J.O’ Malley menyebutkan bahwa:
Di dalam sistem perkebunan, semua faktor ini mungkin saja berbeda-beda,
baik sepanjang masa maupun pada kurun waktu tertentu. Lahan perkebunan
misalnya, dapat disewa selama jangka waktu panjang dari pemerintah, dari
kesatuan-kesatuan pemerintah lokal yang mandiri, atau dari pihak lain yang
berhak atas lahan tersebut.

Sistem perkebunan mempunyai dua sisi yang berbeda, di satu pihak


bagaimana perkebunan itu mengelola manajemen perkebunan agar memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya, sedangkan di sisi lain dominasi perkebunan
mendesak perekonomian tradisional yang merupakan penunjang kehidupan petani.
Efisiensi manajemen merupakan kunci keberhasilan perkebunan menyangkut
perluasan areal, produksi dan eksport (Suhartono, 1995: 61). Dengan demikian,
sistem perkebunan masa Belanda bertujuan untuk memperoleh keuntungan yang

xxvii
sebesar-besarnya dengan orientasi pada penanaman tanaman komoditi ekspor di
pasaran dunia.
Sistem perkebunan Belanda dengan sifatnya yang komersial dan kapitalistik
ini, salah satunya terlihat dalam perusahaan perkebunan tebu milik praja
Mangkunegaran. H.R Soetono (2002: 2) menjelaskan bahwa:
Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden
yang mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal
(capital) pengusaha Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan
keuntungan besar. Kondisi ini ditandai dengan berkembangnya berbagai
perusahaan perkebunan, misalnya perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan
kina

Penanaman berbagai jenis tanaman perdagangan ini berlangsung sejak


diterapkannya Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem
Tanam Paksa sebagai kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke-19 ini
tidak berlaku di daerah Vorstenlanden, karena telah berlakunya sistem apanage
(tanah lungguh), khususnya di daerah Mangkunegaran. Sistem Tanam Paksa berakhir
secara resmi tahun 1870-an dan digantikan dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”,
sehingga banyak pengusaha Belanda yang menanamkan modalnya di Jawa untuk
usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser dari pemerintah kolonial ke pengusaha
swasta. Modal yang ditanamkan oleh pengusaha Belanda diinvestasikan dalam
jumlah yang besar untuk usaha perkebunan tebu di Jawa, khususnya daerah
Mangkunegaran (Wasino, 2008: 2).
Perubahan sistem ekonomi Belanda dari Sistem Tanam Paksa ke arah
”Politik Pintu Terbuka” menyebabkan masuknya modal swasta Belanda untuk usaha
perkebunan di Mangkunegaran pada pertengahan abad XIX. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh KPAA Mangkunegara IV untuk membangun industri gula
Mangkunegaran, yakni pabrik gula di Colomadu (1861) dan pabrik gula di
Tasikmadu (1871) untuk memperoleh keuntungan yang besar. Industri gula
Mangkunegaran disebut sebagai Kapitalisme Priayi, karena pemilik dan pelaku usaha
berasal dari kalangan aristokrat. Dalam sistem produksi dan manajemen perusahaan

xxviii
gula Mangkunegaran dilakukan secara profesional dengan manajemen modern seperti
halnya perkebunan milik swasta Barat (Belanda) dengan mempercayakan
pengelolaan usahanya kepada tenaga kerja yang ahli di bidang perkebunan tebu,
sehingga tenaga profesional dan administratur perusahaan gula di pegang oleh orang-
orang Belanda (Wasino, 2008: 373-374).
Sistem perkebunan yang semula bersifat kapitalistik untuk mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya mengalami perubahan setelah kemerdekaan
bangsa Indonesia. Alasannya, pemerintah berusaha memisahkan perkebunan swasta
Barat dengan perkebunan pemerintah. Langkah yang ditempuh pemerintah dengan
mengeluarkan PP. No. 9 tahun 1947 tentang PPRI, salah satunya mengenai
pengelolaan perusahaan perkebunan Mangkunegaran
b. Perusahaan Perkebunan
Perusahaan adalah sebuah organisasi atau lembaga yang mengubah keahlian
dan material (sumber ekonomi) menjadi barang atau jasa untuk memuaskan
kebutuhan para pembeli, serta diharapkan akan memperoleh laba bagi para pemilik
usaha tersebut (Irawan dan Basu Swastha, 1992: 5). Heidirachman yang dikutip oleh
Lestariningsih dan Suryatmojo (1996: 2) memberikan definisi perusahaan adalah
suatu lembaga yang diorganisasi dan dijalankan untuk masyarakat dengan motif
mendapatkan keuntungan.
Faisal Affif (1994: 1) menjelaskan tentang perusahaan dilihat dari sudut
pandang ekonomi diartikan sebagai suatu komunikasi alat-alat produksi dengan
tujuan untuk mewujudkan sebagian dari pemuas kebutuhan masyarakat. Hal ini
disebut sebagai satuan teknis-ekonomis karena menyangkut sekumpulan alat-alat
produksi material (dapat diamati secara fisik), dan disebut ekonomi karena kombinasi
tersebut terjadi secara rasional (dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis).
Dengan istilah lain, perusahaan dalam arti ekonomis dapat diartikan sebagai suatu
organisasi dengan segala usaha untuk mencapai suatu tujuan yang diusahakan agar

xxix
memperoleh perimbangan yang paling menguntungkan (optimal) antara biaya dan
pendapatan atau cost dan sale, serta antara usaha dan hasilnya.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan perusahaan adalah suatu organisasi yang mengolah sumber
ekonomi menjadi barang dan jasa untuk memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat
dengan tujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan yang sebesar-besarnya dari
proses produksi yang dilakukan
Masalah pemilihan bentuk jenis perusahaan harus ditetapkan pada saat
perusahaan akan didirikan atau awal menjalakan usahanya itu. Pemilihan jenis
perusahaan tentunya berdasarkan pertimbangan dan tujuan yang akan dicapai.
Pertimbangan suatu bentuk perusahaan juga tergantung pada kepemilikan modal.
Dalam hal ini bentuk perusahaan atau badan usaha ditinjau dari kepemilikan
modalnya, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu: (1) Perusahaan atau badan usaha
swasta, (2) Perusahaan atau badan usaha milik negara, (3) Perusahaan atau badan
usaha milik koperasi. Dari ketiga golongan tersebut terdiri dari berbagai jenis
perusahaan, yakni :
1) Perusahaan Perseorangan
Usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab
penuh terhadap semua resiko dan aktifitas perusahaan. Modal perusahaan berasal
dari modal (dana) milik pribadi.
2) Firma (Fa)
Firma merupakan persekutuan dua orang atau lebih dengan nama bersama untuk
menjalankan usaha, dimana tanggung jawab masing-masing anggota firma tidak
terbatas, sedangkan yang akan diperoleh dari usaha tersebut akan dibagi bersama-
sama, jika menderita kerugian juga akan dipikul bersama dari para penanam
modal usaha. Dengan demikian modal Firma berasal dari beberapa penanam
modal.
3) Perseroan Komanditer (CV)

xxx
Berdasarkan pasal 19 KUHD yang dimaksud dengan perseroan komanditer
adalah suatu bentuk perjanjian kerjasama untuk berusaha bersama antara orang-
orang yang bersedia memimpin, mengatur perusahaan serta bertanggungjawab
penuh dengan kekayaan pribadinya, dengan orang yang memberikan pinjaman,
tetapi tidak bersedia memimpin dan bertanggungjawab terbatas pada kekayaan
yang dikutsertakan dalam perusahaan itu.
4) Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan terbatas adalah suatu persekutuan untuk menjalankan perusahaan yang
mempunyaim modal usaha yang terbagi atas beberapa saham, diantara setiap
sekutu turut mengambil bagian sebanyak satu atau lebih saham. Kekayaan
perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi setiap pemegang saham.
5) Perseroan Terbatas Negara (Persero)
Perseroan sebelumnya adalah perusahaan negara. Terjadi perseroan karena
perusahaan negara mengadakan penambahan modal yang ditawarkan pada pihak
swasta untuk mengivestasikan modalnya.Dangan demikian dalam perseroan ada
kesempatan bagi pihak swasta menanamkan modalnya.
6) Perusahaan Negara Umum (Perum)
Tujuan dari Perum adalah mencari keuntungan, tetapi kesehjateraan masyarakat
tidak boleh diabaikan. Dalam Impres RI No.17 28 Desember 1967 menyatakan
bahwa kegiatan yang utama dalam Perum terutama ditujukan untuk melayani
kepentingan umum menyangkut jasa-jasa yang vital (utama).
7) Perusahaan Negara Jawatan (Perjan)
Kegiatan utama Perjan ditujukan terutama untuk pelayanan kepada masyarakat
atau untuk kesehjateraan umum dengan memperhatikan segi efisiensinya. Perjan
bisa memiliki fasilitas negara, sebab merupakan bagian dari Departemen Jenderal.
Seluruh karyawannya berstatus pegawai negeri.
8) Perusahaan Daerah

xxxi
Perusahaan daerah adalah perusahaan yang modalnya atau sahamnya dimiliki
oleh pemerintah daerah, dimana kekayaan perusahaan dsipisahkan dari kekayaan
negara. Tujuan dari perusahaan daerah ini adalah mencari keuntungan yang
nantinya akan dipergunakan untuk membangun daerah.
9) Koperasi
Koperasi merupakan suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau
badan-badan yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota
dengan bekerjasama secara kekeluargaan (kegotongroyongan), menjalankan
usaha untuk mempertinggi kesehjateraan jasmani dari para anggotanya
(Lestariningsih dan Suryatmojo, 1996: 7-16).
Setelah diuraikan mengenai perusahaan, maka perlu diuraikan mengenai
perkebunan. Apabila mendengar kata perkebunan, maka imajinasi yang akan muncul
dalam pikiran adalah suatu penanaman yang dilakukan dengan banyak tanaman dan
bermacam-macam jenis. Secara specifik istilah perkebunan akan diuraikan lebih
lanjut yang kemudian akan diambil suatu kesimpulan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 458), bahwa perkebunan
berhubungan dengan hal berkebun, perusahaan yang mengusahakan kebun-kebun,
dan tanah-tanah yang dijadikan kebun. Selanjutnya menurut Peter Salimdan Yenny
Salim (1991: 680), Perkebunan berhubungan dengan ’hal yang berkenaan dengan
kebun’ dan ’perusahaan kebun’. Dari dua pendapat diatas memiliki kesamaan
pendapat bahwa perkebunan adalah sesuatu yang berhubungan dengan tanah, kebun
dan perusahaan yang mengusahakannya. Pada konteks ini, perkebunan diartikan
sebagai perusahaan yang mengusahakan kebun-kebun.
Dalam keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/kpts/OT.210/10/97, tentang
Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, dikatakan bahwa usaha perkebunan sebagai
usaha untuk melakukan usaha budidaya dan atau usaha industri perkebunan dalam
bentuk perkebunan rakyat yang diusahakan oleh perseoranagn di atas tanah hak milik
atau hak guna dan perusahaan perkebunan yang dilakukan di atas lahan hak guna

xxxii
mulai dari pembibitan, pengolahan hasil sampai pemasarannya (Departemen
Pertanian, dalam www.deptan.go.id/kpts).
Menurut William J.O Malley (1988: 198 ), “Perkebunan sebagai suatu
komponen yang terdiri atas tanah, pekerja, modal, teknologi, skala, organisasi dan
tujuan”. Dalam pengelolaan suatu perkebunan, terdapat berbagai unsur yang terlibat.
Menurut Yayasan Agoekonomi (1983: 31), dalam suatu perkebunan terdapat unsur
pemerintah, swasta dan rakyat yang bekerja sama dalam mengolah perkebunan untuk
menghasilkan suatu hasil yang sama dan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Dari pendapat di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
perkebunan adalah suatu sistem kerja dalam suatu kegiatan pertanian dimana terdiri
dari berbagai komponen, yaitu pemerintah, swasta, rakyat, tanah, pekerja, modal,
teknologi, organisasi dan tujuan yang saling berhubungan dan berinteraksi satu
dengan yang lain guna mencapai suatu tujuan atau hasil bersama.
Perusahaan perkebunan yang dimaksud dalam kajian ini adalah perusahaan
gula Mangkunegaran. Perusahaan ini diprakarsai dan di bangun oleh KPAA
Mangkunegara IV, yakni pabrik gula Colomadu dan pabrik gula Tasikmadu. Kajian
mengenai perusahaan gula Mangkunegaran ini difokuskan pada masalah perubahan
kepemilikan perusahaan gula dari milik Mangkunegaran menjadi milik pemerintah
setelah Proklamasi Kemerdekaan RI.

c. Macam-macam Perkebunan
Pada masa kolonial, diwilayah nusantara khususnya Jawa, banyak dibuka
perkebunan-perkebunan oleh para pengusaha swasta Barat, terutama dari Belanda.
Hal ini merupakan akibat dari dikeluarkannnya Undang-undang Agraria (Agarisch
Wet) pada tahun 1870. Menurut Sartono Kartodidjo dan Djoko Suryo (1991: 80) lebih
lanjut mengatakan bahwa:
Undang-undang ini berisi ketentuan-ketentuan tentang tataguna tanah antara
lain: (1) Tanah milik rakyat tidak dapat diperjualbelikan kepada non-
pribumi, (2) Disamping itu tanah domain pemerintah sampai seluas 10 bau

xxxiii
dapat dibeli oleh non-pribumi untuk keperluan bangunan perusahaan (3)
Untuk tanah domain lebih luas dan ada kesempatan bagi non-pribumi
memiliki hak guna tanah, ialah : (a) sebagai tanah dan hak membangun
(rech van opstal, disingkat RVO), (b) tanah sebagai erfpacht (hak sewa
serta hak mewariskan) untuk jangka 75 tahun.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Agraria, satu alat produksi pokok


ialah tanah telah diliberalisasikan, maka terbuka kesempatan seluas-luasnya untuk
membuka perusahaan perkebunan. Macam-macam perkebunan yang dibuka di Jawa
masa pemerintahan kolonial Belanda menurut William J.O Malley (1988) diantaranya
adalah :
1. Perkebunan tebu yang menghasilkan gula sebagai komoditi yang sangat laku di
pasaran dunia. Industri gula merupakan industri yang menguntungkan, terkemuka
dan dalam beberapa segi merupakan industri teladan bahkan membantu terjadinya
boom-ekspor dari tanam paksa mulai tahun 1830-an.
2. Perkebunan kopi yang dihasilkan berupa kopi sebagai barang dagangan yang
menguntungkan pada Sistem Tanam Paksa. Kopi ditanam para petani bumiputera
di Jawa atas paksaaan pemerintah Hindia-Belanda. Penanaman tersebar dari
Banten, Karawang, Priangan, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang,
Probolinggo, Banyuwangi dan Madiun.
3. Perkebunan Nila yang merupakan hasil tanaman yang sangat penting pada
permulaaan masa Sistem Tanam Paksa, namun dalam perkembangannya, nila
tidak begitu disukai oleh para pengusaha perkebunan Barat sehingga dihentikan
penanamannnya.
Sektor Perkebunan merupakan tulang punggung perekonomian Belanda,
sejak masa VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) sampai politik Etis di awal
abad XX. Pada abad XIX perkebunan diusahakan secara besar-besaran oleh Belanda.
Selama Sistem Tanam Paksa (1830-1870) pengelolaan perkebunan dilakukan
menurut model VOC secara konservatif dengan sedikit perbedaan. Pada masa VOC
pengelolaan perkebunan melalui aparat birokrasi tradisional pribumi. Selanjutnya

xxxiv
setelah masa Liberal (1870-1900) pengelolaan perkebunan dilakukan oleh pihak
swasta yang mempunyai modal besar dari Eropa. Sejak 1870 mulailah babak baru
dalam pengusahaan perkebunan, pihak swasta dengan modalnya mulai terlibat di
dalamnya (Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, 1991: 80). Dengan demikian sejak
masa Politik Pintu Terbuka perusahaan perkebunan meningkat pesat dengan
masuknya modal swasta dan Undang-undang Agraria 1870 yang mendukung luasnya
pembukaan lahan-lahan perkebunan.

Permulaan abad XX mulailah korporasi-korporasi perseroan terbatas yang


memiliki modal lebih besar dari Eropa (Belanda) yang ingin menguasai tanah-tanah
perkebunan swasta yang telah ada. Korporasi-korporasi ini antara lain Nederlanches
Handel Maatschapaij (NHM) yang sebenarnya telah berdiri sejak 1824, dan Handels
Vereeningen Amsterdam (HVA) yang telah berdiri tahun 1878. Kedua korporasi
besar ini berhasil memiliki puluhan perusahaan gula, beberapa perusahaan tembakau,
teh, kopi, sisal dan sebagainya (Geertz, 1983: 89).
Daerah Mangkunegaran sebagai salah satu bagian dari Vorstenlanden, tidak
lepas dari proses kapitalisasi perkebunan yang ditandai dengan berdirinya perusahaan
perkebunan misalnya perkebunan gula, kopi, teh, indigo, dan kina
(A.K.Pringgodigdo, 1950: 42). Pengelolaan perusahaan perkebunan di daerah
Vorstenlanden umumnya di bawah korporasi besar Cultur Mastscapaij der
Vorstenlanden, suatu korporasi sejak tahun 1913 telah berhasil memiliki puluhan
pabrik gula, beberapa pabrik kopi, tembakau dan teh (Geertz, 1983: 89).
Perusahaan gula yang terkenal di Mangkunegaran adalah pabrik gula yang
didirikan oleh Mangkunegara IV. Pada tahun 1861 Mangkunegar IV mengajukan
rencana perusahaan gula Colomadu pada tanggal 8 Desember 1861. Bangunan
perusahaan gula ini dilaksanakan di bawah seorang ahli dari Eropa (R.Kamp).
Perkembangan pabrik gula Colomadu yang bagus mendorong Mangkunegara IV
mendirikan pabrik gula Tasikmadu pada tanggal 11 Juni 1871.

xxxv
Kuatnya korporasi-korporasi tersebut ditunjang dengan kerjasama yang baik
terhadap bank-bank yang ada, misalnya De Javasche Bank, Nederlansche Indische
Handels Bank, dan Chartered Bank. Dengan bantuan keuangan cukup besar,
korporasi-korporasi tersebut akhirnya mampu mengembangkan usahanya di sektor
perkebunan sehingga tidak kurang dari tiga dasawarsa dengan keuntungan besar.
Baru setelah timbulnya krisis ekonomi, sekitar tahun 1930-an, perusahaan
perkebunan mulai tidak stabil, bahkan menurut laporan Liga Bangsa-Bangsa krisis
ekonomi ini lebih berat dirasakan bangsa Indonesia daripada negara-negara lain
(Wertheim, 1956: 78).
Kondisi ini tidak banyak berubah hingga berakhirnya kolonialisme Belanda
pada tahun 1942 (saat masa pendudukan Jepang). Pada pendudukan Jepang
eksploitasi lebih ditekankan pada kepentingan ekonomi perang. Perusahaan
perkebunan untuk komoditi ekspor kurang diperhatikan, karena perkebunan yang
diutamakan adalah untuk penunjang kebutuhan perang. Perkebunan yang
dikembangkan Jepang terutama penanaman jarak, kina, dan rami (rosela).
Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan penguasaan aset perusahaan-
perusahaan asing di wilayah ini menjadi isu yang cukup menarik. Persoalannya
adalah bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial menjadi pemerintah
Republik Indonesia tidak diikuti dengan peralihan penguasaan semua aset ekonomi.
Pengalihan aset ekonomi hanya terjadi pada badan-badan pemerintah kolonial yang
telah diambil alih oleh pemerintah Bala Tentara Jepang. Aset-aset asing yang
dikuasai oleh pihak perusahaan swasta asing masih tidak jelas statusnya. Pengelolaan
perusahaan-perusahaan itu menjadi terganggu akibat terjadinya perang kemerdekaan.
Banyak pengusaha dan pekerja asing yang meninggalkan perusahaannya kembali ke
negeri Belanda. Ada pula yang bertahan di Indonesia, meskipun usahanya tidak
berjalan maksimal (Wasino, Makalah Workshop on the Economic Side of
Decolonization, Agustus 2004. hlm. 1).
Pengambilalihan ini semula banyak dilakukan oleh badan-badan perjuangan,

xxxvi
namun kemudian ditertibkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dilakukan oleh
pihak militer. Salah satu penguasa bumi putra yang asetnya diambil alih oleh negara
adalah perusahaan gula Mangkunegaran. Pengambilalihan aset milik Praja
Mangkunegaran setelah berakhirnya pemerintahan swapraja berdasarkan Penetapan
Pemerintah no 16/S.D. tanggal 15 Juli tahun 1946. Pengambilalihan perusahaan
perkebunan dilakukaan berdasarkan kebijakan ekonomi pemerintah RI dengan
mengeluarkan PP No.9 tahun 1947 tentang pembentukan Perusahaan Perkebunan
Republik Indonesia (PPRI). Kebijakan pemrintah inilah yang akhirrnya menyebabkan
terjadinya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran, sehingga
membawa dampak dan perubahan sosial di Mangkunegaran.

