Anda di halaman 1dari 25

Rencana Penelitian

PROBLEMATIKA EKSEKUSI DALAM JAMINAN DEPOSITO SEBAGAI


CASH COLLATERAL BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM
JAMINAN INDONESIA

Rencana Penelitian untuk Penulisan Hukum (Skripsi) S1

Oleh :

RIMA CANTIKA CAHYANINGRUM

E0018348

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2022
RENCANA PENULISAN HUKUM (SKRIPSI)

1. Judul : PROBLEMATIKA EKSEKUSI DALAM


JAMINAN DEPOSITO SEBAGAI CASH COLLATERAL
BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM JAMINAN INDONESIA

2. Pelaksana Penelitian :
a. Nama : Rima Cantika Cahyaningrum
b. NIM : E0018348
c. Fakultas : Hukum
d. Bagian : Hukum Perdata

3. Lokasi Penelitian :-
4. Lama Penelitian : 6 Bulan

Surakarta,

Dosen Pembimbing, Penulis,

Dr. Arief Suryono SH., MH Rima Cantika Cahyaningrum

NIP. 195809291987021001 NIM. E0018348

1
A. Judul
PROBLEMATIKA EKSEKUSI DALAM JAMINAN DEPOSITO SEBAGAI
CASH COLLATERAL BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM
JAMINAN INDONESIA

B. Bidang Ilmu
Hukum Perdata

C. Latar Belakang Masalah


Pemberian kredit menjadi salah satu aktivitas perbankan dan lembaga
keuangan lainnya dalam mewujudkan pengelolaan dana yang dikuasainya
guna memberikan produktivitas dan keuntungan bagi masyarakat (Tinus,
2016: 42). Dalam memberikan kredit kepada masyarakat, perbankan dan
lembaga keuangan lainnya memiliki banyak pertimbangan sebelum pada
akhirnya menyetujui untuk menyalurkan dana. Pada Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan), dikatakan bahwa
dalam pemberian kredit atau pembiayaan Bank Umum wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan
serta kesanggupan debitur (orang yang berhutang) untuk melunasi hutangnya
sesuai dengan perjanjian kredit yang dilakukan kedua belah pihak.
Guna membuktikan sekaligus memberikan keyakinan kepada
perbankan maupun lembaga keuangan lainnya mengenai kesanggupan
mereka untuk membayar sesuai dengan perjanjian kredit yang telah timbul
sebelumnya, debitur harus menyertakan jaminan-jaminan dalam bentuk
apapun pada saat melakukan kegiatan perkreditan (Widyanti, 2020: 135). Hal
ini juga sesuai dengan prinsip pada UU Perbankan di mana setiap kredit yang
dilakukan oleh kegiatan perbankan memiliki risiko, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus memerhatikan asas-asas perkreditan atau
pembiayaan yang sehat (Widyanti, 2020: 135).
Tujuan utama dari pelaksanaan asas-asas dan prinsip-prinsip
perkreditan dalam kegiatan pembiayaan yang sehat adalah supaya kegiatan
kredit yang dilakukan oleh lembaga perbankan maupun penjamin keuangan
lainnya tidak menimbulkan gangguan dalam pembangunan karena dana yang
seharusnya terus bergulir harus terhenti. Disadari secara kolektif, penyaluran

2
kredit kepada masyarakat tidak selamanya bersifat lancar, karena seringkali
mengandung risiko dalam pengembaliannya (Hermansyah, 2011: 67). Risiko
pengembalian ini dapat berupa ketidaklancaran pembayaran kredit yang
dilakukan oleh masyarakat dengan pelbagai alasan, sehingga menimbulkan
skema pembayaran yang macet dan pada akhirnya merugikan pihak kreditur
(bank dan lembaga keuangan). Untuk itulah, bank dalam mengantisipasi agar
tidak terjadi masalah dalam pengembalian kredit menempuh langkah-langkah
pengamanan preventif dan pengamanan represif (Salviani, 2019).
Pengamanan preventif dilakukan dengan melakukan penilaian mengenai
watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur untuk
mencegah terjadinya kemacetan kredit. Sedangkan pengamanan represif
dilakukan dengan menyelesaikan kredit-kredit yang telah mengalami
ketidaklancaran atau kemacetan dalam ihwal telah mencapai batas waktu
tertentu sesuai kesepakatan sebelumnya.
Pengikutsertaan jaminan merupakan salah satu cara lembaga keuangan
dan perbankan dalam melaksanakan pengamanan preventif. Pada umumnya,
jaminan yang seringkali digunakan dalam kegiatan kredit adalah jaminan
kebendaan berupa barang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan
(Purwoko, 2015: 166-167). Akan tetapi, seiring dengan berkembangnya
kebutuhan masyarakat serta diikuti dengan perkembangan produk-produk
perbankan, muncul pelbagai jenis kredit yang mensyaratkan variasi jaminan
lainnya sebagai bentuk pengamanan preventifnya, salah satunya adalah kredit
jaminan kas atau cash collateral (Salviani, 2019).
Secara sederhana, kredit dengan jaminan kas atau cash collateral
dipahami sebagai bentuk jaminan berupa deposito atau surat-surat berharga
yang dapat dicairkan secara tunai (diuangkan). Pada umumnya, praktik ini
dilakukan dengan langkah kreditur menjaminkan aset-aset likuiditasnya
seperti deposito berjangka, tabungan jarak menengah dan panjang, surat-surat
berharga yang dapat diuangkan, dan sebagainya, kepada pihak bank sebagai
debitur, untuk mendapatkan kredit yang lebih besar dan langsung dapat
dicairkan pada saat dibutuhkan tersebut (Murwadji, 2013: 102-104).

