Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Tantangan dan isu kritis di wilayah Provinsi DKI Jakarta salah satunya adalah

pemenuhan hak-hak anak. Dalam hukum internasional, terdapat kurang lebih 31 hak anak

yang harus terpenuhi dan menjadi urusan wajib bagi negara, agar anak dapat tumbuh dan

berkembang menjadi generasi penerus bangsa dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah menggulirkan apa yang disebut dengan

Kota Layak Anak (KLA). Perencanaan Kota/Kabupaten Layak Anak (KLA) adalah salah

satu upaya pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam memenuhi hak-hak anak yang juga

merupakan bagian dari komunitas. Sehingga sangat penting untuk direncanakan, mengingat

belum ada kota di Indonesia yang sudah benar-benar mencerminkan konsep Kota Layak

Anak.

Kota layak anak menjadi salah satu program strategis dalam

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi

DKI Jakarta 2013-2017. Berdasarkan keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan

dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2010 tentang Penunjukan dan

penetapan 10 Provinsi untuk mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak, Provinsi DKI

Jakarta termasuk dalam salah satu provinsi yang ditunjuk untuk mengembangkan Kota

Layak Anak bersama dengan 38 Kabupaten/Kota lain di Indonesia.

Kota Administrasi Jakarta Selatan telah ditetapkan sebagai

salah satu wilayah pengembangan kota layak anak oleh

Pemprov DKI Jakarta melalui Keputusan Gubernur Provinsi


DKI Jakarta Nomor 394 Tahun 2011. Salah satu indikator dari Kota Layak Anak adalah

tersedianya ruang interaksi publik yang memadai bagi anak. Oleh karena itu, saat ini

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan perubahan besar dalam hal penyediaan

ruang publik yang bisa dilihat dengan pembangunan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak

(RPTRA).

Pembangunan RPTRA ini dimaksudkan dalam rangka mewujudkan komitmen

Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk menjamin terpenuhinya hak anak

agar anak dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat dan juga sebagai upaya mendukung DKI Jakarta menjadi Kota Layak

Anak.

Sesuai dengan namanya, “Ramah Anak” di RPTRA ada sarana bermain anak-anak

yang ramah anak-anak. Selain itu RPTRA juga menyediakan tempat untuk berolahraga

seperti lapangan futsal, badminton, jogging track, batuan refleksi, sampai perpustakaan

tempat membaca.

Tak hanya itu di RPTRA juga di ajarkan berhitung, menulis dan membaca oleh

pengelola RPTRA atau mahasiswa yang datang untuk mengajar, tak hanya pelajaran

sekolah, mereka juga diajari agar mereka lebih baik soal kelakuan, dimulai dari tidak

membuang sampah sembarangan, sampai dengan cara bicara yang baik, serta banyak ragam

hal positif lainnya.

Selain anak-anak juga terdapat sejumlah ibu-ibu yang sedang diajar atau dilatih cara

membuat kue, kerajinan tangan dan belajar membuat paket hantaran seserahan. Sampai

dengan pelatihan pemadam kebakaran dan parenting pun tersedia di RPTRA.


Namun di masa pandemi COVID-19 ini membuat RPTRA di Jakarta ditutup

sementara untuk cegah Corona. Hal ini sedikit menghambat ruang bebas warga ketika

berada disana, yaitu diharuskan menaati protokol kesehatan (Prokes) yang berlaku saat ini.

RPTRA tetap buka hanya saja hanya kapasitas 50% dan ada syarat ketentuan berlaku seperti

batas umur yang boleh masuk diatas 9 tahun dan dibawah 55 tahun. permainan ayunan,

perosotan, jungkat-jungkit dan lainnya tidak boleh, adapun kegiatan yang dilakukan

dikawasan indoor semua tidak boleh dan masih banyak peraturan lainnya. Hanya boleh

berolahraga, dengan menerapkan 5 M, tidak boleh lebih dari 5 orang atau berkerumun, dan

hanya maksimal 1 jam saat berkunjung. Dengan menerapkan 5 M, yaitu memakai masker,

mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, menghindari menyentuh area

bagian wajah membuat kita terhindar dari persebaran virus corona yang sedang melanda,

serta menjaga kebersihan tempat tinggal dan tubuh selalu, menjaga daya tahan immune

tubuh agar selalu fit membuat kita terhindar dari virus ataupun penyakit lainnya.

Namun pandemi Covid-19 bukan berarti pengelola mati suri, kreatifitas tetap di

tuntut agar dapat memotivasi pengelola RPTRA dalam bekerja. Untuk itu pengelola RPTRA

mensiasatinya dengan membuat kegiatan yang tidak mengundang kerumunan orang banyak

seperti berkebun, peremajaan tanaman hias, budidaya ikan lele dalam ember,

pembudidayaan maggot dan membuat pakan ikan dari bahan maggot sampai hasil kebun di

jadikan jus buah yang hasilnya semua dapat di jual untuk modal kembali.

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengangkat judul : “Pengaruh

Kreatifitas Kerja dan Motivasi terhadap Produktifitas Kerja Pegawai Pengelola

Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kelurahan Jagakarsa.”


1.2. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang, permasalahan yang di rumuskan oleh

penulis adalah :

1. Kreatifitas apa saja yang dapat di ciptakan oleh pegawai pengelola RPTRA

2. Apa yang dapat memotivasi kerja pegawai RPTRA

3. Seberapa jauh pengaruh kreatifitas kerja dan motivasi terhadap produktifitas kerja

pegawai pengelola Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kelurahan

Jagakarsa.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui kreatifitas yang dapat diciptakan oleh pegawai pengelola RPTRA.

2. Mengetahui motivasi pegawai pengelola RPTRA dalam bekerja.

3. Mengetahui pengaruh kreatifitas kerja dan motivasi terhadap produktifitas kerja

pegawai pengelola RPTRA di Kelurahan Jagakarsa.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang di harapkan dari penelitian ini ada dua, yaitu :

1. Manfaat Akademis : hasil dari penelitian ini di harapkan dapat memperkaya

pengetahuan bidang Manajemen SDM, khususnya aspek SDM (pegawai pengelola

RPTRA) dalam hal menghasilkan produktifitas kerja yang efektif.


2. Manfaat Praktis : bagi Kelurahan Jagakarsa dapat menambah masukan bagi

perencanaan dalam membuat kebijaksanaan yang berkaitan dengan peningkatan

produktifitas kerja pegawai pengelola RPTRA


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Bertolak dari rumusan masalah pokok penelitian, maka pada bagian ini akan diuraikan hal-

hal sebagai berikut :

a. Kreatifitas

Seorang ahli Clarkl Monstakis dalam buku yang ditulis oleh Munandar terbitan tahun

1995, menjelaskan pengertian kreatifitas adalah pengalaman mengekspresikan dan

mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu antara hubungan diri sendiri,

alam, dan orang lain.

Pengertian kreatifitas pun dapat dimaknai suatu proses pemecahan masalah. Tak hanya

kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru, tetapi teknik kreatifitas sesungguhnya pasti

menggunakan metode baru juga.

