Anda di halaman 1dari 106

HALAMAN JUDU L

PERANCANGAN BUKU ILUSTRASI BERJUDUL KAMUS DASAR


BAHASA ISYARAT

Tugas akhir
diajukan untuk melengkapi
persyaratan mencapai
gelar sarjana

NAMA : FINA FIANTY


NPM : 201846500314

PROGRAM STUDI DESAIN KOMUNIKASI VISUAL


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI
2022
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN TUGAS AKHIR

Nama : Fina Fianty


NPM : 201846500314
Fakultas : Bahasa dan Seni
Program Studi : Desain Komunikasi Visual
Judul Tugas Akhir : Perancangan Buku Ilustrasi berjudul Kamus Dasar
Bahasa Isyarat

Telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan

Pembimbing Materi Pembimbing Teknik

Mochamad Fauzie, S.Pd., M.Ds Fauzi Rahman, M. Pd.


0312026803 0320078902

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Fina Fianty


NPM : 201846500314
Fakultas : Bahasa dan Seni
Program Studi : Desain Komunikasi Visual
Judul Tugas Akhir : Perancangan Buku Ilustrasi berjudul Kamus Dasar
Bahasa Isyarat

Panitia Ujian

Ketua : Prof. Dr. Sumaryoto ________________________

Sekretaris : Dr. Supeno, M. Hum. ________________________

Anggota :
No. Nama Tanda Tangan
1. Penguji 1

2. Penguji 2

3. Penguji 3

iii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Fina Fianty


NPM : 201846500314
Program Studi : Desain Komunikasi Visual

Dengan ini menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul Perancangan Buku
Ilustrasi berjudul Kamus Dasar Bahasa Isyarat beserta seluruh isinya adalah
benar-benar karya saya sendiri. Saya tidak melakukan penjiplakan atau
pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika ilmu yang berlaku
dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung
risiko/sanksi apabila di kemudian hari ditemukan adanya pelanggaran etika
keilmuan atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional Bab V Pasal 25 ayat 2.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dimanfaatkan sesuai dengan keperluan.

Yang menyatakan,

Fina Fianty

iv
ABSTRAK

A. Fina Fianty, NPM: 201846500314

B. Perancangan Buku Ilustrasi berjudul Kamus Dasar Bahasa Isyarat. Tugas


Akhir; Jakarta; Fakultas Bahasa dan Seni; Program Studi Desain Komunikasi
Visual; Universitas Indraprasta Persatuan Guru Republik Indonesia, Juli, 2022

C. xiv + 3 Bab + 69 halaman

D. Kata Kunci: bahasa Isyarat, buku ilustrasi, desain komunikasi visual

E. Tujuan penelitian adalah merancang buku ilustrasi berjudul Kamus Dasar


Bahasa Isyarat. Perancangan media merupakan solusi desain dalam keilmuan
Desain Komunikasi Visual (DKV) dalam memecahkan permasalahan-
permasalahan desain yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahan yang terjadi dimasyarakat salah satunya pada dunia disabilitas
khususnya teman Tuli. Teman Tuli idealnya dapat bergaul secara leluasa dan
hangat dengan teman dengar dalam kehidupan sehari-hari. Keterbatasan
sebagai seorang Tuli seyogianya tidak membuat mereka terisolasi dan
terasingkan dari masyarakat dengan indera pendengaran yang normal. Pada
kenyataannya, harapan ini tidak terjadi. Penyebabnya adalah kebanyakan
masyarakat non-Tuli tidak menguasai bahasa isyarat sebagai alat komunikasi
dengan teman Tuli. Maka solusi desain atas masalah ini adalah diperlukan
desain media yang mengenalkan bahasa isyarat populer secara sederhana dan
menarik. Penelitian ini berada dalam jenis penelitian kualitatif, khususnya
deskriptif kualitatif. Data dikumpulkan melalui proses wawancara, observasi,
dan kajian literatur. Hasil yang dicapai adalah sebuah perancangan buku
ilustrasi yang memberikan informasi mengenai bahasa isyarat untuk siswa
SMP dan SMA/Sederajat yang bertempat tinggal sekaligus bersekolah di
Jakarta. Buku ilustrasi bahasa isyarat ini memberikan informasi mengenai
bahasa isyarat, etika, dan cara berkomunikasi dengan teman Tuli. Materi
dalam buku ini disampaikan dengan menggunakan gaya bahasa yang tidak
formal atau tidak kaku. Buku ini juga memberikan ilustrasi kartun sederhana
yang mudah dimengerti untuk menjelaskan situasi dan cara berkomunikasi
dengan teman Tuli serta gerakan-gerakan bahasa isyarat sehari-hari.
Diharapkan dengan mengenalkan bahasa isyarat, buku ini turut berkontribusi
dalam menciptakan lingkungan yang ramah disabilitas. Buku ni juga bisa
mendapatkan kesempatan untuk berkembang di masyarakat dan dapat
dipelajari serta digunakan baik untuk berhubungan langsung dengan teman
Tuli. Membantu teman Tuli untuk mendapatkan posisi yang lebih layak di
masyarakat dan membuat stigma mengenai bahasa isyarat berubah menjadi
bahasa yang bisa digunakan oleh siapapun, bukan bahasa untuk orang yang
memiliki keterbatasan fisik saja.

v
F. Daftar Pustaka: 17 Buku (tahun 2003-2018)
13 artikel dalam Jurnal (tahun 2004-2021)
4 laporan penelitian akademik
8 sumber lain

G. Pembimbing: Mochamad Fauzie, S.Pd., M.Ds.


(Pembimbing Materi)
Fauzi Rahman, M.Pd.
(Pembimbing Teknik)

vi
MOTO

“Aku bermakna, maka dari itu aku ada”

vii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Perancangan Buku Ilustrasi berjudul
Kamus Dasar Bahasa Isyarat”, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
Program Sarjana (S1) Jurusan Desain Komunikasi Visual Universitas Indraprasta
PGRI.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa
adanya dukungan, bantuan, bimbingan, dan nasehat dari berbagai pihak selama
penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada:
1. Bapak Mochamad Fauzie, S.Pd., M.Ds. selaku Dosen Pembimbing Materi.
2. Bapak Fauzi Rahman, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Teknik.
3. Prof. Dr. H. Sumaryoto S.E., MM. selaku Rektor Universitas Indraprasta
PGRI.
4. Dr. Supeno, M. Hum. selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Indraprasta PGRI.
5. Santi Sidhartani, S.T., M.Ds. selaku Ketua Program Studi Desain Komunikasi
Visual Unversitas Indraprasta PGRI.
6. Febrianto Saptodewo, S.Sn, M.Ds. selaku Sekretaris Program Studi Desain
Komunikasi Visual Unversitas Indraprasta PGRI.
7. Riana Hoseani S. Sn., M.Ds. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
8. Kedua orang tua, Supinah dan Alm. Sarpin yang selalu memberikan kasih
sayang dan kesabaran yang luar biasa dalam setiap langkah hidup penulis.
9. Kakak tercinta, Syarif Hidayatullah, Eka Saputra, Viani Putri dan Akbar
Abdullah atas doa dan segala dukungan.
10. Teman-teman terkasih, Nurlaela, M Anugrah Gustiyani, Sinti Vatika, Aprika
Sulistyowati, dan Luqman Darwis atas bantuan, saran, diskusi serta kerja
samanya.

viii
11. Seluruh teman-teman di DKV UNINDRA angkatan 2018 yang tidak dapat
disebutkan namanya satu per satu, terima kasih atas pertemanan selama ini.
12. Teman SMK, Adel, Chindy, Ulfa, Sary, Nada, Ira dan Dini atas kesenangan
dan canda tawa yang membahagiakan.
13. Yayasan Helping Hands yang telah mengenalkan penulis dengan dunia
disabilitas.
14. Laura Lesmana Wijaya dan Bagja Prawira selaku narasumber yang telah
memberikan ilmu pengetahuan, informasi serta masukkan dalam penulisan.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah dengan
tulus ikhlas memberikan doa dan motivasi sehingga dapat terselesaikannya
penulisan ini.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari masih banyak kekurangan
dan kesalahan, karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang
membangun sehingga dapat menyempurnakan penulisan skripsi ini serta
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca.

Penulis

Fina Fianty

ix
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN TUGAS AKHIR ...................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
MOTO .................................................................................................................. vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 15


A. Latar Belakang ................................................................................... 15
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 23
C. Tujuan Penelitian................................................................................ 23

BAB II PERANCANGAN .................................................................................. 24


A. Objek Penelitian ................................................................................. 24
B. Konsep Dasar Perancangan ................................................................ 46
C. Perancangan Media ............................................................................ 60
D. Hasil Perancangan .............................................................................. 65

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 80


A. Simpulan............................................................................................. 80
B. Saran ................................................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR NARASUMBER

x
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
LAMPIRAN

xi
DAFTAR GAMBAR

halaman
Gambar 2.1 Contoh Memberikan Nama Isyarat ................................................... 31
Gambar 2.2 Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) ............................................ 39
Gambar 2.3 Ekspresi Wajah .................................................................................. 43
Gambar 2.4 Bahasa Isyarat Indonesia ................................................................... 44
Gambar 2.5 Mind Mapping Proses Pengerjaan ..................................................... 52
Gambar 2.6 Moodboard Skema Warna ................................................................ 53
Gambar 2.7 Moodboard Tata Letak ...................................................................... 54
Gambar 2.8 Moodboard Gaya Ilustrasi ................................................................. 54
Gambar 2.9 Gaya Ilustrasi Jepang ........................................................................ 56
Gambar 2.10 Skema Warna .................................................................................. 57
Gambar 2.11 Referensi Penggunaan Huruf Tentang Nanti Pada Buku ................ 58
Gambar 2.12 Huruf yang Dipilih Tentang Nanti .................................................. 59
Gambar 2.13 Referensi Penggunaan Huruf Calibri Pada Buku ............................ 59
Gambar 2.14 Huruf yang Dipilih Calibri .............................................................. 60
Gambar 2.15 Pengumpulan Data Objek ............................................................... 62
Gambar 2.16 Gambar Ilustrasi Manual ................................................................. 62
Gambar 2.17 Proses Pewarnaan (Coloring) .......................................................... 63
Gambar 2.18 Sketsa Manual Sampul Buku .......................................................... 63
Gambar 2.19 Sketsa Manual Isi Buku Ilustrasi ..................................................... 64
Gambar 2.20 Sketsa Manual Gestur Tangan ........................................................ 64
Gambar 2.21 Proses Tata Letak (Layout) ............................................................. 65
Gambar 2.22 Sketsa Gambar Hasil Perancangan .................................................. 66
Gambar 2.23 Sampul Buku Ilustrasi ..................................................................... 68
Gambar 2.24 Bagian Isi Buku Ilustrasi ................................................................. 70
Gambar 2.25 Bagian Penutup Buku Ilustrasi ........................................................ 71
Gambar 2.26 Media Sosial .................................................................................... 73
Gambar 2.27 Poster ............................................................................................... 74
Gambar 2.28 Pembatas Buku ................................................................................ 75

xii
Gambar 2.29 Roll-Banner ..................................................................................... 76
Gambar 2.30 Stiker ............................................................................................... 77
Gambar 2.31 Gantungan Kunci............................................................................. 78
Gambar 2.32 Tote Bag .......................................................................................... 79
Gambar 2.33 Tumbler ........................................................................................... 79

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Perancangan Media

Lampiran 2 Instrumen Wawancara

xiv
BAB I PENDAHULUAN Sara n

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini masih banyak stigma masyarakat yang salah mengenai

teman Tuli dan budaya Tuli. Banyak orang yang menilai bahwa teman Tuli

adalah orang yang mengalami gangguan fungsi pendengaran yang

memerlukan tindakan medis seperti operasi, penggunaan alat bantu dengar

(ABD) dan terapi wicara. Sedangkan teman Tuli sendiri tidak memandang hal

tersebut sebagai hambatan pendengaran atau komunikasi, tetapi suatu

perbedaan ‘cara hidup’ serta kebanggaan atas identitasnya sebagai komunitas

teman Tuli (Zahwa, 2021).

Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya sendiri begitu pula

dengan teman Tuli sebagai kelompok minoritas juga memiliki budaya yang

berbeda dengan teman dengar (nonTuli). Adapun budaya Tuli sama hal nya

dengan mayoritas masyarakat dengar seperti: bahasa, sejarah, nilai, tata

perilaku, sistem kepercayaan, tradisi, sistem kemasyarakatan, perjuangan dan

kesenian. Dalam kelompok masyarakat Tuli, budaya yang paling menonjol

adalah bahasa. Bahasa yang digunakan oleh teman Tuli adalah Bahasa Isyarat

Indonesia (BISINDO) yang merupakan bahasa asli (Bahasa Ibu) komunitas

Tuli (PSIBK, 2018).

Dalam menggunakan bahasa isyarat, bahasa bukan saja diproduksi

oleh tangan dan dipahami dengan mata yang menujukkan kekuatan visual

yang utama dari komunitas teman Tuli. Pengguna bahasa isyarat

15
16

menunjukkan beragam ciri kinestetik yang digambarkan secara visual seperti:

tubuh, kepala, tangan, lengan, ekspresi wajah, dan ruang fisik yang

mengelilingi pengguna bahasa isyarat dan mata (Bahan & Parish, 2019).

Keberadaan dan penggunaan sistem komunikasi visual gestural oleh

orang-orang tuli telah terdokumentasikan sejak zaman Yunani kuno.

Dalam Cratylus, Socrates memberikan sebuah pertanyaan pada Hermogenes,

“Jika kita tidak memiliki suara atau telinga, dan ingin berbicara satu sama lain,

bukankah kita, seperti orang tuli dan bisu, membuat isyarat-isyarat dengan

tangan dan kepala dan seluruh tubuh kita?” (Plato dalam Albrecht, 2006).

Bahasa isyarat adalah penutur yang berkembang secara alami dan tidak

dibuat-buat. Dengan mempelajari bahasa isyarat maka akan langsung

terekspos dengan culture-nya, kebiasaannya serta ekspresi wajah yang penting

bagi komunitas teman Tuli. Karena bahasa isyarat merupakan bahasa kedua

untuk orang dengar supaya semua orang dapat berisyarat, semua orang dapat

berinteraksi dengan teman Tuli tanpa adanya diskriminasi dan menyetarakan

hak bagi teman Tuli.

Menurut Strauss & Corbin (dalam Nugrahani & Hum, 2014: 4)

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dapat digunakan untuk

meneliti kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, fungsionalisasi

organisasi, gerakan sosial, atau hubungan kekerabatan. Sementara itu, menurut

Bogdan & Taylor, bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian

yang mampu menghasilkan data deskriptif berupa ucapan, tulisan, dan

perilaku dari orang-orang yang diamati.


17

Melalui penelitian kualitatif ini dimungkinkan untuk diperoleh

pemahaman tentang kenyataan melalui proses berpikir induktif. Metode

Penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif,

yaitu mendeskripsikan suatu obyek, fenomena, atau setting sosial yang akan

dituangkan dalam tulisan yang bersifat naratif. Dalam penulisan penelitian ini

berisi kutipan-kutipan data (fakta) yang diungkap di lapangan untuk

memberikan dukungan terhadap apa yang disajikan (Anggito & Setiawan,

2018: 11). Metode penelitian dilakukan secara bertahap dimulai dengan

penentuan topik, pengumpulan data dan menganalisis data, sehingga nantinya

diperoleh suatu pemahaman dan pengertian atas topik, gejala atau isu yang

dibahas.

