Panas,berdebu,dan tanpa masker itulah yang dialami tukang sapu
jalanan di sekitar monas saat siang hari. Realita ini tergambar bagi para pekerja wanita yang memakai seragam oranye dengan di belakang bajunya tampak tulisan “Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Depok”. Di waktu istirahat, mereka menyempatkan waktunya untuk bercanda gurau dengan rekan-rekannya yang lain sambil menyeruput es kelapa muda menikmati rutinitas yang selalu menyeka keringat dan membuat kulit terbakar. Hampir setiap waktu istirahat, para tukang sapu ini ada di sekitar monas sambil menunggu untuk bergerak menyapu jalanan sepanjang monas. “Beginilah de, kerjaan kami benar-benar mengeluarkan keringat dibandingkan dengan PNS yang di kantor itu. Kebanyakan istirahat sambil nonton tivinya daripada bekerja, suka keluyuran di jam kerja Mending kami de”. Penilaian yang diucapkan oleh salah seorang wanita penyapu jalanan ini yang bernama Ratih, menunjukkan keprihatinan akan arti dari sebuah tanggung jawab. Status para PNS yang bekerja di kantor-kantor pemerintahan itu tidak berbeda dengan para tukang sapu ini, mereka sama-sama bekerja di bawah naungan pemerintah. Walaupun mereka hanya berpredikat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, pekerjaan yang mereka lakukan justru jauh lebih bermanfaat dibandingkan mereka-mereka yang berstatus PNS yang tidak memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Kerap kali media menyoroti mereka yang suka membolos dan di waktu jam bekerja mereka, keluyuran. Lebih bermanfaat pekerjaan tukang sapu ini kan? Di waktu istirahat ini, para tukang sapu bercerita kepada saya tentang ketidakpedulian Pemeritah Daerah setempat kepada mereka padahal mereka berada di ibukota. Mereka tidak mendapatkan fasilitas uang makan ataupun uang jajan, pekerjaan mereka yang mengeluarkan keringat ini semakin berat lagi dengan pengeluaran uang pribadi mereka untuk makan dan minum di saat istirahat. Padahal kalau dihitung-dihitung antara upah mereka dengan kebutuhan hidup yang digunakan tidak cukup dan ketika saya bertanya dia sudah mengemukakan pendapat ke pemerintah setempat apa belum Bu Ratih hanya menjawab “ya kit amah hanya penyapu jalan dek, mana mungkin di dengar” Apa susahnya jika menjawab pergumulan para tukang sapu ini? Keluh kesah mereka merupakan salah satu bentuk Pemda tidak menghargai kebersihan, kenapa? Sebagai salah satu faktor kebersihan sebuah kota, para penyapu jalanan ini berhak mendapatkan apa yang sepantasnya mereka dapatkan. Bekerja dan mengabdi pada masyarakat untuk memperindah mata dari sampah-sampah yang berserakan. Mereka inilah salah satu faktornya. Apakah salah jika mereka meminta jawaban dari apa yang mereka harapkan? Ada sebuah cerita dari wanita ini, ketika ini meminta uang makannya diganti pengawas ini malah mengoper ke pengawas yang lain. Dan tetap saja, dioper-oper.Padahal pengawas-pengawas ini seringkali berputar-putar untuk mengontrol para penyapu jalanan ini, tapi ironis pengawas-pengawas ini seperti seorang intel yang memata- mata saja. Bukan untuk memperhatikan apa yang terjadi disaat mereka menyapu jalanan malah hanya memerhatikan apa mereka bekerja atau tidak. Apa hanya ini saja tugas para pengawas. Jika hanya memerhatikan mereka bekerja atau tidak, taubahnya para penyapu jalanan ini layaknya hanya mesin produksi yang dipaksa untuk terus berproduksi terus menerus, tanpa memerhatikan apakah mesin ini masih dalam kondisi layak atau tidak. Jam kerja para penyapu jalanan ini semakin berat disaat hari libur karena para pengunjung bertambah banyak, menambah mereka semakin sering mondar-mandir untuk menyapunya. Pola membuang sampah sembarangan pun, menjadi tradisi masyarakat yang kurang bisa menghargai kebersihan. Saya bercoba berandai-andai jika masyarakat sadar akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya dan bisa menjaga kebersihan dengan baik. Indonesia pasti bisa menjadi seperti Singapura di mana walapun hanya kota kecil, Singapura nyaman dan enak untuk dipandang untuk mata. Tidak hanya disaat peraihan Piala Adipura saja, banyak kota-kota berlomba-lomba untuk memenangkannya, sama seperti Kota Depok. Mengejar-ngejar Piala Adipura itu dengan banyak hal, termasuk mengintensifkan para penyapu jalanan tanpa memperhatikan apa sebenarnya keluhan yang mereka alami.