Konsep kreativitas telah dirumuskan dalam berbagai cara dimana masing-masing

cara tersebut memiliki variasinya sendiri-sendiri. Dari sisi akar katanya, Prijosaksono dan

Sembel (2003: 78) mengatakan bahwa kreativitas itu berasal dari kata to create yang

artinya mencipta. Inilah sesungguhnya kuasa yang diberikan Tuhan (ingat bahwa we are

given the authority to use the power of God – kita diberikan wewenang untuk

menggunakan kuasa Tuhan). Kita diberikan kemampuan untuk mencipta, termasuk

menciptakan realitas baru dalam kehidupan kita.

Terkait dengan pandangan di atas, Campbell (1986: 12) memandang kreativitas

sebagai kegiatan yang mendatangkan hasil dengan kandungan ciri : (a) inovatif, belum

pernah ada, segar, menarik, aneh, mengejutkan, dan terobosan baru; serta (b) berguna,
lebih enak, lebih baik, lebih praktis, mempermudah, memperlancar, mendorong,

mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi

kesulitan, mendatangkan hasil lebih baik atau lebih banyak, dan (c) dapat dimengerti

dimana hasil yang sama dapat dibuat di lain waktu.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan Campbell di atas, Evans (1991: 12)

menyebut kreativitas sebagai ketrampilan untuk menentukan pilihan baru, melihat subjek

dari perspektif baru dan membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang telah

tercetak dalam pikiran. Setiap kreasi merupakan sebuah kombinasi baru dan ide-ide,

produksi-produksi, warna-warna, tekstur-tekstur, produksi baru yang inovatif, seni dan

literatur. Semua ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia.

Sementara itu, Too (1995: 13) melihat kreativitas sebagai sebuah konsep yang

berkaitan dengan kemajuan dan perkembangan, dimana kreativitas menurutnya merupakan

luapan cara berpikir yang tidak konvensional yang akan menuntun menuju lompatan besar

dalam pengetahuan dan aplikasinya. Berpikir kreatif membawa pada keseimbangan,

kedalaman, dan kepekaan dalam

pencarian intelektual.

Sejalan dengan keanekaragaman mengenai konsep kreativitas tersebut, Prather

(1996: 14) mengatakan bahwa kreativitas mempunyai kaitan dengan aktivitas

mengembangkan berbagai ide. Inovasi itu berkaitan dengan terlaksanakanya ide-ide di

dalam usaha yang bisa dilakukan dan berkembang karena budaya dan struktur yang

mendorong timbulnya kreativitas dalam organisasi. Ini berarti bahwa kreativitas

sebagaimana dikatakan oleh Luthans (2001: 377) dapat disebut sebagai sebuah fungsi dan

juga komponen pokok, keahlian khusus, keahlian berpikir kreatif dan motivasi. Keahlian
khusus terdiri dari ilmu pengetahuan, teknik, prosedural dan intelektual. Keahlian berpikir

kreatif menentukan bagaimana orang akan bersikap fleksibel dan imajinatif (berdaya cipta

yang mampu menangani masalah dan membuat keputusan secara efektif).

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas maka yang dimaksud dengan

kreativitas dalam studi ini adalah suatu proses dimana ide dicetuskan, dikembangkan, dan

diubah menjadi nilai. Kreativitas mengandung tujuan yang ingin dicapai orang dengan

inovasi dan semangat wirausaha. Indikator yang digunakan untuk melihat kreativitas dalam

studi ini mencakup (a) daya inovasi pegawai, (b) daya kreasi pegawai, dan (c) inisiatif

pegawai.

b. Motivasi

Motivasi Kerja adalah kemauan kerja yang timbul karena adanya dorongan dari dalam diri

karyawan sebagai hasil integrasi keseluruhan daripada kebutuhan pribadi, pengaruh lingkungan

fisik dan sosial dimana kekuatannya tergantung daripada proses pengintegrasian tersebut.

Motivasi kerja sangat dibutuhkan untuk meningkatkan suatu aktivitas kerja.

Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai sebagian besar

sangat bergantung kepada motivasi pegawai untuk melaksanakan pekerjaan yang diberikan

kepada mereka. Dengan motivasi kerja yang tinggi, seorang pekerja akan selalu berusaha

dengan gigih dan sepenuh hati serta sanggup mengerahkan seluruh kemampuannya agar

hasil yang terbaik dapat dicapai.

Motivasi tampaknya menjadi suatu kebutuhan umum, setiap orang ingin

mempunyai motivasi yang lebih besar tetapi mereka tidak sesungguhnya memahami arti

kata motivasi itu sendiri. Motivasi adalah keadaan kejiwaan dan sikap mental manusia

yang memberikan energi, mendorong kegiatan atau gerakan dan mengarah atau
menyalurkan perilaku ke arah mencapai kebutuhan yang memberi kepuasan atau

mengurangi ketidakseimbangan. Kebutuhan-kebutuhan itu timbul akibat dan hubungan

antar manusia yang terjadi di dalam proses produksi yaitu hubungan industrial. (Richard M

Steers dan Lynon W Poster, 1991 dalam Hamid, 2003: 196). Oleh karena itulah motivasi

dapat dipandang sebagai bagian integral dalam hubungan industrial (hubungan antara

manajemen dan pegawai) dalam rangka proses pembinaan, pengembangan, dan pengarahan

sumber daya manusia dalam suatu organisasi. Motivasi berkaitan erat dengan. kemampuan,

sehingga orang mengatakan ada kemampuan yang terkandung di dalam pribadi orang yang

penuh motivasi.

Motivasi kerja merupakan suatu dorongan kehendak yang mempengaruhi perilaku

tenaga kerja untuk berusaha sekuat tenaga agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan

hasil yang sebaik-baiknya, karena ada keyakinan bahwa keberhasilan dalam pekerjaan akan

mempunyai manfaat bagi dirinya. Orang yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi, akan

melakukan pekerjaannya dengan semangat yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan

produktivitas kerjanya.

Motivasi mendorong timbulnya kelakuan dan mempengaruhi serta merubah

kelakuan, sehingga motivasi berfungsi sebagai pendorong timbulnya kelakuan, pengarah

dan penggerak. Nilai dan motivasi dalam manajemen adalah menjadi tanggung jawab

manajer, agar proses manajemen dalam organisasi dapat berhasil dengan baik.

Keberhasilan ini bergantung pada usaha manajer sebagai pembangkit motivasi

bawahannya.

Selanjutnya Hamalik (1993: 71), menyatakan bahwa dalam manjemen modern

tingkah laku manusia didorong oleh motif-motif tertentu dan perbuatan bekerja akan
berhasil bila didasarkan pada motivasi yang ada. Selanjutnya dikatakan pula bahwa

manajer dapat mendelegasikan pekerjaan atau tugas kepada bawahannya, tetapi tidak

mungkin memaksakan untuk bekerja dalam arti sesungguhnya. Hal ini menjadi tugas

manajemen yang paling berat yakni bagaimana cara dan upaya agar bawahan mau bekerja

berdasarkan keinginan dan motif berprestasi yang tinggi.