Teknik pengumpulan data yang dibutuhkan dalam perancangan ini

yakni teknik pengumpulan data berbentuk observasi, wawancara dan

dokumentasi. Wawancara digunakan dalam penelitian kualitatif karena dapat

mengungkap informasi lintas waktu, yaitu berkaitan dengan dengan masa

lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Dan data yang dihasilkan

dari wawancara bersifat terbuka, menyeluruh, dan tidak terbatas, sehingga

mampu membentuk informasi yang utuh dan menyuluruh dalam mengungkap

penelitian kualitatif (Ulfatin dalam Anufia & Alhamid, 2019).

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang diperlukan atau

dipergunakan untuk mengumpulkan data. Ini berarti, dengan menggunakan

alat-alat tersebut data dikumpulkan. Dalam penelitian kualitatif, atau

instrumen utama dalam pengumpulan data adalah manusia yaitu, peneliti


18

sendiri atau orang lain yang membantu peneliti. Dalam penelitian kualitatif,

peneliti sendiri yang mengumpulkan data dengan cara bertanya, meminta,

mendengar, dan mengambil. Peneliti dapat meminta bantuan dari orang lain

untuk mengumpulkan data, disebut pewawancara. Dalam hal ini, seorang

pewawancara yang langsung mengumpulkan data dengan cara bertanya,

meminta, mendengar, dan mengambil (Anufia & Alhamid, 2019).

Dalam mengumpulkan data dari sumber informasi (informan), peneliti

menggunakan bantuan alat rekaman berupa handphone untuk merekam hasil

wawancara. Maka dalam penelitian ini sumber data yang dikumpulkan melalui

informan atau narasumber berupa rekaman suara, dan hasil foto. Observasi

dan wawancara di laksanakan dengan narasumber dari Pusat Bahasa Isyarat

Indonesia, Laura Lesmana Wijaya yang berlokasi di Komplek Depkes, Jl H.

Umaidi No. Bambu 2, West Rawa, Kec. Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan,

Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12510, pada 17 Desember 2022 dengan tujuan

mendapatkan informasi mengenai budaya Tuli dan Bahasa Isyarat Indonesia.

Hasil yang dicapai adalah sebuah perancangan buku ilustrasi yang

memberikan informasi mengenai budaya Tuli dan bahasa isyarat untuk

khalayak umum yang dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang

terjadi di masyarakat.

Hak teman Tuli yang diatur dalam UUD No 8 Tahun 2016 masih

sering diabaikan (dalam Kompas, 2017). Mereka belum sepenuhnya

mendapatkan akses pendidikan, pekerjaan, fasilitas publik dan hiburan yang

baik. Oleh sebab itu, diperlukan suatu cara agar masyarakat umum mengetahui
19

dan mengenali lebih dekat mengenai kaum Tuli beserta hak-hak dan cara

berkomunikasi dengan mereka. Salah satu hal yang dapat menjembatani

komunikasi antara orang Tuli dengan orang dengar adalah dengan bahasa

isyarat atau sign language.

Hingga saat ini bahasa isyarat menghadapi tantangannya tersendiri

sebagai sebuah bahasa minoritas kaum Tuli. Padahal kemampuan berbahasa

isyarat tersebut menjadi kunci penting dalam melakukan interaksi dengan

komunitas Tuli. Namun komunitas Tuli hidup di tengah-tengah stigma negatif

dan tekanan bahasa mayoritas, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah lisan.

Situasi tersebut membuat bahasa isyarat di Indonesia semakin terpinggirkan,

begitu pula penggunanya.

Di Indonesia terdapat lebih dari 2.500.000 Tuli. Sebagai upaya

mengurangi hambatan dalam berkomunikasi dan mendukung lingkungan yang

inklusif Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO) mempunyai cabang

yang tersebar di 9 (sembilan) Provinsi. Antara lain: DKI Jakarta, Banten, Jawa

Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta, Bali, Kalimantan Barat, Jambi dan

Sumatera Selatan. Setiap cabang sudah membuka kelas Bahasa Isyarat di

daerah masing-masing (Pusbisindo, 2022 Januari 10).

Hal ini dilakukan untuk membentuk suatu stimulus agar masyarakat

tertarik untuk mempelajari bahasa isyarat secara mendalam, salah satunya

dengan mengenalkan budaya Tuli dan bahasa isyarat dengan cara

menyenangkan dan interaktif. Selain itu, dengan mengenalkan bahasa isyarat

ke masyarakat umum dengan cara yang lebih menarik, bahasa isyarat bisa
20

mendapatkan kesempatan untuk berkembang di masyarakat dan dapat

dipelajari serta digunakan baik oleh mereka yang berhubungan langsung

dengan teman Tuli maupun tidak. Sebab dengan dipelajarinya bahasa isyarat,

masyarakat juga telah membantu teman Tuli untuk mendapatkan posisi yang

lebih layak di masyarakat dan membuat stigma mengenai bahasa isyarat

berubah menjadi bahasa yang bisa digunakan oleh siapapun.

Menurut Carr (2010), sebagai media untuk membaca, buku memiliki

keunggulan dibandingkan komputer. Kamu bisa membawa buku ke pantai

tanpa perlu khawatir akan rusak. Selain itu, tulisan yang terpampang melalui

tinta di halaman lebih mudah dibaca daripada tulisan dengan model pixel yang

ada pada layar yang bercahaya. Buku dengan lusinan bahkan ratusan lembar

halaman yang dicetak bisa dengan mudah dibaca tanpa mengalami gangguan

mata dibandingkan ketika membaca lewat online. Halaman buku bisa dibalik

dengan lebih cepat dan lebih fleksibel dibandingkan melalui halaman virtual.

Dan bisa menulis catatan pada bagian margin buku atau kalimat tertentu yang

menginspirasi. Selain itu, remaja juga tertarik dengan media buku. Alasannya

karena melalui media buku, mereka dapat mengoleksi buku-buku yang mereka

sukai, tidak mengandung radiasi, dan dapat dipindah tangankan (sebagai

hadiah, dipinjamkan ke teman maupun disewakan) (Wibowo, Soehardjo &

Prasetyadi, 2013).

Sedangkan ilustrasi sangat erat kaitannya dengan dunia perbukuan,

dimana dari awal ilustrasi berfungsi sebagai pendamping teks/tulisan. Ilustrasi

memiliki peran sebagai medium yang menyampaikan sebuah pesan kepada


21

audience dalam bentuk visual (Amanda, 2020). Buku-buku ilustrasi lain yang

telah ada sebelumnya lebih di tujukan kepada anak-anak Tuli untuk lebih fasih

dalam berbahasa isyarat. Sedangkan buku yang akan dibuat ditujukan kepada

remaja non-disabilitas yang belum mengenal mengenai budaya Tuli dan

bahasa isyarat yang dalam perwujudannya akan didominasi oleh ilustrasi.

Isinya pun akan mengenalkan bahasa isyarat sehari-hari yang sering

digunakan oleh para remaja itu sendiri. Hal ini menjadi daya tarik utama dari

buku ini, yang membuatnya berbeda dengan buku-buku ilustrasi lain yang

telah ada.

Secara emosi, remaja memiliki tingkat kematangan emosional yang

cukup baik dan cara proses berpikir yang berbeda antara individu satu dengan

individu lainnya. Remaja memiliki kebebasan untuk berpendapat, berperan

serta menyampaikan ide kreatifitasnya guna mengembangkan kemampuan dan

keilmuannya untuk berperan di masyarakat. Perilaku ingin tahu merupakan

dorongan yang ditimbulkan secara naruliah bagi setiap orang untuk belajar

dan berkembang. Didalam proses belajar tersebut manusia diberikan

kemampuan indera untuk mampu berpikir dan peka dalam berbagai hal. Rasa

ingin tahu membuat setiap orang menanggapi rangsangan dan aktivitas

mengenai sesuatu hal yang baru, menantang, dan memerlukan kemampuan

berpikir yang kompleksitas (Nugroho, 2019).

Menurut Kasdhan, Rose & Finchan (2004) rasa ingin tahu terbagi

kedalam dua hal, yakni: a) Rasa ingin tahu yang bersifat aktif dalam mencari

berbagai hal yang baru, b) Rasa ingin tahu untuk mendalami suatu hal tertentu
22

secara konkret. Pentingnya rasa ingin tahu mampu mendorong terjadinya

suatu kontak rangsangan mengenai sesuatu hal yang baru dan peluang yang

ditimbulkan untuk memperoleh kebenaran informasi yang konkret. Selain itu,

beberapa kajian literatur telah dibuktikan pada penelitian Kasdhan, Rose &

Finchan (2004) bahwa rasa ingin tahu akan membuat seseorang termotivasi,

serta menemukan pandangan yang baru mengenai sesuatu hal dalam berbagai

sudut pandang.

Oleh sebab itu, untuk mengoptimalkan rasa ingin tahu terhadap suatu

hal yang baru akan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembangan

potensi yang dimiliki remaja serta menjadikan pengalaman sebagai suatu ilmu

yang bermanfaat dan dikembangkan serta dibagikan. Maka diperlukan suatu

media komunikasi visual berupa buku ilustrasi yang dapat mengemas ilmu

baru bagi remaja berupa pengetahuan budaya Tuli, perkenalan dan panduan

dasar bahasa isyarat dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari dengan

kaum Tuli yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat umum,

khususnya remaja.

Dengan demikian, perancangan media yang dibuat berjudul Kamus

Dasar Bahasa Isyarat. Kamus sendiri merupakan buku rujukan yang berisi

penjelasan terkait dengan makna kata-kata. Dalam bahasa isyarat ditemukan

banyak kata-kata yang digunakan, namun masyarakat umum mengalami

kendala dalam memahami arti dari bahasa tersebut. Kamus inilah yang akan

penulis rancang sebagai suatu media, yang didalamnya berisi bahasa sehari-

hari yang bersifat dasar dan sering digunakan teman Tuli untuk
23

berkomunikasi. Melalui buku ilustrasi kamus dasar bahasa isyarat ini, para

remaja sebagai generasi penerus bangsa yang dapat memberikan influence

serta perubahan yang cukup signifikan pada masyarakat umum, terlebih di

zaman serba digital ini. Selain itu juga diharapkan dimulai dari para remaja

dapat membantu teman Tuli untuk mendapatkan hak yang sama bahwa semua

manusia itu adalah mahluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk hidup

tanpa harus terkendala apapun termasuk bahasa untuk berkomunikasi. Media

yang dibuat tentu harus efektif dan mudah dijangkau, serta dapat menjawab

kebutuhan masyarakat dengan memberikan kemudahan dalam mengenali dan

mempelajari hak teman Tuli beserta cara berinteraksi dengan mereka.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana merancang Buku Ilustrasi berjudul Kamus Dasar Bahasa

Isyarat?

C. Tujuan Penelitian

Merancang Buku Ilustrasi berjudul Kamus Dasar Bahasa Isyarat.


BAB II PERANCANGAN

PERANCANGAN

A. Objek Penelitian

1. Disabilitas

Disabilitas merupakan suatu keadaan ketidakmampuan tubuh

dalam melakukan suatu aktifitas atau kegiatan tertentu sebagaimana yang

dilakukan non-disabilitas pada umumnya yang disebabkan oleh kondisi

ketidakmampuan baik dalam hal fisiologis, psikologis dan kelainan

struktur atau fungsi anatomi. Ketika penyandang disabilitas berhadapan

dengan hambatan maka hal itu akan menyulitkan mereka dalam

berpartisipasi penuh dan efektif dalam kehidupan bermasyarakat

berdasarkan kesamaan hak (Griadi, 2019).

Undang-Undang nomor 8 Pasal 4 ayat 1 tahun 2016 menjabarkan

lebih lanjut tentang definisi dan ragam penyandang disabilitas, yaitu

bahwa yang dimaksud dengan:

a. “Penyandang Disabilitas fisik” adalah terganggunya fungsi gerak,

antara lain amputasi, lumpuh layuh atau kaku, paraplegi, celebral palsy

(CP), akibat stroke, akibat kusta dan orang kecil.

b. “Penyandang Disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi piker

karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat

belajar, disabilitas grahita dan down syndrome.

24
25

c. “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi piker,

emosi dan perilaku, antara lain:

c.1. Psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas dan

gangguan kepribadian; dan

c.2. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan

interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.

d. “Penyandang Disabilitas sensorik” adalah terganggunya salah satu

fungsi dari panca indera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu

dan/atau disabilitas wicara.

Di bagian Penjelasan Pasa; 4 ayat 2 UU no 8 tahun 2016 ini

menjabarkan lanjutan ragam definisi penyandang disabilitas dan waktu

serta sifat yang mendasari pendefinisian ragam penyandang disabilitas

di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

“Penyandang Disabilitas ganda atau multi” adalah penyandang

disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam disabilitas, antara

lain disabilitas runguwicara dan disabilitas netra-tuli. “dalam jangka

waktu lama” adalah jangka waktu paling singkat 6 (enam) bulan

dan/atau bersifat permanen.

2. Tunarungu dan Tuli

Pinilih (2012: 14) menjelaskan bahwa tunarungu adalah seseorang

yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar baik

sebagian atau seluruh alat pendengarannya yang menyebabkan


26

terganggunya proses perolehan informasi atau bahasa sebagai alat

komunikasi sehingga berdampak terhadap kehidupannya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tunarungu artinya

rusak pendengaran. Secara etimologi, tunarungu berasal dari kata “tuna”

dan “rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang

dikatakan tunarungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang

mampu mendengar suara (Haenudin, 2013: 53).

Penggunaan kata tunarungu dianggap lebih baik, halus, sopan, dan

formal. Sedangkan penggunaan kata Tuli dianggap lebih kasar. Namun,

secara penulisan, Tuli dengan huruf kapital (T) menurut komunitas Tuli

sendiri dipandang lebih sopan dan mereka lebih nyaman dipanggil dengan

sapaan Tuli dibandingkan dengan tunarungu.

Tuli dengan Huruf kapital (T) sekaligus sapaan Tuli menunjukkan

identitas orang Tuli sebagai sebuah kelompok masyarakat yang

mempunyai identitas, memiliki bahasa, dan budayanya tersendiri.

Sedangkan tunarungu dianggap sebagai sebuah keharusan untuk

mengoptimalkan kemampuan pendengarannya dengan berbagai cara agar

menyerupai orang-orang yang dapat mendengar. Kebanyakan orang

menganggap bahwa Tuli dan tunarungu memiliki kesamaan makna.

Padahal pada kenyataannya kedua istilah tersebut memiliki perbedaan

(PSIBK, 2018)

Terdapat banyak pertentangan akan penggunaan istilah Tuli dan

tunarungu, kedua frasa tersebut hanya berbeda sudut pandang saja, alias
27

tidak ada yang benar, tidak pula yang salah. Istilah tunarungu mengacu

pada sudut pandang patalogi karena melihat adanya gangguan fungsi

pendengaran, sehingga diperlukan tindakan medis seperti operasi,

penggunaan alat bantu dengar (ABD), dan terapi wicara. Sedangkan Tuli

tidak memandang hal tersebut sebagai hambatan pendengaran atau

komunikasi, tetapi suatu perbedaan ‘cara hidup’ serta kebanggan atas

identitasnya sebagai komunitas Tuli (Zahwa, 2021).