3
Penggunaan deposito sebagai jaminan mengacu pada sifat-sifat dari
barang yang seringkali digunakan sebagai jaminan pada umumnya. Guna
memberikan landasan yuridis bagi kreditor dalam melaksanakan hak dan
kuasanya terhadap barang jaminan yang diserahkan oleh debitur, maka atas
jaminan tersebut dilakukan pengikatan menurut hukum yang berlaku. Hal ini
dapat ditemui dalam contoh-contoh jaminan lainnya seperti pengikatan
hipotik, hak tanggungan, fidusia, gadai, hingga jaminan perorangan dan
jaminan perusahaan. Masing-masing benda jaminan tersebut, tidak terkecuali
deposito sendiri, setidaknya harus memenuhi syarat utama agar dapat
dijadikan sebagai jaminan, di antaranya (Ardyansah, 2017: 34):
1. Secured, yang berarti bahwa benda jaminan kredit dapat diadakan
pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum
dan perundang-undangan. Apabila nantinya terdapat wanprestasi
dari pihak debitur, maka bank mempunyai kekuatan yuridis untuk
melakukan tindakan eksekusi;
2. Marketable, yang berarti bahwa benda yang dijaminkan tersebut
memiliki nilai jual dan dapat dilakukan penjualan ketika dieksekusi
untuk melunasi kewajiban debitur.

Berdasarkan UU Perbankan, deposito terbagi menjadi dua jenis, yaitu


deposito berjangka dan sertifikat deposito. Deposito berjangka merupakan
simpanan yang dapat ditarik pada waktu tertentu menurut perjanjian nasabah
dengan pihak bank (sesuai dengan Pasal 1 Ayat 7 UU Perbankan). Sedangkan
sertifikat deposito adalah bentuk simpanan deposito yang dilampirkan bukti
sertifikat dalam penyimpanannya, serta dapat dipindahtangankan (menurut
Pasal 1 Ayat 8 UU Perbankan). Deposito yang sering digunakan sebagai
bentuk jaminan dalam pengadaan kredit adalah deposito berjangka.
Sudah sewajarnya jika bank meminta jaminan yang memiliki
kredibilitas untuk meyakinkan diri memperoleh kembali dana yang disalurkan
jika debitur kemudian hari gagal melakukan pembayaran, dalam hal ini bank
mencari alternatif jaminan yang paling memiliki profit yang paling terjamin.
Deposito berjangka menjadi hal yang sangat menguntungkan karena memiliki
sisi ketersediaan nilai yang akan diperoleh oleh bank ketika suatu kredit

4
menjadi bermasalah (non-performing loan). Hal ini dikarenakan deposito
berjangka memiliki kepastian penerimaan kembali kredit yang diberikan.
Lain halnya dengan bentuk jaminan yang berupa benda atau tagihan yang
memiliki sifat fluktuatif dari segi nilai (Sari, 2015: 3).
Meski telah dijalankan dalam praktik masyarakat, kegiatan perkreditan
dengan menjadikan deposito berjangka sebagai jaminan masih belum terlalu
umum ditemukan. Terlebih, bentuk jaminan deposito yang sejatinya adalah
cash collateral, belum memiliki dasar hukum yang jelas-jelas mengatur
secara mendalam, sehingga tidak terdapat cukup informasi yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini menimbulkan urgensi tersendiri untuk
dilakukan kajian yang mendalam mengenai mekanisme pengikatan jaminan
deposito dalam kegiatan perkreditan.
Dalam skema kredit yang menempatkan cash collateral sebagai
jaminan, kreditur dalam hal ini adalah bank, seringkali mendapatkan
permasalahan di mana debitur tetap tidak dapat melunasi hutang-hutangnya
sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Oleh karena itulah,
perbankan melakukan penarikan kredit terhadap deposito-deposito atau kas-
kas yang diagunkan oleh kreditur untuk dapat menutupi pembiayaan yang
macet tersebut. Hanya saja, selama ini masih menimbulkan permasalahan
tersendiri di mana lembaga perbankan seringkali menemui kesulitan dalam
kegiatan eksekusinya. Berdasarkan hal tersebut, lembaga perbankan
kemudian melakukan penarikan kredit dari agunan yang dijaminkan oleh
kreditur secara langsung (Sari, 2015: 4).
Bagi pihak kreditur, penarikan agunan secara langsung tersebut tentu
saja memiliki sisi yang merugikan. Dalam satu perspektif, penarikan tersebut
bersifat sewenang-wenang, tanpa memberikan kesempatan terlebih dahulu
kepada pihak kreditur untuk mendapatkan hak-haknya. Pada saat kredit sulit
untuk dibayarkan, kreditur semestinya dapat memperoleh keringanan-
keringanan pembayaran kredit oleh debitur. Namun karena tindakan
perbankan untuk melakukan penarikan secara langsung tersebut,
menimbulkan praktis yang tentunya berdampak buruk bagi pihak kreditur.
Hal ini juga menjadi permasalahan tersendiri karena dapat menimbulkan