Pada hakekatnya motivasi mengandung nilai-nilai sebagai berikut: motivasi

menentukan tingkat keberhasilan atau kegagalan perbuatan atau pekerjaan; manajemen

yang bermotivasi pada hakekatnya adalah manajemen yang disesuaikan dengan kebutuhan

dorongan, motif, minat yang ada pada staf bawahan pelaksana; manajemen yang

bermotivasi menuntut kreativitas dan imajinasi untuk berusaha secara sungguh-sungguh

untuk mencari cara-cara yang relevan dan sesuai untuk membangkitkan dan memelihara

motivasi bawahannya agar memiliki self motivation yang baik; berhasil atau gagalnya

upaya untuk membangkitkan dan menggunakan motivasi dalam manajemen erat kaitannya

dengan peraturan disiplin kerja; motivasi menjadi salah satu bagian yang integral dari

fungsi-fungsi manajemen. Penggunaan motivasi dalam manajemen turut melengkapi

prosedur manajemen, dan menjadi faktor yang menentukan manajemen yang efektif.

Selanjutnya Hamalik (1993:71) mengemukakan bahwa ada beberapa pnnsip

motivasi dalam manajemen dalam rangka mendorong motivasi kerja dan menciptakan self

motivation dan self dicipline yaitu:

1) Pujian lebih efektif dari hukuman, karena hukuman bersifat menghentikan sesuatu

perbuatan, sedangkan pujian bersifat menghargai apa yang telah dilakukan, karena

itu pujian lebih besar manfaatnya,


2) Semua individu mempunyai kebutuhan-kebutuhan psikologis (bersifat dasar) yang

harus mendapat kepuasan,

3) Motivasi yang berasal dari dalam individu lebih efektif dan pada motivasi yang

dipaksakan dan luar, karena kepuasan yang diperoleh itu sesuai dengan ukuran yang

ada dalam dirinya sendiri;

4) Jawaban-jawaban (perbuatan) yang serasi perlu dilakukan usaha pemantapan

(reinforcement). Agar suatu perbuatan mencapai tujuan, maka terhadap perbuatan itu

perlu segera diulang kembali setelah beberapa waktu kemudian, sehingga hasilnya

lebih mantap. Pemantauan ini perlu dilakukan dalam tingkatan kegiatan bekerja;

5) Motivasi mudah menjalar kepada orang lain. Manajer yang penuh minat dan antusias

akan membangkitkan pula kepada bawahannya minat dan antusias. Begitu pula

bawahan yang penuh minat dan antusias juga akan mendorong motivasi individu-

individu lainnya;

6) Pemahaman yang jelas terhadap tujuan (visi dan misi) organisasi akan merangsang

motivasi. Apabila seseorang telah menyadari tentang tujuan yang hendak dicapai,

maka perbuatannya kearah itu akan lebih besar daya dorongnya; Tugas-tugas yang

diberikan oleh diri sendiri akan menimbulkan minat yang lebih besar untuk

mengerjakan daripada tugas-tugas itu dipaksakan oleh atasan. Apabila bawahan

diberi kesempatan menemukan masalah dan memecahkannya sendiri, akan

mengembangkan motivasi yang

lebihbaik;

7) Pujian-pujian yang datangnya dari luar (external reward) kadang-kadang diperlukan

dan cukup efektif untuk merangsang minat yang sebenarnya.


Berkat dorongan orang lain, maka individu akan berusaha lebih giat karena minatnya

lebih besar;

8) Teknik dan prosedur manajerial yang bervanasi adalah efektif untuk memelihara

minat bawahan. Kegiatan manajemen yang bervariasi akan menimbulkan situasi

kerja yang matang;

9) Minat khusus yang dimiliki oleh bawahan bermanfaat dan bersifat ekonomis. Minat

khusus yang dimiliki oleh individu akan mudah di transferkan kepada minat dalam

bidang lainnya, atau dihubungkan dengan masalah tertentu;

10) Kegiatan-kegiatan yang kurang merangsang minat bawahannya mungkin tidak akan

ada maknanya (kurang berharga) bagi bawahan yang tergolong cakap/mampu,

karena tingkat abilitasnya berbeda satu dengan lainnya;

11) Kecemasan akan menimbulkan kesulitan bekerja. Kecemasan mengganggu

perbuatan/pekerjaan sebab akan mengakibatkan beralihnya perhatian

kepada hal lain, sehingga kegiatan bekerja menjadi tidak efektif;

12) Tugas-tugas yang terlalu sulit dan menimbulkan gejala frustasi akan cepat menuju ke

demoralisasi. Tugas yang terlalu sulit dapat menyebabkan bawahan melakukan hal-

hal yang tidak wajar sebagai mamfestasi dan

frustasi yang ada pada dirinya;

13) Motivasi erat hubungannya dengan kreativitas. Dengan teknik manajerial tertentu,

motivasi pegawai dapat ditujukkan kepada kegiatan-kegiatan kreatif;

14) Tekanan kelompok umumnya lebih efektif dalam motivasi dan pada tekanan dan

orang lain. Individu/staf ingin bekerja secara bebas. Mereka menyadari pentingnya

kelompok bekerja yang efektif. Ia bersedia melakukan apa yang dilakukan oleh
kelompoknya, karena itu jika manejer membimbing bawahannya, maka arahkanlah

anggota-anggota kelompok itu kepada nilainilai pekerjaan yang baik.

Ravianto (1985:19), mengemukakan bahwa motivasi kerja ialah besar kecilnya

usaha yang diberikan seseorang untuk melaksanakan tugas-tugas pekerjaannya. Menurut

Steers dan Porter (1991:5) istilah motivasi atau bahasa Inggrisnya motivation berasal dan

perkataan latin movere yang artinya menggerakkan. Menurut Gibson et al. (1996:14),

motivasi adalah semua kondisi usaha dalam diri manusia yang digambarkan sebagai

hasrat, keinginan dan kemauan. Ia merupakan kondisi dalam diri seseorang yang

menggerakkan atau mendorong untuk bertindak. Huston (1985:17), mendefinisikan

motivasi sebagai suatu faktor yang menjadikan perilaku bekerja dengan intuitif, terarah,

intensif, dan gigih.

Pendapat yang diutarakan tersebut di atas dapat memberikan indikasi bahwa

pengertian motivasi menunjuk kepada suatu faktor yang menyebabkan seseorang untuk

berbuat dalam memenuhi kebutuhannya. Berkaitan dengan itu As’ad (1995:29),

menekankan bahwa motivasi berperan sebagai pendorong kemauan dan keinginan

seseorang. Motivasi seseorang dalam organisasi bermula dan adanya kebutuhan-

kebutuhan yang diinginkan dalam diri seseorang. Artinya seseorang itu melakukan

aktifitasnya didorong oleh motif-motif tertentu berdasarkan orang tersebut.

Sejalan dengan hal ini Huston (1985:49) menyatakan bahwa motivas tertuju pada

faktor-faktor: permulaan (initiation), arah (direction), intensitas (intensity) dan ketekunan

(persistency). Faktor-faktor tesebut. menentukan sifat tingkah laku yang diinginkan.

