Muhiwan Rozi
“Singa Putih Yang Disegani”
Tempaan hidup sederhana dan jiwa pejuang dan bekerja keras yang ditanamkan sang
ayah membuat Muchiwan layak dijadikan inspirasi masyarakat saat itu. Kini Kehadiran
Muchiwan sejak pulang nyantri membuat mayarakat berbahagia. Antusiasme
masyarakat yang demikian menggebu-gebu tidak terlepas dari belum adanya figure
tempat beguru dan bertanya sekaligus tepat untuk diteladani masyarakat di dusun itu.
Dapat kita bayangkan, dua tahun sebelum proklamasi itu, bagaimana situasi dan
kondisi yang terjadi. Yang mana hal ini tidak terlepas karena masyarakat Indonesia
tentu tidak sabar menunggu momen yang dinanti-nanti. Pastinya juga, persiapan untuk
itu, tentu mengitari kesibukan Ir.Soekarno dan Muhammad Hatta berikut para pejuang
kemerdekaan saat itu.
Kabar kemerdekaan telah sampai ke pelosok-pelosok desa, masyarakat yang masih
dengan dinamika nasionalisme kebangsaan di tingkat daerah. Sementara Jepang
berusaha keras menduduki wilayah Indonesia bagian timur dengan mengirim
tentaranya hingga ke Irian Barat. Namun kekalahan Jepang di Kepulauan Solomon
pada Februari 1943 menjadikan Negara Amerika kembali berkuasa atas wilayah pasifik.
Oleh sebab kekalahan tersebut, Jepang kemudian merubah strategi dan kebijakannya
dalam bidang militer di Indonesia.
Di sepanjang tahun 1943 Jepang kemudian banyak menginisiasi tentara-tentara
binaan seperti Giyugun, Heiho dan PETA (Pembela Tanah Air) sebagai bentuk
antisipasi manakala menghadapi tentara Sekutu ke Indonesia. Dalam kondisi demikian,
suara lantang peperangan masih terdengar di seluruh nusantara, kobaran api semangat
para pejuang pun masih membara. Dan Alhamdulillah, berkat rahmat Allah SWT
perjuangan bangsa Indonesia untuk bebas dari jeratan penjajah pun terkabulkan.
Tahun 1945 kemerdekaan menjadi milik seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Isak tangis seorang bayi diiringi kegembiraan masyarakat batu samban menyambut
kelahiran sang calon guru. TGH.Muhiwan Rozi yang masa kecilnya kerap dipanggil
Iwan, lahir dua tahun sebelum kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1943. Iwan lahir di
sebuah kampung bernama dusun Batu Samban. Batu Samban adalah bagian dari Desa
Jembatan Kembar Kecamatan Gerung (sekarang Desa Jembatan Kembar masuk
dalam wilayah Kecamatan Lembar, sedangkan Batu Samban adalah sebuah dusun
yang masuk ke wilayah Desa Lembar Selatan) Kabupaten Lombok Barat, Nusa
Tenggara Barat NTB. Iwan kelak di masa depan menjadi guru dari masyarakat pelosok
hingga digelari singa putih yang disegani.
Masa Kecil
Iwan lahir dari pasangan Amak Bikan dan Inak Ruminah. Iwan anak sulung dari lima
bersaudara yaitu Husen, Husin, Hasim, Sidah, dan satu saudari beda ibu yakni Raimah.
Keluarga Iwan kecil meyakini bahwa madrasah yang paling utama bagi seorang anak
adalah ibunya, demikian pula Iwan kecil. Dari Kedua orang tuanya itulah iwan
memperoleh pendidikan pertama. Iwan kecil, beda dengan anak kebanyakan, Iwan
termasuk putra yang berbakti. Tak pelak kasih sayang orang tua seakan tiada peluh
merawat dan membesarkan anak-anaknya. Karena itu pula, Iwan mendapat perhatian
yang luar biasa dari kedua orang tuanya.
Keluarga Iwan sebenarnya berasal dari Lombok Timur akan tetapi Rumasih (sang
kakek) migrasi dari Lombok Timur ke Lombok Barat yakni Dusun Batu Mulik, dari Batu
Mulik inilah Kakek Iwan bergeser ke Dusun Batu Samban dipercaya untuk menggarap
bukit hingga hamparan sawah yang ada saat itu. Rumasih sendiri memiliki tiga anak
yaitu Amak Bikan (Papuk Iwan), Amak Kamar dan Amak Kasih. Dari Amak Bikan
lahirlah Iwan dan saudara-saudarinya yang lahir di Batu Samban.