5
pertanyaan apakah perbankan memang memiliki kewenangan dan kedudukan
secara hukum untuk dapat melakukan eksekusi sendiri atas jaminan deposito
tersebut.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Penulis tertarik untuk mengangkat
topik mengenai eksekusi jaminan cash collateral dalam kegiatan perkreditan
masyarakat untuk menjadi sebuah penelitian. Dalam hal ini, Penulis ingin
mengangkat mengenai diskursus problematika eksekusi jaminan cash
collateral dalam kegiatan kredit masyarakat. Oleh sebab itulah, Penulis
mengangkat penelitian ini dengan judul, PROBLEMATIKA EKSEKUSI
DALAM JAMINAN DEPOSITO SEBAGAI CASH COLLATERAL
BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP HUKUM JAMINAN INDONESIA.
Dalam penelitian ini nantinya, Penulis akan menggunakan perspektif kajian
dengan menghadirkan beberapa aturan atau instrumen hukum yang melandasi
kegiatan perkreditan masyarakat, kemudian membandingkannya satu sama
lain.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, terdapat
permasalahan hukum yang melandasi penelitian ini, sebagai berikut,
1. Bagaimana kedudukan mekanisme pengikatan jaminan deposito
sebagai bentuk cash collateral dalam sistem hukum jaminan di
Indonesia?
2. Bagaimana perlindungan hukum atas eksekusi terhadap kedua belah
pihak pada perikatan kredit yang menggunakan jaminan deposito
sebagai cash collateral?

E. Tujuan Penelitian
Sebuah penelitian dilakukan untuk mencapai aspek-aspek tertentu,
dalam hal ini adalah tujuan dari penelitian itu sendiri. Adapun tujuan
penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a) Mengetahui kedudukan mekanisme pengikatan jaminan
deposito sebagai bentuk cash collateral pada kegiatan
perkreditan dalam sistem hukum jaminan di Indonesia.

6
b) Mengetahui dan mengkaji mengenai perlindungan hukum atas
eksekusi terhadap kedua belah pihak yang menggunakan
jaminan deposito sebagai cash collateral.
2. Tujuan Subyektif
a) Memperoleh data dan informasi secara lengkap dan terperinci
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti sebagai bahan
utama penyusunan penulisan hukum guna memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana program studi Ilmu
Hukum Universitas Sebelas Maret.
b) Menambah wawasan pengetahuan serta pemahaman penulis
atas prosedur eksekusi jaminan deposito sebagai cash collateral
pada kegiatan perkreditan masyarakat serta mengetahui
perlindungan hukum terhadap pihak kreditur pada eksekusi
jaminan tersebut.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum, khususnya hukum
perdata.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah refrensi, literatur
maupun bahan-bahan informasi ilmiah dalam bidang hukum perdata
dan prosedur perkreditan masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a) Memberikan jawaban yang sedang diteliti oleh penulis mengenai
ruang lingkup yang dibahas sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi
masukan serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait,
terutama bagi pemerintah, lembaga perbankan, lembaga pemberi
jaminan keuangan, dan masyarakat secara keseluruhan.

7
G. Tinjauan Pustaka
1. Kerangka Teori
a) Tinjauan tentang Kredit Perbankan
1) Definisi Kredit
Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 tahun
1998 tentang Perbankan, kredit memiliki definisi sebagai
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan
itu, berdasrakan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak yang lain mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga (Mandiangan, 2018: 53).
Menurut Widayati (2019: 3), kredit didefinisikan sebagai
penyediaan uang atau tagihan yang didasarkan pada tujuan
maupun kesepakatan pinjam meminjam sebelumnya, di mana
pihak peminjam wajib untuk melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu beserta dengan jumlah bunga, imbalan, atau
pembagian hasil keuntungan.
Menurut Malayu sebagaimana dikutip dalam Khairuna
(2017: 2), kredit merupakan jenis pinjaman yang harus dibayar
kembali bersama bunganya oleh peminjam sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati. Sedangkan menurut Sigit (2006:
113), kredit adalah bentuk pemberian fasilitas pinjaman non-
syariah kepada nasabah, baik berupa pinjaman tunai (cash loan)
maupun pinjaman non tunai (non-cash loan).
2) Fungsi Kredit
Menurut Takser (2019: 84), kredit terdiri dari beberapa jenis
yang dapat dilihat berdasarkan berbagai pandangan. Jenis-jenis
kredit atau klasifikasi kredit akan mengacu pada kebijakan
perkreditan yang digariskan sesuai dengan tujuan pembangunan
perekonomian negara.
Menurut Kasmir sebagaimana dikutip dalam Pratiwi (2015:
100), kredit memiliki fungsi dalam kehidupan perekonomian, di