Dalam kehidupannya Tuli bukan hanya sekedar tentang orangnya

saja. Dia seorang disabilitas, tidak bisa mendengar, memiliki hambatan.

Tapi juga bagaimana kehidupan Tuli yang berbeda dengan teman dengar.

Kita semua memiliki hak yang sama. Adanya hambatan-hambatan ini

karena lingkungan yang tidak memberikan akses kepada teman Tuli, baik

dalam fasilitas fisik ataupun non-fisik. Ditambah lagi dengan kelompok

minoritas bahasa. Jika teman dengar akses komunikasinya adalah

menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan teman-teman tuli akses

komunikasinya adalah BISINDO. Semua yang dijelaskan adalah faktor

lingkungan, tujuannya adalah untuk membuka prespektif baru untuk

teman-teman dengar tentang dunia Tuli (Bagja Prawira, Co-Founder

Silang.id, wawancara via Zoom Meeting, 18 Desember 2021).

Tuli dibedakan menjadi dua kategori, yaitu HOH (Hard Of

Hearing) dan Tuli. HOH (Hard Of Hearing) termasuk pada seseorang

dengan tingkat gangguan pendengaran ringan hingga berat yang mana

beberapa kemampuan mendengar masih ada. Sedangkan Tuli, termasuk


28

pada seseorang dengan tingkat gangguan pendengaran mendalam yang

mungkin memiliki kemampuan mendengar yang sangat sedikit atau tidak

sama sekali.

HOH (Hard Of Hearing) dengan tuli dibedakan berdasarkan

tingkat kemampuan pendengaran, antara lain:

a. Ringan : Sulit mendengar suara yang terlalu lembut atau halus.

b. Sedang : Sulit mendengar suara dengan tingkat volume normal.

c. Berat : Kemungkinan dapat mendengar suara yang keras dan sangat

sulit mendengar suara dengan tingkat volume normal.

d. Mendalam : Hanya mendengar suara yang sangat keras atau mungkin

tidak dapat mendengar suara sama sekali.

Dalam perspektif Tuli, tidak semua teman-teman Tuli bisa

dipaksakan untuk berbicara atau mengeluarkan suara. Setiap individu Tuli

memiliki kemampuan yang berbeda-beda dan bervariasi. Ketika satu orang

Tuli bisa berbicara belum tentu semua orang Tuli juga dapat berbicara

(Bagja Prawira, Co-Founder, wawancara via Zoom Meeting, 18 Desember

2021).

Tuli di kelompokkan menjadi 3 di Indonesia:

a. Pengguna BISINDO, yaitu Tuli yang dalam kesehariannya

menggunakan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) sebagai pengantar

dalam berkomunikasi.
29

b. Penggunaan Bahasa Indonesia, yaitu Tuli yang bisa menulis dan

menggunakan lisan atau berbicara menggunakan Bahasa Indonesia

dalam kesehariannya.

c. Bilingualist, yaitu Tuli yang menggunakan 2 (dua) bahasa. Bisa

menggunakan BISINDO dan juga bisa menggunakan bahasa Indonesia

baik dari tulisan maupun lisan.

Dapat disimpulkan bahwa tidak semua teman Tuli adalah bisu atau

Disabilitas wicara, begitupun sebaliknya. Seorang Disabilitas wicara

belum tentu adalah seorang Tuli. Yang memiliki hak untuk membuka

sebuah identitas seseorang adalah orang itu sendiri.

Dalam wawancara (18 Desember 2021) Bagja Prawira, Co-Founder

Silang menambahkan seperti hal nya ketika melihat dari perspektif teman

dengar. Banyak yang menganggap semua teman Tuli tidak bisa

mendengar, karena mungkin memiliki pemahaman yang dasar. Sedangkan

berdasarkan persepektif Tuli, Tuli tidak bisa mendengar tidak masalah tapi

bukan berarti tidak memiliki kemampuan. Hanya saja cara hidup yang

berbeda, seperti contohnya dalam hal berkomunikasi, cara berinteraksi,

cara beradaptasi serta cara berorganisasi. Hal itu berbeda karena Tuli

mempunyai budayanya sendiri. Budaya mereka disebut dengan Budaya

Tuli.

3. Budaya Tuli

Budaya mungkin adalah salah satu gagasan yang paling sulit untuk

dipahami sepanjang sejarah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Raymond


30

Williams, budaya adalah salah satu dari dua atau tiga kata paling sulit di

dalam bahasa Inggris. Hal ini sebagian dikarenakan sejarah perkembangan

kata ini dalam beberapa bahasa Eropa, tetapi terutama karena kata ini

digunakan untuk konsep penting dalam beberapa disiplin intelektual yang

berbeda, dan beberapa sistem pemikiran lainnya yang tidak cocok (Ladd

2003:197 dalam Albrecht, 2006).

Storey (dalam Albrecht, 2006) mengungkapkan budaya sebagai

“cara hidup” sekelompok orang, yang melibatkan “praktek kebudayaan”

yang berfungsi untuk menandakan, atau untuk “memproduksi makna,”.

Setiap kelompok masyarakat memiliki budaya sendiri begitu pula dengan

teman Tuli sebagai kelompok minoritas juga memiliki budaya yang

berbeda dengan teman dengar. Budaya Tuli merupakan kumpulan dari

kepercayaan sosial, perilaku, seni, tradisi sastra, nilai dan institusi bersama

dalam komunitas Tuli yang menggunakan bahasa isyarat sebagai alat

komunikasi utama.

Berdasarkan pemaparan Laura Lesmana Wijaya sebagai Head of

Indonesian Sign Languange Center (Pusbisindo) dalam wawancara (17

Desember 2021) diketahui bahwa Tuli memiliki identitas budaya yang

dibanggakan, seperti perkenalan, cara memanggil, cara menarik perhatian

umum, kontak mata dan jarak waktu berkomunikasi. Budaya Tuli

merupakan hal-hal yang berkaitan dengan sikap, perilaku dan bagaimana

persepsi serta perspektif Tuli dalam memahami sesuatu. Budaya Tuli

sangat luas, namun terdapat beberapa mendasar, antara lain:


31

a. Nama Isyarat

Setiap teman Tuli memiliki nama panggilan isyarat. Dengan

tujuan setiap orang baik teman Tuli maupun teman dengar memiliki

nama panggilan isyarat yang menjadi sebuah ciri khas dari masing-

masing individu. Panggilan isyarat bisa diperoleh dari sesuatu hal yang

unik dari orang tersebut. Ciri khas yang dimaksud seperti dari

kebiasaan, hobi atau fisik mereka.

Gambar 2.1
Contoh Memberikan Nama Isyarat
Sumber : upinipin.fandom.com

Contoh nama panggilan “Gempal”. Nama ini diberikan karena

ia mempunyai pipi yang gemuk.

b. Memanggil lawan bicara

Dalam budaya Tuli memanggil lawan bicara tidak disarankan

untuk menggunakan bahasa lisan. Hal itu menjadi tidak berguna

karena teman Tuli tidak mendengar. Cara untuk memanggil teman Tuli

dilakukan dengan menepuk bahu jika jarak dengan lawan bicara


32

berdekatan atau bersebelahan. Apabila berjauhan atau bersebrangan

bisa menggunakan lambaian tangan.

c. Memanggil teman

Jika memanggil teman atau lawan bicara tetapi tidak merespon

dan sedang berbicara secara berkelompok dengan yang lainnya

biasanya teman Tuli melakukan miss video call untuk mencuri

perhatian.

d. Menarik perhatian

Jika teman Tuli sedang berada dalam ruangan luas dengan

banyak orang maka untuk menarik perhatian semua orang dalam

ruangan tersebut teman Tuli menyala-matikan lampu.

e. Kontak mata

Bagi komuniats Tuli dalam berkomunikasi kontak mata

menjadi sangat penting. Karena teman Tuli mengandalkan penglihatan

untuk apa yang mereka tangkap.

Kunci utama dalam berkomunikasi dengan teman Tuli adalah

berhadapan. Posisi ini membantu teman Tuli untuk menangkap/melihat

gestur, ekspresi, gerak bibir serta dapat fokus dengan apa yang

disampaikan lawan bicara.

f. Jarak berkomunikasi

Dalam berkomunikasi khususnya dengan menggunakan bahasa

isyarat komunitas Tuli lebih nyaman bila memiliki ruang jarak, supaya
33

lebih leluasa dalam berisyarat. Bahasa isyarat juga bisa dilakukan

dengan jarak jauh.

g. Video call

Saat komunikasi jarak jauh. Teman Tuli lebih memilih

menggunakan video call untuk panggilan telpon, digunakan agar

mudah memahami apa yang disampaikan dengan melihat gestur,

ekspresi dan gerak bibir. Jika ada hambatan pada sinyal maka

menggunakan opsi kedua yaitu melalui chat.

h. Meja bundar

Dalam berkomunikasi dengan banyak orang, teman Tuli akan

membuat posisi berbentuk lingkarang atau duduk di meja bundar. Hal

ini untuk membantu teman Tuli berkomunikasi supaya mudah untuk

melihat seluruh lawan bicara jika sedang melangsungkan diskusi.

i. Tempat terang

Teman Tuli lebih suka berkomunikasi dengan lawan bicaranya

di tempat yang terang. Supaya dapat melihat gestur, ekspresi, gerak

bibir lawan bicaranya dengan jelas. Sehingga komunikasi berjalan

dengan baik.

Edward Hall (1982) (dalam Albrecht, 2006) menujukkan

bahwa ‘orang-orang dari budaya berbeda tidak hanya berbicara bahasa

yang berbeda, tetapi mungkin yang lebih penting adalah, mewarisi

dunia sensorik yang berbeda’. Sebagaimana yang disampaikan oleh

George Veditz (1912), seorang pemimpin tuli di awal abad


34

keduapuluh, orang-orang tuli “sejak awal, akhir, dan bahkan sepanjang

waktu, adalah orang-orang mata”. Cara visual dalam ber-ada bagi

orang-orang tuli melekat dan ada dalam seluruh aspek kehidupan

mereka. Fondasi keber-ada-an ini adalah sistem komunikasi visual

mereka.

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Bahan (2004), “Orang-

orang tuli, ber-ada di dalam varietas manusia, yang menolak untuk

direduksi dalam hal status mereka, menemukan cara untuk

berkomunikasi secara visual dan mengembangkan bahasa visual. Ini

adalah esensi dari keber-ada-an mereka. Semua hal lain

dikonstruksikan di sekitar hal ini, disalurkan melalui dan oleh

penglihatan”.

Indonesiabaik.id (2018) mengemukakan bahwa selain memahami

tentang budaya Tuli, dalam berinteraksi dengan teman Tuli juga terdapat

etika yang harus diperhatikan, seperti:

Ketika berbicara dengan teman Tuli, sebaiknya tanyakan dahulu

apakah ia lebih nyaman dengan menggunakan bahasa isyarat, gerak tubuh,

tulisan atau gerak lisan.

a. Sebelum berkomunikasi, pastikan dia memperhatikan. Jika tidak,

lambaikan tangan atau tepuk bahunya untuk menarik perhatian

b. Jika menggunakan bantuan Juru Bahasa Isyarat (JBI), tetap perhatikan

teman Tuli sebagai lawan bicara demi menjaga kesopanan. Tanyakan

kepadanya secara langsung, tidak kepada JBI.


35

c. Jika lawan bicara, yaitu teman Tuli menggunakan baca bibir sebagai

komunikasinya, bicaralah dengan jelas. Jangan makan permen karet,

merokok atau menutup mulut dengan tangan ketika berbicara pada

mereka.

d. Jangan berteriak saat berbicara dengan teman Tuli yang menggunakan

alat bantu dengar, sesuaikan levelnya atau gunakan alat bantu tulis

e. Teman Tuli memiliki kebiasaan untuk meminta ulang apa yang kita

bicarakan. Ulangi pembicaraannya, jika masih sulit dipahami, cobalah

gunakan bahasa yang lebih sederhana.

4. Bahasa Isyarat

Manusia di dunia ini dari mana saja mereka berasal tentu

mempunyai bahasa. Bahasa begitu mendasar bagi kehidupan manusia,

sama halnya seperti bernafas yang begitu mendasar dan dibutuhkan dalam

hidup manusia. Jika seseorang tidak memiliki bahasa, maka kemanusiaan

akan hilang darinya. Tidak akan lagi dapat berfungsi sebagai homo sapiens

(makhluk yang berpengetahuan).

Berikut ini adalah pengertian beberapa bahasa menurut beberapa

ahli. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV (2014 : 116),

dituliskan bahwa:

a. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang

digunakan oleh anggota satu masyarakat untuk bekerja sama,

berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.

b. Bahasa merupakan percakapan (perkataan) yang baik, sopan santun.


36

Menurut Chaer (2003 : 30), bahasa adalah alat verbal untuk

komunikasi. Sebelumnya (1994), Chaer menegaskan bahwa bahasa

sebagai suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh

sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi

diri.

Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, bahkan bahasa sering

juga disebutkan sebagai faktor dominan dari kebudayaan. Bahasa tidak

dapat dipisahkan dari kehidupan budaya manusia karena antara bahasa dan

budaya ada semacam hubungan timbal-balik atau kausalitas. Bahasa

merupakan salah satu hasil budaya, sedangkan budaya manusia banyak

pula dipengaruhi oleh bahasa (Devianty, 2017).

Dalam bermasyarakat fungsi bahasa adalah sebagai alat interaksi

sosial, walaupun bukan satu-satunya alat interaksi sosial. Selain bahasa,

masih banyak alat lain yang dapat digunakan sebagai alat interaksi sosial

tersebut, tetapi apabila dibandingkan dengan media lainnya, bahasa

merupakan alat yang paling penting dan lengkap, serta paling sempurna

dalam melakukan interaksi.

Bahasa isyarat merupakan kaedah komunikasi yang tidak

menggunakan suara, tetapi pergerakan tangan, badan dan bibir untuk

menyampaikan maklumat dan melahirkan fikiran seorang penutur

(Kautsar, I., Borman, R. I., & Sulistyawati, A. (2015).

Mursita (2015) mengungkapkan bahasa isyarat adalah metode

komunikasi untuk orang-orang yang Tuli atau tuna rungu di mana gerakan
37

tangan, gerakan tubuh dan ekspresi wajah menyampaikan struktur tata

bahasa dan makna.

Dapat disimpulkan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa yang

mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir untuk

berkomunikasi bukan mengandalkan suara. Bahasa isyarat menjadi bahasa

yang digunakan oleh komunitas Tuli untuk berkomunikasi. Tidak hanya

itu, bahasa isyarat juga merupakan alat bagi penggunanya untuk

mengidentifikasi diri dan memperoleh informasi. Perbedaan mendasar

antara bahasa isyarat dan bahasa lisan terletak pada modalitas atau sarana

produksi dan persepsinya. Bahasa lisan diproduksi melalui alat ucap (oral)

dan dipersepsi melalui alat pendengaran (auditoris), sementara bahasa

isyarat diproduksi melalui gerakan tangan (gestur) dan dipersepsi melalui

alat penglihatan (visual). Dengan demikian, bahasa lisan bahasa yang

bersifat oral-auditoris, sementara bahasa isyarat bersifat visual-gestural

(Isma, 2018).

