Anda di halaman 1dari 10

DEFINISI

Varisela, atau yang lebih dikenal sebagai cacar air, adalah infeksi primer dari Varicella
Zoster Virus (VZV). Varisela merupakan salah satu dari lima eksantema klasik pada masa kanak
– kanak, bersama dengan rubella, roseola, fifth disease, dan campak. Varisela biasanya
merupakan penyakit yang relatif ringan pada usdia anak – anak dan secara normal selalu
simtomatis, walaupun terkadang dapat terjadi secara asimtomatis. Gejala khas dari varisela
mencakup demam dan ruam makulopapuler yang akan berlanjut menjadi vesikulopustular yang
muncul setelah periode inkubasi yang berlangsung sekitar 14 hari.

Pada daerah yang hangat, 90% kasus terjadi pada anak – anak dibawah 10 tahun dengan
insidensi tertinggi pada usia 1 – 4 tahun pada anak – anak yang tidak divaksinasi varisela dan
90% orang dewasa menunjukkan adanya infeksi sebelumnya. Infeksi primer biasanya lebih berat
pada orang dewasa dibandingkan pada anak – anak. Pneumonia interstisial dapat terjadi pada 20
– 30% pasien dewasa dan dapat berakibat fatal. Pneumonia ini berasal dari reaksi inflamatorik
yang terjadi di daerah infeksi primer tersebut. (Murray et al., 2009; Andrews et al., 2019)

EPIDEMIOLOGI
Insidensi varisela di berbagai negara bervariasi, terutama sejak diperkenalkannya vaksin
varisela. Di Amerika Serikat pada tahun 2016 insidensi varisela pada kelompok usia <1 – 9 tahun
berkisar sekitar 49 – 108 kasus per 100.000 dalam populasi. Angka ini sangatlah jauh
dibandingkan pada tahun 1995 yang mana vaksin varisela baru pertama kali diperkenalkan di
Amerika Serikat dengan angka insidensi sebesar 924 – 1530 kasus per 100.000 populasi
(Wolfson et al., 2019). Di Italia, pada tahun 2013 – 2014 insidensi hospitalisasi akibat varisela
nasional menjadi sebesar 1,9 per 100.000 dimana angka ini menurun dibandingkan tahun 2002 –
2004 sebesar 4,2 per 100.000. Sementara di Jerman, insidensi hospitalisasi ini turun dari 3,3
menjadi 1,9 per 100.000 setelah pengenalan program Universal Varicella Vaccination (UVV)
pada jangka waktu 2005 – 2012 (Kauffmann et al., 2020).

Di negara – negara berkembang seperti Amerika Latin dan Kepulauan Karibia insidensi
varisela sebesar 2,7 per 100.000 penduduk dengan insidensi hospitalisasi akibat varisela sebesar
3,5 per 100.000 pada jangka waktu 1995 – 2010. Angka ini jauh lebih baik dibandingkan
sebelum adanya vaksin varisela dimana insidensi varisela di Amerika Latin dan Kepulauan
Karibia sebesar 42,9 per 100.000 penduduk (Ávila-Agüero et al, 2017). Sementara di area Asia-
Pasifik yang mencakup 11 negara berpendapatan rendah hingga moderat seperti Bangladesh,
China, India, Indonesia, Laos, Malaysia, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam
serta 6 negara dengan berpendapatan tinggi seperti Australia, Jepang, Korea Selatan, Selandia
Baru, Singapura, dan Taiwan angka insidensi varisela juga sangat bervariasi. Secara umum,
insidensi varisela di Asia Pasifik berkisar sekitar 17,8 per 100.000 hingga 323 per 100.000. pada
tahun 2006 – 2008 dimana pada area ini vaksinasi varisela sudah diperkenalkan. Pada era
sebelum vaksinasi varisela, angka insidensi varisela berkisar sekitar 74 per 100.000 hingga 798
per 100.000 pada tahun 1973 – 1999. Bahkan di Australia, diperkirakan insidensi sebelum era
vaksinasi angka insidensi mencapai 1329 per 100.000 setiap tahunnya (Goh et al., 2019).

