Anda di halaman 1dari 49

HUBUNGAN KUALITAS TIDUR DENGAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA

PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 DI RSUD DR A.DADI TJOKRODIPO


KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2022

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :

NAMA : SISCA HIDAYANTI

NPM : 19320032

DOSEN PENGAMPU :

DEWI KUSUMANINGSIH,S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2022/2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang menyebabkan gangguan metabolisme kronis
yang ditandai dengan peningkatan glukosa dalam darah (Hiperglikemia), yang disebabkan
karena ketidakseimbangan suplai serta kebutuhan insulin. Insulin di dalam tubuh manusia
dibutuhkan untuk tempat masuknya glukosa di dalam sel agar bisa dipergunakan untuk
metabolisme dan pertumbuhan sel. ada atau tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di
dalam darah dan kuranganya glukosa akan sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan dan fungsi
sel. (Azis, 2019).

Menurut laporan World Health Organization (WHO) bulan November 2016, Angka dari kejadian
diabetes mellitus di dunia mencapai 422 juta jiwa, prevalensi global diabetes melitus antara
orang dewasa di atas usia 18 tahun sudaah bertambah 8,5%. Diperkirakan 1,5 juta kematian
secara langsung disebabkan oleh diabetes dan 2,2 juta kematian yang disebabkan komplikasi
diabetes. WHO memprediksikan bahwa diabetes akan menjadi penyebab utama kematian ke-7 di
Dunia pada tahun 2030 (WHO, 2016).

Diabetes Mellitus juga merupakan penyakit yang menduduki peringkat keenam sebagai
penyebab kematian di Indonesia pada kategori penyakit tidak menular. Rentang usia penderita
diabetes pun bervariasi mulai dari 20 tahun hingga 79 tahun. Studi terbaru dari International
Diabetes Federation tahun 2012 mengungkapkan, penderita Diabetes Mellitus di Indonesia
masuk dalam urutan ketujuh negara dengan penderita diabetes terbanyak. Posisi pertama adalah
Cina dengan 92,3 juta penderita, India sebanyak 63 juta jiwa, Amerika Serikat 24,1 juta jiwa,
Brasil 13,4 juta jiwa, Rusia 12,7 juta jiwa, Meksiko 10,6 juta jiwa, dan Indonesia dengan jumlah
penderita diabetes sebanyak 7,6 juta orang (Rosalina 2014)

Peningkatan kejadian diabetes mellitus hampir merata di seluruh Indonesia, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2015, penyakit
diabetes menduduki perangkat ke 8 dalam sepuluh besar penyakit terbanyak yaitu mencapai

2
69.282 kasus (Dinkes Provinsi Lampung. 2015) Sedangkan pada data yang tercatat di Profil
Kesehatan Kota Metro tahun 2015 disebutkan bahwa penderita diabetes mellitus yang berobat
jalan di Puskesmas sudah menduduki peringkat kelima dari sepuluh besar penyakit yang ada
yaitu mencapai 374 pasien (Profil Kesehatan Kota Metro, 2015). Berdasarkan data medical
record RSUD Jend Ahmad Yani Metro tercatat bahwa pada pasien diabetes mellitus dalam 3
(tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan, pada tahun 2014 ditemukan sebanyak 371 kasus,
tahun 2015 sebanyak 386 kasus dan pada tahun 2016 sebanyak 494 kasus (RSUD Jend. Ahmad
Yani Metro, 2016).

Diabetes yang paling banyak adalah DM tipe 2 yaitu terjadi sekitar 90% dari seluruh penderita
diabetes (Black & Hawks, 2014). Penyebab pasti dari penyakit diabetes mellitus sampai saat ini
belum diketahui, namun beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian diabetes
mellitus adalah adanya riwayat keluarga, lingkungan, usia, obesitas, etnik, hipertensi, perilaku
makan, dan kurang olah raga (Tarwoto, 2012). Prevalensi DM tipe 2 berkaitan dengan perubahan
gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan tinggi kalori, kurangnya aktivitas, merokok, obesitas
dan urbanisasi serta berhubungan dengan adanya gangguan tidur. Hubungan antara tidur dengan
terjadinya suatu penyakit dapat bersifat timbal balik. Gangguan tidur merupakan salah satu
resiko terjadinya penyakit seperti DM dan sebaliknya DM tipe 2 juga dapat menyebabkan terjadi
gangguan tidur (Arifin, 2011).

Tidur merupakan kondisi normal dari perubahan tingkat kesadaran selama tubuh beristirahat.
Hampir satu dari pertiga dari populasi umum memiliki masalah kesulitan tidur di tiap tahunnya:
Gangguan ini mungkin merupakan hal yang sekunder terkait dengan situasi, lingkungan, stressor
atau mungkin diasosiasikan dengan penyakit (Black & Hawks, 2014). Setiap penyakit yang
menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik, atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau
depresi dapat menyebabkan masalah tidur. Selain itu, nokturia atau berkemih pada malam hari
juga dapat menggangu tidur dan siklus tidur. Setelah seseorang berulangkali terbangun untuk
berkemih, menyebabkan kembali untuk tertidur kembali menjadi sulit. Kondisi ini paling umum
terjadi pada penderita diabetes mellitus (Perry & Potter, 2012).

Gangguan tidur pada pasien DM tipe 2 berhubungan gejala yang dirasakan seperti nokturia,
kecemasan, depresi, dan nyeri akibat neuropati. Hal ini didukung oleh penelitian cross-sectional
yang dilakukan pada pasien DM tipe 2 yang menunjukkan adanya hubungan antara DM tipe 2

3
dengan kesulitan untuk memulai tidur (0.29, p<0.05) dan kesulitan untuk mempertahankan tidur
(-0.24, p <0.05). Kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur antara lain disebabkan
karena adanya keluhan nyeri dan nokturia (Taub, 2008 dalam Arifin, 2011). Pada hasil penelitian
Arifin (2011) juga menunjukkan bahwa pada analisis dengan korelasi Pearson terbukti adanya
hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 (r-0.277, p 0.006),
hubungan berpola positif.

Berdasarkan hasil prasurvei di RSUD Jend. Ahmad Yani Metro diketahui bahwa pada hasil
wawancara terhadap 12 pasien diabetes mellitus, 10 orang (83,3%) mengatakan tidur 2-3 jam
pada malam hari karena sering terbangun pada malam hari akibat rasa cemas dengan
penyakitnya serta seringnya berkemih pada malam hari sehingga pola tidurnya sangat terganggu.
Sedangkan 2 orang (16,7%) diantaranya mengatakan saat dirawat klien sudah dapat tidur 6-7 jam
pada malam hari.

Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus Tipe II di
RSUD Jend. Ahmad Yani Metro tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah penelitian yaitu adakah hubungan antara kualitas tidur dengan kadar
glukosa darah pada penderita diabetes mellitus Tipe II di RS Pertamina Bintang Amin kota
Bandar lampung tahun 2022

1.3 Tujuan Penelitian


 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah diketahuinya hubungan kualitas tidur dengan kadar
glukosa darah pada penderita diabetes mellitus Tipe II di RS Pertamina Bintang Amin kota
Bandar lampung tahun 2022

 Tujuan khusus
Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah:

4
 Diketahuinya frekuensi karakteristik penderita diabetes mellitus Tipe II di RS
Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung
 Diketahuinya rata-rata skor kualitas tidur pasien diabetes Tipe II di RS Pertamina
Bintang Amin kota Bandar lampung
 Diketahuinya rata-rata kadar glukosa darah pasien diabetes Tipe II di RS
Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung
 Diketahuinya hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada penderita
diabetes mellitus Tipe II di RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung

1.4 Manfaat Penelitian


 Bagi Masyarakat/Aplikatif
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi yang
berkaitan dengan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes
mellitus Tipe II.
 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan/Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan dalam mengembangkan
penelitian yang lebih lanjut serta dapat menjadi data awal untuk melakukan penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan kualitas tidur dan kadar glukosa darah pada penderita
diabetes mellitus Tipe II.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Jenis penelitian ini yaitu kuantitatif studi analitik dengan desain penelitian cross sectional.
Adapun subjek penelitiannya adalah penderita diabetes tipe II, sedangkan objek
penelitiannya adalah hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah penderita diabetes
mellitus. Penelitian ini akan dilaksanakan di RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar
lampung. Waktu penelitian setelah proposal disetujui.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus

2.1.1 Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin
secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu: rusaknya
sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll). Desensitasi atau
penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas. Desensitas kerusakan reseptor insulin (down
regulation) di jaringan parifer (Hasdianah, 2012).

Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis yang ditandai


peningkatan glukosa darah (Hiperglikemia), disebabkan karena ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan insulin Insulin dalam tubuh dibutuhkan untuk memfasilitasi masuknya glukosa dalam
sel agar dapat digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak adanya
insulin menjadikan glukosa tertahan didalam darah dan kekurangan glukosa yang sangat
dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel (Tarwoto, 2012)

Diabetes mellitus tipe 2 sebelumnya disebut Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) atau diabetes mellitus onset-dewasa adalah gangguan yang melibatkan baik genetic
dan faktor lingkungan. Sedangkan diabetes Tipe 1 atau sebelumnya disebut Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus onset anak-anak adalah diabetes yang ditandai
dengan destruksi sel beta pancreas yang mengakibatkan defisiensi insulin absolut (Black &
Hawks, 2014)

Diabetes mellitus adalah penyakit kronik, progresif yang dikarakteristikan dengan


ketidakmampuan tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein awal
terjadinya Hiperglikemia (kadar gula yang tinggi dalam darah) (Black & Hawk, 2009 dalam
Tarwoto, 2012).

6
Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan cukup
insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal
ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia). Penyakit ini
timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan
dalam dirinya. Perubahan seperti sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia),
banyak makan/mudah lapar (polifagia) dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
Diabetes merupakan penyakit yang dapat mematikan karena pengaruhnya menyebar ke sistem
tubuh yang lain, kondisi ini meliputi resistensi insulin, kadar kolesterol yang tinggi dan tekanan
darah tinggi. Mereka yang memiliki tekanan darah yang lebih tinggi 3 kali lebih besar ditemukan
pada penderita diabetes mellitus (Apriyanti, 2012).