Seperti halnya anak-anak yang masih senang bermain, Iwan juga begitu. Tetapi,
meskipun selalu bermain bersama teman-teman yang lain, Iwan tak pernah lupa tugas
dan tanggungjawabnya membantu kedua orang tuanya. Hampir setiap hari Iwan,
selepas bermain dan menikmati indahnya masa kecil, Iwan menghabiskan waktunya
dengan mengembala ternak. Selain menjaga hewan piaraan milik ayahandanya, setiap
hari, Iwan juga pergi ke sawah dan ladang untuk menyabit rumput untuk kebutuhan
makan ternak-ternaknya.
Iwan juga punya kemampuan yang lebih menojol, baik dari segi kecerdasan dan cara
berfikir serta bijaksana dalam bertindak. Meski demikian, ia tak mau memisahkan diri
dan memposisikan diri paling serba wah. Apalagi bersikap angkuh dan sombong. Justru
Iwan bersikap lemah-lembut dan suka menolong teman-temanya yang butuh
pertolongan. Karakter ‘suppel’ dalam bergaul inilah salah satu karakter yang kelak
menjadikannya tokoh di tengah-tengah masyarakat. Tak heran semua orang di
kampungnya, tak terkecuali teman sebayannya, sangat bangga. Demikian pula dengan
ayahandanya.
Hari-hari berganti, dari minggu ke bulan. Begitu seterusnya. Musim demi musim
terlewati. Waktu terasa begitu cepat. Tak terasa Iwan kecil yang begitu ceria dengan
teman sebayanya dengan dunianya yang penuh kegembiraan dan rasa riang melalui
hari demi hari kini tumbuh manjadi anak cerdas, kreatif dan tekun. Selain ditempa
kesabarannya melalui beternak, di lingkungan keluarganya iwan telah dibiasakan untuk
terus bertanya akan ilmu oleh orang tuanya.
Melihat putranya yang begitu serius untuk belajar/menuntut ilmu, tampak cerdas dan
tekun Amak Bikan dan Inak Rumnah akhirnya punya keinginan besar memberikan
pendidikan kepada anaknya di luar pendidikan keluarganya secara langsung.
Pendidikan
Akhirnya Iwan dipondokkan di pondok pesantren bernama Darul Qur'an yang berada
di Desa Bengkel, didirikan pada tahun 1921 oleh TGH. Saleh Hambali salah satu tokoh
penggerak NU di Pulau Lombok. Di Pondok Pesantren Darul Qur’an itu Iwan dikader
sebagai kader NU yang kelak akan meneruskan estapet dakwah TGH. Saleh Hambali
di wilayah selatan Pulau Lombok. Pondok pesantren Darul Qur’an berafiliasi dengan
Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi Islam tradisional yang mengakomodir tradisi lokal
yang sangat cocok dengan situasi dan kondisi masyarakat di Pulau Lombok.
Di pondok pesantren inilah, Iwan muda ditempa menghabiskan masa remajanya
dengan belajar dan terus belajar. Hanya saja saat itu, beliau tidak belajar di pendidikan
formal, karena pesantren ini hanya memiliki pendidikan informal semacam MTs dan
Aliyah (saat itu bernama Mua’allimin untuk laki-laki dan Mua’tallimat untuk kalangan
perempuan).
Meski dalam kekuarangan Iwan tidak pernah mengeluh, semangatnya menuntut ilmu
pada gurunya tidak menjadikan jarak antara Batu Samban Desa Jembatan Kembar dan
Desa Bengkel menjadi penghambat. Malah berjalan kaki dari Batu Samban ke Bengkel
menjadi penyemangat dan bentuk pengorbanannya untuk ilmu agar dapat ridha Allah
dan dapat bermanfaat bagi sesama manusia.
Kurang lebih sekitar 15 tahun, Iwan menghabiskan waktunya di pondok pesantren
Darul Qur’an sepenuh hati menuntu ilmu agama. Sepuluh tahun dilewatinya untuk
belajar kitab. Sisanya, Iwan mengabdikan diri dengan menjadi pengajar santri-santri
lainya. Saat menimba ilmu di pondoknya, bagi Iwan menjadi pembelajar yang baik
adalah ketika iya sekaligus mengajar.