d. Pengertian Perubahan Sosial


Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1990: 981) pengertian perubahan
adalah : a) Hal (keadaan) berubah, peralihan, perubahan; b) perubahan aktiva tetap
yang tidak menambah jasanya. Pengertian sosial menurut Poerwadarminta (1984:
961) adalah segala sesuatu yang menangani masyarakat, kemasyarakatan, misalnya
departemen-departemen yang bertugas mengurus kebaikan atau kesehjateraan
masyarakat; perkumpulan yang bersifat (bertujuan) kemasyarakatan (bukan dagang
atau politik); suka memperhatikan kepentingan umum. Pengertian sosial lainnya
adalah segala aspek yang berhubungan dengan manusia dan lingkungan sosialnya
atau masyarakat (www.wikipedia.sosial-sosiologi.com).
Perubahan sosial menurut Mac Iver adalah sebagai perubahan-perubahan
dalam hubungan sosial (relationship social) atau sebagai perubahan-perubahan
terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial. Gillin dan Gillin memandang
bahwa perubahan sosial sebagai suatu variasi cara hidup yang lebih bisa diterima
masyarakat, disebabkan baik oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan
materiil, komposisi penduduk, ideologi ataupun karena terjadinya penemuan-
penemuan baru dalam masyarakat. Sedangkan Kingsley Davis mengartikan

xxxvii
perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 304-305).
Selo Soemadjan menyatakan bahwa perubahan sosial adalah segala
perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosialnya termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola peri
kelakuan diantara kelompok dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2005: 305).
Sementara Syahrial Syabarni (2002: 40) memberikan definisi perubahan sosial adalah
pergeseran nilai-nilai sosial, perilaku, susunan organisasi, lembaga-lembaga sosial,
stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan sosial
adalah segala perubahan cara hidup, sikap nilai dan pola perilaku di antara kelompok-
kelompok di dalam masyarakat yang disebabkan oleh adanya perubahan kondisi
geografis, komposisi penduduk, penemuan baru, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi
sosial, kekuasaan dan wewenang.
e. Faktor Penyebab Perubahan Sosial
Ada dua faktor yang menyebabkan perubahan sosial yaitu faktor dari dalam
masyarakat dan faktor dari luar masyarakat. Adapun faktor yang berasal dari dalam
masyarakat antara lain: (1) Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, (2) Penemuan
baru, (3) Adanya konflik dalam masyarakat, (3) Toleransi pada hal-hal baru atau
perubahan, (4) Kemajuan dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan serta teknologi, (5)
Sikap menghargai karya dan sikap maju orang lain, (6) Rasa tidak puas terhadap pola
hidup lama atau monoton, (7) Terjadinya suatu pemberontakan atau gerakan yang
bersifat reaksioner (Syahrial Syarbani, 2002: 42)
Sedangkan faktor yang berasal dari luar masyarakat diantaranya meliputi hal
berikut: (1) Perubahan fisik lingkungan, (2) Kontak atau pengaruh budaya asing, (3)
Perang dengan negara lain, (4) Perubahan ekonomi dunia, (5) Munculnya berbagai
media massa yang menyuguguhkan aneka informasi dan inovasi (Syahrial Syarbani,
2002: 42)

xxxviii
Ciri-ciri perubahan sosial menurut Soerjono Soekanto (2005: 310) antara
lain ditandai oleh hal berikut:
1) Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap masyarakat
mengalami perubahan yang terjadi secara lambat atau cepat.
2) Perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu, akan
diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga sosial lainnya.
3) Perubahan-perubahan sosial yang cepat, biasanya mengakibatkan terjadinya
disorganisasi yang sementara sifatnya di dalam proses penyesuaian diri.
Disorganisasai tersebut akan diikuti oleh suatu reorganiasasi yang mencakup
pemantapan dari kaidah-kaidah dan nilai lain yang baru.
4) Perubahan-perubahan tidak bisa dibatasi pada bidang kebendaan atau bidang
spiritual saja, tetapi semua bidang kehidupan.
Faktor perubahan sosial ditandai dengan adanya perubahan di bidang politik
dan ekonomi bangsa Indonesia, yakni perubahan politik diawali dari Proklamasi 17
Agustus 1945 untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat dengan membentuk
pemerintahan sendiri. Sedangkan perubahan ekonomi ditandai dengan adanya
perubahan ekonomi masa kolonial menuju struktur ekonomi nasional, khususnya
dalam pengelolaan perkebunan. Dengan demikian pasca kemerdekaan Republik
Indonesia, telah terjadi perubahan sosial dalam sistem perkebunan yang
menyebabkan perubahan status perusahaan pekebunan. Misalnya dalam perubahan
kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1946-1952 yang beralih dari
perusahaan milik Mangkunegaran ke pemerintah RI.

f. Perubahan Sosial-Ekonomi di Mangkunegaran


Pada daerah jajahan perubahan sosial dalam masyarakat mempunyai sebab-
sebab yang berbeda dengan daerah-daerah yang tidak dijajah. Sebagai perantara
kolonial dengan rakyat penguasa tradisional (raja dan bupati) tidak dicopot
kekuasaannya tetapi mereka dipakai untuk memungut hasil produksi rakyat,

xxxix
kemudian diserahkan kepada pihak penjajah (Noer Fauzi, 1999: 20). Semakin
meluasnya usaha perkebunan dengan modal asing telah membawa dampak pada
perubahan sistem perekonomian tradisional menjadi sistem pertanian komersial. Pada
masa sistem ekonomi liberal telah memberikan kebebasan berusaha mengembangkan
perusahaan perkebunan, sehingga kesempatan baik ini dimanfaatkan oleh KPAA
Mangkunegara IV untuk membangun perusahaan gula.
Industri gula Mangkunegaran dan perkebunan tebunya pada abad XX telah
berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi masyarakat Mangkunegaran. Pengaruh
terjadi baik bagi keuangan praja maupun ekonomi masyarakat pedesaan. Industri gula
ini tidak banyak mempengaruhi bentuk fisik desa dan tatanan pemerintahan di desa
Mangkunegaran, tetapi mempengaruhi fungsi desa. Dalam hal ini desa mempunyai
peran yang yang penting dalam pelaksanaan dan kegiatan produksi perusahaan
perkebunan tebu.
Pemerintahan desa di wilayah Mangkunegaran merupakan sarana (alat) dari
birokrasi istana untuk kepentingan penyedia tenaga kerja dan penyedia tanah. Industri
gula Mangkunegaran berpengaruh besar terhadap perkembangan ekonomi pedesaan
yaang terjadi pada sektor tanaman pangan, terutama padi. Pengaruh lain dapat
membuka peluang kerja bagi masyarakat Mangkunegaran sebagai tenaga kasar dalam
pengolahan tebu, mulai penanaman hingga tebang (rembang), dan pekerja bagi
penduduk yang berpendidikan baik (Wasino, 2008: 376-378).
Pada pasca kemerdekaan terjadi pengambilalihan perusahaan gula menjadi
perusahaan negara dalam pengelolaan PPRI, khususnya perusahaan gula
Mangkunegaran. Hal ini berdasarkan kebijakan pemerintah No.9 tahun 1947 dengan
maksud untuk memisahkan perusahaan perkebunan milik pemerintah dengan
perusahaan perkebunan asing (Belanda). Kebijakan pemerintah ini mengakibatkan
perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran, sehingga menyebabkan
perubahan keadaan sosial ekonomi di Mangkunegaran. Keputusan Pengadilan Negeri

xl
Jakarta tahun 1952 menandakan Perusahaan gula Mangkunegaran secara resmi
diambil alih pemerintah.
Perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran secara ekonomi memperjelas
bahwa status kepemilikannya dan hak kekayaan perusahaan beralih ke tangan
pemerintah pusat yang menyebabkan Mangkunegaran kehilangan sumber pendapatan
yang utama. Dampak perubahan ini bisa dilihat dari adanya perubahan manajemen
(tata kelola) perusahaan gula, yang meliputi struktur pengelolaan, sistem produksi,
administrasi keuangan, tenaga kerja dan sistem upah yang mengalami transisi
ataupun perubahan sehingga berdampak bagi kehidupan sosial ekonomi di praja
Mangkunegaran. Perubahan yang signifikan menyangkut keuangan dan kekayaan
praja dari hasil pendapatan perusahaan gula.

2. Kebijakan Pemerintah
a. Pengertian Kebijakan Pemerintah
Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia (tt:166) kebijaksanaan adalah
kecermatan bertindak jika menghadapi suatu kesulitan atau masalah. Sedangkan
menurut Mirriam Budiarjo (1982: 12) bahwa kebijaksanaan (policy) adalah suatu
kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik dalam
usaha-usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan itu. Kebijaksanaan memiliki
makna yang hampir sama dengan kebijakan. Kebijakan dan keputusan merupakan
bagian penting dari sistem politik suatu negara.
H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended
to accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud untuk
mencapai tujuan tertentu. Menurut Jones menjelasakan beberapa isi tentang
kebijakan, yang meliputi hal berikut: a) Tujuan tertentu yang dikehendaki untuk
dicapai (the desired ends to be achieved); b) Rencana atau proposal yang merupakan
alat atau cara tertentu untuk mencapainya; c) Program atau cara tertentu yang telah
mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud; d)

xli
keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan tujuan, membuat
dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program (Said Zainal
Abidin, 1988: 7-10).
Secara umum, istilah ”kebijakan” atau ”policy” dipergunakan untuk
menunjukkan perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan
tertentu (Budi winarno, 2002:14). Secara lebih khusus kebijakan adalah pedoman
untuk melaksanakan suatu tindakan (Steiner dan Miner, 1988: 22).
Menurut Dror yang dikutip oleh Miriam Budiarjo dan Tri Nuke Pudjiastuti
(1996: 229), ”Kajian tentang kebijakan akan menyangkut pemahaman terhadap
pembuatan dan penyempurnaan suatu kebijakan. Lingkup studi kebijakan sangat luas
dari sebab-sebab diterapkan suatu kebijakan yang meliputi isi kebijakan, proses
pelaksanaan kebijakan serta dampak suatu kebijakan”. Kebijakan juga mengandung
komponen tindakan, yakni hal yang dilakukan pemerintah kepada pihak lain untuk
menghasilkan orientasi, memenuhi peran atau mencapai dan mempertahankan tujuan
tertentu (Holsti, 1988:158).
Setelah diuraikan mengenai pengertian kebijakan, selanjutnya perlu
dikemukakan pengertian pemerintah. Secara etimologis Pemerintah berasal dari kata
perintah. Menurut Poerwadarminto (1990: 775) kata tersebut mempunyai arti:
perintah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu; pemerintah adalah
kekuasaan memerintah suatu negara (daerah-daerah) atau badan yang tertinggi yang
memerintah suatu negara (seperti suatu kabinet merupakan suatu pemerintah);
sedangkan yang dimaksud pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal dan urusan)
memerintah.
Samuel Edward Finer yang dikutip oleh S.Pamudji (1982: 5) menyatakan
istilah ”goverment” paling sedikit mempunyai empat arti yaitu; menunjukkan
kegiatan atau proses memerintah dengan melaksanakan kontrol atas pihak lain (the
activity or the process of governing); menunjukkan masalah-masalah hal ikhwal

xlii
negara dalam kegiatan atau proses dijumpai (states of affairs); menunjukkan orang-
orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk memerintah
(people charged with the duty of governing); menunjukkan cara, metode atau sistem
dimana suatu masyarakat diperintah (the manner, method or system by which a
perticular society is governed).
Berpijak dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pemerintah adalah serangkaian rencana kegiatan yang dibuat oleh suatu lembaga
negara yang mempunyai kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif dalam upaya
mengatur dan memecahkan permasalahan negara. Kebijakan pemerintah mencakup
semua aspek kehidupan, seperti dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Dalam
kajian ini tentang kebijakan pengambialihan perusahaan perkebunan, khususnya
perusahaan gula Mangkunegaran.

b. Penentu Kebijakan (Decision Maker)


Aktor-aktor atau pemeran dalam proses pembuatan kebijakan dapat dibagi ke
dalam berbagai para pemeran resmi dalam proses pembutan kebijakan yang meliputi:
badan-badan administrasi (agen-agen pemerintah atau birokrasi), presiden
(eksekutif), lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Menurut Budi Winarno (2002:
85) aktor-aktor perumusan kebijakan antara lain :
1. Badan-badan Administrasi (agen-agen pemerintah)
Badan-badan adminstrasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara
umum dalam ilmu politik mengenai pemerintahan di suatu negara.
2. Presiden (eksekutif)
Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran penting dalam perumusan
kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat dilihat dalam
komisi-komisi presidential, maupun dalam rapat-rapat kabinet.

3. Lembaga Yudikatif

xliii
Lembaga yudikatif mempunyai kekuasaan yang cukup besar untuk
mempengaruhi kebijakan publik melalui pengujian kembali suatu undang-undang
dan peraturan. Tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk
menentukan tindakan-tindakan yang diambil oleh eksekutif maupun legislatif
sesuai kontitusi. Keputusan yang bertentangan dengan konstitusi negara, maka
badan yudikatif berhak membatalkan/ menyatakan tidak sah peraturan tersebut.
4. Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif (DPR) bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan
para pembantu presiden) memegang peran yang cukup krusial di dalam
perumusan atau pembuatan kebijakan. Setiap undang-undang yang menyangkut
kepentingan publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif.

c. Kebijakan Pemerintah RI terhadap Perusahaan Perkebunan


UUD 1945 merupakan landasan konstitusional negara Republik Indonesia.
Konstitusi merupakan hukum dasar pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan,
yang terdiri dari Undang-undang Dasar (konstitusi tertulis) dan konvensi (konstitusi
tidak tertulis). Pembukaan UUD 1945 dalam alinea keempat disebutkan tujuan negara
adalah: ”...Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesehjateraan umum dan mencerdeskan kehidupan bangsa
serta ikut melaksanakan ketertiban dunia....”
Amanat yang tersirat dalam UUD 1945 tersebut salah satunya adalah
membangun perekonomian negara, khususnya dalam usaha memajukan kesehjateraan
umum. Hal ini dikarenakan selama penjajahan perekonomian rakyat tertindas oleh
kepentingan penjajah, sehingga rakyat hidup miskin dan sengsara. Kondisi ekonomi
dalam keadaan yang kacau, terutama masalah perusahaan perkebunan. Pasca
kemerdekaan RI bahwa sejumlah persoalan kesehjateraan, perbaikan keadaan dan
penciptaan struktur ekonomi nasional harus segera diatasi untuk kepentingan
perekonomian nasional.

xliv
Berdasarkan UUD 1945 tersebut, pemerintah menerapkan perekonomian
yang sesuai dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup orang banyak. Pemikiran
membangun suatu perekonomian nasional, dengan mendasarkan pada :
pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh
negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”

Kebijakan ekonomi pemerintah pasca kemerdekaan, misalnya dengan


mengambilalih perusahaan perkebunan untuk membedakan perusahaan pemerintah
dengan swasta asing (Belanda). Akhirnya pemerintah mengeluarkan PP no. 9 tahun
1947 tentang Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Tugas dari kantor
ini adalah mengurus dan menyelenggarakan perusahaan-perusahaan milik negara
yang tergabung dalam Kantor Perusahaan Perkebunan Pemerintah (KPP) yang pada
zaman Belanda bernama Gouvernements landbouw bedrijven. Selain itu ini juga
bertugas untuk mengurus perusahaan-perusahaan bukan milik bangsa asing yang
dikuasai oleh negara, termasuk di dalamnya perusahaan-perusahaan bukan
perkebunan. Sejak berdirinya PPRI, maka industri gula Mangkunegaran dikuasai
secara langsung langsung oleh pemerintah Republik Indonesia (Wasino, 2004: 6).
Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok yang penting dan memenuhi hajat
hidup rakyat. Masa kolonial industri gula dipegang oleh swasta untuk mendapatkan
keuntungan yang besar, sedangkan masa pendudukan Jepang kurang diperhatikan
sebab ekonominya lebih ditekankan pada kepentingan perang. Industri gula
merupakan cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak,
sehingga pengelolaannya diambil alih oleh pemerintah.
Berdasarkan PP No.9 Tahun 1947 perusahaan gula Mangkunegaran telah
diambil alih pemerintah. Perusahaan Gula Mangkunegaran secara resmi menjadi
milik pemerintah berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri di Jakarta tahun 1952
tentang pembekuan harta benda milik Mangkunegaran. Dengan demikian, adanya

xlv
kebijakan pemerintah terhadap perusahaan perkebunan pasca kemerdekaan telah
menyebabkan perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran.
B. Kerangka Berpikir

Sistem Perkebunan Ekonomi RI berdasarkan UUD 1945

Kebijakan ekonomi pemerintah RI


pasca kemerdekaan

Perusahaan Perkebunan
Pengambilalihan perusahaan perkebunan

Perubahan sosial dalam sistem perkebunan

Perubahan status kepemilikan


Perusahaan gula Mangkunegaran

pengaruh perubahan ekonomi bagi ”praja” dan


pegawai perusahaan gula di Mangkunegaran

Keterangan :
Pemerintah Republik Indonesia pasca kemerdekaan mengalami masa revolusi
dalam membentuk pemerintahaan yang berdaulat, baik dari segi politik, sosial dan
ekonomi. Pengakuan kemerdekaan bukanlah berarti penyelesaian masalah, terutama
yang menyangkut di bidang ekonomi. Sejumlah persoalan kesehjateraan, perbaikan
keadaan dan penciptaan struktur ekonomi nasional kembali muncul dalam bentuk
yang lebih nyata untuk segera diatasi.

xlvi
Setelah lenyapnya pemerintahan Jepang dengan diproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 banyak infrastruktur ekonomi
yang rusak guna kepentingan perang. Perekonomian ini terutama di bidang usaha
perkebunan yang telah lama menjadi andalan sejak kolonialisme Belanda dan tumbuh
sangat pesat ketika masa liberalisasi dan kapitalisasi. Selain itu masih adanya modal
asing dari swasta Belanda yang bergerak di bidang perusahaan perkebunan,
menambah keruwetan masalah ekonomi. Kondisi tersebut menyebabkan ekonomi
bangsa Indonesia kacau.
Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan penguasaan aset perusahaan-
perusahaan asing di wilayah ini menjadi isu yang cukup menarik. Persoalannya
adalah bahwa peralihan kekuasaan dari pemerintah kolonial menjadi pemerintah
republik tidak serta merta diikuti dengan peralihan penguasaan semua aset ekonomi.
Pengalihan aset ekonomi hanya terjadi pada badan-badan pemerintah kolonial yang
telah diambil alih oleh pemerintah Bala Tentara Jepang. Aset-aset asing yang
dikuasai oleh pihak perusahaan swasta asing masih tidak jelas statusnya. Sementara
itu pengelolaan perusahaan-perusahaan itu menjadi terganggu akibat terjadinya
perang kemerdekaan. Banyak pengusaha dan pekerja asing yang meninggalkan
perusahaannya kembali ke negeri Belanda. Ada pula yang masih bertahan di
Indonesia, meskipun usahanya tidak berjalan maksimal.
Pemerintah membentuk Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia dengan
mengeluarkan PP No.9 Tahun 1947. Pemerintah mengeluarkan peraturan tersebut
karena memandang perlunya memisahkan perkebunan milik Negara (pemerintah)
dan perkebunan milik bangsa Asing guna menghadapi perundingan dengan
pemerintah Belanda mengenai status politik, masalah ekonomi dan keuangan.
Kebijakan pemerintah berdampak besar pada pengelolaan perusahaan perkebunan
Mangkunegaran, khususnya perusahaan gula. Awalnya perusahaan gula
Mangkunegaran didirikan oleh Mangkunegara IV yang memanfaatkan kesempatan
kebebasan berusaha dan penanaman modal pengusaha Belanda pada masa ”Politik

xlvii
Pintu Terbuka”, yakni dengan membangun pabrik gula Colomadu tahun 1861dan
pabrik gula Tasikmadu tahun 1871.
Perusahaan gula ini merupakan salah satu sumber potensial pendapatan
Mangkunegaran, pada masa pemerintahan Mangkunegara VIII dikelola oleh Dana
Milik Mangkunegaran. Perusahaan gula yang menyangkut hajat hidup orang banyak
tersebut pengelolaannya diambil alih oleh pemerintah yang awalnya melalui BPPGN
dan PNS kemudian dilebur ke dalam PPRI. Pengelolaan perusahaan gula yang
sebelumnya berada di bawah dana Milik Mangkunegaran kemudian beralih kepada
pemerintah melalui PPRI ini menjadikan status kepemilikan perusahaan gula tersebut
berubah dari perusahaan yang sebelumnya milik praja menjadi perusahaan negara.
Status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran secara resmi menjadi
milik pemerintah pusat berdasarkan keputusan pengadilan negeri Jakarta tahun 1952
dengan adanya keputusan pembekuan dana milik Mangkunegaran. Adanya perubahan
status kepemilikan perusahaan gula ini menimbulkan dampak yang besar bagi
Mangkunegaran terutama dalam bidang sosial-ekonomi. Perubahan kepemilikan
perusahaan gula Mangkunegaran terjadi seiring dengan berakhirnya pemerintahan
swapraja, kemudian pengelolaan kekayaan Mangkunegaran yang menyangkut hajat
hidup orang banyak diambil alih oleh pemerintah. Perubahan pengelolaan gula
Mangkunegaran secara ekonomi memperjelas bahwa status kepemilikan dan hak
kekayaan perusahaan beralih ke pemerintah, sehingga Mangkunegaran kehilangan
sumber pendapatan yang vital (utama).