2.1.2 Kriteria Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association 2010 (ADA) menentukan diagnose dan kriteria diabetes
mellitus, memenuhi 2 diantara 3 kriteria sebagai berikut:

1. Adanya tanda dan gejala Diabetes mellitus ditambah kadar gula darah acak atau random
lebih atau sama dengan 200 mg/dl.
2. Gula darah puasa atau Fasting Blood Sugar (FBS) lebih besar atau sama dengan 126
mg/dl (puasa sekurangnya 8 jam).
3. Hasil Glukose Toleran Test (GTT) lebih besar atau sama dengan 200 mg/dl, 2 jam
sesudah beban.
Sedangkan pre diabetes mellitus
4. Impaired glucose tolerance (IGT) jika berhasil pemeriksaan 2 jam sesudah beban glukosa
>140 s.d <200 mg/dl
5. Impaired fasting glucose (IFG), jika berhasil pemeriksaan glukosa darah puasa >110
s.d<126 mg/dl)

7
Tabel 2.1

Kriteria Diabetes Mellitus (ADA, 2010).

Kadar glukosa Bukan Blum pasti Diabetes


darah (mg/dl) diabetes melitus diabetes melitus melitus
Sewaktu Plasma vena <100 mg/dl 100 – 199 mg/dl ≥200 mg/dl
Darah kapier <90 mg/dl 90 -199 mg/dl ≥200 mg/dl
Puasa Pasma vena <100 mg/dl 100 -125 mg/dl ≥120 mg/dl
Darah kapier <90 mg/dl 90 – 99 mg/dl ≥100 mg/dl

2.1.3 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut WHO dan American Diabetes Association (dalam Tarwoto, 2012), penyakit
diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi:

1. Diabetes mellitus tipe I atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (INDDM)


yaitu diabetes mellitus yang bergantung insulin. Diabetes tipe ini terjadi pada 5%
sd 10% penderita diabetes mellitus. Pasien sangat tergantung insulin melalui penyuntikan
untuk mengendalikan gula darah Diabetes tipe 1 disebabkan karena kerusakan sel beta
pankreas yang menghasilkan insulin. Hal ini berhubungan dengan kombinasi antara
faktor genetik, imunologi dan kemungkinan lingkungan, seperti virus. Terdapat juga
hubungan terjadinya diabetes tipe I dengan beberapa antigen leukosit manusia (HLAS)
dan adanya autoimun antibody sel isler (ICAS) yang dapat sel-sel beta pankreas
Bagaimana proses terjadinya kerusakan sel beta itu ini tidak jelas. Ketidakmampuan sel
beta menghasilkan insulin mengakibatkan glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat
disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah sehingga menimbulkan hiperglikemia.
Pada diabetes tipe I sangat beresiko terjadinya koma diabetikum, akibat adanya
ketoasidosis. Keadaan ini disebabkan karena adanya akselerasi katabolisme lemak,
disertai peningkatan pembentukan badan keton dan penurunan sintesis asam lemak dan
trigliserida.

8
2. Diabetes mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
yaitu diabetes mellitus yang tidak tergantung pada insulin. Kurang lebih 90 %-
95% penderita diabetes mellitus adalah diabetes tipe ini. diabetes mellitus tipe 2 terjadi
akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan
produksi insulin. Normalnya insulin terikat oleh reseptor khusus pada permukaan sel dan
mulai terjadi rangkaian reaksi termasuk metabolisme glukosa. Pada diabetes tipe 2 reaksi
dalam sel kurang efektif karena kurangnya insulin yang berperan dalam menstimulasi
glukosa masuk ke jaringan dan pengaturan pelepasan glukosa dihati. Adanya insulin juga
dapat mencegah pemecahan lemak yang menghasilkan badan keton.

Diabetes mellitus tipe 2 banyak terjadi pada usia dewasa lebih dari 45 tahun, karena
perkembangan lambat dan terkadang tidak terdeteksi, tetapi jika gula darah tinggi baru
dapat dirasakan seperti kelemahan, iritabilitas, poliura, polidipsi, proses penyembuhan
luka yang lama, infeksi vagina, kelainan penglihatan.

Faktor resiko diabetes mellitus tipe 2:


a. Usia diatas 45 tahun, jarang diabetes mellitus tipe 2 terjadi pada usia muda
b. Obesitas, berat badan lebih dari 120% dari berat badan ideal (kira-kira sebuah
terjadi pada 90%).
c. Riwayat keluarga dengan diabetes mellitus tipe 2.
d. Riwayat adanya gangguan toleransi glukosa (IGT) atau gangguan glukosa puasa
(IFG).
e. Hipertensi lebih dari 140/90 mmHg atau hiperlipidemia, kolesterol atau
trigkiserida lebih dari 150 mg/dl.
f. Riwayat gestasional diabetes mellitus atau riwayat melahirkan bayi diatas 4 kg
g. Polycystic ovarian syndrome yang diakibatkan resistensi dari insulin. Pada
keadaan ini wanita tidak terjadi ovulasi (keluarnya sel telur dari ovarium). tidak
terjadi mentruasi, tubuhnya rambuh secara berlebihan, tidak bisa hamil.

3. Diabetes karena malnutrisi.

9
Golongan diabetes ini terjadi akibat malnutrisi, biasanya pada penduduk yang miskin.
Diabetes tipe ini dapat ditegakkan jika ada 3 gejala dari gejala yang mungkin yaitu :
a. Adanya gejala malnutrisi seperti badan kurus, berat badan kurang dari 80% berat
badan ideal
b. Adanya tanda-tanda malabsorpsi makanan
c. Usia antara 15-40 tahun.
d. Memerlukan insulin untuk regulasi diabetes mellitus dan menaikkan berat badan.
e. Nyeri perut berulang.

4. Diabetes sekunder
yaitu diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau penyakit tertentu,
misalnya penyakit pankreas (pankreatitis, neoplasma, trauma/panreatectomy),
endokrinopati (akromegali, Cushing's syndrome, pheochromacytoma, hyperthyroidism),
obat-obatan atau zat kimia (glukokortikoid, hormon tiroid, infeksi cytomegalovirus, serta
syndrome genetic diabetes seperti Syndrome Down.
5. Diabetes mellitus gestasional
yaitu diabetes mellitus yang terjadi pada masa kehamilan, dapat di diagnosa
dengan menggunakan test toleran glukosa, terjadi pada kira-kira 24 minggu kehamilan.
Individu dengan diabetes mellitus gestasional 25% akan berkembang menjadi diabetes
mellitus

Tabel 2.2

Perbedaan ciri ciri dari dibetes tipe 1 dan 2

Ciri – ciri Tipe 1 Tipe 2


 Nama lain  Insulin dependent  Non insulin
diabetes melitus dependent diabetes
(IDDM), juvenile melitus
diabetes.
 Umur kejadian  Umumnya terjadi pda  Biasanya terjadi

10
usia 30 tahun tetapi setelah uur 30 tahun,
dapat terjadi pada tetapi dapat terjadi
semua umur pada maa anak anak
 Insiden  Kurang dari 10%  Sampel dengan 90%

 Tipe kejadian  Biasanya berat,  Mungkin


dengan cepat terjadi asimtomatik,
hiperglikemia kejadian berlahan,
tubuh beradaptasi
terhadap keadaan
hiperglikemia
 Produksi insulin
 Sedikit atau tidak ada  Dibawah normal,
normal atau diatas

 Berat badan saat normal


 Ideal atau kurus
kejadian  85% obestitas, dapat
pula terjadi pada
 Ketosis berat badan ideal
 Mudah terjadi ketosis,
 Resisten terhadap
jarang terjadi jika
kerosis, dapat terjadi
terkontrol
jika disertai infeksi
atau stres
 Manifestasi  Poliura, polidipsi,
 Jarang terjadi,
polyphagia, kelemahan
manifestasi ringan
 Management diet
dari hiperglikemia
 Management  Penting dan utama
 Penting utama
aktivitas  Penting dan utama
 Penting utama
 Peberian insulin  Tergantung insulin
untuk  20-30% pasien

mempertahankan membutuhkan insulin

hidup
 Pemberian agen oral  Tidak efektif
 Efektif

11
hipoglikmik
(Tarwoto 2012)

2.1.4 Etiologi dan Faktor Resiko

Menurut Nabyl (2012), faktor-faktor yang bisa dianggap sebagai kemungkinan penyebab
diabetes antara lain:

1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta
melepas insulin.
2. Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat
menimbulkan infeksi, diet di mana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara
berlebihan, obesitas, dan kehamilan.
3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai
pembentukan sel-sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel-sel yang
melakukan sekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap
insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang
merespons insulin.

Adapun gambaran patologis dari diabetes sebagai salah satu efek utama akibat
kekurangan insulin adalah :
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300-1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilitas lemak dari daerah penyimpanan lemak yang abnormal disertai
endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

12
Diabetes terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cuku untuk mempertahankan
kadar gula darah yang normal atau jika sel tidak memberikan respons yang tepat terhadap
insulin. Namun ada beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya diabetes:

1. Usia yang bertambah Dengan semakin bertambahnya usia, kemungkinan terkena diabetes
pun semakin besar. Diabetes tipe 2 terutama ditemukan pada orang-orang yang berusia di
atas 40 tahun.
2. Kurang olahraga dan kebiasaan makan banyak kalori. Kebiasaan hidup santai, banyak
mengonsumsi makana berkalori tinggi, serta kurang berolahraga, akan menimbulkan
obesitas serta memicu tumbulnya diabetes.
3. Riwayat diabetes dalam keluarga. Bila ada kakek, nenek, ibu, ayah, atau sanak saudara
yang mengidap diabetes, maka risiko untuk terkena diabetes Tipe 1 maupun Tipe 2
bertambah besar.
4. Riwayat diabetes gestasional terdahulu. Misalnya melahirkan anak dengan berat badan
lebih dari 4 kg.

Menurut Nabyl (2012) hal lainnya yang turut mempengaruhi kemungkinan


munculnya diabetes adalah faktor emosi. Beberapa peneliti pernah mencoba menguraikan
hubungan antara faktor emosi dengan perjalanan penyakit diabetes, mereka menemukan
setidaknya ada tiga faktor yang dapat dijelaskan hubungan tersebut, yaitu :

1) Pengaruh langsung
Kesedihan yang terus-menerus, seperti trauma emosional, kecelakaan, atau
kehilangan, dapat menimbulkan diabetes mellitus. Konflik emosional yang tidak disadari
dan kondisi ketakutan tanpa henti juga dapat melatarbelakangi timbulnya diabetes
melalui jalur neuro-andokrin Namun dengan berkembangnnya teori genetik dan
molekular, faktor emosi kemudian dianggap sebagai pencetus suatu keadaan genetik yang
sudah ada sejak lahir yang berpotensi untuk menjadi diabetes.