8
antaranya untuk meningkatkan daya guna uang, meningkatkan
peredaran dan lalu lintas uang, menaikkan daya guna barang,
meningkatkan peredaran barang yang ada di masyarakat, sebagai
alat untuk mengatur stabilitas ekonomi, meningkatkan iklim dan
gairah usaha masyarakat, meningkatkan pemerataan pendapatan,
hingga berfungsi sebagai instrumen dalam hubungan
internasional.
Menurut Pratiwi (2015: 99), kredit dalam perbankan
berperan sebagai aset yang menghasilkan pendapatan bunga,
sehingga besaran kredit dalam aset perbankan memiliki jumlah
yang dominan. Oleh karena itulah, pengelolaan kredit dalam
perbankan menjadi vital karena perannya yang sangat strategis,
baik bagi perusahaan secara internal maupun bagi perekonomian
negara secara luas.
Menurut Mulyati (2018: 2), bank dalam menyalurkan
dananya melalui skema pemberian kredit menjadi salah satu
sumber dana bagi pembangunan. Hal ini dikarenakan kredit
berperan penting dalam perputaran roda usaha masyarakat, di
mana kredit yang dikeluarkan oleh bank akan dipergunakan
sebagai modal untuk berusaha. Oleh karena itu, kredit dapat
menjadi faktor yang sangat krusial bagi keberlanjutan
perekonomian negara yang dapat dirasakan secara langsung
maupun tidak langsung dampaknya bagi masyarakat keseluruhan.

b) Tinjauan tentang Jaminan Perkreditan


1) Definisi Jaminan
Jaminan atau tanggungan dalam istilah Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan tanggung.
Menurut Hidayat et al. (2020: 59), istilah jaminan berasal dari
bahasa Belanda, yaitu Zekerheid atau Cautie yang berarti
sekumpulan cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihan, di
samping pertanggungjawaban umum debitur terhadap barang-
barangnya. Lebih lanjut, Hidayat et al. (2020: 60) mendefnisikan

9
jaminan kredit sebagai segala sesuatu yang mempunyai nilai
mudah untuk diuangkan, diikat dengan janji sebagai jaminan
untuk membayar hutang debitur berdasarkan perjanjian kredit
yang dibuat oleh kedua belah pihak sebelumnya.
Dalam keperdataan, istilah jaminan seringkali disandingkan
(atau disamakan) dengan agunan. Sejatinya menurut Fitriani
(2017: 137), jaminan dan agunan merupakan dua istilah yang
memiliki pemaknaan berbeda, dan seringkali saling dipertukarkan.
Lebih lanjut, Fitriani menjelaskan bahwa jaminan secara
sederhana diartikan sebagai tanggungan atas pinjaman yang
diterima.
Pada nomenklatur hukum perdata Indonesia, tepatnya pada
Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UU Perbankan,
tidak terlalu dijelaskan mengenai definisi pasti apa itu jaminan.
Kedua instrumen hukum tersebut hanya menyebutkan bahwa
istilah jaminan sangat erat dengan kegiatan utang piutang. Istilah
jaminan kemudian dapat dimaknai sebagai suatu perjanjian pada
hubungan kreditur dan debitur, di mana debitur menggunakan
sejumlah hartanya untuk kepentingan pelunasan utang menurut
ketentuan perundangan yang berlaku, dan apabila dalam waktu
yang telah ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utang
debitur.
Sedangkan agunan dalam terminologi hukum perbankan
disebutkan dalam Pasal 1 Angka 23 UU Perbankan, yakni suatu
jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank
dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan. Jika
dalam instrumen tersebut disebutkan bahwa agunan sebagai
“jaminan tambahan”, maka secara a contrario haruslah ada
jaminan pokok. Menurut A. Wangsawidjaja sebagaimana dikutip
dalam Fitriani (2017), jaminan adalah unsur-unsur utama yang
menjadi pemberi keyakinan oleh debitur kepada kreditur dalam
pelaksanaan kegiatan utang piutang, sedangkan agunan adalah

10
jaminan tambahan untuk memberikan keyakinan berlanjut dalam
pemberian kredit tersebut.
2) Golongan Jaminan
Purwaningsih (2019), klasifikasi atau penggolongan jaminan
secara yuridis dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk, di
antaranya,
- Menurut cara terjadinya, yang terdiri atas jaminan yang
lahir karena UU dan jaminan yang lahir karena
perjanjian;
- Menurut sifatnya, yang terdiri atas jaminan umum dan
khusus;
- Menurut sifat haknya, yang terdiri dari jaminan bersifat
hak kebendaan dan jaminan perorangan;
- Menurut obyeknya, yang terdiri dari jaminan benda
bergerak dan jaminan benda tidak bergerak;
- Menurut kewenangan menguasai, yang dibedakan antara
jaminan menguasai bendanya dan jaminan tidak
menguasai bendanya.
Dalam KUHPerdata, jaminan kredit menurut sifatnya terdiri
dari jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan umum diatur
dalam Pasal 1131 KUHPerdata yang disebutkan, “bahwa segala
kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun tidak bergerak
baik yang sudah ada maupun akan ada di kemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perorangan,” jaminan ini
menjadi jaminan yang ditetapkan oleh undang-undang, yang
dalam penerapannya tanpa perlu diperjanjikan pun secara otomatis
telah mengikat para pihak. Sedangkan jaminan khusus diatur
dalam Pasal 1133 dan 1820-1850 KUHPerdata, di mana jaminan
ini lahir karena diperjanjikan oleh para pihak baik berupa jaminan
kebendaan maupun jaminan perorangan.