xlviii
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan dalam rangka penyusunan skripsi yang berjudul
”Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran Tahun 1946-1952”
ini dilakukan dengan cara studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan
sebagai tempat memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian, antara lain
perpustakaan:
a. Perpustakaan Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS
b. Perpustakaan Program Sastra Sejarah UNS
c. Perpustakaan FKIP UNS
d. Perpustakaan Pusat UNS
e. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran
f. Perpustakaan PTPN IX
g. Monumen Pers Surakarta
h. Perpustakaan Daerah Surakarta
i. Perpustakaan Museum Gula Jawa Tengah di Klaten

xlix
j. Perpustakaan Pusat UGM

2. Waktu Penelitian
Rencana waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak proposal
disetujui pembimbimg yaitu bulan April 2009 sampai dengan Januari 2010 (sepuluh
bulan). Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu tersebut diantaranya
adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan
sumber, menetapkan makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh
dan terakhir menyusun laporan hasil penelitian.
Dengan jadwal penelitian, sebagai berikut :

Jadwal Kegiatan Penelitian


Tahun 2009-2010
No Jenis Kegiatan April Juli- September-
Mei Juni Januari
Agustus Desember
1. Pengajuan Judul
Penyusunan
2.
Proposal
Pengajuan Surat
3.
Ijin
4. Pengumpulan Data
5. Analisis Data
6. Laporan Penelitian

B. Metode Penelitian

l
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang terdiri dari kata,
yaitu methos berati jalan atau cara dan theodos yang berarti masalah.artinya cara atau
jalan. Sehubungan dengan penelitian karya ilmiah, maka yang dimaksud dengan
metode adalah cara kerja yang sistematis mengacu pada aturan baku yang sesuai
dengan permasalahan ilmiah yang bersangkutan dan hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Koentjaraningrat, 1986: 2). Dalam kamus The
New Lexicon, metode adalah suatu cara untuk membuat sesuatu, suatu prosedur untuk
mengerjakan sesuatu, keteraturan dalam berbuat, berencana, dan suatu susunan atau
sistem yang teratur (Helius Sjamsuddin, 2007: 13).
Menurut Mardalis (2002: 24) metode dapat diartikan sebagai suatu cara atau
teknis yang dilakukan dalam proses penelitian. Metode dapat diartikan jalan, cara,
atau petunjuk pelaksanaan atau merupakan petunjuk teknis (Dudung Abdurrahman,
1999: 43). Metode dapat diartikan tata cara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan,
yang melingkupi prosedur penelitian dan teknik penelitian (Iqbal Hasan, 2002: 21).
Menurut kamus Webster’s, Third New International Dictionary of the
English Language, yang dimaksud dengan metode adalah :
1. Suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu obyek.
2. Suatu disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai cabang logika yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diterapkan untuk penyidikan ke
dalam atau eksposisi dari beberapa subyek.
3. Suatu prosedur, teknik, dan cara melakukan penyelidikan sistematis. (Helius
Sjamsuddin, 2007: 12)
Dari pengertian tersebut, maka metode dapat didefinisikan sebagai cara, jalan,
dan teknik yang ditempuh sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang
memiliki langkah-langkah yang sistematis. Berdasarkan permasalahan yang hendak
dikaji serta tujuan yang akan dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode historis. Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok
permasalahan yang dikaji yaitu peristiwa masa lampau, untuk direkonstruksikan

li
menjadi cerita sejarah melalui langkah atau metode historis. Dengan demikian
metode historis merupakan langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam
penelitian ini.
Menurut Kuntowijoyo metode sejarah didefinisikan sebagai petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian
sejarah. Menurut Gilbert J. Garraghan yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman
(1999: 43) meyebutkan bahwa metode sejarah adalah seperangkat asas-asas dan
kaidah-kaidah yang sistematis yang digunakan secara efektif untuk mengumpulkan
sumber-sumber sejarah, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-
hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Metode penelitian historis menurut Louis Gottschalk dalam Dudung
Abdurrahman (1999: 44) adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis
rekaman dan penilaian masa lampau. Rekonstruksi yang imajinatif daripada masa
lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses yang disebut
dengan historiografi. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisis secara
kritis rekaman dan peninggalan pada masa lampau (Helius Sjamsuddin, 1996: 17).
Metode sejarah bertujuan untuk memastikan dan menyatakan kembali fakta-fakta
masa lampau, dan penulisan sejarah merupakan cara untuk merekonstruksi gambaran
masa lampau berdasarkan bukti-bukti dan data yang diperoleh dari peninggalan masa
lampau.
Metode historis bertujuan merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan
obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan mensintesiskan bukti
untuk menempatkan fakta sejarah dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan.
Penelitian dengan metode historis merupakan metode kritis terhadap keadaaan-
keadaan dan perkembangan, serta pengalaman masa lampau dan menimbang secara
teliti hati-hati terhadap validitas sumber-sumber sejarah agar fakta yang diperoleh
bersifat obyektif.

lii
Berbagai uraian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode historis
adalah suatu kegiatan mengumpulkan, menguji, menganalisis, dan menafsirkan
gejala-gejala atau peristiwa masa lampau yang secara imajinasi didasarkan dari data
yang diperoleh serta menyertakan suatu sintesa hasil yang dicapai dalam penulisan
sejarah sehingga membentuk suatu historiografi.
Berdasarkan penjelasan tentang metode historis di atas, maka metode historis
dipergunakan dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi peristiwa,
yaitu: ”Perubahan Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran 1946-1952”.
Perkembangan perusahaan perkebunan di Indonesia pasca kemerdekaan merupakan
bagian dari masalah ekonomi yang yang unik dan menarik.. Hal ini dikarenakan
adanya kebijakan pemerintah membentuk Perusahaan Perkebunan Republik
Indonesia, terutama untuk membedakan perusahaan pemerintah dengan perusahaaan
swasta milik bangsa asing. Obyek penelitian yang dikaji mengenai peristiwa
perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran terkait adanya kebijakan
pemerintah tentang perusahaan perkebunan negara. Kebijakan pemerintah berdampak
pada pengelolaan perusahaan gula Mangkunegaran, yakni pabrik gula Colomadu dan
pabrik gula Tasikmadu. Sedangkan waktu terjadinya peristiwa yang diteliti mulai
masa proses peralihan perusahaan gula oleh pihak Mangkunegaran sampai kepada
pihak pemerintah dari tahun 1946-1952 .

C. Sumber Data
Sumber data yang merupakan sumber sejarah adalah segala sesuatu yang
dapat digunakan sebagai penulisan peristiwa sejarah, merupakan suatu hasil
penyelidikan untuk mendapatkan data apa saja yang ditinggalkan manusia pada masa
lampau. Menurut Sidi Gazalba (1981: 105) bahwa sumber sejarah dapat
diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu: (1) sumber tertulis yang mempunyai
fungsi mutlak dalam sejarah, (2) sumber lisan, yaitu sumber tradisional dalam

liii
pengertian luas, (3) sumber visual atau benda, yaitu semua warisan masa lalu yang
berbentuk dan berupa seperti candi dan prasasti.
Menurut Louis Gottschalk (1986: 85), sumber primer adalah kesaksian dari
seorang saksi mata dengan mata kepala sendiri atau saksi dari panca indera yang lain,
yakni orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakannya. Sedangkan
sumber sekunder merupakan kesaksian dari siapapun yang bukan merupakan saksi
pandangan mata yakni dari seseorang yang tidak hadir pada peristiwa yang
dikisahkan.
Sumber sejarah dapat diklasifikasikan menjadi beberapa cara yaitu: (1)
kontemporer (contemporary) dan lama (remote), (2) formal (resmi) dan informal
(tidak resmi), (3) pembagian menurut asalnya (dari mana asalnya), (4) isi (mengenai
apa), (5) tujuan (untuk apa) yang masing-masing dibagi lagi lebih lanjut menurut
waktu, tempat dan cara atau produknya. Sumber sejarah secara garis besar dibedakan
menjadi peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan (Helius
Sjamsudin, 1996: 74).
Penelitian ini meggunakan riset kepustakaan atau studi pustaka, maka teknik yang
digunakan dalam mengumpulkan data melalui kegiatan pencatatan. Dalam
melakukan pencatatan, peneliti mengumpulkan arsip-arsip, buku-buku dan literatur
lainnya yang sesuai dengan tema penelitian ini. Semua pencatatan dari arsip-arsip,
buku-buku dan literatur tersebut kemudian dikumpulkan menjadi satu.
Ada empat keuntungan dari penggunaan studi pustaka ini yaitu: (1)
memperdalam kerangka teoritis yang dipergunakan sebagai landasan penelitian, (2)
memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang
digunakan sehingga mempermudah dalam perumusan, dan (4) menghindari
terjadinya pengulangan suatu penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber tertulis primer maupun
sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini adalah Arsip tentang kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan masalah penelitian, misalnya : (1) Arsip MN VIII

liv
5286 yang berisi turunan PP No.9 tahun 1947 tentang pembentukan Perusahaan
Perkebunan Perkebunan Republik Indonesia, (2) Arsip MN VIII 5264 yang berisi
turunan surat yang menerangkan bahwa PG Tasikmadu dan PG Colomadu adalah
milik pemerintah menurut PP No.9 tahun 1947, (3) Arsip MN 464 berisi turunan
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tahun 1952 tentang pembekuan harta benda
milik Mangkunegaran, (4) Arsip MN VIII 4817 yang berisi turunan Keputusan
Presiden RI No.52 1952 tentang Pembubaran Komisi dana Milik Mangkunegaran dan
Pembentukan Panitia Penyelenggara Dana Milik Mangkunegaran yang baru tahun
1952.
Sumber saksi mata adalah bapak Sumarso (abdi dalem Mangkunegaran dan
penerjemah di Rekso Pustoko, khususnya penerjemah Bahasa Belanda) dan Bapak Ir.
H. Suroto H.S.(mantan Adminstratur pabrik gula Mangkunegaran), yang
menceritakan sejarah pembangunan perusahaan gula Colomadu dan Tasikamdu,
perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran ke tangan pemerintah (PPRI) dan
dampaknya secara sosial-ekonomi bagi Mangkunegaran.
Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku literatur, Arsip
pendukung dan surat kabar yang relevan dengan penelitian ini. Adapun buku yang
relevan, antara lain: Geschiedenis der Ondermingen van Het Mangkoenegorosche
Rijk’s karangan Martinus, ”Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan Di Daerah
Mangkunegaran”, terjemahan Sotono dari : Hoofdstuk II opkomst der
Mangkoenagorosce cultuurbelangen.” Sejarah Nasional Indonesia” karangan
Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, ”Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945” oleh sekretariat Jenderal MPR RI tahun
2002, “Kapitalisme Bumi Putra : Perubahan Masyarakat Mangkunegaran” karangan
Wasino, “Sejarah Perkebunan di Indonesia., Kajian sosial Ekonomi” karangan
Sartono Kartodirdjo.
Arsip pendukung sebagai penguat sumber arsip primer antara lain : Arsip MN
VIII 4843 yang berisi catatan singkat Dana Milik Mangkunegaran, arsip 5228 tentang

lv
laporan giling dari pabrik gula Colomadu tahun 1945, arsip 5248 berkas masalah
pabrik gula antara lain tentang rencana penanaman tebu, biaya penggilingan tebu dan
biaya pengelolaan lainnya pada tahun 1945. Sumber surat kabar antara lain : Mimbar
Indonesia 21 Mei 1952, Tempo No. 28 tanggal 12 September 1987.
Berdasarkan uraian di atas, pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan
teknik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis
dengan menggali data dari buku-buku dan bentuk pustaka lainnya. Sumber-sumber
ini diperoleh melalui kunjungan pustaka, analisis dan lain-lain.

D. Teknik Pegumpulan Data


Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik. Teknik
pengumpulan data adalah ketrampilan menemukan, menganalisa dan
mengklarifikasikan data. Dalam penelitian ini digunakan teknik kepustakaan atau
studi pustaka. Menurut Koentjaraningrat (1986: 36), bahwa keuntungan dari studi
pustaka ini ada empat hal, yaitu: (1) memperdalam kerangka teoritis yang digunakan
sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam pengetahuan akan masalah yang
diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga mempermudah dalam
perumusan, (4) menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian.
Menurut Florence M.A. Hilbish, mengemukakan bahwa catatan-catatan dalam
pengumpulan data ada tiga bentuk, yaitu : (1) quation (kutipan langsung), (2) citation
atau indirect quation (kutipan tidak langsung), (3) summary (ringkasan) dan comment
(komentar).
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data melalui studi pustaka
dilakukan terhadap arsip dan subyek yang berkaitan dengan obyek penelitian, juga
terhadap buku-buku literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian. Untuk
mencarinya, peneliti terlebih dahulu membaca katalog, mencatat nomor kode buku
maupun arsip dan menyerahkan pada petugas yang kemudian akan membantu
mengambilkan data yang dibutuhkan oleh peneliti. Dengan membandingkan sumber

lvi
yang satu dengan sumber yang lain peneliti berusaha untuk memahami isi dan
peristiwa sebenarnya yang terjadi di dalam obyek penelitian. Peneliti membaca,
mencatat atau membuat catatan ringkas, meminjam, dan memfoto copi bagian buku-
buku literatur yang dianggap penting dan sesuai dengan tema penelitian yang
tersimpan di perpustakaan-perpustakaan yang dijadikan sebagai studi pustaka
penelitian.

E. Teknik Analisis Data


Di dalam penelitian ini, teknik analisis data yang digunakan adalah teknik
analisis historis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasi data sejarah.
Interpretasi diperlukan mengingat fakta sejarah tidak mungkin berbicara sendiri.
Kategori fakta-fakta sejarah mempunyai sifat yang sangat kompleks, sehingga suatu
fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta itu sendiri. Fakta merupakan
bahan utama yang dijadikan para sejarawan sebagai bahan menyusun cerita sejarah.
Pengkajian fakta sejarah tidak dapat dilepaskan dari unsur subyektivitas sejarawan,
sehingga tidak diperlukan konsep-konsep dan teori sebagai kriteria penyeleksi dan
pengklasifikasian fakta sejarah (Sartono Kartodirdjo, 1992: 85).
Penulisan sejarah yang dapat dipercaya memerlukan analisis data sejarah yang
obyektif, sehingga unsur-unsur subyektivitas dalam menganalisis data sejarah dapat
diminimalisir. Dalam proses analisis data harus diperhatikan unsur-unsur yang sesuai
dengan sumber data sejarah dan kedibilitas unsur tersebut. Unsur yang kredibel,
maksudnya apabila unsur tersebut paling dekat dengan peristiwa-peristiwa yang
sebenarnya terjadi. Unsur tersebut dapat diketahui kredibelnya berdasarkan
penyelidikan kritis terhadap sumber data sejarah yang ada (Louis Gottschalk, 1986:
95).
Analisa data dapat dilakukan dengan aturan-aturan : fakta sejarah harus
diseleksi, disusun, diberi atau dikurangi tekanannya (tempat atau bahasanya) dan
ditempatkan dalam urutan kausal. Dari keempat aturan menyusun fakta tersebut,

lvii
seleksi merupakan masalah penting sehingga peneliti harus mampu memilih fakta
yang lebih relevan dari sejumlah data (Dudung Abdurahman, 1999: 25).
Interpretasi dilakukan karena fakta sejarah merupakan bukti-bukti sejarah
yang masih berdiri sendiri-sendiri sehingga perlu dirangkaikan menjadi fakta yang
terkait sebelum ditulis dalam rangkaian hasil penelitian. Berdasarkan sintesa fakta
muncullah interpretasi yang tidak dapat terlepas dari unsur subyektivitas, sehingga
dalam melakukan interpretasi diperlukan pengetahuan konsep teori dan metodologi
yang tepat guna memfokuskan pada posisi tertentu yang menjadi penelitian serta
meningkatkan unsur obyektivitas dalam historiografi sejarah.
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengklasifikasikan
sumber data yang telah terkumpul yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
Langkah selanjutnya adalah kritik sumber baik kritik intern maupun kritik ekstern.
Sumber data tersebut kemudian dibandingkan dengan sumber data yang lain guna
memperoleh kredibilitas sumber data. Mengacu pada kajian teori, fakta diberi
keterangan baik yang mendukung atau menolak sampai tersusun fakta yang saling
menunjukkan hubungan yang relevan diinterpretasikan guna mendapatkan hasil
penelitian yang utuh untuk sebuah karya ilmiah.

F. Prosedur Penelitian
Sebelum melakukan penelitian perlu dibuat suatu prosedur penelitian karena
dapat mempermudah cara kerja dan memperlancar jalannya penelitian. Menentukan
tema yang akan diteliti merupakan langkah awal sebelum membuat suatu rencana
kerja dari persiapan membuat proposal sampai dengan penulisan hasil penelitian.
Untuk mempermudah penelitian langkah yang perlu dijalankan guna mendapatkan
hasil penelitian yang optimal diperlukan adanya prosedur yang digambarkan dalam
bagan persiapan. Bagan persiapan tersebut berisi langkah sistematis yang
menggambarkan kegiatan dari awal perencanaan sampai dengan pembuatan laporan

lviii
hasil penelitian. Karena penelitian ini merupakan penelitian historis maka skema
dalam metode historis digambarkan sebagai berikut :

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah

Keterangan :
1. Heruistik
Heruistik adalah kegiatan menghimpun jejak-jejak masa lampau dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan tertulis, tercetak atau sumber lain yang relevan dengan
penelitian ini. Menurut Sidi Gazalba (1981:15), heruistik adalah kegiatan mencari
bahan atau menyelidiki sumber sejarah untuk mendapatkan bahan penelitian.
Pada tahap ini peneliti berusaha mencari dan menemukan sumber-sumber
tertulis berupa buku-buku serta bentuk kepustakaan lain yang relevan dengan tema
penelitian. Sumber berupa buku-buku literatur diperoleh dari beberapa perpustakaan
diantaranya perpustakaan program studi pendidikan sejarah Universitas Sebelas
Maret Surakarta, perpustakaan Sastra Sejarah UNS, perpustakaan Pusat Universitas
Sebelas Maret Surakarta, perpustakaan daerah Surakarta, perpustakaan Rekso
Pustoko Mangkunegaran, Monumen Pers Surakarta, dan perpustakaan Pusat UGM.
2. Kritik

Kritik merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menyelidiki jejak-jejak


sejarah yang telah dikumpulkan, yaitu yang menyangkut apakah jejak-jejak sejarah
itu dapat dipercaya atau tidak, kegiatan menganalisis secara kritis sumber sejarah
yang telah terkumpul. Kritik terbagi menjadi dua macam yaitu kritik intern dan kritik
ekstern. Kritik intern berhubungan dengan kredibilitas dan reabilitas isi dari suatu
sumber sejarah. Kritik intern merupakan suatu analisis atas isi dokumen dan suatu

lix
pengujian positif maupun negatif mengenai apa yang ditulis penulis. Kritik ini
bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah dapat
dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Kritik ekstern yaitu
kritik terhadap keaslian sumber (otensitas) yang berkenaan dengan keberadaan
sumber apakah masih asli atau sudah turunan. Kriritk ekstern berusaha untuk
menegakkan kembali teks yang benar, menetapkan di mana dan kapan, serta oleh
siapa dokumen ditulis. Kritik ini dilakukan dengan meneliti bahan yang dipakai, jenis
tulisan, gaya bahasa, dan lain-lain. Hal tersebut dapat diuji berdasarkan pertanyaan
yaitu dimana sumber itu dibuat dan kapan sumber itu dibuat.
Dalam penelitian ini, pada tahap kritik intern dilakukan dengan melihat
kredibilitas dan reliabilitas isi dari sumber sejarah yang terkumpul. Dengan kritik
intern ini dapat diketahui fakta sejarah yang terpercaya dan diperoleh informasi yang
mendukung dalam penelitian ini. Pada tahap kritik ekstern dilakukan dengan melihat
penulis atau pengarang tentang hasil karyanya sesuai dengan keahliannya atau tidak,
sehingga diketahui keasliannya dan sikap untuk menerima atau menolak sumber
tersebut. Pada langkah kritik ekstern yang berkenaan dengan isi sumber dilakukan
dengan melihat apakah keaslian sumber tersebut dari pengarangnya asli atau turunan
karya orang lain dari tahap ini akan didapatkan validitas data. Dan berkenaan dengan
waktu dan tempat pembuatan sumber sejarah dibuat, maka kritik ekstern dilakukan
dengan melihat jenis tulisan dan gaya bahasa yang dipakai oleh penulis sejarah.

3. Interpretasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah sering disebut dengan analisis sejarah.
Analisis sendiri berarti menguraikan dan secara terminologi berbeda dengan sintesis
yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode
utama dalam interpretasi (Kuntowijoyo, 1995). Analisis sejarah bertujuan untuk
melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah

lx
dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi
(Berkhofer, dalam Alfian, 1994),
Interpretasi dalam penelitian ini dilakukan dengan menafsirkan atau
menetapkan makna serta hubungan dari fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta yang telah
diseleksi tersebut dihubungkan satu sama lain sehingga muncul fakta yang relevan
yang akan menajdi suatu kesatuan kisah sejarah.

4. Historiografi
Tahap historiografi merupakan langkah terakhir dalam prosedur penelitian
sejarah. Historiografi merupakan karya sejarah dari hasil penelitian, dipaparkan
dengan bahasa ilmiah dan seni yang khas untuk menjelaskan apa yang telah
ditemukan beserta argumentasi secara sistematis. Historiografi merupakan langkah
merangkai fakta sejarah menjadi cerita sejarah. Dalam penelitian ini historiografi
diwujudkan dalam bentuk karya ilmiah berupa skripsi dengan judul ”Perubahan
Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran Tahun 1946-1952”.
Kegiatan historiografi dalam penelitian ini dilakukan dengan memaparkan
hasil interpretasi penulis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan
pada tahap heuristik dan telah diverifikasi pada tahap kritik. Dalam penulisan
penelitian ini penulis berusaha memaparkan hasil penelitian yang obyektif
berdasarkan data-data sumber sejarah yang telah melalui tahap heuristik, kritik,
interpretasi, sehingga apa yang dituliskan merupakan data yang dapat
dipertanggungjawabkan validitasnya sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Dalam
penelitian ini tempo atau waktu masalah yang dikaji adalah masa lalu, maka dalam
kegiatan historiografinya penelitian ini lebih berdasarkan sumber fakta sejarah masa
lalu. Fakta-fakta diungkap dan dirangkaikan oleh penulis menjadi gambaran atau
sejarah mengenai perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran dari
tahun 1946 sampai tahun 1952 yang secara resmi menjadi hak milik pemerintah
Republik Indonesia.

lxi
BAB IV

PEMBAHASAN

A. LATAR BERDIRINYA PERUSAHAAN GULA DI MANGKUNEGARAN


1.Kondisi Geografis Mangkunegaran
Daerah Mangkunegaran terletak di tanah swapraja Surakarta yang disebut
Vorstenlanden, yang artinya tanah-tanah kerajaan (Vorst, majemuk: Vorsten: raja;
Land, Landen: tanah) (Rouffaer, 1905: 2). Mangkunegaran mengacu pada dua
konsep, yakni unit pemerintahan dan wilayah. Sebagai unit pemerintahan, yang
dimaksud dengan Mangkunegaran adalah sebutan bagi sebuah praja atau kerajaan
kecil atau kadipaten besar yang didirikan oleh Raden Mas Said yang kemudian
bergelar Mangkuneggara I setelah perjanjian Salatiga 1757. Sebagai unit wilayah,
Mangkunegaran terdiri dari kota praja dan daerah diluarnya yang sebagian besar
terdiri dari daerah pedesaan. Kota praja merupakan pusat pemerintahan yang
berlokasi di Kota Surakarta bagian utara. Daerah pedesaan berlokasi di selatan Kota
Surakarta yang sekarang menjadi Kabupaten Wonogiri dan sebagian lainnya di
sebelah Timur kota Surakarta yang sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten
Karanganyar (Wasino, 2008: 11).
Kondisi alam wilayah swapraja Mangkunegaran sebagian besar terdiri dari
tanah pegunungan, misalnya daerah Wonogiri dan sebagian Karanganyar, dan
Karangpandan. Bagian selatan dari daerah Mangkunegaran mencapai bagian Timur
dari Gunung Sewu dan sampai pada Samudra Hindia. Pengaruh sumber air dari
Gunung Sewu di bagian Selatan dan Gunung Lawu di bagian Timur besar sekali.
Dataran rendah yang membentang dibagian tengah, berupa tanah persawahan dapat
dialiri sungai-sungai yang bersumber dari pegunungan tersebut. Wilayah barat
merupakan bagian daerah tersubur dari seluruh wilayah Mangkunegaran, yaitu
Malangjiwan dan Kartosuro. Di daerah barat merupakan daerah yang subur, karena
merupakan daerah rendah yang terpengaruh oleh zat-zat vulkanis (Metz, 1935: 14).

lxii
Dataran rendah Mangkunegaran yang berlokasi di distrik Karanganyar dan
distrik kota Mangkunegaran merupakan daerah persawahan. Daerah ini tanahnya
subur dengan aliran air yang memadai. Aliran air terutama dari sungai-sungai kecil di
Lereng Gunung Lawu untuk distrik Karanganyar, sedangkan distrik kota
Magkunegaran berasal dari sungai Bengawan Sala. Selain untuk tanaman pangan,
pada awal abad XX lahan di wilayah ini digunakan untuk tanaman komersial, yakni
tebu dan nila. Tanaman tebu ini semula diusahakan oleh perusahaan-perusahaan
swasta Barat yang menyewa kepada para pemegang lungguh di Mangkunegaran,
namun pada masa Mangkunegara IV diusahakan sendiri oleh praja Mangkunegaran
(Wasino, 2008: 17).
Kondisi alam tersebut memungkinkan tumbuhnya tanaman pertanian dan
perkebunan, meskipun hanya terbatas di daerah tertentu saja terutama di Kabupaten
kota Mangkunegaran dan Karanganyar. Dataran rendah jumlahnya relatif kecil dari
keseluruhan wilayah Mangkunegaran, namun di sinilah terkonsentrasi usaha
perkebunan tebu Mangkunegaran. Kondisi geografis yang menguntungkan dan
strategis di daerah dataran rendah telah mendorong tumbuhnya perkebunan tebu yang
pesat, sehingga muncul perusahaan gula Mangkunegaran.
2. Munculnya Perusahaan Perkebunan Tebu di Mangkunegaran
Kegiatan Belanda dalam melakukan eksploitasi ekonomi di Nusantara telah
dimulai sejak akhir abad ke-17 melalui maskapai dagang VOC. Ketika memasuki
abad ke-19 kegiatan eksploitasi dilanjutkan oleh pemerintah Hindia-Belanda sampai
berlakunya Undang-Undang Agraria tahun 1870. Dengan demikian, prinsip
eksploitasi masih terus dijalankan, namun peranan utama dari pemerintah kolonial
Hindia-Belanda beralih kepada pihak swasta (Bondan Kanuyoso, 2001: 8).
Sejak berlakunya Agrarische Wet tahun 1870, secara berangsur-angsur
pemerintah Belanda menarik diri dari sektor industri gula. Hal ini berarti mulai
terbukanya kesempatan bagi kapital swasta Belanda. Paksaan untuk menanam jenis-
jenis tanaman perdagangan di atas tanah milik petani di ganti dengan paksaan jenis

lxiii
lain dalam bentuk keharusan menyewakan tanah kepada perusahaan-perusahaan
perkebunan. Tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan perkebunan diperoleh dengan
mengerahkan kerja paksaan bagi para petani (Mubyarto, 1984: 4).
Permulaan masuknya modal swasta di Surakarta sudah ada sejak abad XIX.
Modal swasta ditanamkan dalam usaha perkebunan. Lahan perkebunan diperoleh
dengan menyewa tanah lungguh kepada raja, bangsawan atau pejabat di Surakarta.
Mula-mula penyewa tanah berasal dari etnis Cina, kemudian diikuti oleh bangsa
Barat, terutama Belanda. Salah satu penyewa tanah berkebangsaan Belanda adalah
Nahuys van Burgst yang sudah dimulai sejak tahun 1817.
Dilihat dari asal-usulnya, para pemodal swasta Barat di Surakarta itu bervariasi.
Pengusaha pertama yang menanamkan modalnya adalah: (1) dari kalangan Indo-
Eropa, yakni para keturunan tentara garnisun di Sala-Yogyakarta, (2) para mantan
pejabat yang masih berkeinginan menghabiskan masa tuanya untuk mendapatkan
keuntungan dalam pertanian komersial, (3) keluarga pejabat Belanda
(Vincent.J.H.Houben: 262-263)
Daerah Mangkunegaran merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden yang
mengalami proses kapitalisasi, yakni dengan masuknya modal (capital) pengusaha
Belanda untuk usaha perkebunan yang menghasilkan keuntungan besar. Kondisi ini
ditandai dengan berkembangnya berbagai perusahaan perkebunan, misalnya
perkebunan kopi, gula, teh, indigo, dan kina (H.R.Soetono, 2000: 2). Penanaman
berbagai jenis tanaman perdagangan ini baru terjadi sejak diterapkannya Sistem
Tanam Paksa (Cultuurstelsel) di Jawa tahun 1830-an. Sistem Tanam Paksa sebagai
kebijakan ekonomi kolonial Belanda di Jawa abad ke-19 ini tidak berlaku di daerah
Vorstenlanden, karena telah berlakunya sistem apanage (tanah lungguh) di wilayah
Vosrtenlanden, khususnya di daerah Mangkunegaran.
Perkebunan tebu mulai berkembang di Jawa pada pertengahan abad XIX yang
meliputi daerah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Pada tahun 1859 sudah
berkembang perusahaan perkebunan swasta Barat untuk penanaman tebu di kedua

lxiv
kerajaan, khususnya di Surakarta. Pengusaha Eropa mendukung berkembangnya
perusahaan perkebunan tebu dengan menanamkan modalnya ke daerah itu untuk
menghasilkan keuntungan yang besar. Hal ini ditandai dengan adanya 44 perusahaan
yang bergerak dalam bidang penanaman tebu dari total 138 perusahaan Eropa di Solo
pada tahun 1862, sedangkan pada tahun 1863 di Surakarta terdapat sedikitnya 46
pabrik gula. Dengan demikian 31% perusahaan Eropa di Surakarta bergerak dalam
usaha perkebunan tebu (Vincent.J.H.Houbben, 2002: hal 585-587).

Tabel 1.
Nama-nama Perusahaan Gula di Surakarta Perdistrik tahun 1863
No Wilayah Perusahaan Gula
1 Kartasura Kartasura, Jetis Kunden, Temulus dan Kali Pusur
(jumlahnya ada 4)
2 Klaten Jungkare, Gondang Winangun, Gondang Wedi, Ceper, Kapitu,
Kemuda, Delanggu, Junggrangan dan Sepuluh (jumlah ada 9)
3 Bayalali Drana, Katitang, Pandanan, Manjung, Tulung, Wanasari,
Brajan, Duwet, Tambak dan Krecek (jumlah ada 11)
4 Sragen Masaran, Karanganyar, Malangten, Surug, Ambak, Kabeluan,
Canden, Kakum, Temanggung, Tundungan, Kewiri, Jetis,
Wonolopo, Kebon Rama, Larangan, Panganjak, Kaponan,
Bangkal Benda dan Donggeng (jumlah ada 22)
Sumber: Vincent J.H. Houben, Kraton and Kompeni Surakarta and Yogyakarta
,1830-1870. Terjemahan:Bambang Purwanto, Yogyakarta: Bentang. hlm.299.

Sistem Tanam Paksa berakhir secara resmi tahun 1870-an dan digantikan
dengan sistem ”Politik Pintu Terbuka”, sehingga banyak pengusaha Belanda yang
menanamkan modalnya di Jawa untuk usaha perkebunan tebu. Pelaku usaha bergeser
dari pemerintah kolonial ke pengusaha swasta. Modal yang ditanamkan oleh
pengusaha Belanda diinvestasikan dalam jumlah yang besar untuk usaha perkebunan
tebu di Jawa, misalnya di daerah Mangkunegaran (Wasino, 2008: 2). Dengan
demikian, perusahaan perkebunan menjadi berkembang luas di Mangkunegaran pada
masa”Politik Pintu Terbuka” setelah tahun 1870-an, karena pemerintah kolonial
Belanda memberi kesempatan kepada pihak swasta dalam kebebasan untuk
mendirikan usaha khususnya di bidang perkebunan tebu.

lxv
3. Usaha KPAA Mangkunegara IV Mendirikan Perusahaan Gula
Mangkunegara IV (1853-1881) mempelopori berdirinya perusahaan gula,
yakni dengan mendirikan pabrik gula Colomadu tahun 1861 dan pabrik gula
Tasikmadu tahun 1871. Usaha awalnya dimulai dengan tidak memperpanjang kontrak
sewa tanah dengan pengusaha swasta Barat, tetapi mengalami kegagalan. Akhirnya,
tanah-tanah lungguh dari sanak saudaranya telah berhasil diambil untuk mendirikan
usaha dengan imbalan ganti-rugi. Mangkunegoro IV berusaha mematahkan mitos
bangsawan mengenai :
...Merosotnya tradisi wirausahawan di kalangan bangsawan itu di ikuti
dengan berkembangnya sebuah mitos tentang pemisahan kerja antara kaum
bangsawan dengan rakyat kebanyakan. Bangsawan dipandang sebagai kelas
penguasa yang memiliki pekerjaan yang berbeda dengan kelas pedagang
dan petani pedesaan...(Wasino, 2008: 43-44).

Pembangunan industri perkebunan tebu oleh KPAA Mangkunegara IV


merupakan pilihan yang rasional dan menguntungkan. Hal ini di dukung oleh
berbagai alasan yang meliputi: (1) gula merupakan produk ekspor yang sedang
menjadi andalan di pasaran dalam negeri maupun internasional, (2) tanaman tebu
sudah terbiasa ditanam di sejumlah tempat di wilayah Surakarta, termasuk
Mangkunegaran yang diusahakan oleh para penyewa tanah dari Bangsa Barat, (3)
sumber-sumber pendapatan praja secara tradisional melalui pajak dan persewaan
tanah dirasa tidak mencukupi (Wasino, 2008: 47).
Faktor lain yang mendorong pembangunan industri gula Mangkunegaran,
karena adanya kepentingan pihak trah Mangkunegaran untuk menunjukkan posisinya
yang lebih menonjol dan kuat dalam bidang ekonomi dibandingkan dengan ketiga
praja kejawen lainnya, yakni Kasunanan, Kasultanan dan Pakualaman. Strategi ini
sebagai kelanjutan dari usaha sebelumnya melalui pembangunan korp militer dengan
nama legiun Mangkunegaran. Legiun Mangkunegaran termasuk salah satu bagian
tentara yang terbaik di Jawa, yang disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk
menjaga keamanan di daerah swapraja. Pada tahun 1919, legiun Mangkunegaran

lxvi
digunakan sebagai regu pengaman perkebunan di daerah swapraja, karena kurangnya
jumlah polisi baik dari swapraja atau gurbermen (Metz, 1935: 14).
Bukti lain yang mendukung usaha perkebunan tebu adalah adanya kedekatan
raja-raja Mangkunegaran dengan pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1863,
ketika Mangkunegara IV mempunyai gagasan untuk mengeksploitasi tanahnya
dengan mendirikan pabrik gula di tanahnya, pemerintah Hindia memberikan bantuan
dengan cara memberikan uang muka tanpa bunga (Mansfeld, t.th: 35). Faktor inilah
yang sedikit memberikan ruang gerak bagi praja Mangkunegaran untuk memperluas
usahanya dalam sektor perkebunan.
Mangkunegara IV berencana untuk membebaskan tanah yang ditempati para
penyewa tanah, dengan tidak memperpanjang kontrak sewa tanah yang sudah
berlangsung di tahun 1859/1860, dan tanah-tanah yang sudah bebas akan di
eksploitasi sendiri. Pada tahun 1862 Mangkunegara IV dengan melakukan
pencabutan kembali apanage dengan memberikan ganti berupa uang, hal ini
mendapat dukungan dari residen Nieuwenhuyzen. Permasalahan yang sulit mengenai
peraturan ganti rugi, karena berbagai jenis tanah, meskipun di bagi dalam jung yang
sama, tetapi memiliki hasil panen yang berbeda (H.R. Soetono, 2000: 11-12).
Mangkunegara IV yang mencoba mendapatkan kembali kekuasaan atas tanah
yang telah disewakan kepada orang-orang Eropa, ternyata mengalami kegagalan.
Akhirnya, beliau menarik tanah-tanah lungguh dari sanak saudaranya dengan
memberikan imbalan ganti rugi (Vincent.J.Houben. 2002: 559). Penarikan tanah
dimulai dari kalangan keluarga raja yang berlangsung dari tahun 1862-1871. Setelah
itu dilanjutkan menarik tanah dari para patuh lainnya, temasuk para anggota legiun
Mangkunegaran. Pada tahun 1871 tanah lungguh yang telah berhasil di tarik luasnya
mencapai 121,25 jung atau 485 bahu ( S.Margana: 82). Untuk lebih jelasnya
mengenai tanah lungguh (apanage) yang ditarik oleh Mangkunegara IV, dapat dilihat
pada keterangan tabel berikut :

lxvii
Tabel 2.
Ikhtisar tentang para apanage dari anggota kraton tahun 1871
No Spesifikasi Jumlah Jumlah Kepada Sisa
apanage Pangeran dalam jung
dalam jung dalam jung
1 Putra Mangkunegara II 8 75 46 29
2 Putra Mangkunegara III 2 38 22,25 15,75
3 Putra Mangkunegara IV 3 51 23 18
4 Putra Mangkunegara IV 1 34 20 14
Jumlah 14 198 121,25 76,75
Sumber : Hoofdstuk II opkomst der Mangkoenagorosche Cuulturbelangen,
Terjemahan: H.R.Soetono, hlm.12.