Secara linguistis, bahasa isyarat sama seperti bahasa lisan yang

terdiri dari satuan terkecil hingga terbesar. Bahasa isyarat juga memiliki

fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik tersendiri yang tidak sama

dengan sistem bunyi, tata kata, tata kalimat, dan pemaknaan yang sama

dengan bahasa lisan. Dengan kata lain, bahasa isyarat merupakan sistem

linguistik yang tidak didasarkan pada sistem bahasa lisan. Hal itu

disebabkan oleh perbedaan modalitas yang mendasar antara bahasa lisan

dan bahasa isyarat.


38

Bahasa isyarat adalah komunikasi visual. Maka Laura Lesmana

Wijaya sebagai Head of Indonesian Sign Languange Center (Pusbisindo)

dalam wawancara (17 Desember 2021) ekspresi memiliki peran besar

dalam menghidupkan suasana percakapan. Melalui belajar berkomunikasi

menggunakan bahasa isyarat akan melatih dan memperkaya ekspresi.

Itulah keunikan dari bahasa isyarat yaitu dapat menstabilkan serta

menyeimbangkan motorik jari tangan dengan kerja otak.

Kerja otak kiri manusia biasa dilatih dengan menggunakan bahasa

lisan, untuk menyeimbanginya dengan belajar menggunakan bahasa

isyarat maka akan menstimulasi otak kanan sehingga kedua otak menjadi

lebih maksimal bekerja.

Sistem isyarat yang digunakan di Indonesia adalah Sistem Isyarat

Bahasa Indonesia (SIBI). Sedangkan bahasa isyarat yang digunakan dan

menjadi pedoman teman Tuli di Indonesia adalah Bahasa Isyarat Indonesia

(BISINDO). Banyak sekali terjadi kesalahpahaman mengenai SIBI dan

BISINDO. SIBI adalah Sistem Isyarat Bahasa Indonesia yang merupakan

sistem yang dibuat oleh non-tuli untuk memahami kaidah bahasa

Indonesia. Sedangkan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) adalah bahasa

alamiah yang merupakan bahasa ibu komunitas Tuli. Keduanya memiliki

perbedaan baik dalam penggunaan maupun pemaknaan.

5. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI)

SIBI merupakan salah satu alat media komunikasi non-verbal yang

menjadi jembatan komunitas Tuli dalam berinteraksi di dalam masyarakat


39

yang lebih luas. Wujud SIBI adalah tantangan sistematis tentang

seperangkat jari tangan, dan berbagai gerak yang melambangkan kosa kata

bahasa Indonesia. Kamus SIBI mengacu pada sistem isyarat

struktural bukan sistem isyarat konseptual (Wasita, 2012).

Definisi lain dari SIBI adalah suatu sistem isyarat bahasa yang

dibakukan sebagai salah satu media yang membantu komunikasi sesama

tunarungu ataupun komunikasi penyandang tunarungu di dalam

masyarakat yang lebih luas dengan tata makna (Hakim dan Samino, 2008).

Dari penjelasan tentang pengertian Sistem Isyarat Bahasa

Indonesia (SIBI) dapat disimpulkan bahwa SIBI adalah suatu sistem

bahasa isyarat yang menjadi media dalam berkomunikasi sesama

tunarungu atau masyarakat luas dengan mengacu kepada sistem isyarat

structural sebagaimana contoh pada huruf abjad SIBI.

Gambar 2.2
Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI)
Sumber : Yayasan Peduli Kasih ABK, 2019

Laura Lesmana Wijaya dalam wawancara (17 Desember 2021)

menambahkan jika merujuk kepada SIBI, SIBI bukanlah bahasa. SIBI


40

singkatan dari S-I-B-I, yaitu sebuah sistem isyarat artinya SIBI merupakan

sign system bukan sign language. Dengan demikian artinya, SIBI dasarnya

adalah bahasa Indonesia. Landasan utama sistem ini adalah bahasa

Indonesia. Ketika mempelajari SIBI maka anak-anak Tuli harus tau bahasa

Indonesia. Jadi sistem ini adalah bahasa Indonesia yang diisyaratkan

bukanlah bahasa isyarat. Anak Tuli atau orang-orang Tuli tidak ada yang

sepenuhnya mumpuni dalam Sistem Isyarat Bahasa Indonesia atau SIBI.

Landasan SIBI adalah bahasa Indonesia. Untuk memahami

penggunaan SIBI anak-anak Tuli harus memiliki bayangan. Artinya anak-

anak harus belajar bahasa Indonesia dulu seperti imbuhan me-, pe-, ber-,

akhiran -kan, akhiran -an. Afiksasi ini harus dipelajari oleh anak-anak

Tuli. Bayangkan seorang anak bayi harus belajar imbuhan. Anak dengar

saja (hearing baby) umur satu tahun apakah bisa menguasai imbuhan

seperti itu. tentu jawabannya tidak untuk seorang anak bayi umur satu

tahun. Tidak masuk akal kalau dari kecil sudah di ajarkan sistem isyarat

ini. Untuk menggunakan SIBI harus kuat dalam pemahaman bahasa

Indonesia nya, karena SIBI sebenernya bahasa Indonesia yang di

isyaratkan, sulit jika ini dilakukan/diterapkan untuk anak-anak Tuli. Sekali

lagi SIBI bukanlah bahasa.

Di Indonesia hanya ada satu bahasa isyarat yaitu Bahasa Isyarat

Indonesia (BISINDO) tidak ada yang lainnya lagi. Sedangkan SIBI

merupakan sebuah sistem yang dibuat khusus untuk mengeja dan

memahami kaidah bahasa Indonesia.


41

SIBI fokus kepada bahasa Indonesia. SIBI sendiri biasa digunakan

di sekolah-sekolah luar biasa, dengan tujuan supaya anak-anak tuli bisa

mengetahui struktur bahasa Indonesia, kalimat bahasa Indonesia yang

baik. Tapi SIBI bukan bahasa isyarat alami dari teman-teman komunitas

Tuli. Karena orang yang membuat SIBI ini adalah kepala sekolah dari

SLB pada tahun 1950an. Pembuat SIBI melihat bahwa teman Tuli bingung

dengan kata-kata bahasa Indonesia. Maka dibuatlah SIBI. Sistem isyarat

ini maksudnya adalah gerakannya untuk mengikuti struktur bahasa

Indonesia mirip seperti kode morse. SIBI juga bukan adopsi dari bahasa

isyarat amerika, tapi diadopsi dari SEE (Sign Extra English). Jadi SIBI ini

mengikuti struktur bahasa dari bahasa inggris (Wawancara dengan Bagja

Prawira selaku Co-founder dan CBO Silang 18 Desember 2021).

6. Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO)

Menurut Dewan Pengurus Daerah Gerakan untuk Kesejahteraan

Tunarungu Indonesia (DPD Gerkatin DKI Jakarta) BISINDO adalah suatu

sistem komunikasi yang bersifat praktis dan efektif untuk teman tunarungu

Indonesia dikembangkan oleh tunarungu Indonesia yang digunakan

sebagai komunikasi antar orang yang mendengar (Gerkatin, 2010).

Sedangkan, penjelasan lain tentang BISINDO adalah bahasa

isyarat yang dipelajari secara alami oleh Tuli sehingga BISINDO seperti

halnya bahasa daerah dan memiliki keunikan di tiap daerah, sehingga

kecepatan dan kepraktisannya membuat tuli lebih mudah memahami


42

meski tidak mengikuti aturan bahasa Indonesia sebagaimana SIBI

(Gumelar, Hafiar, & Subekti, 2018).

Bambang Prasetyo dalam (Maulida, 2017) mengemukakan bahwa

BISINDO digunakan untuk berkomunikasi antar individu sebagaimana

halnya dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Melalui BISINDO

komunitas Tuli dapat mengungkapkan pikiran dan perasaan leluasa dan

mengekspresikan dirinya sebagai warga Negara Indonesia yang

bermartabat sesuai dengan falsafah hidup dan HAM (Hak Asasi Manusia).

BISINDO adalah suatu entitas bahasa, bukan alat bantu. BISINDO

merupakan salah satu budaya yang lahir dan berkembang dari kaum Tuli

di Indonesia. Bahasa isyarat ini adalah bahasa alamiah yang dituturkan

oleh orang Tuli sebagai penutur asli, juga merupakan bahasa ibu

komunitas Tuli, tatanan kata nya berasal dari bahasa Indonesia yang

digunakan sehari-hari. Bahasa isyarat dan budaya tuli merupakan identitas

dan kebanggan. Bukan tanda keterbatasan.

Indonesia sendiri menggunakan satu bahasa isyarat yang

digunakan oleh komunitas tuli, yakni BISINDO. Namun bahasa isyarat

Indonesia ini berbeda di tiap daerah karena tiap-tiap daerah memiliki

kebudayaan isyarat masing-masing. Karena bahasa isyarat juga harus

mementingkan situasi sosial dan budaya yang terdapat di Indonesia dan

menyesuaikan dimana Tuli ini tinggal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya

perbedaan budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia. Bagi komunitas
43

Tuli yang menggunakan BISINDO, yang terpenting adalah suatu bahasa

dapat dicerna dan dimengerti dengan baik pemaknaannya.

Yang menarik adalah komunitas Tuli di seluruh Indonesia dapat

memahami satu sama lain meskipun terdapat perbedaan BISINDO di

setiap daerahnya. Karena yang membedakan bukanlah bahasa tersebut,

melainkan hanya gerakan isyarat (kosa isyarat) dan hal tersebut dapat

dipelajari oleh siapapun, termasuk teman dengar. Sebab, secara kaidah dan

bahasa tetaplah sama, tanpa mengubah struktur bahasa dari BISINDO itu

sendiri.

Pada komunikasi BISINDO, teman Tuli ini berkomunikasi dengan

menunjukkan ekspresi muka yang ekspresif, gerakan tangan yang sigap

dan banyak gerakan mulut seperti berbicara menggunakan bahasa lisan.

Hal ini karena bahasa isyarat mempunyai nilai ekspresif yang lebih tinggi.

Sehingga ekspresi wajah merupakan hal yang sangat penting dan sangat

dibutuhkan untuk mengetahui apa yang dikemukakan teman Tuli.

Gambar 2.3
Ekspresi Wajah
Sumber : www.liputan6.com, 2014
44

Pada bahasa isyarat Indonesia, komunikasi terjadi dengan

menggunakan kata- kata dasar yang tidak berpola dan artikulasi tidak

digunakan. Walaupun terkesan berantakan, tetapi nyatanya cara

komunikasi tersebut lebih mudah ditangkap oleh individu Tuli. Dalam

mengungkapkan atau berbicara, BISINDO tidak menggunakan kata

bantu untuk memperjelas kalimat. BISINDO hanya menggunakan

subjek-predikat-objek (SPO) pada susunan kalimatnya (Maulida, 2017).

Meskipun susunan bahasa isyarat Indonesia memang terbolak-

balik apabila dibandingkan dengan susunan atau tata bahasa Indonesia,

akan tetapi hal tersebut tidak menghalangi komunitas Tuli untuk dapat

berinteraksi. Susunan yang terbolak-balik juga tidak menjadikan

kemampuan tulis berbahasa Indonesia teman Tuli menurun karena

menggunakan bahasa isyarat (Fisipol UGM, 2019).

Gambar 2.4
Bahasa Isyarat Indonesia
Sumber : Yayasan Peduli Kasih ABK, 2019

Hingga saat ini bahasa isyarat Indonesia menghadapi tantangannya

tersendiri sebagai sebuah bahasa minoritas kaum Tuli. Berbeda dengan


45

bahasa lisan, bahasa isyarat belum mendapat pengakuan dari masyarakat

luas sebagai sebuah bahasa. Selain itu, dengan situasi saat ini, yaitu adanya

SIBI yang diluncurkan oleh pemerintah sebagai sistem komunikasi di

sekolah-sekolah, membuat bahasa isyarat ini semakin terpinggirkan.

Situasi tersebut membuat bahasa isyarat sebagai titik berat identitas

komunitas Tuli. Perjuangan kaum Tuli sebagai sebuah kelompok budaya

juga berpusat pada tuntutan agar bahasa isyarat dapat diakui dan

digunakan pada berbagai aspek kehidupan kaum Tuli, termasuk dalam

bidang pendidikan. Berdasarkan situasi kebahasaan bahasa isyarat

tersebut, komunitas Tuli memandang tinggi kemampuan bahasa isyarat

seorang anggota komunitas tersebut maupun orang di luar komunitasnya

(orang dengar). Kemampuan berbahasa isyarat tersebut menjadi kunci

penting dalam melakukan berinteraksi dengan kepada komunitas Tuli.

Komunitas Tuli hidup di tengah-tengah stigma negatif dan tekanan

bahasa mayoritas, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah lisan. Selain

itu, BISINDO yang digunakan sehari-hari oleh komunitas tuli belum

diangkat menjadi bahasa pengantar dalam pendidikan Tuli di sekolah-

sekolah luar biasa karena Pemerintah sudah menetapkan SIBI sebagai

bahasa pengantarnya. Situasi tersebut membuat bahasa isyarat di Indonesia

semakin terpinggirkan, begitu pula penggunanya.


46

B. Konsep Dasar Perancangan

1. Analisis khalayak

Analisis khalayak perlu dilakukan untuk meyakinkan bahwa pesan

sesuai dengan kebutuhan khalayak, mencakup tingkat pendidikan,

pengetahuan, sikap, perilaku dan kepercayaan mereka mengenai isu yang

dikembangkan (Wulandari, 2017).

Analisis khalayak bertujuan untuk meningkatkan STP (Segmentasi,

Targeting, Positioning), berikut ini analisis khalayak mengenai budaya

Tuli dan Bahasa Isyarat Indonesia:

a. Tingkat pengetahuan remaja terhadap budaya Tuli dan bahasa isyarat

Berdasarkan hasil penelitian melalui buku dan jurnal

pengetahuan masyarakat umum terutama remaja mengenai budaya Tuli

dan bahasa isyarat masih sangat minim karena adanya stigma negatif

sehingga membuat bahasa isyarat menjadi bahasa minoritas kaum Tuli.

b. Tingkat pengetahuan remaja terhadap akses belajar bahasa isyarat

Tingkat pengetahuan remaja terhadap akses belajar bahasa

isyarat masih rendah terutama jika dilingkungannya tidak terdapat

kaum Tuli. Para remaja kurang peduli terhadap pentingnya belajar

bahasa isyarat.

c. Tingkat partisipasi remaja dalam belajar bahasa isyarat

Partisipasi remaja terhadap belajar bahasa isyarat masih

kurang, minat yang rendah karena kurangnya kesadaran bahwa masih


47

ada teman Tuli yang ingin berkomunikasi tanpa adanya hambatan

dengan orang lain.

Segmentasi, Targeting dan Positioning (STP) yang merupakan

hasil analisis terhadap objek penelitian yang dipilih yaitu bahasa isyarat.

Maka ditetapkan sebagai berikut:

a. Segmentasi dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan

segi demografis, geografis dan psikografis, yaitu sebagai berikut:

1) Demografis

Usia : 14 sampai 16 tahun

Status Ekonomi Sosial : A dan B atau atas dan menengah

Jenis kelamin : Laki-laki dan perempuan

Pendidikan : SMP dan SMA/Sederajat

Pekerjaan : Pelajar

2) Geografis

Remaja atau siswa SMP dan SMA yang bertempat tinggal

sekaligus bersekolah di Jakarta, baik yang dilingkungan keluarga,

sekolah atau masyarakat terdapat teman Tuli maupun tidak

sehingga memiliki hambatan dalam berkomunikasi.

