Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang Undang-Undang Minerba

Mineral dan batubara merupakan sumber daya alam tak terbarukan yang mempunyai peranan penting
dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah secara nyata bagi
perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Kegiatan usaha penambangan mineral dan batubara yang mengandung nilai ekonomi dimulai sejak
adanya usaha untuk mengetahui posisi, area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari lahan yang
mengandung mineral dan batubara. Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses eksploitasi
(produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi
sehingga akan terbuka persaingan usaha di dalam rangkaian industri tersebut.

Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat
modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha
pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan
bahan galian.

Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara tersebut maka diperlukan
kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara. Tahun 2009
merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba),
menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (UU No.11 Tahun 1967). Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem
kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam
posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di
industri pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro dan kontra.
Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebut
tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang pertambangan mineral dan
batubara dan memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu.

Pada tahun 2009 DPR telah mengsahkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (UU Minerba), yang merupakan revisi dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-
Pokok Pertambangan. Revisi dilakukan, terutama untuk mengembalikan fungsi dan kewenangan negara
terhadap penguasaan sumber daya alam yang dimiliki, dan diharapkan dapat membawa perbaikan
dalam pengelolaan sektor pertambangan di Tanah Air. Dengan demikikian amanat Pancasila dan UUD
1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, benar-benar
dapat diwujudkan.

Jika dibandingkan dengan UU No 11 tahun 1967, UU Minerba memang telah memuat beberapa
perbaikan yang cukup mendasar. Yang paling penting di antaranya, adalah ditiadakannya sistem kontrak
karya bagi pengusahaan pertambangan yang digantikan dengan sistem izin usaha pertambangan (IUP).
UU Minerba juga mengakomodasi kepentingan daerah, dengan memberikan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk dapat menjalankan fungsi perencanaan, pembatasan luas wilayah dan jangka
waktu izin usaha pertambangan.

Namun demikian, meski telah memuat beberapa pasal perbaikan, UU Minerba dinilai belum mengatur
secara lebih detail hal-hal yang berkaitan dengan kejelasan arah perencanaan, pengelolaan, kebijakan,
dan strategi pertambangan nasional yang akan dituju.

Dalam banyak aspek, UU Minerba cenderung masih memuat ketentuan yang bersifat sangat umum
sehingga tidak bisa operasional, serta pengaturan pelaksanaannya banyak diserahkan kepada
Pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP) dan peraturan daerah (Perda). Sebagai contoh, dari 175
pasal yang terdapat dalam UU Minerba, setidaknya terdapat 22 pasal yang peraturan pelaksanaannya
diserahkan kepada Pemeirntah (PP), dan 3 pasal oleh pemerintah daerah (Perda). Dengan kondisi UU
seperti itu, maka bagaimana arah dan gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih
pasti masih sangat bergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan pengambil kebijakan pada saat PP
dan Perda tersebut dibuat.

Selain belum mampu memberikan gambaran tentang arah dan strategi pertambangan nasional ke
depan, juga ada beberapa kelemahan dalam UU Minerba yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
Jika kelemahan tersebut tidak diperbaiki dikhawatirkan UU Minerba ini justru berpotensi semakin
memperberat permasalahan sektor pertambangan di masa mendatang.

Beberapa kelemahan itu antara lain, pertama, tidak adanya norma yang mengatur adanya kewajiban
memasok kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). UU Minerba tidak mengaturnya
secara tegas dan eksplisit, sehingga terjadi kasus pembangkit listrik PLN tidak mendapatkan pasokan
batu bara pada saat pertumbuhan produksi batu bara begitu besar. Kasus seperti ini sangat mungkin
terulang kembali pada masa mendatang.

Kedua, menyangkut tidak jelasnya besaran penerimaan negara dari pajak dan nonpajak dari sektor
pengusahaan Minerba. Ketidakjelasan ini berpotensi menjadikan tidak optimalnya penerimaan Negara
dari pajak dan nonpajak Minerba, bahkan kalau tidak dilakukan kontrol yang ketat akan merugikan
penerimaan Negara. UU Minerba tidak mengatur secara tegas tentang hal ini dan menyerahkan
pengaturannya kepada peraturan pelaksanaannya di bawah UU.

