A. Latar Belakang
“Bagaimana teman-teman jurnalis mau profesional kalau tidak sejahtera. Ini menjadi
persoalan” (Suwarjono, Ketua Aliansi Jurnalis Independen)
Kutipan diatas penulis temukan dari Kompas.com, dimana ketua Aliansi Jurnalis
Independen berpidato disaat ulang tahun AJI ke 22. Pernyataan tersebut sangatlah relevan
dengan kondisi kesejahteraan wartawan saat ini. Masih banyak wartawan yang dibayar
dengan gaji dibawah standart layak seorang pekerja jurnalis. Budi Kurniawan (Ketua Bidang
Ketenagakerjaan AJI Indonesia) mengatakan bahwa masih ada wartawan yang dibayar
10 ribu per berita dan kebanyakan wartawan daerah yang diperlakukan seperti itu.
Berbicara tentang kesejahteraan wartawan adalah hal yang serius, wartawan tidak bisa
disamakan dengan buruh dalam hal gaji. Wartawan mempunyai tanggung jawab lebih besar
dalam memuat karya/tulisannya ke media. Sehingga berita yang dimuat didalam media benar
benar berkualitas tanpa ada ketimpangan.
Ketua AJI Jakarta mengatakan bahwa Jurnalis yang berpenghasilan Layak tidak akan
menerima amplop dalam pemberitaan (Detik.com). Penerimaan amplop dapat menrusak
independensi dan kenetralan seorang wartawan dalam menulis berita. sehingga dalam jangka
panjang, pofesionaisme, independensi serta obyektifitas jurnalis dalam mengerjakan tugasnya
akan terganggu. Pers yang seharusnya netral dan menjadi pilar ke 4 dalam demokrasi serta
sebagai alat kontrol sosial akan menjadi alat bagi kelompok/individu tertentu yang mampu
membayar wartawan. Kondisi ini tentu saja sama dengan kondisi pers disaat zaman orde
baru. Sehingga, cita cita reformasi pers tidak akan tercapai.
Berbicara tentang kesejahteraan wartawan bukan hanya mengenai gaji yang tinggi.
Menurut AJI dalam bukunya Potret Jurnalis Indonesia, mengatakan bahwa banyak aspek
yang harus dibahas ketika berbicara tentang kesejahteraan wartawan. Fasilitas ditempat kerja,
tunjangan kerja (kecelakaan kerja, kehamilan,pendidikan,kesehatan, dll), serikat pekerja,
serta standart gaji yang tidak menentu. Maka dalam penelitian ini, penulis memfokuskan
kepada upah (gaji) wartawan dalam mengukur tingkat kesejahteraan
Jika berbicara temtamg gaji, maka harus dilihat dari beban gaji yang diterima oleh
wartawan. Apakah gaji dan beban kerja sudah sepadan ? dalam buku Potret Jurnalis
Indonesia yang diterbitkan oleh AJI. Sebesar 49,3% wartawan menilai bahwa gaji mereka
1
tidak sebanding dengan gaji yang cukup. Menariknya, bahwa ternyata pendapat dari gaji yang
tidak sebanding ini lebih banyak dilontarkan oleh reporter dan penanggung jawab rubrik.
Sementara peran redaktur, redaktu pelaksana, dan pimpinan redaksi lebih banyak menilai gaji
yang diterima sudah layak dan sesuai dengan beban kerjanya.
Dengan kondisi yang telah dijelaskan diatas, masih banyak wartawan yang merasa tidak
cukup penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Hal ini menyebabkan
wartawan akhirnya mencari kerja sampingan dan menerima amplop dari pemesan berita. Jika
kesejahteraan wartawan tidak kunjung diperbaiki bukan tidak mungkin kedepannya kualitas
berita akan semakin menurun kualitsanya.
Padahal wartawan adalah sosok yang memiliki ketajaman penglihatan dan pendengaran,
dalam mengejar berita.dengan inderanya tersebut wartawan diharapkan bisa melaporkan
peristiwa secara akurat dan faktual. Apalagi wartawan media cetak yang dituntut mengupas
sebuah peristiwa lebih mendalam dan kaya akan data. Sehingga kebanyaan wartawan cetak
harus bekerja 24 jam.