3) Psikografis

Para remaja yang memiliki minat yang sangat besar

terhadap dunia luar, dorongan yang kuat untuk mencari ilmu

pengetahuan dan pengalaman baru, terbuka terhadap hal-hal baru,

dan fleksibel dalam menghadapi dan menerima informasi baru.


48

Remaja usia 14 - 16 tahun yang pada setiap individunya memiliki

dorongan berkembang untuk berproses “menjadi”, yang selalu

mengalami perubahan, dan progress/kemajuan yang dinamis, dan

memiliki rasa harga diri yang semakin menguat. Namun remaja

pada usia ini juga mulai mengalami ketertarikan terhadap lawan

jenis yang disertai dengan dorongan seksual. Remaja pun mulai

ingin berkenalan, bergaul dengan teman-teman lawan jenisnya dan

mengenal pacaran. Daya tarik fisik diperlihatkan dengan gaya

berpakaian, berbicara atau perilaku lainnya, yang seolah-olah

sengaja berlebihan dan dibuat untuk menarik perhatian (Hurlock,

2016).

b. Targeting

Melalui media ini diharapkan remaja mampu membentuk sikap

dan perilaku lebih baik dalam menyikapi lingkungan di sekitarnya

maupun bukan khususnya kepada penyandang disabilitas. Perubahan

yang terjadi pola pikir yang membuat remaja untuk dapat

menyesuaikan diri dalam lingkungan yang ada dihadapannya. Juga

mampu memberikan influence serta perubahan yang cukup signifikan

pada masyarakat umum, serta dapat membantu teman Tuli untuk

mendapatkan hak yang sama bahwa semua manusia itu adalah mahluk

sosial yang membutuhkan orang lain untuk hidup tanpa harus

terkendala apapun termasuk bahasa untuk berkomunikasi.


49

c. Positioning

Dalam aspek materi buku-buku ilustrasi lain yang telah ada

sebelumnya lebih di tujukan kepada anak-anak Tuli untuk lebih fasih

dalam berbahasa isyarat. Sedangkan buku yang akan dibuat ditujukan

kepada remaja non-disabilitas yang belum mengenal mengenai budaya

Tuli dan bahasa isyarat yang dalam perwujudannya akan didominasi

oleh ilustrasi. Isinya pun akan mengenalkan bahasa isyarat

percapakapan sehari-hari yang sering digunakan oleh para remaja itu

sendiri. Hal ini menjadi daya tarik utama dari buku ini, yang

membuatnya berbeda dengan buku-buku ilustrasi lain yang telah ada.

2. Konsep Media

Menurut buku Fleishmen (dalam Maharsi, 2016: 3) dikatakan

bahwa Ilustrasi adalah seni yang menyertai proses produksi atau

pembuatan sebuah gambar, foto, atau diagram, bentuknya bisa berupa

naskah tercetak, terucap atau dalam bentuk elektronik. Masih menurut

Fleishmen, dikatakan bahwa ilustrasi mampu menjelaskan maksud.

Bentuknya bisa berupa karya fotografis, atau mungkin gambar realistis.

Bentuk yang dipakai tersebut sesuai dengan kebutuhan, namun intinya

adalah bisa dilihat oleh mata. Dengan kata lain, ilustrasi bisa menciptakan

gaya, sebuah bentuk metamorphosis, ataupun menterjemahkan suatu objek

dari sisi yang bersifat emosional dan fisik. Utamanya, ilustrasi tersebut

mampu mempengaruhi bahkan hingga memprovokasi penontonnya.

Sedangkan menurut Drs. Harry Wobowo, ilustrasi adalah gambar


50

dwimatra yang menghidupkan, menghias sekaligus memperjelas sebuah

naskah tulisan yang diperbanyak dengan teknik cetak dalam warna hitam

putih ataupun lengkap (berwarna) dengan wujud gambar coretan tangan,

foto, diagram atau grafik.

Dalam merancang sebuah buku ilustrasi merupakan elemen

yang dirasakan paling penting sebagai daya tarik. Ilustrasi akan

membantu pembaca untuk berimajinasi sewaktu membaca buku, sehingga

diharapkan agar pembaca seperti tidak merasa sedang membaca

sebuah buku pelajaran.

Buku ilustrasi bahasa isyarat ini merupakan sebuah buku interaktif

untuk mengenal bahasa isyarat dan budayanya. Buku ini diharapkan

memberikan sebuah alternatif untuk masyarakat umum yang ingin

mengenal dan belajar bahasa isyarat. Ilustrasi bahasa isyarat ini dituangkan

kedalam sebuah buku dengan mempertimbangkan fungsi sebuah buku

yaitu sebagai media penyimpanan yang dapat bertahan dalam jangka

waktu panjang, serta dapat dipelajari kapan saja. Dalam buku ilustrasi

bahasa isyarat ini memasukkan sebagian kecil unsur komikal berupa balon

text tetapi tidak sepenuhnya.

a. Judul Media

Buku ilustrasi ini dirancang membahas bahasa isyarat yang

digunakan oleh kaum Tuli wilayah DKI Jakarta untuk berinteraksi,

dengan judul Kamus Dasar Bahasa Isyarat dengan harapan menarik


51

perhatian orang dengar memahami isyarat agar tidak ada lagi hambatan

untuk berkomunikasi.

b. Deskripsi Ukuran dan Bentuk Buku

Buku ilustrasi ini berukuran 18 x 23 cm, dengan jumlah 52

halaman. Jenis kertas yang digunakan yaitu art paper, untuk sampul

menggunakan hard cover, dan untuk bagian isi menggunakan art

paper 260 gsm dengan posisi portrait dan penggunaan warna secara

colourfull.

c. Kerangka Materi

Dalam sebuah buku terdapat beberapa urutan alur/pokok

bahasan yang mendukung terbentuknya sebuah buku secara utuh dan

keseluruhan. Pokok bahasan dalam perancangan buku ini diawali

dengan pengenalan kaum Tuli sebagai pengguna bahasa isyarat, cara

berinteraksi/ etika dalam berinteraksi dengan kaum Tuli, pengenalan

Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) yang diawali dengan pengenalan

abjad, angka, serta kosa isyarat dasar lainnya.

d. Perencanaan Penempatan Publikasi dan Distribusi

Buku ilustrasi ini direncanakan akan diproduksi melalui

penerbit Fina Pustaka dan akan dipublikasikan dan didistribusikan

kepada pelajar tingkat SMP dan SMA/Sederajat di daerah DKI Jakarta

dengan mengadakan workshop pengenalan bahasa isyarat disekolah-

sekolah tersebut. Peluncuran buku ilustrasi ini akan di adakan di Kopi

Kawula Muda, Jakarta Selatan. Selain itu buku ilustrasi ini juga akan
52

didistribusikan di cafe maupun coffee shop dengan alasan penempatan

media tersebut karena cafe dan coffee shop merupakan tempat yang

sering dikunjungi dan di sukai oleh para remaja untuk bersantai,

berbincang dengan teman, mengerjakan tugas dan menghilangkan rasa

bosan. Sehingga buku ilustrasi ini bisa menjadi salah satu media yang

efektif untuk dilihat dan dibaca oleh para remaja.

3. Konsep Desain Komunikasi Visual

a. Mind Mapping

Menurut Buzan, mind map adalah cara termudah untuk

menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke

luar dari otak. Mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif,

dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran kita. (dalam

Hamidah, A.F., dkk, 2020). Maka dengan mind mapping akan

menyimpan sebanyak mungkin informasi yang didapatkan, serta

mengelompokkan informasi tersebut sesuai dengan pola pemikiran

sehingga dapat meningkatkan pemahaman yang dibutuhkan dalam

karya yang dibuat pada perancangan ini.

Gambar 2.5
Mind Mapping proses pengerjaan
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2021
53

b. Moodboard

Moodboard merupakan salah satu media visual untuk yang

digunakan dalam membuat suatu desain. Moodboard juga dapat

dikatakan sebagai alat atau media untuk desainer mendapatkan suatu

ide atau inspirasi untuk membuat suatu karya desain (Khasana, 2019).

Pada perancangan buku ilustrasi ini moodboard yang dibuat berupa

sekumpulan warna-warna, foto, tata letak, tekstur dan gaya ilustrasi

yang akan berkolerasi dengan topik bahasan. Moodboard dibuat

dengan tujuan sebagai acuan visual yang dapat digunakan saat proses

mendesain.

Berikut contoh moodboard yang digunakan:

Gambar 2.6
Moodboard Skema Warna
Sumber: pinterest.com, 2021
54

Gambar 2.7
Moodboard Tata Letak
Sumber: behance.com, 2021

Gambar 2.8
Moodboard Gaya Ilustrasi
Sumber: pickedink.com, 2021

c. Gaya Ilustrasi

Menurut Made (dalam Janottama & Putraka, 2017) ilustrasi

merupakan gambar yang menyertai naskah, artikel, atau media

komunikasi lainnya sebagai penyemarak pada halaman buku-buku

sehingga dapat menjelaskan dengan gambar. Wibowo (2007 : 30)

menyatakan bahwa ilustrasi adalah hasil visualisasi dari bentuk

penjelas teks. Ilustrasi memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai


55

penjelas teks seandainya informasi yang disajikan terlalu rumit dan

terlalu panjang untuk diuraikan, sebagai penambah daya tarik tiap

halaman, sebagai pengimbang tata letak halaman, serta sebagai upaya

penyampaian isi teks dengan lebih jelas dan cepat.

Pada perancangan buku ilustrasi berjudul Kamus Dasar Bahasa

Isyarat gaya ilustrasi yang dipakai adalah gaya ilustrasi Jepang.

Menurut Budianto (dalam Ellen, 2021) bentuk atau artstyle dari anime

adalah gaya ilustrasi yang digunakan atau dipakai dan lahir dari negeri

sakura atau Jepang. Gaya ilustrasi anime ini menjadi populer dan

banyak diminati oleh kalangan masyarakat, khususnya anak muda dan

tidak menutup kemungkinan orang dewasa juga menyukai artstyle

anime ini.

Perkembangan zaman yang semakin maju dan masuknya

budaya luar ke Indonesia semakin membuat gaya ilustrasi ini tersebar

luas, ditambah dengan produksi film atau movie yang bergayakan

anime ini yang semakin gencar dan ramai di masyarakat. Anime yang

saat ini menjadi komoditas internasional semakin menarik banyak

perhatian karena visual yang bisa dibilang bagus dibandingan dengan

kartun dari budaya barat. Hal ini juga yang membuat penulis tertarik

menggunakan gaya ilustrasi Jepang dalam perancangan buku ilustrasi,

dengan harapan remaja tertarik dengan buku ilustrasi ini


56

Gambar 2.9
Gaya Ilustrasi Jepang
Sumber: pernilleoe.dk, 2021

d. Skema Warna

Sherin (2012) mengemukakan bahwa warna adalah salah satu

aspek yang paling penting dalam mengkomunikasikan pesan. Warna

dapat membantu desainer mendapatkan respon yang tepat dari

audience. Setiap warna memiliki karakter dan sifat yang berbeda pula,

maka dari itu pemilihan warna haruslah tepat untuk menghindari citra

yang tak sesuai. Warna dapat menarik atensi audience dan

menyampaikan informasi bahkan pada lingkungan visual yang ramai.

Dengan memahami kombinasi dan harmoni warna, desainer akan lebih

mudah dalam merancang sebuah desain yang efektif. Selain itu,

pemilihan skema warna pada desain juga perlu disesuaikan dengan

target audience yang dituju.

Skema warna pada ilustrasi ini menggunakan warna biru muda

sebagai latar, guna memberikan kesan menarik, kekuatan, ceria, dan


57

tenang. Warna dingin dan soft pada latar, memberi kesan tenang,

yang kontras dengan warna kuning muda.

Gambar 2.10
Skema warna
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2022

e. Pemilihan Huruf

Menurut Anggraini dan Nathania (2014), tipografi berasal dari

bahasa Yunani yaitu typos dan graphe. Secara umum, tipografi dapat

diartikan sebagai bentuk tulisan. Sebelum memilih jenis huruf yang

akan dipakai, kita perlu memahami karakter dan kesan apa yang ingin

kita tunjukkan. Hal ini menjadi penting karena jika tidak, maka karya

desain menjadi tidak komunikatif.

Dalam pemilihan huruf, Sihombing (2015) mengemukakan

bahwa desainer harus mempertimbangkan kesesuaian jenis huruf

dengan konten, kenyamanan dan tren huruf yang sedang berlaku. Latar

belakang terbentuknya sebuah tren dalam tipografi adalah kebutuhan


58

zaman. Jika sebuah karya tipografi memiliki unsur yang berhubungan

dengan periode waktu tertentu, maka akan lebih baik jika huruf yang

dipilih adalah huruf yang merepresentasikan karakteristik zaman

tersebut juga.

Tipografi yang digunakan dalam buku ilustrasi ini adalah sans

serif atau tidak memiliki pengait pada ujung hurufnya dan

memiliki ketebalan huruf yang sama. Sans serif melambangkan

kesederhanaan, lugas, dan modern. Tipografi dalam buku ini terlihat

seperti tulisan tangan, sehingga menimbulkan kesan keakraban dan

intim. Dengan pemilihan huruf ini diharapkan legibility (tingkat

kemudahan mata mengenali karakter huruf) dan readability

(keterbacaan) tercapai dengan baik. Karena dalam segi ukuran

huruf, sesuai dengan komposisi keseluruhan bidang desain dan

warna huruf menggunakan warna hitam.

Gambar 2.11
Referensi Penggunaan Huruf Adabelle Handwriting Regular Pada Buku Ilustrasi
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
59

Gambar 2.12
Huruf yang dipilih Adabelle Handwriting Regular
Sumber: dafont.com, 2022

Gambar 2.13
Referensi Penggunaan Huruf Franklin Gothic Book Pada Buku Ilustrasi
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
60

Gambar 2.14
Huruf yang dipilih Franklin Gothic Book
Sumber: fontmeme.com, 2022

C. Perancangan Media

1. Pengumpulan Data Objek

Instrumen dokumentasi dikembangkan untuk penelitian dengan

menggunakan pendekatananalisis. Selain itu digunakan juga dalam

penelitian untuk mencari bukti-bukti sejarah, landasanhukum, dan

peraturan-peraturan yang pernah berlaku. Subjek penelitiannya dapat

berupa buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat,

catatan harian, bahkan bena-bendabersejarah seperti prasasti dan artefak

(Clemmens dalam Anufia & Alhamid, 2019).

Dokumen dalam penelitian kualitatif digunakan sebagai

penyempurna dari data wawancaradan observasi yang telah dilakukan.

Dokumen dalam penelitian kualitatif dapat berupa tulisan, gambar, atau


61

karya monumental dari obyek yang diteliti (Ulfatin dalam Anufia &

Alhamid, 2019).

Pengumpulan data dokumentasi dilakukan melalui zoom meeting

melalui narasumber untuk mengumpulkan data dan mendapatkan

informasi yang utuh dan menyeluruh.