c) Tinjauan tentang Cash Collateral

11
Menurut Farkhiyah & Sukamto (2020: 105), cash collateral
adalah fasilitas kredit dengan agunan tunai baik berupa tabungan
maupun investasi. Secara sederhana, dapat dimaknai bahwa cash
collateral merupakan agunan yang diberikan kepada pihak kreditur
oleh pihak debitur dalam bentuk pembiayaan yang dijamin dengan
cash.
Cash Collateral dapat dimaknai juga sebagai bentuk jaminan
yang dilakukan pada transaksi utang piutang antara debitur dengan
kreditur (dalam lingkup perbankan), di mana pihak peminjam
memberikannya dalam bentuk harta-harta yang dapat dicairkan dalam
bentuk tunai (Yuspin, et al., 2020). Harta-harta ini dapat berupa
investasi, deposito, maupun tabungan, yang dimiliki oleh pihak
peminjam sekaligus sebagai nasabah dari bank di mana ia meminjam.
Menurut Lippman & Howell, cash collateral dedefinisikan
sebagai bentuk kas, termasuk di antaranya berupa uang tunai,
instrumen yang dapat dinegosiasikan, documents of title, sekuritas,
rekening deposit, atau prinsip harta tunai lainnya, yang dapat memiliki
nilai bunga (interest) dalam sistem pembiayaan kredit.
Pada skema pembiayaan kredit, terdapat salah satu produk
perbankan yang sudah cukup banyak diterapkan di luar negeri, namun
tidak terlalu populer di Indonesia, yakni menggunakan benda-benda
atau harta-harta berupa kas (cash) sebagai agunan (collateral). Istilah
ini oleh masyarakat global dinamakan sebagai cash collateral
financing. Harta-harta yang dapat termasuk ke dalam agunan
berbentuk cash collateral dapat berupa surat-surat, akun, maupun
rekening, yang diterbitkan oleh bank maupun bank sentral. Terdapat
perbedaan sistem di mana pada kondisi perekonomian beberapa
negara di luar negeri, cash collateral tidak dapat dicairkan, namun
dapat dipindahbukukan. Sedangkan dalam sistem hukum di Indonesia
sendiri, cash collateral dapat dicairkan oleh kreditur, dengan
perjanjian sebelumnya atas kreditur, untuk melunasi pembiayaan
skema kredit yang masih terutang. Oleh karena produk ini memiliki

12
banyak manfaat bagi pihak debitur, biasanya collateral berupa kas ini
dikenakan bunga yang lebih rendah dibandingkan skema kredit tanpa
agunan dari perbankan (Anjarsari, 2018).
Merujuk pada definisi-definisi di atas, Penulis kemudian
menyimpulkan sendiri mengenai apa yang dimaksud sebagai cash
collateral. Berdasarkan sejauh pemahaman Penulis, dapat
disimpulkan bahwa cash collateral adalah bentuk dari agunan pada
skema kredit perbankan, yang dimiliki dan diajukan oleh debitur, yang
berbentuk harta-harta atau rekening kas berupa deposito, investasi,
giro, maupun surat-surat rekening, sebagai alat penjamin pembayaran
utang kepada pihak kreditur.

d) Tinjauan tentang Eksekusi Kredit


Pada skema perkreditan, seorang debitur dapat dinilai telah
melakukan tindakan wanprestasi identik ketika mengalami kredit
macet. Pada Pasal 12 Ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, terdapat
beberapa ketentuan kualitas kredit, yang terbagi menjadi, 1) lancar; 2)
dalam perhatian khusus; 3) kurang lancar; 4) diragukan; 5) macet
(loss). Ketika debitur telah berada dalam kondisi kredit macet,
perbankan dapat menempuh langkah dengan memberikan surat
peringatan setiap bulannya selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
(Lestari, 2017: 91).
Dalam hal pihak debitur tidak dapat melaksanakan prestasinya
ketika perbankan telah menempuh langkah di atas, maka perbankan
dapat melakukan upaya represif berupa negosiasi dengan pihak
debitur. Upaya ini merupakan satu penyelematan kredit yang dapat
berbentuk beberapa tindakan, di antaranya,
- Penjadwalan kembali (rescheduling), yang merubah
syarat kredit terkait dengan jadwal pembayaran atau
jangka waktu pembayarannya;