Kebanyakan wartawan media cetaklah yang mengaku bahwa upah mereka tidak sesuai
dengan beban kerja yang mereka terima.Hal itu kebanyakan diterima oleh wartawan media
cetak lokal yang oplahnya terus menurun.Hasil rekapitulasi Serikat Penerbit Pers (SPS)
selama kurun waktu 2011 – 2013, mencatat bahwa tahum 2011 terdapat 1.361.tahun
berikutnya menjadi 1.324. dan tahun terakhir 1.254.
Pada saat peneliti mempunyai kesempatan untuk berkunjung disalah satu media cetak di
Bali.Banyak dari wartawan lapangan mengeluhkan tentang gaji mereka yang cenderung
kecil.Tetapi, ketika ditanya berapa jumlah gaji mereka, mereka sepakat menolak
menjawab.Pada kenyataannya mempertahankan media cetak bukanlah perkara mudah,
apalagi untuk sekelas media cetak lokal. Banyak dari media cetak yang mulanya harus
mengurangi halaman agar biaya percetakan menurun, hingga menutup medianya karena
memang sudah tidak bisa bersaing,
Ketergantungan media massa terhadap iklan telah lama menjadi perhatian pakar media. R.
McChesney mengungkapkan bahwa komersialisasi yang berlebihan akan berdampak pada
jurnalisme profesional. Banyak perusahaan surat kabar berubah menjadi sangat
kommersialisme yang mengacu kepada profit dan keuntungan. Tekanan politik dan
kebutuhan media cetak, utamanya media lokal, sering mengalahkan etis yang melandasi
profesionalisme jurnalis.Apalagi pemerintah membuat undang undang “kerahasiaan negara
dan pencemaran nama baik” yang menyulitkan jurnalis untuk melakukan investigasi serta
mengungkap skandal penguasa.
Menurut ketua harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) M Ridho Eisy mengatakan bahwa 20
persen dari sekitar 500 anggota serikat belum mampu menggaji wartawannya sesuai dengan
upah minimum daerah masing masing. Rata rata yang tidak mampu membayar adalah
perusahaan media kecil yang bukan bagian dari anggota grup besar dan menengah. Kendala
yang mereka alami rata rata belum mampu menjalankan bisnis dengan media massa yang
didirikan sehingga tidak mampu membayar upah secara layak.
Meskipun dibayar rendah dan cenderung tidak sesuai dengan beban kerja, seorang jurnalis
tetap dituntut untuk bekerja secara profesional dengan tanggung jawab yang besar.Rendahnya
gaji wartwan dikhawatirkan memunculkan jurnalis yang rentan terhadap suap dan tidak
independen.
Dilansir dari Antara Jatim, jurnalis daerah yang berstatus kontributor.Mereka tidak
mendapatkan jangkauan perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan, ongkos transportasi,
uang makan, tunjangan prestasi, serta fasilitas pendukung kerja, terlebih lagi bonus.
Berangkat dari hal tersebut AJI (Aliansi Jurnalis Independen) mengusulkan pada tahun
2015 gaji layak wartawan yang bertugas di jakarta adalah Rp5,7 Juta. Lalu pada tahun 2016
menurut AJI gaji layak naik menjadi 7,54 Juta untuk reporter yang baru diangkat menjadi
jurnalis. Serta berdasarkan survey terbaru AJI mengatakan upah layak jurnalis pemula pada
tahun 2018 seharusnya mencapai Rp 7,96 Juta. Upah layak yang dimaksud adalah gaji pokok
dan tunjangan yang diterima setiap bulannya.
Berbicara tentang amplop dalam kegiatan pers dan wartawan.Telah diatur dalam kode etik
wartawan Indonesia di pasal 5 “Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak
menyalahkangunakan profesi”.Serta dalam aturan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
pasal ke 4 yang berbunyi bahwa Wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat
mempengaruhi obyektivitas pemberitaan.Imbalan yang dimaksud disini adalah pemberian
dalam bentuk materi, uang, atau fasilitas kepada wartawan agar menyiarkan atau tidak
menyiarkan berita, baik dalam bentuk tulisan, gambar, siaran atau tayangan.
Permasalahan amplop telah diatur dalam kode etik, sayangnya nilai kode etik dipandang
rendah oleh sebagian orang yang tidak mempunyai rasa malu dan bersalah.Budaya amplop
dikalangan wartawan tidak dianggap sebagai masalah kesejahteraan bukan sebagai maslaah
etik.Pemberian amplop pada wartawan tidak dianggap sebagai penghinaan meremehkan
profesi wartawan, tetapi dinilai sebagai berkah, rasa simpati, bahkan bonus yang semestinya
diterima wartawan.