62

Gambar 2.15
Pengumpulan Data Objek
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2021

2. Pembuatan Ilustrasi

Gambar 2.16
Gambar Ilustrasi Manual
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
63

3. Pewarnaan (Coloring)

Gambar 2.17
Proses Pewarnaan (Coloring)
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

4. Sketsa Manual

Gambar 2.18
Sketsa Manual Sampul Buku
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
64

Gambar 2.19
Sketsa Manual Isi Buku Ilustrasi
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

Gambar 2.20
Sketsa Manual Gestur Tangan
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
65

5. Tata Letak (Layout)

Gambar 2.21
Proses Tata Letak (Layout)
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

D. Hasil Perancangan

Menjelaskan hasil akhir dari perancangan media dangan disertai

penjelasan tentang desain (tampilan visual) maupun distribusi atau

penggunaannya. Bagian ini juga menampilkan dan menjelaskan media

pendukung yang dibuat dan displai. Aspek yang harus dijelaskan dalam

deskripsi hasil perancangan meliputi:

1. Spesifikasi Teknis Media

a. Ukuran : 18 cm x 23 cm

b. Jenis Huruf : Adabelle Handwriting Regular dan Franklin

Gothic Book

c. Jenis Kertas : Hard Cover

Art paper 260 gr (Isi)

d. Warna : CMYK
66

e. Teknik Cetak : Digital Printing

2. Skala Gambar Hasil Perancangan

Hasil perancangan buku ilustrasi Isyaratkan Tanganmu! Memiliki

skala perbandingan 1:10 dari ukuran sebenarnya.

Gambar 2.22
Skala Gambar Hasil Perancangan
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

3. Hasil Perancangan Media Utama

Pada perancangan ini, buku ilustrasi dibuat dengan ukuran 18 x 23

cm, berjumlah 39 halaman yang memuat gambar dan teks. Ilustrasi yang

digunakan merupakan ilustrasi bergaya kartun dengan teknik digital art.

a. Bagian Awal

“Kamus Dasar Bahasa Isyarat” adalah judul yang digunakan

untuk buku ilustrasi ini. Pada cover terdapat beberapa tokoh karakter

dalam buku dan sign languange yang berbeda dan memiliki arti.

Dalam frame tersebut juga ada beberapa tangan yang membentuk

gerakan isyarat tangan yang mampu mencerminkan isi buku.


67

Sedangkan cover bagian belakang berisi sinopsis dan penerbit dari

buku ilustrasi ini, dengan tambahan tiga remaja membentuk sign

language love. Bagian awal juga menampilkan halaman copyright,

halaman prancis, identitas buku, kata pengantar dan pengenalan tokoh.


68

Gambar 2.23
Sampul Buku Ilustrasi
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
69

b. Bagian Isi

Menggambarkan tiap halaman buku ilustrasi yang berisi sedikit

tambahan cerita, cara berinteraksi dengan teman Tuli, quiz dan

pengenalan bahasa isyarat Indonesia. Berikut beberapa Final Design

buku ilustrasi isyaratkan tanganmu!


70

Gambar 2.24
Bagian Isi Buku Ilustrasi
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
71

c. Bagian Penutup

Bagian ini berisi halaman interaktif pada halaman akhir,

biodata penulis dan sampul belakang buku.

Gambar 2.25
Bagian Penutup Buku Ilustrasi
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

4. Perancangan Media Pendukung

Media pendukung buku ilustrasi ini digunakan sebagai media

publikasi serta media promosi, pemilihan media pendukung disesuaikan

dengan fungsinya guna menarik minat target audience, maka media


72

pendukung yang digunakan berupa media sosial, poster, pembatas buku

dan roll banner.

a. Media Sosial

Pemilihan media sosial sebagai media pendukung utama karena

media sosial memiliki dampak yang sangat kuat terhadap

perkembangan pola pikir manusia. Sebagian besar penduduk dunia

telah menjadikan media sosial sebagai salah satu kebutuhan hidup

yang boleh dikatakan primer (Ainiyah, 2018). Melalui media sosial

khususnya instagram, penulis akan memberikan berbagai informasi-

informasi edukatif mengenai bahasa isyarat dan budaya Tuli di akun

@isyarat_tangan, seperti final design yang dibuat, dalam akun

instagram @isyarat_tangan yang memuat informasi tentang manfaat

bahasa isyarat, perbedaan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan

Sistem Isyarat Indonesia (SIBI), fakta tentang teman Tuli juga

pembelajaran kosa isyarat BISINDO yang akan diberikan setiap dua

minggu sekali. Selain itu juga sebagai media promosi peluncuran buku

dan merchadise. Melalui beberapa ide konten yang diberikan di media

sosial instagram akun @isyarat_tangan yang menyajikan informasi

edukasi bahasa isyarat dengan berbagai bentuk postingan yang

bervariasi diharapkan postingan tersebut mampu memberikan respon

kognitif bagi pengguna media sosial instagram terutama remaja dalam

edukasi bahasa isyarat dan budaya Tuli.


73

Gambar 2.26
Media Sosial
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
74

b. Poster

Pemilihan media poster dikarenakan media ini dapat

memberikan informasi secara lebih dan dapat ditempatkan di berbagai

lokasi yang sesuai dan mudah dilihat. Media ini dapat mudah

dibaca, mudah dilihat dan dapat menarik perhatian audience. Poster

yang akan digunakan berukuran A3, yaitu 32,9 cm x 48,3 cm

dengan menggunakan jenis kertas art cartoon 310 gram dan sistem

cetak full colour.

Gambar 2.27
Poster
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

c. Pembatas Buku

Pembatas buku di buat sebagai media pendukung karena

media ini sangat berfungsi sebagai penanda setelah kita membaca buku
75

untuk mengingatkan di halaman berapa kita terakhir membaca buku

dan media ini juga sesuai dengan kebutuhan buku ilustrasi yang dibuat.

Pembatas buku yang digunakan berukuran 23 x 5 cm dengan

menggunakan jenis kertas art cartoon 310 gram dan sistem cetak full

colour. Akan di distribusikan bersamaan dengan penjualan buku.

Gambar 2.28
Pembatas Buku
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
76

d. Roll-Banner

Media pendukung roll banner yang dirancang difokuskan

sebagai bentuk media komunikasi yang memiliki daya tarik dengan

menggunakan kalimat persuasif. Melalui roll banner ini penulis ingin

audience yang melihat untuk tertarik mencoba berinteraksi dengan

teman disabilitas khusunya teman Tuli tanpa ada banyak pertanyaan,

keraguan ataupun ketakutan seperti bagaimana cara berinteraksi

bagaimana untuk memulai komunikasi dan lain sebagainya. Roll

banner yang akan digunakan berukuran 160 cm x 60 cm dengan

menggunakan bahan albatros dan sistem cetak full colour.

Gambar 2.29
Roll-Banner
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
77

5. Merchandise

a. Stiker

Stiker digunakan sebagai sarana memperkenalkan bahasa

isyarat kepada audience. Stiker ini akan diberikan sebagai hadiah

kepada setiap orang yang datang. Stiker yang akan dibuat berukuran 5

x 5 cm dengan menggunakan bahan vinyl.

Gambar 2.30
Stiker
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

b. Gantungan Kunci

Pemilihan gantungan kunci sebagai souvenir karena gantungan

kunci memiliki nilai fungsional. Gantungan kunci bisa digunakan oleh

siapa saja atau semua lapisan masyarakat, gantungan kunci juga bisa

melindungi properti dan hal-hal penting milik audience, selain itu


78

gantungan kunci juga sangat efektif dalam mempromosikan buku

ilustrasi ini sehingga audience akan ingat produk dengan harapan akan

terus mempelajari bahasa isyarat dan budaya Tuli.

Gambar 2.31
Gantungan Kunci
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

c. Tote Bag

Pemilihan custom tote bag sebagai pendukung karena tote bag

merupakan salah satu media promosi yang banyak di lirik oleh

kalangan remaja. Tote bag dengan desain menarik dan hasil sablon

yang berkualitas memiliki kesan tersendiri, sehingga promosi akan

diterima dengan baik oleh audience. Desain tote bag menggunakan

kata “Bahasa Isyarat Indonesia” dan ditambah dengan sign language,

dengan harapan akan semakin banyak mengajak masyarakat untuk

peduli dan melihat penyandang disabilitas khususnya teman Tuli. Tote

bag yang akan digunakan berukuran 30 x 35 cm dengan menggunakan

bahan canvas berwarna putih.


79

Gambar 2.32
Tote Bag
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022

d. Tumbler

Pemilihan media pendukung tumbler karena tumbler

merupakan media promosi yang efektif, karena banyak masyarakat

yang saat ini mulai peduli lingkungan dan menggunakan tumbler

sebagai botol minuman yang digunakan sehari hari saat beraktivitas di

luar rumah, hal ini yang menjadi ajang untuk mempermudah proses

perkenalan bahasa isyarat kepada masyarakat luas dengan

menambahkan sedikit desain pada tumbler.

Gambar 2.33
Tumbler
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2022
BAB III PENUTUP

PENUTUP

A. Simpulan

Setiap individu manusia tidak mungkin bergantung pada dirinya sendiri

dan pada hakikatnya manusia diciptakan sebagai mahluk sosial. Manusia tidak

dapat hidup seorang diri, manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan

manusia lainnya. Ketika setiap individu berinteraksi dengan individu lainnya akan

terjadi proses komunikasi, dimana manusia menggunakan bahasa. Tak terkecuali

dengan teman Tuli, walaupun mereka kehilangan kemampuan bahasa lisannya,

bukan berarti mereka tidak bisa berkomunikasi. Mereka memiliki bahasa alami

yang berkembang di budaya komunitas teman Tuli, yaitu bahasa isyarat. Namun

sayangnya masih banyak yang tidak tahu mengenai bahasa alami atau BISINDO

yang biasa digunakan komunitas teman Tuli di Indonesia.

Karena itulah komunitas teman Tuli tidak bisa berjuang tanpa bantuan kita

dari teman-teman non-Tuli atau teman dengar. Untuk dapat membantu komunitas

teman Tuli kembali kehakikatnya bahwa semua manusia itu adalah mahluk sosial

yang membutuhkan orang lain untuk hidup tanpa harus terkendala apapun

termasuk bahasa untuk berkomunikasi. Sebaliknya, untuk membantu kita juga

berkomunikasi dengan komunitas teman Tuli, dalam hal ini adalah bahasa isyarat

Indonesia. Menjawab segala tantangan dan kondisi yang ada, buku ilustrasi

menjadi media menarik untuk menginformasikan kepada khalayak secara luas

mengenai bahasa isyarat Indonesia. Buku ilustrasi dipilih sebagai media visual

80
81

karena mampu menarik secara visual tentang pesan yang akan disampaikan. Buku

ilustrasi mampu memberikan pemahaman visual secara komunikatif kepada

pembaca maupun penikmatnya. Bahasa yang mudah dipahami dan ilustrasi yang

menarik, merupakan bagian kecil dari kekuatan buku ilustrasi ini serta

membedakan dengan media lain.

Hasil yang dicapai dari penelitian ini yaitu telah dibuat buku ilustrasi

berjudul Kamus Dasar Bahasa Isyarat. Buku ilustrasi ini menjadikan target

audience lebih mengenal bahasa isyarat, lebih memahami gerak isyarat, lebih

mengetahui cara berinteraksi dengan teman Tuli, lebih mengenal kosa isyarat

dasar, dan buku ini memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk belajar bahasa

isyarat yang bisa digunakan untuk berkomunikasi dengan teman Tuli telah

berhasil dicapai.

Dalam proses penelitian dan perancangan media, masalah yang ditemukan

penulis adalah banyaknya perbedaan gerak dalam bahasa isyarat Indonesia di tiap

komunitas teman Tuli. Hal ini membuat penulis kesulitan dalam menentukan

gerak isyarat yang akan digunakan dalam perancangan media. Solusi dari

masalah tersebut, penulis menggunakan bahasa isyarat yang di praktikkan

langsung oleh narasumber saat melakukan wawancara. Penulis juga diberikan

masukkan oleh narasumber Bagja Prawira, bahwa gunakan bahasa isyarat

Indonesia yang dipelajari di awal dan biasa digunakan karena komunitas teman

Tuli memiliki keunikkan. Walaupun gerak bahasa isyarat Indonesia yang

digunakan berbeda, mereka tetap bisa memahami apa yang di maksud. Sehingga

hambatan dan masalah mengenai gerak bahasa isyarat tersebut dapat penulis atasi.
82

B. Saran

Dalam perancangan sebuah buku ilustrasi hendaknya memperhatikan

seluruh aspek dari perancangan tersebut baik dari segi data visual ataupun segi

verbal dan jika memungkinkan terlibat langsung atau berdekatan dengan dunia

disabilitas. Saran penulis untuk yang akan membuat perancangan dengan tema

yang sama, yaitu :

1. Fokus pelajari bahasa isyarat Indonesia di satu komunitas saja, sehingga

sumber informasi yang di dapat tidak menjadi rancu. Kecuali dalam

materi, seperti budaya Tuli, etika berkomunikasi atau cara berinteraksi

bisa lakukan riset sebanyak-banyaknya.

2. BISINDO adalah bahasa dan harus disadari, diakui dan diangkat agar

identitas dan budaya teman Tuli dipertahankan dan dihormati. Dengan

adanya kesadaran bahwa BISINDO adalah panduan penting dalam

kehidupan teman Tuli, generasi muda Indonesia akan sadar dan mengerti

pentingnya tradisi, budaya dan Bahasa sebagai pemersatu warga negara

Indonesia.

3. Diperlukan adanya review atau testimoni dari pengguna atau tokoh yang

berperan di kebudayaan teman Tuli agar dalam pendistribusian media,

pengguna yang baru pertama kali mengetahui dan mempelajari bahasa

isyarat bisa mendapatkan jaminan bahwa media ini adalah media yang

terpercaya dan benar-benar bermanfaat.

4. Lakukan riset yang lebih mendalam baik mengenai urgensi atau

keperluan dari penggunaan bahasa isyarat, maupun keautentikan


83

informasi yang hendak disampaikan. Dengan menggandeng organisasi

resmi di Indonesia, perancangan bisa lebih dipercaya dan dapat

terdistribusi dengan lebih baik.

Saran dan kesimpulan yang penulis sampaikan di atas bertujuan agar

perancangan buku ilustrasi selanjutnya lebih baik dan lebih bermanfaat untuk

banyak orang. Untuk generasi muda Indonesia, mari bersama ciptakan dunia yang

lebih inklusi.
DAFTAR PUSTAKA

Agustin, W. T. (2017). Analisis Khalayak. Universitas Komputer Indonesia.


Ainiyah, N. (2018). Remaja Millenial dan Media Sosial: Media Sosial Sebagai
Media Informasi Pendidikan Bagi Remaja Millenial. Jurnal Pendidikan
Islam Indonesia, 2(2), 221-236.
Amanda, V. T. (2020). Praktik Glokalisasi Dalam Produksi Buku Ilustrasi di
Indonesia. (Skripsi). Universitas Islam Indonesia.
Anggraini, S. L., & Nathalia, K. (2014). Desain Komunikasi Visual: Dasar-dasar
Panduan untuk Pemula. Bandung: Nuansa Cendekia.
Albrecht, G. L. (2006). Encyclopedia of Disability. London: SAGE Publications.
Anggito, A., & Setiawan, J. (2018). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jawa Barat:
CV Jejak.
Anufia, B., & Alhamid, T. (2019). Resume: Instrumen Pengumpulan Data.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong.

Bahan, B & Parish, E. (2019). Budaya Tuli. Diakses dari


https://www.lekontt.com/2019/05/budaya-tuli.html#comment-form

Carr, N. (2010). The Shallows. London: Atlantic Books.

Chaer, A. (2003). Linguistik Umum. Jakarta: Rinekta Cipta.

