Untuk apakah kita perlu organisasi? Seringkali jawabannya klise : untuk mencapai tujuan
tertentu. Barangkali kita perlu memperbaiki pertanyaannya, misalnya ‘apakah yang ingin
dicapai dari proses pengorganisasian?’ Paling tidak ada 4 macam hal yang seharusnya
dicapai, yaitu :
1. tugas-tugas yang diperlukan dilakukan
2. orang-orang yang diperlukan berada pada tempatnya
3. terdapat jalur komunikasi yang sesuai
4. iklim organisasi mendorong pencapaian hasil yang diinginkan
Banyak sekali organisasi mencoba menyesuaikan diri dengan tantangan dan peluang yang
ada padanya dengan mengubah-ubah struktur (bagan formal) organisasi. Terkadang hal
itu berhasil, namun seringkali tidak. Mengapa demikian, karena mengelola organisasi
tidak sama dengan ‘mengelola struktur organisasi’. Ada banyak unsur di luar struktur
organisasi yang menjadi unsur pembentuk organisasi yang sebenarnya bekerja.
Untuk melihat organisasi secara utuh paling tepat jika kita melihat organisasi sebagai
sebuah sistem. Ilustrasi berikut akan memperjelasnya :
Kospin JX adalah sebuah koperasi simpan pinjam dengan volume usaha Rp 15 Miliar
dengan karyawan 70 orang. Organisasi dipimpin 2 orang Direktur dan 3 manager : (1)
manager kredit, (2) manager tabungan, dan (3) manager operasional & administrasi.
Pada suatu waktu manajer kredit Kospin JX bermaksud meningkatkan portofolio
pinjaman pada nasabah baru (anggota yang belum meminjam, baru sebatas menabung),
dengan potensi peminjam baru sekitar 1000 orang. Ia memilih untuk memberikan
insentif kepada para petugas kredit agar program tersebut dapat dicapai. Namun
keputusan seperti itu kemungkinan memiliki konsekuensi yang tidak diantisipasi.
Misalnya, jika para petugas kredit menghabiskan seluruh waktunya untuk solisitasi
nasabah baru maka mereka akan kurang memelihara anggota peminjam lama. Kualitas
pinjaman lama menjadi menurun ditambah kekecewaan pelanggan lama yang sulit
mengontak account offficernya. Bagian operasional kemungkinan dibebani berlebihan
dengan meningkatnya proses kredit baru di luar kapasitas mereka (apalagi mereka tidak
mendapat bagian dari insentif tersebut), hal tersebut juga berdampak pada nasabah baru
yang merasa prosesnya tidak secepat yang dijanjikan. Secara keseluruhan program
tersebut justru mengakibatkan penurunan kinerja dengan adanya ketegangan antar bagian
serta komplain dari nasabah.
Melalui pemahaman akan organisasi sebagai sebuah sistem, manajer kredit tersebut akan
dapat mengantisipasi baik pengaruh fungsional maupun disfungsional dari sebuah
perubahan satu bagian terhadap bagian lainnya. Manajer kredit melihat perubahan itu
fungsional karena jumlah nasabah baru meningkat, sedangkan manajer operasi dan
nasabah lama melihatnya sebagai disfungsional karena proses administrasi terbebani
berlebihan dan pelayanan memburuk.
Tugas Orang
sistem sistem seleksi &
pengukuran pengembangan
Jadi, istilah “right man in the right place (job)” baru menjelaskan sebagian saja dari
fenomena di atas. Yang lebih rumit dan tentunya yang lebih tepat lagi adalah mencari
kesesuaian antara ketiga faktor tersebut tersebut secara bersamaan. Mari kita lihat satu
persatu.
2. Sistem pengukuran. Ada beberapa kader muda di bidang perkreditan direkrut dan
prestasinya diukur serta diberi umpan balik setiap 3 bulan sekali sebagaimana semua
pegawai disana diperlakukan. Karenanya setiap orang baru yang sebenarnya haus
bimbingan secara terus menerus harus menunggu 3 bulan berikutnya jika dia ingin
mengetahui perkembangan kemampuannya. Seharusnya manajemen mengubah pola
evaluasi kinerja bagi orang yang baru agar berbeda dibanding staf yang lama, karena
memang orang-orang tersebut membutuhkannya.
3. Sistem imbal jasa (reward system). Organisasi harus memastikan adanya kesesuaian
antara sistem imbal jasa dengan (pandangan, harapan) karyawan tentang apa yang
pantas mereka terima sebagai imbal jasa. Imbal jasa itu sendiri tidak selalu harus
berbentuk uang, bisa juga training, promosi, penugasan yang diperluas, dan lain
sebagainya. Manajemen LKM harus melihat setiap orang secara berbeda, agar imbal
jasa yang diberikan (yang sesuai dengan kemampuan perusahaan) juga dipandang
sesuai oleh yang menerimanya. Kata kuncinya disini adalah keadilan.
4. Sistem seleksi dan pengembangan. Organisasi akan bermasalah jika sistem tersebut
tidak menyeleksi orang yang tepat untuk tugas-tugas kritis dan tidak mengembangkan
karyawan dengan sesuai.
1. Struktur. Sifat tugas yang rutin, bisa diprediksi, dan jelas akan lebih baik jika dikelola
dengan aturan formal : prosedur, uraian tugas berdasarkan pekerjaan (lihat box 11b).