Jika kesejahteraan wartawan terjaga maka jurnalis bisa bekerja secara profesional dan
tidak tergoda menerima amplop yang bisa merusak independensi jurnalis dan media.
3
Maka lewat penelitian ini, peneliti berusaha membuktikan bahwa tingkat kesehteraan
wartawan akan mempengaruhi fenomena wartawan amplop khususnya di Jawa Timur.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini memiliki maksud (rumusan masalah ) Bagaimana korelasi kesejahteraan
wartawan lokal terhadap fenomena wartawan amplop di Jawa Timur ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini berdasarkan rumusan masalah yang ada adalah untuk
mengetahui korelasi kesejahteraan wartawan lokal terhadap fenomena wartawan amplop di
Jawa Timur.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritik
a. Untuk menambah referensi terhadap kajian jurnalistik yang terkait dengan
kesejahteraan wartawan lokal dan Fenomena wartawan amplop di Jawa Timur.
b. Sebagai bahan acuan dan referensi pada penelitian sejenis yang dilakukan dimasa yang
akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Menambah pemahaman mahasiswa Ilmu Komunikasi dan masyarakat umum tentang
kesejahteraan wartawan yang layak.
b. Memberikan pemahaman kepada calon jurnalis ataupun wartawan tentang fenomena
amplop.
E. Kajian Teori
1. Teori Atribusi
Adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat
pada perilakunya yang tampak (Rakhmat, 2005: 93). Secara garis besar terdapat 2 (dua) jenis
atribusi.Yakni, atribusi kausalitas dan atribusi kejujuran. Byrne dan Baron (Byrne dkk,
20116: 92) mendefinisikan atribusi sebagai proses di mana kita mengidentifikasi penyebab
perilaku orang lain. Bila ingin memahami perilaku orang lain, kita mencoba memahami
faktor yang menyebabkan ia berperilaku seperti itu. Fritz Heider adalah tokoh yang pertama
kali menelaah atribusi kausalitas.Menurut Heider bila kita mengamati perilaku sosial,
pertama -tama kita menentukan penyebabnya, faktor situasional atau personal.Dalam teori
atribusi lazim disebut kausalitas eksternal dan kausalitas internal. Apakah wartawan yang
menerima amplop itu karena memang sifat yang serakah ?atau karena memang gajinya yang
kurang sehingga untuk membeli beras dan susu anak saja tidak cukup ? pada pertanyaan ini
kita mempersoalkan kausalitas internal atau eksternal.
Kita tidak hanya ingin tahu bagaimana orang lain berperilaku, tapi kita ingin memahami
kenapa mereka melakukan itu, karena pada dasarnya teori ini dapat membantu untuk
memprediksi bagaimana mereka melakukannya di masa yang akan datang. Proses
mendapatkan informasi inilah yang disebut dengan atribusi.
Ada tiga cara untuk memjawab pertanyaan mengapa seseorang melakukan hal tersebut,
yakni :
Konsensius, yaitu memperluas sudut pandang kita terhadap stimulus yang yang ada
dengan reaksi orang lain, atau bahkan ada yang berperilaku sama dengan orang yang kita
amati. Semakin tinggi proporsi orang yang bereaksi sama, berarti semakin tinggi
konsesusnya.
Konsistensi, yaitu bagaimana seseorang bereaksi bila dibandingkan dengan orang lain
terhadap stimulus tertentu, dalam artian sejauh mana orang lain merespon stimulus yang
sama dengan cara yang sama. Artinya semakin berbeda reaksi seseorang terhadap reaksi yang
umum maka semakin tinggi tingkat kejujuran atau konsistensi orang tersebut.
Distinctivenes (kekhususan) bagaimana seseorang merespon dengan cara yang sama
atas stimulus yang berbeda.
Kita bisa mengetahui perilaku seseorang disebabkan oleh internal ketika konsensus dan
distinctiveness rendah tapi konsistennya tinggi. Sedangkan jika dipengaruhi eksternal maka
ketiga poin diatas akan sama sama tinggi. Yang terakhir jika dipengaruhi faktor internal dan
eksternal maka konsensus rendah tetapi konsistensi dan distinctiveness tinggi (Byrne dkk,
2006:95).