2) Pengaruh tidak langsung


Pengaruh emosi dianggap penting karena dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan
dan pengobatan. Penderita yang dipengaruhi oleh emosinya bisa dengan sengaja tidak

13
mematuhi aturan diet, pengobatan, dan pemeriksaan, sehingga sukar mengontrol kadar
gula darahnya.

3) Pengertian penyakit bagi setiap penderita


Cara penderita diabetes memandang dan bereaksi terhadap penyakit diabetes akan
sangat mempengaruhi kemauannya untuk sembuh dan rajin tidaknya dalam berobat
seumur hidup, secara manusiawi diabetes akan memberikan dampak psikologis bagi
penderitanya. Oleh karena itu penderita diabetes harus konsisten menjalani serangkaian
program pengendalian diabetes secara sabar dan yakin bahwa semua itu dilakukan untuk
kehidupan yang lebih baik.

Menurut Bramardianto (2014) hormone epinefrin dan norepinefrin memiliki peranan


penting dalam peningkatan kadar glukosa dalam darah. Epinefrin, juga dikenal sebagai adrenalin,
bekerja sebagai neurotransmitter. Transfer sinyal antara neuron dan sel-sel tubuh diatur oleh
epinefrin. Adrenalin dilepaskan oleh kelenjar adrenal selama situasi stres yang ekstrim atau
kegembiraan. Norepinefrin dilepaskan oleh neuron noradrenergik dan bertindak sebagai
neurotransmitter dalam sistem saraf pusat dan simpatik. Peningkatan kadar norepinefrin
berhubungan dengan kecemasan, stres, tekanan darah tinggi dan hiperaktif. Pelepasan adrenalin
dan noradrenalin meningkatkan denyut jantung dan pernapasan. Hal ini menyebabkan
penghambatan ekskresi insulin sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa dan asam
lemak dalam darah. Diet yang salah atau tidak seimbang, gizi buruk, gaya hidup yang tidak
sehat, faktor genetik, masalah sistem pencernaan, alkohol atau penyalahgunaan obat, merokok,
obat obatan tertentu, perubahan dalam kadar hormon lainnya, alergi, infeksi, cedera dan penyakit
dapat mengakibatkan ketidakseimbangan adrenalin noradrenalin. Dan non adrenalin.

Kecemasan juga dapat menyebabkan peningkatan hormon glukokortikoid (kortisol),


ketokolamin (epinefrin) dan hormon pertumbuhan Kecemasan melibatkan perasaan, perilaku dan
respon fisiologis. Respon fisiologis terhadap cemas dapat mempengaruhi aksi hipotalamus
hipofisis, sehingga dapat mempengaruhi fungsi endokrin seperti meningkatnya kadar kortisol
yang ternyata: memberikan dampak antagonis terhadap fungsi insulin, serta dapat merangsang

14
glukoneogenesis dan menhambat penyerapan glukosa sehingga akan terjadi peningkatan glukosa
darah (Sherwood, 2012)

Faktor risiko diabetes mellitus sendiri menurut Nabyl (2012) terdiri dari faktor risiko
yang dapat diubah dan faktor risiko tidak dapat diubah.

Faktor risiko yang dapat diubah :


 Berat badan berlebih dan obesitas.
Salah satu cara untuk mengetahui apakah anda termasuk berat badan berlebih atau
obesitas adalah dengan menghitung Indeks Massa Tubuh (IMT) indks masa tubuh
dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :

IMT = berat badan (kg


Tinggi badan (m) tinggi badan (m)

IMT (kg/m2) kategori


<18,5 Berat badan kurang
18,5 – 24,9 Berat badan normal
25 – 29,9 Berat bada berlebih
=30 obesitas
(Nabyl, 2012)

Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi berat badan yaitu :

1) Makan dengan porsi yang lebih kecil


2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi anda untuk teman atau
anggota keluarga yang lain.
3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali Anda makan.
4) Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack yang lebih sehat

 Gula darah tinggi

15
Gula darah tinggi yang tidak ditatalaksana dapat menyebabkan kerusakan saraf,
masalah ginjal atau mata, penyakit jantung, serta stroke. Hal-hal yang dapat
meningkatkan gula darah adalah :
1. Makanan atau snack dengan karbohidrat yang lebih banyak dari biasanya.
2. Kurangi aktifitas fisik.
3. Infeksi atau penyakit lain
4. Perubahan hormon, misalnya selama menstruasi
5. Stres

Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai gula darah tinggi
adalah pemeriksaan gula puasa (GDP). dikatakan menderita diabetes apabila
kadar GDP 126 mg/dl,

 Tekanan darah tinggi.


Jika anda memiliki tekanan darah tinggi makan jantung anda akan bekerja lebih
keras dan risiko untuk penyakit jantung dan diabetes pun lebih tinggi. Seseorang
dikatan memiliki tekanan darah tinggi apabila berada dalam kisaran > 140/90
mmHg. Karena tekanan darah tinggi sering kali tidak disadari, maka sebaiknya
anda selalu memeriksakan tekanan darah setiap kali melakukan pemeriksaan
kesehatan rutin. Tekanan darah tinggi dapat ditatalaksana dengan menggunakan
obat anti-hipertensi serta mengubah pola makan dan gaya hidup. Adapun
beberapa hal yang mudah dilakukan untuk membantu menurunkan tekanan darah
adalah :
1. Bicarakan pada dokter anda mengenai tata laksana yang sesuai untuk
anda.
2. Makan roti dan sereal padat kalori.
3. Periksa label makanan dan pilih makanan dengan kadar sodium kurang
dari 400 mg per saji.
4.
5. Kurangi berat badan atau cegah kenaikan berat badan.
6. Hentikan konsumsi alkohol.

16
7. Hentikan kebiasaan merokok.
8. Tanyakan pada dokter anda mengenai obat anti hipertensi yang sesuai
untuk anda

Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai gula darah
tinggi adalah pemeriksaan gula darah puasa (GDP). Seseorang dikatakan
menderita diabetes apabila memiliki kadar GDP-126 mg/dl.

 Kadar kolesterol tinggi


Target kadar kolesterol yang sebaiknya dicapai adalah:
1. Lakukan aktivitas fisik setiap hari.
2. Pertahankan berat badan normal
3. Hindari merokok
4. Kurang berat badan atau cegah kenaikan berat badan.
5. Ganti makanan anda dengan makana rendah kalori dan rendah kolesterol
6. Obat-obatan penurun kadar kolesterol dari dokter anda.

 Kurangi Aktivitas Fisik.


Meningkatkan aktifitas fisik tidak harus melalui klub kesehatan tetapi cukup
dengan menambah kegiatan harian anda. meningkatkan aktivitas fisik adalah:
Manfaat dari meningkatkan aktivitas fisik adalah :
1. Memperbaiki kadar gula darah, tekanan darah, dan kolesterol.
2. Menurunkan risiko diabetes, penyakit jantung dan stroke.
3. Membantu mengurangi stres, meningkatkan energi dan menjadikan tidur
lebih baik.
4. Membantu insulin bekerja lebih baik.
5. Memperkuat jantung, otot, dan tulang.
6. Memperbaiki perdarahan darah.
7. Menjaga tubuh dan sendi anda fleksibel.
8. Membantu menurunkan berat badan secara efektif.

17
 Merokok
Selain berbahaya bagi paru, rokok juga berbahaya bagi jantung karena:
1. Menurunkan jumlah oksigen yang mencapai organ tubuh sehingga dapat
menyebabkan serangan jantung atau stroke.
2. Meningkatkan kadar kolesterol dan kadar lemak lain dalam tubuh
sehingga dapat meningkatkan risiko serangan jantung. c. Meningkatkan
tekanan darah.

Faktor risiko yang tidak dapat diubah :

a. Usia
Seiring bertambahnya usia, risiko deabetes dan penyakit jantung semakin
meningkat. Kelompok usia yang menjadi faktor risiko diabetes adalah usia lebih
dari 45 tahun.
b. Ras dan Suku Bangsa
Suku bangsa afron-Amerika. Meksiko-Amerika, India Amerika, Hawaii, dan
sebagian asia-Amerika memiliki risiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih
tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi,
obesitas, dan diabetes, dan pola populasi tersebut. Jenis kelamin.
c. Jenis kelamin
Kemungkinan laki-laki menderita penyakit jantung lebih besar daripada
perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka kemungkinan
menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensilnya tidak
setinggi laki-laki.
d. riwayat keluarga
Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka
kemungkinan anda untuk menyandang pun meningkat.

