Anda di halaman 1dari 115

DETERMINAN KETIMPANGAN INDUSTRI MIKRO DAN

KECIL ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2019

CHRIST EGY NATAMA PARDEDE


111911092

PROGRAM STUDI STATISTIKA PROGRAM DIPLOMA III

POLITEKNIK STATISTIKA STIS


JAKARTA
2022
DETERMINAN KETIMPANGAN INDUSTRI MIKRO DAN

KECIL ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2019

KARYA ILMIAH TUGAS AKHIR


Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Sebutan
Ahli Madya Statistika pada Politeknik Statistika STIS

Oleh:
CHRIST EGY NATAMA PARDEDE
111911092

PROGRAM STUDI STATISTIKA PROGRAM DIPLOMA III

POLITEKNIK STATISTIKA STIS


JAKARTA
2022
PERNYATAAN

Karya Ilmiah Tugas Akhir dengan Judul

DETERMINAN KETIMPANGAN INDUSTRI MIKRO DAN

KECIL ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2019

Oleh:
CHRIST EGY NATAMA PARDEDE
111911092

Adalah benar-benar hasil penelitian sendiri dan bukan hasil plagiat atau
hasil karya orang lain. Jika di kemudian hari diketahui ternyata karya
ilmiah tugas akhir ini hasil plagiat atau hasil karya orang lain, penulis
bersedia jika karya ilmiah tugas akhir ini dinyatakan tidak sah dan
sebutan Ahli Madya Statistika dicabut atau dibatalkan.

Jakarta, XX Juli 2022

Christ Egy Natama Pardede


DETERMINAN KETIMPANGAN INDUSTRI MIKRO DAN

KECIL ANTARPROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2019

Oleh:
CHRIST EGY NATAMA PARDEDE
111911092

Tim Penguji
Penguji I Penguji II

Nama Dosen Penguji I Nama Dosen Penguji II


NIP XXXXXXXXXXXXXXXXXX NIP XXXXXXXXXXXXXXXXXX

Mengetahui/Menyetujui

Program Diploma III Pembimbing


Ketua Program Studi Statistika

Agung Priyo Utomo, S.Si, M.T. Dr. Siti Muchlisoh M.Si.


NIP 197305281995121001 NIP XXXXXXXXXXXXXXXXXX
© Hak Cipta milik Politeknik Statistika STIS, Tahun 2022

Hak Cipta dilindungi undang-undang


1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Politeknik Statistika
STIS.

2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa seizin Politeknik Statistika STIS.
PRAKATA

Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia yang
Engkau berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul
“Determinan Ketimpangan Industri Mikro Dan Kecil Antarprovinsi Di Indonesia
Tahun 2019” . Untuk itu penulis berterima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Erni Tri Astuti M.Math. selaku Direktur Politeknik Statistika
STIS;
2. Bapak Agung Priyo Utomo S.Si., M.T. selaku Ketua Prodi DIII
Statistika STIS;
3. Ibu Dr. Siti Muchlisoh M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan membimbing dengan penuh kesabaran;
4. Bapak/Ibu Dosen selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi
dan saran-saran untuk menyempurnakan tugas akhir ini;
5. Bapak, Ibu, adik, keluarga besar dan teman-teman penulis di kampung
halaman yang senantiasa memberi dukungan serta doanya untuk penulis
dalam pengerjaan tugas akhir ini;
6. Serta semua pihak yang telah membantu penulisan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih mempunyai kekurangan
baik isi maupun susunannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan tugas akhir ini.

Jakarta, XX Juli 2022

Christ Egy Natama Pardede

i
ABSTRAK

Christ Egy Natama P., “Determinan Ketimpangan Industri Mikro dan Kecil
Antarprovinsi Di Indonesia Tahun 2019”.

viii+102 halaman

Industri skala mikro dan kecil (IMK) memiliki peran yang penting dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia. Literatur yang telah ada menunjukkan bahwa
pengembangan IMK berpotensi mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan
ketimpangan pendapatan. Namun, sebaran IMK tidak merata antarprovinsi di
Indonesia. Berdasarkan densitas IMK, yaitu jumlah usaha IMK per l00 kilometer
kuadrat luas wilayah provinsi, densitas IMK lebih dominan di Pulau Jawa
dibandingkan di wilayah lainnya. Hal ini mengakibatkan potensi yang dimiliki IMK
tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya di beberapa wilayah Indonesia. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran serta mengidentifikasi
penyebab ketimpangan densitas IMK antarprovinsi di Indonesia. Pemodelan regresi
spasial digunakan untuk melihat adanya efek spasial berdasarkan ketetanggaan dan
hubungan perdagangan antarwilayah terhadap densitas IMK di Indonesia. Uji
Moran’s I menunjukkan adanya pengaruh autokorelasi spasial. Dengan
menggunakan Spatial Error Model (SEM), variabel independen yang berpengaruh
signifikan terhadap densitas IMK antara lain rata-rata upah buruh, indeks
spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, pengeluaran
per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli, dan rata-rata tingkat
bunga tetap koperasi simpan pinjam.

Kata kunci : Industri mikro dan kecil, Ketimpangan, Regresi spasial

ii
DAFTAR ISI

PRAKATA ............................................................................................................... I

ABSTRAK ..............................................................................................................II

DAFTAR ISI ......................................................................................................... III

DAFTAR TABEL .................................................................................................. V

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ VI

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... VIII

BAB I ...................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1

1.2 Identifikasi Masalah ........................................................................ 8

1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 10

1.4 Sistematika Penulisan ................................................................... 10

BAB II ................................................................................................................... 13

2.1 Landasan Teori ............................................................................. 13

2.2 Penelitian Terkait .......................................................................... 43

2.3 Kerangka Pikir .............................................................................. 46

2.4 Hipotesis Penelitian ...................................................................... 49

BAB III ................................................................................................................. 51

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 51

3.2 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 52

3.3 Metode Analisis ............................................................................ 54

BAB IV ................................................................................................................. 61

iii
4.1 Peta Persebaran Densitas IMK serta Variabel-Variabel yang

Diduga Memengaruhinya di Indonesia Tahun 2019 ..................... 61

4.2 Eksplorasi Data ............................................................................. 69

4.3 Pemodelan Faktor-Faktor memengaruhi Densitas Industri Mikro

dan Kecil dengan Analisis Regresi Spasial ................................... 76

4.4 Estimasi Parameter Model Regresi Spasial Error (SEM) dan

Pengujian Asumsi .......................................................................... 79

4.5 Variabel-Variabel yang Memengaruhi Densitas IMK di Indonesia

Tahun 2019 .................................................................................... 82

BAB V ................................................................................................................... 87

5.1 Kesimpulan.................................................................................... 87

5.2 Saran .............................................................................................. 88

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 91

LAMPIRAN .......................................................................................................... 95

RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 102

iv
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

1. Definisi operasional variabel .....................................................................53

2. Uji normalitas Jarque-Bera pada variabel densitas IMK ..........................70

3. Uji normalitas Jarque-Bera pada variabel densitas IMK setelah

transformasi ................................................................................................72

4. Uji RESET Ramsey pada model tanpa transformasi ..................................74

5. Uji RESET Ramsey pada model setelah transformasi................................75

6. Uji Moran I dan Lagrange Multiplier. .......................................................78

7. Hasil estimasi parameter model regresi spasial error (SEM) ....................80

8. Uji asumsi normalitas, homoskedastisitas, multikolinearitas, dan

autokorelasi spasial ....................................................................................81

9. Variance Inflation Factors .........................................................................82

v
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman

1. Tingkat pendidikan yang ditamatkan pengusaha IMK tahun 2019 ............. 4

2. Tingkat pendidikan yang ditamatkan pekerja IMK tahun 2019 .................. 4

3. Sebaran jumlah usaha/perusahaan IMK menurut provinsi tahun 2019 ....... 5

4. Sebaran densitas IMK menurut provinsi tahun 2019 .................................. 6

5. Kerangka pikir ........................................................................................... 48

6. Alur penelitian ........................................................................................... 59

7. Sebaran densitas IMK menurut provinsi tahun 2019 ................................ 62

8. Sebaran rata-rata upah buruh per sebulan dalam rupiah menurut provinsi

tahun 2019 ................................................................................................. 63

9. Sebaran indeks spesialisasi industri menurut provinsi tahun 2019 ........... 64

10. Sebaran persentase jalan kondisi baik dan sedang menurut provinsi tahun

2019 ........................................................................................................... 65

11. Sebaran rata-rata lama sekolah dalam tahun menurut provinsi tahun

2019 ........................................................................................................... 66

12. Sebaran pengeluaran per kapita yang disesuaikan terhadap paritas daya

beli per tahun dalam ribuan rupiah menurut provinsi tahun 2019 ............. 67

13. Sebaran rata-rata tingkat bunga tetap ksp dalam persen menurut provinsi

tahun 2019 ................................................................................................. 69

14. Histogram dan density plot variabel densitas IMK. .................................. 70

vi
15. Histogram dan density plot variabel densitas IMK setelah transformasi. ..71

16. Scatter plot variabel densitas IMK terhadap masing-masing variabel

independen. ................................................................................................73

17. Scatter plot variabel densitas IMK setelah transformasi variabel dependen

terhadap masing-masing variabel independen. ..........................................73

18. Konektivitas keterkaitan spasial antarprovinsi...........................................77

vii
DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Lampiran Halaman

1. Matriks pembobot spasial .......................................................................... 95

2. Data variabel penelitian ............................................................................. 96

3. Persamaan model regresi tanpa transformasi pada variabel dependen ...... 97

4. Uji RESET Ramsey pada model regresi tanpa transformasi variabel

dependen .................................................................................................... 97

5. Persamaan model regresi setelah transformasi variabel dependen ............ 97

6. Uji RESET Ramsey setelah transformasi variabel dependen .................... 97

7. Uji Moran’s I pada variabel dependen ...................................................... 97

8. Uji dependensi spasial Moran’s I dan Lagrange Multiplier pada model

regresi setelah transformasi pada variabel dependen ................................ 98

9. Estimasi parameter model regresi spasial error (SEM) ............................ 99

10. Uji normalitas Jarque-Bera pada residual model SEM........................... 100

11. Uji homoskedastisitas Breusch-Pagan pada residual model SEM.......... 100

12. Uji autokorelasi spasial Moran’s I pada residual model ......................... 100

13. Variance inflation factors ........................................................................ 100

14. Hasil estimasi model regresi spasial error .............................................. 101

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan salah satu upaya penting dalam suatu

negara khususnya negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai

salah satu indikator dalam mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Dalam

rangka mencapai sasaran pembangunan jangka menengah tahun 2020-2024,

pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan meningkat dengan rata-rata 5,7-6,0

persen per tahun (RI, 2020). Salah satu kunci untuk dapat mencapai pertumbuhan

ekonomi tersebut adalah transformasi struktural (RI, 2020). Menurut Todaro &

Smith (2015), transformasi struktural merupakan proses transformasi

perekonomian sedemikian rupa sehingga kontribusi sektor manufaktur terhadap

pendapatan nasional pada akhirnya melampaui kontribusi sektor pertanian.

Transformasi struktural dilakukan karena kelebihan yang dimiliki sektor

industri pengolahan. Menurut Muhtamil (2017), sektor industri pengolahan

memiliki beberapa nilai keunggulan dibandingkan sektor lain karena nilai

kapitalisasi modal yang tertanam sangat besar, kemampuan menyerap tenaga kerja

yang besar, juga kemampuan menciptakan nilai tambah (value added creation) dari

setiap input atau bahan dasar yang diolah. Keunggulan sektor industri pengolahan

dapat dilihat dari kontribusinya terhadap perekonomian Indonesia. Pada tahun

2019, sektor industri pengolahan memiliki kontribusi tertinggi terhadap

1
perekonomian Indonesia sebesar 19,70 persen (BPS, 2020a). Selain itu, industri

pengolahan mampu mempekerjakan tenaga kerja 14,96 persen dari total angkatan

kerja yang ada di Indonesia pada tahun 2019 (BPS, 2020a).

Di era pembangunan yang inklusif, pembangunan ekonomi tidak hanya

terbatas pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Menurut Todaro dan

Smith (2015), pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensi yang

melibatkan bermacam-macam perubahan mendasar dalam struktur sosial, sikap

masyarakat, dan lembaga nasional seperti halnya percepatan pertumbuhan,

pengurangan ketimpangan, dan penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu,

pembangunan ekonomi juga berfokus dalam mengurangi kemiskinan,

pengangguran, dan ketimpangan pendapatan.

Rostiana dan Djulius (2019) menjelaskan bahwa salah satu strategi

pengembangan sektor industri yang erat kaitannya dengan pengentasan

kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan adalah pengembangan industri dalam

skala mikro dan kecil. Di beberapa negara, sektor industri pengolahan dalam skala

mikro dan kecil dikelola secara informal oleh masyarakat miskin dan

mempekerjakan pekerja dari keluarga miskin. Buruh kelas rendah relatif

berpendidikan rendah sehingga peluang pekerjaan yang paling mungkin bagi

keluarga kelas bawah adalah pekerjaan informal, dalam banyak kasus usaha skala

kecil. Oleh karena itu, strategi pengembangan industri mikro dan kecil cenderung

memperluas lapangan kerja yang mengarah pada pengurangan pengangguran dan

peningkatan pendapatan (Rostiana & Djulius, 2019).

Pengembangan dan pemerataan IMK juga berpotensi memberi dampak

positif terhadap pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau sustainable

2
development goals (SDGs). Menurut Raniya Sobir, konsultan untuk Divisi Urusan

Ekonomi dan Sosial PBB (The United Nations Department of Economic and Social

Affairs) untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), usaha industri mikro dan

kecil yang termasuk dalam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memiliki

peran dan kontribusi dalam mencapai 17 target SDGs (UNDESA, 2020). Usaha

industri mikro dan kecil dapat menciptakan lapangan kerja yang mengangkat orang

keluar dari kemiskinan (UNDESA, 2020). Selain itu, IMK dominan merupakan

usaha/perusahaan informal. Perusahaan informal melibatkan penduduk miskin dan

terpinggirkan sehingga dengan fleksibilitas ekonomi informal, dapat memberikan

peluang bagi masyarakat miskin, termasuk perempuan dan pemuda, untuk

memperoleh penghasilan (UNDESA, 2020).

Di Indonesia, sektor IMK dominan merupakan usaha/perusahaan informal

dan pengusaha serta pekerjanya juga dominan penduduk berpendidikan rendah.

Pada tahun 2019, 97,21 persen usaha/perusahaan IMK berbadan hukum perorangan

atau individu yang umumnya dikaitkan dengan sektor informal (BPS, 2020a).

Selain itu, lebih dari separuh pengusaha IMK di Indonesia, yakni sebesar 54,24

persen atau 2,38 juta orang berpendidikan SD ke bawah sedangkan 77,26 persen

atau 7,39 juta tenaga kerja IMK merupakan lulusan SMP ke bawah (BPS, 2020a).

Oleh karena itu, potensi IMK dalam menyerap pekerja berpendidikan rendah dapat

dijadikan sebagai upaya pengurangan kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan

pendapatan di Indonesia.

3
1 800 000
1 600 000
1 400 000
1 200 000
1 000 000
800 000
600 000
400 000
200 000
0
Tidak SD SMP SMA SMK Diploma Sarjana
Tamat SD (I/II/ III) (I/II/ III)

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah


Gambar 1. Tingkat pendidikan yang ditamatkan pengusaha IMK tahun 2019

4 000 000
3 500 000
3 000 000
2 500 000
2 000 000
1 500 000
1 000 000
500 000
0
Tidak SD SMP SMA SMK Diploma Sarjana
Tamat SD (I/II/ III) (I/II/ III)

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah


Gambar 2. Tingkat pendidikan yang ditamatkan pekerja IMK tahun 2019

Potensi dimiliki sektor IMK tentunya sangat berguna dalam pembangunan

ekonomi di Indonesia. Namun, potensi tersebut masih terhambat karena

ketidakmerataan IMK antarprovinsi di Indonesia. Ketimpangan IMK di Indonesia

dapat dilihat melalui peta sebaran antarprovinsi. Pada Gambar 3, sebaran usaha

IMK di Indonesia berpusat di Pulau Jawa terutama di Provinsi Jawa Tengah, Jawa

4
Timur, dan Jawa Barat menjadi provinsi-provinsi dengan jumlah IMK terbanyak.

Provinsi tersebut masing-masing terdapat lebih dari 500 ribu usaha IMK. Kondisi

ini sangat berbeda dengan Provinsi di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua dengan

jumlah usaha masing-masing mencapai kurang dari 30 ribu usaha IMK.

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah


Gambar 3. Sebaran jumlah usaha/perusahaan IMK menurut provinsi tahun 2019

Untuk analisis lebih lanjut perlu digunakan indikator yang standar sebagai

pembanding antarprovinsi. Indikator yang digunakan ialah densitas IMK, yaitu

jumlah usaha IMK dibagi l00 kilometer kuadrat luas wilayah provinsi. Menurut

Chin (2020), normalisasi dengan menggunakan luas wilayah diperlukan untuk

mengendalikan disparitas ukuran antarwilayah. Pada Gambar 4, densitas IMK

relatif berpusat di Pulau Jawa. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa sangat mendominasi

dengan nilai densitas IMK lebih dari seribu. Namun, densitas IMK relatif rendah di

Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. Semua provinsi di kedua pulau ini memiliki

5
densitas IMK dibawah 50, kecuali Provinsi Kalimantan Selatan dengan densitas

IMK sebesar 149. Hal ini mengindikasi IMK yang diukur dengan densitas terhadap

luas wilayah juga mengalami ketimpangan.

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah


Gambar 4. Sebaran densitas IMK menurut provinsi tahun 2019

Ketimpangan IMK di Indonesia dapat mengindikasikan adanya perbedaan

permasalahan yang dialami usaha IMK di setiap provinsi. Menurut Tambunan

(2012), proporsi UMK di industri manufaktur yang menghadapi permasalahan, baik

dalam jumlah maupun jenis masalah, cukup berbeda antarprovinsi. Tulus

Tambunan (2012) menjelaskan, perbedaan ini bisa terkait dengan perbedaan-

perbedaan dalam berbagai macam karakteristik lokal dari masing-masing provinsi

seperti ketersediaan infrastruktur (dalam jumlah maupun kualitas) seperti

pelabuhan laut atau udara, jalan raya, lokasi industri beserta komponen- komponen

pendukungnya, fasilitas penerangan dan telekomunikasi, serta fasilitas transportasi,

lokasi geografi terutama jaraknya dengan kota-kota penting atau pusat-pusat

6
kegiatan ekonomi dan administrasi pemerintah (seperti Jakarta, Surabaya dan

Makassar), kebijakan-kebijakan pemerintah daerah (Pemda), dan kondisi pasar

lokal (yang sangat ditentukan oleh jumlah penduduk, pendapatan rata-rata

penduduk, lokasi atau akses masyarakat ke pasar, dan persaingan baik antar sesama

UMK maupun antara UMK dengan UMB dan barang-barang impor).

Ketimpangan IMK antarprovinsi di Indonesia dapat dipahami melalui teori

lokasi terutama dari pendekatan industri (industrial location theory). Teori lokasi

industri bertujuan untuk menjelaskan distribusi spasial industri dengan mengacu

pada aspek-aspek lainnya (Webber, 1985). Teori lokasi industri dikembangkan

untuk menyelidiki fakta sederhana bahwa aktivitas industri tidak merata di seluruh

ruang (Webber, 1985). Teori lokasi industri pertama kali dikemukakan oleh Alfred

Weber pada tahun 1909 dan terus berkembang pesat dengan munculnya beberapa

teori lokasi industri yang baru. Alfred Weber (1929) mengemukakan teori biaya

minimum (least cost theory) yang berprinsip bahwa pengusaha industri akan

berlokasi dengan memperhitungkan biaya atau pengeluaran terkecil dalam kegiatan

produksi.

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, perlu ditemukan penyebab

ketimpangan usaha/perusahaan IMK antarprovinsi di Indonesia. Dalam

menjelaskan ketimpangan usaha/perusahaan IMK digunakan densitas IMK sebagai

unit analisis pada penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

memberi gambaran serta mengidentifikasi keterkaitan spasial dan determinan

ketimpangan densitas IMK antarprovinsi di Indonesia tahun 2019. Hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai penyebab

7
ketimpangan usaha/perusahaan IMK antarprovinsi dan saran dalam mengatasi

permasalahan tersebut.

Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif dan

analisis inferensial. Model yang akan digunakan dalam analisis inferensial adalah

model regresi spasial. Pemodelan regresi spasial dilakukan untuk

memperhitungkan adanya pengaruh hubungan perdagangan antarprovinsi terhadap

sektor IMK di Indonesia. Pada model regresi spasial, matriks penimbang spasial

diperlukan dalam melakukan estimasi. Pada penelitian ini, penyusunan matriks

pembobot spasial menggunakan teknik customized berdasarkan queen’s contiguity

dan hubungan perdagangan antarprovinsi yang disusun berdasarkan publikasi BPS

yang berjudul “Perdagangan Antar Wilayah Indonesia 2019”. Penelitian yang

dilakukan Firmansyah dan Muchlisoh (2021) menggunakan hubungan perdagangan

antarprovinsi dalam menyusun matriks pembobot spasial dan menyimpulkan

adanya keterkaitan spasial positif pada pendapatan IMK di Indonesia pada tahun

2017 sampai 2019. Hasil penelitian yang dilakukan Santoso dan Wilantari (2017)

juga mengindikasi adanya hubungan spasial positif yang cukup kuat pada usaha

industri di Indonesia. Santoso dan Wilantari (2017) juga menyarankan untuk

penelitian selanjutnya, agar mengembangkan model dengan mempertimbangkan

efek spasial dalam menganalisis sebaran usaha industri di Indonesia.

1.2 Identifikasi Masalah

Industri mikro dan kecil (IMK) memiliki peran yang penting dalam

pembangunan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan literatur yang telah ada, IMK

8
berpotensi mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan.

Di Indonesia, sektor IMK dominan dikelola dan ditenagakerjai oleh penduduk

berpendidikan rendah yang sering dikaitkan dengan penduduk miskin. Oleh karena

itu, pengembangan IMK dapat dijadikan sebagai upaya pemerataan ekonomi dalam

meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya penduduk miskin.

Pengembangan IMK juga menjadi salah satu target dalam Sustainable

Development Goals (SDGs) yaitu target ke-9. Target SDG ke-9 mencakup tiga

bidang, yaitu penyediaan infrastruktur yang tangguh, industrialisasi termasuk

pengembangan usaha industri kecil, dan promosi penelitian serta inovasi

(UNDESA, 2020). Pengembangan IMK dicakup dalam target SDG 9.3 yang

berfokus pada peningkatan peran dan kapasitas usaha industri kecil (UNDESA,

2020).

Potensi IMK sangat berguna bagi pembangunan ekonomi di Indonesia, akan

tetapi potensi tersebut masih terhambat akibat sebaran usaha IMK yang tidak

merata antarprovinsi. Pada tahun 2019, perbedaan jumlah usaha IMK di Pulau Jawa

sangat jauh jika dibandingkan dengan wilayah lain khususnya wilayah bagian

timur. Hal yang sama juga terjadi pada densitas IMK yang berpusat di Pulau Jawa

dan tidak tersebar merata. Ketimpangan tersebut mengakibatkan potensi pada

sektor IMK tidak dimanfaatkan secara merata di Indonesia. Padahal pengembangan

dan pemerataan IMK dapat dijadikan sebagai upaya dalam mengurangi kemiskinan,

pengangguran, dan ketimpangan pendapatan di masing-masing daerah. Selain itu,

target SDGs juga mendorong pengembangan dan pemerataan berkelanjutan sektor

IMK di Indonesia. Permasalahaan ketimpangan usaha IMK perlu diatasi agar

potensi sektor IMK dapat dimanfaatkan di setiap daerah serta upaya pencapaian

9
target SDG. Oleh karena itu, pengidentifikasian penyebab ketimpangan

usaha/perusahaan IMK antarprovinsi di Indonesia dengan ukuran densitas IMK

dilakukan agar diperoleh solusi terhadap permasalahan tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui gambaran mengenai pola persebaran densitas IMK dan

faktor-faktor yang diduga memengaruhinya di Indonesia tahun

2019.

2. Mengidentifikasi adanya keterkaitan spasial pada densitas IMK

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan

densitas IMK di Indonesia tahun 2019

1.4 Sistematika Penulisan

Penelitian ini berisis dari lima bab yang saling berhubungan. Bab I memuat

latar belakang mengenai potensi yang dimiliki IMK dalam pembangunan ekonomi

dan keadaan usaha IMK yang mengalami ketimpangan antarprovinsi di Indonesia.

Selanjutnya terdapat identifikasi masalah untuk memperkuat dan memperjelas

permasalahan yang ada. Kemudian terdapat tujuan penelitian untuk memperjelas

hasil yang hendak dicapai pada penelitian ini, yaitu bertujuan untuk memberi

gambaran serta mengidentifikasi keterkaitan spasial dan penyebab ketimpangan

densitas IMK antarprovinsi di Indonesia tahun 2019. Berikutnya terdapat

10
sistematika penulisan yang membahas informasi dan tata letak penulisan. Pada Bab

II memuat landasan teori yang berisi tentang teori-teori dan konsep yang digunakan

pada penelitian, kemudian terdapat penelitian terkait untuk memberi ringkasan

tentang penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian

ini, selanjutnya terdapat kerangka pikir yang berisi uraian tentang keterkaitan

variabel yang dicakup dalam penelitian, dan bagian terakhir terdapat hipotesis

penelitian yang memuat dugaan atau pernyataan awal hasil penelitian yang akan

dibuktikan melalui hasil akhir penelitian. Pada Bab III memuat ruang lingkup

penelitian yang berisi variabel penelitian, tempat penelitian, dan periode data yang

digunakan dalam penelitian, selanjutnya terdapat metode pengumpulan data yang

menjelaskan sumber data serta prosedur pengumpulan data yang digunakan pada

penelitian, dan bagian terakhir terdapat metode analisis memuat tahapan-tahapan

analisis data yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Bab IV memuat

hasil penelitian berdasarkan data dan metode analisis penelitian yang telah

dipaparkan. Bab terakhir ialah Bab V yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian

yang bertujuan untuk menjawab tujuan penelitian dan saran yang dapat diberikan

terkait dengan hasil penelitian yang didapatkan.

11
“… sengaja dikosongkan …”

12
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

Industri Pengolahan

Industri pengolahan adalah kegiatan produksi yang mengubah barang dasar

(bahan mentah) menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang

nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya. Usaha/perusahaan industri

pengolahan adalah unit kegiatan ekonomi yang melakukan/mengusahakan industri

manufaktur; terletak pada suatu bangunan/lokasi tertentu serta ada seorang atau

lebih yang bertanggung jawab atas usaha tersebut, sedangkan Usaha/perusahaan

jasa industri manufaktur adalah unit kegiatan dari suatu industri yang melayani

keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak yang

dilayani dan pihak usaha/perusahaan melaksanakan proses pengolahannya dengan

memperoleh pembayaran sebagai balas jasanya atau maklun (BPS, 2020a).

Usaha/perusahaan industri pengolahan juga dapat dibagi menjadi empat

golongan. Penggolongan usaha/perusahaan industri pengolahan ini berdasarkan

banyaknya tenaga kerja yang bekerja tanpa memperhatikan penggunaan mesin dan

besarnya modal usaha/perusahaan tersebut (BPS, 2021a). Penggolongan

usaha/perusahaan industri pengolahan berdasarkan tenaga kerja, yaitu sebagai

berikut :

 Industri Besar : 100 atau lebih tenaga kerja

13
 Industri Menengah : 20 sampai 99 tenaga kerja

 Industri Kecil : 5 sampai 19 tenaga kerja

 Industri Mikro : 1 sampai 5 tenaga kerja

Industri Mikro dan Kecil

Industri mikro dan kecil (IMK) merupakan usaha/perusahaan industri

pengolahan yang tenaga kerjanya dibawah 20 orang. Kegiatan IMK sangat

mendominasi aktivitas ekonomi industri manufaktur di Indonesia dengan jumlah

usaha/perusahaan sebanyak 4,37 juta atau 99,03 persen pada tahun 2016 (BPS,

2017). IMK memiliki peran penting bagi perekonomian di Indonesia. IMK

memiliki potensi yang berguna bagi pembangunan nasional terutama dalam

mengurangi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan pendapatan. Selain itu,

IMK juga dapat bertahan terhadap krisis ekonomi yang pernah dialami di Indonesia.

Menurut Pratomo ada beberapa faktor yang menyebabkan bertambahnya pelaku

UMKM seperti IMK setelah krisis ekonomi sebagai berikut (BPS, 2017) :

i. Produk UMKM umumnya merupakan barang konsumsi dengan

elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah, sehingga

ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan (penurunan) akibat krisis

ekonomi, tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang

dihasilkan.

ii. Sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga mereka

terhindar dari beban biaya bunga tinggi akibat adanya peningkatan suku

bunga ketika terjadi krisis di sektor perbankan.

14
iii. Hambatan keluar-masuk dalam industri yang ditekuni pelaku UMKM

hampir tidak ada.

iv. Adanya krisis ekonomi menyebabkan sektor formal banyak

memberhentikan pekerjanya. Para penganggur ini akhirnya memasuki

sektor informal, melakukan kegiatan usaha yang umumnya berskala

kecil, akibatnya jumlah pelaku UMKM meningkat.

Teori Biaya Minimum

Teori Biaya Minimum (Least Cost Theory) dikemukakan oleh Alfred Weber

dalam publikasinya yang berjudul Über den Standort der Industrien dalam bahasa

Jerman pada tahun 1909 dan telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh C. J.

Friedrich yang berjudul Theory of the Location of Industries pada tahun 1929.

Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas

prinsip biaya terkecil (Weber & Friedrich, 1929). Menurut Weber, ada enam

elemen biaya yang penting dalam proses produksi sebagai berikut :

1. Biaya lahan.

2. Biaya gedung, mesin, serta biaya modal tetap lainnya.

3. Biaya pengamanan bahan, tenaga dan bahan bakar.

4. Biaya tenaga kerja.

5. Biaya Transportasi.

6. Tingkat bunga.

7. Tingkat depresiasi modal tetap.

Weber kemudian membuat beberapa asumsi dalam menyederhanakan

modelnya sebagai berikut :

15
1. Unit analisisnya adalah satu negara terisolasi yang homogen dalam hal

iklim, topografi, ras, keterampilan teknis rakyat, dan berada di bawah satu

otoritas politik.

2. Biaya tanah, peralatan bangunan, bunga dan depresiasi modal tetap tidak

berbeda-beda.

3. Ukuran dan lokasi pusat-pusat konsumsi produk industri sama.

4. Lokasi sumber bahan baku diasumsikan sudah diketahui dan tidak merata

5. Mobilitas tenaga kerja secara geografis tetap dan terbatas

6. Adanya kondisi persaingan sempurna dengan sumber daya dan pasar yang

tidak terbatas pada lokasi tertentu dan tidak ada perusahaan yang dapat

memperoleh keuntungan monopolistik dari pilihan lokasinya.

Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Weber kemudian membuat teori

bertujuan untuk menjelaskan lokasi kegiatan industri dalam tiga faktor ekonomi,

antara lain biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan aglomerasi. Biaya transportasi

menjadi faktor yang penting dalam teori yang dikemukakan oleh Weber. Menurut

Weber, lokasi usaha industri dipilih berdasarkan jarak optimum terhadap lokasi

bahan baku dan lokasi pasar. Selain itu, perbedaan biaya upah tenaga kerja di setiap

wilayah juga merupakan faktor penentu lokasi usaha industri. Dalam

meminimalkan biaya, industri akan memilih lokasi dengan tingkat upah tenaga

kerja yang rendah. Faktor yang terakhir adalah faktor aglomerasi ekonomi.

Aglomerasi adalah istilah yang diberikan untuk pengelompokan kegiatan ekonomi

yang serupa. Adanya aglomerasi industri akan mempermudah industri dalam

memperoleh bahan baku yang diproduksi oleh industri lainnya. Oleh karena itu,

16
pada umumnya usaha industri yang baru memilih lokasi yang berdekatan dengan

industri yang sudah ada.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Densitas IMK

Upah Tenaga Kerja

Teori biaya minimum dari Weber menjelaskan bahwa biaya tenaga kerja

menjadi faktor penentu lokasi suatu usaha industri. Weber juga menekankan

bahwa biaya tenaga kerja yang dimaksud haruslah biaya tenaga kerja riil

(Weber & Friedrich, 1929). Biaya tenaga kerja bervariasi menurut lokasi,

berdasarkan serangkaian faktor seperti biaya perumahan, jumlah dan tingkat

kenaikan pekerja potensial, tingkat industrialisasi wilayah, dan perubahan

ekonomi lokal suatu wilayah (Harrington dan Warf, 2002).

Beberapa penelitian juga sudah dilakukan mengenai pengaruh upah

tenaga kerja terhadap penentuan lokasi usaha industri. Penelitian yang

dilakukan Takano, Tsutsumi, & Kikukawa (2018) menjelaskan upah tenaga

kerja berpengaruh terhadap penentuan lokasi industri kecil di Jepang. Pada

penelitian tersebut penghasilan yang dikenakan pajak per kapita digunakan

sebagai variabel penjelas untuk upah tenaga kerja. Hasilnya, variabel tersebut

memiliki pengaruh yang negatif menunjukkan usaha industri kecil akan relatif

berlokasi di wilayah dengan tingkat upah tenaga kerja yang rendah.

Aglomerasi Industri

Aglomerasi merupakan salah satu faktor penentu lokasi suatu industri

berdasarkan teori biaya minimum dari Weber (Weber & Friedrich, 1929).

Istilah aglomerasi muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Marshall yang

17
mengatakan bahwa aglomerasi ekonomi terjadi ketika suatu industri memilih

lokasi kegiatan produksi yang memungkinkan operasional perusahaan tersebut

dapat berlangsung dalam jangka panjang (BPS, 2017). Menurut Cholis, hal

tersebut akan menguntungkan masyarakat yang ikut mendirikan usaha di sekitar

lokasi tersebut (BPS, 2017). Sementara itu, Montogomery berpendapat bahwa

penghematan aglomerasi merupakan penghematan yang diasosiasikan dengan

pengelompokan perusahaan, tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk

memperkecil biaya-biaya seperti biaya transportasi, informasi, dan komunikasi

(BPS, 2017). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, aglomerasi industri dapat

diartikan sebagai berkumpulnya atau terkonsentrasinya industri pada suatu

lokasi/wilayah. Swardnidi menyebutkan bahwa aglomerasi industri merupakan

salah satu indikator berkembangnya peranan industri manufaktur di suatu

wilayah. Aglomerasi industri dianggap dapat meningkatkan efisiensi yang pada

akhirnya meningkatkan daya saing industri manufaktur (BPS, 2017).

Aglomerasi industri dapat diukur dengan menggunakan Indeks

Spesialisasi Industri (SI). Nilai Indeks Spesialisasi Industri (SI) diatas satu

menunjukkan industri teraglomerasi di provinsi tersebut. Semakan besar nilai

Indeks Spesialisasi Industri (SI) maka semakin besar juga tingkat aglomerasi

industri di wilayah tersebut. Adapun formula yang digunakan untuk

menghitung indeks SI adalah (Capello & Nijkamp, 2009):

𝐸𝑟𝑖
⁄𝐸
𝑘𝑖
𝑆𝐼𝑖 = (1)
𝐸𝑟𝑛
⁄𝐸
𝑘𝑛

Keterangan :

18
𝐸𝑟𝑖 : tenaga kerja industri di provinsi i

𝐸𝑘𝑖 : total tenaga kerja di provinsi i

𝐸𝑟𝑛 : total tenaga kerja industri nasional

𝐸𝑘𝑛 : total tenaga kerja nasional

Pada penelitian yang dilakukan Takano, Tsutsumi, & Kikukawa (2018)

menunjukkan aglomerasi merupakan salah satu faktor penentu lokasi industri

kecil di Jepang. Takano menggunakan indeks SI dalam mengukur aglomerasi

industri. Hasil yang diperoleh menunjukkan aglomerasi industri memiliki

pengaruh positif terhadap lokasi suatu industri kecil. Penelitian lainnya yang

dilakukan An dan Wan (2019) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa

aglomerasi yang diukur dengan indeks SI memiliki pengaruh positif terhadap

jumlah industri di suatu wilayah.

Kualitas Infrastruktur Jalan

Infrastruktur jalan berperan penting dalam penentuan lokasi IMK.

Berdasarkan teori Weber (Weber & Friedrich, 1929), biaya transportasi

merupakan salah satu faktor dalam penentu lokasi industri. Menurut Weber

(1929), biaya transportasi akan bervariasi sesuai dengan panjang dan sifat jalan

yang harus dilalui untuk mengantarkan bahan dari tempat produksi dan produk

jadi ke tempat pasar. Infrastruktur jalan dengan kualitas bagus tentunya akan

mempermudah usaha industri dalam melakukan produksi. Akan tetapi, akses

jalan dengan kualitas buruk akan mempersulit kegiatan usaha industri dan dapat

menambah biaya transportasi suatu usaha industri. Hasil penelitian dari Takano,

Tsutsumi, & Kikukawa (2018) menunjukkan faktor aksesibilitas diukur dengan

infrastruktur transportasi memiliki pengaruh signifikan menunjukkan industri

19
akan berjumlah lebih sedikit di daerah dengan aksesibilitas yang ke jalan raya

yang kurang memadai

Modal Manusia

Harington dan Warf (2002) berpendapat bahwa tenaga kerja terampil

juga dapat menjadi faktor penentu lokasi industri. Tenaga kerja terampil dapat

dijadikan input produksi dalam memaksimalkan pendapatan (Harington &

Warf, 2002). Akan tetapi, terdapat kontradiksi bahwa tenaga kerja yang

terampil dengan upah buruh sebagai penentu lokasi industri. Menurut Harington

dan Warf (2002), pekerja yang kurang terampil dapat dipekerjakan dengan upah

dan tunjangan yang lebih rendah sehingga dapat mengurangi biaya pengeluaran.

Penelitian oleh An dan Wan (2019) menunjukkan modal manusia memiliki

pengaruh positif terhadap penentuan lokasi industri kecil di Korea Selatan. An

dan Wan (2019) menggunakan persentase orang yang bekerja dengan gelar

sekolah menengah sebagai variabel independen. Hal ini menunjukkan industri

kecil berlokasi di wilayah dengan tingkat pendidikan yang tinggi.

Tingkat Konsumsi Pasar

Menurut Harrington dan Warf (2002), industri tidak hanya berlokasi

untuk memperkecil biaya produksi tetapi juga memaksimalkan pendapatan

sebagai tujuan utama suatu usaha. Salah satu faktor penentu lokasi industri

dalam memaksimalkan pendapatan adalah karakteristik pasar. Harrington dan

Warf (2002) menjelaskan karakteristik pasar yang berbeda di seluruh wilayah

(dunia, negara, sub-area) dapat memengaruhi pertimbangan antara

meminimalisir biaya atau memaksimalkan pendapatan. Perbedaan karakteristik

20
pasar disebabkan adanya perbedaan elastisitas harga yang dipengaruhi

perbedaan selera, kebutuhan, tingkat pendapatan, atau kemungkinan substitusi.

Harrington dan Warf, jika perbedaan pasar seperti itu ada di seluruh wilayah

yang sedang dipertimbangkan, maka pasar dengan permintaan yang lebih elastis

memberikan daya tarik yang lebih kuat bagi usaha industri untuk berlokasi.

Penelitian An dan Wan (2019) menunjukkan tingkat konsumsi pasar

memiliki pengaruh positif terhadap lokasi industri kecil di Korea. An

menggunakan pendapatan per kapita untuk mengukur tingkat konsumsi pasar.

Wilayah dengan tingkat konsumsi pasar yang tinggi menjadi daya tarik bagi

penentuan lokasi industri kecil.

