TUGAS MIKOLOGI
JUDUL
“TINEA PEDIS”.
DISUSUN OLEH
ANACHE H.TANAWANI
2013
2
DAFTAR ISI
BAB IV PENUTUP
Kesimpulan ...............................................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran TUHAN yang maha Esa, berkat rahmat dan
karunia_Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini dibuat berdasarkan pencariaan dari berbagai sumber media/ Makalah ini
bertemakan tentang TINEA PEDIS. Dan kami juga mengucapkan terimah kasih kepada dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan
dan kelancaran dalam pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa banyak kekurangan, untuk itu kritik
dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca yang sangat bermanfaat diperlukan demi
kesempurnaan makalah kami selanjutnya. Kami juga mengharapkan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua khususnya kami sebagai penulis dan diharapkan TUHAN akan
membalas segala kebaikan kita. Amin.
Penulis,
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap sebagai tinea
korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena bersepatu dan berkaos
kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur.
Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat dan kelima, dan lokasi ini paling sering
terkena. Kenyataaannya, tinea pedis jarang ditemukan pada populasi yang tidak
menggunakan sepatu.
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering terjadi.
Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19 sehubungan dengan
penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini dipengaruhi oleh
perjalanan orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris dan Perancis pada abad
ke-19 dan awal abad ke-20 dan migrasi penduduk selama perang dunia kedua. Beberapa
penulis berspekulasi bahwa area endemik spesies ini bermula di Asia Tenggara.
Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari nasihat
medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit yang
mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di banyak negara menderita
penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar 15-30% dan
pada beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh tambang (sampai 70%)
dan atlit. Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim tropis dan sedang.
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa dari pada anak remaja terutama pada
laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi berkaitan
dengan paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan fasilitas mandi
umum seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih cenderung terinfeksi. Jamur
penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Jamur iasreron harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan keratin.
Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan kelembaban, persaingan
dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan sphingosines yang diproduksi oleh
keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus tumbuh dan menembus stratum korneum
dengan kecepatan lebih cepat daripada proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini
dilakukan melalui sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan
nutrisi. Trauma dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan
baru muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk kompetisi
dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan pertumbuhan
jamur oleh iasrerone. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat tergantung pada aktivasi
iasr kekebalan tubuh.
Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam
pertumbuhan jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari merupakan
iasr predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80% dari seluruh penderita
dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat onikomikosis dan/atau tinea
pedis. Jamur penyebab ada di mana-mana dan sporanya tetap patogenik selama berbulan-
bulan di lingkungan sekitar manusia seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar
mandi dan karpet.
Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya iasr maserasi pada infeksi
dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan jamur dan merusak
stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora bakteri secara serentak
mungkin dan ias juga memainkan peran. Terdapat bukti tambahan bahwa selama beberapa
episode simtomatik pada tinea pedis kronik, bakteri seperti coryneform ias berperan
8
sebagai ko-patogenesis penting, tetapi apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi
baru masih belum diketahui
BAB III
PEMBAHASAN
1. Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV dan
V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas ke
bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini lembab,
maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih dan rapuh.
Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada
umumnya juga telah diserang oleh jamur. Jika perspirasi berlebihan (memakai sepatu
karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan terjadi sehingga pasien
terasa sangat gatal. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun-tahun dengan
menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder
oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis dan limfadenitis.
3. Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang
bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari, kemudian
meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel tersebut meninggalkan
sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret. Keadaan tersebut menimbulkan
gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat terjadi juga pada bentuk selulitis,
limfangitis dan kadang-kadang menyerupai erisipelas. Jamur juga didapati pada atap
vesikel.
10
4. Tipe Ulseratif
Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis akibat
maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari; dapat dilihat
pada pasien yang imunokompromais dan pasien diabetes.
1. Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan terlihat hifa
bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis. KOH digunakan
untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas kelihatan di bawah
mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luar kelainan
sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas gelas kaca, kemudian
ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20 menit untuk melarutkan
jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis tipe vesikobulosa, kerokan
diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.
11
2. Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum adalah adanya
akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler superfisialis kronik pada dermis)
Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena banyak
dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang disebabkan oleh
Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah tersebut dikerok untuk
mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.
3.3 DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%
ditemukan hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan), dikotomi
12
(bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu deretan spora di
ujung hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis menyokong. b)
Kultur ditemukan dermatofit.
2. Pomfolix
Pomfolix umumnya terjadi pada dorsum jari-jari kaki pada anak-anak, agak
kronik, sering pada musim dingin, sangat gatal dan ada riwayat keluarga yang
atopi. Kulit di dorsum pedis tidak ditemukan jamur.
13
3. Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas;
psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada pemeriksaan
kulit.
Lesi dapat memburuk dan berwarna putih, erosi disertai maserasi pada telapak kaki dan bau yang
sangat busuk.
- Terbinafine (Lamisil®), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan kematian sel
jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama dengan terbinafine 10% dalam mengobati
tine pedis namun dalam dosis yang lebih kecil dan lebih aman.
e. Antijamur Topikal Lainnya.
- Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat dalam
perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep Whitfield. Asam benzoat
memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat memberikan efek keratolitik. Asam
benzoat hanya bersifat fungistatik maka penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang
menderita infeksi terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga
ada keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini berlemak.
- Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik tetapi dalam dosis
tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek fungisidal. Obat ini tersedia dalam
bentuk salep campuran yang mengangung 5 % undesilenat dan 20% seng undesilenat.
- Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal kekuningan, sukar
larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan larutan
dengan kadar 1 %.
vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi
hepar.
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang
bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan obat
tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari setelah makan.
Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan sebagai pengganti
ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari.
Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan mengahambat sitokorm
P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela
membran jamur. Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit
jamur biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari. Interaksi
dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di usus), amilodipin, nifedipin
(dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea (dapat meningkatkan resiko hipoglikemia).
Itrakonazole diindikasikan pada tinea pedis tipe moccasion.
4. Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg – 250 mg sehari bergantung berat badan.
Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat epoksidase sehingga sintesis ergosterol
menurun. Efek samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering
gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi
yang umumnya ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan
presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah beberapa
minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi
hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus. (1) Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis
tipe moccasion yang sifatnya kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa
pengobatan tinea pedis dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan
griseofulvin.
3.8. PENCEGAHAN
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap dalam
keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab, menghindari pemakaian
18
sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki telanjang di tempat-tempat umum seperti
kolam renang serta menghindari kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya
asimptomatik, sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit
dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci dengan benzoil
peroksidase.
3.9 KOMPLIKASI
1. Selulitis. Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan selulitis. Selulitis
dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan infeksi bakteri pada daerah
subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi sekunder pada luka. Faktor predisposisi
selulitis adalah trauma, ulserasi dan penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan lembab,
kulit akan mudah terjadi maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan
menjadi tempat masuknya bakteri pathogen seperti β-hemolytic streptococci (group A, B C, F,
and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram negatif. Apabila telah
terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik. Jika terjadi gejala yang sifatnya
sistemik seperti demam dan menggigil, maka digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik
yang dapat digunakan berupa ampisillin, golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon.
2. Tinea Ungium. Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku dan biasanya
dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T. rubrum merupakan jamur
penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal, pecah-pecah, dan tidak berwarna yang
merupakan dampak dari infeksi jamur tersebut.
3. Dermatofid. Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi “id”, merupakan suatu penyakit imunologik
sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini dapat menyebabkan vesikel atau
erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja
timbul asimptomatis dari infeksi tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan
terapi antifungal. Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik,
imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan profilaksis
penyakit ini dapat kambuh kembali.
3.10 PROGNOSIS
19
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah
pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus yang lebih berat
dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan pengobatan yang baik, tetapi bila tidak
dilakukan pencegahan maka pasien dapat terkena reinfeksi.
20
BAB VI
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari dan
telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan jarang
pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena
bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang lembab mengakibatkan
pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah
Trichophyton rubrum (paling sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak)
dan Epidermophyton floccosum.
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot, lesi
vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan ditemukan adanya hifa double
counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa dermatitis kontak,
pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan disesuaikan
berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa antifungal topikal maupun oral dan
apabila ditemukan infeksi sekunder maka indikasi penggunaan antibiotik. Salah satu
pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga agar kaki tetap dalam keadaan
kering dan bersih, hindari lingkungan yang lembab dan pemakaian sepatu yang terlalu
lama.
4.2 Saran
Hindari lingkungan yang lembab dan pemakaian sepatu yang terlalu lama. Usahakan
jangan terlalu lama didalam genangan air yang kotor dan berbusa, ketika kaki terasa gatal atau
pecah-pecah cepatlah diobati.
21
DAFTAR PUSTAKA
Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan
kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.
Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence and risk factors
of tinea ungium and tinea pedis in the general population in Spain. J Clin Microbiol
2000;38:3226-30.
Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, editors.
Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003. p.
Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections: dermatophytosis,
onychomicosis, tinea nigra, piedra. In. Freedberg IM, Elsen AZ, Wolf K, Austen KF, Goldsmith
LA, Katz SI. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill;
2003. p.
Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed. London: Mosby;
2004. p. 409-456.
Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed. Berlin: Springer Verlag;
1991. p. 227-8.
Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel
DJ, editors. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill;
2008. p.1807-21.
22
Hall JC. Dermatology Mycology. In. Hall JC, editor. Sauser’ manual of the skin. 8th ed. US:
Mosby; 2000. p. 244-47.
Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK: Oxford; 2005. p. 65-6.
Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD, Purwantyastuti,
Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI; 2004. p. 560-70.
Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the practicing allergist:
tinea pedis and its complications. Clin Mol Allergy 2004;2:5.
Noble SL, Pharm D, Forbes RC. Diagnosis and management of common tinea infections.
[Online]. 2000 July [cited 2010 June 2]; Available from: URL:
http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html