Mangkunegara IV memilih tempat di desa Krambilan, distrik Malang Jiwan,


yang terletak di sebelah utara Kartasura untuk membangun perkebunan tebu yang
pertama kali. Pemilihan tempat ini dengan pertimbangan tanahnya yang subur dan
tersedianya air secara memadai. Hal ini diperkuat oleh penelitian R.Kamp yang
menyatakan bahwa wilayah ini tanahnya cocok untuk ditanami tebu.
Berdasarkan persetujuan Nieuwenhuys (residen Surakarta), akhirnya
Mangkunegara IV memerintah R.Kamf seorang ahli berkebangsaan Jerman untuk
membangun sebuah pabrik gula. Biaya pembangunan pabrik mencapai f400.000.
Modalnya sebagian besar berasal dari pinjaman keuntungan perkebunan kopi
Mangkunegaran dan mendapat bantuan pinjaman dari mayor Cina di Semarang Be
Beauw Tjwan, teman dekat Mangkunegara IV (laporan N.G.F. Raad tgl 21 april 1894
dalam arsip MN P 1761). Peletakan batu pertama dilakukan pada hari Minggu
tanggal 8 Desember 1861. Pada tahun 1862 pabrik gula itu sudah mulai beroperasi
dengan nama Colo Madu, suatu nama Jawa yang artinya gunung madu.
Keberhasilan pabrik gula Colomadu mendorong Mangkunegara IV
membangun pabrik gula kedua, yaitu pabrik gula Tasikmadu. Peletakan batu pertama
untuk pabrik gula yang kedua dengan nama Tasikmadu pada 11 Juni 1871 yang
terletak di sebelah barat lereng Gunung lawu dan sebelah timur kota Solo, tepatnya di
desa Sandakara, distrik Karanganyar (Wasino, 2008: 49-52). Keberadaan kedua
industri gula ini sangat membantu penghasilan Praja Mangkunegaran.

lxviii
4. Perkembangan Perusahaan Gula Mangkunegaran
a. Periode Awal Industri Gula (1861-1883)
Perusahaan gula merupakan perusahaan pribadi, sehingga kendali perkebunan
tebu berada di bawah Mangkunegara IV. Pabrik gula Colomadu dalam panen tahun
1862 dengan 135 bahu sawah yang ditanami tebu mengahasilkan 6.000 pikul gula
atau 45 pikul tiap bahunya. Selain untuk konsumsi lokal, produksi gula juga dijual ke
Singapura dan Bandaneira melalui perantaraan firma Cores de Vries. Produksi yang
baik dan harga yang memadai telah mendorong pertumbuhan industri gula dengan
perolehan laba yang besar. Akhirnya tahun 1870 hutang yang dipinjam untuk modal
pembangunan pabrik sudah dapat dilunasi (A.K.Pringgodigdo, 1950 : 48-49).
Pabrik gula Tasikmadu menggunakan tenaga penggerak utama dengan air,
sedangkan tenaga uap hanya sebagai tenaga cadangan. Tenaga uap itu kemudian
dihapus dengan munculnya berbagai mesin pabrik gula yang baru antara lain dengan
kualifikasi double effect (1873), triple effect (1875), dan instalasi carbonatie (1876).
Selain itu pabrik gula Tasikmadu juga di dukung oleh adanya perbaikan transportasi,
yakni dengan dibukanya jalur kereta api jurusan Solo-Surabaya sebagai bagian dari
jalan kereta api pemerintah Staats-Spoorwegen sejak tanggal 24 Mei 1884 (Mansfeld,
t.th: 44). Dengan demikian, produksi gula dari pabrik gula Tasikmadu yang akan di
kirim ke Semarang tidak lagi diangkut dengan cikar, tetapi dengan menggunakan lori.
b. Periode Krisis Ekonomi (1884-1899)
Pada masa Mangkunegoro V (1884-1899) industri gula Mangkunegaran
mengalami kemunduran yang disebabkan oleh adanya faktor dari luar dan faktor dari
dalam. Faktor luar adalah terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 1880-an, karena
adanya proteksi terhadap gula di Eropa yang merupakan pasar utama bagi produksi
gula dari Jawa. Bahkan negeri Belanda tidak perlu mendatangkan gula dari Jawa,
karena gula disana dapat diperoleh dari Beetwortel. Selain itu disebabkan oleh hama
penyakit tebu, yakni dengan adanya penyakit sereh yang menyerang kebun-kebun
tebu sampai rusak parah ( Mansfeld: 59).

lxix
Faktor dari dalam adalah kesalahan manajemen keuangan dari Mangkunegara
V. Menjelang terjadinya krisis ekonomi tahun 1884, beliau melakukan perluasan
usaha dengan membeli pabrik gula Kemiri pada tahun 1883 dari pengusaha asing
bernama de’Abo. Sebagian besar tenaga kerja dalam penanaman tebu, tidak
dimasukkan dalam kompenen pembayaran, karena mereka merupakan pekerja wajib
sebagai kompensasi atas tanah yang digarapnya. Selain itu, anggaran raja dan
keluarga sebagian besar juga dibebankan pada pabrik gula. Dengan demikian,
keuntungan pabrik gula tidak dapat menutupi biaya produksi yang sebenarnya
(Wasino, 2008: 55). Penurunan produksi gula dan luas lahan untuk perusahaan gula
Colomadu dan Tasikmadu pada masa Mangkunegara V dapat dilihat dalam
penjelasan tabel berikut :

Tabel. 3
Produksi gula Pabrik Colomadu 1884-1889
No Tahun Luas Lahan (bahu) Produksi (pikul) Pikul/bahu
1 1884 435 33.463 77
2 1885 435 34.633 79,6
3 1886 430 36.842 85,6
4 1887 380 28.276 74,4
5 1888 400 21.576 53,9
6 1889 400 14.631 36,5
Sumber : Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker
Fabrieken, Juli 1890, hlm.5.

Tabel. 4
Produksi pabrik gula Tasikmadu 1884-1889
No Tahun Luas Lahan (bahu) Produksi (pikul) Pikul/bahu
1 1884 467,5 39.988 85,5
2 1885 543 34.356 63,2
3 1886 318 19.224 60,4
4 1887 302 20.432 67,6
5 1888 286,5 21.142 73,8
6 1889 281,5 12.286 43,6
Sumber : Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker
Fabrieken, Juli 1890, hlm.5.

lxx
Untuk menutup defisit anggaran, Mangkunegara V mencari pinjaman kepada
Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan kalangan swasta di Semarang. Akhirnya,
pemerintah kolonial Belanda mengambil alih segala urusan keuangan
Mangkunegaran, termasuk pengelolaan perusahaan gula yang mengalami
kemunduran. Urusan keuangan Mangkunegaran diserahkan pada suatu komisi dengan
nama “Komisi Keuangan” yang diketuai oleh residen Belanda di Surakarta. Sejak
tahun 1885 pengelolaan kekayaan dan kekuangan praja jatuh ke tangan pemerintah
Belanda termasuk perusahaan gula Mangkunegaran (Mansfeld, t.th: 65).
c. Periode Sebelum Reorganisasi Agraria
Pada tahun 1896 Mangkunegara V digantikan oleh Mangkunegara VI yang
dikenal sebagai raja yang sangat hemat dengan menekan sekecil mungkin
pengeluaran praja yang di pandang kurang mendesak. Akhirnya, atas tindakan
penghematan ini hutang Mangkunegaran dapat dilunasi. Sejak tanggal 1 Juni 1899
pabrik gula Mangkunegaran dikembalikan pengelolaannya kepada pihak
Mangkunegaran (Wasino, 2008: 76). Dengan demikian, Mangkunegara VI telah
berusaha keras untuk bisa mengambil alih pengelolaan pabrik gula supaya bisa
kembali menjadi milik praja.
Sebelum reorganisasi agraria (1899-1917), terjadi perkembangan lahan, hasil
tebu, dan produksi gula yang mengalami peningkatan seiring membaiknya
manajemen industri gula Mangkunegaran. Lahan yang digunakan untuk perkebunan
tebu tidak hanya di wilayah Mangkunegaran, tetapi meluas sampai ke wilayah
Kasunanan dengan cara sewa lahan. Misalnya, pada tahun 1912 wilayah kebun tebu
Triagan di sewa oleh manajemen Tasikmadu. Untuk wilayah Tasikmadu data luas
lahan di temukan untuk tahun 1911-1917. Tabel 4.3. memberikan gambaran tentang
luas lahan tebu Tasikmadu pada periode awal ketika industri gula kembali dikelola
oleh praja Mangkunegaran.

lxxi
Tabel 5.
Luas lahan tanaman tebu dan banyaknya tebu hasil pembelian dari
pabrik gula Tasikmadu 1911-1917
Tahun Tebu tanaman sendiri Banyak tebu Jumlah tebu
pembelian digiling
Luas areal ( kuintal) (kuintal)
Hasil tebu Rata2 hasil
(hektar) (kuintal) tebu / ha
1911 693 523.159 754 28.001 551.160
1912 785 874.901 1.114 84.285 959.186
1913 979 1.319.066 1.347 180.770 1.499.836
1914 966 1.309.779 1.355 205.329 1.515.108
1915 969 1.213.825 1.252 190.882 1.404.707
1916 1.040 1.386.163 1.332 256.276 1.642.439
1917 1.028 1.247.060 1.213 373.681 1.620.741
Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het
Mangkoenegorosche Rijk’s, S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.127.

Berbeda dengan perkebunan tebu Tasikmadu, data tentang luas lahan secara
kontinyu di wilayah perkebunan Colomadu pada awal abad XX tidak ditemukan.
Data yang dapat dikemukakan hanyalah luas lahan tahun 1904 sebagaimana
tercermin dalam tabel berikut :

Tabel 6.
Luas Lahan Tebu Colomadu tahun 1904
No Afdeling Lahan sawah yang di tanami tebu
Bahu Ru (4m)
1 Ngasem 286 324
2 Pucung 254 85
3 Sanggir 311 490
4 Blulukan 221 371
5 Gedongan 162 144
6 Banyuanyar 257 393
7 Klodran 315 30
jumlah 1.806 1.723,15
Disarikan dari: MN VI 134 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran

lxxii
Perbaikan proses penanaman tebu dan pembaruan mesin-mesin pabrik telah
mendorong perkembangan produksi di perusahaan gula Mangkunegaran. Misalnya,
dengan adanya pembangunan gedung dan instalasi pabrik gula tahun 1912 untuk
meningkatkan kapasitas penggilingan (Wasino, 2008: 90). Meskipun demikian,
produksi dalam kedua pabrik gula mengalami perbedaan. Produksi gula yang besar
dari tahun ke tahun telah menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan gula
Mangkunegaran. Adapun perkembangan keuntungan dari kedua pabrik gula
Mangkunegaran pada abad XX terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 7.
Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran tahun 1899-1917 (f1000)
Tahun Pabrik gula Jumlah
Colomadu Tasikmadu
1899 178,6 106,4 284,9
1900 191,4 55,5 246,8
1901 166,3 51,6 217,8
1902 180,3 57,6 237,9
1903 196,9 66,2 263,1
1904 202,4 125,9 382,3
1905 205,5 182,7 388,2
1906 214,8 173,5 388,3
1907 158,8 234,8 393,6
1908 227,3 211,4 438,7
1909 153,6 214,6 468,2
1910 287,6 214,8 502,5
1911 270,3 258,1 528,3
1912 385,5 153,6 617,1
1913 238,4 285,7 524,2
1914 272,4 417,4 689,9
1915 856,2 501,2 1.357,3
1916 1.344,2 1.136,1 2.480,2
1917 424,5 779,3 1.203,9
Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het
Mangkoenegorosche Rijk’s, S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.131.

lxxiii
Keuntungan pabrik gula Mangkunegaran yang semakin besar digunakan
untuk beberapa keperluan. Keuntungan tersebut digunakan untuk keperluan berikut :
(1) peningkatan modal usaha, baik untuk pengembangan pabrik gula maupun usaha
lain, (2) untuk tunjangan atau gaji para bangsawan dan aparat pemerintahan
Mangkunegaran serta anggota kerabat raja, (3) untuk kepentingan rakyatnya dalam
bentuk pembangunan sarana irigasi, fasilitas pendidikan, jalan raya dan sebagainya
(Wasino, 2008: 91-92).
d. Masa Reorganisasi Agraria sampai Pendudukan Jepang (1917-1942)
Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944), kekayaan milik
Mangkunegaran termasuk industri gula berada di bawah suatu badan dengan nama
Fonds van Eigendommen van het Mangkeonegorosche Rijk’s (Dana Milik Praja
Mangkunegaran). Dana Milik Praja Mangkunegaran terdiri dari perkebunan-
perkebunan, pabrik-pabrik, hutan-hutan, rumah-rumah yang disewakan, gedung-
gedung, pekarangan, dan modal pokok milik Mangkunegaran. Pengelolaan dilakukan
oleh Comissie van Beheer Fonds van Eigendommen van het Mangkoenegosche Rijk’s
(Komisi Pengelola Dana Milik Mangkunegaran). Komisi terdiri dari kepala trah
Mangkunegaran sebagai ketua komisi, superitenden bangsa Eropa yang diakui oleh
gurbenur jenderal, dan pegawai pamong praja Belanda yang ditunjuk residen.
Kegiatan sehari-hari komisi dilaksanakan oleh superitenden (Arsip MN VIII 4843).
Komisi dibentuk pada akhir tahun 1916 yang secara khusus mengurusi Dana
Milik Praja Mangkunegaran, termasuk perusahaan gula agar berjalan semakin
intensif. Pembentukan komisi bersamaan dengan terjadinya reorganisasi agraria di
Surakarta yang menghambat kinerja perusahaan gula. Reorganisasi agraria membawa
perubahan dalam hal pengurusan dan penguasaan tanah. Perubahan ini mengganggu
kinerja industri gula terutama dalam perolehan lahan tebu dan tenaga kerja yang
bekerja di perkebunan. Reorganisasi agraria telah menyebabkan hilangnya tanah yang
subur karena diserahkan kepada para pamong desa untuk usaha tanaman pangan yang
lebih menguntungkan (Wasino, 2008: 92).

lxxiv
Pihak manajemen industri gula Mangkunegaran melakukan sejumlah strategi
untuk menghadapi perubahan yang terjadi akibat reorganisasi agraria. Strategi yang
ditempuh dengan cara : (1) menanam bibit di wilayah pabrik gula sendiri, (2)
ekspansi tanaman melalui perluasan areal, (3) penggunaan pupuk kimia, (4)
perbaikan irigasi, (5) penggunaan tebu bibit unggul, (6) memperbaiki dan menambah
mesin-mesin.
Masa kejayaan industri gula Mangkunegaran kembali terpuruk akibat krisis
ekonomi tahun 1930-an. Krisis ekonomi mengakibatkan permintaan gula menurun
yag diikuti dengan menurunnya harga gula di pasaran internasional. Hal ini sangat
ironis karena menjelang krisis itu pabrik gula baru saja memperbaiki instalasi pabrik
untuk menambah kapasitas giling tebu. Krisis menyebabkan penurunan areal tanam
di kedua pabrik gula Mangkunegaran. Penurunan mencolok pada tahun 1933, di
wilayah Tasikmadu luas areal tinggal 1.694,70 hektar, sedangkan di wilayah
Colomadu luas areal tanaman tebu tinggal 800 hektar.

Tabel 8.
Luas lahan tanaman tebu pabrik gula pasca krisis ekonomi dunia 1930-an (hektar)
Tahun Tasikmadu Colomadu
Tanaman Membeli Total Tanaman Membeli Total
sendiri sendiri
1931 2.490,00 4.30 2.494,30 1.165,57 - 1.165,57
1932 2.236,77 4.30 2.241,07 1.022,66 - 1.022,66
1933 1.694,70 - 1.694,70 800 - 800
1934 1.835,60 - 1.835,60 829 - 829
1935 1.799,60 - 1.799,20 802,35 - 802,35
1936 - - - 1.422,65 - 1.422,65
1937 1.550 - 1.550 1.035,19 - 1.035,19
1938 - - 1.615 - - 986
1939 - - 1.568 - - 945
1940 - - 1.648 - - 977
1941 - - 1.900 - - 1.200
1942 - - 1.480 - - 862
Sumber : A.K. Pringgodigdo, 1950. Geschiedenis der Ondermingen van het
Mangkoenegorosche Rijk’s, S-Gravenhage : Martinus Nijhoff, hlm.131.

lxxv
Sejak tahun 1896-1930, industri gula Mangkunegaran dalam kondisi sehat.
Perkembangan produksi gula mengalami gangguan produksi dan pemasaran akibat
krisis ekonomi 1930-an, akibatnya kinerja industri gula terus mengalami penurunan.
Kondisi ini makin buruk ketika masa pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan
Indonesia. Ketika industri gula Mangkunegaran diambil alih pemerintah tahun 1946,
kinerja industri sesungguhnya sudah buruk.
e. Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pada bulan Maret 1942 Jepang berhasil merebut Hindia-Belanda. Pemerintah
Hindia Belanda memperhitungkan bahwa invasi Jepang tidak dapat di tahan lagi,
maka mulailah dilaksanakan aksi bumi hangus. Obyek vital yang sebagian besar
terdiri dari alat produksi dihancurkan. Akibatnya ialah bahwa pada awal pendudukan
Jepang hampir seluruh kehidupan ekonomi lumpuh dan berubah dari keadaan normal
menjadi ekonomi perang (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990 : 41).
Sejalan dengan perkembangan keamanan, pemerintah militer Jepang
mengambil alih semua bidang kegiatan dan pengawasan ekonomi. Langkah pertama
yang di ambil Jepang dalam pemulihan kondisi ekonomi adalah rehabilitasi prasarana
ekonomi seperti jembatan, alat transportasi dan telekomunikasi. Selain itu juga
mengelurkan peraturan yang bersifat kontrol terhadap berbagai kegiatan ekonomi
(Pratiwi, 2006: 36). Peraturan ekonomi Jepang yang bersifat kontrol tersebut,
misalnya peraturan terhadap perusahaan perkebunan di Surakarta.
Pengawasan terhadap penggunaan dan sisa barang yang disita dari musuh
diperketat. Harta milik musuh yang disita oleh pemerintah pendudukan Jepang antara
lain: perkebunan, bank, pabrik, perusahaan vital seperti pertambangan, listrik,
telekomunikasi dan perusahaan transportasi (Marwati Djoened dan Nogroho
Notosusanto, 1990: 41).
Khusus mengenai perkebunan dikeluarkan Undang-Undang No. 22 tahun
1942 yang menyatakan Gunseikan (Kepala Pemerintahan Militer Jepang) langsung
mengawasi perkebunan kopi, kina dan karet. Pelaksanaan perkebunan diserahkan

lxxvi
kepada sebuah badan pengawas yang dibentuk oleh Gunseikan, yaitu Saibai Kigyo
Kanrikodan (Badan Perusahaan Perkebunan) disingkat SKK. Badan bentukan Jepang
ini bertugas sebagai pengawas, pelaksana pembelian, penentu harga penjualan hasil
perkebunan, dan sebagai pemberi kredit kepada perkebunan yang ditunjuk oleh
Gunseikan untuk direhabilitasi. Dengan demikian, tanpa petunjuk dari Gunseikan
semua pihak dilarang melakukan rehabilitasi tanaman perkebunan, karena tidak
semua perkebunan sebagai penunjang kebutuhan perang. Jenis perkebunan yang
dinilai sebagai penunjang kebutuhan perang yang mendapat perhatian dari
pemerintah militer Jepang, khususnya karet dan kina (Marwati Djoened dan Nugroho
Notosusanto, 1990: 42).
Tanaman perkebunan yang sudah ada sejak zaman Hindia Belanda seperti kopi,
tebu, teh dan tembakau kurang mendapat perhatian karena diklasifikasikan sebagai
barang kenikmatan yang tidak berguna untuk perang, maka di beberapa daerah
tanaman-tanaman itu diganti dengan tanaman jarak, kapas dan rami atau rosela
(Julianto Ibrahim, 2004: 68). Dengan demikian, tanaman komoditi eksport telah
diubah menjadi tanaman perkebunan untuk kepentingan perang Jepang.
Pada pendudukan Jepang, industri gula diusahakan kembali dengan modal
swasta Jepang. Sebagian besar pabrik-pabriknya telah berhasil dibumihanguskan oleh
Belanda, sehingga sebagian diantaranya dilakukan rehabilitasi. Jepang mengalami
kesulitan dalam usaha pembukaannya kembali, karena kekurangan tenaga-tenaga
ahli, sehingga personil ahli Belanda masih dipergunakan. Dari jumlah pabrik di Jawa
yang semula 85 buah, yang berhasil direhabilitasi ada 13 pabrik. Sebagai pengawas
industri gula oleh pemerintah Jepang dibentuk Togyo Rengokai atau Persatuan
Perusahaan Gula (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 43).
Persediaan gula di Jawa telah dianggap cukup dan yang diperkenankan
menghasilkan surplus ekspor hanya negeri Jepang dan Taiwan, maka produksi gula
setiap tahunnya dikurangi. Persediaan itu termasuk untuk kepentingan perang dan
penduduk. Gunseikan mengeluarkan Osamu Seirei No.31/1944 yang menyatakan

lxxvii
bahwa rakyat dilarang menanan tebu dan membuat gula. Alasan melarang ini untuk
mengurangi jumlah gula yang beredar dalam masyarakat dan menekan produksinya,
meskipun sampai pada tahun 1945 produksi gula di Jawa hanya mencapai 84.000 ton
saja. Cara lainnya untuk menekan produksi gula adalah mengubah pabrik-pabrik gula
menjadi pabrik senjata atau membongkarnya dan memindahkan ke tempat lain untuk
kepentingan perang. Selama itu perusahaan gula diserahkan kepada beberapa
maskapai swasta Jepang yaitu : Meiji Seito Kaisha, Okinawa Seito Kaisha, Taiwan
Seito Kaisha, dan Dai Nippon Seito Kaisha, sedangakan penjualannya dilakukan oleh
Jawa Hanbai Rengo Kumiai atau Koperasi Pusat Penjualan Gula Jawa (Marwati
Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 43-44).
Jenis perkebunan yang diutamakan oleh Jepang adalah tanaman yang
berhubungan dengan kepentingan perang, yaitu tanaman jarak, kapas dan rami
(rosela). Surakarta yang sangat cocok dan merupakan sasaran utama penanaman jarak
adalah Wonogiri dan sebagian daerah Boyolali, Klaten dan Sukoharjo. Penanaman
kapas berada di daerah Wonogiri, Sragen, Karanganyar dan Boyolali. Rami (rosela)
ditanam di daerah yang dipergunakan untuk membuat karung goni yang diproduksi di
Delanggu (Dyah Sotya Permatasari, 2008: 76).
Daerah perkebunan tebu Surakarta terutama di daerah Sragen, Boyolali,
Klaten dan Karanganyar telah diganti menjadi perkebunan penunjang kepentingan
perang Jepang. Sebelumnya daerah tersebut merupakan daerah perkebunan tanaman
ekspor seperti tembakau, dan tebu. Dengan demikian masa pendudukan Jepang
produksi gula di Surakarta menurun, meskipun ada yang masih berproduksi, yakni
perusahaan gula Mangkunegaran. Kondisi perusahaan gula Mangkunegaran pada
masa pendudukan Jepang mengalami penurunan produksi yang sangat besar.
Keadaan ini terlihat pada tabel 4.7 untuk PG Tasikmadu, sedangkan untuk PG
Colomadu tidak ditemukan.