Tingkat Bunga Koperasi Simpan Pinjam

Menurut Weber (1929), tingkat bunga merupakan merupakan bagian

dari biaya yang berperan penting dalam proses produksi, namun, tingkat bunga

tidak memiliki pengaruh lokasional yang signifikan dalam kaitannya di suatu

wilayah pada suatu negara. Hal ini dikarenakan tingkat bunga tidak memiliki

perbedaan yang signifikan atau sama untuk setiap wilayah di suatu negara

(Weber & Friedrich, 1929). Namun pernyataan Weber hanya mengacu pada

tingkat bunga dari bank karena tingkat bunga bank ditentukan oleh bank sentral

di suatu negara. Di Indonesia, tingkat bunga pada bank umumnya sama di setiap

wilayah karena diatur oleh Bank Indonesia. Akan tetapi, tingkat bunga pada

koperasi simpan pinjam beragam untuk setiap wilayah. Hal ini dikarenakan,

usaha koperasi simpan pinjam dikelola secara mandiri oleh anggota koperasi

tersebut. Selain itu, terdapat juga beberapa pengusaha IMK yang merupakan

anggota koperasi dan modal yang berasal dari koperasi (BPS, 2020a). Oleh

21
karena itu, tingkat bunga pada koperasi simpan pinjam dapat dijadikan faktor

lokasi sebagai modal finansial pada tingkat regional untuk IMK di Indonesia.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sarwoko (2009), koperasi simpan pinjam

memiliki peran yang cukup besar dalam pemenuhan permodalan UMKM di

Kabupaten Malang. Hal ini ditunjukkan dari kemampuan koperasi simpan

pinjam yang mampu menyalurkan kredit modal kerja ke UMKM sebesar

79,81% dari total kredit yang disalurkan.

IMK dan Perdagangan Antarwilayah

Perdagangan antarwilayah mempunyai peran penting dalam perekonomian

masyarakat. Perdagangan antarwilayah menggambarkan rangkaian jalur

perpindahan suatu barang dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Ketersediaan dan

kebutuhan komoditas di setiap provinsi yang berbeda-beda serta fluktuasi dan

disparitas harga barang pokok antardaerah yang cukup tinggi menjadi faktor

pendorong terjadinya perdagangan antarwilayah (BPS, 2020e).

Secara umum, Indonesia merupakan negara kepulauan. Akan tetapi, hal ini

tidak membatasi kegiatan perdagangan antarwilayah di Indonesia. Perdagangan

antarwilayah dari pulau ke pulau disebut dengan perdagangan antarpulau.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 29/M-

DAG/PER/5/2017 Tentang Perdagangan Antarpulau, perdagangan antarpulau

adalah kegiatan perdagangan dan atau pendistribusian barang dari satu pulau ke

pulau lain dalam satu provinsi atau antarprovinsi, yang dilakukan oleh pelaku usaha

perdagangan antarpulau dengan cara menyeberangkan barang dimaksud dengan

menggunakan angkutan laut atau sungai. Dengan demikian, perdagangan

22
antarwilayah dapat diartikan sebagai perdagangan dan pendistribusian barang dari

satu provinsi ke provinsi lain yang berbeda dalam negara yang sama (BPS, 2020e).

Perdagangan antarwilayah merupakan unsur penting dalam proses kegiatan

usaha IMK. Berdasarkan publikasi Profil Industri Mikro dan Kecil 2019 (BPS,

2020a), pemasaran produk hasil usaha/perusahaan IMK di luar kabupaten/kota

dalam satu provinsi dan luar provinsi masing-masing sebesar 7,57 persen dan 2,79

persen. Untuk asal memperoleh bahan baku, terdapat 437 ribu atau 10 persen IMK

yang memperoleh bahan baku dari luar kabupaten/kota dalam satu provinsi

sedangkan untuk IMK yang memperoleh bahan baku dari luar provinsi terdapat 161

ribu atau 3,6 persen IMK (BPS, 2020a). Hal ini menunjukkan perdagangan

antarwilayah berkaitan erat dengan proses kegiatan usaha IMK di Indonesia.

Analisis Regresi

Analisis regresi merupakan sebuah alat statistik yang memanfaatkan relasi

antara dua atau lebih variabel kuantitatif, sehingga nilai dari salah satu variabel

tersebut dapat diprediksi oleh satu atau beberapa variabel lainnya (Neter, 1983).

Selain digunakan untuk memprediksi, regresi juga dapat digunakan untuk

mempelajari hubungan serta mengetahui pengaruh satu atau lebih variabel

independen terhadap variabel dependen. Persamaan regresi linear berganda dengan

p variabel independen dapat dituliskan sebagai berikut :

𝑌𝑖 = 𝛽0 + ∑ 𝛽𝑗 𝑋𝑖𝑗 + 𝜀𝑖 ; 𝑖 = 1,2, … , 𝑛 ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 (2)


𝑗=1

Keterangan :

23
𝑌𝑖 : variabel dependen pada observasi ke-i

𝑋𝑖 : variabel independen ke-j pada observasi ke-i

𝛽0 : konstanta regresi (intercept)

𝛽𝑗 : koefisien atau parameter regresi ke-j

𝜀𝑖 : residual dari observasi ke-i

Uji Simultan

Uji simultan adalah uji statistik yang digunakan untuk melihat bagaimana

variabel independen secara simultan berpengaruh terhadap variabel dependen.

Hipotesis pada uji simultan sebagai berikut :

𝐻0 ∶ 𝛽1 = 𝛽2 = ⋯ = 𝛽𝑝 = 0

𝐻1 ∶ 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝛽𝑗 ≠ 0 ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝

Statistik uji yang digunakan adalah :

𝑅 2 /(𝑛 − 1)
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = ~𝐹 (3)
(1 − 𝑅 2 )/(𝑛 − 𝑝) 𝑝−1;𝑛−𝑝

𝑅 2 merupakan koefisien determinasi, n merupakan banyaknya observasi,

dan p merupakan banyaknya variabel independen. Interpretasi hasil uji simultan

ketika 𝐻0 ditolak jika 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑝−1;𝑛−𝑝 atau jika nilai p-value kurang dari tingkat

signifikansi yang artinya terdapat satu variabel independen yang secara signifikan

mempengaruhi variabel dependen.

Uji Parsial

24
Uji parsial digunakan untuk melihat signifikan dari pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen secara individu. Hipotesis pada uji parsial

sebagai berikut :

𝐻0 ∶ 𝛽𝑗 = 0 atau tidak terdapat pengaruh antara variabel independen ke-

j terhadap variabel dependen

𝐻1 ∶ 𝛽𝑗 ≠ 0 atau terdapat pengaruh antara variabel independen ke-j

terhadap variabel dependen

Statistik uji yang digunakan adalah :

𝛽
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑠𝑒(𝛽𝑗 ) ~𝑡𝑛−2−𝑝 ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 (4)
𝑗

𝛽𝑗 merupakan koefisien regresi variabel independen ke-j, 𝑠𝑒(𝛽𝑗 ) merupakan

standar deviasi dari koefisien regresi ke-j, n merupakan banyaknya observasi, dan

p merupakan banyaknya variabel independen. Interpretasi hasil uji simultan ketika

𝐻0 ditolak jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑛−2−𝑝 atau jika nilai p-value kurang dari tingkat

signifikansi yang artinya variabel independen yang diuji secara signifikan

mempengaruhi variabel dependen.

Asumsi – Asumsi Dalam Analisis Regresi

Dalam analisis regresi linear, terdapat asumsi-asumsi yang harus terpenuhi.

Maka dari itu perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi tersebut. Secara

umum, asumsi-asumsi tersebut yang dimaksud antara lain adalah normalitas,

homoskedastisitas, nonmultikolinearitas, serta nonautokorelasi. Tujuan pengujian

asumsi tersebut adalah agar hasil analisis regresi memiliki estimasi yang akurat,

tidak bias, dan konsisten.

25
Normalitas

Normalitas merupakan salah satu asumsi yang harus terpenuhi dalam

melakukan analisis regresi. Menurut Gujarati (2011), walaupun komponen

residual (error) tidak berdistribusi normal, estimator regresi klasik (OLS) masih

dapat dinyatakan sebagai estimator tidak bias linier terbaik (Best Linear

Unbiased Estimator). Akan tetapi, uji t dan F yang telah digunakan selama ini

mengasumsikan bahwa distribusi probabilitas dari komponen residual harus

mengikuti distribusi normal (Gujarati, 2011).

Pengujian asumsi normalitas dapat dilakukan dengan pengujian secara

statistik yaitu dengan uji Jarque-Bera (Gujarati, 2011). Dalam proses

pengujiannya, uji Jarque-Bera menghitung kemencengan (skewness) dan

keruncingan (kurtosis). Untuk data berdistribusi normal, nilai kemencengan (S)

= 0 dan keruncingan (K) = 3. Uji kenormalan Jarque-Bera memiliki hipotesis

sebagai berikut :

𝐻0 ∶ 𝑆 = 0 𝑑𝑎𝑛 𝐾 = 3 atau residual mengikuti distribusi normal

𝐻1 ∶ 𝑆 ≠ 0 𝑑𝑎𝑛 𝐾 ≠ 3 atau residual tidak mengikuti distribusi normal

Statistik uji yang digunakan adalah (Gujarati, 2011) :

𝑆 2 (𝐾 − 3)2 2
𝐽𝐵 = 𝑛 [ − ] ~𝜒𝛼;2 (5)
6 24

Keterangan :

1 ∑𝑛
𝑖=1(𝑥𝑖 −𝑥̅ )
𝑆 : skala kemencengan (skewness), 𝑆 = 𝑛 𝑠3

1 ∑𝑛
𝑖=1(𝑥𝑖 −𝑥̅ )
𝐾 : skala keruncingan (kurtosis), 𝐾 = 𝑛 𝑠4

𝑛 : banyaknya observasi

26
𝑥𝑖 : nilai observasi ke-𝑖

𝑥̅ : nilai rata-rata 𝑥

𝑠 : standar deviasi 𝑥

Pada uji statistik Jarque-Bera, nilai 𝐽𝐵 mengikuti distribusi chi-square

dengan derajat bebas dua. Keputusan menolak 𝐻0 pada taraf nyata 𝛼 apabila

nilai dari statistik uji 𝐽𝐵 melebihi nilai chi-square tabel dengan derajat bebas p

2
atau 𝐽𝐵 > 𝜒𝛼,2 ). Hal ini menunjukkan terdapat bukti bahwa residual tidak

mengikuti distribusi normal.

Homoskedastisitas

Model regresi linier klasik mengasumsikan bahwa komponen error 𝜀𝑖

dalam model regresi memiliki homoskedastisitas atau kesamaan varians di

seluruh pengamatan, dilambangkan dengan 𝜎2 (Gujarati, 2011).

Homoskedastisitas dapat diartikan sebagai keadaan nilai varians dari residual

adalah sama atau konstan untuk semua observasi. Secara umum,

homoskedastisitas dapat dilambangkan pada persamaan berikut dengan 𝑋

merupakan variabel independen dan n merupakan banyaknya observasi :

𝐸(𝜀 2 𝑖 | 𝑋𝑖 ) = 𝜎 2 𝑖 ; 𝑖 = 1,2, … , 𝑛 (6)

Menurut Gujarati (2011), jika homoskedastisitas tidak terpenuhi atau

terjadi heteroskedastisitas, penduga metode kuadrat terkecil (OLS) tidak lagi

memiliki varians minimum atau efisien. Hal ini menyebabkan penduga tersebut

tidak lagi merupakan penduga tak bias linier terbaik (Best Linear Unbiased

Estimator) melainkan hanya penduga tak bias linier (Gujarati, 2011).

Akibatnya, uji t dan F mungkin tidak dapat diandalkan, sehingga menghasilkan

27
kesimpulan yang salah mengenai signifikansi statistik dari estimasi koefisien

regresi.

Untuk menguji asumsi homoskedastisitas pada data, dapat

menggunakan uji statistik Breusch-Pagan. Uji statistik Breusch-Pagan

memiliki hipotesis sebagai berikut :

𝐻0 ∶ 𝛿0 = 𝛿1 = 𝛿2 = ⋯ = 𝛿𝑗 = 0 (homoskedastik)

𝐻1 ∶ Minimal satu 𝛿𝑗 ≠ 0 (heteroskedastik)

Tahapan uji statistik Breusch-Pagan dapat dilakukan dengan tahap

sebagai berikut (Gujarati, 2011) :

1. Lakukan regresi bantu (auxiliary regression) antara residual 𝜀𝑖 2

terhadap seluruh variabel independen yang digunakan sehingga

diperoleh model regresi sebagai berikut :

𝑝
2
𝜀𝑖 = 𝛿0 + ∑ 𝛿𝑗 𝑋𝑖𝑗 + 𝑣𝑖 (7)
𝑗=1

2. Dari model regresi bantu tersebut, peroleh nilai koefisien determinasi

(𝑅 2 𝑎𝑢𝑥 )

3. Peroleh nilai uji statistik Breusch-Pagan sebagai berikut :

𝐿𝑀 = 𝑛 × 𝑅 2 𝑎𝑢𝑥 ~ 𝜒𝛼,𝑝
2
(8)

Keterangan :

𝜀𝑖 : nilai residual dari model regresi utama

𝑋𝑖𝑗 : variabel independen ke-𝑗 dari model regresi utama

𝑣𝑖 : nilai residual dari model regresi bantu

28
𝛿0 : konstanta dari model regresi bantu

𝛿1 : koefisien atau parameter ke-𝑗 dari model regresi bantu

𝑅 2 𝑎𝑢𝑥 : nilai koefisien determinasi dari model regresi bantu

𝜎2 : matriks varians-kovarians dari model regresi utama

𝑛 : banyaknya observasi

𝑝 : banyaknya variabel dependen

𝛼 : taraf signifikansi

Pada uji statistik Breusch-Pagan, residual harus berdistribusi normal.


2
Keputusan menolak 𝐻0 pada taraf nyata 𝛼 apabila nilai 𝐿𝑀 > 𝜒𝛼,𝑝 . Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat bukti adanya heteroskedastisitas pada model. Jika

terdapat heteroskedastisitas pada model, maka perlu dicari upaya perbaikan.

Multikolinearitas

Salah satu asumsi dari model regresi linier klasik (Classical Linear

Regression Model) adalah bahwa tidak ada hubungan linier yang pasti antara

regressors (variabel independen) (Gujarati, 2011). Jika ada satu atau lebih

hubungan seperti itu di antara regressor, hal ini disebut multikolinearitas.

Menurut Gujarati (2011), adanya multikolinearitas dapat menyebabkan

konsekuensi antara lain, penduga OLS masih estimator tidak bias linier terbaik

(Best Linear Unbiased Estimator), namun memiliki varians dan kovarians yang

besar, sehingga membuat estimasi yang tepat menjadi sulit. Akibatnya, interval

kepercayaan cenderung lebih lebar. Oleh karena itu, rasio t dari satu atau lebih

koefisien cenderung tidak signifikan secara statistik. Kemudian beberapa

koefisien regresi secara statistik tidak signifikan, nilai R2 mungkin sangat

tinggi. Penaksir OLS dan standar error-nya sangat sensitif terhadap perubahan

29
kecil dalam data. Menambahkan variabel kolinier ke model regresi yang dipilih

dapat mengubah nilai koefisien variabel lain dalam model.

Ukuran yang paling umum digunakan untuk mendeteksi adanya

multikolinearitas adalah nilai variance inflation factor (VIF). Nilai VIF terbesar

diantara semua variabel bebas di dalam model biasanya digunakan sebagai

indikator seberapa kuatnya multikolinearitas antarvariabel independen. Rumus

VIF adalah sebagai berikut :

1
𝑉𝐼𝐹 = ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 (9)
(1 − 𝑅𝑗2 )

𝑅𝑗2 adalah koefisien determinasi yang diperoleh model regresi antara

variabel independen ke-j dengan variabel independen yang lain dan p adalah

banyaknya variabel independen. VIF yang lebih besar dari 10 diindikasikan

sebagai multikolinearitas yang berpengaruh terhadap proses penaksiran.

Autokorelasi Spasial

Salah satu asumsi model regresi linier klasik (Classical Linear

Regression Model) ialah komponen residual (error) tidak berkorelasi (Gujarati,

2011). Asumsi ini sering terjadi pada analisis data deret waktu (time series

data). Namun, autokorelasi juga dapat terjadi pada data potong lintang (cross-

sectional data). Literatur deret waktu (time series) berfokus pada

ketergantungan antara pengamatan dari waktu ke waktu dan menggunakan

simbol ''t-1'' untuk menunjukkan variabel lag dalam waktu, sedangkan literatur

ekonometrik spasial berfokus pada ketergantungan antara pengamatan antara

ruang dan menggunakan matriks penimbang spasial untuk menggambarkan

keterkaitan spasial unit geografis dalam sampel (La Sage dan Pace, 2009).

30
Menurut La Sage dan Pace (2009), perlu ditekankan bahwa ekonometrika

spasial bukanlah pengembangan langsung dari ekonometrika deret waktu satu

dimensi ke dua dimensi. Satu perbedaan yang pasti adalah bahwa dua unit

geografis dapat saling mempengaruhi satu sama lain atau simultan, sedangkan

dua pengamatan dalam waktu tidak mempengaruhi secara simultan (La Sage

dan Pace, 2009). Dengan kata lain, autokorelasi spasial berbeda dari

autokorelasi deret waktu karena ketergantungan spasial yang bersifat dua

dimensi dan multi arah (Patterson dan Mills, 2009).

Konsep autokorelasi spasial didasari pada Tobler’s first law yaitu

“segala sesuatu saling berhubungan, namun yang saling berdekatan lebih

berhubungan dibandingkan dengan yang jauh”. Berdasarkan pernyataan

tersebut, maka secara umum autokorelasi spasial mencerminkan situasi ketika

nilai yang diamati di suatu lokasi atau wilayah bergantung pada nilai

pengamatan tetangga di lokasi terdekat (La Sage dan Pace, 2009). Asumsi

autokorelasi spasial memiliki fokus pada ada atau tidaknya korelasi residual di

setiap unit observasi spasial. Jika autokorelasi spasial diabaikan dalam estimasi

koefisien regresi dengan metode kuadrat terkecil (OLS) dapat menyebabkan

hasil yang bias dan tidak konsisten (La Sage dan Pace, 2009).

Pengujian autokorelasi spasial dapat dibedakan berdasarkan ruang

lingkup analisisnya (Fisher dan Getis, 2010). Ada dua lingkup yang digunakan

yaitu global dan lokal. Ruang lingkup global menguji semua elemen secara

bersama-sama dalam pengujian autokorelasinya sedangkan ruang lingkup lokal

hanya menguji pada satu unit spasial tertentu. Pengujian autokorelasi spasial

31
pada ruang lingkup global dapat digunakan uji Moran’s I. Nilai statistik

Moran’s I dapat dituliskan sebagai berikut :

𝑛 ∑𝑛𝑓=1 ∑𝑛𝑔=1(𝑦𝑓 − 𝑦̅)(𝑦𝑔 − 𝑦̅)


𝐼= 𝑛 ,𝑖 ≠ 𝑗 (10)
∑𝑓=1 ∑𝑛𝑔=1 𝑤𝑓𝑔 ∑𝑛𝑖=1(𝑦𝑓 − 𝑦̅)2

Keterangan :

𝑛 : banyaknya observasi

𝑤𝑓𝑔 : matriks pembobot spasial antara observasi ke-i dan ke-j

𝑦𝑓 : variabel y observasi ke-f

𝑦𝑔 : variabel y observasi ke-g

𝑦̅ : nilai rata-rata variabel y

Uji Moran’s I dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya

autokorelasi spasial pada residual. Uji signifikansi Moran’s I sebagai berikut :

𝐼 − 𝐸(𝐼)
𝑍(𝐼) = ~ 𝑍𝛼⁄2 (11)
√𝑉𝑎𝑟(𝐼)

Keterangan :

𝐼 : Nilai statistik Moran’s I

1
𝐸(𝐼) : Nilai ekspektasi Moran’s I ; 𝐸(𝐼) = − 𝑛−1

𝑉𝑎𝑟(𝐼) : Varians Moran’s I ;


2 2
𝑛2 ∑𝑛 𝑛 2 𝑛 𝑛 2 𝑛 𝑛 2
𝑓=1 ∑𝑔=1 𝑤𝑓𝑗𝑔 +3(∑𝑓=1 ∑𝑔=1 𝑤𝑓𝑔 ) −𝑛 ∑𝑓=1(∑𝑔=1 𝑤𝑓𝑔 )
𝑉𝑎𝑟(𝐼) = 2
(𝑛2 −1)(∑𝑛 𝑛 2
𝑓=1 ∑𝑔=1 𝑤𝑓𝑔 )

Pada uji signifikansi Moran’s I, keputusan menolak 𝐻0 pada taraf nyata

𝛼 apabila nilai dari 𝑍(𝐼) > 𝑍𝛼⁄2 . Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bukti

adanya autokorelasi spasial pada residual.