Ketiga, diberikannya kewenangan pemberian IUP kepada pemerintah daerah tanpa disertai kesiapan
kerangka acuan tentang strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas. Hal ini menyebabkan
makin tidak terkontrolnya pengelolaan dan eksploitasi pertambangan di daerah-daerah. Berdasarkan
data, semenjak digulirkanya otonomi daerah, tidak kurang dari 3.000 izin dan kuasa pertambangan telah
diterbitkan oleh pemerintah daerah, tanpa kontrol dan pengawasan yang memadai. Keempat, UU
Minerba juga tidak mampu 'mengintervensi' dan memperbaiki kontrak-kontrak pertambangan yang
telah ada selama ini. Pasal 169 (a) UU Minerba menyebutkan bahwa kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap
diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian.
Terkait dengan beberapa kekurangan UU Minerba, maka dipandang mendesak dilakukan perbaikan UU
ini sehingga ada arah, kebijakan, dan strategi sektor pertambangan nasional yang jelas dan terukur.

Paper ini akan merupakan analisa ringkas dari UU Minerba dari sudut pandang aspek sosiologis, yuridis
dan filosofis.

B. Analisis Undang-Undang Minerba

Sebelum menganalisa terhadap Undang - undang, ada baiknya kita perlu mengetahui terlebih dahulu
mengenai apa itu undang – undang beserta penjelasan yang lain.

Undang – undang merupakan peraturan – peraturan tertulis yang dibuat oleh alat perlengkapan negara
yang berwenang dan bersifat mengikat setiap orang selaku warga negara. Undang – undang dapat
berlaku didalam masyarakat jika telah memenuhi persyaratan tertentu.

Dalam istilah hukum, Undang – undang dibedakan menjadi 2 ( dua ) jenis, yaitu :

a. UU dalam arti materiil

Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari isinya disebut UU dan mengikat orang secara
umum. Namun tidak semua UU dapat disebut dengan UU dalam arti materiil, karena ada UU yang hanya
khusus berlaku bagi sekelompok orang tertentu sehingga disebut dengan UU dalam arti formil saja.
Misalnya adalah UU No. 62 / 1968 tentang naturalisasi.

b. UU dalam arti formil

Bahwa setiap keputusan pemerintah yang dilihat dari segi bentuk dan cara terjadinya dilakukan secara
prosedur dan formal.

Asas hukum tentang berlakunya Undang – undang, yaitu :

a. UU tidak berlaku surut,

b. Asas lex superior derogat legi inferiori,

c. Asas lex posteriori derogat legi priori,

d. Asas lex specialis derogat legi generali.

Hasil analisa terhadap Undang - Undang ditinjau dari pertimbangan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis.
1. Tinjauan Landasan Aspek Sosiologis

[1]Aspek sosiologis adalah ketentuan yang terdapat pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan
keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Ketentuan tersebut penting agar peraturan yang
dibuat ditaati oleh masyarakat. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan “hukum yang hidup” (living
law) dalam masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 (Bagian Konsideran) dapat dikaji menurut tinjauan
landasan aspek sosiologis, yaitu berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b UU
No. 4 Tahun 2009 bahwa kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan
usaha pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai peranan
penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan
pembangunan daerah secara berkelanjutan.

Analisis : Bahwa keyakinan masyarakat akan pentingnya kemanfaatan sumber daya mineral dan batu
bara sebagai alat yang menunjang perekonomian serta pembangunan berkelanjutan daerah maupun
secara skala nasional. Kesadaran masyarakat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang dimana
banyak terjadi konflik-konflik mengenai mengeksploitasian mineral dan batubara. Permasalahan
investor dan rakyat menjadikan problem utama yang harus dicari jalan keluar. Faktanya, konflik antara
pemodal dan rakyat terjadi dalam aktivitas pertambangan tersebut. Kasus Freeport (Papua), Newmont
(Sumbawa dan Sulawesi) serta PT SMN (Bima) merupakan konflik yang melibatkan korporasi tambang
mineral. Sedangkan kasus pencemaran lingkungan dan perampasan tanah ulayat suku Dayak oleh Adaro
dan Kideco Jaya Agung di Kalimantan adalah konflik yang terjadi dalam industri pertambangan
batubara.

Di hampir semua konflik, posisi rakyat selalu berada pada pihak yang terkalahkan. Salah satu sebabnya
adalah keberpihakan aparat negara, baik pemerintah pusat, daerah, kepolisian maupun militer kepada
korporasi. Hal ini disebabkan juga oleh rancunya UU Minerba yang berlaku saat ini. Kerancuan itu dapat
kita pahami, bila kita meninjau latar belakang kelahiran UU ini secara seksama. Dengan memberi
pertimbangan seperti yang tercantum di atas, diharapkan segenap pelaku yang terlibat dapat menaati
peraturan tersebut. Sehingga landasan sosiologis yang dicantumkan ini akan menjadi suatu dinamic
recht dan bukan moment opname. Dengan demikian Undang-undang yang bersangkutan akan berlaku
efektif dan mengatur serta membatasi perilaku manusia dalam memperlakukan sumber daya mineral
yang tersedia.