18
Tarwoto (2012) mengungkapkan bahwa penyebab penyakit diabetes mellitus belum
diketahui secara lengkap dan kemungkinan faktor penyebab dan faktor resiko penyakit diabetes
mellitus diantaranya :

1. Riwayat keturunan dengan diabetes, misalnya pada diabetes mellitus tipe 1


diturunkan sebagai sifat heterogen, mutigenik Kembar identik mempunyai resiko
25%-50%, sementara saudara kandung beresiko 6% dan anak beresiko 5%.
2. Lingkungan seperti virus (cytomegalovirus, mumps, rubella) yang dapat memicu
terjadinya autoimun dan menghancurkan sel-sel beta pankreas, obat obatan dan
zat kimia seperti alloxan, streptozotocin, pentamidine.
3. Usia diatas 45 tahun.
4. Obesitasm berat badan lebih dari atau sama dengan 20% berat badan ideal
5. Etnik, banyak terjadi pada orang Amerika keturunan afrika, Asia.
6. Hipertensi, tekanan darah lebih dari atau sama dengan 140/90 mmHg.
7. HDL kolesterol lebih dari atau sama dengan 35 mg/dl, atau trigiserida lebih dari
250 mg/dl
8. Riwayat gestasional diabetes mellitus
9. Kebiasaan diet
10. Kurang olah raga
11. Wanita dengan hirsutisme atau penyakit policistik ovary

2.1.5 Tanda dan Gejala

Beberapa tanda dan gejala pada penderita diabetes mellitus adalah sebagai berikut:

1. Sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria)


2. Meningkatnya rasa haus (polidipsia)
3. Meningkatnya rasa lapar (polipagia)
4. Penurunan berat badan
5. Kelainan pada mata, pelihatan kabur
6. Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina

19
7. Ketonuria
8. Kelemahan dan keletihan
9. Terkadang tanpa gejala

(Tarwoto, 2012)

2.1.6 Komplikasi

Menurut Tarwoto (2012) komplikasi pada penderita diabetes mellitus adalah sebagai berikut:

1. Komplikasi akut
a. Koma hiperglikemia di sebabkan kadar gula sangat tinggi biasanya terjadi pada
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
b. Ketoasidosis atau keracunan zat keton sebagai hasil metabolime lemak dan
protein terutama terjadi pada Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
c. Koma hipoglikemia akibat terapi insulin yang berlebihan atau tidak terkontrol
2. Komplikasi kronis
a. Mikroangiopati (kerusakan pada saraf-saraf perifer) pada organ-organ yang
memiliki pembuluh darah kecil seperti pada :
 Retinopati diabetika (kerusakan saraf retina dimata) sehingga mengakibatkan
kebutaan
 Neuropati diabetika (kerusakan saraf-saraf perifer) mengabikatkan baal/gangguan
sensoris pada organ tubuh.
 Nefropati diabetika (kelainan/kerusakan pada ginjal) dapat mengakibatkan gagal
ginjal.

b. Makroangiopati
 Kelainan pada jantung dan pembuluh darah seperti miokard infarik
maupun gangguan fungsi jantung karena arteriskelosis
 Penyakit vaskuler perifer
 Gangguan sistem pembuluh darah otak atau stroke

20
c. Gangren diabetika karena adanya neuropati dan terjadi luka yang tidak sembuh-
sembuh.
d. Disfungsi erektil diabetika

2.1.7 Mencegah dan Mengendalikan Diabetes Mellitus

Menurut Apriyanti (2012) mencegah dan mengendalikan diabetes mellitus dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:

1. Menurunkan berat badan


Idealnya seorang wanita tidak boleh memiliki lingkar perut lebih dari 80 em,
sedangkan pria tidak lebih dari 90 cm.

2. Pola makan sehat


Mengurangi konsumsi makanan berlemak lebih efektif untuk mencegah diabetes
dibandingkan menurunkan berat badan. Hal ini sangat penting, terutama untuk
mereka yang memiliki riwayat keluarga menderita diabetes mellitus. Dalam
penelitian yang dilakukan tim dari Unviersitas Alabama AS diketahui bahwa
mengurangi asupan lemak dalam pola makan selama delapan minggu efektif
meningkatkan sensitivitas insulit, toleransi glukosa, serta meningkatkan pelepasan
insulin. Berikut ini pola makan sehat yang bisa dilakukan :
 Makan porsi kecil
 Kurangi lemak
Hindari makanan berlemak tinggi dan gunakan lebih sedikit minyak saat
menggoreng atau menumis
 Batasi sumber lemak jenuh/lemak trans
Makanan sumber lemak jenuh misalnya daging berlemak, gorengan, susu full
cream, cakes, permen, biskuit, kue kering, margarin. Pilih salad dressing yang
lebih sehat seperti minyak zaitun.
 Perbanyak serat
Sumber serat bisa ditemukan dalam sereal yang terbut dari 100 persen
gandum, oatmeal, nasi merah, roti gandum.

21
 Perbanyak sayur dan buah segar
Makanlah beragam sayur dan buah setiap hari. Pilih buah dan sayur yang
segar. Buatlah jus dari 100 persen buah segar Jangan ditambah gula karena
buah sudah cukup manis. Makalanlah sayuran berdaun gelap seperti brokoli
dan bayam, sayuran warna oranye seperti wortel, ubi. Waluh, serta kacang-
kacangan Berdasarkan hasil penelitian mengkonsumsi buah-buahan tiga kali
sehari dapat menurunkan resiko diabetes tipe dua mencapai 18%, jika
memperbanyak konsumsi sayuran hijau dapat menurunkan resiko 9%.
 Batasi yang manis
Kalau bisa hindari minuman beraroma buah, soda, teh, dan kopi yang sangat
manis. Gula yang dikonsumsi berlebihan akan memicu berbagai masalah
kesehatan seperti diabetes dan kegemukan.
 Kurangi garam
Gunakan lebih sedikit garam saat memasak. Hindari sumber-sumber garam
tersembunyi seperti acar, daging olahan, sayur kalengan.

3. Minum banyak air putih


Studi pada ilmuwan merekomendasikan mengganti minuman bersoda dengan air
putih dapat menurunkan resiko dari penyakit diabetes mellitus Mengganti 27
minuman manis dengan air putih dapat pula membantu mencegah gangguan
metabolisme

4. Mengontrol tekanan darah

5. Mengontrol kadar gula


Untuk memelihara kadar gula darah normal dalam tubuh sebaiknya dibiasakan
mengatur kalori dengan membatasi konsumsi makanan yang manis-manis dan asupan
karbohidrat.

6. Mengendalikan kolesterol

22
Tingginya kadar kolesterol dalam tubuh menjadi pemicu munculnya berbagai
penyakit. Pola makan sehat merupakan faktor utama untuk menghindari hal ini. Batas
normal kolesterol dalam tubuh adalah 160-200 mg/dl.

7. Tidak makan terlalu cepat


Sebuah penelitian terbaru membuktikan bahwa makan terlalu cepat dapat
menyebabkan diabetes pada usia lanjut. Hal itu terjadi karena seorang yang terbiasa
menghabiskan makanan dengan jumlah kunyahan sedikit lalu langsung ditelan akan
meningkatkan jumlah gula dalam aliran darah seketika Akibatnya, tubuh akan lebih
mudah mengalami gangguan toleransi glukosa yang juga dikenal sebagai prediabetes
.
8. Banyak bergerak
Penelitian menunjukkan, mereka yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan
televisi beresiko lebih besar mengalami kematian, mengidap diabetes dan penyakit
jantung.

9. Berolahraga secara teratur


Kombinasi antara melakukan jenis olahraga aerobik dengan latihan beban dapat
membantu menurunkan kadar gula darah. Kombinasi kedua jenis latihan itu juga
dianggap paling efektif untuk menurunkan berat badan sebagai pemicu diabetes.

10. Hindari stress


Stress berkepanjangan bisa memicu keluhan fisik dan psikis. Stress bisa berakibat
lebih merugikan bagi tubuh karena akan memacu metabolisme gula darah Secara
fisiologis stress akan menyebabkan perubahan faal pada tubuh, misalnya gangguan
hormonal, gangguan sistem imunitas.

11. Hindari alkohol atau soft drink Penelitian dari University of California AS
mempubilkasikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa meningkatnya konsumsi
minuman bersoda yang umumnya mengandung gula tinggi berdampak pada
terjadinya 130.000 kasus baru diabetes mellitus.

23
12. Hindari merokok
Merokok dapat merusak jantung serta sistem sirkulasi dan mempersempit pembuluh
darah. Sebuah penelitian menyatakan bahwa 95 persen amputasi yang berkaitan
dengan diabetes dilakukan pada perokok Nikotin pada rokok ketika bercampai dalam
darah maka kadar hemoglobin Ale akan naik sampai 34%.

13. Banyak berjalan


Berjalan kaki merupakan jenis olahraga aerobik yang diketahui baik untuk kebugaran
dan kesehatan jasmani.

14. Memperbaiki dimensi spiritual

15. Tidur dalam kondisi Gelap/Redup


Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tidur dalam kondisi kamar terang benderang
dapat meningkatkan resiko diabetes tipe 2. Penelitian tersebut dilakukan oleh Joshua
Gooley, ahli kesehatan dari Harvard Medical School di Boston tahun 1996. Dalam
penelitiannya melibatkan 116 partisipan berusia antara 18-30 tahun. Para partisipan
dibagi menjadi 2 kelompok, salah satunya dikondisikan untuk berada di ruangan yang
terang selama 8 jam sebelum tidur. Kelompok yang lain ditempatkan di ruangan yang
lebih redup dengan durasi yang sama yakni 8 jam. Hasil pemeriksaan sampel darah
yang diambil tiap 30 menit menunjukkan produksi hormone melatonin turun 50
persen pada partisipan yang berada di ruang terang. Hormone ini mengatur jam
biologis yang berhubungan dengan siklus antara tertidur dan terbangun. Selain
memicu rasa kantong, melatonim juga berhubungan dengan beberapa jenis penyakit
serius. Reseptor melatonim yang terletak di saraf bisa meningkatkan risiko kanker
dan diabetes tipe 2 jika aktivitasnya berkurang.

16. Tidur Cukup


Kualitas tidur dapat mempengaruhi toleransi glukosa darah. Toleransi glukosa
mengacu pada kemampuan tubuh untuk memproses gula hal ini berhubungan dengan

24
resistensi insulin dan merupakan faktor risiko untuk diabetes mellitus tipe 2 dan
penyakit jantung Para peneliti di University Laval's Faculity or Medicine Canada
1996 menemukan bahwa orang yang tidur terlalu banyak atau kurang, memiliki
kemungkinan terjangkit diabetes tipe 2 atau kelainan toleransi glukosa. Risikonya
hingga 2,5 kali lebih tinggi pada orang yang tidur kurang dari 7-8 jam setiap malam.

2.2 Tidur

2.2.1 Definisi Tidur

Tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode yang lebih
lama dari keterjagaan. Siklus tidur-terjaga mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan
respon perilaku (Perry & Potter, 2012).

Tidur merupakan kondisi normal dari perubahan tingkat kesadaran selama tubuh
beristirahat. Tidur dikarakteristikkkan dengan penurunan respons terhadap lingkungan (Black &
Hawks, 2014),

2.2.2 Pengaturan Tidur

Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi
tingkat aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf
peripheral, endokrin, kardiovaskular, pernapasan dan muscular. Tiap rangkaian diidentifikasi
dengan respons fisik tertentu dan pola aktivitas otak. Peralatan seperti elektroensefalogram
(EEG) yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral, elektromiogram (EMG) yang
mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mata, memberikan
informasi struktural aspek fisiologi tidur. Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada
hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan
pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan
terjaga, dan yang lain menyebabkan tertidur (Perry & Potter, 2012).