13
- Persyaratan kembali (reconditioning), yang merubah
sebagian atau seluruh syarat kredit selama tidak
menyangkut perubahan maksimum saldo kredit;
- Penataan kembali (restructuring), yang merubah syarat-
syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank,
konversi seluruh maupun sebagian bunga menjadi pokok
bunga baru, konversi seluruh atau sebagian kredit
menjadi penyertaan (Indrawati, 2009).
Secara prinsip, eksekusi terhadap kredit macet dilakukan
melalui kegiatan pelelangan di muka umum (Tinus, 2016: 45). Dasar
hukum eksekusi terhadap jaminan diletakkan pada yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 3210k. Pdr. 1984, yang memberikan larangan
kantor lelang untuk melakukan eksekusi tanpa adanya penetapan
pengadilan sebelumnya. Oleh sebab itulah, eksekusi terhadap jaminan
yang sebelumnya diletakkan atas dasar perjanjian kredit terlebih
dahulu harus melewati prosedur pengadilan untuk kemudian diberikan
putusan eksekusi agar dapat dilakukan eksekusi sesuai dengan sistem
hukum yang berlaku.
Eksekusi terhadap hak tanggungan juga dapat dilakukan dengan
penjualan di bawah tangan. Hal ini dilakukan apabila didasarkan atas
kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan. Penjualan objek
hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan ketika demikian
itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan seluruh
pihak.

e) Tinjauan tentang Deposito


Menurut Al Arif (2010: 35), deposito adalah jenis metode
penyimpanan dana nasabah dengan ketentuan jumlah minimal, jangka
waktu, dan perolehan imbalan yang lebih tinggi dibanding dengan
simpanan maupun tabungan biasa. Deposito dapat dibuka pada unit
perbankan dengan ketentuan aturan jumlah dan jangka waktu yang
disepakati antara nasabah dengan layanan perbankan, sehingga dana

14
yang berada dalam deposito belum dapat dicairkan jika belum
mencapai jatuh tempo.
Menurut Pasal 1 angka 7 UU Perbankan, deposito merupakan
simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu
tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpangan dengan bank.
Nasabah yang telah memiliki rekening deposito, nantinya akan
diberikan sertifikat deposito sebagai bukti penyimpanan yang dapat
dipindahtangankan.
Menurut Ikatan Bankir Indonesia (2017), deposito merupakan
simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya
dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara
deposan (nasabah) dengan bank atas syarat-syarat tertentu. Deposito
dapat dicairkan setelah jangka waktu berakhir dan deposito yang akan
jatuh tempo tersebut dapat diperpanjang pula secara automatis,
tergantung keputusan yang diambil oleh pihak nasabah atas diskusi
dengan perbankan sebelumnya. Keuntungan yang diperoleh nasabah
dengan menjadi nasabah deposito antara lain: dapat dijadikan agunan
kredit; memperoleh hasil bunga yang lebih tinggi dibanding bentuk
simpanan lainnya; mengelola keuangan secara lebih berencana sesuai
dengan kebutuhan dan jangka waktu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa deposito adalah
bentuk produk perbankan berupa simpanan yang penarikannya dapat
dilakukan pada waktu tertentu ketika telah jatuh tempo.

15
2. Kerangka Berpikir
a) Kerangka Pemikiran

Nasabah Bank
Kredit

Cash Collateral

Dana
Perjanjian
Kredit

Skema pembiayaan
kredit

Kredit jatuh tempo

Bagan 1. Kerangka Pemikiran

b) Penjelasan Kerangka Pemikiran


Kegiatan perkreditan masyarakat salah satunya diadakan oleh
pihak perbankan. Perbankan memberikan produk perkreditan dengan
berbagai pilihan, salah satunya adalah skema perkreditan dengan
agunan Cash Collateral. Sebagai pihak kreditur, lembaga perbankan
memiliki hak untuk menilai apakah kreditur mampu untuk melakukan

16
pembayaran atau tidak sebelum memberikan skema kreditnya kepada
masyarakat (tindakan preventif). Ketika masyarakat dipandang tidak
lagi mampu melakukan pembayaran terhadap kreditnya, maka pihak
perbankan dapat melakukan upaya-upaya untuk mengatasinya
(tindakan represif). Salah satu upaya tersebut adalah dengan
melakukan eksekusi jaminan yang sebelumnya telah diberikan atas
perjanjian atau kesepakatan kredit. Pada grafik kerangka pemikiran di
atas, kedudukan Nasabah dan Bank adalah sebagai pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu kegiatan utang piutang. Nasabah mengajukan
pinjaman kepada pihak Bank dengan jaminan cash collateral,
sedangkan Bank memberikan kredit berupa dana dan menerima
jaminan yang diajukan oleh Nasabah dalam bentuk cash collateral,
yang dalam hal ini adalah deposito. Kedua pihak saling mengikatkan
diri pada perjanjian kredit, agar kegiatan mereka dapat berjalan
dengan lancar dan memiliki kedudukan hukum, karena pada dasarnya
perjanjian kredit akan mengampu juga mengenai skema pembiayaan
kredit, kapan tenggat waktu pembayaran, dan bagaimana pembayaran
kredit dilakukan. Pada saat kredit telah mencapai masa jatuh tempo,
Nasabah memiliki kewajiban untuk melunasi kredit yang telah
dipinjamnya dari pihak Bank. Akan tetapi, dalam kasus ketika
Nasabah tidak dapat melunasi kredit tersebut pada saat masa jatuh
tempo, pihak Bank memiliki hak untuk melakukan tindakan terhadap
Nasabah, dalam hal ini dengan menindak jaminan deposito sebagai
cash collateral yang telah diagunkan oleh Nasabah pada saat
perjanjian kredit dilakukan dahulu.

