PROPOSAL PENELITIAN
Disusun Oleh :
NPM : 19320032
DOSEN PENGAMPU :
DEWI KUSUMANINGSIH,S.Kep.,Ns.,M.Kep
TAHUN 2022/2023
1
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit yang menyebabkan gangguan metabolisme kronis
yang ditandai dengan peningkatan glukosa dalam darah (Hiperglikemia), yang disebabkan
karena ketidakseimbangan suplai serta kebutuhan insulin. Insulin di dalam tubuh manusia
dibutuhkan untuk tempat masuknya glukosa di dalam sel agar bisa dipergunakan untuk
metabolisme dan pertumbuhan sel. ada atau tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di
dalam darah dan kuranganya glukosa akan sangat dibutuhkan dalam keberlangsungan dan fungsi
sel. (Azis, 2019).
Menurut laporan World Health Organization (WHO) bulan November 2016, Angka dari kejadian
diabetes mellitus di dunia mencapai 422 juta jiwa, prevalensi global diabetes melitus antara
orang dewasa di atas usia 18 tahun sudaah bertambah 8,5%. Diperkirakan 1,5 juta kematian
secara langsung disebabkan oleh diabetes dan 2,2 juta kematian yang disebabkan komplikasi
diabetes. WHO memprediksikan bahwa diabetes akan menjadi penyebab utama kematian ke-7 di
Dunia pada tahun 2030 (WHO, 2016).
Diabetes Mellitus juga merupakan penyakit yang menduduki peringkat keenam sebagai
penyebab kematian di Indonesia pada kategori penyakit tidak menular. Rentang usia penderita
diabetes pun bervariasi mulai dari 20 tahun hingga 79 tahun. Studi terbaru dari International
Diabetes Federation tahun 2012 mengungkapkan, penderita Diabetes Mellitus di Indonesia
masuk dalam urutan ketujuh negara dengan penderita diabetes terbanyak. Posisi pertama adalah
Cina dengan 92,3 juta penderita, India sebanyak 63 juta jiwa, Amerika Serikat 24,1 juta jiwa,
Brasil 13,4 juta jiwa, Rusia 12,7 juta jiwa, Meksiko 10,6 juta jiwa, dan Indonesia dengan jumlah
penderita diabetes sebanyak 7,6 juta orang (Rosalina 2014)
Peningkatan kejadian diabetes mellitus hampir merata di seluruh Indonesia, baik di daerah
perkotaan maupun pedesaan. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Lampung tahun 2015, penyakit
diabetes menduduki perangkat ke 8 dalam sepuluh besar penyakit terbanyak yaitu mencapai
2
69.282 kasus (Dinkes Provinsi Lampung. 2015) Sedangkan pada data yang tercatat di Profil
Kesehatan Kota Metro tahun 2015 disebutkan bahwa penderita diabetes mellitus yang berobat
jalan di Puskesmas sudah menduduki peringkat kelima dari sepuluh besar penyakit yang ada
yaitu mencapai 374 pasien (Profil Kesehatan Kota Metro, 2015). Berdasarkan data medical
record RSUD Jend Ahmad Yani Metro tercatat bahwa pada pasien diabetes mellitus dalam 3
(tiga) tahun terakhir mengalami peningkatan, pada tahun 2014 ditemukan sebanyak 371 kasus,
tahun 2015 sebanyak 386 kasus dan pada tahun 2016 sebanyak 494 kasus (RSUD Jend. Ahmad
Yani Metro, 2016).
Diabetes yang paling banyak adalah DM tipe 2 yaitu terjadi sekitar 90% dari seluruh penderita
diabetes (Black & Hawks, 2014). Penyebab pasti dari penyakit diabetes mellitus sampai saat ini
belum diketahui, namun beberapa faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian diabetes
mellitus adalah adanya riwayat keluarga, lingkungan, usia, obesitas, etnik, hipertensi, perilaku
makan, dan kurang olah raga (Tarwoto, 2012). Prevalensi DM tipe 2 berkaitan dengan perubahan
gaya hidup, kebiasaan konsumsi makanan tinggi kalori, kurangnya aktivitas, merokok, obesitas
dan urbanisasi serta berhubungan dengan adanya gangguan tidur. Hubungan antara tidur dengan
terjadinya suatu penyakit dapat bersifat timbal balik. Gangguan tidur merupakan salah satu
resiko terjadinya penyakit seperti DM dan sebaliknya DM tipe 2 juga dapat menyebabkan terjadi
gangguan tidur (Arifin, 2011).
Tidur merupakan kondisi normal dari perubahan tingkat kesadaran selama tubuh beristirahat.
Hampir satu dari pertiga dari populasi umum memiliki masalah kesulitan tidur di tiap tahunnya:
Gangguan ini mungkin merupakan hal yang sekunder terkait dengan situasi, lingkungan, stressor
atau mungkin diasosiasikan dengan penyakit (Black & Hawks, 2014). Setiap penyakit yang
menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik, atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau
depresi dapat menyebabkan masalah tidur. Selain itu, nokturia atau berkemih pada malam hari
juga dapat menggangu tidur dan siklus tidur. Setelah seseorang berulangkali terbangun untuk
berkemih, menyebabkan kembali untuk tertidur kembali menjadi sulit. Kondisi ini paling umum
terjadi pada penderita diabetes mellitus (Perry & Potter, 2012).
Gangguan tidur pada pasien DM tipe 2 berhubungan gejala yang dirasakan seperti nokturia,
kecemasan, depresi, dan nyeri akibat neuropati. Hal ini didukung oleh penelitian cross-sectional
yang dilakukan pada pasien DM tipe 2 yang menunjukkan adanya hubungan antara DM tipe 2
3
dengan kesulitan untuk memulai tidur (0.29, p<0.05) dan kesulitan untuk mempertahankan tidur
(-0.24, p <0.05). Kesulitan untuk memulai dan mempertahankan tidur antara lain disebabkan
karena adanya keluhan nyeri dan nokturia (Taub, 2008 dalam Arifin, 2011). Pada hasil penelitian
Arifin (2011) juga menunjukkan bahwa pada analisis dengan korelasi Pearson terbukti adanya
hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pasien DM tipe 2 (r-0.277, p 0.006),
hubungan berpola positif.
Berdasarkan hasil prasurvei di RSUD Jend. Ahmad Yani Metro diketahui bahwa pada hasil
wawancara terhadap 12 pasien diabetes mellitus, 10 orang (83,3%) mengatakan tidur 2-3 jam
pada malam hari karena sering terbangun pada malam hari akibat rasa cemas dengan
penyakitnya serta seringnya berkemih pada malam hari sehingga pola tidurnya sangat terganggu.