Sistem aktivasi reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR dipercayai terdiri
dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR menerima stimulus sensori

25
visual, auditori, nyeri dan taktil. Aktivitas korteks serebral (proses emosi atau pikiran) juga
menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan
katekolamin seperti norepinefrin. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonim dari sel
tertentu dalam sitem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga
disebut daerah sinkronisasi bulba (bulba synchronizing region, BSR). Apakah seseorang tetap
terjaga atau tertidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih
tinggi seperti pikiran, reseptor sensori perifer seperti stimulus bunyi atau cahaya dan sistem
limbic (emosi) (Perry & Potter, 2012).

2.2.3 Tahapan Tidur

EEG, EMG dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang
berbeda dari otak, otot dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda. Tidur yang
normal melibatkan dua fase pergerakan mata yang tidak cepat (tidur nonrapid eye movement,
NREM) dan pergerakan mata yang cepat (tidur rapid eye movement, REM). Selama NREM
seorang yang tidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama siklus tidur yang tipikal
90 menit. Kualitas tidur dari tahap I sampai tahap 4 bertambah dalam Pidur yang dangkal
merupakan karakteristik dari tahap 1 dan 2 dan seseorang lebih mudah terbangun. BANDAR
LAMP Tahap 3 dan 4 melibatkan tidur yang dalam disebut tidur gelombang rendah dan seorang
sulit terbangun. Tidur REM merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit. Konsolidasi
memori dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini. Faktor yang berbeda dapat
meningkatkan atau menggangu tahapan siklus tidur yang berbeda (Perry & Potter, 2012).

2.2.4 Siklus Tidur

Secara normal, pada orang dewasa pola tidur rutin dimulai dengan periode sebelum tidur,
selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap berkembang secara teratur.
Periode ini secara normal berakhir 10-hingga 30 menit tetapi untuk seseorang yang memiliki
kesulitan untuk tertidur, akan berlangsung satu jam atau lebih. Ketika seseorang tertidur,
biasanya melewati 4 sampai 6 siklus tidur penuh, tiap siklus tidur terdiri 4 tahap dari tidur

26
NREM dan satu periode dari tidur REM. Pola siklus biasanya berkembang dari tahap I menuju
ke tahap 4 NREM diikuti kebalikan tahap 4 ke 3 lalu ke 2, diakhir dengan periode dari tidur
REM. Seseorang biasanya mencapai tidur REM sekitar 90 menit ke siklus tidur. Dengan tiap-tiap
siklus yang berhasil, tahap 3 dan 4 memendek, dan memperpanjang periode REM. Tidur REM
dapat berakhir sampai 60 menit selama akhir siklus tidur. Tidak semua orang mengalami
kemajuan yang konsisten menuju ke tahap tidur yang biasa. Jumlah siklus tidur tergantung pada
jumlah totak waktu yang digunakan untuk tidur (Perry & Potter, 2012)

2.2.5. Fungsi Tidur

Tidur dipercaya mengkontibusi pemulihan fisiologis dan psikologs Menurut teon tidur
adalah waktu perbaikan dan persiapan untuk periode terjaga berikutnya Selama tidur NREM,
fungsi biologis menurun. Laju denyut jantung normal pada orang dewasa sehat sepanjang hari
rata-rata 70 sampai 80 denut per menit atau lebih rendah jika individu berada pada kondisi fisik
yang sempurna. Akan tetapi selama tidur laju denyut jantung turun sampai 90 denyut permenit
atau lebih rendah Hal ini berarti bahwa denyut jantung 10 hingga 20 kali lebih sedikit dalam
setiap menit selama tidur atau 60 hingga 120 kali lebih sedikit dalam setiap jam Secara jelas,
tidur yang nyenyak bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung Tidur nampaknya diperlukan
untuk memperbaiki proses biologis secara rutin. Selama tidur gelombang rendah yang dalam
(NREM tahap 4) tubuh melepaskan hormone pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan
memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak. Tidur terlihat penting untuk pemulihan
kognitif. Tidur dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan
aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat
membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur, otak menyaring informasi
yang disimpan tentang aktivitas hari tersebut. Kurangnya tidur dapat mengarah pada perasaan
bingung dan curiga (Perry & Potter, 2012).

2.2.6 Kebutuhan dan Pola Tidur Normal

27
Lamanya tidur yang baik adalah antara 7-8 jam dalam semalam, yaitu masuk tidur jam
21.00 dan bangun tidur jam 05.00 keesokan harinya. Atau paling tidak 4 malam dalam seminggu
seseorang itu tidur dalam jangka waktu tersebut agar kekebalan tidak menurun. Sebab bila rata-
rata hanya tidur selama 3-4 jam bahkan kurang dalam semalam, maka kekebalan akan menurun
dan mudah mengalami stres (Hawari, 2011) Perry & Potter (2012) mengungkapkan bahwa durasi
dan kualitas tidur beragam di antara orang-orang dari semua kelompok usia Seseorang mungkin
merasa cukup beristirahat dengan 4 jam tidur, sementara yang lain membutuhkan 10 jam.
Berikut ini beberapa pola tidur normal sesuai dengan usia:

1. Neonatus
Neonatus sampai usia 3 bulan rata-rata tidur sekitar 16 jam sehari. bayi yang lahir
dari ibu tanpa medikasi lahir dalam keadaan terjaga. Mata terbuka lebar dan mengisap
kencang. Setelah sekitar satu jam bayi baru lahir menjadi diam dan kurang responsive
terhadap stimulus internal dan eksternal. Periode tidur berakhir beberapa menit
sampai 2 jam sampai 4 jam setelahnya.

2. Bayi
Pada umumnya bayi mengalami pola tidur malam hari pada usia 3 bulan. Bayi
tertidur beberapa kali pada siang hari tetapi biasanya tidur rata-rata 8 sampai 10 jam
pada malam hari. Bayi yang berusia 1 bulan dan 1 tahun tidur rata-rata 14 jam sehari.

3. Balita
Pada usia 2 tahun, anak-anak biasanya tidur sepanjang malam dan tidur siang
disetiap hari. Total tidur rata-rata 12 jam sehari. Tidur siang dapat hilang pada usia 3
tahun.

4. Prasekolah
Rata-rata tidur anak usia prasekolah sekitar 12 jam semalam. Pada usia 5 tahun,
anak prasekolah jarang tidur siang.

5. Anak usia sekolah

28
Jumlah tidur yang diperlukan pada usia sekolah bersifat individual dikarenakan
status aktivitas dan tingkat kesehatan yang bervariasi. Anak usia sekolah biasanya
tidak membutuhkan tidur siang. Pada usia 6 tahun akan tidur malam rata-rata 11
sampai 12 jam; sementara anak usia 11 tahun tidur sekitar 9 sampai 10 jam.

6. Remaja
Remaja biasanya tidur sekitar 7½ jam setiap malam. Pada saat kebutuhan tidur
yang aktual meningkat, remaja umumnya mengalami sejumlah perubahan yang
seringkali mengurangi waktu tidur.

7. Dewasa muda
Kebanyakan dewasa muda tidur malam hari rata-rata 6 sampai 8½ jam, tetapi hal
ini bervariasi. Dewasa muda jarang sekali tidur siang. Dewasa muda yang sehat
membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktivitas yang
mengisi hari-hari mereka, akan tetapi adalah hal yang umum untuk tututan gaya hidup
seperti stres pekerjaan, hubungan keluarga dan aktivitas sosial dapat mengarah pada
insomnia.

8. Dewasa tengah
Selama masa dewasa tengah total waktu yang digunakan untuk tidur malam hari
mulai menurun. Jumlah tidur tahap 4 mulai menurun, suatu penurunan yang berlanjut
dengan bertambahnya usia.

9. Lansia
Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertambahan usia. Akan tetapi kualitas
tidur kelihatan menjadi berupa pada kebanyakan lansia. Keragaman dalam perilaku
tidur lansia adalah umum. Keluhan tetang kesulitan tidur waktu malam seringkali
terjadi di antara lansia dan seringkali diakibatkan keberadaan penyakit kronik.

2.2.7 Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Tidur

29
Perry & Potter (2012) menjelaskan bahwa ada sejumlah faktor dapat mempengaruhi
kuantitas dan kualitas tidur. Seringkali faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah
tidur. Faktor fisiologis, psikologis dan lingkungan. dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur.
Berikut ini beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur. :

1. Faktor fisik
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan atau masalah suasana
hati, seperti kecemasan atau depresi dapat menyebabkan masalah tidur. Penyakit
pernapasan, penyakit jantung dapat menjadi penyebab menurunnya kualitas tidur
selain itu, hipertensi seringkali menyebabkan terbangun pada malam hari dan
kelemahan. Hipotiroidisme menurunkan tidur tahap 4, sebaliknya hipertiroidisme
menyebabkan seseorang perlu waktu yang 37 banyak untuk tertidur. Nokturia atau
berkemih pada malam hari juga dapat mengganggu kualitas tidur seperti pada
penyakit diabetes mellitus.

2. Obat-obatan dan substansi


Salah satu efek samping obat resep adalah mengantuk dan menyebabkan
kelelahan. Mengantuk dan deprivasi tidur adalah efek samping medikasi yang umum.
Medikasi yang diresepkan untuk tidur seringkali memberi banyak masalah daripada
keuntungan.

3. Gaya hidup
Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur. individu yang bekerja
bergantian berputar seringkali mempunyai kesulitan menyesuaikan perubahan jadwal
tidur jam internal tubuh diatur pukul 22, tetapi sebaliknya jadwal kerja memaksa
untuk tidur pukul 9 pagi. Individu mampu untuk tidur hanya selama 3-4 jam karena
jam tubuh mempersepsikan bahwa ini adalah waktu terbangun dan aktif. Kesulitan
mempertahankan kesadaran selama waktu kerja menyebabkan penurunan dan bahkan
penampilan yangberbahaya Setelah beberapa minggu kerja pada dinas malam hari,
jam biologis seseorang biasanya dapat menyesuaikan Perubahan lain dalam rutinitas
yang mengganggu pola tidur meliputi kerja berat yang tidak biasanya, terlibat dalam
aktivitas sosial pada laurt malam dan perubahan waktu makan malam.