H. Metode Penelitian
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menentukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi (Marzuki, 2010: 11). Dalam sebuah penelitian hukum,
tentunya memerlukan landasan dilakukannya penelitian yang dapat tertuang
pada metode-metode penelitian. Metode penelitian menjadi langkah

17
prosedural yang harus ditaati selama dilaksanakannya penelitian hukum
tersebut. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut,
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau
penelitian hukum kepustakaan. Dengan mempelajari pandangan dan
doktrin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide
yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi serta sebagai
sandaran dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam
memecahkan isu yang dihadapi (Marzuki, 2010: 95).
Dalam penelitian ini nantinya, Peneliti akan mengemukakan
pandangan atas persoalan yang diangkat menggunakan studi kepustakaan
yang telah ada sebelumnya.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum ini adalah preskriptif dan terapan seperti apa
yang telah dipaparkan oleh Peter Mahmud Marzuki; “Ilmu hukum
memiliki karakteristik sebagai ilmu yang bersifat perskriptif dan terapan”
(Marzuki, 2010: 22). Hal tersebut bertujuan untuk memberikan
argumentasi mengenai benar atau salah menurut hukum terhadap fakta-
fakta yang terjadi dalam peristiwa hukum dari hasil penelitian penulis.
Dalam penelitian ini nantinya, Peneliti akan memanfaatkan fakta-
fakta hukum yang tersedia sebagaimana konsep penelitian hukum
normatif dilakukan, serta memberikan landasan berpikir pribadi Peneliti
untuk dapat diterapkan berkenaan dengan permasalahan yang sedang
dikaji.
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, dalam penelitian hukum normatif
terdapat beberapa macam pendekatan penelitian, yaitu pendekatan
perundang-undangan (statue approach), pendeketan konsep (conceptual
approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan
perbandingan (comparative approach), pendekatan filsafat (philosophical

18
approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan
kasus (case approach) (Marzuki, 2010).
Berdasarkan pembagian tersebut dan kesesuaian dengan penelitian
yang dilakukan maka penulis menggunakan pendekatan undang-undang
(statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach)
sebagai pendekatan yang paling relevan dengan topik permasalahan yang
dikaji.
4. Sumber Data Penelitian
Jenis bahan hukum dibedakan menjadi 2, yaitu bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum autoratif, yang dapat diartikan sebagai bahan hukum yang
memiliki kekuatan otoritas tersendiri dalam topik kajian yang sedang
diangkat. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi untuk dapat
menunjang bahan hukum primer. Jenis data yang digunakan penulis
adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan pustaka yang berkaitan
dengan pokok pembahasan yang dikaji oleh penulis. Sumber hukum yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sumber bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
a) Adapun dalam penelitian ini bahan hukum primer yang
digunakan:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
3) Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prinsip
Kehati-Hatian Dalam Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank
Umum.
b) Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks, karena
buku teks berisi tentang prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai
kualifikasi tinggi (Marzuki, 2010). Dalam hal ini bahan
sekunder yang digunakan adalah:
1) Buku teks yang ditulis oleh ahli-ahli hukum

19
2) Makalah dan hasil karya ilmiah para sarjana
3) Jurnal hukum
4) Kamus Hukum
5) Artikel dan bahan dari internet yang memiliki korelasi
untuk mendukung penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan
hukum yang dipilih penulis dalam penelitian ini adalah teknis
pengumpulan data sekunder, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan
mempelajari dan membaca literatur seperti peraturan perundang-
undangan dan studi dokumen dari media cetak maupun elektronik.
6. Teknik Analisis Data
Teknis analisis yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
dengan metode silogisme deduktif. Penggunaan metode deduktif ini
berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis
minor dan dari kedua premis itu kemudian ditarik kesimpulan (Marzuki,
2010: 89).
Penarikan kesimpulan dilakukan ketika telah mendapatkan data-
data yang berkaitan dengan permasalahan. Dalam penelitian ini, premis
yang digunakan Peneliti berupa problematika eksekusi jaminan deposito,
dan prinsip-prinsip hukum jaminan di Indonesia.
I. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum tentunya memiliki sistematika yang terstruktur
supaya memberikan kajian yang lebih strategis dan dapat
dipertanggungjawabkan keabsahannya. Adapun dalam penelitian ini nantinya,
Peneliti membagi keseluruhan kajian dari 4 (empat) bab. Adapun sistematika
penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menjabarkan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan hukum.