32
Eksplorasi Data

Eksplorasi data merupakan hal yang penting dalam melakukan analisis data.

Tujuan dari eksplorasi data ialah untuk mempelajari karakteristik data dan

mengidentifikasi potensi permasalahan yang mungkin terjadi pada data yang

digunakan. Selain itu, eksplorasi data juga dapat digunakan sebagai acuan atau

dasar dalam pembentukan suatu model pada analisis regresi. Menurut Chatterjee

dan Hadi (2012), bentuk model yang merepresentasikan hubungan antara variabel

respon (variabel dependen) dan variabel prediktor (variabel (independen) harus

didasarkan pada latar belakang teoritis atau hipotesis yang akan diuji, namun jika

tidak ada informasi sebelumnya yang tersedia mengenai bentuk model, maka data

dapat digunakan untuk menyarankan model yang akan digunakan. Hubungan antara

variabel respon (variabel dependen) dan variabel prediktor (variabel (independen)

dapat dilihat melalui grafik scatter plot. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan

terhadap variabel dalam penelitian. Tujuannya ialah untuk memiliki gambaran

umum mengenai distribusi variabel (Chatterjee & Hadi, 2012). Histogram dan

density plot dapat digunakan untuk memeriksa variabel tertentu berdistribusi

normal atau tidak. Distribusi variabel juga dapat diperiksa melalui kemencengan

(skewness) dan keruncingan (kurtosis) serta uji statistik normalitas seperti uji

Jarque-Bera.

Uji Kesalahan Spesifikasi Persamaan Regresi Ramsey (RESET Test)

Dalam analisis regresi linier klasik, model yang digunakan dalam analisis

harus ditentukan dengan spesifikasi yang benar. Menurut Gujarati (2011),

spesifikasi yang benar dimaksud adalah satu atau lebih hal berikut:

33
1. Model tidak mengecualikan variabel "inti".

2. Model tidak menyertakan variabel yang berlebihan.

3. Bentuk fungsional model dipilih dengan tepat.

4. Tidak ada kesalahan pengukuran pada regressand dan regressor.

5. Pencilan dalam data, jika ada, diperhitungkan.

6. Distribusi probabilitas dari istilah kesalahan ditentukan dengan baik.

7. Apa yang terjadi jika regressor adalah stokastik?

8. Masalah Persamaan Simultan: bias simultanitas.

Uji kesalahan spesifikasi persamaan regresi Ramsey atau regression

equation specification error test, disingkat RESET, adalah uji umum untuk

kesalahan spesifikasi model (Gujarati, 2011). Tahapan uji statistik Breusch-Pagan

dapat dilakukan dengan tahap sebagai berikut (Gujarati, 2011) :

1. Lakukan regresi linier pada model awal yang akan diuji sebagai model

terbatas (restricted model) dan peroleh nilai estimasi 𝑦̂.

2. Lakukan regresi pada model bantu (auxiliary regression) sebagai model

tidak terbatas (unrestricted model dengan memasukkan 𝑦̂ 2 , 𝑦̂ 3 ,…, 𝑦̂ 𝑚

berikut :

𝑌𝑖 = 𝛿0 + ∑ 𝛿𝛾𝑗 𝑋𝑖𝑗 + 𝛾1 𝑦̂ 2 𝑖 + 𝛾2 𝑦̂ 3 𝑖 + ⋯ + 𝛾𝑘 𝑦̂ 𝑘 𝑖 + 𝜀𝑖 (12)


𝑗=1

3. Lakukan uji F pada model awal dan model bantu dengan hipotesis serta

uji statistik sebagai berikut.

Hipotesis pada uji simultan sebagai berikut :

𝐻0 ∶ 𝛾1 = 𝛾2 = ⋯ = 𝛾𝑘 = 0

𝐻1 ∶ 𝑀𝑖𝑛𝑖𝑚𝑎𝑙 𝑡𝑒𝑟𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝛾𝑙 ≠ 0 ; 𝑙 = 1,2, … , 𝑘

34
Statistik uji yang digunakan adalah :

(𝑆𝑆𝐸𝑟 − 𝑆𝑆𝐸𝑢𝑟 )⁄𝑚


𝐹= ~ 𝐹𝑚,𝑛−(𝑘+1) (13)
𝑆𝑆𝐸𝑢𝑟 ⁄(𝑛 − (𝑘 + 1))

Pada Uji F, 𝑆𝑆𝐸𝑟 merupakan sum square error restricted model, 𝑆𝑆𝐸𝑢𝑟

merupakan sum square error unrestricted model, n merupakan jumlah observasi,

dan k adalah jumlah variabel. Uji RESET ketika menolak 𝐻0 memberi kesimpulan

bahwa terdapat bukti adanya kesalahan spesifikasi model.

Model Regresi Spasial

Regresi spasial merupakan pengembangan dari regresi linier.

Pengembangan tersebut dikarenakan adanya ketergantungan spasial atau

autokorelasi spasial pada data yang dianalisis dapat melanggar asumsi klasik

regresi, yaitu autokorelasi pada residual. Jika menggunakan regresi linear metode

kuadrat terkecil (OLS), maka estimasi yang dihasilkan akan bias dan estimasi

koefisien regresi yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas tidak

terpenuhi (La Sage dan Pace, 2009). Oleh karena itu, regresi spasial dikembangkan

untuk mengatasi masalah autokorelasi spasial dengan dengan mempertimbangkan

efek spasial di dalamnya. Persamaan model umum regresi spasial atau dikenal

dengan model Spatial Autoregressive Moving Average (SARMA) dapat dituliskan

sebagai berikut (Anselin, Florax, & Rey, 2004) :

𝑌 = 𝜌𝑊𝑌 + 𝑋𝛽 + 𝑢
𝑢 = 𝜆𝑊𝑢 + 𝜀 (14)
𝜀 ~ 𝑁(0, 𝜎 2 𝐼)

Keterangan :

35
𝑌 : vektor variabel dependen dengan ukuran 𝑛 × 1

𝑋 : matriks variabel independen dengan ukuran (𝑝 + 1) × 𝑛

𝛽 : vektor koefisien parameter regresi dengan ukuran (𝑝 + 1) × 1

𝜌 : parameter koefisien spasial lag variabel dependen

𝜆 : parameter koefisien spasial lag pada error

𝑢 : vektor residual (error) dengan ukuran 𝑛 × 1 yang mengalami

autokorelasi spasial

𝜀 : vektor residual (error) dengan ukuran 𝑛 × 1 yang bersifat

independen dan berdistribusi identik (i.i.d)

𝑊 : matriks pembobot spasial dengan ukuran 𝑛 × 𝑛

𝑛 : banyaknya observasi

𝑝 : banyaknya variabel independen

𝐼 : matriks identitas dengan ukuran 𝑛 × 𝑛

Berdasarkan model SARMA, dapat diperoleh tiga model regresi, yaitu

spasial lag, spasial error dan regresi linier berganda. Model spatial (autoregressive)

lag dependent model atau dikenal dengan Spatial Autoregressive Model (SAR)

merupakan model regresi yang didalamnya terdapat komponen spasial dari variabel

dependen. Komponen lag variabel dependen (𝑊𝑦) ini dijadikan sebagai variabel

independen dalam modelnya dengan 𝜌 sebagai parameter atau koefisien regresinya.

Persamaan model spasial lag atau SAR diperoleh apabila 𝜌 ≠ 0 dan 𝜆 = 0 sehingga

dapat dituliskan sebagai berikut :

𝑌 = 𝜌𝑊𝑌 + 𝑋𝛽 + 𝜀
(15)
𝜀 ~ 𝑁(0, 𝜎 2 𝐼)

36
𝑌 adalah vektor 𝑛 × 1 dari variabel dependen, 𝑋 adalah matriks 𝑛 × (𝑝 +

1) dari variabel independen, 𝑊 adalah matriks 𝑛 × 𝑛 dari pembobot spasial, 𝜀

adalah vektor 𝑛 × 1 dari komponen residual (error) yang bersifat independen dan

berdistribusi identik (independent and identical distribution atau i.i.d), 𝜌 adalah

koefisien autoregresif spasial lag, dan 𝛽 adalah vektor (𝑝 + 1) × 1 dari koefisien

regresi.

Model spatial (autoregressive) error atau dikenal dengan Spatial Error

Model (SEM) merupakan model regresi yang didalamnya terdapat komponen

spasial dari error atau residual. Komponen lag residual (𝑊𝑢) ini dijadikan sebagai

variabel independen dalam modelnya dengan 𝜆 sebagai parameter atau koefisien

regresinya. Parameter ini dimasukkan untuk mendapatkan perkiraan yang lebih

baik untuk koefisien regresi. Persamaan model spasial error atau SEM diperoleh

apabila 𝜌 = 0 dan 𝜆 ≠ 0 sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑌 = 𝑋𝛽 + 𝑢

𝑢 = 𝜆𝑊𝑢 + 𝜀 (16)

𝜀 ~ 𝑁(0, 𝜎 2 𝐼)

𝑌 adalah vektor 𝑛 × 1 dari variabel dependen, 𝑋 adalah matriks 𝑛 × (𝑝 +

1) dari variabel independen, 𝑊 adalah matriks 𝑛 × 𝑛 dari pembobot spasial, 𝑢

adalah vektor 𝑛 × 1 dari komponen residual yang mengalami korelasi spasial, 𝜀

adalah vektor 𝑛 × 1 dari komponen residual (error) yang bersifat independen dan

berdistribusi identik (independent and identical distribution), 𝜆 adalah koefisien

autoregresif spasial error, dan 𝛽 adalah vektor (𝑝 + 1) × 1 dari koefisien regresi.

37
Estimasi parametrik dalam model regresi spasial paling umum didasari pada

prinsip maximum likelihood estimation (MLE). Hal ini dikarenakan estimator

metode kuadrat terkecil (OLS) akan bias dan juga tidak konsisten untuk parameter

model spasial, terlepas dari sifat-sifat komponen residual atau error (Anselin,

1988).

Uji Lagrange Multiplier (LM Test)

Uji Lagrange Multiplier (LM) adalah uji untuk menentukan jika model

memiliki ketergantungan spasial atau tidak. Uji LM juga digunakan untuk

menentukan model spasial antara spasial lag atau spasial error. Uji LM dihitung

dengan nilai residual yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil dan matrik

pembobot spasial yang digunakan adalah W. Hipotesis dan uji statistik LM untuk

spasial lag dan spasial error dapat dituliskan sebagai berikut (Anselin, Florax, &

Rey, 2004) :

Hipotesis uji LM untuk spasial lag :

𝐻0 ∶ 𝜌 = 0 atau tidak terdapat dependensi spasial lag

𝐻1 ∶ 𝜌 ≠ 0 atau terdapat dependensi spasial lag

Statistik uji LM untuk spasial lag :

(𝑒 ′ 𝑊𝑦⁄𝜎̂ 2 )2
𝐿𝑀𝜌 = ~ 𝜒 2 (1) (17)
𝑛𝐽̂

Hipotesis uji LM untuk spasial error :

𝐻0 ∶ 𝜆 = 0 atau tidak terdapat dependensi spasial error

𝐻1 ∶ 𝜆 ≠ 0 atau terdapat dependensi spasial error

Statistik uji LM untuk spasial error:

38
[𝑒 ′ 𝑊𝑒⁄𝜎̂ 2 ]2
𝐿𝑀𝜆 = ~ 𝜒 2 (1) (18)
𝑇

Keterangan :
1
𝐽̂ = (𝑊𝑋𝛽)′𝑀(𝑊𝑋𝛽)
𝑛𝜎2

𝑀 = 𝐼 − 𝑋(𝑋 ′ 𝑋)−1 𝑋 ′

𝑇 = 𝑡𝑟[(𝑊 ′ 𝑊 + 𝑊)𝑊]

𝜎̂ 2 = 𝑒′𝑒/(𝑛 − 𝑝 − 1)

Masing-masing LM-Lag maupun LM-Error mengikuti distribusi Chi-

square. Hipotesis nol (𝐻0 ) akan ditolak pada taraf nyata 𝛼 jika nilai dari statistik

uji lebih besar dari 𝜒 2 (1) atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. Hal menunjukkan bahwa terdapat

dependensi spasial pada model.

Uji Robust Lagrange Multiplier (RLM Test)

Uji Robust Lagrange Multiplier (RLM) digunakan hanya saat kedua uji

LM-Lag dan uji LM-Error menunjukkan hasil yang signifikan. Statistik uji Robust

Lagrange Multiplier untuk spasial lag dapat dituliskan sebagai berikut (Anselin,

Florax, & Rey, 2004) :

[(𝑒 ′ 𝑊𝑦 − 𝑒 ′ 𝑊𝑒)⁄𝜎̂ 2 ]2
𝑅𝐿𝑀𝜌 = ~ 𝜒 2 (1) (19)
𝑛𝐽̂ − 𝑇

Statistik uji Robust Lagrange Multiplier untuk spasial error dapat dituliskan

sebagai berikut :

39
2
[𝑒 ′ 𝑊𝑒⁄𝜎̂ 2 − 𝑇(𝑛𝐽̂)−1 − 𝑒 ′ 𝑊𝑦⁄𝜎̂ 2 ]
𝑅𝐿𝑀𝜆 = ~ 𝜒 2 (1) (20)
𝑇(1 − 𝑇(𝑛𝐽̂)−1 )

Sama seperti uji LM, kedua uji RLM untuk spasial lag dan spasial error

juga mengikuti distribusi Chi-square. Hipotesis nol (𝐻0 ) akan ditolak pada taraf

nyata 𝛼 jika nilai dari statistik uji lebih besar dari 𝜒 2 (1) atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. Jika

hasil uji RLM signifikan, maka terdapat dependensi spasial pada model.

Uji Wald (Wald Test)

Uji Wald digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh variabel

independen terhadap variabel dependen. Uji Wald dilakukan dengan

membandingkan estimasi parameter regresi dari metode maximum likelihood

dengan estimasi dari standard error. Hipotesis dan uji statistik dalam uji Wald dapat

ditulis sebagai berikut (Anselin, 1988) :

Hipotesis uji Wald :

𝐻0 ∶ 𝛽𝑗 = 0 atau tidak terdapat pengaruh antara variabel independen ke-

j terhadap variabel dependen

𝐻1 ∶ 𝛽𝑗 ≠ 0 atau terdapat pengaruh antara variabel independen ke-j

terhadap variabel dependen

Statistik uji yang digunakan adalah :

𝛽𝑗
𝑊𝑎𝑙𝑑 = ~𝑁(0,1) ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 (21)
𝑠𝑒(𝛽𝑗 )

Keterangan :

𝛽𝑗 : koefisien atau parameter regresi ke-j

40
𝑠𝑒(𝛽𝑗 ) : standar deviasi parameter regresi ke-j

𝑛 : banyaknya observasi

𝑝 : banyaknya variabel independen

Pada uji Wald, statistik uji yang digunakan mengikuti distribusi normal

baku. 𝐻0 ditolak apabila |𝑊𝑎𝑙𝑑| > 𝑍𝛼⁄2 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. Jika 𝐻0 ditolak maka

terdapat bukti bahwa variabel independen ke-𝑗 berpengaruh terhadap variabel

dependen.

Matriks Pembobot Spasial

Menurut Aldstadt, matriks pembobot spasial merupakan matriks yang

mendefinisikan struktur hubungan spasial di wilayah penelitian (Fisher & Getis,

2010). Dengan kata lain, elemen-elemen dalam matriks pembobot spasial

menunjukkan hubungan atau interaksi antarunit observasi yang bersifat geografis,

seperti negara, provinsi, kota atau unit geografis lainnya. Terdapat beberapa metode

untuk mendefinisikan matriks pembobot spasial, antara lain :

 Contiguity (Persinggungan)

Metode contiguity digunakan untuk menyusun matriks pembobot

spasial dengan konsep hubungan spasial terjadi ketika suatu wilayah

bersentuhan atau bersinggungan dengan wilayah lainnya. Hubungan spasial ini

juga dapat disebut sebagai ketetanggaan. Ada beberapa cara dalam

mendefinisikan ketetanggaan antarwilayah menggunakan metode contiguity,

yaitu Rook Contiguity, Bishop Contiguity, dan Queen Contiguity. Pada metode

rook contiguity, tetangga didefinisikan untuk wilayah yang berbatasan secara

langsung di sepanjang garis perbatasannya akan tetapi wilayah yang hanya

41
menempel di sudut perbatasan tidak tergolong sebagai tetangga. Berlawanan

dengan metode rook contiguity, pada metode bishop contiguity, tetangga

didefinisikan untuk wilayah hanya yang bersentuhan langsung di sudut wilayah

dan wilayah berbatasan sepanjang garis perbatasan, wilayah tersebut tidak

tergolong sebagai tetangga. Queen contiguity merupakan gabungan dari metode

rook contiguity dan bishop contiguity. Pada metode ini, tetangga didefinisikan

untuk wilayah yang bersentuhan langsung baik di sepanjang perbatasan maupun

hanya di sudut wilayah.

 Distance (Jarak)

Metode distance digunakan untuk menyusun matriks pembobot spasial

dengan menggunakan jarak sebagai pembobot spasialnya. Semakin dekat jarak

suatu wilayah maka semakin kuat hubungan ketetanggaannya. Metode ini

memerlukan titik acuan di suatu wilayah untuk mengukur jarak yang pada

umumnya menggunakan titik pusat atau titik tengah wilayah tersebut.

 Customized

Metode Customized digunakan untuk menyusun matriks pembobot

spasial dengan menggunakan definisi yang disusun peneliti sehingga lebih

fleksibel penggunaannya. Menurut Drukker, Peng, Prucha, dan Raciborski

(2013), hubungan spasial tidak hanya terbatas pada ruang geografis, dan sudah

banyak penggunaan konsep spasial dalam situasi lain untuk interaksi cross-

section, seperti interaksi sosial seperti model interaksi sosial dan model

jaringan. Penelitian Bodson dan Peter pada tahun 1975 dalam Anselin (1988)

menggunakan metode customized dengan menyusun matriks pembobot spasial

berdasarkan aksesibilitas umum, yaitu berdasarkan saluran komunikasi

42
antarwilayah. Selain itu, Firmansyah dan Muchlisoh (2021) juga menyusun

matriks pembobot spasial dengan menggunakan menggunakan hubungan

perdagangan antarwilayah dalam menganalisis faktor-faktor yang

memengaruhi pendapatan IMK di Indonesia.

2.2 Penelitian Terkait

Jae Teuk Chin (2020) melakukan penelitian untuk memahami pemilihan

lokasi suatu usaha baru dalam publikasinya yang berjudul “Location Choice of New

Business Establishments: Understanding the Local Context and Neighborhood

Conditions in the United States”. Dalam melakukan analisis, Chin menggunakan

densitas atau kepadatan usaha baru yang merupakan rasio antara jumlah usaha baru

di suatu wilayah terhadap luas wilayahnya. Hasil penelitian menunjukkan ada 3

faktor yang berpengaruh signifikan terhadap keputusan pemilihan lokasi suatu

usaha baru, yaitu faktor ekonomi, faktor demografi dan faktor geografi. Variabel-

variabel yang menjelaskan faktor ekonomi antara lain kepadatan pekerjaan,

banyaknya lapangan kerja dalam jarak 3 mil, dominasi industri, dan rasio penduduk

terhadap pekerjaan. Faktor demografi terdiri atas kepadatan penduduk, persentase

penduduk berkulit putih, rata-rata usia penduduk, dan persentase unit rumah yang

tersedia. Faktor geografi hanya terdiri atas satu variabel, yaitu jarak ke jalan raya

terdekat.