Faktor permulaan misalnya, merupakan faktor penting dalam memberikan rangsangan

kepada seseorang untuk memulai melakukan suatu pekerjaan, dan faktor ini sangat
diperlukan dalam melakukan suatu pekerjaan yang sifatnya menantang. Faktor petunjuk

merupakan faktor penting yang memberikan kelincahan dan semangat bagi karyawan

dalam melakukan sesuatu pekerjaan. Intensitas merupakan faktor pendorong bagi operator

dalam melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Faktor

ketekunan merupakan faktor yang memberikan dorongan bagi karyawan untuk bekerja

secara tekun dalam meningkatkan prestasi kerja.

Berdasarkan atas faktor-faktor tersebut terlihat bahwa motivasi kerja ada karena

adanya kebutuhan yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, guna mencapai

tujuan yang diharapkan. Pendapat tentang teori kebutuhan dikemukakan di antaranya oleh

Abraham Maslow. Menurut Maslow sebagaimana dikutip oleh Donelly (1984:37), Harsey

dan Blanchard (1977:3 8) mengatakan bahwa tingkah laku manusia pada waktu tertentu

diarahkan oleh kebutuhannya yang paling kuat yang muncul pada waktu itu. Ada lima

tingkat kebutuhan manusia, dan bila tingkat kebutuhan tingkat pertama belum terpenuhi,

maka segala usaha manusia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan itu terlebih dahulu,

itulah yang merupakan motivator aktif. Bila kebutuhan tingkat pertama ini telah terpenuhi

sampai batas tertentu, barulah muncul kebutuhan tingkat kedua sebagai kebutuhan terkuat,

dan ini pula sekarang yang menjadi motivator aktif, sedangkan kebutuhan tingkat pertama

yang sudah terpenuhi tidak lagi menjadi motivator aktif. Begitulah seterusnya sampai pada

kebutuhan tingkat ketiga, tingkat keempat dan tingkat kelima. Kelima macam tingkat

kebutuhan itu adalah sebagai berikut:

a. Kebutuhan Fisiologis, yaitu kebutuhan untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal

dan termasuk pula kebutuhan seks sebagai kebutuhan biologis.


b. Kebutuhan keamanan dan rasa terjamin, yaitu perlindungan dan berbagai ancaman,

perlindungan dan rasa sakit, keamanan harta dan kemampuan keluarganya apabila

tidak mampu lagi berusaha atau sudah meninggal dunia

c. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk diterima oleh kelompok lain, kasih sayang,

mengasihi orang lain dan dikasihi orang lain.

d. Kebutuhan ego, yaitu kebutuhan akan penghargaan dan pandangan baik dan orang

lain terhadap dirinya.

e. Kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri

semaksimal mungkin, apapun potensi itu.

Edward dalam As’ad (1995:42) berpendapat bahwa kebutuhan manusia

diklasifikasikan menjadi 14 kebutuhan, yaitu: (a) kebutuhan untuk berbuat lebih baik atau

prestasi (achievement), (b) kebutuhan mengikuti kebutuhan orang lain

(refference), (c) kebutuhan untuk membuat rencana-rencana yang teratur (order), (d)

kebutuhan untuk menarik perhatian orang lain (exibition), (e) kebutuhan untuk mandiri

(autonomy), (f) kebutuhan untuk menjalin persahabatan dengan orang lain (affiliation), (g)

kebutuhan untuk memahami perasaan dan mengetahui tingkah laku orang lain

(interception), (h) kebutuhan untuk mendapatkan bantuan oranglain (succorance), (i)

kebutuhan untuk bertahan pada pendapat, menguasai dan memimpin orang lain

(dimminance), (j) kebutuhan yang menyebabkan individu merasa berdosa apabila berbuat

kesalahan (abusement), (k) kebutuhan untuk rnembantu dan menolong orang lain yang

sedang dalam kesusahan (nurturance), (1) kebutuhan untuk membuat pembaharuan

(change), (m) kebutuhan yang mendorong aktivitas-aktivitas individu dalam mendekati


lawan jenisnya, ingin dianggap menarik oleh lawan jenisnya (heterosexuality), dan (n)

kebutuhan untuk mengkritik pendapat orang lain (aggression).

Sejalan dengan itu McClelland dalam As’ad (1995:52) berpendapat bahwa dalam

diri individu seseorang terdapat 3 kebutuhan pokok yang mendorong tingkah lakunya.

Kebutuhan-kebutuhan dimaksud adalah: (a) kebutuhan mencapai sukses atau prestasi

(needs for achievement), (b) kebutuhan akan kehangatan dan sokongan dalam

hubunganiya dengan orang lain (needs for affiliation), dan (c) kebutuhan untuk menguasai

dan mempengaruhi orang lain (needs for power). Ketiga teori kebutuhan yang telah

dikemukakan di atas menunjukkan bahwa dalam diri setiap individu terdapat banyak

kebutuhan (needs). Di samping itu terungkap pula bahwa pada umumnya timbulnya

motivasi didasarkan atas dorongan kebutuhan. Dengan demikian, motivasi merupakan

dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Salah satu kebutuhan dan

kebutuhan kebutuhan yang dimiliki setiap individu itu ialah kebutuhan untuk berbuat lebih

baik.

Menurut Harsey dan Blanchard (1977:23), individu-individu atau orang orang

yang memiliki motivasi berprestasi dapat menjadi tulang punggung bagi organisasi.

Mereka dapat mempengaruhi produktivitas organisasi, untuk itu motivasi berprestasi

hendaknya tetap dipelihara dan diusahakan agar tidak menurun apabila hilang. Kuat

lemahnya motivasi berprestasi seseorang ikut mementukan besar kecihiya prestasi

kerjanya. Kutipan di atas dapat memberikan pengertian bahwa bila motivasi berprestasi

seseorang rendah maka presatasi kerjanyapun cenderung rendah. Sebaliknya bila motivasi

seseorang tinggi maka prestasi kerjanyapun cenderung tinggi pula. Oleh karena itu

motivasi berprestasi sangat penting dimiliki oleh setiap individu di dalam organisasi,
karena sikap orang yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi cenderung lebih

menyukai dan mencintai pekerjaan, lebih bertanggung jawab dan lebih merasa menyatu

dengan pekerjaannya dibandingkan dengan orang yang memiliki motivasi berprestasi

yang rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh apa yang mereka cari dan apa yang mereka

kerjakan tidak sama.

Karakteristik orang yang memiliki motivasi berprestasipun tidak sama dengan

orang yang tidak memiliki motivasi berprestasi. Gellerman (1984:92) menyatakan bahwa

karakteristik orang yang memiliki motivasi berprestasi itu antara lain : (a) cenderung

menuntut dirinya berusaha keras, (b) gemar mengatasi kesulitan yang menyingkapkan

seluruh bidang baru, (c) memegang tanggung jawab dan wewenang, (d) lebih menyukai

aktivitas yang memberikan umpan balik yang cepat dan tepat, (e) realistis terhadap diri

dan terhadap prestasi yang mereka cari, (f) menyatu dengan tugas, (g) mempunyai sifat

optimis dalam bekerja, (h) berusaha menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya apalagi

kalau ada tantangan, (i) berorientasi ke depan, (j) berpartisipasi penuh memperkirakan

hasil kerjanya, (k) memiliki kesan yang mendalam terhadap keberhasilan dan kegagalan,

(l) berusaha menyelesaikan tugas atas usaha bukan untunguntungan, (m) tidak

mementingkan uang karena uang baginya hanya sebagai ukuran kemajuan atas

prestasinya, (n) lebih mementingkan karya dan pada imbalan yang diterima, serta (o) tidak

mudah menyerah dan keras hati meskipun menerima bambatan-hambatan.