lxxviii
Tabel 9.
Produksi Gula PG. Tasikmadu masa pendudukan Jepang
No Keterangan Umum Produksi dihitung dalam kwintal
Tahun 1942 Tahun 1943 Tahun 1944
1 Permulaan pabrik bekerja - 8/6-1943 25/6-1944
2 Penghabisan bekerdja - 28/7-1943 30/7-1944
3 Kristal gula tiap ha - 129,02 165,-
4 S.H.S tiap ha - 129,51 165,23
5 Penghasilan gula - 166.598,11 117.551,-
6 Djumlah S.H.S 278.989,93 166.403,47 117.479,-
Disarikan dari: MN VIII 5256 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran

B. PROSES PERUBAHAN STATUS KEPEMILIKAN PERUSAHAAN GULA


MANGKUNEGARAN PASCA KEMERDEKAAN RI
1. Kondisi Perusahaan Gula Mangkunegaran Pasca Kemerdekaan
Perkembangan perusahaan gula Mangkunegaran semakin terpuruk pada masa
pendudukan Jepang. Orientasi Jepang yang lebih menekankan pada kebutuhan dan
kepentingan perang telah menyebabkan terjadinya kehancuran industri gula.
Perkebunan tebu yang sudah ada diganti dengan perkebunan penunjang perang
seperti untuk penanaman jarak dan rosela. Pada pasca kemerdekaan RI keadaan
industri gula tidak kunjung membaik, meskipun ada peningkatan produksi namun
jumlahnya tidak signifikan. Lebih jelasnya kondisi mengenai perusahaan gula
Mangkunegaran dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel. 10
Produksi Perusahaan gula Mangkunegaran tahun 1945/1946 (dalam Kwintal)
No Keterangan PG.Colomadu PG.Tasikmadu
1 Tebu yang digiling 640.000 960.000
2 Pendapatan S.H.S 89.600 134.400
3 Tanaman dalam H.A 1.200 800
4 Pendapatan tebu (H.A) 800 800
5 Pendapatan S.H.S tiap H.A 112 112
6 Rendaman dalam % 14 14
Disarikan dari : MN VIII 5228 dan 5248 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran

lxxix
Perkembangan gula Mangkunegaran pada tahun 1945 juga dapat dilihat dari
laporan keuangan perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu. Perusahaan gula
Tasikmadu lebih berkembang, jika dibandingkan dengan Colomadu. Jumlah harga
pokok gula dari PG. Tasikmadu lebih besar dengan mencapai Rp. 1.582.500’00.
Kondisi ini dapat dilihat dari keterangan tabel berikut :

Tabel. 11
Pengeluaran P.G Tasikmadu dan P.G Colomadu tahun 1945
No Pengeluaran PG. Colomadu PG. Tasikmadu
Giling SHS Tutup Giling SHS Tutup
1 Pemerintahan umum 28.500 - 28.500 36.500 - 36.500
2 Tanaman tebu 489.000 - 60.500 733.000 - 102.600
3 Pengangkutan tebu 77.000 - 9.700 129.000 - 14.700
4 Fabrikaat 97.200 - 50.200 123.000 - 36.000
5 Penerangan 8.500 - 4.000 5.700 - 5.700
6 Alat pembakaran 400 - - 1.000 - 1.000
7 Pembungkusan 92.200 - - 134.200 - -
8 Pemeliharaan mesin 30.000 - 10.000 40.000 - 16.000
9 Biaya gedung 8.000 - 8.000 10.000 - 10.000
10 Bunga 25.000 - - 50.000 - -
11 Penyusutan 109.000 - 109.000 275.000 - 275.000
12 Biaya rupa-rupa 43.100 - 29.000 45.100 - 29.500
13 Harga gula di pabrik 1.007.900 - 288.900 1.461.000 10,8 524.000
14 Ongkos angkutan 90.900 - - 107.000 - -
15 Ongkos jual 12.500 - 3.000 14.500 - 1.500
Jumlah harga pokok 1.111.300 12,4 291.900 1.582.500 11,8 525.500
Disarikan dari : MN. VIII 5228 dan 5248 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.

Perusahaan gula Tasikmadu pada tahun1946/1947 masih beroperasi meskipun


dalam kondisi yang sulit dalam era pasca kemerdekaan. Hal ini terlihat dengan
adanya laporan bagian tanaman oleh Soeparwi Wiriokoesoemo selaku pemimpin
umum PG. Tasikmadu di Surakarta pada 25 September 1946. Sedangkan untuk PG.
Colomadu tidak ditemukan data yang lengkap mengenai kondisi perusahaan pasca
kemerdekaan. Kondisi perusahaan bisa dilihat pada tabel berikut :

lxxx
Tabel. 12
Nilaian pengeluaran tahun tebang 1946/ 1947 di PG. Tasikmadu
No Pekerjaan Pengeluaran uang tiap Ha
1 Slametan 6,88
2 Cengkalan got 22,70
3 Menggali selokan keliling 33,11
4 Menggali selokan pengapit 4,76
5 Menggali selokan mujur 17,48
6 Menggali selokan malang 130,44
7 Menggali selokan lain-lain 10,83
8 Duduk got 226,43
9 Menggali lacen 794,96
10 Premi lacen 21,20
11 Gebrus 79,55
12 Pratal 112,01
13 Tanam 203,63
14 Pengairan 564,25
15 Bubut 589,72
16 Sulam 57,80
17 Rabuk I 115,59
18 Rabuk II 115,59
19 Rabuk tjolokan 22,28
20 Rabuk Kandang 31,82
21 Menggaruk tanaman I : plantir 72,96
22 Menggaruk tanaman II 210,51
23 Gebyak A + B 224,86
24 Gulud Alus 316,62
25 Memberantas hama 27,56
26 Pagar dan tangga 31,83
27 Mengikat tebu dan kletek 31,83
Jumlah 4.077,20
Disarikan dari : MN VIII 5256 Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran

Dari berbagai data tersebut dapat diperoleh kesimpulan bahwa perusahaan gula
Mangkunegaran pasca kemerdekaan masih beroperasi untuk menjalankan
produksinya. Setelah mengalami pasang surut prduksi industri gula, ternyata muncul
kebijakan pengambilalihan perusahaan perkebunan. Akhirnya perusahaan gula
diambil alih pemerintah untuk membangun perekonomian nasional.

lxxxi
2. Kebijakan Pengambilalihan Perusahaan Gula Mangkunegaran.
Pada akhir pendudukan Jepang dan masa awal Republik Indonesia, keadaan
ekonomi sangat kacau karena terjadinya hiper inflasi. Situasi keuangan yang sulit
yang dialami oleh pemerintaha Indonesia masih ditambah dengan dilakukannya
blokade-laut oleh Belanda dengan tujuan untuk menutup pintu keluar-masuk
perdangangan sebagai usaha untuk melumpuhkan ekonomi Indonesia. Adapun alasan
Belanda melakukan blokade ini adalah : (1) Untuk mencegah dimasukkannya senjata
dan peralatan militer ke Indonesia, (2) Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil
perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya, (3) Melindungi bangsa Indonesia
dari tindakan-tindakan dan perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh bukan bangsa
Indonesia (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 172-173).
Di tahun-tahun awal setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun
1945, para pemimpin nasional hanya secara sepintas memperhatikan masalah
pembangunan. Perjuangan secara fisik maupun diplomasi untuk mempertahankan
kemerdekaan dan melawan Belanda telah menyerap banyak perhatian. Pembicaraan
mengenai masa depan ekonomi Indonesia, fokusnya lebih ditujukan pada upaya
rehabilitasi dan reskontruksi untuk memperbaiki kehancuran yang diakibatkan oleh
perang kemerdekaan (Bondan Kanuyoso, 2001: 10).
Pertumbuhan ekonomi pasca kemerdekaan yang kacau mendorong pemerintah
untuk berusaha menembus blokade ekonomi Belanda dan muncul pemikiran
mengenai ketahanan ekonomi. Pada bulan Februari 1946 pemerintah melakukan
konferensi yang dipimpin oleh Ir. Darmawan Mangunkusumo selaku Menteri
Kemakmuran. Tujuan konferensi ini ialah untuk memperoleh kesepakatan yang bulat
di dalam menangulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak. Masalah-masalah
yang dihadapi pemerintah adalah; (1) masalah produksi dan distribusi bahan
makanan, (2) masalah sandang, (3) status dan administrasi perkebunan-perkebunan
(Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 178-179).

lxxxii
Pasca kemerdekaan Indonesia, persoalan penguasaan aset perusahaan-
perusahaan asing di wilayah ini menjadi isu yang cukup menarik terutama yang
menyangkut perusahaan pekebunan. Persoalannya adalah bahwa peralihan kekuasaan
dari pemerintah kolonial menjadi pemerintah Republik Indonesia tidak diikuti dengan
peralihan penguasaan semua aset ekonomi. Pengalihan aset ekonomi hanya terjadi
pada badan-badan pemerintah kolonial yang telah diambil alih oleh pemerintah Bala
Tentara Jepang. Aset-aset asing yang dikuasai oleh pihak perusahaan swasta asing
masih tidak jelas statusnya. Pengelolaan perusahaan-perusahaan itu menjadi
terganggu akibat terjadinya perang kemerdekaan. Banyak pengusaha dan pekerja
asing yang meninggalkan perusahaannya kembali ke negeri Belanda. Ada pula yang
bertahan di Indonesia, meskipun usahanya tidak berjalan maksimal (Wasino,
Makalah Workshop on the Economic Side of Decolonization, Agustus 2004. hlm. 1).
Konferensi ekonomi kedua diadakan di Solo pada tanggal 6 Mei 1946. Dalam
konferensi ini rencana konkret yang disarankan oleh Wakil Presiden Moh. Hatta
adalah rehabilitasi pabrik-pabrik gula, karena gula merupakan bahan eikspor yang
penting dan pengusahaannnya harus dikuasai negara. Hasil ekspor ini diharapkan
dapat dibelikan atau ditukar dengan barang-barang lainnya yang sangat dibutuhkan
oleh RI (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 179).
Realisasi yang konkret adalah penguasaan dan pengubahan administrasi
perusahaan gula. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.3/1946 tanggal 21 Mei 1946
dibentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dengan status
perusahaan Negara. BPPGN dipimpin oleh Notosudirdjo. Peraturan mengenai gula
disusun dengan peraturan Pemerintah No.4 tahun 1946 tanggal 6 juni 1946, mengenai
pembentukan Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Status PPN adalah perusahaan
negara yang mempunyai tugas: (1) meneruskan pekerjaan bekas perusahaan
perkebunan yang dikuasai oleh Jepang, (2) mengawasi bekas perkebunan milik
Belanda, (3) mengawasi perkebunan-perkebunan lainnya dengan cara mengawasi
mutu produksinya (Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1990: 179-180).

lxxxiii
Pengambilalihan ini semula banyak dilakukan oleh badan-badan perjuangan,
namun kemudian ditertibkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama dilakukan oleh
pihak militer. Salah satu penguasa bumi putra yang asetnya diambil alih oleh negara
adalah perusahaan gula Mangkunegaran. Pengambilalihan aset milik Praja
Mangkunegaran setelah berakhirnya pemerintahan swapraja berdasarkan Penetapan
Pemerintah No. 16/S.D. tanggal 15 Juli tahun 1946. Pengambilalihan perusahaan gula
Mangkunegaran dilakukakan oleh pemerintah dengan menempuh berbagai kebijakan
yang ditetapkan oleh badan pemerintahan, Presiden (pihak eksekutif) dan keputusan
pengadilan (pihak yudikatif).
Kebijakan pemerintah RI dalam pengambilalihan perusahaan gula
Mangkunegaran merupakan tindakan rasional dalam membangun perekonomian
nasional pasca kemerdekaan. Berdasarkan UUD 1945 tersebut, pemerintah
menerapkan perekonomian yang sesuai dengan kepentingan rakyat atau hajat hidup
orang banyak. Pemikiran membangun suatu perekonomian nasional, dengan
mendasarkan pada :
pasal 33 UUD 1945 ayat 2)” Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak di kuasai oleh
negara, 3) Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”

Industri gula merupakan suatu sektor yang menguasai hajat hidup rakyat
banyak, maka pengelolaannya harus dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Gula
merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat, sehingga berdasarkan pasal 33 UUD
1945pemerintah perlu mengambil alih industi gula. Langkah pemerintah mengambil
alih perusahaan gula Mangkunegaran, dengan menetapkan kebijakan-kebijakan
sebagai berikut: (1) Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 1946, (2) Peraturan Pemerintah
No. 4 tahun 1946, (3) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1947, (4) Keputusan
Presiden Republik Indonesia Tahun 1952, dan (5) Keputusan Pengadilan negeri
Jakarta Tahun1952.

lxxxiv
3. Perubahan Status Kepemilikan Perusahaan Gula Mangkunegaran
Perusahaan gula Mangkunegaran ini awalnya merupakan perusahaan milik
pribadi Mangkunegara IV sebagai perusahaan perseorangan. Dalam perusahaan
perseorangan segala usaha ini dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh seorang yang
bertanggung jawab penuh terhadap semua resiko dan aktifitas perusahaan gula. Selain
itu, modal perusahaan diusahakan oleh Mangkunegara IV.
Industri gula diubah menjadi perusahaan praja pada masa menjelang
wafatnya Sri Mangkunegara IV dengan pertimbangan untuk pengembangan lebih
lanjut dan diperolehnya keuntungan yang lebih besar bagi kemakmuran Praja
Mangkunegaran. Perusahaan gula Mangkunegaran dalam praja pengelolaannya
dibawah Fonds van Eigondommen van Het Mangkoenegorosche Rijk’s (Dana Milik
Mangkunegaran). Setelah dinasionalisasi di bawah pengelolaan PPRI, sehingga
perusahaan gula Mangkunegaran statusnya berubah menjadi perusahaan negara yang
dimiliki, dikelola dan dipimpin oleh PPRI.
Perusahaan gula Mangkunegaran awalnya merupakan milik syah dari praja
Mangkunegaran. Perusahaan gula merupakan aset kekayaan praja untuk mendapatkan
pendapatan yang besar. Berdasarkan Beslit van den G.G van Nederlands Indie
tanggal 9 Oktober 1928 No.13 dalam pasal 1 ditetapkan bahwa ;
(1) De eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijks enz vormen een
Fonds waar van het algemene beheer wordt door eene commisie bestaande
uit de Zelfbestuurder enz, (2) De Zeflbesturder van het Mangkoenegorosche
m.t.t gebied is vorzitter der comissie, (3) Het Dagelijksch beheer wordt
gevoord door den superitendent enz (Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran
dalam MN.464, hlm.25).
Terjemahan dari Peraturan Gurbenur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda
tanggal 9 Oktober 1928 No.13 dalam pasal 1, dapat dijelaskan bahwa: (1)
Kekayaan milik dari kerajaan Mangkunegaran dan sebagainya merupakan
dana yang nyata (sesungguhnya) dari penguasaan umum yang diawasi oleh
satu komisi yang terdiri dari pemerintahan Mangkunegaran sendiri dan
seterusnya, (2) Penguasa (trah) pemerintah mandiri daerah Mangkunegaran
merupakan ketua dari komisi, (3) Pemerintahan (pengurusan) harian
dijalankan oleh superitenden.

lxxxv
Status perusahaan gula Mangkunegaran sebagai bagian Dana Milik
Mangkunegaran diperjelas dalam peraturan yang berlaku sebelum kemerdekaan RI.
Peraturan tersebut dikeluarkan ketika Mangkunegaran masih berdiri sebagai
swapraja. Berdasarkan Zelfbesuurgelen Mangkunegaran Stbl.1940-543 , yakni :
(1) Tot de bezittingen van Het Mangkoenegorosche Rijks behoren de
ondermingen Colomadu, Tasikmadu enz, (2) De in het eerste lid onder d
enz, genomde ondernemingen maken deel uit van het Fonds van
eigendommen van Het Mangkoenegorosche Rijks enz (Arsip Reksa Pustaka
Mangkunegaran dalam MN.464, hlm.26).
Terjemahan Peraturan Lembaran Negara pemerintah Mangkunegaran tahun
1940-543, menjelaskan bahwa: (1) Yang menjadi kekayaan kerajaan
Mangkunegaran termasuk di dalamnya perkebunan Colomadu-Tasikmadu
dan seterusnya, (2) Seorang anggota dibawahnya dan selanjutnya dari
perkebunan yang tersebut berada di bawah dana milik kekayaan
Mangkunegaran dan seterusnya. Dengan demikian, status kepemilikan
perusahaan gula Tasikmadu dan Colomadu sebelum kemerdekaan RI
merupakan bagian dari Dana Milik Mangkunegaran.
Semula Dana Milik Mangkunegaran bernama Fonds van Eigendommen van
het Mangkoenegorosche Rijk. Fonds merupakan badan yang berdiri sendiri dan
bekerja dengan anggaran belanja sendiri pula, lepas dari anggaran belanja kerajaan
Mangkunegaran. Pengurus Dana Milik Mangkunegaran terdiri dari: (1) Ketua
Mangkunegara yang bertahta, (2) Regent patih Mangkunegaran,(3) Superitenden, (4)
Mangkunegaran Agen de Javasche Bank, (5) Residen Surakarta. Fonds memiliki
kekayaan berikut: (1) P.G Tjolomadu, (2) P.G Tasikmadu, (3) Perkebunan Kerdja-
Gadungan-Mojogedang, (4) Huizenbezit Semarang, Sala, (5) Effecten dan surat-surat
berharga yang disimpan di luar negeri (Arsip MN VIII 4843).
Setelah Proklamasi kemerdekaan RI perusahaan gula Mangkunegaran
pengelolaanya berada di bawah kendali pemerintah. Pemerintah berusaha
memisahkan perusahaan perkebunan swasta Barat dengan perusahaan perkebunan
pemerintah RI untuk membangun struktur ekonomi nasional. Perusahaan gula
merupakan aset penting, sehingga perlu dikuasai negara. Hal ini ditandai dengan
adanya Peraturan Pemerintah RI No. 3 tahun 1946 yang terdiri 11 pasal. Peraturan

lxxxvi
ini terutama menyebutkan bahwa: (1) Perusahaan-perusahaan gula di Indonesia
dijalankan di bawah kekuasaan Negara, (2) Untuk menjalankan perusahaan-
perusahaan gula, didirikan satu badan pemerintah yang bekerja sebagai satu badan
hukum dengan modal yang terpisah dari keuangan biasa, dan dengan anggaran dasar
yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dan Persediaan. Badan itu dinamakan Badan
Penyelenggara Perusahaan Gula Negara (BPPGN) dan berkedudukan di Solo.
Peraturan Pemerintah no.4 tahun 1946 menyatakan tentang pembentukan
Perusahaan Perkebunan Negara (PPN) yang dijalankan di bawah kekuasaan Negara.
Keluarnya peraturan ini berdasarkan pada pasal 33 UUD negara Republik Indonesia.
Dengan demikian, sejak 25 Juli 1946 perusahaan gula Mangkunegaran berdasarkan
PP no.3 dan 4 tahun 1946 pengelolaannnya dijalankan oleh pemerintah (Negara).
Pada 30 April 1947 pemerintah membentuk Perusahaan Perkebunan
Republik Indonesia (PPRI) berdasarkan peraturan pemerintah no.9 tahun 1947.
Tujuannya untuk mengurus perusahaan-perusahaan perkebunan milik Negara dan
perkebunan bukan milik bangsa Asing, yang di kuasai oleh Negara. Dalam peraturan
ini memuat tentang: (1) peraturan tentang kantor urusan PPRI, (2) Usaha PPRI, (3)
pimpinan/ organisasi PPRI, (4) Keuangan, (5) Pengawasan.
Berdasarkan peraturan pemerintah no 9 tahun 1947, maka perusahaan-
perusahaan perkebunan yang dikuasasi oleh BPPGN dan PPN diserahkan dan dilebur
dalam PPRI. Perusahaan gula Mangkunegaran juga mengalami perubahan
pengelolaan ke pihak pemerintah. Perusahaan-perusahaan milik PPRI meliputi:
1) Perusahaan perkebunan milik Negara, tergabung dalam ”Kantor
Perusahaan Perkebunan Pemerintah” (KPP) dalam zaman Belanda bernama
”Gouvernements Landbowbedrijven”, yaitu 13 perusahaan perkebunan di
Jawa, 4 perusahaan perkebunan di Sumatera dan 1 perusahaan perkebunan
di Maluku atau N.Guinea Utara, 2) Perusahaan-perusahaan perkebunan
yang tergabung dalam kantor ”Perusahaan Nasional Surakarta” (PNS),
yaitu: (a) 2 perusahaan gula Mangkunegaran dan 1 perusahaan gula
Kasunanan, (b) 6 perusahaan perkebunan selain gula (5 perusahaan
Mangkunegaran dan 1 perusahaan Kasunanan), (c) Perusahaan-perusahaan
yang didirikan dari reserve perusahaan gula Mangkunegaran tersebut a

lxxxvii
dan b (Arsip MN VIII 5286 tentang penjelasan peraturan kantor urusan
Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia).