Takano, Tsutsumi, dan Kikukawa (2018) melakukan penelitian mengenai

determinan penentuan lokasi industri pada skala kecil dan besar pada 1652 kota di

Jepang dengan model regresi spasial SLX (spatial lag x model) yang berjudul “

43
Spatial Modeling Of Industrial Location Determinants In Japan: Empirical

Analysis Using Spatial Econometric Approaches ”. Hasil penelitian pada industri

berskala kecil menunjukkan ada beberapa faktor yang menjadi penentu lokasi suatu

industri. Faktor biaya yang diukur dengan upah tenaga kerja memiliki pengaruh

yang negatif menunjukkan jumlah industri akan menjadi sedikit di wilayah dengan

tingkat upah tenaga kerja yang tinggi. Faktor aglomerasi memiliki pengaruh positif

menunjukkan industri relatif berlokasi di wilayah dengan aglomerasi industri yang

tinggi. Faktor aksesibilitas diukur dengan infrastruktur transportasi memiliki

pengaruh signifikan menunjukkan industri akan berjumlah lebih sedikit di daerah

dengan aksesibilitas yang ke jalan raya yang kurang memadai. Faktor yang terakhir

memiliki pengaruh signifikan ialah faktor lahan menunjukkan industri akan

berjumlah lebih banyak di daerah dengan ketersediaan lahan untuk keperluan

industri yang besar.

Penelitian yang dilakukan An dan Wan (2019) juga bertujuan untuk

mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi lokasi suatu industri pada 79

kota di Korea Selatan dengan beberapa klasifikasi skala industri yang digunakan,

yaitu industri kecil, industri besar, dan industri berteknologi tinggi. Metode analisis

yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis spasial. Namun, pada

skala industri kecil tidak terdapat ketergantungan spasial sehingga model yang

digunakan pada analisis inferensial menggunakan regresi linear berganda. Hasil

penelitian menunjukkan ada beberapa variabel yang signifikan, yaitu PDRB,

persentase penduduk sarjana, jumlah lahan industri yang tersedia, aglomerasi, dan

jarak ke pelabuhan internasional.

44
Santoso dan Wilantari (2017) melakukan penelitian mengenai pola spasial

kegiatan industri di Indonesia dalam publikasi yang berjudul “The Spatial

Distribution Of Indonesia’s Manufacturing Industries: An Exploratory Spatial

Data Analysis”. Penelitian ini menganalisis data spasial terkait dengan distribusi

spasial industri manufaktur Indonesia, yang mengkaji apakah terdapat suatu pola

yang bersifat klaster, tersebar, atau acak. Metode analisis yang digunakan ialah

analisis eksplorasi spasial dengan statistik Moran’s I dan Local Indicator of Spatial

Association. Hasil analisis statistik Moran's I, menunjukkan hubungan spasial

positif yang kuat (autokorelasi) di Indonesia dan menunjukkan bahwa fenomena

pola distribusi industri manufaktur dinyatakan mengelompok dan konsentrasi

industri manufaktur berbasis tinggi terlihat pada beberapa provinsi, terutama di

pulau jawa. Dari hasil analisis statistik LISA, tidak dapat dipastikan bahwa terdapat

pengelompokan yang tinggi secara statistik di Indonesia. Hanya beberapa provinsi

yang benar-benar menunjukkan pengelompokan industri yang signifikan dan

provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah,

dan Jawa Timur.

Penelitian Firmansyah dan Muchlisoh (2021) yang berjudul “Faktor-Faktor

yang Memengaruhi Pendapatan Industri Mikro Kecil di Indonesia Tahun 2017 –

2019” bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi

pendapatan IMK di Indonesia. Metode analisis yang digunakan ialah regresi spasial

data panel. Dalam penyusunan matriks pembobot, digunakan teknik customized

dengan gabungan teknik contiguity queen dan hubungan perdagangan

antarprovinsi. Hasil dari penelitian ialah terdapat keterkaitan spasial atau

autokorelasi spasial antarprovinsi pada pendapatan IMK yang juga terbukti

45
signifikan. Selain itu, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang signifikan

memengaruhi pendapatan IMK adalah internet dan bantuan pemerintah.

Penggunaan internet oleh IMK memberikan efek total yang negatif pada

pendapatan IMK. Sedangkan, bantuan pemerintah yang diterima oleh IMK

memengaruhi pendapatan IMK secara positif.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Santoso (2019) dan Firmansyah &

Muchlisoh (2021) mengenai usaha industri di Indonesia termasuk sektor industri

mikro dan kecil, ditemukan efek spasial pada penelitian tersebut. Hal ini menjadi

dasar penelitian ini untuk menggunakan model spasial. Selain itu, variabel

dependen yang akan dianalisis pada penelitian ini menggunakan konsep indikator

yang mirip dengan penelitian yang dilakukan Chin (2020), yaitu jumlah IMK per

luas wilayah. Penelitian ini juga menggunakan konsep yang sama dengan penelitian

Firmansyah dan Muchlisoh (2021) dalam penyusunan matriks pembobot spasial

yang mengacu pada hubungan perdagangan antarwilayah.

2.3 Kerangka Pikir

Dalam penelitian ini ketimpangan IMK di Indonesia dijelaskan dengan

indikator densitas IMK digunakan sebagai unit analisis yaitu jumlah

usaha/perusahaan IMK per l00 kilometer kuadrat luas wilayah provinsi. Selain itu,

terdapat beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap densitas IMK

berdasarkan kajian teori dan penelitian terkait antara lain upah tenaga kerja,

aglomerasi industri, kualitas infrastruktur jalan, modal manusia, tingkat konsumsi

pasar, dan tingkat bunga koperasi simpan pinjam. Variabel upah tenaga kerja diukur

46
dengan menggunakan rata-rata upah buruh di setiap provinsi Indonesia. Variabel

aglomerasi industri diukur dengan menggunakan indeks spesialisasi industri.

Variabel kualitas infrastruktur jalan diukur dengan menggunakan persentase jalan

dengan kondisi baik dan sedang. Variabel modal manusia diukur dengan

menggunakan rata-rata lama sekolah yang menunjukkan tingkat pendidikan

penduduk di suatu provinsi. Variabel tingkat konsumsi pasar diukur dengan

menggunakan pengeluaran penduduk per kapita selama sebulan yang disesuaikan

terhadap paritas daya beli. Variabel tingkat bunga koperasi simpan pinjam diukur

dengan rata-rata tingkat bunga koperasi simpan pinjam di setiap provinsi. Selain

itu, terdapat kemungkinan pengaruh keterkaitan spasial berdasarkan ketetanggaan

dan hubungan perdagangan yang dapat menjelaskan densitas IMK di Indonesia.

Pola hubungan pada kerangka pikir dapat dilihat pada Gambar 5.

47
Rata-Rata Upah Buruh
(𝑋1 )

Indeks Spesialisasi Industri


(𝑋2 )

Persentase Jalan Kondisi


Baik dan Sedang (𝑋3 )

Densitas IMK (𝑌)

Rata-Rata Lama Sekolah


(𝑋4 )

Keterkaitan
Spasial (𝑊)
Pengeluaran Penduduk Per
Kapita Riil yang
Disesuaikan (𝑋5 )

Rata-Rata Suku Bunga


Tetap Koperasi Simpan
Pinjam (𝑋6 )

Gambar 5. Kerangka pikir

48
2.4 Hipotesis Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa hipotesis yang akan diuji secara statistik.

Hipotesis-hipotesis dalam penelitian ini, yaitu :

a) Terdapat keterkaitan spasial pada densitas IMK antarprovinsi di

Indonesia berdasarkan ketetanggaan dan hubungan perdagangan.

b) Rata-rata upah buruh berpengaruh negatif terhadap densitas IMK.

c) Indeks spesialisasi industri berpengaruh positif terhadap densitas

IMK.

d) Persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang berpengaruh positif

terhadap densitas IMK.

e) Rata-rata lama sekolah berpengaruh positif terhadap densitas IMK.

f) Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan paritas daya beli

berpengaruh positif terhadap densitas IMK.

g) Rata-rata tingkat bunga tetap koperasi simpan pinjam berpengaruh

negatif terhadap densitas IMK

49
“… sengaja dikosongkan …”

50
BAB III

METODOLOGI

3.1 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

memengaruhi ketimpangan IMK antarprovinsi di Indonesia pada tahun 2019.

Untuk menjelaskan ketimpangan IMK digunakan indikator densitas IMK sebagai

unit analisis, yaitu jumlah usaha IMK per l00 kilometer kuadrat luas wilayah

provinsi. Menurut Chin (2020), normalisasi dengan menggunakan luas wilayah

diperlukan untuk mengendalikan disparitas ukuran antarwilayah. Kemudian,

pengklasifikasian IMK pada penelitian ini menggunakan konsep dari BPS, yaitu

usaha/perusahaan industri tergolong sebagai industri mikro dan kecil (IMK) apabila

mempunyai jumlah tenaga kerja dibawah 20 orang. Pada penelitian ini, unit

observasi mencakup seluruh provinsi di Indonesia yang berjumlah 34 provinsi

dengan periode waktu satu tahun, yaitu tahun 2019. Adapun variabel dependen

yang digunakan pada penelitian ini ialah densitas IMK, yaitu banyaknya unit

usaha/perusahaan IMK per luas wilayah provinsi. Kemudian terdapat enam variabel

independen yang mungkin berpengaruh terhadap densitas IMK menurut provinsi di

Indonesia. Enam variabel independen tersebut antara lain rata-rata upah buruh,

indeks spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, rata-

rata lama sekolah, pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas

daya beli, dan rata-rata tingkat bunga koperasi simpan pinjam.

51
3.2 Metode Pengumpulan Data

Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat

Statistik. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber lain yang telah ada

sebelumnya. Data yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari beberapa

publikasi BPS sebagai berikut :

a) Profil Industri Mikro dan Kecil 2019 digunakan untuk memperoleh data

jumlah usaha/perusahaan IMK menurut provinsi tahun 2019.

b) Statistik Indonesia 2020 digunakan untuk memperoleh data luas wilayah

menurut provinsi tahun 2019

c) Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus 2019 yang digunakan

untuk memperoleh data rata-rata upah/gaji bersih buruh/karyawan

selama sebulan menurut provinsi, jumlah penduduk berumur 15 tahun

ke atas yang bekerja menurut provinsi, dan jumlah penduduk berumur

15 tahun ke atas yang bekerja di lapangan usaha industri pengolahan

menurut provinsi bulan agustus tahun 2019.

d) Statistik Transportasi Darat 2019 digunakan untuk memperoleh data

panjang jalan menurut kondisi dan provinsi untuk seluruh tingkat

kewenangan tahun 2019 yang dikumpulkan oleh Kementerian Pekerjaan

Umum dan Perumahan Rakyat.

e) Indeks Pembangunan Manusia 2019 digunakan untuk memperoleh data

rata-rata lama sekolah menurut provinsi tahun 2019.

52
f) Statistik Koperasi Simpan Pinjam 2020 digunakan untuk memperoleh

data rata-rata tingkat bunga tetap koperasi simpan pinjam menurut

provinsi tahun 2019

g) Perdagangan Antar Wilayah 2019 digunakan sebagai dasar dalam

menyusun matriks pembobot spasial.

Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel yang digunakan data penelitian secara garis

besar dapat ditulis pada Tabel 1.

Tabel 1. Definisi operasional variabel

Variabel Definisi Operasional Satuan


(1) (2) (3)
Jumlah usaha IMK di provinsi 𝑈𝑛𝑖𝑡
Densitas IMK Densitas IMK = × 100
Luas wilayah di provinsi dalam km2 /𝐾𝑚2
Rata-rata upah Rata-rata upah/gaji bersih buruh/karyawan per bulan Juta
buruh menurut provinsi bulan agustus tahun 2019. rupiah
tenaga kerja industri di provinsi i
Indeks
total tenaga kerja di provinsi i
spesialisasi 𝐼𝑆𝐼 = Poin
total tenaga kerja industri nasional
industri total tenaga kerja nasional
Persentase jalan Panjang jalan baik dan sedang di provinsi
dengan kondisi 𝐽𝐵𝑆 = × 100% Persen
Total panjang jalan di provinsi
baik dan sedang
Rata-rata waktu yang digunakan penduduk usia 25 tahun
Rata-rata lama
ke atas dalam menjalani pendidikan formal menurut Tahun
sekolah
provinsi.
Pengeluaran per Pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan dengan
Juta
kapita riil yang paritas daya beli (purchasing power parity) per tahun
rupiah
disesuaikan menurut provinsi.
Rata-rata
tingkat bunga Rata-rata tingkat bunga pinjaman koperasi simpan pinjam
Persen
tetap koperasi dengan metode tingkat bunga tetap menurut provinsi.
simpan pinjam

53
3.3 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian

yang telah dikemukakan sebelumnya ialah analisis deskriptif dan analisis

inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk mencapai tujuan pertama,

yaitu memberi gambaran mengenai karakteristik dan pola persebaran

densitas IMK beserta variabel-variabel lain yang mungkin berpengaruh

terhadapnya. Kemudian, dilakukan analisis inferensial untuk mencapai

tujuan kedua, yaitu mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi

densitas IMK menurut provinsi di Indonesia. Analisis regresi spasial

digunakan sebagai metode analisis inferensial dalam mencapai tujuan

penelitian tersebut.

Berikut tahapan-tahapan analisis inferensial dalam penelitian ini

sebagai berikut :

1. Eksplorasi Data.

Hal ini dilakukan untuk mendeteksi masalah pada data yang

mungkin dapat membuat asumsi regresi tidak terpenuhi. Eksplorasi data

dilakukan dengan mengidentifikasi distribusi variabel dependen dan

hubungan linier antara variabel dependen dan variabel independen.

Selain itu, dilakukan juga pengidentifikasian bentuk fungsional

persamaan regresi yang sesuai dengan uji RESET Ramsey.

2. Penyusunan matriks pembobot spasial.

Dalam penelitian ini, matriks pembobot spasial disusunkan

menggunakan metode customized, yaitu gabungan antara queen’s

54
contiguity dan hubungan perdagangan antarwilayah berdasarkan

publikasi BPS Perdagangan Antar Wilayah 2019. Penggunaan

hubungan perdagangan antarwilayah ini dikarenakan adanya IMK yang

memperoleh bahan baku dari provinsi lain atau melakukan pemasaran

hasil produksi di provinsi lain.

3. Pembentukan persamaan umum model regresi spasial.

Model regresi spasial dibentuk berdasarkan model yang terpilih

dari hasil uji dependensi spasial Lagrange Multiplier (LM). Model

spasial lag (SAR) digunakan jika 𝜆 = 0. Model spasial error (SEM)

digunakan jika 𝜌 = 0. Model regresi linier berganda (OLS) digunakan

jika 𝜆 = 0 dan 𝜌 = 0. Model umum regresi spasial dapat dituliskan

sebagai berikut :

𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑀𝐾𝑖 = 𝜌 ∑ 𝑤𝑖 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑀𝐾𝑖 + 𝛽0 + 𝛽1 𝑈𝑝𝑎ℎ𝑖


𝑗=1,𝑖≠𝑗

+ 𝛽2 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑆𝐼𝑖 + 𝛽3 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖 + 𝛽4 𝑅𝐿𝑆𝑖


(22)
+ 𝛽5 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖
𝑛

+ 𝛽6 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 𝜆 ∑ 𝑤𝑖 𝑢𝑖 + 𝜀𝑖
𝑗=1,𝑖≠𝑗

4. Pengujian dependensi spasial dengan uji Moran’s I dan Lagrange

Multiplier.

Prosedur pengujian ketergantungan spasial dengan uji Moran’s

I, Lagrange Multiplier dan Robust Lagrange Multiplier dapat dilakukan

sebagai berikut :

55
i. Uji Moran’s I digunakan untuk mengidentifikasi autokorelasi

spasial pada residual model regresi linier berganda. Apabila

keputusan pada uji Moran’s I menolak 𝐻0 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼

maka dapat disimpulkan bahwa terdapat bukti residual memiliki

autokorelasi spasial. Apabila terdapat autokorelasi spasial pada

residual maka dapat dilanjutkan ke tahap uji Lagrange Multiplier,

namun jika tidak terdapat autokorelasi spasial pada residual maka

model yang digunakan ialah regresi linier berganda (OLS).

ii. Jika pada uji Lagrange Multiplier hanya uji LM-Lag yang

signifikan, maka model regresi yang digunakan adalah model

regresi spasial lag (SAR) dan sebaliknya, jika hanya uji LM-Error

yang signifikan, maka model regresi yang digunakan adalah model

regresi spasial error (SEM).

iii. Jika kedua uji LM signifikan, maka dilakukan uji Robust Lagrange

Multiplier (RLM) untuk spasial lag (RLM-Lag) dan spasial error

(RLM-Error). Keputusan pada uji RLM sama seperti uji LM. Jika

hanya uji RLM -Lag yang signifikan, maka model regresi yang

digunakan adalah model regresi spasial lag (SAR) dan sebaliknya,

jika hanya uji RLM-Error yang signifikan, maka model regresi

yang digunakan adalah model regresi spasial error (SEM).

iv. Namun, apabila kedua uji LM tidak signifikan maka model regresi

spasial tidak dapat digunakan sehingga model yang digunakan ialah

regresi linier berganda (OLS).

5. Melakukan estimasi parameter dan uji signifikansi variabel independen.

56
a. Model Regresi Spasial

Uji Wald digunakan untuk menguji signifikansi pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen dalam model

regresi spasial. Variabel independen ke-𝑗 terbukti berpengaruh

terhadap variabel dependen apabila |𝑊𝑎𝑙𝑑𝑗 | > 𝑍𝛼⁄2 atau 𝑝 −

𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼 dengan keputusan tolak 𝐻0 .

b. Model Regresi Linier Berganda

Uji signifikansi variabel pada regresi linier berganda dapat

menggunakan uji simultan F dan uji parsial t. Uji simultan F

digunakan untuk mengidentifikasi variabel independen yang

berpengaruh secara simultan. Apabila 𝐻0 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼, maka

terdapat bukti bahwa minimal ada satu variabel yang berpengaruh

terhadap variabel dependen. Uji parsial t digunakan untuk

mengidentifikasi variabel independen secara individu. Variabel

independen ke-𝑗 terbukti berpengaruh terhadap variabel dependen

apabila 𝑡𝑗 > 𝑡𝑛−2−𝑝 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼 dengan keputusan tolak

𝐻0 .

6. Pengujian asumsi pada model terpilih.

a. Normalitas

Pengujian asumsi normalitas pada residual dapat dilakukan

dengan uji Jarque-Bera. Asumsi normalitas terpenuhi apabila 𝑝 −

𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 > 𝛼 atau gagal tolak 𝐻0 sehingga dapat disimpulkan terdapat

bukti bahwa residual berdistribusi normal.

b. Homoskedastisitas

57
Pengujian asumsi homoskedastisitas pada model dapat

dilakukan dengan uji Breusch-Pagan. Asumsi homoskedastisitas

terpenuhi apabila 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 > 𝛼 atau gagal tolak 𝐻0 sehingga

dapat disimpulkan terdapat bukti bahwa varians residual bersifat

konstan pada setiap observasi.

c. Multikolinearitas

Pengujian asumsi multikolinearitas pada variabel

independen dapat dilakukan dengan menggunakan VIF. Asumsi

multikolinearitas terpenuhi apabila tidak ada nilai VIF diatas 10.

d. Autokorelasi Spasial

Autokorelasi spasial perlu diidentifikasi kembali pada

residual model terpilih dengan menggunakan uji Moran’s I. Apabila

keputusan pada uji Moran’s I tolak 𝐻0 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼 maka

dapat disimpulkan bahwa terdapat bukti residual memiliki

autokorelasi spasial.

58
Gambar 6. Alur penelitian

59
“… sengaja dikosongkan …”

60
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Peta Persebaran Densitas IMK serta Variabel-Variabel yang Diduga

Memengaruhinya di Indonesia Tahun 2019

Untuk melihat persebaran densitas IMK serta variabel –variabel yang

diduga memengaruhinya dapat digunakan peta tematik. Pada penelitian ini, metode

pengklasifikasian dalam membuat peta tematik menggunakan metode natural

break atau Jenks Optimization Method. Metode ini digunakan pada data

mengelompok secara alami dan jatuh ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan

celah atau jeda antar kelompok (Dent, 2009). Penggunaan metode natural break

pada penelitian ini dikarenakan beberapa data variabel memiliki celah antar

kelompok dan tidak berdistribusi normal.