Sedangkan 2 orang (16,7%) diantaranya mengatakan saat dirawat klien sudah dapat tidur 6-7 jam
pada malam hari.
Berdasarkan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus Tipe II di
RSUD Jend. Ahmad Yani Metro tahun 2017.
Tujuan khusus
Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah:
4
Diketahuinya frekuensi karakteristik penderita diabetes mellitus Tipe II di RS
Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung
Diketahuinya rata-rata skor kualitas tidur pasien diabetes Tipe II di RS Pertamina
Bintang Amin kota Bandar lampung
Diketahuinya rata-rata kadar glukosa darah pasien diabetes Tipe II di RS
Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung
Diketahuinya hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada penderita
diabetes mellitus Tipe II di RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diabetes mellitus merupakan penyakit yang disebabkan oleh adanya kekurangan insulin
secara relatif maupun absolut. Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu: rusaknya
sel-sel B pankreas karena pengaruh dari luar (virus, zat kimia tertentu, dll). Desensitasi atau
penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas. Desensitas kerusakan reseptor insulin (down
regulation) di jaringan parifer (Hasdianah, 2012).
Diabetes mellitus tipe 2 sebelumnya disebut Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) atau diabetes mellitus onset-dewasa adalah gangguan yang melibatkan baik genetic
dan faktor lingkungan. Sedangkan diabetes Tipe 1 atau sebelumnya disebut Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM) atau diabetes mellitus onset anak-anak adalah diabetes yang ditandai
dengan destruksi sel beta pancreas yang mengakibatkan defisiensi insulin absolut (Black &
Hawks, 2014)
6
Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak menghasilkan cukup
insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal
ini menyebabkan peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia). Penyakit ini
timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan
dalam dirinya. Perubahan seperti sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia),
banyak makan/mudah lapar (polifagia) dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
Diabetes merupakan penyakit yang dapat mematikan karena pengaruhnya menyebar ke sistem
tubuh yang lain, kondisi ini meliputi resistensi insulin, kadar kolesterol yang tinggi dan tekanan
darah tinggi. Mereka yang memiliki tekanan darah yang lebih tinggi 3 kali lebih besar ditemukan
pada penderita diabetes mellitus (Apriyanti, 2012).
Menurut American Diabetes Association 2010 (ADA) menentukan diagnose dan kriteria diabetes
mellitus, memenuhi 2 diantara 3 kriteria sebagai berikut:
1. Adanya tanda dan gejala Diabetes mellitus ditambah kadar gula darah acak atau random
lebih atau sama dengan 200 mg/dl.
2. Gula darah puasa atau Fasting Blood Sugar (FBS) lebih besar atau sama dengan 126
mg/dl (puasa sekurangnya 8 jam).
3. Hasil Glukose Toleran Test (GTT) lebih besar atau sama dengan 200 mg/dl, 2 jam
sesudah beban.
Sedangkan pre diabetes mellitus
4. Impaired glucose tolerance (IGT) jika berhasil pemeriksaan 2 jam sesudah beban glukosa
>140 s.d <200 mg/dl
5. Impaired fasting glucose (IFG), jika berhasil pemeriksaan glukosa darah puasa >110
s.d<126 mg/dl)
7
Tabel 2.1
Menurut WHO dan American Diabetes Association (dalam Tarwoto, 2012), penyakit
diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi:
8
2. Diabetes mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
yaitu diabetes mellitus yang tidak tergantung pada insulin. Kurang lebih 90 %-
95% penderita diabetes mellitus adalah diabetes tipe ini. diabetes mellitus tipe 2 terjadi
akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan
produksi insulin. Normalnya insulin terikat oleh reseptor khusus pada permukaan sel dan
mulai terjadi rangkaian reaksi termasuk metabolisme glukosa. Pada diabetes tipe 2 reaksi
dalam sel kurang efektif karena kurangnya insulin yang berperan dalam menstimulasi
glukosa masuk ke jaringan dan pengaturan pelepasan glukosa dihati. Adanya insulin juga
dapat mencegah pemecahan lemak yang menghasilkan badan keton.
Diabetes mellitus tipe 2 banyak terjadi pada usia dewasa lebih dari 45 tahun, karena
perkembangan lambat dan terkadang tidak terdeteksi, tetapi jika gula darah tinggi baru
dapat dirasakan seperti kelemahan, iritabilitas, poliura, polidipsi, proses penyembuhan
luka yang lama, infeksi vagina, kelainan penglihatan.
9
Golongan diabetes ini terjadi akibat malnutrisi, biasanya pada penduduk yang miskin.
Diabetes tipe ini dapat ditegakkan jika ada 3 gejala dari gejala yang mungkin yaitu :
a. Adanya gejala malnutrisi seperti badan kurus, berat badan kurang dari 80% berat
badan ideal
b. Adanya tanda-tanda malabsorpsi makanan
c. Usia antara 15-40 tahun.
d. Memerlukan insulin untuk regulasi diabetes mellitus dan menaikkan berat badan.
e. Nyeri perut berulang.
4. Diabetes sekunder
yaitu diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau penyakit tertentu,
misalnya penyakit pankreas (pankreatitis, neoplasma, trauma/panreatectomy),
endokrinopati (akromegali, Cushing's syndrome, pheochromacytoma, hyperthyroidism),
obat-obatan atau zat kimia (glukokortikoid, hormon tiroid, infeksi cytomegalovirus, serta
syndrome genetic diabetes seperti Syndrome Down.
5. Diabetes mellitus gestasional
yaitu diabetes mellitus yang terjadi pada masa kehamilan, dapat di diagnosa
dengan menggunakan test toleran glukosa, terjadi pada kira-kira 24 minggu kehamilan.
Individu dengan diabetes mellitus gestasional 25% akan berkembang menjadi diabetes
mellitus
Tabel 2.2
10
usia 30 tahun tetapi setelah uur 30 tahun,
dapat terjadi pada tetapi dapat terjadi
semua umur pada maa anak anak
Insiden Kurang dari 10% Sampel dengan 90%
hidup
Pemberian agen oral Tidak efektif
Efektif
11
hipoglikmik
(Tarwoto 2012)
Menurut Nabyl (2012), faktor-faktor yang bisa dianggap sebagai kemungkinan penyebab
diabetes antara lain:
1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta
melepas insulin.
2. Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat
menimbulkan infeksi, diet di mana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara
berlebihan, obesitas, dan kehamilan.
3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai
pembentukan sel-sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel-sel yang
melakukan sekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap
insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang
merespons insulin.
