Jl. H. Ince Husain Dg. Parani No.1 Telp. 0418-21065 – 21066 Pos 92211
Pattallassang Kab. Takalar
KEPUTUSAN
DIREKTUR BLUD RSUD H.PADJONGA DAENG NGALLE
Nomor : 5.a/ 445/RSUD-TKL/VIII/2018
TENTANG
KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PELAYANAN FARMASI
RSUD HAJI PADJONGA DAENG NGALLE
Ditetapkan Di : Takalar
Pada Tanggal : .4 Agustus 2018
LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR
RSUD HAJI
PADJONGA DAENG NGALLE
NOMOR : 5.a/445/RSUD-TKL/VIII/2018
TENTANG :
II. Pemilihan
1. Pemilihan terhadap sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang digunakan di
RSUD H Padjonga Daeng Ngalle harus dilakukan secara cermat dengan
mempertimbangkan azas cost effectiveness
2. Komite Farmasi dan Terapi harus memilih produk obat yang menunjukkan
keunggulan dibandingkan produk lain yang sejenis dari aspek khasiat,
keamanan, ketersediaannya dipasaran, harga dan biaya pengobatan yang
paling murah. Proses pemilihan obat mengikuti Standar Prosedur Operasional
Penyusunan Formularium.
3. Penyediaan jenis sediaan farmasi, alkes dan BMHP harus dibatasi untuk
mengefisienkan pengelolaannnya dan menjaga kualitas pelayanan.
4. Daftar obat yang telah disetujui dan ditetapkan oleh direktur RSUD H
Padjonga Daeng Ngalle untuk digunakan dalam pelayanan kesehatandi
RSUD H Padjonga Daeng Ngalle tertuang dalam buku formularium .
5. Proses penyusunan dan revisi formularium (sistem formularium) harus
dirancang agar dihasilkan formularium yang selalu mutakhir dan dapat
memenuhi kebutuhan pengobatan yang rasional. Revisi formularium dilakukan
setiap tahun.
6. Kebijakan dan prosedur sistem formularium harus dimasukkan sebagai
salah satu peraturan yang arus dipatuhi dan dilaksanakan oleh semua staf
medik.
7. KSM mengajukan usulan obat formularium ke Komite Farmasi dan Terapi
berdasarkan fakta bahwa obat tersebut tercantum di dalam pedoman
praktek klinik yang diterbitkan oleh Kelompok Satuan Medik. Oleh karena
itu setiap penggantian obat atau rejimen terapi di dalam pedoman praktek
klinik harus diberitahukan kepada Komite Farmasi dan Terapi.
8. Setiap obat baru yang dihasilkan untuk masuk dalam formularium harus
dilengkapi dengan informasi tentang kelas terapi, indikasi terapi, bentuk
sedian dan kekuatan, bioavaibilitas dan farmakokinetik, kisaran dosis, efek
samping dan efek toksik, perhatian khusus, kelebihan obat baru
dibandingkan dengan obat lama yang sudah tercantum didalam formularium,
uji klinik atau kajian epidemiologi yang mendukung keunggulannya,
perbandingan hargadan biaya pengobatan dengan obat atau cara
pengobatan terdahulu kecuali y ang memiliki data bioekivalensi (BE) dan / atau
rekomendasi tingkat evidence based medicine (EBM).
9. Obat yang terpilih dalam formularium adalah obat yang memperlihatkan
tingkatan bukti ilmiah yang tertinggi untuk indikasi dan keamanannya. Bila dari
segolongan obat yang sama indikasinya memperlihatkan tingkatan bukti
ilmiah khasiat dan keamanan yang sama tinggi pertimbangan selanjutnya
adalah dalam hal ketersediaannnya dipasaran, harga dan biaya pengobatan
yang paling murah.
10. Suatu obat harus dihapuskan dari formularium jika obat tersebut sudah
tidak beredar lagi di pasaran, tidak ada lagi yang meresepkan atau sudah ada
obat lain yang lebih cost effectiveness.