Hingga kini, outbreak varisela masih dilaporkan. Di daerah Suzhou, Cina, pada tahun
2016 terjadi outbreak varisela yang berlangsung selama 6 minggu yang dimulai dari 6 Maret
2016 hingga April 2016. Rata – rata usia pasien yang terdampak adalah pada usia 6 tahun atau 72
bulan dengan range 66 – 77 bulan. Sekitar 70% pasien merupakan anak – anak yang tidak
divaksinasi varisela dan sisanya merupakan kasus breakthrough (kasus yang terjadi pada pasien
yang sudah menerima vaksinasi secara penuh). Hasil attack rate (AR) dari outbreak ini sebesar
4,5% yang menyerang 30 siswa usia sekolah (Zhang et al., 2020).

ETIOLOGI
Varisela disebabkan oleh infeksi Varicella Zoster Virus (VZV). VZV merupakan bagian
dari famili Herpesviridae dalam Alphaherpesvirus dengan nama lain Human alphaherpesvirus-3
(HHV-3). Sebagai bagian dari herpesvirus, VZV merupakan virus beramplop yang berukuran
besar dengan double-stranded DNA (dsDNA). Virion VZV berukuran 150 nm dengan bentuk
kapsid ikosadeltahedron. Sebagai virus berkapsid, VZV sangat sensitif terhadap asam, deterjen,
solven dan pengeringan. VZV memiliki genom paling kecil dibandingkan dengan herpesvirus
lainnya. Oleh karena itu, replikasi dari VZV memiliki proses yang sama seperti HSV namun
lebih lambat dan terjadi di dalam jenis sel yang lebih terbatas dibandingkan dengan HSV.

Infeksi VZV memiliki kemampuan untuk menjadi laten di dorsal root atau di ganglion
saraf kranialis setelah infeksi primer. VZV dapat reaktivasi pada lansia dimana imunitas tubuh
mulai menurun atau pada pasien dengan gangguan imunitas seluler. Reaktivasi ini bermanifestasi
dalam bentuk ruam vesikuler di sepanjang dermatom dikarenakan VZV yang bereplikasi dan
dilepaskan di sepanjang jalur neuron dermatom tersebut. Penyakit ini disebut sebagai herpes
zoster atau shingles

IFN-α, sel NK dan sel T memiliki peran untuk membatasi penyebaran virus ini di
jaringan namun antibodi adalah yang paling penting dalam menghambat viremia VZV. Imunitas
seluler sangatlah penting untuk kesembuhan dari infeksi akut VZV dan mengontrol infeksi laten
namun imunitas seluler juga merupakan dalang dari manifestasi gejala varisela itu sendiri.
Gangguan pada imunitas seluler dapat menyebabkan penyakit yang lebih berat baik pada pasien
yang tidak memiliki imunitas seluler seperti leukimia, maupun pada orang dewasa dengan respon
imunitas seluler yang berlebihan. Seiring waktu, kadar antibodi dan sel T akan menurun yang
memungkinkan rekurensi VZV dan menyebabkan penyakit herpes zoster itu sendiri (Murray et
al., 2009)

PATOGENESIS

Gambar 1. Perjalanan penyebaran VZV (Sumber : Murray et al., 2009)

VZV disebarkan melalui inhalasi. Infeksi primer dimulai di tonsil dan mukosa saluran
pernapasan kemudian disebarkan melalui viremia pertama melewati aliran darah dan limfa ke
sistem retikuloendotelial. Viremia kedua terjadi dan menyebarkan virus ke seluruh tubuh
termasuk ke kulit. VZV kemudian menginfeksi sel T dan sel – sel ini akan bergerak menuju kulit
dan mentransfer VZV ke sel epitel kulit. Virus ini kemudian menghambat respon inhibisi IFN-α
dan berakhir dengan pembentukan vesikel di kulit. VZV menetap di dalam sel dan
ditransmisikan ke sel lain melalui interaksi sel ke sel demi menghindari antibodi, dengan
pengecualian pada sel epitel paru yang berdiferensiasi penuh dan keratinosit lesi kulit, yang
dapat melepaskan virus yang infeksius. Ruam vesikulopustuler menyebar secara berkelompok
perlahan – perlahan di area tubuh. Munculnya ruam akan diikuti dengan gejala demam dan
gejala sistemik lainnya

Gambar 2. Perjalanan waktu infeksi VZV hingga munculnya


gejala varisela (Sumber : Murray et al., 2009)