30
4. Mengantuk yang berlebihan pada siang hari (EDS)
EDS seringkali menyebabkan kerusakan pada fungsi terjaga, penampilan kerja
atau sekolah yang buruk, kecelakaan saat mengemudi atau menggunakan 38 peralatan
dan masalah perilaku atau emosional. Mengantuk menjadi patologis ketika
mengantuk terjadi pada waktu ketika individu harus atau ingin terjaga.

5. Stres emosional
Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur. Stres
emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi
apabila tidak tidur. stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk
tertidur, sering terbangun selama siklus tidur atau terlalu banyak tidur. stres yang
berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk.

6. Lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada kemampuan
untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial unbtuk tidur yang
tenang. Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur
tempat tidur rumah sakit seringkali lebih keras daripada di rumah. Suara juga
mempengaruhi tidur tingkat suara yang diperlukan untuk membangunkan orang
tergantung pada tahap tidur. Di rumah sakit dan fasilitas rawat inap lainnya suara
menciptakan masalah bagi klien. Suara di rumah sakit biasanya baru atau asing
sehingga klien menjadi terbangun. Tingkat cahaya juga dapat mempengaruhi
kemampuan untuk tidur.

7. Latihan fisik dan kelelahan


Seseorang yang kelelahan menengah (moderate) biasanya memperoleh tidur yang
mengistirahatkan, khususnya jika kelelahan adalah hasil dari kerja atau latihan yang
menyenangkan Latihan 2 jam atau lebih sebelum waktu tidur membuat tubuh
mendingin dan mempertahankan suatu keadaan kelalahan yang meningkatkan
relaksasi. Akan tetapi, kelelahan yang berlebihan yang dihasilkan dari kerja yang

31
meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur. hal ini dapat menjadi masalah yang
umum bagi anak sekolah dan remaja.

8. Asupan makanan dan kalori


Orang tidur lebih baik ketika sehat sehingga mengikuti kebiasaan makan yang
baik adalah penting untuk kesehatan ang tepat dan tidur makan besar, berat dan atau
berbumbu pada makan malam dapat menyebabkan tidak dapat dicerna yang
mengganggu tidur. Kafein dan alkohol yang dikonsumsi pada malam hari mempunyai
efek produksi insomnia sehingga mengurangi atau menghindari zat tersebut secara
drastic adalah strategi yang penting digunakan untuk meningkatkan tidur alergi
makanan menyebabkan insomnia. Kehilangan atau peningkatan berat badna
mempengaruhi pola tidur ketika seseorang bertambah berat badannya, maka periode
tidur akan menjadi lebih panjang dengan lebih sedikit interupsi Kehilangan berat
badan menyebabkan tidur pendek dan terputus-putus (Perry & Potter, 2012).

Beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur menurut Black & Hawks
(2014) adalah sebagai berikut:

1. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Ketidakseimbangan neurotransmitter cenderung mengakibatkan klien mengalami
gangguan pola tidur ketidakseimbangan ini mungkin terkait penyakit atau akibat obat.
Setidaknya 90% individu yang mengalami dirprest juga mengalami gangguan tidur
depresi yang lebih berat ditandai dengan tidak efektifnya tidur dan terbangun pada
dini hari. Ketidakseimbangan neurotransmitter juga dapat berkontribusi terhadap
gangguan tidur yang sering terlihat pada penyalit Alzheimer dan demensia jenis lain.

2. Cidera otak
Seluruh tingkat keparahan cidera otak dapat mempengaruhi pola tidur. bahkan
cidera otak ringan beberapa tingkat gangguan tidur dapat terjadi selama beberapa
bulan.

3. Ketidakseimbangan hormonal

32
Ketidakseimbangan hormonal juga mempengaruhi gangguan pola tidur klien
dengan hipertiroidisme cenderung memiliki tidur yang terpotong-potong, dengan
periode yang singkat disertai tidur gelombang lambat yang berlebihan. Klien dengan
diabetes mellitus dapat mengalami hipoglikemia di malam hari. Selain manifestasi
klinis yang biasa seperti berkeringat, palpitasi, lapar dan ansietas yang mungkin akan
dikenali klien sebagai reaksi hipoglikemia.

4. Gangguan pernapasan
Keterbatasan jalan napas kronis seperti asma dan emfisema menyebabkan
kesulitan memulai tidur, sering terbangun dengan disertai kesulitan napas atau
terbatuk, dan keletihan kronis. Saturasi oksigen dapat menurun tajam, terutama
selama tidur REM, ketika ventilasi bergantung pada diagragma, yang seringkali tidak
memadai dan tidak efisien pada klien dengan keterbatasan aliran udara kronis tahap
lanjut. Selain itu, terdapat gangguan ventilasi dan perfusi. Disrumia umumnya terjadi
saat tidur pada klien dengan penyakit pernapasan tahap lanjut, terutama ketika
saturasi oksigen menurun di bawah 60% Tekanan arteri pulmonal meningkat sebagai
akibat konstriksi pembuluh darah pulmonal yang diakibatkan rendahnya saturasi
oksigen dan proses destruktif oleh penyakit yang menyebabkan kondisi tersebut.

5. Gangguan kardiovaskuler
Telah diketahui bahwa hingga 25% individu dengan hipertensi juga mengalami
obstructive sleep syndrome (OSAS) (Sindrom apnea tidur obstruktif/mendengkur).
Hubungan antara mendengkur dan hipertensi juga telah didokumentasikan Pada klien
dengan gagal jantung berat, periode pernapasan cheyne-stokes mungkin terjadi. Pola
ini dapat mengakibatkan hipoksemia yang signifikan, sering terbangun, peningkatan
tidur tahap 1 dan penurunan waktu total tidur.

6. Gangguan gastrointestinal
Sekresi asam lambung biasanya menurun selama tidur, namun individu dengan
ulkus duodenum memiliki tingkat sekresi yang lebih tinggi daripada kadar normal.
Berulangkali terbangun dengan disertai nyeri epigastrik sering terjadi, terutama pada

33
4 jam pertama setelah onset tidur. Penyakit gastroesofageal reflux disease (GERD)
dapat berkembang menjadi lebih serius saat terjadi waktu tidur karena semakin lama
esophagus terpapar oleh asam lambung dapat mengakibatkan esofagitis.

2.2.8 Gangguan Tidur

Menurut Black & Hakws (2014) gangguan tidur secara umum dibagi menjadi dua
kategori, yaitu disomnia dan parasomnia.

1. Dismonia
Dismonia termasuk gangguan tidur yang dikarakterisasi dengan kesulitan tertidur
atau mempertahankan tidur (insomnia) atau dengan rasa ngantuk yang berlebihan
(narkolepsi).
a. Insomnia
Sebagian besar individu mengalami periode peralihan dimana
mereka memiliki kesulitan untuk tertidur atau mempertahankan kondisi
tidur onset atau eksaserbasi dari penyakit, dengan atau tanpa rawat inap
mungkin memicu kesulitan-kesulitan tersebut. Gangguan pola tidur ini
seringkali diasosiasikan dengan gangguan kebiasaan tidur atau kebiasaan
tidur yang tidak konsisten atau gangguan lingkungan (Black & Hawks,
2014).
Insomnia adalah gejala yang dialami oleh klien yang mengalami
kesulitan tidur kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur dan/atau
tidur singkat atau tidur nonrestoratif. Penderita insomnia mengeluhkan
rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan kuantitas dan kualitas
tidurnya tidak cukup. Namun seringkali klien tidur lebih banyak dari yang
disadarinya. Insomnia dapat menandakan adanya gangguan fisik atau
psikologis. Seseorang dapat mengalami insomnia transient akibat stres
situasional seperti masalah keluarga, kerja atau seolah, penyakit atau
kehilangan orang yang dicintai. Kasus insomnia temporer akibat situasi
stres dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk mendapatkan tidur yang
cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran dan kecematan yang

34
terjadi untuk mendapatkan tidur yang adekuat tersebut (Perry & Potter,
2012).

b. Narkolepsi
Narkolepsi merupakan salah satu gangguan yang ditandai dengan
jumlah tidur siang yang berlebih. Narkolepsi dianggap berkaitan dengan
malfungsi dari mekanisme kontrol tidur rapid eye movement (REM).
Gangguan pelepasan neurotransmitter seperti dopamine mungkin menjadi
fakto terjadinya narkolepsi dan depresi yang diasosiasikan dengan
gangguan tersebut. Manifestasi dari narkolepsi termasuk gangguan tidur di
malam hari dan episode berulang rasa mengantuk yang hampir tidak dapat
ditahan di siang hari diikuti oleh periode tidur sesaat di waktu yang tidak
tepat seperti ketika sedang di tengah-tengah percakapan atau ketika
menyetir atau makan (Black & Hawks, 2014),
Individu yang menderita narkolepsi dapat mengalami mimpi hidup
yang terjadi pada saat orang tersebut tertidur, mimpi yang sulit dibedakan
dari realita (disebut halusinasi hipnogik). Paralysis tidur, atau sebelum
terbangun atau tertidur, merupakan gejala yang lain (Perry & Potter,
2012).

c. Deprivasi tidur
Deprivasi tidur adalah masalah yang dihadapi banyak klien sebagai akibat
disomnia. Penyebabnya dapat mencakup penyakit, stres emosional, obat-
obatan, gangguan lingkungan dan keanekaragaman waktu tidur yang
terkait dengan waktu kerja. Dokter dan perawat cenderung mengalami
deprivasi tidur karena jadwal kerja yang panjang dan rotasi jam dinas
(Perry & Potter, 2012).