11. Pada kasus dimana diperlukan suatu obat yang tidak tercantum dalam
formularium, maka dokter dapat mengajukan permintaan khusus dengan
mengisi Formulir Usulan Pencantuman Nama Obat dalam Formularium
yang diajukan kepada KFT selanjutnya KFT akan memutuskan apakah
penyediaan obat tersebut dapat disetujui atau tidak. Jika dapat disetujui, maka
Instalasi Farmasi akan melanjutkan proses pengadaannya. Proses
permintaan obat non formularium mengikuti Standar Prosedur Operasional
Permintaan Obat Non Formularium.
12. Pada keadaan dimana obat yang diperlukan tidak tersedia, maka Instalasi
Farmasi akan menyampaikan pemberitahuan kepada dokter penulis resep
dan menyarankan obat pengganti jika ada.
13. Sosialisasi Formularium dilakukan oleh KFT melalui presentasi dihadapan
staf medis.
14. Buku Formularium yang sedang berlaku wajib tersedia disetiap lokasi
pelayanan di ruang rawat, poliklinik, gawat darurat, ruang dokter dan depo
farmasi. Setiap dokter harus memiliki buku formularium yang menjadi acuan
selama melakukan praktek di RSUD H Padjonga Daeng Ngalle.
15. Pengawasan kepatuhan pemkaian obat sesuai formularium dilakukan
secara berjenjang dimulai dari bagian, secara berkala dan berdasarkan data
penggunaan obat dari Instalasi Farmasi.
IV. Penerimaan
1. Penerimaan barang dan jasa di RSUD H Padjonga Daeng Ngalle dilakukan
oleh Panitia Penerima Hasil Pekerjaan yang ditunjuk oleh Direktur . RSUD H
Padjonga Daeng Ngalle.
2. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang
diterima harus sesuai dengan Kontrak/SPK/Surat Pesanan. Jika Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai tersebut tidak
sesuai dengan Kontrak/SPK/Surat Pesanan, maka tidak dapat diterima/ditolak.
V. Penyimpanan
1. Area penyimpanan sediaan farmasi, alkes dan BMHP tidak boleh dimasuki
oleh petugas selain petugas farmasi.
2. Penyimpanan sediaan farmasi, alkes dan BMHP harus dilakukan sesuai
persyaratan dan standar kefarmasian untuk menjamin stabilitas dan
keamanannya serta memudahkan dalam pencariannya untuk mempercepat
pelayanan.
3. Khusus bahan berbahaya seperti bersifat mudah menyala atau terbakar,
eksplosif, radioaktif, oksidator/reduktor, racun, kerosif, karsinogenik,
eratogenik, mutagenik, iritasi dan berbahaya lainnya harus disimpan
terpisah dan disertai tanda bahan bahayanya.
4. Obat narkotika disimpan dalam lemari terpisah dengan pintu terkunci.
Untuk penyimpanan narkotika digudang dan depo farmasi, pintu berkunci
ganda
5. Obat jadi dan bahan baku harus diberi label yang mencantumkan
kandungan, tanggal kadaluarsa dan peringatan penting.
6. Obat high alert (Obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi) harus
disimpan ditempat terpisah dan diberi label khusus mengikuti Standar
Prosedur Operasional Penyimpanan Obat High Alert.
7. Elektrolit pekat yang termasuk dalam daftar obat high alert tidak boleh berada
diruang rawat, kecuali di kamar operasi dan Unit Perawatan Intensive (ICU).
Penyimpanan ditempat terpisah dengan akses terbatas dan harus diberi
label yang jelas untuk menghindari penggunaan yang tidak disengaja.
8. Obat dengan tampilan mirip atau bunyi mirip (look alike sound alike/LASA)
disimpan tidak berdekatan dan diberi label LASA.
9. Sediaan farmasi, alkes dan BMHP dan tempat penyimpanannya harus
diperiksa secara berkala.
10. Pasien tidak diperbolehkan membawa sediaan farmasi, alkes dan BMHP dari
luar RSUD H Padjonga Daeng Ngalle untuk digunakan selama perawatan di
RSUD H Padjonga Daeng Ngalle.
11. Produk nutrisi disimpan secara terpisah dalam kelompok nutrisi sesuai
dengan aturan penyimpanan yang ditetapkan produsen.
12. Obat yang bersifat radioaktif disimpan sesuai persyaratan penyimpanannya.
13. Obat penelitian disimpan terpisah dari obat lain dan dikelola tersendiri.
14. Perbekalan farmasi emergensi disimpan dalam troli/kit/lemari emergensi
terkunci, diperiksa, dipastikan selalu tersedia dan harus diganti segera
jika jenis dan jumlahnya sudah tidak sesuai lagi dengan daftar.
15. Di Unit pelayanan yang tidak memiliki depo farmasi 24 jam maka
pelayanan farmasi di alihkan depo farmasi IGD.
16. Sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang tidak digunakan, rusak atau
kadaluarsa harus dikembalikan ke Instalasi Farmasi sesuai Standar
Prosedur Operasional Pengembalian Perbekalan Farmasi.
17. Obat yang ditarik dari peredaran oleh pemerintahatau pabrik pebuatnya
harus segera dikembalikan ke Instalasi Farmasi sesuai Standar Prosedur
Operasional Penarikan Kembali Sediaan Farmasi, Alkes dan BMHP.
VI. Peresepan
1. Yang berhak menulis resep adalah staf medis purnawaktu, dokter tamu dan
dokter PPDS yang bertugas dan mempunyai surat izin praktek di RSUD H
Padjonga Daeng Ngalle.
2. Yang berhak menulis resep/kartu instruksi obat narkotika adalah dokter
yang memiliki nomor SIP (surat Izin Praktek) atau SIPK (Surat Izin Praktek
Kolektif).
3. Penulis resep harus melakukan penyelarasan obat (medication reconciliation)
sebelum menulis resep. Penyelarasan obat adalah membandingkan antara
daftar obat yang sedang digunakan pasien dan obat yang akan diresepkan
agar tidak terjadi duplikasi atau terhentinya terapi suatu obat (omission).
4. Penulis resep harus memperhatikan kemungkinan adanya kontraindikasi,
interaksi obat dan reaksi alergi.
5. Terapi obat dituliskan dalam rekam medik hanya ketika obat pertama kali
diresepkan, rejimen berubah atau obat dihentikan. Untuk terapi obat
lanjutan pada rekam medik dituliskan “terapi lanjutkan” dan pada kardeks
(catatan pemberian obat) tetap dicantumkan nama obat dan rejimennya.
6. Resep ditulis secara manual pada blangko lembar resep/kartu instruksi obat.
7. Tulisan harus jelas dan dapat dibaca, menggunakan istilah dan singkatan
yang lazim sehingga tidak disalahartikan.
8. Dokter harus mengenali obat obat yang masuk dalam daftar look alike
sound alike (LASA) yang diterbitkan oleh Instalasi Farmasi untuk menghindari
kesalahan pembacaan oleh tenaga kesehatan lain.
9. Obat yang diresepkan harus sesuai dengan Formularium RSUD H Padjonga
Daeng Ngalle.
10. Alat kesehatan yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum
dalam Daftar Alat Kesehatan RSUD H Padjonga Daeng Ngalle.
11. Jenis-jenis resep yang dapat dilayani : Resep pertama pasien masuk, resep
reguler, resep cito, resep pengganti emergensi.
12. Penulisan resep harus dilengkapi / memenuhi hal-hal sebagai berikut :
- Nama pasien
- Berat badan pasien (untuk pasien anak)
- Nomor rekam medik
- Nama dokter
- Tanggal penulisan resep
- Nama ruang pelayanan
- Memastikan ada tidaknya riwayat alergi obat dengan mengisi kolom
riwayat alergi obat pada bagian kanan atas lembar resep
- Tanda R/ pada setiap sediaan
- Untuk nama obat tunggal ditulis dengan nama generik. Untuk obat
kombinasi ditulis sesuai nama dalam formularium, dilengkapi dengan
bentuk sedian obat (seperti injeksi, tablet, kapsul, salep) serta
kekuatannya (seperti 500 mg, 1 gram).
- Jumlah sediaan
- Bila obat berupa racikan dituliskan nama setiap jenis//bahan obat dan
jumlah bahan obat (untuk bahan padat mikrogram, miligram, gram dan
untuk cairan tetes, mililiter, liter).
- Pencampuran beberapa obat jadi dalam satu sediaan tidak dianjurkan
kecuali sediaan dalam bentuk campuran tersebut telah terbukti aman dan
efektif.
- Penggunaan obat off-label (penggunaan obat yang indikasinya diluar
indikasi yang disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI)
harus berdasarkan panduan pelayanan medik yang ditetapkan oleh
Kelompok Satuan Medik.
- Aturan pakai (frekuensi, dosis, rute pemberian). Untuk aturan pakai jika
perlu atau prn atau “pro re nata” harus dituliskan dosis maksimal dalam
sehari.
13. Pasien diberi penjelasan tentang efek tidak diharapkan yang mungkin
terjadi akibat pengggunaan obat.
14. Perubahan terhadap resep yang telah diterima oleh apoteker/ asisten
apoteker harus diganti dengan resep baru.
15. Resep yang tidak memenuhi kelengkapan yang ditetapkan tidak akan
dilayani oleh farmasi.
16. Jika resep tidak dapat dibaca atau tidak jelas maka perawat/ apoteker/ asisten
apoteker yang menerima resep tersebut harus menghubungi dokter penulis
resep sesuai dengan Standar Prosedur Operasional Penanganan Resep yang
Tidak Jelas.
17. Instruksi lisan (verbal Order) harus diminimalkan. Instruksi lisan untuk obat
high alert tidak dibolehkan kecuali dalam situasi emergensi. Instruksi lisan
tidak dibolehkan saat dokter berada di ruang rawat. Pelaksanaan instruksi
lisan mengikuti Standar Prosedur Operasional Instruksi Lisan.
18. Setiap obat yang diresepkan harus sesuai dengan yang tercantum dalam
rekam medik.
VII. Penyiapan
1. Yang dimaksud dengan penyiapan obat adalah proses mulai dari Resep
diterima oleh Apoteker/Asisten Apoteker sampai dengan obat diterima oleh
perawat di ruang rawat untuk diberikan kepada pasien rawat inap, atau
sampai dengan obat diterima oleh pasien/keluarga pasien rawat jalan dengan
jaminan bahwa obat yang diberikan tepat dan bermutu baik. Yang termasuk
juga dalam penyiapan obat adalah pencampuran obat suntik tertentu,
penyiapan obat sitostatika dan nutrisi parenteral.
2. Sebelum obat disiapkan, Apoteker/Asisten Apoteker harus melakukan
kajian/telaah terhadap Resep/Kartu Instruksi Obat yang meliputi:
a. Ketepatan obat, dosis, frekuensi, rute pemberian
b. Duplikasi terapeutik
c. Alergi
d. Interaksi obat
e. Kontraindikasi
f. Kesesuaian dengan pedoman pelayanan/peraturan yang berlaku, dan
menghubungi dokter penulis resep jika ditemukan ketidakjelasan atau
ketidaksesuaian. Kajian/telaah tidak perlu dilakukan pada keadaan
emergensi, di ruang operasi dan tindakan intervensi diagnostik.
VIII. Pemberian
1. Yang berhak memberikan obat kepada pasien adalah dokter atau
perawat yang sudah memiliki kompetensi dan mempunyai surat izin
praktik di RSUD H Padjonga Daeng Ngalle.
2. Pemberian obat kepada pasien harus sesuai dengan Standar
Prosedur Operasional Pemberian Obat.
3. Pada pemberian obat secara infus, label nama obat ditempelkan pada
botol infus atau syringe pump. Apabila obat yang diberikan lebih dari satu,
maka label nama obat ditempelkan pada setiap syringe pump dan di setiap
ujung jalur selang.
4. Dokter peserta didik atau perawat peserta didik dapat memberikan obat di
bawah supervisi Instruktur Klinik, kecuali obat-obat khusus dan High Alert.
IX. Pemantauan
1. Pemantauan efek terapi dan efek yang tidak diharapkan dari obat harus
dilakukan pada setiap pasien.
2. Komite Farmasi dan Terapi ditingkat Kelompok Satuan Medik (KSM)
bertugas memantau efek samping obat.
3. Obat yang diprioritaskan untuk dipantau efek sampingnya adalah obat baru
yang masuk Formularium RSUD H Padjonga Daeng Ngalle dan obat yang
terbukti dalam literature menimbulkan efek samping serius.
4. Pemantauan efek samping obat perlu didokumentasikan dalam Formulir
Pelaporan Efek Samping Obat dan dicatat dalam rekam medik.
5. Efek samping yang harus dilaporkan ke Komite Farmasi dan Terapi adalah
yang berat, fatal, meninggalkan gejala sisa sesuai Standar Prosedur
Operasional Pemantauan Efek Samping Obat.
6. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat dikoordinasikan oleh Komite
Farmasi dan Terapi RSUD H Padjonga Daeng Ngalle
7. Petugas pelaksana pemantauan dan pelaporan efek samping obat adalah
dokter, perawat, apoteker di ruang rawat atau poliklinik.
8. Komite Farmasi dan Terapi RSUD H Padjonga daeng Ngalle melaporkan hasil
evaluasi pemantauan ESO kepada Kepala Bidang Pelayanan Medik dan Non
Medik dan menyebarluaskannya ke seluruh Kelompok Satuan
Medik/Instalasi/Unit pelayanan di RSUD H Padjonga Daeng Ngalle sebagai
umpan balik.
X. Kesalahan Obat
1. Kesalahan obat adalah kesalahan yang terjadi pada tahap penulisan
resep, penyiapan/peracikan atau pemberian obat baik yang menimbulkan efek
merugikan ataupun tidak.
2. Setiap kesalahan obat yang terjadi, wajib dilaporkan oleh petugas yang
melaporkan/terlibat langsung dengan kejadian tersebut atau atasan
langsungnya.
3. Pelaporan dilakukan secara tertulis menggunakan Formulir Laporan Insiden
ke Tim Keselamatan Pasien RSUD H Padjonga Daeng Ngalle.
4. Kesalahan obat harus dilaporkan maksimal 2 x 24 jam setelah d itemukannya
insiden.
5. Tipe kesalahan yang dilaporkan:
a. Kejadian Nyaris Cedera (KNC): terjadinya insiden yang belum terpapar
ke pasien
b. Kejadian Tidak Cedera (KTC): suatu kejadian insiden yang sudah terpapar
ke pasien tetapi tidak menimbulkan cedera.
c. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD): suatu kejadian insiden yang
mengakibatkan cedera pada pasien.
6. Kesalahan obat dilaporkan dan ditindaklanjuti mengikuti Standar Prosedur
Operasional Pelaporan Insiden dan Standar Prosedur Operasional
Pelaporan Kesalahan Obat.
7. Komite Mutu bertanggung jawab untuk menindaklanjuti laporan kesalahan obat.
3. Dalam setiap kali rapat Komite Farmasi dan Terapi, statistik perencanaan
dan pemakaian obat harus disajikan dan didiskusikan untuk mengetahui
permasalahan pengadaan dan penggunaan obat yang sedang terjadi.
4. Dari data statistic obat dapat dilakukan analisis Pareto (analisis ABC).
Pemecahan masalah dimasukkan pada kelompok obat yang menyerap
biaya tinggi (Kelompok A) dengan sasaran penekanan biaya secara bermakna.
5. Kajian penggunaan obat harus berlanjut dengan penentuan
strategi/intervensi yang bertujuan untuk memecahkan masalah obat.
Intervensi yang dapat dilakukan untuk memajukan penggunaan obat yang
rasional yaitu: edukasi (seminar, diskusi kelompok, bimbingan perorangan,
pelayanan informasi obat), tata laksana (audit, umpan balik), dan
pembatasan (penghentian otomatis, pembagian lini penggunaan obat).
Ditetapkan Di : Takalar