Tabel. 13.
Mangkunegaransche Eigendommenfonds yang dikuasai PPRI tahun 1947
No Nama Karesidenan Mengusahakan
1 Tasikmadu Surakarta Gula
2 Colomadu Surakarta Gula
3 Mojogedang Surakarta Sisal
4 Kerjogadungan Surakarta Kopi
5 Perusahaan Perumahan Surakarta Sewa rumah
6 Perusahaan Perumahan Semarang Sewa rumah
7 Perusahaan Perumahan Wonogiri Sewa rumah
8 Perusahaan Batugamping betal Surakarta Batugamping
9 Perusahaan Gulabatu Rasamadu Surakarta Gulabatu
Sumber: Lampiran Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1947
Dari tabel dapat diketahui bahwa perusahaan gula Colomadu dan Tasikmadu
telah menjadi perusahaan dibawah pengelolaan pemerintah yang dijalankan oleh
PPRI. Kedudukan perusahaan gula Mangkunegaran sebagai milik pemerintah
diperkuat dengan adanya Keputusan Presiden RI No. 52 Tahun 1952. Dalam
keputusan ini dinyatakan pencabutan beslit Gurbenur Jenderal Belanda tanggal 9
Oktober 1928 No. 13 tentang dana milik Mangkunegaran. Pengaturan kembali
Zelfbestuuregelen Mangkoenegorosche staatsblaad 1940 No. 543 tentang
pengelolaan perusahaan perkebunan (arsip MN. VIII 4187).
Langkah yang diambil pemerintah berdasarkan keputusan ini dengan
membubarkan “Comissie van Beheer over het Fonds van Eigendommen van het
Mangkoenegorosche Rijk”. Selain itu pemerintah juga memberhentikan superitenden
yang telah diangkat oleh Sri Paduka Mangkunegara VIII dengan tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1947. Akhirnya
pemerintah membentuk Panitia Penyelenggara Dana Milik Mangkunegaran baru,
yang terdiri dari: (a) sebagai ketua yang sekaligus merangkap anggota: Residen
Surakarta, (b) sebagai anggota-anggota lainnya: 1) Walikota Surakarta, 2) Seorang
ahli yang ditunjuk oleh Kementrian Perekonomian, 3) Wakil kantor urusan PPRI, 4)

lxxxviii
dan 5) Dua orang wakil yang ditunjuk oleh Sri Paduka Mangkunegara VIII, 6)
seorang wakil dari “de Javasche Bank”(arsip MN. VIII 4817).
4. Reaksi Mangkunegaran terhadap Perubahan Status Perusahaan Gula
Reaksi pihak Mangkunegaran terhadap nasionalisasi pabrik gula itu semula
bersifat kooperatif. Hal itu dilakukan untuk menghindari konflik dengan rakyat
Surakarta yang tergabung dalam kelompok anti-swapraja. Selain itu juga disebabkan
oleh ketidaksiapan praja Mangkunegaran dalam menghadapi situasi sosial-politik di
Surakarta yang berubah dengan cepat akibat berdirinya negara Republik Indonesia.
Pihak Mangkunegaran justru memberikan tempat di lingkungan istana
Mangkunegaran sebagai kantor PPN, bahkan beberapa mantan pegawai perkebunan
Mangkunegaran bekerja di kantor PPRI. Sementara itu manajemen pabrik Tasik
Madu dan Colo Madu masih tetap beroperasi seperti sebelum perang Asia Timur
(Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro).
Sikap pihak Mangkunegaran menjadi berubah sejak terjadinya agresi militer
Belanda ke-II tanggal 19 Desember 1948. Tampaknya pihak Mangkunegaran
menyadari bahwa, kekuasaan dan harta kekayaannya telah diambil alih oleh
pemerintah Indonesia. Akhirnya berusaha untuk memperkuat diri dalam
mempertahankan dan mempersiapkan alat-alat pemerintahan untuk mengembalikan
status swapraja dalam pemerintahannya .
Pihak Mangkunegaran menjalin hubungan baik dengan Pemerintah Hindia
Belanda untuk dapat menyelamatkan harta miliknya yang telah diambil alih oleh
Pemerintah RI. Hubungan ini membawa hasil dengan para pegawainya yang
memperoleh gaji dalam bentuk civile list sebagaimana yang pernah mereka terima
pada periode sebelum perang. Selain itu juga berhasil dihidupkannya kembali
lembaga yang mengurusi kekayaan Mangkunegaran, “Fonds van Eigendommen van
het Mangkoenegorosche Rijk”. Status lembaga ini diubah menjadi hak milik pribadi
berdasarkan hukum Eropa oleh Hoge Vertegenwoordiger van de Kroon in Indonesia.
Akhirnya pihak Mangkunegaran menganggap bahwa harta-harta kekayaan yang

lxxxix
semula diambil-alih pemerintah Indonesia bisa kembali dikuasai oleh pihak keluarga
Mangkunegaran (Surat Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo tanggal 28 Juni 1949).
Selama agresi militer Belanda ke-II tahun 1948, kontrol pemerintah Indonesia
terhadap industri gula Mangkunegaran melalui PPRI menjadi lemah, sehingga pihak
keluarga Mangkunegaran melalui Komisi Pengawas Perkebunan Mangkunegaran
dapat menguasai kembali manajemen kedua pabrik gulanya. Pabrik gula dapat
beroperasi dan berhasil menjual beribu-ribu ton gula yang dilakukan oleh pihak
Mangkunegaran ke luar negeri (arsip MN. VIII 464, hlm. 6).
Setelah pengakuan kedaulatan Pemerintah Indonesia oleh Pemerintah Belanda
pada tanggal 17 Desember 1949, posisi Comissie van Beheer dari perusahaan-
perusahaan Mangkunegaran sudah dalam posisi yang kuat dalam mengelola aset-aset
milik Mangkunegaran, terutama kedua industri gulanya. Sementara itu PPRI yang
diberi wewenang oleh pemerintah pusat Republik Indonesia tidak berdaya dalam
menghadapi pihak Comissie van Beheer. Superintenden perusahaan Mangkunegaran
merasa tidak perlu berkoordinasi dengan pihak PPRI. Hasil keuntungan dari
penjualan gula disimpan sendiri oleh superintenden di de Javasche Bank. Selama itu
pengambilan uang dari Bank untuk keperluan operasional pabrik gula cukup
dilakukan oleh superintenden Mangkunegaran yang ketika itu dijabat oleh Ir. Sarsito
Mangoenkoesoemo (Wasino, 2004: 8).
Konflik terbuka tentang persoalan penguasaan pabrik gula Mangkunegaran
antara pihak Mangkunegaran dengan pihak Pemerintah Indonesia terjadi pada sekitar
bulan Oktober-Nopember 1951. Ketika itu Pemerintah Indonesia melalui Menteri
Dalam Negeri memerintahkan kepada pihak de Javasche Bank untuk tidak
mengijinkan pihak Superintenden Harta kekayaan Mangkunegaran mengambil uang
di lembaga perbankan itu. Akibatnya pihak Mangkunegaran merasa dirugikan karena
mereka tidak dapat mengambil uang di bank itu, sehingga penguasa Mangkunegaran
tidak dapat menutup biaya yang diperlukan untuk kepentingan praja dan kepentingan
operasional pabrik-pabrik gula tersebut.

xc
Sebagai reaksi terhadap tindakan pemerintah itu, akhirnya Ir.Sarsito
Mangoenkoesoemo mengajukan gugatan kepada pengadilan negeri di Jakarta dengan
tuntutan terhadap pemerintah atas dihalang-halanginya dirinya selaku Superintenden
untuk mengambil uang perusahaan di de Javasche Bank. Keputusan presiden
tanggal 22 Pebruari 1952 No. 52 dianggap tidak sah, sehingga pemerintah wajib
membayar kerugian sebesar Rp 3.220.800. Tuntutan ini ternyata tidak dikabulkan dan
dimenangkan Pemerintah Republik Indonesia. Gugatan ditolak dengan alasan
Swapraja Mangkunegaran telah dihapuskan sejak tanggal 15 Juli 1946. Bahkan pihak
mangkunegaran harus membayar ongkos perkara sebesar Rp. 92,- (sembilan puluh
dua rupiah). Dengan demikian sejak tanggal 2 Juli 1952 secara resmi perusahaan
gula yang semula milik Mangkunegaran telah menjadi perusahaaan pemerintah RI
dan dikelola oleh PPRI (Keputusan Pengadilan Negeri di Jakarta tahun 1952).

C. PENGARUH PENGAMBILALIHAN PERUSAHAAN GULA


MANGKUNEGARAN
1. Pengaruh bagi Kehidupan Ekonomi ”praja” Mangkunegaran
Adanya pengambilialihan perusahaan gula Mangkunegaran Colomadu dan
Tasikmadu sangat berdampak bagi eksistensi kehidupan praja Mangkunegaran. Hal
ini bisa dilihat dari dampak di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan
demikian, adanya perubahan status kepemilikan perusahaan gula Colomadu dan
Tasikmadu ke tangan pemerintah RI dianggap sebagai hal hal yang sangat merugikan
bagi pihak Mangkunegaran (Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro). Dampak
yang ditimbulkan sebagai berikut :
a. Bidang Politik
Adanya perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran memperjelas
bahwa status swapraja telah dihapuskan berdasarkan PP No. 16/S.D. Tahun 1946.

xci
Pengelolaan pemerintahan dan keuangan menjadi hak dan tanggung jawab
pemerintah RI. Dengan demikian, kekuasaan dan kekuatan politik praja
Mangkunegaran dihapuskan, karena sebagai bagian dari NKRI yang memiliki
kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Gerakan swapraja
yang ada justru membuat Surakarta kehilangan posisi sebagai ”Daerah Istimewa”.
b. Bidang sosial-ekonomi
Perubahan pengelolaan gula Mangkunegaran secara ekonomi memperjelas bahwa
status kepemilikannya dan hak kekayaan perusahaan beralih ke tangan
pemerintah pusat yang menyebabkan Mangkunegaran kehilangan sumber
pendapatan yang utama. Dampak perubahan ini bisa dilihat dari adanya
perubahan manajemen (tata kelola) yang meliputi struktur pengelolaan,
administrasi keuangan, tingkat kesehjateraaan dan gaji bagi para abdi dalem yang
mengalami transisi ataupun perubahan sehingga berdampak bagi kehidupan
sosial ekonomi di Mangkunegaran.
c. Bidang Sosial-Budaya
Bidang sosial-budaya keraton Mangkunegaran tidak dapat mengembangkan
budaya keraton secara optimal. Hal ini terkait karena minimnya dana untuk
pembiayaan dan pengembangan budaya keraton. Pada tahun 1946 subsidi yang
diperoleh sebesar Rp 2.500.000,- setiap bulan melalui karesidenan, tentu hal ini
sangat kurang untuk pembiayaan keraton dan penggajian abdi dalem, sehingga
dana untuk pengembangan budaya sangat kurang.
Perubahan yang signifikan menyangkut keuangan dan kekayaan praja dari
hasil pendapatan perusahaan gula. Perusahaan gula merupakan sumber utama
pendapatan praja Mangkunegaran. Keuntungan dari perusahaan gula dapat
menjadikan Mangkunegaran mengembangkan industrinya bahkan untuk membangun
Bounfonds (bangunan rumah yang disewakan) di Surakarta, Wonogiri dan Semarang,
meskipun akhirnya dinasionalisasi (lihat tabel 11). Industri gula Mangkunegaran juga
dapat menunjukkan betapa kuatnya posisi praja secara ekonomis dan politis, namun

xcii
keadaan telah berubah dengan adanya keterpurukan produksi masa pendudukan
Jepang sampai akhirnya diambil alih oleh pemerintah RI.
Kekayaan Mangkunegaran ada 2, yakni: 1) Rijks Dommein atau kekayaan
praja, 2) Eigendommein atau kekayaan pribadi. Dalam hal ini yang diambil alih
adalah kekayaan praja berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri di Jakarta tahun
1952 tentang pembekuan harta benda milik Mangkunegaran. Sehingga, perusahaan
gula yang dikelola oleh Dana Milik Mangkunegaran diambil alih oleh pemerintah
dengan landasan UUD 1945 pasal 33 untuk kepentingan rakyat banyak. Namun disisi
lain sangat berdampak bagi tingkat kesehjateraan abdi dalem di Mangkunegaran
(Narasumber: KRT. Soemarso Pontjosoetjitro).
b. Pengaruh bagi Perubahan Kehidupan Ekonomi Pegawai Perusahaan Gula
Mangkunegaran
Perubahan ekonomi dapat dilihat dari segi kebutuhan lahan dengan harga
sewa tanah rakyat, tenaga kerja dan tingkat upah buruh dalam perusahaan gula.
Penentuan sewa lahan perkebunan tebu dengan adanya negosiasi antara pemilik lahan
dengan pihak perusahaan menunjukkan adanya kesepakatan yang menguntungkan
kedua belah pihak. Gratifikasi tenaga kerja perusahaan gula menunjukkan adanya
perbedaan tingkat upah yang mempengaruhi tingkat kehidupan ekonomi masyarakat
yang bekerja di perusahaan gula (Wasino, 2004: 9-10).
Ketika pada abad XIX terjadi penyewaan tanah di Surakarta oleh perkebunan-
perkebunan swasta, maka muncul masalah dalam tanah apange. Tanah-tanah itu
dianggap menyulitkan aspek manajemen dan pengamannnya (Wasino, 1996: 18).
Adanya kemerdekaan membawa dampak pada sikap rakyat terhadap hak kepemilikan
dan penguasaan tanah. Tanah di wilayah Mangkunegaran yang sejak tahun 1918
diserahkan kepada desa menjadi hak komunal desa dan diberikan penguasaannya
kepada penduduk desa dari kalangan kuli kenceng. Sejak itu, penduduk di wilayah ini
menjadi merasa tidak sekedar memiliki hak menguasai tanah garapan, tetapi merasa
memiliki hak tanah garapan. Tanah-tanah yang semula di sewa oleh perusahaan

xciii
perkebunan tebu mulai diabaikan statusnya oleh rakyat, karena tanah telah menjadi
hak milik bersama (comunal) yang kepemilikannya penuh menjadi hak desa.
Petani di desa sekitar pabrik gula mulai menetapkan harga sewa tanahnya
kepada pihak pabrik gula. Penentuan harga sewa tanah menunjukkan adanya
keinginan petani meningkatkan harga sewa. Surabrata mengemukakan bahwa:
Pada pertengahan tahun 1946, ada satu desa di sekitar Tasikmadu yang
menetapkan harga sewa tanahnya antara f 600 – f1000 per hektarnya
selama 18 bulan. Besarnya tawaran sewa dari kaum tani itu menurutnya
masih dalam batas kewajaran, misalnya diambil harga sewa sebesar f 900
per hektar dengan biaya produksi @ 50 kuintal gula per hektar, maka per
kuintal gula, biaya sewa tanah sebesar f18. hal ini berarti menyerap 12%
dari jumlah ongkos produksi tersebut (Wasino, Makalah Workshop on the
Economic Side of Decolonization, Agustus 2004. hlm. 10).

Pihak pemerintah Indonesia sejak tanggal 16 Januari tahun 1950 sudah


mengadakan peraturan tentang persewaan tanah untuk menjamin ketersediaan lahan
untuk perkebunan tebu di satu sisi dan kelayakan sewa tanah yang diperoleh petani.
Di dalam instruksi itu diatur, bahwa persewaan antara pabrik dengan rakyat bersifat
sukarela dan hanya berlaku dalam rencana satu tahun tanam. Luas lahan bagi setiap
desa yang boleh disewa tidak boleh melebihi dari 1/3 luas lahan pertanian di desa itu.
Pihak pabrik berhubungan dengan pihak pamong praja setempat untuk
mempertemukan pihak pabrik dengan organisasi petani dalam hal penentuan sewa
tanah. Harga uang sewa minimum harus sama dengan hasil bersih petani jika tanah
itu dikerjakan sendiri untuk tanaman pangan. Pemerintah menetapkan secara jelas
harga sewa tanah untuk tiap lahan tebu yang dibedakan antara lahan tebu biasa, tebu
tunas dan tebu bibit. Masing-masing lahan tebu masih dibedakan antara lahan irigasi
dan non irigasi (Wasino, 2004: 11).
Selain tanah, tenaga kerja juga merupakan faktor produksi yang penting
dalam pengusahaan industri gula. Perolehan tenaga kerja untuk kegiatan produksi
gula menjadi isu yang penting dalam masa nasionalisasi pabrik gula Mangkunegaran.
Tenaga kerja di pabrik gula Mangkunegaran secara sosial dapat dibedakan menjadi

xciv
tiga kategori, yaitu tingkat atas, menengah, dan bawah. Yang tergolong sebagai
tingkat atas adalah para administratur, staf kantor, termasuk para sinder dan
wakilnya. Kelompok bawah diduduki oleh para buruh yang terdiri dari buruh tetap
dan buruh lepas. Di tengah-tengahnya terdapat mandor sebagai kelompok menengah
yang berfungsi sebagai penghubung antara pegawai kelompok atas dengan buruh atau
pegawai tingkat bawah. Ditinjau dari status kepegawaiannya, maka pegawai pabrik
gula Mangkunegaran dapat dipilah menjadi tujuh kelompok, yaitu: (1) pegawai, (2)
pegawai sementara, (3) pegawai bulanan, (4) pekerja harian, (5) Wachtgellders, (6)
Pensiunan, dan (7) kontrak giling. (Narasumber: Ir. Soeroto H.S).
Setiap para pegawai atau tenaga kerja memiliki tingkat upah yang berbeda,
tergantung jenis jabatan dan keahlian masing-masing. Pada pasca perubahan
kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran juga terjadi transisi pegawai, sehingga
hal ini berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar yang bekerja di
perusahaan gula. Kondisi seperti ini yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan
pegawai berbeda, karena tergantung pada tingkat jabatan. Lebih jelasnya dapat dilihat
pada keterangan daftar gaji di PG. Colomadu berikut :

Tabel. 14.
Daftar Gaji Pegawai P.G. Colo Madu Bulan Maret 1947
Bagian Gaji pokok(Rp) Gaji bersih (Rp)
Pegawai Kantor 4.633 5.327,78
Peg. Kebun bag I 509,50 747,89
Peg. Kebun bag II 550,50 743,15
Peg. Kebun bag III 482,25 720,46
Peg. Kebun bag IV 644,50 870,53
Peg. Kebun bag V 661,50 823,35
Pengangkutan 2.518 3.179,65
Kamar obat 544 688,66
Masinis 6.389,90 7.789,48
Polisi Tanam 776 989,72
Polisi Tanam 360 504,06
Penumbuk padi 416,50 547,62
Sumber: Diolah dari arsip Rekso Pustoko MN kode L 2613

xcv
Perubahan sosial-ekonomi yang utama ditandai dengan mulai dipegangnya
jabatan utama dalam perusahaan gula. Setelah perubahan kepemilikan perusahaan
gula Mangkunegaran menjadi milik pemerintah, maka jabatan dari orang Belanda
banyak digantikan oleh penduduk bumi putera. Akhirnya terjadi peningkatan status
bagi para bumiputera yang memegang jabatan penting dalam perusahaan gula.
Perubahan status jabatan ini turut meningkatkan peningkatan pendapatan dan
kesehjateraan masyarakat disekitar perusahaan gula yang memegang jabatan penting.
ini ditandai karena adanya perbedaan gaji yang mencolok antara administratur dan
buruh pabrik gula rendahan. Tentang perubahan jabatan dalam perusahaan gula dapat
dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 15.
Jabatan Perusahaan Gula sebelum kemerdekaan RI (1930-an)
No Jabatan Perusahaan Nama Pemegang Jabatan
Gula PG. Tasikmadu PG. Colomadu
1 Administratur F.G.H. Wagner H. M. Wersma
2 Klerek kelas 1 E.F. Bruynsteen H. J. van Zyll de Jong
3 Pemegang buku M.R Bartelds W.G. Hilling
4 Kepala Rayon D.C. Vreede dan Sikman -
5 Pengawas Perkebunan R.S. Brusse, F.W. Badart, J.W. Maquine, D.Fenstra,
(Pengkeb.) C.L.Wisse, H.J. Rudolp* Th.Ackerman*
6 Pengkeb. Percobaan C. P. Franken A.J. de Wit
7 Masinis T.van der Burger, J. Havenstroom, J.A.B.
L.Sommer, H. Koppel* Bik, H.C. Offenberg*
8 Kepala Pabrikat C.H. Tannenbaum M. D. Brewer
9 Dokter gula R. Soeparwi S., Mc. Neill, M. Grysen,
H. Pontojoedo, Thielman* R.M Sapardjo
10 Kepala Transportasi A. Zavenboom F. Wynhamer
11 Pengawas J Le Clereq de Courcelles, A. Klerks
Penebangan E.A. Simon,H. Kiksen*
12 Pengawas Gudang J.P. Groven -
13 Kepala penimbangan F. C. Rumph -
Sumber : Adresboek voor de Java-Suikerindustrie Zesde jaaargang. Uitgegeven: G.
Huysman, Soerabaia. Halaman 205dan 221.

xcvi
Keterangan: * jabatan dipegang lebih dari satu orang.