Cooper dan kawan-kawan (1967:46), mengatakan bahwa tugas seorang karyawan

diperusahaan atau organisasi adalah (a) merencanakan, (b) mengimplementasikan, dan (c)

mengevaluasi. Berdasarkan pendapat di atas maka yang menjadi pekerjaan karyawan


sebagai mitra kerja diperusahaan adalah: memberikan pelayanan yang baik kepada

konsumen atau pelanggan.

Tugas pertama karyawan adalah merencanakan tugas pekerjaannya. Perencanaan berasal

dan kata rencana yaitu suatu proyeksi tentang apa yang akan dilakukan untuk mencapai

tujuan yang sahih dan bernilai. Perencanaan dapat juga disebut sebagai spesifikasi dan

tujuan yang ingin dicapai dan caracara yang akan ditempuh untuk mencapai tujuan

tertentu. Karyawan sebagai perencana (designer) dituntut supaya mampu merencanakan

kegiatan secara baik, sebab pekerjaan yang direncanakan secara baik akan dapat

mempermudah jalannya proses penyelesaian dengan baik pula dan bermakna.

Merencanakan pekerjaan dengan baik sebelum melakukan pekerjaan tersebut

adalah penting. Walaupun perencanaan baik belum tentu menjamin keberhasilan

pelaksanaan seratus persen, namun harus diketahui bahwa perencanaan yang baik sudah

barang tentu mempunyai manfaat yang tidak sedikit terhadap keberhasilan pelaksanaan

pekerjaan itu sendiri. Setidaknya ada beberapa manfaat perencanaan, yakni (a)

memberikan arah pekerjaan yang jelas kepada karyawan, (b) memungkinkan karyawan

mengetahui sampai dimana tujuan pekerjaan yang ditetapkan dapat dicapai, (c)

memudahkan karyawan mengidentifi-kasikan hambatan-hambatan yang timbul dalam

usaha mencapai tujuan, dan (d) menghindarkan pertumbuhan dan perkembangan suatu

usaha

yang tidak terkontrol.

Perencanaan pekerjaan yang baik mensyaratkan Iangkah-Iangkah perencanaan

tertentu, karena dengan langkah-langkah tersebut akan memungkinkan karyawan dapat

merumuskan suatu rencaria yang lebih sistematis dan terarah dibandingkan dengan tidak
memperhitungkan langkah-langkah perencanaan. Di dalam proses pembuatan perencanaan

kerja, para ahli mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang langkah-langkah

penyusunan perencanaan kerja tersebut. Perencanaan kerja yang baik adalah perencanaan

kerja yang mengandung unsur-unsur yang akan dilaksanakan di dalam pengoperasian

rencana kerja tersebut. Berkaitan dengan itu Sujana (1989:52) berpendapat bahwa,

perencanaan yang baik harus mengandung unsur-unsur seperti : (a) tujuan pekerjaan, (b)

bahan, (c) proses kegiatan, (d) metode, dan (e) evaluasi atau penilaian.

Kedua, mengimplementasikan pekerjaan. Tahapan ini merupakan tahap inti.

Pekerjaan ini akan mengacu bagaimana menciptakan suatu mekanisme kerja yang sesuai

dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Tahap implementasi ini merupakan

tahap implementasi yang paling berat bagi karyawan karena pada tahap ini karyawan

merasa dituntut agar dapat mencurahkan aktivitas-aktivitas serta kemampuan-kemampuan

semaksimal mungkin sesuai dengan yang diinginkan. Bila hal ini dapat dilakukan dengan

baik, kemungkinan pelaksanaan pekerjaanpun akan lebih berhasil. Sedangkan karyawan

sebagai seorang pernimpin (manager) dituntut untuk memiliki kemampuan mengelola

seluruh proses pekerjaan dengan menciptakan kondisi-kondisi dengan efektif dan

efisien.

Ketiga, melaksanakan evaluasi. Purwanto (1984:23), berpendapat bahwa evaluasi

ialah proses menilai perkembangan dan kemajuan kearah tujuan yang telah ditentukan

dalam perencanaan. Dalam konteks ini dapat ditarik kesimpulan bahwa evaluasi

merupakan salah satu unsur penting dalam rangkaian proses bekerja, sebab cara untuk

mengetahui kemajuan atau perubahan yang terjadi dalam bekerja dapat diamati dan
diketahui dengan jelas setelah dilakukan evaluasi terhadap pekerjaan yang telah

dilaksanakan.

Evaluasi adalah suatu proses, yakni proses menentukan sampai seberapa jauh

kemajuan yang dapat dicapai. Kemampuan yang diharapkan tersebut sebelumnya sudah

ditetapkan secara operasional. Kemudian juga ditetapkan patokan pengukuran hingga

dapat diperoleh penilaian. Karena itu didalam evaluasi diperlukan prinsip-prinsip sebagai

petunjuk agar dalam pelaksanaan evaluasi dapat lebih efektif. Prinsip-prinsip tersebut

meliputi: (a) kepastian dan kejelasan, artinya tujuan evaluasi harus ditetapkan sebab

evaluasi tidak akan dapat dilaksanakan apabila tidak jelas dirumuskan secara jelas dalam

definisi yang operasional, (b) teknik evaluasi, artinya harus disesuaikan dengan tujuan

evaluasi sebab tidak ada suatu teknik evakuasi yang mutlak cocok untuk semua jenis

pekerjaan, (c) komprehenship, artinya teknik evaluasi yang digunakan harus bervariasi

sebab tidak ada suatu teknik evaluasi yang dapat mengukur semua aspek terpenting dan

suatu jenis pekerjaan, (d) evaluasi adalah alat untuk membantu pengemban pekerjaan,

bukan semata-mata bertujuan untuk memberi nilai prestasi yang dicapai. Prinsip

pelaksanaan evaluasi tersebut adalah merupakan patokan yang harus dipegang teguh pada

waktu melaksanakan evaluasi.

Sedangkan menurut Nimran (1997:52) motivasi sebagai suatu keadaan di mana

usaha dan kemauan keras seseorang diarahkan kepada pencapaian hasil-hasil tertentu.

Hasil-hasil yang dimaksud bisa berupa produktifitas, kehadiran atau perilaku kerja

kreatifnya. Dari pengertian ini motivasi mengandung tiga karakteristik pokok, yaitu: (1)

usaha, yakni menunjuk kepada kekuatan perilaku kerja seseorang atau jumlah usaha yang

ditunjukkan oleh seseorang dalam pekerjannya; (2) kemauan keras, yakni menunjuk pada
kemauan keras yang didemonstrasikan oleh seseorang dalam menerapkan usahanya kepada

tugastugas pekerjaannya; dan (3) arah atau tujuan, yakni yang bersangkutan dengan arah

yang dituju oleh usaha dan kemauan keras yang dimiliki seseorang, yang pada dasarnya

berupa hal-hal yang menguntungkan.