Adapun gambaran patologis dari diabetes sebagai salah satu efek utama akibat
kekurangan insulin adalah :
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya
konsentrasi glukosa darah setinggi 300-1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilitas lemak dari daerah penyimpanan lemak yang abnormal disertai
endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
12
Diabetes terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cuku untuk mempertahankan
kadar gula darah yang normal atau jika sel tidak memberikan respons yang tepat terhadap
insulin. Namun ada beberapa keadaan yang mempermudah terjadinya diabetes:
1. Usia yang bertambah Dengan semakin bertambahnya usia, kemungkinan terkena diabetes
pun semakin besar. Diabetes tipe 2 terutama ditemukan pada orang-orang yang berusia di
atas 40 tahun.
2. Kurang olahraga dan kebiasaan makan banyak kalori. Kebiasaan hidup santai, banyak
mengonsumsi makana berkalori tinggi, serta kurang berolahraga, akan menimbulkan
obesitas serta memicu tumbulnya diabetes.
3. Riwayat diabetes dalam keluarga. Bila ada kakek, nenek, ibu, ayah, atau sanak saudara
yang mengidap diabetes, maka risiko untuk terkena diabetes Tipe 1 maupun Tipe 2
bertambah besar.
4. Riwayat diabetes gestasional terdahulu. Misalnya melahirkan anak dengan berat badan
lebih dari 4 kg.
1) Pengaruh langsung
Kesedihan yang terus-menerus, seperti trauma emosional, kecelakaan, atau
kehilangan, dapat menimbulkan diabetes mellitus. Konflik emosional yang tidak disadari
dan kondisi ketakutan tanpa henti juga dapat melatarbelakangi timbulnya diabetes
melalui jalur neuro-andokrin Namun dengan berkembangnnya teori genetik dan
molekular, faktor emosi kemudian dianggap sebagai pencetus suatu keadaan genetik yang
sudah ada sejak lahir yang berpotensi untuk menjadi diabetes.
13
mematuhi aturan diet, pengobatan, dan pemeriksaan, sehingga sukar mengontrol kadar
gula darahnya.
14
glukoneogenesis dan menhambat penyerapan glukosa sehingga akan terjadi peningkatan glukosa
darah (Sherwood, 2012)
Faktor risiko diabetes mellitus sendiri menurut Nabyl (2012) terdiri dari faktor risiko
yang dapat diubah dan faktor risiko tidak dapat diubah.
Adapun beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi berat badan yaitu :
15
Gula darah tinggi yang tidak ditatalaksana dapat menyebabkan kerusakan saraf,
masalah ginjal atau mata, penyakit jantung, serta stroke. Hal-hal yang dapat
meningkatkan gula darah adalah :
1. Makanan atau snack dengan karbohidrat yang lebih banyak dari biasanya.
2. Kurangi aktifitas fisik.
3. Infeksi atau penyakit lain
4. Perubahan hormon, misalnya selama menstruasi
5. Stres
Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai gula darah tinggi
adalah pemeriksaan gula puasa (GDP). dikatakan menderita diabetes apabila
kadar GDP 126 mg/dl,
16
7. Hentikan kebiasaan merokok.
8. Tanyakan pada dokter anda mengenai obat anti hipertensi yang sesuai
untuk anda
Salah satu pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menilai gula darah
tinggi adalah pemeriksaan gula darah puasa (GDP). Seseorang dikatakan
menderita diabetes apabila memiliki kadar GDP-126 mg/dl.
17
Merokok
Selain berbahaya bagi paru, rokok juga berbahaya bagi jantung karena:
1. Menurunkan jumlah oksigen yang mencapai organ tubuh sehingga dapat
menyebabkan serangan jantung atau stroke.
2. Meningkatkan kadar kolesterol dan kadar lemak lain dalam tubuh
sehingga dapat meningkatkan risiko serangan jantung. c. Meningkatkan
tekanan darah.
a. Usia
Seiring bertambahnya usia, risiko deabetes dan penyakit jantung semakin
meningkat. Kelompok usia yang menjadi faktor risiko diabetes adalah usia lebih
dari 45 tahun.
b. Ras dan Suku Bangsa
Suku bangsa afron-Amerika. Meksiko-Amerika, India Amerika, Hawaii, dan
sebagian asia-Amerika memiliki risiko diabetes dan penyakit jantung yang lebih
tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi,
obesitas, dan diabetes, dan pola populasi tersebut. Jenis kelamin.
c. Jenis kelamin
Kemungkinan laki-laki menderita penyakit jantung lebih besar daripada
perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka kemungkinan
menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensilnya tidak
setinggi laki-laki.
d. riwayat keluarga
Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes maka
kemungkinan anda untuk menyandang pun meningkat.
18
Tarwoto (2012) mengungkapkan bahwa penyebab penyakit diabetes mellitus belum
diketahui secara lengkap dan kemungkinan faktor penyebab dan faktor resiko penyakit diabetes
mellitus diantaranya :
Beberapa tanda dan gejala pada penderita diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
19
7. Ketonuria
8. Kelemahan dan keletihan
9. Terkadang tanpa gejala
(Tarwoto, 2012)
2.1.6 Komplikasi
Menurut Tarwoto (2012) komplikasi pada penderita diabetes mellitus adalah sebagai berikut:
1. Komplikasi akut
a. Koma hiperglikemia di sebabkan kadar gula sangat tinggi biasanya terjadi pada
Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
b. Ketoasidosis atau keracunan zat keton sebagai hasil metabolime lemak dan
protein terutama terjadi pada Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
c. Koma hipoglikemia akibat terapi insulin yang berlebihan atau tidak terkontrol
2. Komplikasi kronis
a. Mikroangiopati (kerusakan pada saraf-saraf perifer) pada organ-organ yang
memiliki pembuluh darah kecil seperti pada :
Retinopati diabetika (kerusakan saraf retina dimata) sehingga mengakibatkan
kebutaan
Neuropati diabetika (kerusakan saraf-saraf perifer) mengabikatkan baal/gangguan
sensoris pada organ tubuh.