Tabel. 16.
Jabatan Perusahaan Gula Tasikmadu berdasarkan Gratifikasi tahun 1942-1952
No. Nama Jabatan Pemegang Jabatan
1 Kepala Pabrik Soepredrik
2 Pemegang Buku Woerjanto
3 Kepala bagian Personalia Soemarto
4 Kepala pabrikat Roesman
5 Masinis Sarhito
6 Kepala Pengangkutan Soekari
7 Kepala Tanaman Soedharno
8 Kepala sinder kebun Soetadi
9 Sinder Kebun Abdulwasit
Sumber: Arsip MN VII 5256 tentang daftar Gratificatte Tasikmadu tahun 1942-1950.

Jabatan perusahaan gula di Colomadu tidak ditemukan datanya, tetapi ada ada
daftar jabatan yang mengalami transisi pada tahun 1948. Jabatan yang ditempatkan
kembali untuk pegawai lama, yakni: Tuan Soenardi dari wakil pemimpin umum
kembali menjadi le Gemployerde (Klerek kelas I), Tuan S. Hadiatmojo dari wakil
Boekhouder I (pemegang buku I) kembali menjadi pemegang buku II, dan Tuan
Soetjipto dari pemegang buku II kembali menjadi pekerja kantor. Selain itu juga
terjadi pemindahan jabatan berikut: Tuan Soemanto dipindahkan menjadi kepala juru
rawat di PG. Tasikmadu, Tuan Soekari dipindahkan menjadi kepala pengangkutan ke
PG. Tasikmadu. Pemindahan jabatan untuk lokasi di PG. Colomadu misalnya Tuan
Soemardjo dari pembantu chemiker menjadi chemiker II ( diolah dari MN VII. 5256
Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran).
Sejak pengambilalihan perusahaan gula Mangkunegaran pasca proklamasi,
memang semua pegawai pabrik berasal dari kalangan orang Indonesia. Sistem
penggajian masih tetap mengikuti pola gaji sebelum nasionalisasi, karena selisih gaji
antara pegawai tingkat atas dengan tingkat bawah sangat mencolok. Di pabrik gula
Colomadu pada tahun 1947, seorang pegawai kantoran seperti pemegang buku

xcvii
menerima gaji kotor sebesar Rp 4.633 atau gaji bersih sebesar Rp 5.327,78.
Sementara seorang pegawai kebun bagian I menerima gaji pokok sebesar Rp 509,50
atau gaji bersih sebesar Rp747,89. Gaji pegawai terendah diterima oleh polisi tanam,
yakni gaji pokok sebesar Rp 360 atau gaji bersih sebesar Rp 504,06 (diolah dari arsip
MN L 2623 tentang keterangan singkat daftar gajih boelan III-1947).
Data tahun 1951 menunjukkan bahwa di pabrik gula yang sama, rata-rata
upah yang diterima oleh buruh pabrik bulanan perharinya sebesar Rp Rp 6,30
dengan rentang waktu kerja 7 jam, atau Rp 151,60 per bulan dengan ditambah upah
lembur jika bekerja melebihi waktu tersebut. Jumlah gaji tersebut sudah berada di
atas rata-rata upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah RI, yaitu Rp 3,25 per
hari dan Rp 0,25 per hari sebagai tunjangan. Sementara itu para buruh harian, baik
harian tetap maupun harian lepas menerima upah lebih rendah dibandingkan dengan
buruh bulanan, yakni rata-rata sebesar Rp 17,50 sampai dengan Rp 20,00 perminggu,
atau Rp 70,00-Rp80,00 per bulan jika terus bekerja dalam satu bulan (Hisbaron
Muryanto dalam Wasino, 2004: 14-15). Dengan demikian, perubahan peningkatan
taraf kesehjateraan hanya terjadi pada pegawai pabrik gula tingkat atas, kelas
menengah ditempati buruh pabrik bulanan yang tetap, sedangkan buruh harian
menerima gaji yang sangat berbeda dan lebih rendah dari buruh bulanan.

xcviii
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Industri gula Mangkunegaran terdiri dari dua pabrik gula, yaitu: pabrik gula
Colomadu dan Tasikmadu. Kedua pabrik gula ini didirikan pada masa pemerintahan
KPAA Mangkunegoro IV (1853-1881) yang merupakan kalangan aristokrat
(bangsawan) bumiputera pertama yang menjadi pengusaha, sehingga disebut sebagai
kapitalisme priyayi. Pembangunan industri perkebunan tebu oleh KPAA
Mangkunegara IV merupakan pilihan yang rasional sejak mulai berlakunya ”Politik
Pintu Terbuka” tahun 1870-an. Alasannya yakni: (1) gula merupakan produk ekspor
yang sedang menjadi andalan di pasaran dalam negeri maupun internasional, (2)
tanaman tebu sudah terbiasa di tanam di sejumlah tempat di wilayah Surakarta,
termasuk Mangkunegaran yang diusahakan oleh para penyewa tanah Bangsa Barat,
(3) sumber-sumber pendapatan praja secara tradisonal melalui pajak dan persewaan
tanah dirasa tidak mencukupi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa :
1. Latar berdirinya industri gula Mangkunegaran adalah industri milik pribadi
keluarga Sri Mangkunegoro IV. Biaya pembangunan pabrik modalnya sebagian
besar dari pinjaman keuntungan perkebunan kopi Mangkunegaran, pinjaman dari
mayor Cina di Semarang Be Beauw Tjwan, dan menarik tanah-tanah lungguh
milik saudaranya. Perusahaan gula Colomadu didirikan tahun 1861 di wilayah
Malang Jiwan, sedangkan Tasikmadu didirikan tahun 1871 di wilayah
Karanganyar. Industri gula diubah menjadi milik praja pada masa menjelang
wafatnya Sri Mangkunegoro IV (1881) dengan pertimbangan untuk
pengembangan lebih lanjut dan diperolehnya keuntungan yang lebih besar bagi
kemakmuran Praja Mangkunegaran. Setelah melalui pasang surut dalam

xcix
perjalanan usahanya, pada awal abad XX pengelolaan industri gula
Mangkunegaran berada di tangan komisi pengawas (commissie van beheer). Pada
masa pendudukan Jepang (1942-1945) perusahaan gula mengalami penurunan
produksi, karena kegiatan ekonomi diutamakan untuk kebutuhan perang.
2. Pasca proklamasi kemerdekaan RI keadaan berubah drastis, karena swapraja
Mangkunegaran dihapuskan dan dijadikan satu dengan Kasunanan ke dalam
karesidenan Surakarta berdasarkan PP No.16/ S.D. Tahun 1946. Selain itu juga
terjadi perubahan sosial dalam sistem perkebunan dengan adanya
pengambilalihan perusahaan perkebunan ke dalam pengelolaan pemerintah.
Perusahaan gula Mangkunegaran diambil alih pemerintah untuk dikelola PPRI
berdasarkan PP No. 9 tahun 1947. Proses pengambilalihan perusahaan gula
Mangkunegaran justru terjadi sebelum nasionalisasi perusahaan Belanda di
Indonesia yang berlangsung tahun 1957-1958. Hal ini ditandai dengan adanya
Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tahun 1952 yang membekukan harta benda
milik Mangkunegaran, sehingga perusahaan gula Tasikmadu dan Colomadu resmi
mengalami perubahan status kepemilikan menjadi milik pemerintah RI.
3. Pengaruh perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran ini sangat
besar, karena meliputi aspek politik, ekonomi, dan budaya. Dampak yang paling
vital dirasakan bagi espek keuangan Mangkunegaran, karena selama ini
perusahaan gula merupakan sumber pendapatan praja. Kegiatan sosial-budaya
juga kurang berkembang karena minimnya dana pengembangan. Secara politis
perubahan kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran memperjelas bahwa
swapraja telah dihapuskan. Pengaruh lain dirasakan oleh masyarakat yang tinggal
di sekitar perusahaan gula, karena adanya sebagian masyarakat yang mengalami
peningkatan kesehjateraan dengan memegang jabatan penting dalam perusahaan
gula. Selain itu bagi para petani pemilik tanah yang luas mengalami tingkat
peningkatan kesehjateraan karena adanya uang sewa tanah yang naik dan petani
memiliki hak negosiasi dengan pihak perusahaan. Bagi buruh rendahan kondisi

c
masih memprihatinkan, karena gaji yang rendah dan berbeda jauh dengan
pemegang jabatan tingkat atas.
B. IMPLIKASI

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan, maka muncul implikasi yang dapat
dipandang dari beberapa segi:
1. Teoritis
Perubahan status kepemilikan perusahaan perkebunan merupakan bagian
dari adanya perubahan sosial dalam sistem perkebunan yang terjadi karena kebijakan
ekonomi pemerintah RI pasca kemerdekaan. Hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 33
ayat (2) dan (3) yang menekankan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Perubahan kepemilikan perusahaan perkebunan menjadi milik pemerintah berlaku
bagi seluruh perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia berdasarkan PP No.9
tahun 1947. Dengan demikian, kebijakan tersebut berdampak pada status kepemilikan
perusahaan gula Mangkunegaran (Tasikmadu dan Colomadu) yang akhirnya menjadi
hak milik pemerintah RI.

2. Praktis
Perubahan status kepemilikan perusahaan gula Mangkunegaran
(Tasikmadu dan Colomadu) yang berlangsung tahun 1946-1952 membawa pengaruh
yang besar terhadap Mangkunegaran. Pengaruhnya terutama terjadi dalam aspek
ekonomi karena selama ini perusahaan gula merupakan sumber utama pendapatan
Mangkunegaran. Selain itu juga berpengaruh pada aspek sosial-budaya dan politik.
Perubahan kepemilikan ini juga berdampak pada tingkat kesehjateraan masyarakat di
sekitar perusahaan gula Mangkunegaran. Di sisi lain adanya perubahan kepemilikan
perusahaan gula Mangkunegaran membawa dampak yang positif bagi pegawai pabrik
gula bumiputera untuk menggantikan posisi pegawai Belanda.

ci
C. SARAN

1. Bagi Pemerintah
· Kebijakan pemerintah RI terhadap pihak PTPN IX hendaknya lebih intensif
guna meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi gula, sehingga diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan gula lokal khususnya di wilayah Surakarta,
sehingga mampu mengurangi jumlah impor gula di Indonesia.
· Kebijakan pemerintah kota Surakarta dalam tata kelola pembangunan
perumahan hendaknya juga memperhatikan pengaturan tata guna lahan tebu
yang semakin sempit, karena berpengaruh pada hasil produksi gula.
· Perlunya perhatian pemerintah kota Surakarta terhadap perusahaan gula
Colomadu dan Tasikmadu yang merupakan perusahaan gula bersejarah sebagai
warisan industri gula Mangkunegaran yang potensial untuk dikembangkan
sebagai objek wisata sejarah industri perusahaan, pendidikan dan kebudayaan.
2. Bagi Pendidik
Materi tentang perubahan sosial dalam sistem perkebunan dari masa
kolonial ke masa pemerintah RI ada baiknya dimasukkan ke dalam kurikulum
mata kuliah sejarah agraria dan sejarah lokal, khususnya tentang perubahan
kepemilikan perusahaan perkebunan. Mahasiswa agar bisa mendapatkan
pengetahuan tentang perkembangan industri gula di Jawa dan pengaruh
perubahan kepemilikan perusahaan gula bagi industri gula lokal.
3. Bagi Peneliti
Penelitian yang mengambil tema tentang perubahan sosial dalam sistem
perkebunan, khususnya mengenai perubahan kepemilikan perusahaan perkebunan
pasca kemerdekaan RI dengan berbagai pengaruhnya belum banyak dilakukan.
Untuk masa yang akan datang penulis mengharapkan ada mahasiswa yang

cii
melanjutkan penelitian tentang perubahan kepemilikan perusahaan perkebunan
secara lebih mendalam untuk bidang dan sektor yang lain.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Abdul Karim Pringgodigdo. 1950. Geschiedenis der Ondernemingen van het
Mangkoenegorosche Rijk’s. S-Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Bondan Kanuyoso. 2001. Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan.

Bambang Purwanto.” Memahami Kembali Sejarah Surakarta dan Yogyakarta: sebuah


pengantar”. Dalam Vincent J.H.Houben. Kraton and Kumpeni Surakarta and
Yogyakarta, 1830-1870. Yogyakarta : Bentang.

Departemen Pertanian RI. 1997. Keputusan Menteri Pertanian No.940/kpts. DT.


210/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian dalam
www.deptan.go.id.kpts

Dudung Abdurahman. 1987. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta : Lagos Utama.

Dyah Sotya Permatasari. 2008. Kebijakan Ekonomi Jepang di surakarta 1942-1945.


Surakarta: Skripsi UNS.

Faisal Affif, dkk. 1994. Seluk Beluk Organisasi Perusahaan Modern. Bandung : PT.
Eresco

Geertz, Clifford. 1976. Involusi Pertanian : Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.


Terjemahan S. Supomo. Jakarta : Bharata.

Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Terjemahan Nugroho Notosusanto.


Jakarta : UI Press

Helius Sjamsudin. 1996. Metodologi Sejarah. Jakarta : Depdikbud

Ibrahim Alfian. 1987. Dari babad dan hikayat samapai Sejarah Kritis. Kumpulan
karangan dipersembahkan kepada Prof. Dr. Sartono kartodirdjo. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.

ciii
Inu Kencana Syafiie. 2003. Sistem Administrasi Negara Indonesia Republik
Indonesia ( SANRI ).Jakarta : Bumi Aksara.
Irawan, dan Bahu swastha. 1992. Lingkungan Perusahaan. Yogyakarta : BPFE.

Koentjaraningrat. 1986. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Gramedia

Kuntowijoyo. 1994. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : PT Tiara Wacana Yogyakarta.

Larson, George.D.1990. Masa Menjelang Revcolusi Keraton dan Kehidupan Politik


di Surakarta, 1912-1942. Yogyakarta : UGM Press.

Leirissa R.Z, dkk. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia

Lestariningsih, dan Suryatmojo. 1996. Administrasi Perusahaan. Surakarta:


Universitas Sebelas Maret Press.

Malley, William.J.O’. 1988. Perkebunan 1830-1940: Ikhtisar di dalam Anne Both,


Wiiliam J.O’ Malley, dan Anna Weidenman Sejarah Ekonomi Indonesia.
Jakarta : LP3ES

Mansfeld, W.F., Geschiedenis der Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk.


Diterjemahkan oleh R.tg. Muhamad Husodo Pringgokusumo. 1986. Sejarah
Milik Praja Mangkunegaran. Solo : Perpustakaan Istana Mangkunegaran.

Mardalis. 2002. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi


Aksara.

Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid
VI. Jakarta : Balai Pustaka.

Metz, Th. M. 1939. Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Terjemahan


Muhamad Husodo Pringgokusumo,. Arsip Reksa Pustaka Mangkunegaran.

Mirriam Budiarjo.1992. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.

Mubyarto.1983. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta : Pustaka


Sinar Harapan.

Mubyarto dan Daryanti. 1991. Gula: suatu Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: PT.
Aditya Media.

civ
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa (Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Peter Salim dan Yenny Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta:
Modern English Press.

Ricklefs, M.C.1991. Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan Dharmono


Hardjowidjono. Yogyakarta : UGM Press.

Rouffaer, G.P. 1905. Swapraja. Terjemahan R. Tg. Muhamad Husodo


Pringgokusumo. Naskah ketik : Rekso Pustoko Mangkunegaran.

S. Margana. 1995. Perubahan Kedudukan Tanah Apanage di Mangkunegaran pada


Masa Pemerintahan Mangkunegaran IV 1853-1881. Yogyakarta : Skripsi
Fakultas Sastra UGM.

Sartono Kartodirdjo.1975. Sejarah Nasional Indonesia.Jilid IV. Jakarta : Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo.1991. Sejarah Perkebunan di Indonesia,


Kajian sosial Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media.

Syahrial Syarbani, dkk. 2002. Sosiologi dan Politik. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Sidi Gazalba. 1966. Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu. Jakarta : Bathara.

Soerjono Soekanto. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

Sotono, H.R.2002. Timbulnya Kepentingan Tanam Perkebunan Di Daerah


Mangkunegaran, terjemahan dari: Hoofdstuk II opkomst der
Mangkoenagorosce Cultuurbelangen. Surakarta: Reksa Pustaka.

Suhartono. 1991. Apanage dan bekel: Perubahan sosial di Pedesaaan Surakarta 1830-
1920. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Thee Kian Wie.1984. Kolonialisme dan Ekonomi Indonesia. Jakarta : LP3ES.

Wasino. 1996. Laporan Penelitian Politik Etis, Pembangunan Sarana Irigasi, dan
Perkembangan Produksi Beras di karesidenan Surakarta (1900-1942). IKIP
Semarang.

cv
Wasino. 2008. Kapitalisme Bumi Putra : Perubahan Masyarakat Mangkunegaran.
Yogyakarta : LKIS.

Wasino. 2004. Makalah dalam Workshop on the Economic Side of Decolonization.


Yogyakarta : LIPI, NIOD, PPSAT-UGM dan PSSPS UGM.

Wertheim. W.F. 1956. Masyarakat Indonesia dalam Transisi. Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana.

Winardi.1990. Ilmu Ekonomi ( Aspek-aspek Sejarahnya ). Bandung : Citra Aditya


Pertiwi.

Wojowasito, S. 1997. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta : PT. Ichtiar Baru


Van Hoeve.
Yayasan Agroekonomi. 1983. Industri Perkebunan di Indonesia. Jakarta : Gramedia.

B. Arsip/ Dokumen dan Surat Kabar


Adres Book Voor de Java Suiker Industrie Zesde Jaargang Suiker Fabriek Tasikmadu
1930 and Fabriek Tjolomadu 1930. Uitgegeven: G.Huysman, Soerabaia.

Begroting der Suiker Fabriek Tasik Madoe 1925; Begrooting 1935 S.f. Tasik Madoe;
Begrooting S.f. Tjolomadoe 1935.

Berkas tentang Panitya Penyelenggara Dana Milik Mangkunegaran dan SK


Pengankatannya Tahun 1952, Arsip MN. VIII 4822.

Catatan Singkat Riwayat Dana Milik Mangkunegaran dalam arsip MN. VIII 4843

Daftar Gratificatte PG. Tasikmadu Tahun 1942-1952, Arsip MN. VIII 5256

Daftar Laporan Giling PG. Colomadu Tahun 1945-1946, Arsip MN VIII 5228

Daftar Laporan Tanam,Giling dan Pengelolaan PG. Tasikmadu Tahun 1945-1946,


Arsip MN VIII 5248

Keputusan Pengadilan Negeri Djakarta mengenai perkara perdata dalam


Ir.K.R.M.T.H. Sarsito Mangoenkoesumo selaku Superitendents Fonds van
Eigendommen van het Mangkoenegorosche Rijk’s lawan Pemerintah Republik

cvi
Indonesia di Jakarta tentang pembekuan harta milik Mangkunegaran tahun
1952, arsip MN 464

Keterangan Singkat Daftar Gajih Boelan III-1947 (25 Maret 1947), arsip Reksa
Pustaka MN L- 2623.

Penetapan Pemerintah No 16/S.D. tahun 1946 tentang Pemerintahan di Daerah


Istimewa Surakarta dan Yogjakarta, tanggal 15 Juli 1946. Arsip MN.VIII 691.

Penyerahan Perusahaan Mangkunegaran ke Pemerintah RI, dokumen PG. Tasikmadu.

Turunan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 1946

Turunan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1946

Turunan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1947 dalam arsip MN. VIII 5286

Turunan Keputusan Presiden RI tahun 1952 dalam arsip MN. VIII 4817

Van Soest, Memorie van den Toestand der Mangkoenegorosche Suiker Fabrieken,
Juli 1890, hlm.5. dalam Arsip Reksa Pustaka bundel YN 992.

Surat Kuasa Istimewa Penyerahan Benda Milik Mangkunegaran kepada pemerintah


RI, dokumen PG. Tasikmadu.

Surat Kabar ”Mimbar Indonesia” tentang Status Swapraja terbitan 21 Mei 1950
No. 10, Arsip Reksa Pustaka MN 4823.

Surat Kabar “Tempo” No.28 tanggal 12 September tahun 1987 tentang


Nasionalisasi Dana Milik Mangkunegaran, Arsip Reksa Pustaka MN 1073.

cvii

Anda mungkin juga menyukai