Akan tetapi kalau sifat tugasnya dinamis, berubah-ubah, misalnya manajer pemasaran,
maka lebih baik uraian tugas dilakukan berdasarkan tanggung jawab (lihat box 11c)
2. Sistem pengukuran. Misalnya manajemen menugaskan sekelompok orang untuk
bekerja secara tim dalam membuat produk tabungan yang baru dan meneliti responsnya
dari masyarakat. Dalam tim terlibat staf pemasaran yang memang tugasnya
meningkatkan jumlah tabungan, juga ada staf operasi yang memodifikasi program
komputer agar produk baru tersebut bisa diakomodasi oleh sistem yang ada dan
menyiapkan prosedur operasional dan perangkatnya seperti formulir, buku tabungan
jenis baru dan lain sebagainya. Namun selama ini peningkatan jumlah tabungan hanya
dihitung sebagai prestasi di bagian pemasaran, sehingga keberhasilan tim akhirnya
hanya dihitung sebagai prestasi staf pemasaran saja. Sistem pengukuran yang ada tidak
mengantisipasi kerja tim ini, sehingga akan menimbulkan hambatan bagi pekerjaan
berikutnya yang bersifat tim karena timbul keengganan keterlibatan dari beberapa
pihak yang merasa tidak diuntungkan oleh program seperti itu.
3. Sistem imbal jasa. Ketidaksesuaian yang paling umum antara tugas dan sistem imbal
jasa terjadi ketika perilaku yang tidak penting diberi imbalan, sementara perilaku yang
penting tidak, dan ketika orang-orang diberi imbalan untuk yang tidak bisa mereka
kendalikan serta tidak diberi imbalan untuk tugas-tugas di bawah pengendalian mereka.
(lihat box 11.a. Para Manajer Korban BOPO)
4. Sistem seleksi dan pengembangan. Organisasi harus memiliki sistem seleksi dan
pengembangan yang mampu mengantisipasi kesesuaian disini. Seringkali
ketidaksesuaian terjadi ketiga tugas-tugas berubah sementara sistem seleksi dan
pengembangannya tidak.
Hasilnya adalah, target nilai BOPO secara total terpenuhi (dan berarti manajer operasi
mendapat imbalan) tapi para manajer di profit center merasa bahwa sesungguhnya
mereka bisa berkembang dan mencapai target lebih baik (misalnya dengan
mempergencar promosi atau meluncurkan produk baru), namun terhalang oleh ukuran
BOPO yang melihat data historis, bukan apa yang bisa diperoleh. Sehingga secara
keseluruhan organisasi tidak melakukan ‘investasi’ bagi perkembangan jangka yang
lebih panjang.
Sumber : wawancara
Perangkat Untuk Membuat Kesesuaian (Metoda Integrasi)
Dengan meneliti setiap variabel - tugas, rancangan organisasi dan orang -, menilai
kesesuaian diantara mereka, dan menganalisis masalah secara terinci, para manajer LKM
biasanya dapat menarik kesimpulan yang cerdas tentang sumber atau penyebab masalah
organisasi, dan lalu dapat melakukan perubahan yang diperlukan untuk membetulkannya.
Mengingat ukuran LKM bisa sangat bervariasi, mulai beraset puluhan juta sampai ratusan
miliar, maka penulis mencoba terlebih dahulu menarik kasus-kasus umum yang terjadi di
LKM berskala sedang-besar, katakanlah yang beraset Rp 1 Miliar ke atas dan jumlah
personil LKM minimal 20 orang. Untuk LKM yang berskala kecil, tentunya banyak kasus
di atas kurang aplikatif mengingat jumlah karyawan terlibat bisa hanya 4-5 orang. Namun
itu berarti pola penyesuaian bagi masing-masing –tugas, orang dan rancangan organisasi-
menjadi lebih mudah dan permasalahan yang ditimbulkannya terdeteksi lebih awal,
sehingga seringkali kasus-kasus yang disampaikan tidak perlu sampai terjadi.
Budaya Organisasi
Dalam praktek, tentu banyak hal yang lebih kompleks dari sekedar bagan kesesuaian yang
telah dikemukakan. Ada beberapa konsepsi yang sering dibahas di tataran manajemen
perusahaan, khususnya korporasi besar. Diantaranya adalah : budaya organisasi, iklim
organisasi, perilaku organisasi serta kepemimpinan. Dalam konteks LKM sementara ini
kita cukup melihat budaya organisasi sebagai tinjauan awal.
kepentingan
pemegang saham
Budaya
Organisasi
perilaku
manajemen
Menguraikan seluruh faktor di atas tentunya akan sangat panjang lebar. Sebagai contoh
misalnya kematangan organisasi. Pada saat-saat awal pendirian, budaya organisasi
mungkin berciri utama kekeluargaan, lengkap dengan pendekatan partisipatif yang
menekankan fleksibilitas, kreativitas dan inovasi. Ketika LKM berkembang, struktur yang
lebih besar perlu diberlakukan. Apalagi kemudian jika LKM diformalkan (misalnya dari
Badan Kredit Desa statusnya ditingkatkan menjadi BPR, atau dari BMT menjadi BPRS)
ke dalam kategori yang diawasi dengan regulasi yang lebih ketat, maka perlu perubahan
untuk menyesuaikan kebutuhannya sebagai lembaga yang mengikuti peraturan. Tantangan
dalam pembentukan budaya organisasinya adalah bagaimana memadukan ciri positif
budaya kekeluargaan masa awal sambil menyesuaikan diri ke dalam pola organisasi yang
lebih besar dan lebih formal.