Densitas IMK

Berdasarkan densitas atau kepadatan IMK yang diukur dengan melakukan

rasio terhadap luas wilayah provinsi, Pulau Jawa sangat mendominasi densitas IMK

di Indonesia. Pada Gambar 7, persebaran densitas IMK relatif berpusat di Pulau

Jawa dan Pulau Bali. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa sangat mendominasi dengan

nilai densitas IMK lebih dari seribu. Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi paling

mendominasi dengan densitas IMK sebesar 9.477 atau setiap 100 kilometer kuadrat

terdapat 9.477 usaha IMK di Provinsi DKI Jakarta. Adapun provinsi lain di luar

jawa dengan nilai densitas IMK lebih dari seribunya hanya satu, yaitu Provinsi Bali

61
dengan nilai sebesar 2.787 usaha per 100 kilometer kuadrat. Densitas IMK relatif

rendah di Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. Semua provinsi di kedua pulau ini

memiliki densitas IMK dibawah 50, kecuali Provinsi Kalimantan Selatan dengan

densitas IMK sebesar 149. Hal ini menunjukkan pola persebaran IMK di Indonesia

mengalami ketimpangan antarprovinsi.

Gambar 7. Sebaran densitas IMK menurut provinsi tahun 2019

Rata-Rata Upah Buruh

Di Indonesia, rata-rata upah buruh tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta.

Padahal Provinsi DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan nilai densitas IMK

tertinggi di Indonesia. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan teori lokasi industri

Weber yang menyatakan industri relatif berlokasi di wilayah dengan tingkat upah

buruh rendah. Namun, apabila dilihat secara keseluruhan, rata-rata upah buruh

masih berpotensi untuk menjelaskan pola persebaran lokasi industri di Indonesia.

Pada Gambar 8, terdapat beberapa provinsi seperti DI Yogyakarta, Jawa Tengah,

62
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur memiliki rata-rata

upah buruh yang rendah dan nilai densitas IMK yang tinggi. Selain itu, provinsi

dengan nilai densitas rendah seperti Papua Barat dan Papua memiliki rata-rata upah

buruh yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa rata-rata upah

buruh dan densitas IMK memiliki hubungan negatif.

Gambar 8. Sebaran rata-rata upah buruh per sebulan dalam rupiah menurut provinsi
tahun 2019

Indeks Spesialisasi Industri

Berdasarkan Gambar 9, provinsi-provinsi di Pulau Jawa memiliki indeks

spesialisasi industri yang tinggi dengan nilai diatas 1 kecuali Provinsi DKI Jakarta.

Hal ini menunjukkan sebagian besar provinsi di Pulau Jawa mengalami aglomerasi

industri. Di luar Pulau Jawa, provinsi dengan nilai indeks spesialisasi industri diatas

1 hanya terdapat satu provinsi, yaitu Provinsi Kepulauan Riau. Adapun nilai indeks

spesialisasi industri terendah terdapat di Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua

Barat, dan Provinsi Papua dengan masing-masing nilai dibawah 0,5. Pola

63
persebaran indeks spesialisasi industri memiliki kemiripan dengan pola persebaran

densitas IMK. Indeks spesialisasi industri dan densitas IMK relatif lebih tinggi di

Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara. Selain itu, indeks

spesialisasi industri dan densitas IMK juga sama-sama bernilai sangat rendah di

Pulau Papua. Hal ini dapat mengindikasi adanya hubungan positif antara indeks

spesialisasi industri dan densitas IMK di Indonesia.

Gambar 9. Sebaran indeks spesialisasi industri menurut provinsi tahun 2019

Persentase Jalan Kondisi Baik dan Sedang

Berdasarkan Gambar 10, persentase jalan kondisi baik dan sedang sangat

tinggi di Pulau Jawa. Seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki persentase diatas 78

persen yang menunjukkan kualitas infrastruktur jalan sudah mapan. Provinsi di luar

Pulau Jawa dengan persentase jalan kondisi baik dan sedang sangat tinggi hanya

terdapat satu, yaitu Provinsi Bangka Belitung. Provinsi Papua menjadi provinsi

dengan persentase jalan kondisi baik dan sedang terendah sebesar 51,32 persen.

Pola persebaran dengan persentase jalan kondisi baik dan sedang memiliki

64
kemiripan dengan pola persebaran densitas IMK. Kemiripan pola ini dapat

mengindikasikan adanya potensi pengaruh kualitas infrastruktur jalan terhadap

lokasi industri.

Gambar 10. Sebaran persentase jalan kondisi baik dan sedang menurut provinsi tahun
2019

Rata-Rata Lama Sekolah

Dalam mengukur tingkat pendidikan di Indonesia, dapat digunakan

indikator rata-rata lama sekolah (RLS) menurut provinsi. Berdasarkan Gambar 11,

RLS relatif tinggi di Pulau Sumatera. Di Pulau Jawa terdapat 2 provinsi yang relatif

sangat rendah, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur. Kedua

provinsi ini memiliki RLS yang sangat rendah, akan tetapi densitas IMK kedua

provinsi tergolong sangat tinggi. Pola yang sama juga terdapat pada Provinsi Nusa

Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan RLS yang sangat rendah, namun

densitas IMK masih tergolong tinggi. Selain itu, terdapat juga provinsi dengan RLS

yang relatif tinggi tetapi densitas IMK yang rendah seperti Provinsi Kalimantan

65
Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Maluku, dan Provinsi Maluku Utara.

Kemudian, ditemukan juga pola ketika provinsi tersebut memiliki RLS serta

densitas tinggi seperti Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi DI Yogyakarta. Provinsi

DKI Jakarta menjadi provinsi dengan RLS sekaligus densitas IMK yang tertinggi

di Indonesia. Pola lain juga ditemukan ketika RLS dan densitas IMK yang sama-

sama bernilai rendah seperti Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Berdasarkan

penjelasan hubungan antara RLS dengan densitas IMK tersebut, terdapat beberapa

provinsi yang sesuai dengan hipotesis, akan tetapi ditemukan juga pola hubungan

yang tidak sesuai dengan hipotesis. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan uji

statistik untuk memperoleh kesimpulan yang tepat.

Gambar 11. Sebaran rata-rata lama sekolah dalam tahun menurut provinsi tahun 2019

Pengeluaran per Kapita yang Disesuaikan

Berdasarkan Gambar 12, pengeluaran per kapita relatif tinggi di Pulau Jawa.

Semua provinsi di Pulau Jawa memiliki pengeluaran per kapita yang diatas 11 juta

66
rupiah dalam sebulan. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan

pengeluaran per kapita tertinggi sebesar 18,52 juta rupiah dalam sebulan.

Pengeluaran per kapita relatif rendah terdapat di wilayah bagian timur seperti

Provinsi Maluku, Maluku Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.

Provinsi Papua menjadi provinsi dengan pengeluaran per kapita terendah sebesar

7,36 juta rupiah dalam sebulan. Selain itu, pengeluaran per kapita juga sangat

rendah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Padahal provinsi tersebut memiliki

densitas IMK yang tergolong tinggi. Namun, jika dilihat secara keseluruhan,

pengeluaran per kapita memiliki pola persebaran yang mirip dengan densitas. Hal

ini menunjukkan adanya kemungkinan pengeluaran per kapita yang berpengaruh

terhadap densitas IMK di Indonesia.

Gambar 12. Sebaran pengeluaran per kapita yang disesuaikan terhadap paritas daya
beli per tahun dalam ribuan rupiah menurut provinsi tahun 2019

67
Rata-Rata Tingkat Bunga Tetap Koperasi Simpan Pinjam

Berdasarkan Gambar 13, rata-rata tingkat bunga tetap KSP di Indonesia

relatif tinggi di Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Provinsi Sulawesi Utara

memiliki rata-rata tingkat bunga tetap tertinggi di Indonesia sebesar 3,46 persen.

Walaupun tingkat bunga tetap sangat tinggi, namun densitas IMK juga tergolong

tinggi di Provinsi Sulawesi Utara. Pola yang sama juga dapat terlihat di Provinsi

Banten dan Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, Provinsi Papua memiliki rata-rata

tingkat bunga tetap yang sangat rendah, namun densitas IMK-nya juga rendah. Hal

ini dapat mengindikasikan bahwa tingkat bunga tetap tidak begitu mempengaruhi

densitas IMK secara khusus di provinsi-provinsi tersebut. Namun apabila dilihat

secara keseluruhan, tingkat bunga tetap masih berpotensi memengaruhi densitas

IMK. Di Pulau Kalimantan, tingkat bunga tetap relatif tinggi, akan tetapi densitas

IMK tergolong rendah. Hal yang juga terjadi di Provinsi Maluku, Provinsi Maluku

Utara, dan Provinsi Papua Barat dengan tingkat bunga tetap relatif tinggi, namun

densitas IMK tergolong rendah. Beberapa provinsi juga ditemukan dengan pola

hubungan tingkat bunga tetap relatif rendah dan densitas IMK tergolong tinggi

seperti Provinsi DI Yogyakarta, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Timur,

Provinsi Bali, Provinsi NTT dan Provinsi NTB. Hal ini mengindikasikan adanya

hubungan negatif antara rata-rata tingkat bunga tetap KSP dan densitas IMK di

Indonesia.

68
Gambar 13. Sebaran rata-rata tingkat bunga tetap KSP dalam persen menurut provinsi
tahun 2019

4.2 Eksplorasi Data

Pada penelitian ini, eksplorasi data dilakukan terlebih dahulu sebelum

melakukan pemodelan analisis regresi. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi masalah

pada data yang mungkin dapat membuat asumsi regresi tidak terpenuhi. Eksplorasi

data dilakukan dengan mengidentifikasi kenormalan distribusi variabel dependen

dan hubungan linier antara variabel dependen dan variabel independen.

Salah satu cara mengidentifikasi kenormalan distribusi variabel ialah

dengan menggunakan grafik histogram dan density plot. Berdasarkan Gambar 14,

histogram dan density plot menunjukkan densitas IMK sangat tidak normal dan

memiliki kemencengan positif yang tinggi. Adanya kemencengan yang sangat

besar ini juga mengindikasikan adanya pencilan dengan nilai ekstrim.

Kenormalan distribusi variabel juga dapat diuji dengan menggunakan uji

normalitas Jarque-Bera. Berdasarkan Tabel 2, uji normalitas Jarque-Bera

69
memberikan keputusan tolak 𝐻𝑜 sehingga terdapat bukti jika densitas IMK tidak

berdistribusi normal dengan nilai statistik yang sangat tinggi.

Gambar 14. Histogram dan density plot variabel densitas IMK.

Tabel 2. Uji normalitas Jarque-Bera pada variabel densitas IMK

Uji 𝐽𝐵 2 p-value
𝜒(0,05;2)
(1) (2) (3) (4)
Jarque-Bera Test 298,26 5,9915 0,0000

Chatterjee dan Hadi (2012) menyarankan ketika sebuah variabel memiliki

distribusi yang sangat menceng, variabel tersebut perlu ditransformasi sebelum

melakukan analisis regresi. Untuk variabel dengan kemencengan yang parah,

70
Chatterjee dan Hadi (2012) merekomendasikan untuk menggunakan transformasi

logaritma. Transformasi logaritma hanya dapat digunakan pada data bernilai positif

dan tidak dapat dilakukan jika terdapat nilai negatif.

Transformasi logaritma natural dapat dilakukan pada densitas IMK karena

seluruh observasi bernilai positif. Berdasarkan Gambar 15, setelah dilakukan

transformasi logaritma natural, densitas IMK terlihat mendekati distribusi normal.

Nilai ekstrim juga terlihat telah teratasi setelah dilakukan transformasi logaritma

natural.

Gambar 15. Histogram dan density plot variabel densitas IMK setelah transformasi.

Berdasarkan Tabel 3, kesimpulan uji normalitas Jarque-Bera menolak 𝐻0

sehingga terdapat bukti densitas IMK setelah ditransformasi telah berdistribusi

71
normal. Penggunaan transformasi logaritma natural dapat mengatasi permasalahan

ketidaknormalan pada data densitas IMK.

Tabel 3. Uji normalitas Jarque-Bera pada variabel densitas IMK setelah transformasi

Uji 𝐽𝐵 2 p-value
𝜒(0,05;2)
(1) (2) (3) (4)
Jarque-Bera Test 0,23057 5,9915 0,8911

Hal lain yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemodelan regresi

linier ialah linieritas antara variabel dependen dan variabel independen. Salah satu

asumsi standar dalam analisis regresi ialah bahwa model yang menggambarkan data

harus linier (Chatterjee & Hadi, 2012). Linieritas dapat dilihat dengan

menggunakan scatter plot antara variabel dependen dan variabel independen.

Pada Gambar 16, grafik scatter plot antara variabel densitas IMK terhadap

masing-masing variabel independen mengindikasikan bahwa terdapat hubungan

yang nonlinier. Berdasarkan grafik scatter plot, bentuk hubungan yang

memungkinkan antara variabel densitas IMK terhadap masing-masing variabel

independen ialah hubungan eksponensial. Hal ini dapat mengindikasi kemungkinan

asumsi linieritas tidak terpenuhi ketika melakukan regresi linier. Selain itu, pencilan

ditemukan pada masing-masing grafik scatter plot. Adanya pencilan dapat

berpotensi menjadi masalah saat melakukan analisis regresi linier

Menurut Chatterjee dan Hadi (2012), ada beberapa model regresi nonlinier

dengan transformasi yang sesuai dapat menjadi linier. Salah satu model nonlinier

yang dapat ditransformasi menjadi linier ialah model eksponensial. Hal ini

dilakukan dengan transformasi logaritma natural pada variabel dependen.

72
Gambar 16. Scatter plot variabel densitas IMK terhadap masing-masing variabel
independen.

Gambar 17. Scatter plot variabel densitas IMK setelah transformasi variabel dependen
terhadap masing-masing variabel independen.

73
Berdasarkan Gambar 17, setelah dilakukan transformasi logaritma natural

pada variabel densitas IMK, grafik scatter plot antara variabel dependen terhadap

masing-masing variabel independen terlihat sudah meningkatkan hubungan linier.

Hal ini menunjukkan transformasi logaritma natural pada variabel dependen terlihat

sudah sesuai dilakukan untuk mencapai linieritas. Model dengan transformasi

logaritma natural pada variabel dependen dapat dipertimbangkan sebagai model

alternatif.

Adanya hubungan nonlinier ini dapat mengakibatkan masalah dalam

analisis regresi karena spesifikasi model yang tidak sesuai. Menurut Anselin

(1988), dalam regresi spasial, adanya bentuk lain dari kesalahan spesifikasi selain

autokorelasi spasial residual akan mempengaruhi sifat dari berbagai pengujian dan

estimator khususnya yang relevan dalam hal ini adalah potensi non-normalitas,

heteroskedastisitas dan kesalahan spesifikasi persamaan fungsional. Untuk

mengidentifikasi adanya kesalahan bentuk fungsional persamaan regresi, dapat

dilakukan uji RESET Ramsey. Model yang digunakan untuk menguji kesalahan

spesifikasi pada uji RESET Ramsey ialah model regresi linier berganda sebagai

berikut :

𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑀𝐾𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑈𝑝𝑎ℎ𝑖 + 𝛽2 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑆𝐼𝑖


+ 𝛽3 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖 + 𝛽4 𝑅𝐿𝑆𝑖 + 𝛽5 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖 (23)
+ 𝛽6 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 𝜀𝑖

Tabel 4. Uji RESET Ramsey pada model tanpa transformasi

Uji Nilai Statistik 𝐹2,25 p-value


(1) (2) (3) (3)
RESET test
78,249 3.3852 0,0000
(tanpa transformasi)

74
Berdasarkan Tabel 4, uji RESET Ramsey pada model tanpa transformasi

memberi keputusan menolak 𝐻0 pada taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%). Hal

ini menunjukkan bahwa terdapat bukti adanya kesalahan spesifikasi persamaan

model regresi. Oleh karena itu, persamaan model ini kemungkinan tidak sesuai dan

perlu digunakan persamaan model lain.

Berdasarkan eksplorasi data, salah satu bentuk model yang dapat

dipertimbangkan ialah model dengan melakukan transformasi logaritma natural

pada variabel dependen. Transformasi logaritma natural pada variabel dependen

dapat membuat distribusi menjadi normal dan mengurangi nilai ekstrim pada data.

Selain itu, transformasi logaritma natural pada variabel dependen juga

meningkatkan linieritas antara variabel dependen dengan variabel independen.

Persamaan regresi dengan transformasi logaritma natural pada variabel dependen

dan hasil uji RESET Ramsey dapat ditulis sebagai berikut :

𝑙𝑛(𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑀𝐾)𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑈𝑝𝑎ℎ𝑖 + 𝛽2 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑆𝐼𝑖


+ 𝛽3 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖 + 𝛽4 𝑅𝐿𝑆𝑖 + 𝛽5 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖 (24)
+ 𝛽6 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 𝜀𝑖

Tabel 5. Uji RESET Ramsey pada model setelah transformasi

Uji Nilai Statistik 𝐹2,25 p-value


(1) (2) (3) (3)
RESET test
1.2243 3.3852 0.3110
(setelah transformasi)

Berdasarkan Tabel 5, uji RESET pada model setelah transformasi memberi

keputusan gagal menolak 𝐻0 pada taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%). Hal ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat cukup bukti adanya kesalahan spesifikasi

persamaan model regresi. Oleh karena itu, persamaan model dengan transformasi

75
logaritma natural pada variabel dependen sudah sesuai dan dapat dilanjutkan ke

tahap analisis berikutnya.

4.3 Pemodelan Faktor-Faktor memengaruhi Densitas Industri Mikro dan

Kecil dengan Analisis Regresi Spasial

Salah satu tujuan dari penelitian ini ialah mengidentifikasi faktor-faktor

yang memengaruhi densitas IMK. Pengidentifikasian ini dilakukan untuk mencari

penyebab ketimpangan IMK antarprovinsi di Indonesia tahun 2019. Adapun faktor-

faktor yang diduga berpengaruh terhadap densitas IMK, yaitu rata-rata upah buruh,

indeks spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, rata-

rata lama sekolah, pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas

daya beli, dan rata-rata tingkat bunga koperasi simpan pinjam.

Dalam analisis regresi spasial, tahap awal yang harus dilakukan terlebih

dahulu ialah menyusun matriks pembobot spasial. Pada penelitian ini, penyusunan

matriks pembobot spasial menggunakan teknik customized berdasarkan queen’s

contiguity dan hubungan perdagangan antarprovinsi. Hubungan perdagangan

antarprovinsi diperoleh berdasarkan publikasi BPS yang berjudul “Perdagangan

Antar Wilayah Indonesia 2019”. Dalam publikasi tersebut, terdapat peta

perdagangan antarwilayah yang digunakan sebagai dasar dalam menyusun matriks

pembobot spasial pada penelitian ini. Penggunaan hubungan perdagangan

antarwilayah ini dikarenakan adanya IMK yang memperoleh bahan baku dari

provinsi lain atau melakukan pemasaran hasil produksi di provinsi lain. Oleh karena

itu, untuk memperhitungkan hal tersebut, digunakan hubungan perdagangan

76
antarwilayah dalam menyusun matriks pembobot spasial. Konektivitas keterkaitan

spasial antarprovinsi dapat direpresentasikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Konektivitas keterkaitan spasial antarprovinsi

Setelah menyusun matriks pembobot spasial, tahap berikutnya ialah

pemodelan persamaan umum regresi spasial. Model spasial lag (SAR) digunakan

jika 𝜆 = 0. Model spasial error (SEM) digunakan jika 𝜌 = 0. Model regresi linier

berganda (RLB) digunakan jika 𝜆 = 0 dan 𝜌 = 0. Model akhir akan dipilih dengan

menguji signifikansi parameter spasial 𝜌 dan 𝜆 menggunakan uji dependensi spasial

Lagrange Multiplier (LM). Model umum regresi spasial dengan transformasi

logaritma natural pada pada variabel dependen dapat dituliskan sebagai berikut :
𝑛

𝑙𝑛(𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑀𝐾𝑖 ) = 𝜌 ∑ 𝑤𝑖 𝑙𝑛(𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑀𝐾𝑖 ) + 𝛽0


𝑗=1,𝑖≠𝑗
+ 𝛽1 𝑈𝑝𝑎ℎ𝑖 + 𝛽2 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑆𝐼𝑖 + 𝛽3 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖 + 𝛽4 𝑅𝐿𝑆𝑖
(25)
+ 𝛽5 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖
𝑛

+ 𝛽6 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 𝜆 ∑ 𝑤𝑖 𝑢𝑖 + 𝜀𝑖
𝑗=1,𝑖≠𝑗

77
Model regresi dapat dipilih berdasarkan hasil uji dependensi spasial

menggunakan Moran’s I dan Lagrange Multiplier (LM). Uji Moran’s I digunakan

untuk mengidentifikasi adanya autokorelasi spasial pada residual model regresi

linier berganda. Apabila terdapat autokorelasi spasial pada residual, maka dapat

dilanjutkan dengan uji Lagrange Multiplier (LM) untuk menentukan model yang

akan digunakan.