20
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis memberikan landasan teori atau
penjelasan secara teoritik yang bersumber pada bahan
hukum yang penulis gunakan. Landasan teori tersebut
meliputi tinjauan tentang disebutkan di atas. Selain itu,
dalam bab ini penulis juga memaparkan tentang kerangka
pemikiran guna memudahkan dalam pemahaman alur
berfikir penulis.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan dan menyajikan
pembahasan dari hasil yang diperoleh dari proses
penelitian.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini penulis menguraikan simpulan yang diperoleh
dari penelitian yang telah dilakukan, serta mengemukakan
saran dari penulis yang relevan terhadap permasalahan
yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA

J. Jangka Waktu Penelitian


Penelitian ini direncanakan dalam jangka waktu enam bulan dengan
jadwal sebagai berikut:

No Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6
1 Pengajuan Judul
2 Penyusunan Proposal
3 Seminar Proposal
4 Pengumpulan Data
5 Analisis Data
6 Penulisan Laporan

K. Daftar Pustaka
Undang-Undang

21
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan
Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prinsip Kehati-Hatian Dalam
Aktivitas Sekuritisasi Aset Bagi Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas
Aktiva Bank Umum

Buku
Al Arif, M. N. (2010). Dasar-Dasar Pemasaran Bank Syariah. Cetakan
Kesatu. Bandung: CV Alfabeta.
Ikatan Bankir Indonesia. (2007). Mengenal Operasional Perbankan 1.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Marzuki, P, M. (2010). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Purwaningsih, S. (2019). Hukum Jaminan dan Agunan Kredit Dalam Praktek
Perbankan di Indonesia. Umsida Press, 1-129.
Yuspin, W., Putri, A. D., & SH, M. (2020). Rekonstruksi Hukum Jaminan
pada Akad Mudharabah. Muhammadiyah University Press.

Artikel Ilmiah
Anjarsari, D. (2018). The Impact Of Retained Earnings As An Intervening
Variable In The Implementation Of Free Cash Flow, Funding Policies,
Profitability And Collateral Assets As A Benchmark For Dividend
Policy (The empirical study of Manufacturing Companies listed on the
IDX for the 2013-2017 period). Journal of Management, 4(4).
Ardyansah, A. Pemberian Kredit dengan Jaminan Deposito. Al Hikam, 1(4),
32-49.
Farkhiyah, I., & Sukamto, M. E. I. (2020). Tinjauan Maqashid Al-Syariah
Dalam Produk Ib Hasanah Card Perbankan Syariah. Jurnal Mu’allim,
2(1), 94-109.

22
Fitriani, I. L. (2017). Jaminan dan Agunan dalam Pembiayaan Bank Syariah
dan Kredit Bank Konvensional. Jurnal Hukum & Pembangunan, 47(1),
134-149.
Hidayat, M. R., Nasution, K., & Setyadji, S. (2020). Kekuatan Hukum
Pengikatan Hak Tanggugan Atas Jaminan Kredit. Jurnal Akrab Juara,
5(1), 55-65.
Khairuna, K., Maryam, M., & Yulianti, R. (2017). Pengaruh Kredit
Perbankan Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sektor
Modal Kerja Kota Banda Aceh. Jurnal Ekonomi Manajemen dan
Akuntansi (JEMSI), 3(2).
Lestari, C. R. (2017). Penyelesaian Kredit Macet Bank Melalui Parate
Eksekusi. Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 19(1), 81-96.
Mandiangan, P. (2018). Upaya Peningkatan Omset Usaha Tenun Tajung
Melalui Kredit Perbankan. Jurnal Riset Terapan Akuntansi, 2(1), 52-58.
Mulyati, E. (2018). Penerapan Manajemen Risiko Sebagai Prinsip Kehati-
Hatian Dalam Pemberian Kredit Perbankan. SUPREMASI: Jurnal
Hukum, 1(1), 34-48.
Pratiwi, R. D. (2015). Analisis Kredit Yang Diberikan Dan Tingkat Likuiditas
Serta Pengaruhnya Terhadap Profitabilitas Perusahaan Perbankan.
Jurnal Ilmiah STIE MDP, 4.
Takser, M. L. (2019). Pelaksanaan Pemberian Kredit Bank Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Lex Privatum, 7(4).
Tinus, M. A. (2016). Proses Eksekusi Jaminan Perbankan dalam Perjanjian
Kredit Perbankan. Lex Privatum, 4(8).

Lain-lain
Indrawati, Diyani. (2009). Kajian Hukum Eksekusi Hak Tanggungan Pada
PT.Bank Perkreditan Rakyat Jateng (PT. BPR Jateng), Tesis,
Universitas Dipenogoro, Semarang.
Lippmann, K. M., & Harr, P. C. Practice-Bankrutpcy Nuts & Bolts: Th E
Basics Of Cash Collateral And Dip Financing. Diakses dari
www.munsch.com pada 12 Desember 2021.

23
24

Anda mungkin juga menyukai