Periode inkubasi VZV terjadi dengan kisaran 10 – 21 hari dengan rata – rata pasien
memiliki periode inkubasi selama 14 – 15 hari. Pasien yang terinfeksi mulai dapat menyebarkan
VZV mulai dari 5 hari sebelum ruam muncul dan waktu paling infeksius adalah 1 – 2 hari
sebelum ruam muncul. Masa infeksius ini akan berakhir pada 5 – 6 hari setelah ruam muncul
(Andrews et al., 2019)

MANIFESTASI KLINIS
Varisela dicirikan dengan ruam vesikuler yang menyerupai tetes air (“teardrop”) dengan
dasar eritematosus yang memberikan gambaran ‘embun diatas kelopak mawar’ (“dewdrop on a
rose petal”). Erupsi bermula dengan makula halus yang berkembang dengan cepat menjadi
vesikel berukuran 1 – 4 mm dalam waktu 24 jam. Pada awalnya, lesi muncul pada daerah kulit
yang terekspos sinar matahari, daerah popok pada bayi, atau lokasi yang terjadi inflamasi
kemudia akan menyebar secara berkelompok dalam beberapa hari terutama di badan, wajah dan
mukosa oral. Vesikel kemudian berubah menjadi lesi pustular, umbilikal dan kemudian
mengering dan membentuk krusta.

Gambar 3. Tahapan perubahan lesi varisela seiring waktu


(Sumber : https://kidcarepediatrics.com/chicken-pox/)

Usia tiap kelompok vesikel berbeda – beda bergantung dari urutan kemunculannya
sehingga dapat ditemukan vesikel – vesikel yang berada pada tahapan yang berbeda.
Gambar 4. Lesi varisela dengan usia dan tahapan vesikel yang
berbeda – beda (Sumber : American Academy of Pediatric)
Umumnya, lesi varisela tidak meninggalkan scar namun jika lesi berukuran besar
terutama disertai infeksi sekunder maka akan meninggalkan scar depresi berbentuk bundar.
Infeksi sekunder dengan Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. merupakan komplikasi
yang umum terjadi (Andrews et al., 2019).

Gambar 5. Lesi varisela dengan


infeksi sekunder (Sumber : PHIL
Photo ID# 3177)

Gejala sistemik dimulai dari fase prodromal seperti demam dan malaise pada 1 – 2 hari
sebelum ruam muncul. Pasien akan demam hingga mencapai suhu 38,9C disertai dengan sakit
kepala. Demam akan turun dalam waktu 2 – 4 hari setelah ruam muncul.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah Tzanck smear yang akan
memberikan gambaran multinucleated giant cell dengan inklusi intranuklear Cowdry type A.
CPE (cytopathologic effect) ini menyerupai pada sel – sel yang terinfeksi HSV (Murray et al.,
2009; Andrews et al., 2019).
Gambar 6. Multinucleated giant cells dengan inklusi Cowdry type A
(panah putih) pada sel yang terinfeksi varisela dengan pewarnaan Tzanck
smear (magnifikasi x1000) (Sumber : Durdu et al., 2008)
Direct fluorescent antibody to membrane antigen (FAMA) dapat digunakan untuk
mengevaluasi spesimen biopsi ataupun scraping lesi kulit. Deteksi genom dan antigen juga
merupakan salah satu pemeriksaan yang sensitif untuk mendeteksi infeksi VZV. Tes serologi
biasanya digunakan untuk skrining populasi untuk imunitas terhadap VZV. Namun, dikarenakan
antibodi terhadap VZV memiliki kadar yang rendah sehingga memerlukan penggunaan ELISA
untuk mendeteksi antibodi VZV. Isolasi virus tidak sering dilakukan dikarenakan VZV sangat
labil dalam transport sampelnya dan tidak dapat bereplikasi dengan baik secara in vitro (Murray
et al., 2009)

Gambar 7. VZV yang diisolasi dan ditumbuhkan pada kultur jaringan


(magnifikasi 500x) (Sumber : PHIL Photo ID# 2791)
DIAGNOSIS
Diagnosis varisela ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Gambaran
klinis pasien varisela yang sangat khas memudahkan diagnosis dan mempercepat penanganan
pasien.