5
c. Interpersonal self-fulfilling prophecies
Penghargaan akan peforma orang lain dapat menyebabkan orang lain tersebut berperilaku
sesuai harapan atas dirinya.
2. Evaluasi
Evaluasi berkaitan dengan hadiah dan hukuman.Evaluasi berkaitan dengan usaha dan
kemampuan.
3. Motivasi berprestasi
Motivasi prestasi naik, cenderung menilai sukses sebagai hasil dari tingginyakemampuan
dan usaha. Motivasi prestasi turun: cenderung menilai sukses pada faktor eksternal dan
kegagalan pada faktor internal.
2. Atribusi Model Heider
Pemikiran teori ini diawali dengan adanya gagasan mengenai semua individu yang
mencoba untuk memahami perilaku mereka sendiri dengan orang lain, melalui pengamatan
perilaku individu.seorang komunikator seharusnya bisa berpikir logis kenapa dia melakukan
hal hal tersebut. Berpikir, melakukan lalu menjelaskan secara logis adalah sebuah rangkaian
proses yang meliputi proses atribusi.
Heider merumuskan beberapa hal yang terkait dengan teori ini (Littlejohn 2009:102)
yaitu:
Situasional seseorang melakukan suatu hal karena didukung lingkungan
Pribadi
Usaha
Hasrat
Keterlibatan
Perizinan
Teori ini memberikan perhatian pada bagaimana seseorang berperilaku. Teori ini
menjelaskan bagaimana orang menyimpulkan penyebab tingkah laku yang dilakukan dari diri
sendiri atau orang lain dan menjelaskan proses yang terjadi baik didalam diri seseorang
sehingga kita dapat memahami tingkah laku kita dan orang lain.
3. Kesejahteraan subjektif
Kesejahteraan subjektif adalah pengukuran seberapa bahagia seseorang, Diener, dkk
(dalam Robert S. Fieldman, 2013: 239). Menurut pendapat tersebut kesejahteraan subjektif
lebih diartikan sebagai pengukuran kebahagiaan yang dirasakan seseorang.
Menurut (Jati Ariati, 2010:119) adalah persepsi seseorang terhadap pengalaman hidup
yang terdiri dari evaluasi kognitif dan afeksi terhadap hidup dan mempresentasikan ddalam
kesejahteraan psikologis. Seseorang dikatakan memiliki kesejahteraan subjektif yang tinggi
jika dia mengalami kepuasan hidup dan mengalami kegembiraan lebih sering.
Berdasarkan pengertian diatas, bisa dijelaskan bahwa kesejahteraan subjektif mempunyai
komponen komponen sebagai berikut:
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif adalah kepuasan dalam hidup. Kepuasan dalam hidup ini juga
merupakan suatu hasil evaluasi terhadap berbagai domain dalam kehidupan seperti pekerjaan,
pernikahan, dll (Johana, 2011:235). Selain itu komponen kognitif bisa diartikan sebagai
penilaian individu terhadap kepuasan hidupnya secara menyeluruh dan bagaimana seseorang
mengevaluasi kehidupannya.
b. Komponen Afektif
Menurut (Johana,2011: 235) kemampuan yang dimiliki individu untuk menyeimbangkan
diri dalam rangka menikmati hidup. Hal ini dipengaruhi oleh keseimbangan penilaian
individu terhadap mood dan emosi yang dirasakan dalam hidup. Komponen ini terdiri dari
afek positif dan negatif. Afek positif adalah sesuatu yang membahagiakan. Sesuatu yang bisa
membangkitkan mood dan emosi. Afek negatif sebaliknya, dia membangkitkan mood dan
emosi yang tidak menyenangkan.
Dari kedua komponen diatas disimppulkan bahwa komponen kognitif terhadap kepuasan
individu berdasar pada persepsinya sendiri, bukan orang lain. Sedangkan komponen afektif
terdiri dari afek positif dan negatif. Afek positif membangkitkan mood bahagia, sedangkan
afek negatif membangkitkan mood tidak menyenangkan.