Tabel 6. Uji Moran I dan Lagrange Multiplier.

Uji Nilai Statistik p-value


(1) (2) (3)
Moran’s I (Densitas IMK) 0,2008 0,0073
Moran’s I (ln Densitas IMK) 0,6029 0,0000
Moran’s I (Residual) 3,8894 0,0001
LM-Lag 2,8083 0,09378
RLM-Lag 0,4423 0,506
LM-Error 8,5158 0,0035
RLM-Error 6,1497 0,01314

Berdasarkan Tabel 6, uji Moran’s I pada variabel densitas IMK baik

sebelum dan setelah transformasi menunjukkan nilai statistik Moran’s I positif dan

signifikan pada taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%). Nilai positif ini

menunjukkan bahwa nilai densitas IMK di suatu provinsi cenderung mirip dengan

nilai tetangganya dan yang memiliki hubungan perdagangan. Selain itu, uji

Moran’s I yang dilakukan pada residual menunjukkan keputusan menolak 𝐻0 pada

taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%) maka terdapat bukti bahwa residual

78
memiliki autokorelasi spasial. Karena adanya autokorelasi spasial pada residual

maka uji Lagrange Multiplier dapat dilanjutkan untuk memilih model regresi. Pada

taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%), uji Lagrange Multiplier untuk spasial

error (LM-Error) memberi kesimpulan untuk menolak 𝐻0 sedangkan uji Lagrange

Multiplier untuk spasial lag (LM-Lag) memberi kesimpulan gagal menolak 𝐻0 . Hal

ini menunjukkan model regresi yang sesuai untuk memodelkan densitas IMK yang

telah ditransformasi dengan logaritma natural ialah model regresi spasial error atau

spatial error model (SEM).

4.4 Estimasi Parameter Model Regresi Spasial Error (SEM) dan

Pengujian Asumsi

Berdasarkan hasil uji Lagrange Multiplier model yang sesuai ialah model

regresi spasial error (SEM). Persamaan model regresi spasial error dapat diperoleh

dari persamaan umum model regresi spasial dengan nilai 𝜌 = 0 dan 𝜆 ≠ 0.

Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :

𝑙𝑛(𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐼𝑀𝐾)𝑖 = 𝛽0 + 𝛽1 𝑈𝑝𝑎ℎ𝑖 + 𝛽2 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑆𝐼𝑖 + 𝛽3 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖


+ 𝛽4 𝑅𝐿𝑆𝑖 + 𝛽5 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖
𝑛
(26)
+ 𝛽6 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 𝜆 ∑ 𝑤𝑖 𝑢𝑖 + 𝜀𝑖
𝑗=1,𝑖≠𝑗

Estimasi parameter model regresi spasial error dapat dilakukan dengan

menggunakan metode estimasi maximum likelihood. Oleh karena itu, dalam

menguji signifikansi parameter secara parsial menggunakan uji Wald. Hasil

estimasi parameter model regresi linier berganda dan model regresi spasial error

terdapat pada Tabel 7.

79
Tabel 7. Hasil estimasi parameter model regresi spasial error (SEM)

Keputusan
Variabel Independen Koefisien Std Error P-value
(𝛼 = 5%)
(1) (2) (3) (4) (5)
Gagal Tolak
Constant -0.7170 1.0576 0.4978
𝐻0
Rata-Rata Upah Buruh (𝑋1 ) -1.1057 0.2180 0.0000 Tolak 𝐻0
Indeks Spesialisasi Industri (𝑋2 ) 1.8815 0.3630 0.0000 Tolak 𝐻0
Persentase Jalan Baik Dan
0.0566 0.0144 0.0001 Tolak 𝐻0
Sedang (𝑋3 )
Gagal Tolak
Rata- Rata Lama Sekolah (𝑋4 ) 0.1629 0.1632 0.3182
𝐻0
Pengeluaran Per Kapita
0.0003 0.0001 0.0006 Tolak 𝐻0
Disesuaikan (𝑋5 )
Rata-Rata Tingkat Bunga Tetap
-0.4781 0.1885 0.0112 Tolak 𝐻0
KSP (𝑋6 )
Lamda (𝜆) 0,6587 0,1292 0.0000 Tolak 𝐻0

Berdasarkan Tabel 7, variabel-variabel yang berpengaruh signifikan

terhadap densitas IMK dengan menggunakan model spasial error antara lain rata-

rata upah buruh, indeks spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik

dan sedang, pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli,

dan rata-rata tingkat bunga koperasi simpan pinjam. Hanya satu variabel yang tidak

berpengaruh terhadap densitas IMK, yaitu rata-rata lama sekolah. Persamaan model

regresi spasial error dapat ditulis sebagai berikut :

̂ 𝐼𝑀𝐾)𝑖 = −0,7170 − 1,1057𝑈𝑝𝑎ℎ𝑖 + 1,8815 𝐼𝑛𝑑𝑒𝑘𝑠 𝑆𝐼𝑖


𝑙𝑛(𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠
+ 0,0566 𝐽𝑎𝑙𝑎𝑛𝑖 + 0,1629 𝑅𝐿𝑆𝑖
+ 0,0003 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑝𝑒𝑟 𝐾𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑖 (27)
𝑛

− 0,4781 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 0,6587 ∑ 𝑤𝑖 𝑢𝑖


𝑗=1,𝑖≠𝑗

Sebelum melakukan interpretasi hasil estimasi parameter, perlu dilakukan

terlebih dahulu uji asumsi pada model terpilih, yaitu model regresi spasial error.

80
Pengujian asumsi dilakukan untuk melihat model yang digunakan sudah sesuai atau

belum. Uji asumsi tersebut antara lain normalitas, homoskedastisitas,

multikolinearitas, dan autokorelasi spasial.

Tabel 8. Uji asumsi normalitas, homoskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi


spasial

Uji Nilai Statistik Nilai Tabel p-value


(1) (2) (3) (4)
2
Jarque-Bera Test 1,3068 𝜒(0,05;2) = 5,9915 0,5203
2
Breusch-Pagan test 1,977 𝜒(0,05;2) = 5,9915 0,5203
Moran’s I -0,0284 𝑍0,05⁄ = 1,96 0,4941
2

Pengujian asumsi pada model regresi spasial error perlu dilakukan untuk

melihat model yang digunakan sudah sesuai atau belum. Uji asumsi tersebut antara

lain normalitas, homoskedastisitas, autokorelasi spasial, dan multikolinearitas.

Berdasarkan Tabel 8, uji normalitas Jarque-Bera memberi keputusan gagal

menolak 𝐻0 pada taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%). Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat bukti residual berdistribusi normal sehingga asumsi normalitas

sudah terpenuhi. Selain itu, uji Breusch-Pagan juga memberi keputusan gagal

menolak 𝐻0 pada taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%). Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat bukti varians residual bersifat konstan pada setiap observasi

sehingga asumsi homoskedastisitas sudah terpenuhi. Kemudian, uji Moran’s I

memberi keputusan gagal menolak 𝐻0 pada taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 =

5%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bukti residual sudah tidak berkorelasi

sehingga asumsi autokorelasi spasial pada residual sudah terpenuhi.

81
Pengujian asumsi multikolinearitas pada variabel independen dapat

dilakukan dengan menggunakan VIF. Asumsi multikolinearitas terpenuhi apabila

tidak ada nilai VIF diatas 10. Berdasarkan Tabel 9, nilai VIF tertinggi terdapat pada

variabel pengeluaran per kapita disesuaikan sebesar 3,615. Nilai VIF tertinggi

dibawah 10 mengindikasi bahwa asumsi multikolinearitas sudah terpenuhi.

Tabel 9. Variance Inflation Factors

Variabel Independen 𝑉𝐼𝐹


(1) (2)
Rata-Rata Upah Buruh (𝑋1 ) 1,385
Indeks Spesialisasi Industri (𝑋2 ) 1,558
Persentase Jalan Baik Dan Sedang (𝑋3 ) 2,589
Rata- Rata Lama Sekolah (𝑋4 ) 1,961
Pengeluaran Per Kapita Disesuaikan (𝑋5 ) 3,615
Rata-Rata Tingkat Bunga Tetap KSP (𝑋6 ) 1,253

4.5 Variabel-Variabel yang Memengaruhi Densitas IMK di Indonesia


Tahun 2019

Berdasarkan uji signifikansi parameter dengan menggunakan uji Wald pada

model spasial error, terdapat lima dari enam variabel independen yang berpengaruh

signifikan terhadap densitas IMK antara lain rata-rata upah buruh, indeks

spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, pengeluaran

per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli, dan rata-rata tingkat

bunga tetap koperasi simpan pinjam. Variabel yang tidak berpengaruh signifikan

terhadap densitas IMK ialah rata-rata lama sekolah. Selain itu, parameter spasial

82
error 𝜆 juga berpengaruh signifikan terhadap densitas IMK. Pengaruh signifikan

ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh residual secara spasial terhadap densitas

IMK. Dengan kata lain adanya variabel diluar model yang berpengaruh terhadap

densitas IMK di suatu provinsi dan umum terjadi di antara tetangga provinsi

tersebut.

Rata-rata upah buruh memiliki pengaruh negatif terhadap densitas IMK di

Indonesia. Pengaruh negatif dari rata-rata upah buruh menunjukkan bahwa semakin

tinggi upah di suatu provinsi akan menurunkan densitas IMK atau dengan kata lain

jumlah usaha IMK yang berlokasi di daerah tersebut relatif sedikit. Hal ini sesuai

dengan teori Weber (1929) yang berpendapat bahwa upah tenaga kerja merupakan

faktor yang memengaruhi lokasi industri. Selain itu, penelitian yang dilakukan

Takano, Tsutsumi, & Kikukawa (2018) juga memberi hasil upah tenaga kerja

berpengaruh negatif terhadap lokasi industri.

Indeks spesialisasi industri memiliki pengaruh positif terhadap densitas

IMK di Indonesia. Indeks spesialisasi industri merepresentasikan aglomerasi

industri di suatu provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa densitas IMK semakin tinggi

di provinsi dengan tingkat aglomerasi industri yang tinggi. Hasil temuan ini sesuai

dengan teori Weber (1929) bahwa aglomerasi merupakan faktor penentu lokasi

industri. Penelitian yang dilakukan An dan Wan (2019) juga memperoleh hasil

temuan yang sama.

Persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang memiliki pengaruh positif

terhadap densitas IMK di Indonesia. Persentase jalan dengan kondisi baik dan

sedang menunjukkan kualitas infrastruktur jalan di suatu provinsi. Pengaruh positif

dari variabel ini menunjukkan semakin tinggi persentase jalan dengan kondisi baik

83
dan sedang, semakin tinggi juga densitas IMK di provinsi tersebut. Dengan kata

lain, kualitas infrastruktur jalan yang mapan di suatu provinsi dapat meningkatkan

usaha IMK untuk berlokasi di provinsi tersebut.

Variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap densitas IMK ialah

rata-rata lama sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah kemungkinan tidak

berpengaruh terhadap densitas IMK di Indonesia karena adanya hubungan tarik-

ulur atau trade-off antara keterampilan tenaga kerja terhadap upah tenaga kerja.

Pengusaha harus memilih antara tenaga kerja terampil dengan upah yang tinggi atau

tenaga kerja kurang terampil dengan upah yang rendah. Usaha/perusahaan IMK

umumnya hanya memiliki modal finansial yang kecil sehingga usaha/perusahaan

IMK relatif memilih tenaga kerja kurang terampil agar upah tenaga kerja rendah.

Hal ini juga menjadi alasan karakteristik tenaga kerja sektor IMK dominan

merupakan penduduk berpendidikan SMA ke bawah. Pengeluaran per kapita

memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap densitas IMK di Indonesia.

Variabel ini digunakan untuk mengukur tingkat konsumsi di suatu provinsi.

Pengaruh positif dari variabel ini menunjukkan bahwa IMK relatif berlokasi di

provinsi dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat

Harington dan Warf (2002) bahwa salah satu faktor penentu lokasi industri dalam

memaksimalkan pendapatan adalah karakteristik pasar. Selain itu, penelitian An

dan Wan (2019) juga menunjukkan tingkat konsumsi pasar memiliki pengaruh

positif terhadap lokasi industri kecil di Korea.

Variabel independen terakhir yang berpengaruh signifikan ialah rata-rata

tingkat bunga tetap koperasi simpan pinjam. Hasil temuan ini sesuai dengan

pendapat Harrington dan Warf (2002) bahwa tingkat bunga sebagai modal finansial

84
masih dapat menjadi faktor lokasi selama hal tersebut bisa menjadi sumber

keuntungan untuk berproduksi di suatu lokasi daripada yang lain. Variabel ini

memiliki pengaruh negatif terhadap densitas IMK di Indonesia. Hal ini

menunjukkan bahwa IMK relatif berlokasi di provinsi dengan tingkat bunga

koperasi yang rendah.

Variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap densitas IMK ialah

rata-rata lama sekolah. Variabel rata-rata lama sekolah kemungkinan tidak

berpengaruh terhadap densitas IMK di Indonesia karena adanya tarik-ulur atau

trade-off antara keterampilan tenaga kerja dan upah tenaga kerja. Pengusaha harus

memilih antara tenaga kerja terampil dengan upah yang tinggi atau tenaga kerja

kurang terampil dengan upah yang rendah. Usaha/perusahaan IMK relatif memiliki

modal finansial yang kecil sehingga usaha/perusahaan IMK relatif memilih tenaga

kerja kurang terampil dengan upah yang rendah. Hal ini juga menjadi alasan

karakteristik tenaga kerja sektor IMK dominan merupakan penduduk

berpendidikan SMA ke bawah.

85
“… sengaja dikosongkan …”

86
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dibahas sebelumnya, terdapat beberapa

kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Persebaran industri mikro dan kecil (IMK) mengalami ketimpangan

antarprovinsi di Indonesia. Dilihat berdasarkan secara jumlah usaha

maupun densitas berdasarkan wilayah provinsi, IMK relatif berpusat di

pulau Jawa. Selain itu, IMK sangat rendah di wilayah bagian timur

khususnya Pulau Papua.

2. Uji Moran’s I pada densitas IMK menunjukkan adanya keterkaitan

spasial positif antarprovinsi di Indonesia berdasarkan matriks pembobot

spasial dengan teknik customized antara queen’s contiguity dan

hubungan perdagangan antarprovinsi. Hal ini menunjukkan nilai

densitas IMK di suatu provinsi cenderung mirip dengan provinsi lain

yang memiliki hubungan ketetanggaan atau hubungan perdagangan.

3. Dengan menggunakan model regresi spasial error, terdapat lima dari

enam variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap

densitas IMK. Variabel indeks spesialisasi industri, persentase jalan

dengan kondisi baik dan sedang, pengeluaran per kapita yang telah

disesuaikan dengan paritas daya beli memiliki pengaruh positif terhadap

densitas IMK sedangkan rata-rata upah buruh dan rata-rata tingkat

87
bunga tetap koperasi simpan pinjam memiliki pengaruh negatif terhadap

densitas IMK.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, terdapat beberapa saran yang

diajukan oleh penulis sebagai berikut :

1. Pemerintah perlu meningkatkan kualitas infrastruktur jalan secara

merata antarprovinsi. Kualitas infrastruktur jalan sangat tinggi di pulau

Jawa akan tetapi, sangat rendah di Pulau Papua. Hal ini menjadi salah

satu penyebab ketimpangan usaha/perusahaan IMK di Indonesia.

2. Pemerintah harus berfokus membangun kawasan industri di luar Pulau

Jawa. Membangun kawasan industri dapat meningkatkan aglomerasi

industri yang menjadi daya tarik pengusaha untuk berlokasi di wilayah

tersebut. Dengan berfokus membangun kawasan industri di luar Pulau

Jawa, maka dapat mengecilkan disparitas industri khususnya IMK

antara Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa.

3. Di Indonesia, IMK dominan merupakan usaha informal sehingga

penentuan upah tenaga kerja tidak selalu berpatokan pada upah

minimum. Oleh karena itu, dalam mengurangi pengeluaran upah tenaga

kerja, pemerintah dapat memberi bantuan finansial bagi pengusaha

IMK. Selain itu, pemerintah juga perlu berupaya dalam mengurangi

usaha informal di sektor IMK.

88
4. Pemerintah perlu meningkatkan daya beli masyarakat untuk menambah

jumlah pengusaha IMK khususnya di provinsi dengan densitas IMK

rendah. Walaupun meningkatkan upah dapat meningkatkan pengeluaran

masyarakat, namun ada beberapa upaya yang dapat meningkatkan daya

beli masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan

pemotongan pajak baik pajak langsung maupun pajak tidak langsung.

Pemotongan pajak langsung dapat meningkatkan pendapatan yang dapat

dibelanjakan (disposable income) sedangkan pemotongan tidak pajak

langsung dapat menurunkan harga barang sehingga daya beli

masyarakat meningkat.

5. Koperasi simpan pinjam dikelola secara mandiri oleh anggotanya. Oleh

karena itu, pemerintah perlu memberi bantuan dalam mengembangkan

koperasi secara merata antarprovinsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan

koperasi simpan pinjam (KSP) memiliki peran penting bagi usaha kecil

khususnya IMK sebagai bantuan finansial.

6. Bagi pengusaha IMK, penting untuk meninjau lokasi industri untuk

keberlanjutan usaha. Pemilihan lokasi yang sesuai perlu dilakukan untuk

meminimalisir pengeluaran biaya dan memaksimalkan pendapatan.

Selain itu, perdagangan antarwilayah juga perlu dimanfaatkan oleh

pengusaha IMK untuk memperluas pemasaran dan meningkatkan

pendapatan. Kemudian, pengusaha IMK dapat menjalin kemitraan

dengan koperasi khususnya koperasi simpan pinjam untuk memperoleh

bantuan finansial dan keuntungan lainnya.

89
7. Untuk penelitian selanjutnya, dapat digunakan tingkatan wilayah

kabupaten/kota sebagai unit observasi agar dapat menjelaskan

ketimpangan usaha/perusahaan IMK lebih dalam lagi.

90
DAFTAR PUSTAKA

An, Y., & Wan, L. (2019). Monitoring Spatial Changes in Manufacturing Firms in

Seoul Metropolitan Area Using Firm Life Cycle and Locational Factors.

Sustainability, 11(14), 3808.

Anselin, L. (1988). Spatial econometrics: Methods and models. Dordrecht: Kluwer

Academic Publishers.

Anselin, L., Florax, R. J. G. M., & Rey, S. J. (2004). Advances in spatial

econometrics: Methodology, tools and applications. Berlin: Springer-

Verlag.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2017). Sensus Ekonomi 2016 Analisis Hasil Listing

Aglomerasi Industri Manufaktur Di Indonesia. Jakarta: BPS RI.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2019). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus

2019. Jakarta: BPS RI

Badan Pusat Statistik (BPS). (2020a). Profil Industri Mikro dan Kecil 2019. Jakarta:

BPS RI

Badan Pusat Statistik (BPS). (2020b). Statistik Indonesia 2020. Jakarta: BPS RI

Badan Pusat Statistik (BPS). (2020c). Statistik Transportasi Darat 2019. Jakarta:

BPS RI

Badan Pusat Statistik (BPS). (2020d). Indeks Pembangunan Manusia 2019. Jakarta:

BPS RI

Badan Pusat Statistik (BPS). (2020e). Perdagangan Antar Wilayah Tahun 2019.

Jakarta: BPS RI

91
Badan Pusat Statistik (BPS). (2021a). Statistik Industri Manufaktur Indonesia 2019.

Jakarta: BPS RI.

Badan Pusat Statistik (BPS). (2021b). Statistik Koperasi Simpan Pinjam 2020.