Selain dipercaya mengajar, Iwan juga bertindak selaku ketua kamar yang sekaligus
khadam gurunya menjadi pengajar. Saat masih menimba keluarga iwan (terutama adik
perempuannya yakni Idah dan ibunya) kerap menjenguknya dan membawa bekal
seadanya. Karena menurut Inak Idah, waktu Al-Marhum mondok, saat itu menjadi
musim pacekelik. Masyarakat Lombok banyak yang mengganti makanan pokok dari
nasi menjadi hanya memakan sepotong ubi kayu. Para santri pada waktu itu membawa
dan membuat berugak-berugak tempat belajar dan segaligus tempat tidur bagi mereka.
Di pondok iwan menjadi santri kesayangan TGH. Saleh Hambali. Kedekatan Iwan
dengan Gurunya sangatlah intens. Iwan sering diajak dalam mengikuti mengiringi
gurunya berdakwah ke pelosok-pelosok masuk ke komunitas wetu telu dan mengisi
pengajian di masjid-masjid. Iwan sendiri tidak pernah berfikir bahwa hal tersebut bentuk
dari kaderisasi pendakwah, ia hanya tulus mengikuti arahan gurunya itu.
Kedekatan iwan tidak hanya kepada personal TGH. Saleh Hambali, akan tetapi
sudah dianggap anak sendiri, bahkan anak-anak dari gurunya itu dianggap saudaranya
sendiri. Sehingga hubungan batin antar saudara dan keluarga TGH. Saleh Hambali
dengan anak keturunan Iwan hingga kini masih terjalin dengan bergitu kuat.
Berkeluarga
Sebelum pulang ke tanah kelahirannya, TGH.Muhiwan Rozi mempunyai kisah
asmara dengan santri putri yang telah dipersuntingnya, Santriwati itu adalah Nikmah
yang berasal dari Bonder Lombok Tengah. Awal perjumpaanya dengan Iwan saat ia
mengantar adiknya mondok ketika itu iwan sebagai panitia penerima santri baru.
Karena Iwan waktu itu menjadi ketua kamar Nikmah menyerahkan adiknya bernama
Muh Ghazali kepada Iwan untuk mondok di Darul Qur’an dari kesempatan itulah
komunikasi mereka berlanjut.
Nikmah akhirnya mondok di Darul Qur’an, karena semua kiriman dari para orang tua
santri harus melalui Iwan hal tersebut memungkinkan interaksi antara Iwan dan Nikmah
semakin menumbuhkan rasa cinta di hati mereka berdua. NIkmah mengagumi Iwan
karena keperibadian yang sangat bersahaja, berilmu dan taat kepada guru dan orang
tuanya.
Iwan menjadi tumpuan harapan kedua orang tuanya. Orang tuanya berharap kelak
Iwan menjadi anak yang berguna. Tidak hanya sebagai motivasi bagi keluarga tetapi
juga menjadi orang berguna kelak bagi masyarakat, agama, bangsa dan negaranya.
Sayangnya, meski lama mengenyam pendidikan di Ponpes, ia tak memperoleh ijazah
yang membuktikan bahwa ia pernah mengenyam pendidikan formal.
Iwan selalu mengiringi gurunya untuk berdakwah ke pelosok-pelosok untuk
mengislamkan kembali masyarakat wetu telu. Ketika iwan pulang ke Batu Samban,
Iwan sudah mulai ditanya-tanyai soal perukunan, ritual-ritual ibadah biasa oleh
masyarakat. Tak lama ia pun mau tak mau, siap tidak siap harus mengikuti kemauan
masyarakat Batu Samban untuk diminta mengajar karena sudah mulai banyak
masyarakat yang berdatangan.
Bertolak dari Batu Samban, Gurunya TGH. Saleh Hambali berdakwah menuju
selatan namun pada tahun 1963-1964 hari ketika TGH. Saleh Hambali yang sering
didampinginya itu membuka pengajian di Batu Samban berwasiat bahwa dirinya tidak
akan lagi berdakwah di wilayah selatan termasuk Batu Samban, sebab sudah ada
penggantinya yakni Iwan yang saat itu di masa mudanya dikenal dengan nama Guru
Iwan.
Iwan diamanatkan oleh gurunya meneruskan dakwah TGH. Saleh Hambali dan
menekankan kepada memperkuat dan pengenalkan tradisi NU ke masyarakat
sebagaimana yang dilakukan oleh gurunya selama ini. Tentulah itu menjadi tantangan
bagi Iwan, terlebih lagi, saat itu, Iwan masih berusia muda. Hidup berkeluarga
(menikah) pun belum. Artinya, Iwan harus memberanikan diri, menyiapkan mental untuk
mengajar orang yang lebih tua usia darinya. Aktivitas mengajar pun dimulai guru muda
bernama Iwan tampil memukau, menyampaikan pesan-pesan agama dengan santun
dan penuh hikmah. Dalam mengajar, ia tak pernah membeda-bedakan siapa dan dari
mana. Juga membeda-bedakan usia.