Devianty, R. (2017). Bahasa Sebagai Cermin Kebudayaan. Jurnal Tarbiyah: UIN


Sumatera Utara. Vol. 24, No. 2, 0854 – 2627.
Ellen, L. (2021). Gaya Anime Kids dalam Perancangan Buku Ilustrasi Pengenalan
Huruf Aksara Jawa (Doctoral dissertation, Institut Teknologi Telkom
Purwokerto).

Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Gajah Mada. (2019). Belajar
Identitas dan Budaya Tuli: Kata ‘Tuli’ Bukanlah Kata Kasar. Diakses dari
https://fisipol.ugm.ac.id/belajar-identitas-dan-budaya-tuli-kata-tuli-
bukanlahkata-kasar/

Gerkatin, D. (2010). Berkenalan Dengan BISINDO. Jakarta: DPD GERKATIN,


WQA.
Griadhi, N. M. A. Y. (2019). Affirmative Action Untuk Peningkatan Kesetaraan
Bagi Kaum Disabilitas Tunarungu Dalam Pemenuhan Hak Menikmati
Acara Televisi. Vyavahara Duta, 14(2), 64-73.

Gumelar, G., Hafiar, H., & Subekti, P. (2018). Konstruksi Makna Bisindo Sebagai
Budaya Tuli Bagi Anggota Gerkatin. Informasi.
https://doi.org/10.21831/Informasi.v48i1.17727

Hakim, L., & Samino, D. (2008). Kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (5th
ed.). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.

Hamidah, A. F., Patmanthara, S., & Soraya, D. U. (2020). Bahan ajar berbasis
webtoon dengan model mind mapping untuk meningkatkan pemahaman
konsep pada materi dasar desain grafis. Jurnal Penelitian Pendidikan dan
Pembelajaran (JPP), 1(1)

Hurlock, B. E. (2016). Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Indonesiabaik.id. (2018). Etika Saat Berinteraksi Dengan Kaum Tuli. Diakses dari
https://indonesiabaik.id/infografis/etika-saat-berinteraksi-dengan-kaumtuli.

Isma, S. T. (2018). Meneliti Bahasa Isyarat Dalam Perspektif Variasi Bahasa.


Kongres Bahasa Indonesia.

Janottama, I.P.A, & Putraka, A.N.A. (2017) gaya dan teknik perancangan ilustrasi
tokoh pada cerita rakyat Bali. Jurnal Hasil Penelitian Segara Widya, 25-
41. ISSN: 2354-7154. Doi: https://doi.org/10.31091/sw.v5i0.189

KBBI V.0.2.1. Beta (21). 2016. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Kautsar, I., Borman, R. I., & Sulistyawati, A. (2015). Aplikasi Pembelajaran


Bahasa Isyarat Bagi Penyandang Tuna Rungu Berbasis Android
Dengan Metode Bisindo. Semnasteknomedia Online, Vol. 3, No. 1.

Khasanah, N. (2019). Pengembangan Media Moodboard Pada Mata Kuliah


Desain Busana Lanjut Prodi Pendidikan Tata Busana Universitas Negeri
Semarang. (Skripsi). Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Kashdan, T. B, Rose, P., & Finchan, F.D. (2004). Curiosity and Exploration:
Facilitating Positive Subjective Experiences and Personal Growth
Opportunities. Journal of Personality Assessment, Vol. 82(3), pp. 291-305

Kompas. (2017). Hak Penyandang Tuli Terabaikan. Diakses dari


https://www.kompas.id/baca/dikbud/2017/03/06/hak-penyandang-tuli-
terabaikan
Maharsi, I. (2016). Ilustrasi. Dwi-Quantum.

Maulida, D. K. (2017). Bahasa Isyarat Indonesia di Komunitas Gerakan Untuk


Kesejahteraan Tunarungu Indonesia. (Skripsi). UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Mursita, R. A. (2015). Respon Tunarungu Terhadap Penggunaan Sistem Bahasa


Isyarat Indonesa (SIBI) Dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) Dalam
Komunikasi. Inklusi Journal Of Disability Studies, 2(2), 221–232.
https://doi.org/10.14421/ijds.2202

Nugrahani, F., & Hum, M. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Solo: Cakra
Books.
Nugroho, I. P. (2019). Memahami rasa ingin tahu remaja ditinjau berdasarkan
jenis kelamin. Jurnal Bimbingan Dan Konseling Ar-Rahman, 5(1), 1-5.

PUSBISINDO ‫ ׀‬Pusat Bahasa Isyarat Indonesia. Diakses pada 2022, Januari 10


dari https://pusbisindo.org/

Pusat Studi Individu Berkebutuhan Khusus. (2018). Tuli, Tunarungu, atau tuli?.
Diakses dari https://www.usd.ac.id/pusat/psibk/2018/04/20/tunarungu/

Sherin, A. (2012). Design Elements: Color Fundamentals. MA: Rockport


Publishers.

Siregar, Z. N. (2021). Silang: Kenalkan Bisindo dan Budaya Tuli Lewat Akses
Teknologi. Diakses dari https://plus.jakarta.go.id/kata-kota/03801db7-
e586-48e1-8a3e-7a964f77a6ad

Sihombing, D. (2015). Tipografi dalam Desain Grafis. Jakarta: Gramedia Pustaka


Utama.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaaan dan Pengembangan Bahasa. (2014).


Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta: Balai Pustaka.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5871.

Wasita, A. (2012). Seluk Beluk Tunarungu dan Tunawicara Serta Strategi


Pembelajarannya. Yogyakarta: Javalutera.
Wibowo, I. (2007). Anatomi buku. Bandung: Kolbu.

Wibowo, M. H., Soehardjo, A. J., & Prasetyadi, B. (2013). Perancangan Buku


Ilustrasi 12 Zodiak Dan Karakteristiknya Untuk Remaja Putri Usia 12-17
Tahun. Jurnal DKV Adiwarna, 1(2), 11.
DAFTAR NARASUMBER

1. Nama : Laura Lesmana Wijaya


Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 17 November 1990
Pekerjaan : Peneliti dan pengajar di
Laboratorium Penelitian Bahasa
Isyarat Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Indonesia

Waktu wawancara : 17 Desember 2021


Tempat wawancara : Komplek Depkes, Jl H. Umaidi,
West Rawa, Kec. Ps. Minggu,
Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta
12510

Kompetensi sesuai
Objek penelitian : Ketua Pusat Bahasa Isyarat
Indonesia (PUSBISINDO)

2. Nama : Bagja Wiranandhika Prawira


Pekerjaan : Chief Brand Officer & Co Founder
Silang.id
Waktu wawancara : 18 Desember 2021
Tempat wawancara : Zoom Meeting
Kompetensi sesuai
Objek penelitian : Chief Brand Officer & Co Founder
Silang.id
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Fina Fianty, lahir di Jakarta, 08 Agustus 1999. Sedang


menempuh pendidikan S1 di Universitas Indraprasta PGRI.
Ketertarikkannya dalam dunia disabilitas dimulai sejak
tahun 2019 hingga saat ini. Fina memiliki misi untuk
membangun jembatan komunikasi guna menuju
kemanusiaan dan kesetaraan.

Melalui buku ilustrasi ini Fina ingin menjembatani komunikasi dan interaksi
antara teman Tuli dan teman dengar, guna menciptakan dunia yang lebih inklusi
serta ramah disabilitas
Lampiran 1
Hasil Perancangan Media
Lampiran 2
Instrumen Wawancara 1

Nama : Laura Lesmana Wijaya

Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 17 November 1990

Pekerjaan : Ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia

Waktu wawancara : 17 Desember 2021

Tempat wawancara : Komplek Depkes, Jl H. Umaidi, West Rawa, Kec. Ps.


Minggu, Kota Jakarta Selatan, DKI Jakarta 12510

No Pertanyaan Jawaban

1. Apa itu budaya Tuli? Tuli memiliki identitas budaya yang dibanggakan,
seperti perkenalan, cara memanggil, cara menarik
perhatian umum, kontak mata dan jarak waktu
berkomunikasi. Budaya Tuli merupakan hal-hal yang
berkaitan dengan sikap, perilaku dan bagaimana
persepsi serta perspektif Tuli dalam memahami
sesuatu. Budaya Tuli sangat luas, namun terdapat
beberapa mendasar, seperti:

1. Perkenalan
Setiap teman Tuli memiliki nama panggilan
isyarat. Dengan tujuan setiap orang baik teman
Tuli maupun teman dengar memiliki nama
panggilan isyarat yang menjadi sebuah ciri khas
dari masing-masing individu. Panggilan isyarat
bisa diperoleh dari sesuatu hal yang unik dari
orang tersebut. Ciri khas yang dimaksud seperti
dari kebiasaan, hobi atau fisik mereka.
2. Cara memanggil
Dalam budaya Tuli memanggil lawan bicara
tidak disarankan untuk menggunakan bahasa
lisan. Hal itu menjadi tidak berguna karena
teman Tuli tidak mendengar. Cara untuk
memanggil teman Tuli dilakukan dengan
menepuk bahu jika jarak dengan lawan bicara
berdekatan atau bersebelahan. Apabila
berjauhan atau bersebrangan bisa menggunakan
lambaian tangan.
3. Cara menarik perhatian
Bagaimana cara memanggil teman Tuli jika
didalam satu ruangan ada 100 Tuli? Apakah
hanya dengan melambaikan tangan? Ketika
disebuah ruangan kita bisa menyalakan dan
mematikan lampu pada waktu yang cepat. Jadi
orang Tuli akan menyadari sesuatu yang
berubah ditempat itu, dan itu menjadi tanda bagi
mereka untuk saling memanggil temannya atau
rekannya dengan menepuk pundak. Jadi ada
gelombang dari satu orang ke orang yang lain.
Dari satu sisi ke sisi yang lain, sehingga sampai
kesemua orang itu dipanggil dan melihat. Nah
kalau kita ada di zoom? Saya kan tidak bisa
memanggil yah, kalau ada orang-orang Tuli
bagaimana cara memanggilnya. Contohnya ini
ada Tuli, namun memperhatikan dan tidak
melihat layar laptop. Bagaimana cara menarik
perhatian mereka? Jadi orang tadi kan sedang
pegang handphone ya, maka video call saja, jadi
dia sadar kalau dia dipanggil. Ya, itu strategi
nya untuk menarik perhatian.

4. Kontak Mata
Kontak mata bagi komuniats tuli sangat penting
untuk dilakukan, jadi apa yang disampaikan
ditangkap atau dipahami melalui indera
penglihatan, dengan demikian kontak mata
dilakukan karena apapun yang disampaikan
yang diandalkan adalah penglihatan. Berbeda
dengan orang dengar, orang dengar kalau
berbicara mengandalkan telinga, jadi mereka
tidak harus menatap terus-terusan. Untuk orang
Tuli, tidak mungkin saya berisyarat dengan
kamu tapi saya melihat ke kanan, akan merasa
janggal dan aneh ya ketika saya berisyarat
kepada kamu tetapi mata saya menatap ke
tempat lain.
5. Jarak waktu berkomunikasi
Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa
isyarat kita perlu memperhatikan jarak ketika
berkomunikasi, beri ruang untuk berisyarat,
sehingga kita memiliki signing space atau ruang
jarak bicara dengan nyaman. Kalau disituasi
yang sempit, misalnya di kereta, kalau di KRL
kan padat penumpangnya begitu banyak
otomatis kita jadi drop satu tangan dan
berisyarat dengan satu tangan saja. Misalnya
kita di kereta pegangan tapi kita tetap bisa
komunikasi dengan satu tangan, tapi mungkin
memang tidak senyaman menggunakan dua
tangan, dan space nya itu akan sangat kecil.
Untuk kenyamanan dalam berisyarat kita perlu
memperhatikan jarak sehingga kita memiliki
signing space atau ruang jarak isyarat yang
nyaman, dan kalau belajar bahasa isyarat ini
juga bisa dimanfaatkan untuk berkomunikasi
jarak jauh. Misalnya “nanti kita janjian disana
ya”, “nanti kita makan disana ya”, misalnya
dengan kalimat seperti itu. Dengan jarak yang
jauh komunikasi itu tetap bisa dilakukan.

Sebenarnya hal yang berkaitan dengan budaya Tuli


itu masih banyak, tetapi saya pilihkan 5 hal ini yang
bisa bersama-sama kita pahami.

2. Apa maksud dari Arti deprivasi itu bahasa yang tidak bisa di akses di
deprivasi bahasa? usia dini. Seperti tidak adanya akses bahasa sejak
usia dini. Jadi banyak tuli tidak memiliki akses
bahasa isyarat sejak bayi dikarenakan orang tua tidak
tahu cara komunikasi dengan bahasa isyarat. Maka
pentingnya kita untuk belajar bahasa isyarat supaya
bisa komunikasi atau menyebarluaskan informasi
tentang bahasa isyarat.

3. Bagaimana Sejak seorang anak terlahir ada periode emas sampai


mengajarkan bahasa umur 3 tahun, pada periode emas ini penting sekali
isyarat pada anak untuk diberikan input. Inputnya bisa beragam, Kalau
usia dini untuk dia anak tuli kita perlu sekali melibatkan tuli dewasa
menghindari dalam pengembangan kapasitas anak sejak kecil.
deprivasi? Yang penting adalah sebagai orang tua dari anak tuli
bisa berbahasa isyarat dengan anak tuli tersebut.
Misalnya kita ajak anak tersebut “hey ayuk kita
mandi”, maka isyaratkan mandi lalu isyaratkan siram
air. Anak ini secara otomatis akan melihat objek dan
akan melihat Gerakan orang tuanya. Sama seperti
orang dengar yaa, anak dengar ia akan
terpelajarkan/terekspos dengan suara. Jadi anak tuli
dan anak dengar sama-sama masih polos. Ketika
anak dengar ini mendengarkan mama mama dia akan
tau tentang isyarat mama itu sendiri. Jadi seperti tadi
yang penting dari kita nya sendiri belajar bahasa
isyarat. Jadi cara komunikasi dengan anak tuli dan
anak dengar ini sebenarnya memiliki proses yang
sama, kita tunjukkan objeknya lalu kita isyaratkan,
kalua untuk anak dengar kita lihatkan missal ini
bolpen ini handphone ini kertas ini buku. Jadi kita
ajak komunikasi saja dengan anak itu kalo kita tuli
dengan menggunakan bahasa isyarat.

4. Jika ingin belajar Jika merujuk kepada SIBI, SIBI bukanlah bahasa.
bahasa isyarat SIBI singkatan dari S-I-B-I, jadi sistem isyarat
SIBI/BISINDO artinya dia signin system bukan sign language, jadi
apakah harus belajar sistem isyarat bahasa Indonesia. Dengan demikian
langsung dengan artinya, SIBI ini base nya adalah bahasa Indonesia.
teman tuli? Landasannya adalah bahasa Indonesia. Ketika kita
mempelajari SIBI maka anak-anak harus tau bahasa
Indonesia. Jadi bahasa Indonesia yang diisyaratkan.
Jadi ini bukanlah bahasa isyarat. Untuk anak tuli atau
orang-orang tuli tidak ada yang sepenuhnya
mumpuni dalam SIBI atau menggunakan sistem
isyarat bahasa Indonesia. Didalam komunikasi untuk
kelancaran komunikasi maka yang digunakan adalah
bahasa isyarat Indonesia atau BISINDO, karena
inilah yang the natural sign language, bahasa isyarat
alamiah, jadi ini bisa dipahami terlebih dahulu.