Jakarta: BPS RI

Capello, R. & Nijkamp, P. (2009). Handbook of Regional Growth and Development

Theories. Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited

Chatterjee, S., & Hadi, A. S. (2012). Regression Analysis by Example (5th ed.).

Hoboken: John Wiley & Sons.

Chin, J. T. (2020). Location Choice of New Business Establishments:

Understanding the Local Context and Neighborhood Conditions in the

United States. Sustainability, 12(2), 501.

Dent, B. D., Torguson, J., & Hodler, T. W. (2009). Cartography: Thematic map

design (6th ed.). New York : McGraw-Hill Higher Education

Drukker, D. M., Peng, H., Prucha, I. R., & Raciborski, R. (2013). Creating and

Managing Spatial-Weighting Matrices with the Spmat Command. The Stata

Journal, 13(2), 242–286.

Firmansyah, A. A., & Muchlisoh, S. (2021). Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Pendapatan Industri Mikro Kecil di Indonesia Tahun 2017 - 2019 [Skripsi].

Jakarta: Politeknik Statistika STIS.

Fischer, M. M. & Getis, A. (2010). Handbook of Applied Spatial Analysis :

Software Tools, Methods and Applications. Berlin: Springer-Verlag.

Gujarati, D. N. (2011). Econometrics by example. Basingstoke: Palgrave

Macmillan.

92
Harrington, J.W. & Warf, B. (2002). Industrial Location: Principles, Practice, and

Policy. London: Routledge.

LeSage, J., & Pace, R.K. (2009). Introduction to Spatial Econometrics. Boca Raton:

Taylor & Francis

Muhtamil, M. (2017). Pengaruh Perkembangan Industri Terhadap Penyerapan

Tenaga Kerja di Provinsi Jambi. Jurnal Perspektif Pembiayaan Dan

Pembangunan Daerah, 4(3), 199 - 206.

Neter, J., Wasserman, W., & Kutner, M. H. (1983). Applied linear regression

models. Homewood, Illinois: R.D. Irwin.

Patterson, K. D., & Mills, T. C. (2009). Palgrave handbook of econometrics (Vol.

2). Basingstoke, England: Palgrave Macmillan.

RI (Republik Indonesia). (2020). Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional Tahun 2020-2024. Peraturan Presiden Nomor: 18 Tahun 2020.

Sekretariat Negara. Jakarta

Rostiana, E. & Djulius, H. (2019). Micro, Small, and Medium Scale Industry as

Means of Poverty Reduction. Proceedings of the 1st International

Conference on Economics, Business, Entrepreneurship, and Finance

(ICEBEF 2018), 347-351.

Sarwoko, E. (2009). Analisis Peranan Koperasi Simpan Pinjam/Unit Simpan

Pinjam Dalam Upaya Pengembangan Umkm Di Kabupaten Malang. Jurnal

Ekonomi Modernisasi, 5(3), 172-188.

Santoso, E & Wilantari, R. N. (2017). Geographical Pattern of Economic Activities:

an Evidence from Large and Medium Manufacturing Industries in

93
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science

328(1), 12-38.

Todaro, Michael P. & Smith, Stephen C. (2015). Economic Development (12th ed.).

Newyork: Pearson.

Tambunan, T. (2012). Usaha mikro kecil dan menengah di Indonesia : isu-isu

penting. Jakarta : LP3ES

Takano, K., Tsutsumi, M. and Kikukawa, Y. (2018). SPATIAL MODELING OF

INDUSTRIAL LOCATION DETERMINANTS IN JAPAN: EMPIRICAL

ANALYSIS USING SPATIAL ECONOMETRIC APPROACHES. Review

Urban &Regional Devel, 30, 26-43.

UNDESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs). (2020).

Micro, Small and Medium sized Enterprises (MSMEs) and their role in

achieving the Sustainable Development Goals (SDGs). Diakses pada 5 Mei

2022 https://sdgs.un.org/publications/micro-small-and-medium-sized-

enterprises-msmes-and-their-role-achieving-sustainable.

Weber, A., & Friedrich, C. J. (1929). Alfred Weber's theory of the location of

industries. Chicago, Ill: The University of Chicago Press.

Webber, M.J. (1985). Industrial Location. Reprint. Edited by Thrall, Grant I. WVU

Research Repository, 2020.

Zhou, M., Yuan, M., Huang, Y., & Lin, K. (2021). Effects of Institutions on Spatial

Patterns of Manufacturing Industries and Policy Implications in

Metropolitan Areas: A Case Study of Wuhan, China. Land, 10(7), 710.

94
LAMPIRAN

Lampiran 1. Matriks Pembobot Spasial

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34

1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 0.33 0 0.33 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

3 0 0.25 0 0.25 0.25 0 0.25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

4 0 0.25 0.25 0 0.25 0 0 0 0 0.25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

5 0 0 0.2 0.2 0 0.2 0.2 0 0 0.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6 0 0 0 0 0.25 0 0.25 0.25 0.25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

7 0 0 0.25 0 0.25 0.25 0 0.25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

8 0 0 0 0 0 0.33 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

9 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 0 0 0 0.33 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0.2 0 0 0 0 0.2 0.2 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0 0 0 0

12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0.33 0 0 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

13 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0.33 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.14 0.14 0 0 0.14 0.14 0 0 0.14 0.14 0 0 0 0 0.14 0 0 0 0 0 0 0

16 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0.33 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

18 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0.33 0 0.33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0

20 0 0 0 0 0 0 0 0 0.25 0.25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.25 0 0.25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

21 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0.2 0 0 0 0 0.2 0 0.2 0.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

22 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.17 0 0 0 0.17 0 0 0 0 0 0.17 0 0.17 0 0 0 0.17 0 0 0.17 0 0 0 0

23 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0.2 0.2 0 0.2 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0

24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0 0 0.33 0 0 0.33 0 0

26 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.17 0 0.17 0.17 0.17 0.17 0 0.17 0 0

27 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.17 0 0 0 0.17 0 0 0 0 0 0 0.17 0 0 0 0.17 0 0.17 0 0.17 0 0 0 0

28 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.25 0.25 0 0 0 0.25 0.25 0 0

29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0

30 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.25 0.25 0 0 0.25 0.25 0 0 0 0 0 0 0

31 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0.2 0 0 0 0.2 0.2 0.2

32 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.17 0.17 0 0.17 0 0 0.17 0 0.17 0.17

33 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0.33 0 0.33

34 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.33 0.33 0.33 0

95
Lampiran 2. Data Variabel Penelitian

No Provinsi 𝑌 ln(𝑌) 𝑋1 𝑋2 𝑋3 𝑋4 𝑋5 𝑋6
1 Aceh 184.48 5.22 2.362 0.55 59.97 9.18 9603 2.27
2 Sumatera Utara 174.23 5.16 2.475 0.66 57.78 9.45 10649 1.43
3 Sumatera Barat 239.72 5.48 2.682 0.63 62.68 8.92 10925 1.20
4 Riau 68.76 4.23 2.800 0.52 60.48 9.03 11255 1.32
5 Jambi 56.25 4.03 2.321 0.37 66.12 8.45 10592 2.22
Sumatera
6 87.68
Selatan 4.47 2.309 0.42 67.30 8.18 10937 2.48
7 Bengkulu 108.77 4.69 2.496 0.39 66.19 8.73 10409 1.41
8 Lampung 274.50 5.61 2.282 0.75 59.09 7.92 10114 2.14
Kep. Bangka
9 138.81
Belitung 4.93 2.937 0.51 79.47 7.98 12959 2.78
Kepulauan
10 207.65
Riau 5.34 4.276 1.59 56.65 9.99 14466 2.71
11 Dki Jakarta 9477.12 9.16 4.463 0.82 95.81 11.06 18527 2.36
12 Jawa Barat 1779.64 7.48 3.338 1.41 79.82 8.37 11152 2.07
13 Jawa Tengah 2781.71 7.93 2.190 1.49 81.83 7.53 11102 1.45
14 D I Yogyakarta 4680.85 8.45 2.312 1.14 78.56 9.38 14394 1.42
15 Jawa Timur 1804.16 7.50 2.480 1.06 78.69 7.59 11739 1.60
16 Banten 1170.86 7.07 3.843 1.61 85.57 8.74 12267 2.94
17 Bali 2787.51 7.93 2.989 1.00 77.05 8.84 14146 1.50
Nusa Tenggara
18 584.10
Barat 6.37 2.340 0.89 69.47 7.27 10640 1.70
Nusa Tenggara
19 287.70
Timur 5.66 2.113 0.68 54.12 7.55 7769 1.48
Kalimantan
20 29.21
Barat 3.37 2.529 0.40 57.56 7.31 9055 1.99
Kalimantan
21 16.58
Tengah 2.81 2.999 0.40 52.07 8.51 11236 1.94
Kalimantan
22 149.06
Selatan 5.00 2.852 0.61 61.23 8.20 12253 1.66
Kalimantan
23 24.83
Timur 3.21 3.906 0.51 61.04 9.70 12359 2.46
Kalimantan
24 9.53
Utara 2.25 3.374 0.53 65.93 8.94 9343 3.04
25 Sulawesi Utara 266.55 5.59 3.315 0.60 69.19 9.43 11115 3.46
Sulawesi
26 138.06
Tengah 4.93 2.456 0.49 52.58 8.75 9604 2.43
Sulawesi
27 277.89
Selatan 5.63 2.855 0.60 62.48 8.26 11118 1.59
Sulawesi
28 129.86
Tenggara 4.87 2.625 0.63 56.61 8.91 9436 1.70
29 Gorontalo 255.08 5.54 2.403 0.52 64.38 7.69 10075 3.00
30 Sulawesi Barat 156.64 5.05 2.161 0.57 51.69 7.73 9235 2.48
31 Maluku 53.30 3.98 2.941 0.61 58.84 9.81 8887 3.20
32 Maluku Utara 44.44 3.79 2.813 0.39 58.43 9.00 8308 2.32
33 Papua Barat 6.55 1.88 3.365 0.26 53.20 7.44 8125 2.52
34 Papua 4.85 1.58 4.001 0.14 51.32 6.65 7336 0.95

96
Lampiran 3. Persamaan model regresi tanpa transformasi pada variabel
dependen

Persamaan.Model.1 = (Densitas.IMK) ~ (Upah.Buruh) + (Indeks.SI) +


(Pers.Jln.Baik.Sedang) + (RLS) + (Pengeluaran.per.Kapita) + (Ting
kat.Bunga.Koperasi)
Persamaan.Model.1
RLB = lm(Persamaan.Model.1,data=spat.data)

Lampiran 4. Uji RESET Ramsey pada model regresi tanpa transformasi


pada variabel dependen

RLB = lm(Persamaan.Model.1,data=spat.data)
RESETtest(RLB)
##
## RESET test
##
## data: RLB
## RESET = 78.249, df1 = 2, df2 = 25, p-value = 1.731e-11

Lampiran 5. Persamaan model regresi setelah transformasi pada variabel


dependen

Persamaan.Model.2 = log(Densitas.IMK) ~ (Upah.Buruh) + (Indeks.SI) + (Pers.Jln.Baik.


Sedang) + (RLS) + (Pengeluaran.per.Kapita) + (Tingkat.Bunga.Koperasi)

Lampiran 6. Uji RESET Ramsey setelah transformasi pada variabel


dependen

RLB.2 = lm(Persamaan.Model.2,data=spat.data)
RESETtest(RLB.2)
##
## RESET test
##
## data: RLB.2
## RESET = 1.2243, df1 = 2, df2 = 25, p-value = 0.311

Lampiran 7. Uji Moran’s I pada variabel dependen

moran.test(Data$Densitas.IMK, listw = listw.wts)


##
## Moran I test under randomisation
##
## data: Data$Densitas.IMK
## weights: listw.wts
##
## Moran I statistic standard deviate = 2.4421, p-value = 0.007302
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.200753707 -0.030303030 0.008952032

97
moran.test(log(Data$Densitas.IMK), listw = listw.wts)
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: log(Data$Densitas.IMK)
## weights: listw.wts
##
## Moran I statistic standard deviate = 5.015, p-value = 2.652e-07
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.60294788 -0.03030303 0.01594469

Lampiran 8. Uji dependensi spasial Moran’s I dan Lagrange Multiplier pada


model regresi setelah transformasi pada variabel dependen

lm.morantest(RLB.2,listw.wts)
##
## Global Moran I for regression residuals
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## Moran I statistic standard deviate = 3.8894, p-value = 5.024e-05
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Observed Moran I Expectation Variance
## 0.38977154 -0.08977233 0.01520146
lm.LMtests(RLB.2,listw.wts,test=c("LMlag","LMerr","RLMlag", "RLMerr"))
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## LMlag = 2.8083, df = 1, p-value = 0.09378
##
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## LMerr = 8.5158, df = 1, p-value = 0.003521
##
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:

98
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## RLMlag = 0.44227, df = 1, p-value = 0.506
##
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## RLMerr = 6.1497, df = 1, p-value = 0.01314

Lampiran 9. Estimasi parameter model regresi spasial error (SEM)

SEM.2 = errorsarlm(Persamaan.Model.2,data=spat.data, listw.wts)


summary(SEM.2, Nagelkerke = TRUE,Hausman = TRUE)#Lag Error (SEM)
##
## Call:
## errorsarlm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data, listw = listw.wts)
##
## Residuals:
## Min 1Q Median 3Q Max
## -1.04185 -0.42526 -0.03886 0.32764 1.05001
##
## Type: error
## Coefficients: (asymptotic standard errors)
## Estimate Std. Error z value Pr(>|z|)
## (Intercept) -7.1699e-01 1.0576e+00 -0.6779 0.4978182
## Upah.Buruh -1.1057e+00 2.1798e-01 -5.0727 3.923e-07
## Indeks.SI 1.8815e+00 3.6295e-01 5.1840 2.172e-07
## Pers.Jln.Baik.Sedang 5.6568e-02 1.4360e-02 3.9391 8.178e-05
## RLS 1.6289e-01 1.6318e-01 0.9982 0.3181689
## Pengeluaran.per.Kapita 3.4101e-04 9.8892e-05 3.4483 0.0005642
## Tingkat.Bunga.Koperasi -4.7812e-01 1.8845e-01 -2.5371 0.0111789
##
## Lambda: 0.6587, LR test value: 11.808, p-value: 0.00058974
## Asymptotic standard error: 0.1292
## z-value: 5.0982, p-value: 3.4288e-07
## Wald statistic: 25.992, p-value: 3.4288e-07
##
## Log likelihood: -29.34549 for error model
## ML residual variance (sigma squared): 0.28287,(sigma: 0.53186)
## Nagelkerke pseudo-R-squared: 0.89842
## Number of observations: 34
## Number of parameters estimated: 9
## AIC: 76.691, (AIC for lm: 86.499)
## Hausman test: -3.6264, df: 7, p-value: 0.82166

99
Lampiran 10. Uji normalitas Jarque-Bera pada residual model SEM

jarque.bera.test(SEM.2$residuals)
##
## Jarque Bera Test
##
## data: SEM.2$residuals
## X-squared = 1.3068, df = 2, p-value = 0.5203

Lampiran 11. Uji homoskedastisitas Breusch-Pagan pada residual model SEM

bptest.Sarlm(SEM.2)
##
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data:
## BP = 1.977, df = 6, p-value = 0.9218

Lampiran 12. Uji autokorelasi spasial Moran’s I pada residual model

moran.test(SEM.2$residuals, listw = listw.wts)


##
## Moran I test under randomisation
##
## data: SEM.2$residuals
## weights: listw.wts
##
## Moran I statistic standard deviate = 0.014845, p-value = 0.4941
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## -0.02841009 -0.03030303 0.01626023

Lampiran 13. Variance Inflation Factors

stargazer(vif(RLB.2), type = "text",


title="VIF",flip = TRUE)
##
## VIF
## ============================
## Upah.Buruh 1.385
## Indeks.SI 1.558
## Pers.Jln.Baik.Sedang 2.589
## RLS 1.961
## Pengeluaran.per.Kapita 3.615
## Tingkat.Bunga.Koperasi 1.253
## ----------------------------

100
Lampiran 14. Hasil Estimasi Model Regresi Spasial Error
𝑛

No. Observasi ln(𝑌)𝑖 ̂𝑖


ln(𝑌) (𝑋𝛽)𝑖 𝜆 ∑ 𝑤𝑖𝑗 𝑢𝑖 𝜀𝑖
𝑖,𝑗=1,𝑖≠𝑗
1 Aceh 5.2175 4.5236 4.7794 -0.2558 0.6940
2 Sumatera Utara 5.1604 5.3802 5.5487 -0.1685 -0.2198
3 Sumatera Barat 5.4795 5.1493 5.6571 -0.5078 0.3302
4 Riau 4.2306 4.8792 5.2587 -0.3794 -0.6486
5 Jambi 4.0299 4.6621 5.0865 -0.4243 -0.6323
6 Sumatera Selatan 4.4737 4.8298 5.1967 -0.3669 -0.3562
7 Bengkulu 4.6893 5.0407 5.3001 -0.2594 -0.3515
8 Lampung 5.6149 4.9312 5.2327 -0.3015 0.6837
9 Kep. Bangka Belitung 4.9331 5.4887 5.8759 -0.3871 -0.5556
10 Kepulauan Riau 5.3359 5.4601 6.0172 -0.5571 -0.1243
11 DKI Jakarta 9.1566 8.2227 8.3052 -0.0825 0.9339
12 Jawa Barat 7.4842 6.9606 6.9328 0.0278 0.5236
13 Jawa Tengah 7.9308 8.6085 8.6161 -0.0076 -0.6777
14 D I Yogyakarta 8.4512 8.8582 9.0724 -0.2142 -0.4070
15 Jawa Timur 7.4978 7.2553 7.4629 -0.2075 0.2425
16 Banten 7.0655 7.4968 7.1049 0.3919 -0.4314
17 Bali 7.9329 7.8071 7.7704 0.0367 0.1258
18 Nusa Tenggara Barat 6.3701 6.6003 6.2937 0.3066 -0.2303
19 Nusa Tenggara Timur 5.6619 4.6119 4.4629 0.1490 1.0500
20 Kalimantan Barat 3.3744 3.2408 3.8268 -0.5860 0.1336
21 Kalimantan Tengah 2.8083 3.8501 3.9567 -0.1066 -1.0419
22 Kalimantan Selatan 5.0044 5.5011 5.4616 0.0396 -0.4968
23 Kalimantan Timur 3.2119 3.6901 3.9978 -0.3078 -0.4782
24 Kalimantan Utara 2.2547 2.9557 3.4734 -0.5177 -0.7010
25 Sulawesi Utara 5.5856 4.8463 4.3300 0.5164 0.7392
26 Sulawesi Tengah 4.9277 4.4816 4.0054 0.4762 0.4461
27 Sulawesi Selatan 5.6272 5.4380 5.1595 0.2785 0.1893
28 Sulawesi Tenggara 4.8665 4.9775 4.6221 0.3554 -0.1110
29 Gorontalo 5.5416 5.2215 4.5042 0.7173 0.3201
30 Sulawesi Barat 5.0539 4.1376 4.1134 0.0242 0.9163
31 Maluku 3.9759 3.9035 3.5998 0.3037 0.0724
32 Maluku Utara 3.7941 3.7608 3.4020 0.3588 0.0333
33 Papua Barat 1.8794 2.1056 1.8420 0.2636 -0.2262
34 Papua 1.5795 1.3239 1.1470 0.1769 0.2556

101
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Christ Egy Natama Pardede dilahirkan di Kabanjahe,


Sumatera Utara pada tanggal 8 Januari 2002 dari pasangan Jonny Hasudungan
Pardede dan Rehmia Ginting. Penulis merupakan anak pertama dari tiga
bersaudara.
Tahun 2013 penulis menamatkan pendidikan dasarnya dari SD S KATOLIK
ASSISI MEDAN, kemudian pada tahun 2016 penulis manamatkan pendidikan
menengah pertama nya dari SMP N 1 MEDAN. Setelah itu, penulis menamatkan
pendidikan menengah atasnya dari SMA S METHODIST 1 MEDAN pada tahun
2019. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di
Politeknik Statistika STIS.
Akhirnya pada tahun 2022 penulis menamatkan pendidikan di Politeknik
Statistika STIS dengan program Diploma III dengan menyandang gelar Ahli Madya
Statistik (A.Md.Stat.)

102

Anda mungkin juga menyukai