2. Tinjauan Landasan Yuridis

[2]Landasan yuridis adalah landasan yuridis (yuridische gelding) yang menjadi dasar kewenangan
(bevoegddheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Selain menentukan dasar
kewenangan landasan hukum juga merupakan dasar keberadaan atau pengakuan dari suatu jenis
peratyuran perundang-undangan atau yang disebut landasan yuridis materil. Landasan yuridis material
menunjuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu peraturan perundang-
undangan tertentu. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan karena akan menujukkan:

• Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap peraturan


perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang.

• Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang
diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau
sederajat.

• Keharusan mengikuti tata cara tertentu. Apabila taat cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundang-
undangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan hukum mengikat.

• Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi


tingkatannya. Suatu undang-undangan tiddak boleh mengandung kaidah yang bertentangan dengan
UUD . Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan perundang-undangan tingkat lebih bawah.

Pertimbangan yang masuk landasan yuridis antara lain :

a. Bahwa dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai
lagi sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral
dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri,
andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan
nasional secara berkelanjutan. Analisis : Sebagai dasar yuridis bahwa artinya UU Nomor 11 Tahun 1967
sudah tidak memenuhi kebutuhan yang ada. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang
tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi
sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional.
Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi
yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan
teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan
masyarakat. Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah permasalahan
tersebut, perlu disusun peraturan perundang-undangan baru di bidang pertambangan mineral dan
batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan
kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara. Posisi negara
yang lemah dalam UU No.11/1967 inilah yang berusaha untuk dirubah oleh pemerintah dan DPR melalui
UU No.4/2009 tentang Minerba tersebut. Maka, dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata
kelola industri tambang nasional. Perubahan itu terjadi dari rezim kontrak/perjanjian kepada rezim
perizinan. Sehingga istilah-istilah seperti KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Pada pasal 36 UU Minerba, disebutkan bila IUP terdiri atas dua tahap, yakni IUP Eksplorasi
(penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan) dan IUP Operasi Produksi (konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan).

b. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Analisis : Bahwa dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 menyatakan
Presiden RI memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang. Maka dalam Undang-undang nomor
7 Tahun 2004 yang disahkan dengan tanda tangan dari Presiden Republik Indonesia, maka sebagai
landasan yuridis peraturan yang bersangkutan menjadi memiliki legalitas untuk dibenarkan dan
diaplikasikan. Begitu pula Pasal 20 dan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Menjadi dasar dibentuknya Undang-Undang nomor 4 Tahun 2009
tentang mineral dan batu bara.

3. Tinjauan landasan Filosofis

Yang dimaksud landasan filosofis adalah filsafat atau pandangan hidup sesuatu bangsa tiada lain berisi
nilai-nilai moral atau etika dari bangsa tersebut. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang
baik dan yang tidak baik. Adapun jenis filsafat hidup bangsa, harus menjadi rujukan dalam membentuk
hukum yang akan dipergunakan dalam kehidupan bangsa tersebut. Oleh karena itu kaidah hukum yang
dibentuk (yang termuat dalam peraturan perundang-undangan) harus mencerminkan filsafat hidup
bangsa itu. Sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral bangsa.

Termasuk dalam landasan Filosofis UU No 4 Tahun 2009 yaitu bahwa mineral dan batubara yang
terkandung dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup
orang banyak, karena itu pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk memberi nilai tambah
secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
secara berkeadilan. Analisis : Bahwa sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang ini
dipergunkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil. Atas penguasaan mineral dan
batubara tersebut diharapkan dapat memenuhi hajat hidup orang banyak dan memakmurkan daerah
yang menjadikan pertambangan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Wilayah
mineral dan wilayah pertambangan tak semua dapat mencakup wilayah luas Negara Indonesia yang
diharapkan daerah yang mengelola tidak memecah belah demi keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh karena itu menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945 segala penguasaan kekayaan alam bumi,
air yang terkadung didalam bumi dikelola oleh negara. Perhatian kita tertuju pada pemberian Tuhan
Yang Maha Esa dimana material bahan tak terbarukan dapat terdapat di wilayah Indonesia yang dapat
memenuhi hajat orang hidup banyak yang diwujudakan dan dikelola secara baik oleh pemerintah dan
masyarakat sehingga mewujudkan masyarakat yang sejahtera.
[1] Rosjidi, Ranggawidjaja.1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Penerbit
Mandar Maju. Halaman 44

[2] Ibid

Anda mungkin juga menyukai