TERAPI
Pasien anak – anak ataupun dewasa yang imunokompeten dapat sangat terbantu dengan
pengobatan acyclovir terutama jika diberikan dalam waktu 24 jam setelah erupsi pertama
muncul. Komplikasi varisela relatif jarang terjadi pada anak – anak sehingga terapi rutin ini tidak
direkomendasikan untuk langsung dilakukan dan perlu melihat kondisi penyakit, status
penyebaran infeksinya dan progresinya. Acyclovir terutama sangat berguna pada pasien yang
tertular orang serumah dikarenakan manifestasi klinis pasien yang tertular biasanya lebih parah
dibandingkan pasien yang menularkan (Andrews et al., 2019)

Terapi sistemik :

 Antivirus
o Asiklovir: dosis bayi/anak 4x10-20 mg/kg (maksimal 800 mg/hari) selama 7 hari,
dewasa: 5x800 mg/hari selama 7 hari
o Valasiklovir: untuk dewasa 3x1 gram/hari selama 7 hari. Pada ibu hamil, pemberian
asiklovir perlu dipertimbangkan risiko dan manfaat pemberiannya. Asiklovir oral dapat
diberikan pada ibu hamil usia >20 minggu dengan awitan varisela <24 jam. Pemberian
asiklovir sebelum usia gestasi 20 minggu perlu dipertimbangkan risiko dan manfaatnya
 Simtomatik
o Antipiretik: diberikan bila demam, hindari aspirin dan salisilat lainnya karena dapat
menimbulkan sindrom Reye
o Antipruritus: antihistamin yang mempunyai efek sedatif

Terapi topikal :

 Lesi vesikular: diberi bedak agar vesikel tidak pecah, dapat ditambahkan mentol 2% atau
antipruritus lain
 Vesikel yang sudah pecah/krusta: salep antibiotik

Varisela pada immunocompromised :

 Antivirus diberikan sedini mungkin untuk meringankan gejala dan mencegah komplikasi.
 Asiklovir 10 mg/kg intravena atau IV drip 3 kali sehari minimal 10 hari
 Asiklovir 5x800 mg/hari per oral minimal 10 hari
 Valasiklovir 3x1 gram/hari per oral minimal 10 hari
 Apabila pasien diduga resisten terhadap asiklovir, dapat diberikan foscarnet 40 mg/kg IV
per 8 jam hingga lesi sembuh (PERDOSKI, 2017).

KOMPLIKASI
Komplikasi paling umum dari varisela adalah infeksi sekunder bakterial. Komplikasi
lainnya merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Osteomyelitis dan sepsis adalah salah satu
komplikasi yang dapat terjadi. Komplikasi berat seperti pneumonia jarang terjadi pada anak –
anak normal namun dapat ditemukan dalam 1 kasus per 400 kasus varisela pada orang dewasa.
Pneumonia ini dapat disebabkan VZV sendiri atau disebabkan infeksi sekunder bakterial.
Komplikasi neurologis yang paling memungkinkan adalah ataksia serebelar dan ensefalitis. VZV
dapat menginfeksi pembuluh darah otak, namun kejadian ini sangatlah jarang. Infeksi pembuluh
darah otak ini dapat menyebabkan stroke yang dapat terjadi pada anak – anak ataupun orang
dewasa, sinus trombosis ataupun giant cell arteritis. Komplikasi lainnya adalah myokarditis dan
hepatitis asimtomatis, trombositopenia, dan purpura fulminans. Aspirin sangat
dikontraindikasikan pada varisela dikarenakan dapat menyebabkan komplikasi sindroma Reye
(Andrews et al., 2019).

EDUKASI

1. Pasien diperbolehkan untuk mandi namun perlu hati – hati agar vesikel tidak pecah.

2. Pasien diingatkan untuk tidak menggaruk ataupun memecahkan vesikel dan membiarkan
vesikel mengering sendiri.

3. Istirahat pada masa aktif sampai semua lesi sudah mencapai stadium krustasi.
4. Pasien dengan manifestasi berat, bayi, usia lanjut dan dengan komplikasi perlu dirawat dan
dimonitior di RS

5. Berikan makanan lunak jika terdapat lesi di mulut pasien

6. Memakai baju yang tipis dan jaga suhu sekitar dingin agar tidak berkeringat (PERDOSKI,
2017; Andrews et al., 2019)

PENCEGAHAN

Anda mungkin juga menyukai