Sebagai Da’i, TGH.Muhiwan Rozi adalah da’i yang istiqomah. Demi
memperkenalkan al qur’an, ia sebagai guru rela harus berjalan kaki bertemu murid-
muridnya yang jauh, terkadang mengharuskannya untuk menginap di lokasi
pengabdiannya. Selain wilayah Lembar mulai dari Jembatan Gantung, Jembatan
Kembar Timur hingga Mareje dan hampir semua desa-desa Sekotong, TGH.Muhiwan
Rozi juga diamanatkan oleh Gurunya TGH. Saleh Hambali memperkuat keislaman
masyarakat pasca Islam wetu telu. Bertolak dari tempat tinggalnya menuju Gunung
Sari, Bakong, Penarukan, Gunung Malang, Peseng, Bongor hingga ke desa
Perampuan serta beberapa titik untuk menuntaskan pengetahuan masyarakat Islam
yang paripurna. Kecintaan masyarakat terhadapan dirinya karena yang dipahami orang-
orang memang ia murah senyum, dimanapun bertemu ya, senyum, salam, senyum
salam begitu selalu.
Mandat dari gurunya TGH. Saleh Hambali itu ditransformasikan dalam bentuk
semangat mengislamkan komunitas Bodha yang ada di Ganjar Mareje, dengan
pendekatan dan pola tradisi dan budaya yang hampir sama dengan Islam Sasak yang
bermazhab ahlussunah wal jamaah. Akhirnya NU tumbuh secara kultural di Mareje dan
hampir di wilayah Lembar, Gerung dan Sekotong. Kekuatan kultural yang dianggap
sebagai pondasi keislaman ala nusantra itu menjadi islam rahmatan lil alamin.
Iwan dapat dikatakan berperan terhadap perkembangan NU di wilayah pesisir dan
pegunungan dari kecamatan Lembar hingga Sekotong bahkan ke wilayah Gerung dan
Labuapi. Ia bahkan terkenal berdakwah ke Sekotong melewati laut pada tahun 1961
ketika jalan raya belum semulus hari ini. Dari murid-murid ngajinya kelak menitipkan
anak-anak mereka di Pondok-Pondok Pesantren NU yang ada di Pulau Lombok. Tradisi
NU semakin menggeliat berkat dakwah santun yang ia lakukan tanpa merasa lelah
meskipun harus berjalan kaki puluhan kilo meter. Hidupnya dihibahkan untuk
berdakwah di jalan Allah sehingga sampai hari ini jasa Iwan memperkenalkan ilmu
agama bermazhab ahlussunnah wal jamaah begitu melekat di masyarakat.
Iwan membawakan Islam yang santun yang mengakomodir tradisi lokal yang tidak
bertentangan dengan syariat. Iwan mengkristalkan tradisi NU di hati masyarakat di
mana ia berdakwah. Bahkan iwan dikenal bergaul dengan komunitas umat Hindu di
Kuranji, Karang Anyar dan umat budha yang ada di Mareje. TGH. Muhiwan Rozi sangat
dikagumi dan disayangi oleh kawan-kawannya meski berbeda agama.
Tidak pernah ada yang melihat langsung TGH. Muhiwan Rozi marah dan kecewa, ia
begitu pendiam dan berbicara hanya ketika dibutuhkan saja. Dari sikap yang tidak
pernah memperlihatkan amarah itu malah membuat masyarakat begitu segan bahkan
beberapa merasa takut. Terutama murid-murid madrasah yang menghindari kesalahan,
padahal TGH. Muhiwan sama sekali tidak marah. Ketika santri-santrinya melakukan
kesalahan maka mereka dihukum untuk menghafal doa-doa, zikir dan syair-syair dalam
islam.
TGH.Muhiwan Rozi dijuluki singa putih oleh tokoh masyarakat, mereka bercerita ketika
H. Ma’rifat menemani TGH. Muhiwan berdakwah ke Kedaro Sekotong jalan kaki
melewati gunung, H. Ma’rifat sangat kelelahan dan pada akhirnya beristirahat di bawah
pohon asam, namun karena sangat lelap akhirnya TGH. Muhiwan berkata “biarkan saja
tidur di situ, nanti sampai kita kembali ia pun belum terbangun”. Ternyata betul sampai
beliau selesai ngajar sampai jam setengah lima H. Ma’rifat masih belum bangun dari
tidur di bawah pohon asem tersebut.