7
Memiliki harga diri yang tinggi
Memiliki perasaan terkontrol yang jelas
Optimis
Senang dikelilingi orang lain
Menurut (Mardha dan Hadi, 2010:2) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kesejahteraan subjektif, antara lain:
9
Amplop dikalangan jurnalis memang sangat disayangkan, karena didalam Kode Etik
Wartawan Indonesia pasal ke 5 telah disebutkan bahwa Wartawan Indonesia tidak menerima
suap dan menyalahgunakan profesi. Lalu, diatur juga dalam Kode Etik Aliansi Jurnalis
Independen pasal ke 13 yang berbunyi jurnalis dilaraang menerima sogokan.
Fenomena amplop telah mencoreng pekerjaan mulia sebagai wartawan. Karena salah
satu prinsip utama kerja wartawan adalah independen dan tidak terikat sumber berita. dengan
menerima amplop nwartawan tidak bisa lagi menjaga sikap independen dan kenetralannya.
Tidak akan ada amplop tanpa pamrih. Fokus pekerjaan wartawan adalah kepercayaan
konsumen. Bagaimana wartawan memberikan berita dan informasi yang akurat dan tanpa
kepentingan dari pihak manapun. Maka dari itu kepatuhan pada etika adalah prinsip yang
tidak bisa ditawar dengan alasan apapun.
Ketika fenomena amplop ini makin menjamur dikalangan wartawan, maka hilanglah
ideologis dan indepedensi wartawan tersebut. Lalu apa pengaruhnya ?.pengaruhnya adalah
masyarakat menjadi tidak percaya kepada pesan yang disampaikan wartawan. Padahal,
kepercayaan konsumen harus diutamakan. Tidak peduli dengan kondisi wartawan,
masyarakat ingin menerima pesan yang berdasarkan pada fakta.
maka dari itu, wfenomena amplop ini ada baiknya untuk dibasmi untuk menjaga
independensi dan kenetralan wartawan. Agar ya pesan yang disampaikan wartawan
berdasarkan kepada fakta bukan pesanan.
F. Kerangka berpikir
KESIMPULAN
11
G. Metode Penelitian
a. Metode dan Jenis penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dimana peneliti menggunakan
analisis korelasi Pearson Product Moment (PPM), yaitu dengan mengkorelasikan skor tiap
tiap item dengan skor total dalam skala. Analisis ini untuk mengetahui derajat hubungan dan
kontribusi variabel bebas (Kesejahteraan wartawan) dengan variabel terikat (fenomena
wartawan amplop). Subjek dalam penelitian ini adalah wartawan media cetak lokal di
Surabaya.
Pada penelitian ini pengumpulan data akan dilaksanakan lewat metode pembagian
kuisioner. kuisioner akan berisi skala kesejahteraan subjektif wartawan yang berbentuk dalam
skala Likert.
Validitas akan dilaksanakan dengan menggunakan tekhnik korelasi PPM serta pengujian
hipotesis dengan menggunakan regresi sederhana.
H. Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek, yang mempunyai
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemud ian ditarik
kesimpulan.
Pada penelitian ini, peneliti akan mengambil populasi dari wartawan yang telah
memperoleh sertifikasi di Jawa Timur. Dari data yang diperoleh dari Dewan Pers terdapat
797 wartawan di seluruh Jawa Timur yang telah tersertifikasi.
b. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan mampu mewakili populasi dalam
penelitian. Pengambilan sampel disini akan menggunakan Simple Random Sampling. Teknik
sampling ini ini dipandang cocok oleh peneliti karena dapat mempermudah pemilihan sampel
secara acak namun dengan acuan yang berlaku. Dengan menggunakan rumus Taro Yamane
maka dari 797 orang ditemukan 275 orang yang akan menjadi sampel. Dengan perhitungan
sebagai berikut:
N
n= 2
N d +1
Keterangan : n = ukuran sampel
N = Ukuran Populasi
D = Nilai presisi (disini peneliti menggunakan 5%)
1 = Angka Konstan
N
n= 2
N d +1
797
n=
797 ¿ ¿
797
n=
1,9+1
797
n=
1.9+1
797
n=
2.9
n = 275
jadi sampel yang akan digunakan pada penelitian ini berjumlah 275 orang.
I. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian adalah suatu alat atau fasilitas yang akan digunakan peneliti untuk
mengukur variable penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan lembar angket
kuisioner untuk menguji variable yang telah ditentukan, yakni kesejahteraan dan fenomena
wartawan amplop. Lembar kuisioner adalah lembar angket kepada responden sesuai dengan
maksud dan tujuan penelitian. Lembar kuisioner ini berfungsi untuk memperoleh informasi
yang relevan dengan kredibilitas yang bias dipertanggung jawabkan.