Nefropati diabetika (kelainan/kerusakan pada ginjal) dapat mengakibatkan gagal
ginjal.
b. Makroangiopati
Kelainan pada jantung dan pembuluh darah seperti miokard infarik
maupun gangguan fungsi jantung karena arteriskelosis
Penyakit vaskuler perifer
Gangguan sistem pembuluh darah otak atau stroke
20
c. Gangren diabetika karena adanya neuropati dan terjadi luka yang tidak sembuh-
sembuh.
d. Disfungsi erektil diabetika
Menurut Apriyanti (2012) mencegah dan mengendalikan diabetes mellitus dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
21
Perbanyak sayur dan buah segar
Makanlah beragam sayur dan buah setiap hari. Pilih buah dan sayur yang
segar. Buatlah jus dari 100 persen buah segar Jangan ditambah gula karena
buah sudah cukup manis. Makalanlah sayuran berdaun gelap seperti brokoli
dan bayam, sayuran warna oranye seperti wortel, ubi. Waluh, serta kacang-
kacangan Berdasarkan hasil penelitian mengkonsumsi buah-buahan tiga kali
sehari dapat menurunkan resiko diabetes tipe dua mencapai 18%, jika
memperbanyak konsumsi sayuran hijau dapat menurunkan resiko 9%.
Batasi yang manis
Kalau bisa hindari minuman beraroma buah, soda, teh, dan kopi yang sangat
manis. Gula yang dikonsumsi berlebihan akan memicu berbagai masalah
kesehatan seperti diabetes dan kegemukan.
Kurangi garam
Gunakan lebih sedikit garam saat memasak. Hindari sumber-sumber garam
tersembunyi seperti acar, daging olahan, sayur kalengan.
6. Mengendalikan kolesterol
22
Tingginya kadar kolesterol dalam tubuh menjadi pemicu munculnya berbagai
penyakit. Pola makan sehat merupakan faktor utama untuk menghindari hal ini. Batas
normal kolesterol dalam tubuh adalah 160-200 mg/dl.
11. Hindari alkohol atau soft drink Penelitian dari University of California AS
mempubilkasikan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa meningkatnya konsumsi
minuman bersoda yang umumnya mengandung gula tinggi berdampak pada
terjadinya 130.000 kasus baru diabetes mellitus.
23
12. Hindari merokok
Merokok dapat merusak jantung serta sistem sirkulasi dan mempersempit pembuluh
darah. Sebuah penelitian menyatakan bahwa 95 persen amputasi yang berkaitan
dengan diabetes dilakukan pada perokok Nikotin pada rokok ketika bercampai dalam
darah maka kadar hemoglobin Ale akan naik sampai 34%.
24
resistensi insulin dan merupakan faktor risiko untuk diabetes mellitus tipe 2 dan
penyakit jantung Para peneliti di University Laval's Faculity or Medicine Canada
1996 menemukan bahwa orang yang tidur terlalu banyak atau kurang, memiliki
kemungkinan terjangkit diabetes tipe 2 atau kelainan toleransi glukosa. Risikonya
hingga 2,5 kali lebih tinggi pada orang yang tidur kurang dari 7-8 jam setiap malam.
2.2 Tidur
Tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus yang bergantian dengan periode yang lebih
lama dari keterjagaan. Siklus tidur-terjaga mempengaruhi dan mengatur fungsi fisiologis dan
respon perilaku (Perry & Potter, 2012).
Tidur merupakan kondisi normal dari perubahan tingkat kesadaran selama tubuh
beristirahat. Tidur dikarakteristikkkan dengan penurunan respons terhadap lingkungan (Black &
Hawks, 2014),
Tidur melibatkan suatu urutan keadaan fisiologis yang dipertahankan oleh integrasi
tingkat aktivitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan perubahan dalam sistem saraf
peripheral, endokrin, kardiovaskular, pernapasan dan muscular. Tiap rangkaian diidentifikasi
dengan respons fisik tertentu dan pola aktivitas otak. Peralatan seperti elektroensefalogram
(EEG) yang mengukur aktivitas listrik dalam korteks serebral, elektromiogram (EMG) yang
mengukur tonus otot dan elektrookulogram (EOG) yang mengukur gerakan mata, memberikan
informasi struktural aspek fisiologi tidur. Kontrol dan pengaturan tidur tergantung pada
hubungan antara dua mekanisme serebral yang mengaktivasi secara intermiten dan menekan
pusat otak tertinggi untuk mengontrol tidur dan terjaga. Sebuah mekanisme menyebabkan
terjaga, dan yang lain menyebabkan tertidur (Perry & Potter, 2012).
Sistem aktivasi reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR dipercayai terdiri
dari sel khusus yang mempertahankan kewaspadaan dan terjaga. SAR menerima stimulus sensori
25
visual, auditori, nyeri dan taktil. Aktivitas korteks serebral (proses emosi atau pikiran) juga
menstimulasi SAR. Saat terbangun merupakan hasil dari neuron dalam SAR yang mengeluarkan
katekolamin seperti norepinefrin. Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonim dari sel
tertentu dalam sitem tidur raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Daerah otak juga
disebut daerah sinkronisasi bulba (bulba synchronizing region, BSR). Apakah seseorang tetap
terjaga atau tertidur tergantung pada keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih
tinggi seperti pikiran, reseptor sensori perifer seperti stimulus bunyi atau cahaya dan sistem
limbic (emosi) (Perry & Potter, 2012).
EEG, EMG dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang
berbeda dari otak, otot dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda. Tidur yang
normal melibatkan dua fase pergerakan mata yang tidak cepat (tidur nonrapid eye movement,
NREM) dan pergerakan mata yang cepat (tidur rapid eye movement, REM). Selama NREM
seorang yang tidur mengalami kemajuan melalui empat tahapan selama siklus tidur yang tipikal
90 menit. Kualitas tidur dari tahap I sampai tahap 4 bertambah dalam Pidur yang dangkal
merupakan karakteristik dari tahap 1 dan 2 dan seseorang lebih mudah terbangun. BANDAR
LAMP Tahap 3 dan 4 melibatkan tidur yang dalam disebut tidur gelombang rendah dan seorang
sulit terbangun. Tidur REM merupakan fase pada akhir tiap siklus tidur 90 menit. Konsolidasi
memori dan pemulihan psikologis terjadi pada waktu ini. Faktor yang berbeda dapat
meningkatkan atau menggangu tahapan siklus tidur yang berbeda (Perry & Potter, 2012).
Secara normal, pada orang dewasa pola tidur rutin dimulai dengan periode sebelum tidur,
selama seseorang terjaga hanya pada rasa kantuk yang bertahap berkembang secara teratur.