Dari beberapa pengertian di atas, maka untuk dapat mengukur motivasi kerja

pegawai tidaklah mudah, hal ini dikarenakan motivasi kerja tidak bisa diamati secara

langsung, tetapi hanya dapat dilihat dengan mengamati perilaku kerja pegawai, mengukur

perubahan-perubahan dalam pelaksanaan kerjanya, atau memintanya untuk menjelaskan

kebutuhan-kebutuhan serta tujuan-tujuannya (Wexley dan Yukl, 1992: 105). Asumsi ini

diperkuat oleh pernyataan Kempton dalam Chon (1999:27), bahwa tingkat motivasi

pegawai direfleksikan dalam sikap dan perilakunya. Pegawai yang termotivasi akan

menunjukkan perilaku yang berkinerja tinggi, bergairah, bersemangat, serta memiliki daya

usaha yang kuat.

Sebaliknya pegawai yang tidak termotivasi akan bersikap apatis, acuh tak acuh (kurang

bergairah) dan bersikap tidak kooperatif. Oleh karena itu, apabila hendak mengukur

motivasi kerja pegawai dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa daftar pertanyaan

untuk mengetahui sejauh mana seseorang menikmati pekerjaannya dan terlibat di dalamnya

(Pareek, 1996:236).

Berdasarkan uraian di atas maka yang dimaksud dengan motivasi dalam studi ini

adalah usaha dan kemauan pegawai untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi sebagai

wujud dorongan atau keinginan dari dalam pribadi yang bersangkutan, sebagai hasil

integrasi keseluruhan daripada kebutuhan pribadi, dan pengaruh lingkungan guna mencapai

tujuan organisasi. Indikator untuk mengukur variabel motivasi adalah (a) dorongan
mencapai tujuan, (b) semangat kerja, (c) keterikatan kerja, dan (d) rasa tanggung jawab

terhadap kerja.

c. Produktifitas kerja pegawai RPTRA

Produktifitas kerja merupakan kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk

menghasilkan barang dan jasa dalam waktu tertentu yang telah ditentukan atau sesuai

dengan rencana.

Membahas tentang produktivitas kerja pada hakekatnya tidak terlepas dari

pembahasan mengenai perbandingan terhadap dimensi waktu, dimana jika waktu sekarang

lebih baik dari waktu yang lalu, maka hal ini dapat dikatakan terjadi peningkatan pada

produktivitas kerja. Pada sisi yang lain, konsep produktivitas kerja ini juga merupakan

ranah pada kajian mengenai sumber daya manusia karena produktif atau tidak produktifnya

suatu pekerjaan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang melakukan pekerjaan

yang diberikan kepada mereka.

Kuper dan Kuper (2000: 843) setelah menganalisis karya Denison dan Matthews

mengatakan bahwa produktivitas kerja itu merupakan fungsi produksi dari kapital dan

tenaga kerja, namun Nellis dan Parker (2000: 31) memberikan penjelasan yang lebih luas

lagi bahwa produktivitas berkaitan erat dengan fungsi dari tanah, tenaga kerja, peralatan,

dan kapital. Dengan demikian, secara matematis, output (produktivitas) dapat dirumuskan

menjadi : O = f (L, Lb, M, C)

Dimana :

O = output (produktivitas)

A = tanah

Lb = tenaga kerja
B = peralatan

C = capital

Merujuk dari pemikiran di atas, maka secara garis besar berbicara tentang

produktivitas atau output yang dihasilkan oleh sebuah organisasi atau institusi pemerintah,

tidak mungkin dapat dilepaskan dari peran tenaga kerja atau pegawainya. Pengertian

semacam ini antara lain dijelaskan oleh Hasibuan (1999:126-127) yang memandang

produktivitas sebagai perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input).

Kenaikan produktivitas dimungkinkan oleh adanya peningkatan efisiensi, baik peningkatan

efisiensi waktu, biaya, tenaga, maupun sistem kerja, teknik produksi, termasuk di dalamnya

mencakup juga peningkatan ketrampilan dari tenaga kerjanya.

Sejalan dengan pandangan di atas, Gibson, Ivancevich, dan Donelly (1996: 71)

menyebutkan produktivitas kerja sebagai kriteria efektivitas yang ditujukan pada

kemampuan organisasi guna memberikan keluaran yang di minta oleh lingkungan. Dari

definisi ini, ada dua kata kunci yang ditonjolkan, yakni (a) kriteria efektivitas keluaran

(output) dan (b) tuntutan lingkungan. Dengan demikian, produktivitas kerja dalam

pengertian ini adalah sama dengan rasio antara keluaran (output) dan kebutuhan

lingkungan. Jika keluaran (output) memenuhi tuntutan lingkungannya maka keluaran

(output) tersebut dapat dikatakan produktif, dan secara umum kondisi ini akan dianggap

pula memiliki produktivitas kerja yang baik.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas, Robbins (1997: 65) juga mengatakan

produktivitas kerja adalah rasio antara masukan (input) yang digunakan dengan output

yang diperoleh. Jika rasio kedua komponen dapat dicapai secara proporsional, maka hal itu

dikatakan produktif. Selanjutnya A. Blunchor dan Kapustin (Hasibuan, 1999: 126)


mengatakan bahwa produktivitas kadang kala dipandang sebagai penggunaan insentif

terhadap sumber-sumber konversi seperti tenaga kerja dan mesin yang diukur secara tepat

dan benar-benar efisien. Terkait dengan insentif ini, Dessler (1997: 141) juga memandang

insentif sebagai rencana untuk mensugesti dan meningkatkan partisipasi karyawan/

pegawai pada produktivitas.

Suit dan Almasdi (2000: 91) memberikan pandangan yang lebih luas tentang

produktivitas kerja sebagai,

“Semua unsur yang berkaitan dengan usaha peningkatan kualitas dan jumlah hasil

produksi yang harus dipelihara, sehingga semua unsur yang berkaitan dengan

peningkatan kualitas dan jumlah hasil produksi berjalan lancer. Bilamana terjadi

gangguan akan menyebabkan tertundanya produksi yang akan mengakibatkan

menurunnya jumlah produksi”.

Suit dan Almasdi (2000: 91) selanjutnya mengatakan bahwa untuk memelihara

produktivitas dan peningkatan kualitas tersebut diperlukan sikap kepedulian dan rasa

tanggung jawab dari personilnya. Dengan kata lain, setiap personil harus memiliki prinsip

bahwa setiap pekerjaan harus dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang telah

ditentukan. Penyelesaian pekerjaan tersebut, seyogyanya diikuti dengan kemampuan

melakukan penghematan terhadap waktu, pemakaian bahan, dan dengan mengupayakan

mutu dari hasil pekerjaan.

Atas pemahaman bahwa substansi penelitian ini lebih fokus dalam lingkup Ruang

Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) di Kelurahan Jagakarsa, maka perlu juga dipahami

konsep produktivitas di sektor publik.