Untuk mempelajari bahasa isyarat Indonesia kita


tentu perlu belajar langsung dari designer nya, dari
orang tulinya, jadi dari penutur jati atau pengguna
bahasa isyarat itu sendiri. Dengan mempelajari
bahasa isyarat langsung dari penutur jati atau
designer maka kita bisa langsung terekspos dengan
culture nya, kebiasaannya, ekspresi wajah yang
penting bagi orang tuli. Karena bahasa isyarat ini
merupakan bahasa kedua untuk orang dengar, jadi
kita bisa langsung belajar dari penutur jatinya.
Penjelasanpun akan langsung dijelaskan dalam
bahasa isyarat, nah kenapa gurunya tuli? Kita tahu
situasi di Indonesia tidak semua orang tuli bisa
bekerja, nah menjadi guru bahasa isyarat itu
memberikan kesempatan kerja bagi mereka. Kalau
orang dengar “mengajar bahasa isyarat” ini seperti
perampasan hak kerja untuk orang tuli. Kalau orang
dengar mengajarkan bahasa isyarat dia seperti tidak
respect pada hak-hak tuli. Jadi porsi pengajaran
bahasa isyarat bisa diberikan dan dipegang oleh
orang tuli. Jika seorang dengar ini sudah bisa mahir
bahasa isyarat dia bisa misalnya untuk mengajar
mata ajar matematika, contoh maka mengatumantum
ke anak pake bahasa isyarat itu bisa dilakukan oleh
orang dengar, jadi untuk mengajar bahasa isyarat
biarlah orang tuli yang mengajar, tapi untuk
mengajar mata pelajaran lain ke anak tuli boleh
dilakukan oleh orang dengar tapi modalitasnya
dengan bahasa isyarat. Ini dua hal yang berbeda.
5. Untuk pengenalan Untuk SIBI artinya landasannya adalah bahasa
bahasa isyarat bagi Indonesia. Artinya anak-anak harus belajar bahasa
anak usia dini dan Indonesia dulu seperti imbuhan me-, pe-, ber-,
edukasi bagi akhiran -kan, akhiran -an. Afiksasi ini harus
masyarakat awam, dipelajari oleh anak-anak tuli, jadi imbuhan-imbuhan
sebaiknya ini harus dipelajari. Artinya anak-anak ini harus
menggunakan punya bayangan. Bayangkan seorang anak bayi
SIBI/BISINDO? harus belajar imbuhan. Anak dengar saja (hearing
baby) umur 1 apakah bisa menguasai imbuhan
seperti itu . tentu jawabannya tidak untuk seorang
anak bayi umur 1 tahun. Tidak masuk akal kalua dari
kecil sudah di ajarkan SIBI. SIBI dalam
pemahamannya harus kuat dulu bahasa
indonesianya, karena dia sebenernya bahasa
Indonesia yang di isyaratkan, sulit jika ini
dilakukan/diterapkan untuk anak-anak tuli. Sekali
lagi SIBI bukanlah bahasa.

Kalua kita merujuk pada BISINDO, inilah bahasa.


Bahasa yang alamiah. Banyak tuli dewasa yg sudah
mempelajari SIBI disekolah dan Ketika lulus
SMA/SMALB pada saat itu kemudian ditanya apasi
ka arti gaji, mereka menjawab gak tau. Ko bisa
gatau. Padahal pake SIBI waktu belajar disekolah.
Jadi mereka hanya mengikuti kata yang mereka baca
saja tapi mereka tidak terbantu dalam memahami
konsepnya. Inilah faktanya. Jadi untuk orang awam,
saya gak bisa menjawab SIBI karena saya
sebenernya awam dalam SIBI. Tapi saya lebih
mendorong orang untuk belajar BISINDO karena
lebih mudah didalam mendukung komunikasi satu
dengan yang lainnya.

7. Mengapa ekspresi Ekspresi memiliki peran besar dalam menghidupkan


menjadi hal penting suasana percakapan. Melalui belajar berkomunikasi
dalam belajar bahasa menggunakan bahasa isyarat akan melatih dan
isyarat? memperkaya ekspresi. Itulah keunikan dari bahasa
isyarat yaitu dapat menstabilkan serta
menyeimbangkan motorik jari tangan dengan kerja
otak.

8. Apa harapan untuk Saya berharap bahwa semua orang dapat berisyarat
Bahasa Isyarat tanpa adanya diskriminasi dan menyetarakan hak
Indonesia bagi orang Tuli. Dan juga mereka dapat menerima
(BISINDO)? Pendidikan yang setara dan lebih tinggi.

Supaya BISINDO lebih dikenal masyarakat, perlu


adanya edukasi bahasa isyarat bagi orang dengar dan
adanya edukasi bahasa isyarat bagi orang dengar dan
sesama Tuli dan diusahakan sesering mungkin
mempraktekkan bahasa isyarat dalam
berkomunikasi.

9. Belajar bahasa isyarat Indonesia dasar


Lampiran 2
Instrumen Wawancara 2

Nama : Bagja Wiranandhika Prawira

Pekerjaan : Chief Brand Officer & Co Founder Silang.id

Waktu wawancara : 18 Desember 2021

Tempat wawancara : Zoom Meeting

No Pertanyaan Jawaban

1. Bagaimana sudut Tidak semua teman-teman tuli itu bisa dipaksakan


pandang mengenai untuk berbicara atau mengeluarkan suara. Karena
Tuli dan budaya nya? teman-teman tuli itu bervariasi dan varian nya cukup
banyak. Kita tidak bisa memaksa teman tuli
berbicara, ketika kita melihat satu orang teman tuli
bisa berbicara, “oh temen Tuli yang ini bisa
ngomong, berarti kamu bisa ngomong juga doang
yang ini”, tidak seperti itu caranya!. Kasus nya sama
seperti orang buta dipaksa untuk bisa “ayo coba
lihat!” “ayo coba lihat, walaupun sedikit dipaksakan
coba lihat dulu!”, kan itu gak nyambung hal ini
ditujukan bukan mencirikan orang tersebut. Tapi
kasus ini adalah contoh bukti diskriminasi bagi
teman-teman Tuli yang sering kali di hadapi.

Artinya mungkin banyak yang berpendapat tuli tidak


mampu, sebetulnya tuli bukan dilihat dari
ketidakmampuannya saja, tapi kita mempunyai cara
kehidupan yang berbeda dari kalian. Mungkin
perspektif dari teman-teman semua tuli itu tidak bisa
mendengar, karena mungkin punya pemahaman
dasar bahwa, “oke gue bisa mendengar dan lu gabisa
mendengar”. Tapi kalau untuk perspektif Tuli, Tuli
tidak bisa mendengar yaudah gapapa tapi bukan
berarti tidak memiliki kemampuan. Hanya saja cara
hidup yang berbeda, contoh seperti dalam
komunikasi, cara berinteraksi, cara beradaptasi,
kemudian cara berorganisasi dan lain lain itu
berbeda. Otomatis mereka mempunyai budayanya
sendiri. Budaya mereka itu disebut dengan budaya
tuli. Banyak stigma masyarakat yang salah karena
banyak dari mereka yang kurang mengerti tentang
budaya tuli.

2. Ada berapa jenis Di Indonesia ada tiga kelompok Tuli yang dikenal.
kelompok Tuli yang 1. Kelompok besarnya itu pengguna bisindo,
ada di Indonesia? dimana dari lahir sampai besar semasa hidupnya
dia menggunakan bahasa isyarat Indonesia.
2. Penggunaan bahasa Indonesia, dia bisa menulis,
dia bisa berbicara menggunakan bahasa
Indonesia.
3. Tuli yang menggunakan dua bahasa/bingualis.
Bisa menggunakan BISINDO dan juga bisa
menggunakan bahasa Indonesia baik dari tulisan
maupun lisan.
Itu tergantung, kalau aku posisinya adalah bingual.
Aku bisa berisyarat begitupun aku bisa
menggunakan bahasa Indonesia bentuk tulisan
ataupun lisan. Tapi ingat bukan berarti Tuli lain akan
sama seperti Bagja. Tidak! Itu tergantung. Intinya
tidak semua teman tuli artinya bisu. Kadang-kadang
aku suka jengkel kalau ada orang yang bilang “ah
kamu tunarungu ya? Tunarungu wicara ya?”. Dia
tidak tahu kalau aku bisa lisan. Sebetulnya cukup
Tuli saja langsung. Tapi kalau di bahasa undang-
undang itu namanya adalah disabilitas rungu atau
disabilitas wicara. Nah disabilitas wicara ini artinya
belum tentu dia Tuli, dan orang Tuli belum tentu dia
adalah disabilitas wicara. Beda ya, artinya kita
belajar untuk tidak langsung memberikan identitas
kepada orang tersebut. Yang mempunyai hak untuk
membuka identitasnya itu adalah orang itu sendiri.

3. Apa itu budaya Tuli? Budaya Tuli itu contohnya misalkan kalau kamu
memanggil teman gimana caranya? Biasanya
menggunakan suara, betul? “hei!” gitukan, dipanggil
nama, oke dia langsung merespon, mendengar.
Kalau Tuli bagaimana caranya? Bisa di hampiri dan
tepuk pundaknya. Boleh gak kalau berteriak? Itu sih
artinya kamu akan cape sendiri kalau teriak, karena
tidak bisa digunakan untuk budaya Tuli tersebut,
karena itu berbeda. Kadang-kadang orang berpikir
“oh teman Tuli itu sulit ya dipanggilnya”, ya iya
caranya aja salah. Itu sih kadang-kadang stigma yang
mengakar di masyarakat.
Kenapa banyak yang menggunakan cara pengantar
yang salah, karena mungkin banyak orang yang
belum mengerti tentang budaya Tuli. Contoh lainnya
tentang budaya Tuli, teman-teman Tuli itu suka
sekali berkumpul ditempat yang terang. Kalau terang
boleh kan, kalau gelap bisa gak? Bisa, tapi akan
berkabur melihat isyaratnya. Nah isyaratnya ini akan
mempengaruhi ke cara duduk, cara mencari tempat,
cara berkomunikasi. Coba bayangin kalau misalkan
teman dengar kalau lagi di zoom, kalau video nya
mati, teman-teman masih bisa mendengarkan kan ya
suaranya apa. Karena masih ada suaranya. Kalau
teman Tuli harus on-cam semuanya. Kenapa?
Karena berisyarat. Kalau misal video nya mati apa
bisa isyaratnya di lihat? Beda ya, beda budaya nya.
Termasuk juga kalau kamu berpikir, oke kalau teman
dengar ketika bangun pagi teman dengar
menggunakan alarm untuk membangunkan ya, ada
suaranya. Bagaimana kalo temen tuli? Kan mereka
gabisa mendengar? Bukan gabisa tapi budayanya
yang beda, yaitu menggunakan getaran untuk bangun
paginya. Itu ada alat khususnya untuk
membangunkan teman tuli baik secara alami maupun
tidak alami. Kalau secara tidak alami itu seperti jam
atau hanphone atau alarm khusus, yaitu alat khusus
untuk membangunkan teman Tuli melalui getaran
biasanya di taruh di bawah bantal. Kalau alami
contohnya adalah mungkin Bapak, Ibu, atau keluarga
yang bertugas untuk membangunkan teman Tuli.
Yang tadi aku jelaskan adalah pengenalan budaya
Tuli. Pengenalan budaya Tuli ini berarti teman-
teman dengar harus peka dan melihat ada sesuatu
yang berbeda. Dimana Tuli itu bukan tentang
orangnya saja, atau dia disabilitas, tidak bisa
mendengar, hambatan, dll. Tapi bagaimana
kehidupan mereka yang berbeda dengan kalian
semua. Kita semua memiliki hak yang sama. Kenapa
hambatan-hambatan ini ada karena lingkungannya
yang tidak memberikan akses, fasilitas baik fisik
ataupun non-fisik. Ditambah lagi dengan kelompok
minoritas bahasa. Kalau misal teman dengar
menggunakan bahasa Indonesia, kalau temen-temen
Tuli aksesnya adalah BISINDO. Itu adalah faktor
lingkungan, artinya yang dijelaskan adalah untuk
membuka prespektif baru untuk teman dengar
tentang dunia Tuli.

4. Apakah bahasa Bahasa isyarat Indonesia bukan alat bantu untuk


isyarat termasuk teman Tuli, beda. Sebab ini adalah bahasa yang
sign? berkembang di komunitas mereka seperti bahasa
Indonesia. Oke aku tanya siapa yang pertama kali
membuat bahasa Indonesia? Gak tahu kan? Karena
memang munculnya secara alami dari dulu sampai
sekarang. Sama juga dengan bahasa isyarat.
BISINDO ini dia berkembang secara alami dari
komunitas Tuli, dari dulu sampai sekarang. Jadi
tolong dipisahkan ya antara bahasa isyarat. Bahasa
isyarat itu bukan termasuk tanda ataupun simbol
ataupun lampu merah ataupun lampu yang lainnya,
itu bukan bahasa isyarat. Berbeda lagi. Bahasa
isyarat itu artinya seperti penutur juga
perkembangannya secara alami dari komunitas
tersebut, tidak dibuat secara dibuat-buat. Bahasa
isyarat ini ada 5 linguistik didalamnya.

5. Apakah bahasa Tidak. Berbeda. Seperti kalian belajar bahasa


isyarat Indonesia Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Korea, bahasa
sama di seluruh Jepang. Kalau bahasa isyarat seluruh negara
negara? berbeda-beda, kalau di Indonesia namanya adalah
BISINDO, yaitu bahasa isyarat Indonesia. Kalau di
Korea namanya KSL (Korean Sign Language), kalau
di Amerika itu namanya ASL (American Sign
Language), atau AUSLAN (Australian Sign
Language). Itu berbeda-beda, ada lagi Inggris itu
namanya BSL (British Sign Language). Jadi itu
berbeda-beda disetiap negara. Kok bisa berbeda-
beda? Kenapa? Karena memang pengaruh dari
budaya. Budaya tiap daerah tersebut kan berbeda-
beda dan memiliki sejarahnya masing-masing. Kalau
misalkan ada orang menyebutkan, oke bahasa isyarat
itu adalah bahasa universal. Mainnya itu kurang
jauh! Jadi itu salah, karena bahasa isyarat itu
kompleks sebenarnya. Artinya ada linguistiknya di
dalam bahasa isyarat itu.

6. Apa perbedaan SIBI Di Indonesia hanya ada satu bahasa isyarat yaitu
dan BISINDO? BISINDO tidak ada yang lainnya lagi. Sedangkan
SIBI fokus kepada bahasa Indonesia nya. SIBI biasa
digunakan disekolah sekolah SLB, untuk anak-anak
tuli bisa mengetahui struktur bahasa Indonesia,
kalimat bahasa Indonesia yang baik. Tapi SIBI
bukan bahasa isyarat alami dari teman-teman
komunitas Tuli. Karena orang yang membuat SIBI
ini adalah kepala sekolah dari SLB di tahun 1950an.
Yang membuat ini melihat bahwa teman Tuli
bingung dengan kata-kata bahasa Indonesia. Maka
dibuat menggunakan SIBI. Sistem isyarat ini
maksudnya adalah gerakannya untuk mengikuti
struktur bahasa Indonesia mirip seperti kode morse.
SIBI juga bukan adopsi dari bahasa isyarat Amerika,
tapi diadopsi dari SEE(Sign Extra English), jadi dia
mengikuti struktur bahasa, bahasa Inggris.

7. Belajar bahasa isyarat Indonesia dasar

Anda mungkin juga menyukai