Periode ini secara normal berakhir 10-hingga 30 menit tetapi untuk seseorang yang memiliki
kesulitan untuk tertidur, akan berlangsung satu jam atau lebih. Ketika seseorang tertidur,
biasanya melewati 4 sampai 6 siklus tidur penuh, tiap siklus tidur terdiri 4 tahap dari tidur
26
NREM dan satu periode dari tidur REM. Pola siklus biasanya berkembang dari tahap I menuju
ke tahap 4 NREM diikuti kebalikan tahap 4 ke 3 lalu ke 2, diakhir dengan periode dari tidur
REM. Seseorang biasanya mencapai tidur REM sekitar 90 menit ke siklus tidur. Dengan tiap-tiap
siklus yang berhasil, tahap 3 dan 4 memendek, dan memperpanjang periode REM. Tidur REM
dapat berakhir sampai 60 menit selama akhir siklus tidur. Tidak semua orang mengalami
kemajuan yang konsisten menuju ke tahap tidur yang biasa. Jumlah siklus tidur tergantung pada
jumlah totak waktu yang digunakan untuk tidur (Perry & Potter, 2012)
Tidur dipercaya mengkontibusi pemulihan fisiologis dan psikologs Menurut teon tidur
adalah waktu perbaikan dan persiapan untuk periode terjaga berikutnya Selama tidur NREM,
fungsi biologis menurun. Laju denyut jantung normal pada orang dewasa sehat sepanjang hari
rata-rata 70 sampai 80 denut per menit atau lebih rendah jika individu berada pada kondisi fisik
yang sempurna. Akan tetapi selama tidur laju denyut jantung turun sampai 90 denyut permenit
atau lebih rendah Hal ini berarti bahwa denyut jantung 10 hingga 20 kali lebih sedikit dalam
setiap menit selama tidur atau 60 hingga 120 kali lebih sedikit dalam setiap jam Secara jelas,
tidur yang nyenyak bermanfaat dalam memelihara fungsi jantung Tidur nampaknya diperlukan
untuk memperbaiki proses biologis secara rutin. Selama tidur gelombang rendah yang dalam
(NREM tahap 4) tubuh melepaskan hormone pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan
memperbaharui sel epitel dan khusus seperti sel otak. Tidur terlihat penting untuk pemulihan
kognitif. Tidur dihubungkan dengan perubahan dalam aliran darah serebral, peningkatan
aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Hubungan ini dapat
membantu penyimpanan memori dan pembelajaran. Selama tidur, otak menyaring informasi
yang disimpan tentang aktivitas hari tersebut. Kurangnya tidur dapat mengarah pada perasaan
bingung dan curiga (Perry & Potter, 2012).
27
Lamanya tidur yang baik adalah antara 7-8 jam dalam semalam, yaitu masuk tidur jam
21.00 dan bangun tidur jam 05.00 keesokan harinya. Atau paling tidak 4 malam dalam seminggu
seseorang itu tidur dalam jangka waktu tersebut agar kekebalan tidak menurun. Sebab bila rata-
rata hanya tidur selama 3-4 jam bahkan kurang dalam semalam, maka kekebalan akan menurun
dan mudah mengalami stres (Hawari, 2011) Perry & Potter (2012) mengungkapkan bahwa durasi
dan kualitas tidur beragam di antara orang-orang dari semua kelompok usia Seseorang mungkin
merasa cukup beristirahat dengan 4 jam tidur, sementara yang lain membutuhkan 10 jam.
Berikut ini beberapa pola tidur normal sesuai dengan usia:
1. Neonatus
Neonatus sampai usia 3 bulan rata-rata tidur sekitar 16 jam sehari. bayi yang lahir
dari ibu tanpa medikasi lahir dalam keadaan terjaga. Mata terbuka lebar dan mengisap
kencang. Setelah sekitar satu jam bayi baru lahir menjadi diam dan kurang responsive
terhadap stimulus internal dan eksternal. Periode tidur berakhir beberapa menit
sampai 2 jam sampai 4 jam setelahnya.
2. Bayi
Pada umumnya bayi mengalami pola tidur malam hari pada usia 3 bulan. Bayi
tertidur beberapa kali pada siang hari tetapi biasanya tidur rata-rata 8 sampai 10 jam
pada malam hari. Bayi yang berusia 1 bulan dan 1 tahun tidur rata-rata 14 jam sehari.
3. Balita
Pada usia 2 tahun, anak-anak biasanya tidur sepanjang malam dan tidur siang
disetiap hari. Total tidur rata-rata 12 jam sehari. Tidur siang dapat hilang pada usia 3
tahun.
4. Prasekolah
Rata-rata tidur anak usia prasekolah sekitar 12 jam semalam. Pada usia 5 tahun,
anak prasekolah jarang tidur siang.
28
Jumlah tidur yang diperlukan pada usia sekolah bersifat individual dikarenakan
status aktivitas dan tingkat kesehatan yang bervariasi. Anak usia sekolah biasanya
tidak membutuhkan tidur siang. Pada usia 6 tahun akan tidur malam rata-rata 11
sampai 12 jam; sementara anak usia 11 tahun tidur sekitar 9 sampai 10 jam.
6. Remaja
Remaja biasanya tidur sekitar 7½ jam setiap malam. Pada saat kebutuhan tidur
yang aktual meningkat, remaja umumnya mengalami sejumlah perubahan yang
seringkali mengurangi waktu tidur.
7. Dewasa muda
Kebanyakan dewasa muda tidur malam hari rata-rata 6 sampai 8½ jam, tetapi hal
ini bervariasi. Dewasa muda jarang sekali tidur siang. Dewasa muda yang sehat
membutuhkan cukup tidur untuk berpartisipasi dalam kesibukan aktivitas yang
mengisi hari-hari mereka, akan tetapi adalah hal yang umum untuk tututan gaya hidup
seperti stres pekerjaan, hubungan keluarga dan aktivitas sosial dapat mengarah pada
insomnia.
8. Dewasa tengah
Selama masa dewasa tengah total waktu yang digunakan untuk tidur malam hari
mulai menurun. Jumlah tidur tahap 4 mulai menurun, suatu penurunan yang berlanjut
dengan bertambahnya usia.
9. Lansia
Jumlah tidur total tidak berubah sesuai pertambahan usia. Akan tetapi kualitas
tidur kelihatan menjadi berupa pada kebanyakan lansia. Keragaman dalam perilaku
tidur lansia adalah umum. Keluhan tetang kesulitan tidur waktu malam seringkali
terjadi di antara lansia dan seringkali diakibatkan keberadaan penyakit kronik.
29
Perry & Potter (2012) menjelaskan bahwa ada sejumlah faktor dapat mempengaruhi
kuantitas dan kualitas tidur. Seringkali faktor tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah
tidur. Faktor fisiologis, psikologis dan lingkungan. dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur.