2. Parasomnia
Parasomnia adalah gangguan yang terjadi ketika tidur namun biasanya tidak
menyebabkan insomnia atau rasa mengantuk yang berlebihan. Mekanisme patologi

35
yang mendasari dapat meliputi bangun parsial atau abnormalitas dalam transisi tidur
bangun.
a. Gangguan bangun
Bangun parsial biasanya muncul selama tidur gelombang lambat.
Berjalan dalam tidur, atau dikenal juga dengan samnabulisme dapat
termasuk perilaku semi-purposeful, seperti berpakaian. Namun, perilaku
ini mungkin kurang dalamhal koordinasi dan kesesuaian seperti
kekosongan pada lemari, Berjalan dalam tidur biasanya merupakan
masalah pediatric, kejadian berjalan dalam tidur pada orang dewasa
seringkali dikaitkan dengan ansietas (Black & Hawks, 2014).

b. Gangguan transisi tidur-bangun


Gangguan transisi tidur-bangun sering terjadi di populasi umum,
namun jarang termasuk kategori sangat mengganggu sehingga dapat
secara sah disebut gangguan. Sleep starts merupakan gerakan
menghentakkan kaki yang tiba-tiba dan seringkali terjadi saat onset tidur.
Beberapa klien mungkin melaporkan perasaan seperti terjatuh Kram kak
di malam hari juga sering terjadi. Frekuensi dan intensitasnya mungkin
meningkat karena asupan kafein yang tinggi, stres, atau aktivitas fisik
yang intes sebelum tidur berbicara saat tidur mungkin terjadi di semua
tahapan tidur dan terjadi lebih sering ketika mengalami stres (Black &
Hawks, 2014).

c. Parasomnia terkait tidur REM


Seperti halnya parasomnia jenis lain, jenis yang terkait dengan
tidur REM mungkin sangat mengganggu namun jarang yang berdampak
serius. Mimpi buruk adalah mimpi menakutkan yang terjadi pada tidur
REM dan biasanya tidak dapat diingat dengan jelas pada saat terbangun.
Sebaliknya, terror mimpi terjadi pada tidur gelombang lambat, dan klien
mungkin mengingat sebagian kecil dari mimpi. Paralysis saat tidur

36
merupakan manifestasi klasik dari narkolepsi namun dapat juga terjadi
pada isolasi.

d. Parasomnia lain
Parasomnia lainnya tidak secara spesifik diasosiasikan dengan tahapan
tidur tertentu. Sleep bruxism merupakan aktivitas menggerakkan gigi
selama tidur, yang dapat mengarah kepada kerusakan gigi (Black &
Hawks, 2014).

2.2.9 Pengaruh Tidur Terhadap Glukosa Darah


Tidur terlihat penting untuk pemulihan kognitif Tidur dihubungkan dengan
perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan
konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin (Perry & Potter, 2012) Kualitas tidur yang
buruk akan mempengaruhi hormon kortisol dan metabolisme glukosa Ketika seseorang
tertidur, aktivitas sistem saraf turun, otak akan menggunakan lebih sedikit glukosa dan
terjadi peningkatan hormon pertumbuhan dan penurunan hormon kortisol (National Sleep
Foundation, 2016). Hormon kortisol adalah hormon yang secara alami diproduksi di
kelenjar adrenal. Hormon kortisol berperan pada penggunaan gula atau glukosa dan
lemak dalam metabolisme tubuh untuk menyediakan energi. Selain itu, hormon kortisol
berfungsi mengendalikan stres. Hormon kortisol juga membantu mempertahankan
tekanan darah tetap normal, sekaligus mengendalikan kadar gula darah dengan
melepaskan insulin (Alodokter, 2016).

Faktor stress dapat mempengaruhi kualitas tidur, dan kualitas tidur yang buruk
juga dapat berdampak pada stres. Seseorang yang mengalami stres sering terbangun
selama siklus tidur atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan
kebiasaan tidur yang buruk (Perry & Potter, 2012). Jika tidur rata rata dalam semalam 3-4
jam bahkan kurang, maka tingkat kekebalan tubuh akan menurun dan mudah mengalami
stres (Hawari, 2011). Respon saraf utama terhadap rangsangan stres adalah pengkatifan
menyeluruh sistem saraf simpatis Hipotalamus akan menolong untuk mempersiapkan
tubuh untuk fight to fight akibat rangsangan stres. Hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan arteri, peningkatan aliran darah untuk mengaktifkan otot-otot bersamaan dengan

37
penurunan aliran darah ke organ-organ yang tidak diperlukan untuk aktivitas motorik
yang cepat, peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh, peningkatan
konsentrasi glukosa darah, peningkatan proses glikolisis di hati dan otot, peningkatan
kekuatan otot, peningkatan aktivitas mental dan peningkatan kecepatan koagulasi darah.
Perangsangan saraf simpatis yang menuju medulla adrenalis menyebabkan pelepasan
sejumlah besar epinephrine dan norepinephrine ke dalam darah sirkulasi, dan kedua
hormon ini kemudian dibawa dalam darah ke semua jaringan tubuh (Akmarawita, 2010)

Hormone epinefrin dan norepinefrin memiliki peranan penting dalam peningkatan


kadar glukosa dalam darah. Epinefrin, juga dikenal sebagai adrenalin, bekerja sebagai
neurotransmitter. Transfer sinyal antara neuron dan sel-sel tubuh diatur oleh epinefrin.
Adrenalin dilepaskan oleh kelenjar adrenal selama situasi stres yang ekstrim atau
kegembiraan. Norepinefrin dilepaskan oleh neuron noradrenergik dan bertindak sebagai
neurotransmitter dalam sistem saraf pusat dan simpatik. Peningkatan kadar norepinefrin
berhubungan dengan kecemasan, stres, tekanan darah tinggi dan hiperaktif. Pelepasan
adrenalin dan noradrenalin meningkatkan denyut jantung dan pernapasan. Hal ini
menyebabkan penghambatan ekskresi insulin sehingga menyebabkan peningkatan kadar
glukosa dan asam lemak dalam darah (Bramardianto, 2014)

Scheen, et al (1996) mengungkapkan bahwa kualitas tidur dapat berhubungan


secara langsung dengan regulasi glukosa dimana glukosa plasma dan tingkat sekresi
insulin (insulin secretion rates/ASR) nyata meningkat selama awal tidur malam hari dan
kembali ke tingkat pra tidur selama akhir tidur. Perubahan perubahan dalam glukosa dan
ISR muncul untuk mencerminkan banyaknya gelombang lambat (slow-wave/SW) tahap
awal tidur, gerakan cepat mata dan tahap akhir tidur. Perbedaan besar dalam glukosa dan
profil ISR diamati selama kurang tidur sebagai glukosa dan ISR tetap stabil pada awal
malam dan kemudian menurun secara signifikan Selama pemulihan tidur siang hari,
tahap SW meningkat, kadar glukosa memuncak lebih awal dari saat tidur malam hari.
penurunan glukosa dan ISR pada akhir tidur berkurang satu-setengah Jadi tidur memiliki
efek penting pada otak dan pemanfaatan glukosa dalam darah, dengan demikian
gangguan tidur dapat mempengaruhi toleransi glukosa

38
2.2.10 Pengukuran Kualitas Tidur

Kualitas tidur merupakan gambaran secara subyektif yang menjelaskan tentang


kemampuan untuk mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang
dialami selama periode tidur yang secara subyektif yang diukur dengan menggunakan
kuesioner standar dan pengukuran secara obyektif dengan menggunakan polygraph atau
berdasarkan observasi. Pengkajian tentang kualitas tidur pada pasien DM dapat dilakukan
dengan kuesioner the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang dikembangkan oleh
Buyssee, et all tahun 1989. PSQI memiliki hak cipta dari University of Pittsburgh dan
dapat dicetak ulang tanpa biaya jika untuk keperluan penelitian non-komersial dan tujuan
pendidikan. PSQI telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas oleh berbagai peneliti
diantaranya oleh Carole Smyth (2012) New York University College of Nursing dan
dinyatakan valid serta reliabel dengan nilai Cronbach's alpha 0,83.

PSQI terdiri 9 (sembilan) pertanyaan dan 10 sub pertanyaan yang terbagi dalam 7
(tujuh) komponen meliputi waktu yang diperlukan untuk dapat memulai tidur (sleep
latency), lamanya waktu tidur (sleep duration), prosentase antara waktu tidur dengan
waktu yang dihabiskan pasien di atas tempat tidur (sleep efficiency), gangguan tidur yang
sering dialami sewaktu malam hari (sleep disturbance), kebiasaan penggunaan obat-
obatan untuk membantu tidur, gangguan yang sering dialami saat siang hari dan
(subyective sleep quality) kualitas tidur secara subyektif. Total skor setiap komponen
akan menunjukkan kualitas tidur responden dimana jika total skor yang didapatkan "5"
atau lebih merupakan indikasi dari kualitas yang buruk atau semakin tinggi skor yang
didapatkan maka semakin buruk kualitas tidurnya (Buysse, 1989, dalam Arifin, 2011).

2.3 Penelitian Terkait


Penelitian yang dilakukan oleh Suratno (2015) menunjukkan bahwa distribusi frekuensi
responden menurut skor insomnia menunjukkan skor terendah adalah 20, skor tertinggi 32,
rata-rata 21,83. Berdasarkan skor msomnia menunjukkan semua responden mengalami
insomnia. Data kadar gula darah sebelum tidur menunjukkan skor terendah adalah 80
mg/dl, skor tertinggi 500 mg/dl, rata-rata 168 mg/dl, dan standar deviasi 73,65 mg/dl.

39
Selanjutnya sesudah tidur diperoleh kadar gula darah terendah 105 mg/dl, tertinggi 412
mg/dl, rata-rata 175 mg/dl. Pada hasil analisis terbukti ada hubungan antara insomnia
dengan peningkatan kadar gula darah puasa pada pasien DM di ruang rawat inap RSUD Dr.
Moewardi, dengan tingkat hubungan cukup kuat, dengan p-value sebesar 0,000 dan r
hitung sebesar 0,516.
Penelitian yang dilakukan oleh Najatullah (2015) menunjukkan bahwa responden dengan
kualitas tidur baik terdapat 13 (5.4%) mengalami kontrol glukosa darah baik, sedangkan 6
kontrol glukosa darah buruk terdapat 3 orang (10,6%) dari jumlah 16 responden yang
mempunyai kualitas tidur baik. Pada 50 responden dengan kualitas tidur buruk terdapat 8
orang (15,6%) yang memiliki kontrol glukosa darah baik, sedangkan kontrol glukosa darah
buruk terdapat 38 orang (30,4%) dari jumlah 46 responden yang mempunyai kualitas tidur
buruk Hasil uji statitik didapatkan p-value: 0,000, nilai tersebut menunjukan adanya
hubungan kualitas tidur dengan kontrol glukosa darah pasien diabetes mellitus tipe 2. Hasil
nilai OR 20,583 yang berarti bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan kualitas tidur
buruk mempunyai peluang 21 kali memiliki kontrol glukosa darah buruk dibandingkan
kualitas tidur baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2011) menunjukkan bahwa rata-rata nilai kualitas
tidur pasien DM tipe 2 yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 8.25 (95% CI:
7.79-8.71), dengan standar deviasi sebesar 2.280. Berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kualitas tidur dengan kadar glukosa
darah responden di Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan pola
hubungan yang positif (r = 0.277) dan nilai p-value (p = 0.006). Hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) maka semakin tinggi
kadar glukosa darah puasa.