Bentuk item kuisioner yang digunakan adalah item kuisioner tertutup dimana pertanyaan
telah disesuaikan oleh peneliti. Alternative jawaban ditentukan oleh peneliti, sehingga
responden hanya bias menjawab dari kondisi yang paling mendekati dengan responden.
13
J. Variabel Penelitian dan Operasional Konsep
Variabel merupakan ukuran atau ciri ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok yang
berbeda dengan yang dimiliki orang lain. Variabel yang akan digunakan pada penelitian
ini adalah kesejahteraan wartawan sebagai variabel (x) dan fenomena amplop sebagai
variabel (y). adapun operasional konsep yang akan dibahas pada variable adalah sebagai
berikut:
1. Kesejahteraan
Angket ini dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesejahteraan wartawan
lokal. Penyusunan angket ini menggunakan skala likert sehingga responden hanya perlu
memilik pernyataan sangat setuju hingga sangat tidak setuju. Adapun kisi kisinya sebagai
berikut.
Jika Ha : r ≠ 0
Ho : r = 0
15
Daftar Pusaka
BUKU :
- Emka, Zainal Arifin. 2007. Wartawan seharusnya Tepercaya. Surabaya. PT. Alfina
Primatama.
- Sugiyono.2015. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.Bandung.
Alfabeta.
- Muhidin, Sambas Ali.2007. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam
Penelitian.Bandung. Pustaka Setia
- Rakhmat, Jalaluddin.2015 Psikologi Komunikasi. Bandung. PT Remaja Rosdakarta
- Hendratmoko, Heru. 2006. Potret Jurnalis Indonesia di 17 Kota (Survey AJI tahun
2005 tentang media dan jurnalis Indonesia di 17 kota).Jakarta. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI)
- Hamidi, 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang. Penerbitan
Universitas Muhammadiyah Malang
- Tim Penulis AJI, 2003, Menggugat Praktek Amplop Wartawan Indonesia, Jakarta.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
- Rohmadi, Muhammad. 2011, Jurnalistik Media Cetak, Surakarta, Cakrawala Media.
- International Centre of Journalist, 2006, Etika Jurnalisme Debat Global, Jakarta. LA
Times.
- Nurudin, 2009 Jurnalisme Masa Kini, Jakarta. Rajawali Pers.
- Mulyana, Deddy. 2002 Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
- Asmaradhana, Upi. 2008, Pengkhianatan Jurnalis Masa Kini. Jakarta.ISAI
- Sukardi, Wina Armada. 2009, Menakar Kesejahteraan Wartawan, Jakarta. Dewan
Pers.
- Khairil, Hanan, 2011. Kompensasi Wartawan dan Independensi (Studi Deskriptif
Tentang Peranan Kompensasi Wartawan terhadap Independensi Anggota AJI cabang
Medan, Sumatera Utara, Departeme Ilmju Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik Universitas Sumatera Utara.
- Masduki, 2004, Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Yogyakarta, UII Pers
jURNAL :
MEDIA ONLINE :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180114202411-20-268767/aji-jakarta-
upah-layak-jurnalis-pemula-2018-rp79-juta
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180209133557-192-275048/netizen-
soroti-hoaks-dan-kesejahteraan-wartawan
https://www.merdeka.com/peristiwa/aji-indonesia-sebut-kesejahteraan-jurnalis-masih-
jadi-pr-besar.html
https://nasional.kompas.com/read/2016/08/26/21513051/
ini.persoalan.yang.masih.melingkupi.profesi.jurnalis
https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-1022322/aji-bandung-tuntut-perusahaan-
media-lebih-transparan?_ga=2.258021384.30554028.1522272010-
1548017941.1479664350
https://jatim.antaranews.com/lihat/berita/126779/wartawan-pamekasan-suarakan-
peningkatan-kesejahteraan-di-hpn
https://aji.or.id/channel/aji-kota.html
http://dewanpers.or.id/data/sertifikasi_wartawan
17
PROPOSAL SEMINAR
Korelasi Kesejahteraan Wartawan Lokal Terhadap Fenomena Wartawan
Amplop di Jawa Timur
Disusun Oleh :
Anggadia Muhammad
15010098