Berikut ini beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur. :
1. Faktor fisik
Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan atau masalah suasana
hati, seperti kecemasan atau depresi dapat menyebabkan masalah tidur. Penyakit
pernapasan, penyakit jantung dapat menjadi penyebab menurunnya kualitas tidur
selain itu, hipertensi seringkali menyebabkan terbangun pada malam hari dan
kelemahan. Hipotiroidisme menurunkan tidur tahap 4, sebaliknya hipertiroidisme
menyebabkan seseorang perlu waktu yang 37 banyak untuk tertidur. Nokturia atau
berkemih pada malam hari juga dapat mengganggu kualitas tidur seperti pada
penyakit diabetes mellitus.
3. Gaya hidup
Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur. individu yang bekerja
bergantian berputar seringkali mempunyai kesulitan menyesuaikan perubahan jadwal
tidur jam internal tubuh diatur pukul 22, tetapi sebaliknya jadwal kerja memaksa
untuk tidur pukul 9 pagi. Individu mampu untuk tidur hanya selama 3-4 jam karena
jam tubuh mempersepsikan bahwa ini adalah waktu terbangun dan aktif. Kesulitan
mempertahankan kesadaran selama waktu kerja menyebabkan penurunan dan bahkan
penampilan yangberbahaya Setelah beberapa minggu kerja pada dinas malam hari,
jam biologis seseorang biasanya dapat menyesuaikan Perubahan lain dalam rutinitas
yang mengganggu pola tidur meliputi kerja berat yang tidak biasanya, terlibat dalam
aktivitas sosial pada laurt malam dan perubahan waktu makan malam.
30
4. Mengantuk yang berlebihan pada siang hari (EDS)
EDS seringkali menyebabkan kerusakan pada fungsi terjaga, penampilan kerja
atau sekolah yang buruk, kecelakaan saat mengemudi atau menggunakan 38 peralatan
dan masalah perilaku atau emosional. Mengantuk menjadi patologis ketika
mengantuk terjadi pada waktu ketika individu harus atau ingin terjaga.
5. Stres emosional
Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur. Stres
emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi
apabila tidak tidur. stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk
tertidur, sering terbangun selama siklus tidur atau terlalu banyak tidur. stres yang
berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk.
6. Lingkungan
Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada kemampuan
untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik adalah esensial unbtuk tidur yang
tenang. Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur
tempat tidur rumah sakit seringkali lebih keras daripada di rumah. Suara juga
mempengaruhi tidur tingkat suara yang diperlukan untuk membangunkan orang
tergantung pada tahap tidur. Di rumah sakit dan fasilitas rawat inap lainnya suara
menciptakan masalah bagi klien. Suara di rumah sakit biasanya baru atau asing
sehingga klien menjadi terbangun. Tingkat cahaya juga dapat mempengaruhi
kemampuan untuk tidur.
31
meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur. hal ini dapat menjadi masalah yang
umum bagi anak sekolah dan remaja.
Beberapa faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur menurut Black & Hawks
(2014) adalah sebagai berikut:
1. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Ketidakseimbangan neurotransmitter cenderung mengakibatkan klien mengalami
gangguan pola tidur ketidakseimbangan ini mungkin terkait penyakit atau akibat obat.
Setidaknya 90% individu yang mengalami dirprest juga mengalami gangguan tidur
depresi yang lebih berat ditandai dengan tidak efektifnya tidur dan terbangun pada
dini hari. Ketidakseimbangan neurotransmitter juga dapat berkontribusi terhadap
gangguan tidur yang sering terlihat pada penyalit Alzheimer dan demensia jenis lain.
2. Cidera otak
Seluruh tingkat keparahan cidera otak dapat mempengaruhi pola tidur. bahkan
cidera otak ringan beberapa tingkat gangguan tidur dapat terjadi selama beberapa
bulan.
3. Ketidakseimbangan hormonal
32
Ketidakseimbangan hormonal juga mempengaruhi gangguan pola tidur klien
dengan hipertiroidisme cenderung memiliki tidur yang terpotong-potong, dengan
periode yang singkat disertai tidur gelombang lambat yang berlebihan. Klien dengan
diabetes mellitus dapat mengalami hipoglikemia di malam hari. Selain manifestasi
klinis yang biasa seperti berkeringat, palpitasi, lapar dan ansietas yang mungkin akan
dikenali klien sebagai reaksi hipoglikemia.
4. Gangguan pernapasan
Keterbatasan jalan napas kronis seperti asma dan emfisema menyebabkan
kesulitan memulai tidur, sering terbangun dengan disertai kesulitan napas atau
terbatuk, dan keletihan kronis. Saturasi oksigen dapat menurun tajam, terutama
selama tidur REM, ketika ventilasi bergantung pada diagragma, yang seringkali tidak
memadai dan tidak efisien pada klien dengan keterbatasan aliran udara kronis tahap
lanjut. Selain itu, terdapat gangguan ventilasi dan perfusi. Disrumia umumnya terjadi
saat tidur pada klien dengan penyakit pernapasan tahap lanjut, terutama ketika
saturasi oksigen menurun di bawah 60% Tekanan arteri pulmonal meningkat sebagai
akibat konstriksi pembuluh darah pulmonal yang diakibatkan rendahnya saturasi
oksigen dan proses destruktif oleh penyakit yang menyebabkan kondisi tersebut.
5. Gangguan kardiovaskuler
Telah diketahui bahwa hingga 25% individu dengan hipertensi juga mengalami
obstructive sleep syndrome (OSAS) (Sindrom apnea tidur obstruktif/mendengkur).
Hubungan antara mendengkur dan hipertensi juga telah didokumentasikan Pada klien
dengan gagal jantung berat, periode pernapasan cheyne-stokes mungkin terjadi. Pola
ini dapat mengakibatkan hipoksemia yang signifikan, sering terbangun, peningkatan
tidur tahap 1 dan penurunan waktu total tidur.
6. Gangguan gastrointestinal
Sekresi asam lambung biasanya menurun selama tidur, namun individu dengan
ulkus duodenum memiliki tingkat sekresi yang lebih tinggi daripada kadar normal.
Berulangkali terbangun dengan disertai nyeri epigastrik sering terjadi, terutama pada
33
4 jam pertama setelah onset tidur. Penyakit gastroesofageal reflux disease (GERD)
dapat berkembang menjadi lebih serius saat terjadi waktu tidur karena semakin lama
esophagus terpapar oleh asam lambung dapat mengakibatkan esofagitis.
Menurut Black & Hakws (2014) gangguan tidur secara umum dibagi menjadi dua
kategori, yaitu disomnia dan parasomnia.