Berdakwah ke pelosok-pelosok menyebarkan Islam tidak semudah yang dibayangkan,
selain penuh dengan perjuangan bahkan akan menemukan hal-hal yang tidak terduga.
Seorang Da’I jika tidak mempersiapkan diri maka ia akan diuji oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab untuk menguji keilmuannya melalui tenung atau sihir-sihir
yang ingin menjatuhkan sang Da’I yang telah memasuki daerah kekuasaannya.
Gangguannya bisa jadi di perjalanan maupun ketika berada di atas mimbar dakwah
ketika mengajar ngaji. TGH.Muhiwan Rozi tidak pernah sekalipun menghawatirkan hal
tersebut, ia semakin bersemangat hari demi hari karena semakin banyak yang cinta
akan ilmu Islam berkat perantara dakwah yang ia lakukan selama ini. Dari sikap
pendiamnya TGH. Muhiwan membuatnya sulit sekali ditebak baik oleh kawan maupun
lawan-lawannya.
Pernah suatu malam ketika TGH. Muhiwan sedang berzikir seperti malam-malam
biasanya pintunya digedor dengan keras. Istri dan anaknya terbangun sambil mengintip
mencari tahu apa yang terjadi. TGH. Muhiwan mendorong anak laki-lakinya yang masih
belia untuk pindah ke ruangan sebelah namun tetap saja semua penasaran apa yang
akan terjadi akhirnya memilih untuk mengintip dari jendela.
Pintu digedor keras berulangkali, semakin keras karena sang tuan rumah tidak segera
membuka pintu. Akhirnya TGH.Muhiwan Rozi membuka pintu dan tepat di depannya
orang-orang bertubuh besar sudah menghunus senjata tajam. Ketika mereka sudah
mulai mengayun hingga mencapai kepala TGH.Muhiwan Rozi sontak tangan semua
orang itu kaku tak bisa digerakkan kembali. Agak lama suasana mencekam itu TGH.
Muhiwan tiba-tiba berkata “pulang sudah kalian, jangan pernah kembali lagi”.
Akhirnya tangan orang-orang jahat itu pun bisa turun dan langsung berlarian terbirit-
birit. Mendengar peristiwa tersebut masyarakat berbondong-bondong keluar datang ke
rumah TGH.Muhiwan Rozi sambil mencari-cari di mana mereka yang coba membunuh
sang guru. TGH.Muhiwan Rozi lantas berkata “sudahlah, mari kita ngopi malam di
berugak, tumben punya kesempatan seperti ini”.
Tidak berhenti pada malam itu saja, pernah suatu ketika seorang tamu entah siapa dan
dari mana asalnya telah lama menunggu di berugak tempat biasa tamu di tempatkan.
Beberapa kali bertanya kepada santri mana TGH. Muhiwan dan dijawab mohon
ditunggu karena Guru sedang di dalam kamar mandi. Belum juga keluar, suguhan
seperti kopi kepada tamu dan teh milik TGH. Muhiwan disuguhkan. Santri yang
membawa suguhan itu merasa ada hal aneh sehingga ia memperhatikan dari dalam
ruangan tamu tersebut. Beberapa detik ia mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan
menaburkan sesuatu ke Teh milik TGH.Muhiwan Rozi yang berada di hadapannya.
Melihat hal tersebut santriwati itu bergegas lari sambil menangis-nangis memberi tahu
untuk jangan meminum the yang dibawakannya itu sebab sudah ditaburi racun sambil
terisak. TGH. Muhiwan yang sudah selesai dari tadi hanya membalas tangisan
santriwati itu dengan tersenyum. Tidak lama ia pun pergi bertemu tamu itu di berugak.
Sambil berbasa-basi bertanya siapa dan ada apa, tamu itu hanya fokus melihat teh
tersebut. Sambil tersenyum TGH.Muhiwan Rozi mengangkat teh tersebut dan segera
meminumnya. Sang tamu terdiam kaku beberapa menit seolah-oleh tidak percaya apa
yang ia lihat.
Menurut pendangan masyarakat hal tersebut terjadi karena banyak orang yang tidak
rela orang-orang terutama tempat-tempat dakwahnya itu kembali ke Islam atau bahkan
pindah agama dari non islam menjadi islam, sehingga dendam kepada TGH. Muhiwan
Rozi.