Hal ini penting disampaikan karena Kasim (1989: 20) menyebutkan bahwa

konsep produktivitas di sektor bisnis berbeda dengan produktivitas di sektor publik

(pemerintah). Ia lebih lanjut mengatakan bahwa produktivitas dalam organisasi pemerintah

juga diukur dari sisi kualitas hasil yang dipersembahkan kepada masyarakat, yaitu sampai

seberapa jauh hasil tersebut sesuai dengan standar yang diinginkan. Standar ini meliputi

ciri-ciri dari output, misalnya berapa unit yang dihasilkan, bagaimana jadwal

penyelesaiannya, dan seberapa jauh kemampuan dalam melayani klien atau masyarakat

dilakukan. Menurut Kasim (1989: 22) harus diperhatikan bahwa unsur kualitas tidak

tercermin dari rasio output terhadap input organisasi pemerintah, karena tidak dapat dinilai

dengan harga pasar. Itulah sebabnya, perlu memasukkan criteria tentang standar dari output

kedalam perhitungan produktivitas organisasi di sektor publik ini.

Menyikapi terdapatnya keanekaragaman konsep produktivitas yang dikemukakan para

ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa produktivitas kerja pegawai pada hakekatnya

dapat dipandang dari dua dimensi, yakni (a) dari sudut pandang hasilnya, atau rasio hasil

dan input yang digunakan, dan (b) dari sikap pegawai dalam memandang dan menangani

tugas-tugasnya. Mengingat subyek penelitian ini adalah pegawai dari banyak latar

belakang pekerjaan, maka dimensi yang akan diteliti di sini dibatasi hanya pada dimensi

sikap saja dengan indikator (1) pencapaian prestasi kerja pegawai, (2) tingkat penyelesaian

pekerjaan, dan (3) kualitas pekerjaan yang dihasilkan.

2.2. Penelitian Terdahulu

2.3. Kerangka Berpikir


Kerangka konseptual yang mendasari studi ini adalah bahwa motivasi dan kreativitas

kerja merupakan sesuatu yang dianggap penting, baik bagi pegawai itu sendiri maupun bagi

organisasi dinas daerah tempat pegawai tersebut bekerja. Sebab dengan motivasi kerja yang

tinggi akan mendorong kreativitas kerja yang tinggi pula, sehingga pada gilirannya motivasi dan

kreativitas kerja tersebut akan mendorong peningkatan pada produktivitas kerja baik bagi pribadi

pegawai itu sendiri maupun bagi tujuan organisasi secara keseluruhan. Ini berarti motivasi dan

kreativitas kerja yang baik akan mampu meningkatkan produktivitas kerja. Sebagaimana yang

dikatakan Robbins (2002a:27) bahwa keluaran manusia (produktivitas, absensi, pergantian

pegawai) dipengaruhi oleh kemampuan dan motivasi kerja.

Motivasi kerja dapat mendorong untuk mengarahkan (direction), memperkuat

(strenght) dan berupaya mempengaruhi (pervasiveness) serta mencapai tujuan (Hodge et

al.,1996:288). Studi ini mengkaji kemampuan motivasi kerja, kreativitas kerja, produktivitas

kerja pegawai pada Dinas Kabupaten Toba Samosir.

Motivasi kerja merupakan suatu dorongan kehendak yang mempengaruhi perilaku

pegawai untuk berusaha dengan sungguh-sungguh agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan

hasil yang baik, karena keberhasilan dalam pekerjaan akan mempunyai manfaat bagi dirinya.

Pegawai yang memiliki motivasi yang tinggi akan melakukan pekerjaan dengan semangat yang

tinggi pula, sehingga dalam melakukan pekerjaannya akan menghasilkan produktivitas kerja

yang tinggi. Motivasi juga menggambarkan tingkat kebutuhan lebih tinggi dari

para manajer menengah organisasi guna menciptakan kekuatan dalam memotivasi perilaku

dalam bekerja (work behavior) untuk menigkatkan prestasi kerja (Helinegel at al, 1989: 159).

Sedangkan kemampuan merujuk pada kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas

dalam suatu pekerjaan. Setiap pegawai mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam
melakukan pekerjaannya, sesuai dengan potensi yang dimiliknya, dan akan terus berkembang

jika potensi tersebut digali secara terus-menerus. Dengan adanya kemampuan kerja, baik

kemampuan pengetahuan maupun kemampuan keterampilan, seseorang akan dapat

melaksanakan pekerjaannya dan dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapannya

sehingga mempermudah dalam pencapaian tujuan, baik tujuan individu maupun tujuan

organisasi.

Kerangka berfikir studi ini secara skematis dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Pegawai RPTRA

Motivasi Kerja &


K reativitas Kerja

Produktivitas Kerja

Hipotesis

Uji/ Tes Kuantitatif/


Statistik

T esis

Gambar 2.1. Kerangka Proses Berfikir

Studi ini difokuskan pada seberapa besar pengaruh motivasi kerja dan kreativitas

kerja terhadap produktivitas kerja pegawai RPTRA Kelurahan Jagakarsa. Faktor internal

yang mempengaruhi keberhasilan kinerja Pegawai RPTRA adalah Produktivitas Kerja

Pegawai, dimana Produktivitas Kerja tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu Motivasi

Kerja dan Kreativitas Kerja. Berdasarkan atas kerangka proses berfikir tersebut disusun

kerangka konseptual sebagaimana terlihat pada Gambar 2.3.


Dorongan men
capai tujuan (X1.1)
Pencapaian Prestasi
Kerja (Y1.1)

Semangat Kerja
(X1.2)
Motivasi Tkt Penyelesaian
Kerja (X 1) Pekerjaan (Y1.2)

Keterikatan Kerja
(X1.3) Kualitas Hasil
Pekerjaan (Y1.3)

Rasa Tgjwb thdp


Kerja (X1.4)
Produktivitas
Kerja (Y)

Daya Inovasi
Pegawai (X2.1)

Kreativitas
Kerja (X 2)
Inisitaif Pegawai
(X2.2)

Keterangan :
Dimensi

Pengaruh

Gambar 2.2

Kerangka Konseptual
2.4. Pengembangan Hipotesis

Berdasarkan atas permasalahan, tujuan, teori, dan kerangka konseptual sebagaimana

diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dalam studi ini adalah

sebagai berikut :

1. Motivasi kerja berpengaruh secara signifikan terhadap Produktivitas Kerja Pegawai

RPTRA Kelurahan Jagakarsa

2. Kreatifitas Kerja berpengaruh secara signifikan terhadap Produktivitas Kerja Pegawai

RPTRA Kelurahan Jagakarsa

3. Motivasi Kerja dan Kreatifitas Kerja berpengaruh secara signifikan terhadap

Produktivitas Kerja Pegawai RPTRA Kelurahan Jagakarsa


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat korelasi,

yakni suatu metode yang bertujuan mengetahui seberapa jauh hubungan antara

variabel-varibel yang diteliti1, dalam hal ini adalah varibel pengaruh kreatifitas kerja dan

motivasi terhadap produktifitas kerja pegawai pengelola Ruang Publik Terpadu Ramah Anak

(RPTRA) di Kelurahan Jagakarsa

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Adapun lokasi dimana tempat penulis mengadakan penelitian adalah di RPTRA

Kelurahan Jagakarsa, tepatnya di RPTRA Taman Matoa dan RPTRA Beringin.