1. Dismonia
Dismonia termasuk gangguan tidur yang dikarakterisasi dengan kesulitan tertidur
atau mempertahankan tidur (insomnia) atau dengan rasa ngantuk yang berlebihan
(narkolepsi).
a. Insomnia
Sebagian besar individu mengalami periode peralihan dimana
mereka memiliki kesulitan untuk tertidur atau mempertahankan kondisi
tidur onset atau eksaserbasi dari penyakit, dengan atau tanpa rawat inap
mungkin memicu kesulitan-kesulitan tersebut. Gangguan pola tidur ini
seringkali diasosiasikan dengan gangguan kebiasaan tidur atau kebiasaan
tidur yang tidak konsisten atau gangguan lingkungan (Black & Hawks,
2014).
Insomnia adalah gejala yang dialami oleh klien yang mengalami
kesulitan tidur kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur dan/atau
tidur singkat atau tidur nonrestoratif. Penderita insomnia mengeluhkan
rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan kuantitas dan kualitas
tidurnya tidak cukup. Namun seringkali klien tidur lebih banyak dari yang
disadarinya. Insomnia dapat menandakan adanya gangguan fisik atau
psikologis. Seseorang dapat mengalami insomnia transient akibat stres
situasional seperti masalah keluarga, kerja atau seolah, penyakit atau
kehilangan orang yang dicintai. Kasus insomnia temporer akibat situasi
stres dapat menyebabkan kesulitan kronik untuk mendapatkan tidur yang
cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran dan kecematan yang
34
terjadi untuk mendapatkan tidur yang adekuat tersebut (Perry & Potter,
2012).
b. Narkolepsi
Narkolepsi merupakan salah satu gangguan yang ditandai dengan
jumlah tidur siang yang berlebih. Narkolepsi dianggap berkaitan dengan
malfungsi dari mekanisme kontrol tidur rapid eye movement (REM).
Gangguan pelepasan neurotransmitter seperti dopamine mungkin menjadi
fakto terjadinya narkolepsi dan depresi yang diasosiasikan dengan
gangguan tersebut. Manifestasi dari narkolepsi termasuk gangguan tidur di
malam hari dan episode berulang rasa mengantuk yang hampir tidak dapat
ditahan di siang hari diikuti oleh periode tidur sesaat di waktu yang tidak
tepat seperti ketika sedang di tengah-tengah percakapan atau ketika
menyetir atau makan (Black & Hawks, 2014),
Individu yang menderita narkolepsi dapat mengalami mimpi hidup
yang terjadi pada saat orang tersebut tertidur, mimpi yang sulit dibedakan
dari realita (disebut halusinasi hipnogik). Paralysis tidur, atau sebelum
terbangun atau tertidur, merupakan gejala yang lain (Perry & Potter,
2012).
c. Deprivasi tidur
Deprivasi tidur adalah masalah yang dihadapi banyak klien sebagai akibat
disomnia. Penyebabnya dapat mencakup penyakit, stres emosional, obat-
obatan, gangguan lingkungan dan keanekaragaman waktu tidur yang
terkait dengan waktu kerja. Dokter dan perawat cenderung mengalami
deprivasi tidur karena jadwal kerja yang panjang dan rotasi jam dinas
(Perry & Potter, 2012).
2. Parasomnia
Parasomnia adalah gangguan yang terjadi ketika tidur namun biasanya tidak
menyebabkan insomnia atau rasa mengantuk yang berlebihan. Mekanisme patologi
35
yang mendasari dapat meliputi bangun parsial atau abnormalitas dalam transisi tidur
bangun.
a. Gangguan bangun
Bangun parsial biasanya muncul selama tidur gelombang lambat.
Berjalan dalam tidur, atau dikenal juga dengan samnabulisme dapat
termasuk perilaku semi-purposeful, seperti berpakaian. Namun, perilaku
ini mungkin kurang dalamhal koordinasi dan kesesuaian seperti
kekosongan pada lemari, Berjalan dalam tidur biasanya merupakan
masalah pediatric, kejadian berjalan dalam tidur pada orang dewasa
seringkali dikaitkan dengan ansietas (Black & Hawks, 2014).
36
merupakan manifestasi klasik dari narkolepsi namun dapat juga terjadi
pada isolasi.
d. Parasomnia lain
Parasomnia lainnya tidak secara spesifik diasosiasikan dengan tahapan
tidur tertentu. Sleep bruxism merupakan aktivitas menggerakkan gigi
selama tidur, yang dapat mengarah kepada kerusakan gigi (Black &
Hawks, 2014).
Faktor stress dapat mempengaruhi kualitas tidur, dan kualitas tidur yang buruk
juga dapat berdampak pada stres. Seseorang yang mengalami stres sering terbangun
selama siklus tidur atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan
kebiasaan tidur yang buruk (Perry & Potter, 2012). Jika tidur rata rata dalam semalam 3-4
jam bahkan kurang, maka tingkat kekebalan tubuh akan menurun dan mudah mengalami
stres (Hawari, 2011). Respon saraf utama terhadap rangsangan stres adalah pengkatifan
menyeluruh sistem saraf simpatis Hipotalamus akan menolong untuk mempersiapkan
tubuh untuk fight to fight akibat rangsangan stres. Hal ini menyebabkan peningkatan
tekanan arteri, peningkatan aliran darah untuk mengaktifkan otot-otot bersamaan dengan
37
penurunan aliran darah ke organ-organ yang tidak diperlukan untuk aktivitas motorik
yang cepat, peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh, peningkatan
konsentrasi glukosa darah, peningkatan proses glikolisis di hati dan otot, peningkatan
kekuatan otot, peningkatan aktivitas mental dan peningkatan kecepatan koagulasi darah.
Perangsangan saraf simpatis yang menuju medulla adrenalis menyebabkan pelepasan
sejumlah besar epinephrine dan norepinephrine ke dalam darah sirkulasi, dan kedua
hormon ini kemudian dibawa dalam darah ke semua jaringan tubuh (Akmarawita, 2010)
38
2.2.10 Pengukuran Kualitas Tidur
PSQI terdiri 9 (sembilan) pertanyaan dan 10 sub pertanyaan yang terbagi dalam 7
(tujuh) komponen meliputi waktu yang diperlukan untuk dapat memulai tidur (sleep
latency), lamanya waktu tidur (sleep duration), prosentase antara waktu tidur dengan
waktu yang dihabiskan pasien di atas tempat tidur (sleep efficiency), gangguan tidur yang
sering dialami sewaktu malam hari (sleep disturbance), kebiasaan penggunaan obat-
obatan untuk membantu tidur, gangguan yang sering dialami saat siang hari dan
(subyective sleep quality) kualitas tidur secara subyektif. Total skor setiap komponen
akan menunjukkan kualitas tidur responden dimana jika total skor yang didapatkan "5"
atau lebih merupakan indikasi dari kualitas yang buruk atau semakin tinggi skor yang
didapatkan maka semakin buruk kualitas tidurnya (Buysse, 1989, dalam Arifin, 2011).
