Anda di halaman 1dari 6

Merah Putih Tercinta

Merah putih tercinta


Berkibar mewakili rasa
Selalu indah dipandang mata
Membuat hatiku bangga

Merah putih tercinta


Ingin aku berteriak merdeka
Terus berjuang dan berdaya upaya
Mengabdi untuk diri, keluarga dan negara

Merah putih tercinta


Aku bangga berdiam di Nusantara
Aku bangga menjadi anak Indonesia
Aku bahagia menjadi tunas muda

Merah putih tercinta


Aku akan berjuang sepenuh raga
Mengabdi sepenuh jiwa
Berdoa dengan setulus rela
HARI MERDEKA

Tujuh belas Agustus tahun empat lima


Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka


Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita

Tujuh belas Agustus tahun empat lima


Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka


Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita

Tujuh belas Agustus tahun empat lima


Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka

Sekali merdeka tetap merdeka


Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita
Kita tetap setia tetap sedia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap sedia
Membela negara kita
Bendera Merah Putih yang Lusuh

Matahari sudah kembali terbit. Hari itu almanak sudah duduk di 10 Agustus
2022, tapi entah mengapa Pak Udin belum kunjung memajang bendera. Aneh rasanya,
padahal para tetangganya bahkan seluruh warga desa sudah menyilakan bendera merah
putih untuk berkibar di depan halaman rumah.
Sehari-hari Pak Udin memang sibuk. Sebagai seorang kurir, setiap saat ia harus
pergi ke sana kemari demi mengantarkan paket dan kiriman yang sebelumnya dipesan
oleh pembeli secara online.
Tapi, ya, jangankan Pak Udin. Semua orang juga sibuk, kok. Dan rasanya siapa pun
yang tinggal di Bumi Pertiwi tercinta akan tergerak untuk memasang bendera
kebangsaan RI untuk menyambut momentum kemerdekaan. Tidak terkecuali, Pak Udin
pasti lebih mengerti.
Kebetulan hari itu adalah hari Minggu. Pak Udin diberi libur kerja dan sekarang ia
sedang santai bermain dengan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 tahun.
Ya, anak beliau adalah seorang laki-laki yang sedang duduk di kelas 3 SD. Namanya
Siddiq.
“Ayah, Ayah. Mengapa kok di halaman rumah kita tidak dipajang bendera merah putih?
Kan sebentar lagi ada perayaan HUT ke-76 RI?”
“Tidak apa-apa, Nak. Toh sekarang jalan raya sedang sepi karena pandemi corona. Para
tetangga juga jarang bertamu. Tambah lagi dengan Ayah, tiap hari Ayah bepergian ke
sana kemari. Sudah puas rasanya melihat kibaran bendera.”
“Tapi Siddiq malu, Ayah! Masa teman-temanku bilang bahwa keluarga kita tidak mau
mengenang jasa para pahlawan yang dulu berjuang melawan penjajah.”
“Lho, Siddiq kan setiap hari Senin melaksanakan upacara, kemudian juga mengheningkan
cipta. Semua itu dilakukan untuk mengenang jasa para pahlawan, kan? Cukup. Ayah mau
beli cemilan sebentar.”
Lagi-lagi Siddiq tidak puas dengan jawaban Pak Udin. Dirinya semakin bingung dan
gelisah, entah apa alasan yang bakal ia katakan kepada guru maupun teman-temannya.
Ah, sudah! Itu urusan nanti. Siddiq pun menenangkan hatinya dengan membaca buku
motivasi dan kisah perjuangan para pahlawan kemerdekaan.
Lima belas menit berlalu, Pak Udin pun sudah tiba di rumah sembari membawa sebungkus
gorengan. Ketika ingin menyapa Siddiq, tiba-tiba Sang Ayah terdiam di sudut pintu
seraya meneteskan air mata.
Pak Udin tak kuasa mendengar kata demi kata yang dibacakan oleh Siddiq dengan suara
lantang.
“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segitiga warna. Selama
masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan
mengucurkan sebanyak-banyak keringat. Tertanda: Ir. Soekarno.”
Ayah sekaligus kurir ini menyadari bahwa dirinya sudah menyombongkan diri, merasa
telah berbuat baik, menganggap profesi kurir sebagai seseorang yang paling berjasa di
Bumi Indonesia. Padahal, perjuangan para pahlawan dahulu sungguh penuh dengan darah.
Tanpa berpikir panjang, Pak Udin pun segera mencari bendera merah putih yang selama
ini tersimpan di lemari.
Bendera tersebut ternyata masih baru dan warnanya sangat cerah. Tapi sayang,
karena tidak disilakan berkibar penampilannya jadi lusuh.
Bukan lusuh warna benderanya, tapi hati Pak Udin.
Lusuhnya bendera bisa dibersihkan dengan cara dicuci, tapi lusuhnya hati siapa yang
tahu.
Butuh kerelaan untuk memahami, menghargai, merenungi, dan menghayati nilai-nilai
kemerdekaan Indonesia. Salam Merdeka!
Matahari masih termangu di sudut kelam. Hari ini hari Senin, waktu masih menunjukkan
pukul 05.00 Subuh. Jalanan masih sepi, hanya ada langkah kaki jamaah yang belum lama
keluar dari masjid.
Di pinggiran jalan raya, kisahnya sangat berbeda. Tiada matahari, tiada bulan, tapi entah
mengapa di sana ada cahaya.
Bersama desiran angin fajar yang gigil, terdengar suara goresan sapu lidi di aspal. Dari
dekat, tampak seorang Wanita tua sedang menepikan sampah dan dedaunan yang
mengusik jalan.
Semakin mendekat, tampaknya hiasan senyum yang berbalut dengan keringat dingin.
Wanita tua itu semakin bersemangat.
“Sebentar lagi Hari Kemerdekaan Indonesia tiba!” begitu kira-kira teriakan yang
tergambar dari raut wajahnya.
Tujuh belas Agustus masih dua hari lagi. Sekarang suasananya pun sedang pandemi.
Sesekali angin mengusik daun dan sampah-sampah mengotori. Padahal orang-orang di
rumah. Sepi.
Tapi kepala orang kita tidak tahu. Ada-ada saja pasukan keras hati yang dengan
entengnya membuang sampah.
Walau begitu, sungguh tak mengapa. Sampah dan kotornya tepi jalan menjadi ladang
rezeki bagi wanita tua itu. Ia merasa beruntung dan merdeka walau hanya bekerja
sebagai tukang sapu jalan.
Setidaknya, ia bisa selalu bangun pagi. Jauh sebelum pagi, tepatnya saat fajar
akan membuka mata. Wanita tua itu merasa sehat, dan hatinya juga semakin cerah
ketika melihat sudut-sudut jalan yang semakin bersih.
Baginya, tepi jalan yang bersih adalah bagian dari kemerdekaan. Wanita tua itu merasa
iri dengan para pahlawan yang berjuang siang-malam pagi-petang bermodalkan bambu
runcing hingga bertumpah darah.
Sedangkan dirinya? Hanya bermodalkan sapu yang setiap hari lidinya terus bertambah
patah.
Tiada alasan baginya untuk mengeluh. Setidaknya, kucuran keringat saat menyapu di tepi
jalan adalah salah satu perjuangan kemerdekaan yang bisa ia lakukan. Setidaknya untuk
saat ini.

Salam Merdeka!
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan Kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo
jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05


Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta.

Anda mungkin juga menyukai