2.4 Kerangka Teori


Kerangka teori merupakan kerangka untuk menjawab pertanyaan penelitian
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat digambarkan kerangka
teori yaitu sebagai berikut

40
Gambar 2.1 kerangka teori

Faktor resiko yang  Faktor fisik


dapat diubah :  Obat obatan
 Gaya hidup
 Lingkungan
 EDS
 Obesitas
 Lingkungan
 Hipertensi
 Kelelahan
 Pola makan (diet)
 Asupan makanan
 Kurang olahraga
dan kalori
 rokok

Kadar glukosa darah

(diabetes melitus)
Faktor resiko tidak
dapat diubah :

 Riwayat keluarga
(gen)
 Usia
 Jenis kelamin
Kualitas tidur
 Etnik

Faktor psikologi :

 Stress
 Cemas
 depresi

(Sumber: Nabyl, 2014., Black & Hawks, 2014., Perry & Potter, 2012).

41
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antar konsep-
konsep atau variable yang diambil (diukur) melalui penelitian - penelitian yang dilakukan
(Notoatmojo, 2010). Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 2.2 Kerangka konsep yang akan di teliti :

Independen Dependen

Kadar glukosa darah


Kualitas tidur
Diabetes melitus

2.6 Hipotesis
Dari kerangka konsep di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 di RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung tahun 2022

42
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini merupakan kuantitatif, yaitu penelitian yang datanya berupa angka-
angka (score, nilai) atau pernyataan yang diangkakan dan dianalisis dengan analisis statistik.
Studi yang digunakan analitik yaitu penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan
mengapa fenomena kesehatan itu terjadi Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi
antara fenomena atau antara faktor resiko dengan faktor efek (Notoatmodjo, 2012).

3.2 Tempat dan waktu penelitian


3.2.1 tempat penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar
lampung tahun 2022

3.2.2 waktu penelitian


Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sd juni 2022.

3.3 Rencana penelitian


Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional. Pendekatan cross
sectional adalah suatu penelitian yang mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor
resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus
pada suatu saat (Notoatmodjo, 2010)

3.4 Subjek Penelitian


3.4.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoatmodjo,
2010). Populasi dalam penelitian ini adalah pasien rawat inap penderita diabetes
mellitus Tipe II di RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung yang diambil

43
selama 2 bulan dengan rata-rata perbulan adalah 41 pasien sehingga jumlah populasi
yang ada ± 82 orang

3.4.2 Sampel
Menurut Arikunto (2006) Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus Slovin yang disampaikan
oleh Notoatmodjo (2012), sebagai berikut

n= N

1+N(d²)

n = besar sampel

N = besa populasi

d² = tingkat ketepatan yang diinginkan 5% (0,05)

dari formula diatas, maka di dapatkan besar sampel sebagai berikut :

82 82

n= = = 68,04 (dibulatkan 68 responden)

1=82(0,05)² 1,025

3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling
yaitu teknik pengambilan sampel yang kebetulan ada pada saat dilakukan penelitian
(Notoatmodjo, 2012). Adapun kriteria sampel dalam penelitian ini yaitu:

Kriteria inklusi
a. Seorang Bersedia menjadi responden
b. Penderita diabetes tipe 2
c. Mampu membaca dan menulis

44
d. Pasien dengan kesadaran pewah

Kriteria eksklusi

a. Penderita DM tipe I
b. Penderita DM dengan komplikasi stroke

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik accidental


sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang kebetulan ada pada saat
dilakukan penelitian (Notoatmodjo, 2012)

3.5 Variabel Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2010) variabel mengandung pengertian ukuran atau cini yang
dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh
kelompok yang lain. Definisi lain mengatakan bahwa variabel adalah sesuatu yang digunakan
sebagai ciri, sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian tentang
suatu konsep pengertian tertentu.
Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
 Variabel bebas (indepen variable) Variabel bebas atau variabel yang dapat
mempengaruhi dalam penelitian ini adalah kualitas tidur.
 Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat atau variabel yang dipengaruhi dalam penelitian ini adalah
kadar glukosa darah penderita diabetes mellitus.

3.6 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional sangat diperlukan untuk membatasi ruang lingkup atau pengertian
variabel-variabel yang diamati atau di teliti (Arikunto, 2006) Definis operasional juga
bermanfaat untuk mengarahkan pada pengukuran atau pengamatan terhadap variabel yang
bersangkutan serta pengembangan instrumen alat ukur (Notoatmojo, 2012).

45
Tabel 3.1

Definisi operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil ukur Skala


Operasional
1 Dependen Kadar glukotest observasi Glukosa Interval
Kadar glukosa glukosa darah darah puasa
darah diabetes puasa pada dalam satuan
melitus penderita mg/dl
diabetes (tarwoto
melitus 2012)
2 Independen Kebutuhan Kuisioner Membagikan Skor PSQI Interval
Kualitas tidur istirahat PSQI (the kuisioner 0-21
fiiologis yang pittsburg atau (Buysee,
bersiklus h sleep wawancar 1989)
melalui quality
tahapan index )
sampai tidur
terjaga

3.7 Pengumpulan Data


Alat pengumpulan data untuk mengukur glukosa darah puasa digunakan glukotest,
sedangkan untuk mengukur kualitas tidur digunakan kuesioner the Pittsburgh Sleep Quality
Index (PSQI) yang dikembangkan oleh Buyssee, et.all tahun 1989. PSQI memiliki hak cipta
dari University of Pittsburgh dan dapat dicetak ulang tanpa biaya jika untuk keperluan
penelitian non-komersial dan tujuan pendidikan. PSQI telah dilakukan uji validitas dan
rehabilitas oleh berbagai peneliti diantaranya oleh Carole Smyth (2012) New York
University College of Nursing dan dinyatakan valid serta reliabel dengan nilai Cronbach's
alpha 0,8) PSQI terdiri 9 (sembilan) pertanyaan dan 10 sub pertanyaan yang terbagi dalam 7
(tujuh) komponen meliputi waktu yang diperlukan untuk dapat memulai tidur (sleep latency),
lamanya waktu tidur (sleep duration), prosentase antara waktu tidur dengan waktu yang

46
dihabiskan pasien di atas tempat tidur (sleep efficiency). gangguan tidur yang sering dialami
sewaktu malam hari (sleep disturbance), kebiasaan penggunaan obat-obatan untuk membantu
tidur, gangguan yang sering dialami saat siang hari dan (subyective sleep quality) kualitas
tidur secara subyektif. Total skor setiap komponen akan menunjukkan kualitas tidur
responden dimana jika total skor yang didapatkan "5" atau lebih merupakan indikasi dari
kualitas yang buruk atau semakin tinggi skor yang didapatkan maka semakin buruk kualitas
tidurnya. Nomor pertanyaan masing-masing komponen dapat dilihat dalam tabel 3.2.

Tabel 3.2

komponen dan nomor pertanyaan kuisioner PSQI

No Komponen Nomor pelayanan


1 Kulitas tidur 9
2 Waktu memulai tidur 2,5 a
3 Lama tidur 4
4 Efesiensi tidur 1,3,4
5 Gangguan tidur 5b sampai 5j
6 Penggunaan obat untuk membantu tidur 6
7 Aktivitas sehari hari yang terkait tidur 7,8

Adapun langkah-langkah pengumpulan data dilakukan dengan tahapan

sebagai berikut:

Mengajukan permohonan izin pra survey dan survey dalam pelaksanaan penelitian
kepada institusi terkait yang digunakan peneliti sebagai lokasi penelitian. Setelah
mendapat rekomendasi pelaksanaan penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas
Malahayati dan izin dari RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung peneliti
melaksanakan pengumpulan data penelitian.

47
 Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat, prosedur
pengumpulan data serta menanyakan kesediaan calon responden Bagi calon yang
bersedia menjadi responden, peneliti memberikan informed consent dan responden
diminta untuk menandatanganinya. Selain itu, responden juga diminta untuk mengisi data
diri sebagai gambaran karakteristik responden.
 Peneliti melakukan pengukuran kualitas tidur dengan memberikan kuesioner yang telah
disedikan dan melakukan pencatatan hasil pengukuran kadar gula darah puasa terakhir
yang ada pada list pasien.
 Setelah hasil pengukuran didapatkan selanjutnya dilakukan pengolahan data.

3.8 Pengolahan Data


Pegolahan data dalam rencana penelitian ini melalui empat tahap yaitu :
 Editing yaitu Kegiatan untuk melakukan pengecekan isian kuesioner apakah
jawaban yang sudah lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.
 Coding yaitu Kegiatan mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka atau bilangan Kegunaan coding adalah untuk mempermudah pada saat
analisis data.
 Prosesing yaitu memasukkan data jawaban-jawaban dari masing-masing
responden yang telah berbentuk kode ke dalam program komputer.
 Cleaning yaitu kegiatan pegecekan kembali data yang sudah ada (Notoatmojo,
2012)

3.9 Analisa Data

3.9.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan rata-rata kualitas
tidur dan kadar glukosa darah pasien diabetes mellitus serta untuk mengetahui presentase dari
karakteristik responden

48
3.9.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan
dependen. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kedua variabel maka dalam
penelitian ini jika data berdistribusi normal maka akan digunakan uji statistik parametrik Pearson
Product Moment. Jika data tidak berdistribusi normal maka sebagai alternatif akan dilakukan uji
statistik nonparametrik menggunakan uji Rank spearman (Rho). Derajat kemaknaan yang
digunakan 95% dan tingkat kesalahan (a)- 5%. Analisa data akan dilakukan menggunakan
komputer dengan kriteria hasil:

a. Jika p value < nilai a (0,05) atau Thitung 2 Tubel, maka Ho ditolak (ada
hubungan).
b. Jika p value> nilai a (0,05), atau fungFubel Ho gagal ditolak (tidak ada hubungan)

Adapun kekuatan hubungan merujuk pada kriteria di bawah ini

Tabel 3.3

Interprestasi Koefesien Korelasi

Interval koefisien Tingkat hubungan


0,00 – 0,199 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendh
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat

49

Anda mungkin juga menyukai