39
Selanjutnya sesudah tidur diperoleh kadar gula darah terendah 105 mg/dl, tertinggi 412
mg/dl, rata-rata 175 mg/dl. Pada hasil analisis terbukti ada hubungan antara insomnia
dengan peningkatan kadar gula darah puasa pada pasien DM di ruang rawat inap RSUD Dr.
Moewardi, dengan tingkat hubungan cukup kuat, dengan p-value sebesar 0,000 dan r
hitung sebesar 0,516.
Penelitian yang dilakukan oleh Najatullah (2015) menunjukkan bahwa responden dengan
kualitas tidur baik terdapat 13 (5.4%) mengalami kontrol glukosa darah baik, sedangkan 6
kontrol glukosa darah buruk terdapat 3 orang (10,6%) dari jumlah 16 responden yang
mempunyai kualitas tidur baik. Pada 50 responden dengan kualitas tidur buruk terdapat 8
orang (15,6%) yang memiliki kontrol glukosa darah baik, sedangkan kontrol glukosa darah
buruk terdapat 38 orang (30,4%) dari jumlah 46 responden yang mempunyai kualitas tidur
buruk Hasil uji statitik didapatkan p-value: 0,000, nilai tersebut menunjukan adanya
hubungan kualitas tidur dengan kontrol glukosa darah pasien diabetes mellitus tipe 2. Hasil
nilai OR 20,583 yang berarti bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan kualitas tidur
buruk mempunyai peluang 21 kali memiliki kontrol glukosa darah buruk dibandingkan
kualitas tidur baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Arifin (2011) menunjukkan bahwa rata-rata nilai kualitas
tidur pasien DM tipe 2 yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah 8.25 (95% CI:
7.79-8.71), dengan standar deviasi sebesar 2.280. Berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kualitas tidur dengan kadar glukosa
darah responden di Rumah Sakit Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan pola
hubungan yang positif (r = 0.277) dan nilai p-value (p = 0.006). Hal tersebut menunjukkan
bahwa semakin tinggi skor Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) maka semakin tinggi
kadar glukosa darah puasa.
40
Gambar 2.1 kerangka teori
(diabetes melitus)
Faktor resiko tidak
dapat diubah :
Riwayat keluarga
(gen)
Usia
Jenis kelamin
Kualitas tidur
Etnik
Faktor psikologi :
Stress
Cemas
depresi
(Sumber: Nabyl, 2014., Black & Hawks, 2014., Perry & Potter, 2012).
41
2.5 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antar konsep-
konsep atau variable yang diambil (diukur) melalui penelitian - penelitian yang dilakukan
(Notoatmojo, 2010). Kerangka konsep pada penelitian ini sebagai berikut:
Independen Dependen
2.6 Hipotesis
Dari kerangka konsep di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
Ha : Ada hubungan kualitas tidur dengan kadar glukosa darah pada penderita diabetes
mellitus tipe 2 di RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung tahun 2022
42
BAB III
METODE PENELITIAN
43
selama 2 bulan dengan rata-rata perbulan adalah 41 pasien sehingga jumlah populasi
yang ada ± 82 orang
3.4.2 Sampel
Menurut Arikunto (2006) Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.
Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan rumus Slovin yang disampaikan
oleh Notoatmodjo (2012), sebagai berikut
n= N
1+N(d²)
n = besar sampel
N = besa populasi
82 82
1=82(0,05)² 1,025
Kriteria inklusi
a. Seorang Bersedia menjadi responden
b. Penderita diabetes tipe 2
c. Mampu membaca dan menulis
44
d. Pasien dengan kesadaran pewah
Kriteria eksklusi
a. Penderita DM tipe I
b. Penderita DM dengan komplikasi stroke
45
Tabel 3.1
Definisi operasional
46
dihabiskan pasien di atas tempat tidur (sleep efficiency). gangguan tidur yang sering dialami
sewaktu malam hari (sleep disturbance), kebiasaan penggunaan obat-obatan untuk membantu
tidur, gangguan yang sering dialami saat siang hari dan (subyective sleep quality) kualitas
tidur secara subyektif. Total skor setiap komponen akan menunjukkan kualitas tidur
responden dimana jika total skor yang didapatkan "5" atau lebih merupakan indikasi dari
kualitas yang buruk atau semakin tinggi skor yang didapatkan maka semakin buruk kualitas
tidurnya. Nomor pertanyaan masing-masing komponen dapat dilihat dalam tabel 3.2.
Tabel 3.2
sebagai berikut:
Mengajukan permohonan izin pra survey dan survey dalam pelaksanaan penelitian
kepada institusi terkait yang digunakan peneliti sebagai lokasi penelitian. Setelah
mendapat rekomendasi pelaksanaan penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas
Malahayati dan izin dari RS Pertamina Bintang Amin kota Bandar lampung peneliti
melaksanakan pengumpulan data penelitian.
47
Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat, prosedur
pengumpulan data serta menanyakan kesediaan calon responden Bagi calon yang
bersedia menjadi responden, peneliti memberikan informed consent dan responden
diminta untuk menandatanganinya. Selain itu, responden juga diminta untuk mengisi data
diri sebagai gambaran karakteristik responden.
Peneliti melakukan pengukuran kualitas tidur dengan memberikan kuesioner yang telah
disedikan dan melakukan pencatatan hasil pengukuran kadar gula darah puasa terakhir
yang ada pada list pasien.
Setelah hasil pengukuran didapatkan selanjutnya dilakukan pengolahan data.
Analisis univariat dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan rata-rata kualitas
tidur dan kadar glukosa darah pasien diabetes mellitus serta untuk mengetahui presentase dari
karakteristik responden
48
3.9.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan
dependen. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kedua variabel maka dalam
penelitian ini jika data berdistribusi normal maka akan digunakan uji statistik parametrik Pearson
Product Moment. Jika data tidak berdistribusi normal maka sebagai alternatif akan dilakukan uji
statistik nonparametrik menggunakan uji Rank spearman (Rho). Derajat kemaknaan yang
digunakan 95% dan tingkat kesalahan (a)- 5%. Analisa data akan dilakukan menggunakan
komputer dengan kriteria hasil:
a. Jika p value < nilai a (0,05) atau Thitung 2 Tubel, maka Ho ditolak (ada
hubungan).
b. Jika p value> nilai a (0,05), atau fungFubel Ho gagal ditolak (tidak ada hubungan)
Tabel 3.3
49