Dengan rentang waktu 2 bulan

3.3. Operasional Variabel Penelitian

Variabel X1 dan X2 : Kreatifitas kerja dan motivasi

Indikator : 1.Dorongan mencapai tujuan

2.Semangat kerja

3. Keterikatan kerja

4. Rasa tanggung jawab terhadap kerja

5.Daya inovasi pegawai

6.Inisiatif pegawai

Alat ukur : skala ordinal (baik, cukup, kurang)


Varibel Y : Produktifitas kerja

Indikator : 1. Motivasi

2. Disiplin kerja

3. Keterampilan

4. Sikap dan Etika

5. Lingkungan kerja dan iklim

Alat ukur : Skala ordinal (tinggi, sedang, rendah)

3.4. Populasi dan Sampel

Populasi adalah pengelola RPTRA di lingkungan Kelurahan Jagakarsa, dengan

jumlah sampel yang akan diambil dalam penelitian ini adalah sama dengan jumlah

populasi yaitu sebanyak 12 orang. Hal ini di anggap representatif oleh penulis karena

jumlah pekerja pengelola RPTRA dilingkungan itu hanya 12 orang. Teknik sampel

yang digunakan adalah sampel sensus, yakni “meneliti seluruh populasi, ini mudah

dilakukan jika populasi terbatas.”2

3.5. Teknik Pengumpulan Data

Kuesioner : dilakukan dengan menyebarkan pertanyaan pada responden dimana

mereka diminta untuk mengisi dengan jujur dan tanpa bantuan penulis/orang lain.

Wawancara : dilakukan dengan mengadakan komunikasi lisan dan sumber, yakni

pihak-pihak yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti.


Perpustakaan : untuk mendapatkan data yang sekunder, penulis mencari dan

mengumpulkan data melalui buku-buku serta tulisan lain yang berhubungan dengan

penulisan skripsi ini.

3.6. Teknik Analisis Data

Setelah kuesioner terkumpul kemudian dimasukan kedalam coding sheet dan

berpedoman pada coding book , lalu untuk mengetahui sejauhmana pengaruh antara

kreatifitas kerja dan motivasi dengan produktifitas kerja diuji dengan menggunakan

statistik Goodman’s dan Kruskal’s Gamma.

Goodman’s dan Kruskal’s Gamma (koefisien korelasi) digunakan untuk mengetahui

keeratan (kuat/lemahnya) hubungan antara variable x dan y.3

Dengan rumus :

ℽ = ∑ fa – fi
∑ fa – fi

Keteranga : fa = frekuensi kesepakatan (agreements)

fi = frekuensi inversi (inversions)

Tingkat signifikan ℽ dinilai dengan menghitung nilai t (karena populasi < 50)

t = r√ n−2
√ 1−r 2
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

Kelurahan Jagakarsa memiliki kode pos 12620. Kelurahan ini terletak

di kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kelurahan ini berbatasan dengan

Kecamatan Kebagusan di sebelah utara, kecamatan Cilandak di sebelah barat, Ciganjur di

sebelah timur dan kota Depok, provinsi Jawa Barat di sebelah selatan. Jagakarsa terdiri dari

7 RW, mayoritas penduduknya beragama Islam. Penduduk pribuminya merupakan suku

Betawi modern dengan pemikiran maju dan berpendidikan tinggi, berbeda dengan betawi di

kelurahan atau di kampung tetangganya.di kelurahan ini terdiri dari beberapa kampung, dan

pembagian lingkungan RW berdasarkan kampung. Kampung-kampung yang ada di

lingkungan Kelurahan Jagakarsa al: Babakan yaitu terkenal dengan setu babakan (RW 01),

Jagakarsa (RW 02,05,07), Kelapa Tiga (RW 03) dan Kampung Kandang (RW 04, 06).

Pembukaan Hutan di wilayah yang kemudian disebut Jagakarsa, tak lepas dari

perang Mataram-VOC pada tahun 1628 dan 1629. Pada tahun 1628 saat pembukaan

lumbung padi dari Karawang sampai Selatan Jakarta untuk mengepung VOC di Pasar Ikan,

Jagakarsa termasuk wilayah yang dibuka. Pada awalnya wilayah tersebut dijadikan sebagai

tangsi dari pasukan Raden Prembun (De Haan, 1973) kemudian saat penyerbuan dan

Mataram mengalami kegagalan, Jagakarsa dijadikan tempat pelarian pasukan Mataram.

Pasukan VOC sendiri hanya mengejar pasukan Mataram sampai wilayah Jatinegara.

Sisa-sisa pasukan di Jagakarsa dikenal sebagai istilah: Kaum Ganjuran, dari sinilah

kemudian berkembang kata Ciganjur, Ganjuran adalah nama sejenis pohon Jati yang ada di

sekitaran wilayah Jagakarsa. Kaum Ganjuran sendiri kemudian mengenal pemimpinnya

bernama Surodipo yang dipanggil Kyai Raden Suro. Pada saat penyerbuan ke Batavia tahap
dua tahun 1629, Surodipo dibawa ke Mataram dan langsung menerima titah dari Sultan

Agung Hanyokrokusumo untuk memimpin 15 panatus (pasukan yang terdiri 100 orang)

menyerbu Batavia.

Pasukan Surodipo sendiri diambil dari wilayah Karawang, Pamanukan dan

Indramayu, dari sinilah kelak dialek Jagakarsa dikenal sebagai 'betawi ora'. Pasukan

Surodipo di bawah komando Tumenggung Wiroguno. Pada serangan 1629, Pasukan

Surodipo mengalami kehancuran total. Sementara Pangeran Wiroguno melarikan diri ke

wilayah yang sekarang disebut Pejaten. Surodipo sendiri berhasil ditangkap di sekitar

Gunung Sahari dan dipenggal kepalanya oleh Kapten Van Smurtssen seorang perwira dari

pasukan bayaran VOC.

Anak Surodipo yang bernama Raden Mohammad Kahfi alias Raden Jagakarsa saat

itu masih berusia 14 tahun, berhasil menyelamatkan diri ke wilayah yang sekarang dikenal

sebagai Duren Tiga, dulu wilayah tersebut adalah Hutan yang banyak dikelilingi pohon

duren yang tumbuh liar. Dari Duren Raden Jagakarsa kemudian diselamatkan oleh

gerilyawan Wiroguno dan dibawa ke Tumenggung Wiroguno.

Wiroguno sendiri membangun markas perlawanan VOC selama 3 (tiga) tahun, lalu

pada 1632 Wiroguno membuat sebuah keputusan bahwa wilayah di luar Wiragunan

(sekarang Pejaten, Ragunan dan Cilandak) adalah milik dari Raden Jagakarsa. Lalu Raden

Jagakarsa menjadi penguasa wilayah ini sampai pada tahun 1685.

(Gambaran umum RPTRA Taman Matoa dan RPTRA Beringin) lanjut ke pengelola
4.2. Hasil Penelitian

4.3. Pembahasan Penelitian

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

5.2. Keterbatasan Penelitian

5.3. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai