Oleh:
CHRIST EGY NATAMA PARDEDE
111911092
Oleh:
CHRIST EGY NATAMA PARDEDE
111911092
Adalah benar-benar hasil penelitian sendiri dan bukan hasil plagiat atau
hasil karya orang lain. Jika di kemudian hari diketahui ternyata karya
ilmiah tugas akhir ini hasil plagiat atau hasil karya orang lain, penulis
bersedia jika karya ilmiah tugas akhir ini dinyatakan tidak sah dan
sebutan Ahli Madya Statistika dicabut atau dibatalkan.
Oleh:
CHRIST EGY NATAMA PARDEDE
111911092
Tim Penguji
Penguji I Penguji II
Mengetahui/Menyetujui
2. Dilarang mengumpulkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa seizin Politeknik Statistika STIS.
PRAKATA
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia yang
Engkau berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul
“Determinan Ketimpangan Industri Mikro Dan Kecil Antarprovinsi Di Indonesia
Tahun 2019” . Untuk itu penulis berterima kasih kepada:
1. Ibu Dr. Erni Tri Astuti M.Math. selaku Direktur Politeknik Statistika
STIS;
2. Bapak Agung Priyo Utomo S.Si., M.T. selaku Ketua Prodi DIII
Statistika STIS;
3. Ibu Dr. Siti Muchlisoh M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan membimbing dengan penuh kesabaran;
4. Bapak/Ibu Dosen selaku dosen penguji yang telah memberikan koreksi
dan saran-saran untuk menyempurnakan tugas akhir ini;
5. Bapak, Ibu, adik, keluarga besar dan teman-teman penulis di kampung
halaman yang senantiasa memberi dukungan serta doanya untuk penulis
dalam pengerjaan tugas akhir ini;
6. Serta semua pihak yang telah membantu penulisan tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih mempunyai kekurangan
baik isi maupun susunannya. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan tugas akhir ini.
i
ABSTRAK
Christ Egy Natama P., “Determinan Ketimpangan Industri Mikro dan Kecil
Antarprovinsi Di Indonesia Tahun 2019”.
viii+102 halaman
Industri skala mikro dan kecil (IMK) memiliki peran yang penting dalam
pembangunan ekonomi di Indonesia. Literatur yang telah ada menunjukkan bahwa
pengembangan IMK berpotensi mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan
ketimpangan pendapatan. Namun, sebaran IMK tidak merata antarprovinsi di
Indonesia. Berdasarkan densitas IMK, yaitu jumlah usaha IMK per l00 kilometer
kuadrat luas wilayah provinsi, densitas IMK lebih dominan di Pulau Jawa
dibandingkan di wilayah lainnya. Hal ini mengakibatkan potensi yang dimiliki IMK
tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya di beberapa wilayah Indonesia. Oleh karena
itu, penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran serta mengidentifikasi
penyebab ketimpangan densitas IMK antarprovinsi di Indonesia. Pemodelan regresi
spasial digunakan untuk melihat adanya efek spasial berdasarkan ketetanggaan dan
hubungan perdagangan antarwilayah terhadap densitas IMK di Indonesia. Uji
Moran’s I menunjukkan adanya pengaruh autokorelasi spasial. Dengan
menggunakan Spatial Error Model (SEM), variabel independen yang berpengaruh
signifikan terhadap densitas IMK antara lain rata-rata upah buruh, indeks
spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, pengeluaran
per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli, dan rata-rata tingkat
bunga tetap koperasi simpan pinjam.
ii
DAFTAR ISI
PRAKATA ............................................................................................................... I
ABSTRAK ..............................................................................................................II
BAB I ...................................................................................................................... 1
BAB II ................................................................................................................... 13
BAB IV ................................................................................................................. 61
iii
4.1 Peta Persebaran Densitas IMK serta Variabel-Variabel yang
BAB V ................................................................................................................... 87
5.1 Kesimpulan.................................................................................... 87
LAMPIRAN .......................................................................................................... 95
iv
DAFTAR TABEL
transformasi ................................................................................................72
v
DAFTAR GAMBAR
8. Sebaran rata-rata upah buruh per sebulan dalam rupiah menurut provinsi
10. Sebaran persentase jalan kondisi baik dan sedang menurut provinsi tahun
2019 ........................................................................................................... 65
11. Sebaran rata-rata lama sekolah dalam tahun menurut provinsi tahun
2019 ........................................................................................................... 66
12. Sebaran pengeluaran per kapita yang disesuaikan terhadap paritas daya
beli per tahun dalam ribuan rupiah menurut provinsi tahun 2019 ............. 67
13. Sebaran rata-rata tingkat bunga tetap ksp dalam persen menurut provinsi
vi
15. Histogram dan density plot variabel densitas IMK setelah transformasi. ..71
independen. ................................................................................................73
17. Scatter plot variabel densitas IMK setelah transformasi variabel dependen
vii
DAFTAR LAMPIRAN
dependen .................................................................................................... 97
12. Uji autokorelasi spasial Moran’s I pada residual model ......................... 100
viii
BAB I
PENDAHULUAN
persen per tahun (RI, 2020). Salah satu kunci untuk dapat mencapai pertumbuhan
ekonomi tersebut adalah transformasi struktural (RI, 2020). Menurut Todaro &
kapitalisasi modal yang tertanam sangat besar, kemampuan menyerap tenaga kerja
yang besar, juga kemampuan menciptakan nilai tambah (value added creation) dari
setiap input atau bahan dasar yang diolah. Keunggulan sektor industri pengolahan
1
perekonomian Indonesia sebesar 19,70 persen (BPS, 2020a). Selain itu, industri
pengolahan mampu mempekerjakan tenaga kerja 14,96 persen dari total angkatan
terbatas pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Menurut Todaro dan
skala mikro dan kecil. Di beberapa negara, sektor industri pengolahan dalam skala
mikro dan kecil dikelola secara informal oleh masyarakat miskin dan
keluarga kelas bawah adalah pekerjaan informal, dalam banyak kasus usaha skala
kecil. Oleh karena itu, strategi pengembangan industri mikro dan kecil cenderung
2
development goals (SDGs). Menurut Raniya Sobir, konsultan untuk Divisi Urusan
Ekonomi dan Sosial PBB (The United Nations Department of Economic and Social
Affairs) untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), usaha industri mikro dan
kecil yang termasuk dalam usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memiliki
peran dan kontribusi dalam mencapai 17 target SDGs (UNDESA, 2020). Usaha
industri mikro dan kecil dapat menciptakan lapangan kerja yang mengangkat orang
keluar dari kemiskinan (UNDESA, 2020). Selain itu, IMK dominan merupakan
Pada tahun 2019, 97,21 persen usaha/perusahaan IMK berbadan hukum perorangan
atau individu yang umumnya dikaitkan dengan sektor informal (BPS, 2020a).
Selain itu, lebih dari separuh pengusaha IMK di Indonesia, yakni sebesar 54,24
persen atau 2,38 juta orang berpendidikan SD ke bawah sedangkan 77,26 persen
atau 7,39 juta tenaga kerja IMK merupakan lulusan SMP ke bawah (BPS, 2020a).
Oleh karena itu, potensi IMK dalam menyerap pekerja berpendidikan rendah dapat
pendapatan di Indonesia.
3
1 800 000
1 600 000
1 400 000
1 200 000
1 000 000
800 000
600 000
400 000
200 000
0
Tidak SD SMP SMA SMK Diploma Sarjana
Tamat SD (I/II/ III) (I/II/ III)
4 000 000
3 500 000
3 000 000
2 500 000
2 000 000
1 500 000
1 000 000
500 000
0
Tidak SD SMP SMA SMK Diploma Sarjana
Tamat SD (I/II/ III) (I/II/ III)
dapat dilihat melalui peta sebaran antarprovinsi. Pada Gambar 3, sebaran usaha
IMK di Indonesia berpusat di Pulau Jawa terutama di Provinsi Jawa Tengah, Jawa
4
Timur, dan Jawa Barat menjadi provinsi-provinsi dengan jumlah IMK terbanyak.
Provinsi tersebut masing-masing terdapat lebih dari 500 ribu usaha IMK. Kondisi
ini sangat berbeda dengan Provinsi di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua dengan
Untuk analisis lebih lanjut perlu digunakan indikator yang standar sebagai
jumlah usaha IMK dibagi l00 kilometer kuadrat luas wilayah provinsi. Menurut
dengan nilai densitas IMK lebih dari seribu. Namun, densitas IMK relatif rendah di
Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. Semua provinsi di kedua pulau ini memiliki
5
densitas IMK dibawah 50, kecuali Provinsi Kalimantan Selatan dengan densitas
IMK sebesar 149. Hal ini mengindikasi IMK yang diukur dengan densitas terhadap
pelabuhan laut atau udara, jalan raya, lokasi industri beserta komponen- komponen
6
kegiatan ekonomi dan administrasi pemerintah (seperti Jakarta, Surabaya dan
penduduk, lokasi atau akses masyarakat ke pasar, dan persaingan baik antar sesama
lokasi terutama dari pendekatan industri (industrial location theory). Teori lokasi
untuk menyelidiki fakta sederhana bahwa aktivitas industri tidak merata di seluruh
ruang (Webber, 1985). Teori lokasi industri pertama kali dikemukakan oleh Alfred
Weber pada tahun 1909 dan terus berkembang pesat dengan munculnya beberapa
teori lokasi industri yang baru. Alfred Weber (1929) mengemukakan teori biaya
minimum (least cost theory) yang berprinsip bahwa pengusaha industri akan
produksi.
unit analisis pada penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
7
ketimpangan usaha/perusahaan IMK antarprovinsi dan saran dalam mengatasi
permasalahan tersebut.
Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini ialah analisis deskriptif dan
analisis inferensial. Model yang akan digunakan dalam analisis inferensial adalah
sektor IMK di Indonesia. Pada model regresi spasial, matriks penimbang spasial
adanya keterkaitan spasial positif pada pendapatan IMK di Indonesia pada tahun
2017 sampai 2019. Hasil penelitian yang dilakukan Santoso dan Wilantari (2017)
juga mengindikasi adanya hubungan spasial positif yang cukup kuat pada usaha
Industri mikro dan kecil (IMK) memiliki peran yang penting dalam
8
berpotensi mengurangi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan.
berpendidikan rendah yang sering dikaitkan dengan penduduk miskin. Oleh karena
itu, pengembangan IMK dapat dijadikan sebagai upaya pemerataan ekonomi dalam
Development Goals (SDGs) yaitu target ke-9. Target SDG ke-9 mencakup tiga
(UNDESA, 2020). Pengembangan IMK dicakup dalam target SDG 9.3 yang
berfokus pada peningkatan peran dan kapasitas usaha industri kecil (UNDESA,
2020).
tetapi potensi tersebut masih terhambat akibat sebaran usaha IMK yang tidak
merata antarprovinsi. Pada tahun 2019, perbedaan jumlah usaha IMK di Pulau Jawa
sangat jauh jika dibandingkan dengan wilayah lain khususnya wilayah bagian
timur. Hal yang sama juga terjadi pada densitas IMK yang berpusat di Pulau Jawa
dan pemerataan IMK dapat dijadikan sebagai upaya dalam mengurangi kemiskinan,
potensi sektor IMK dapat dimanfaatkan di setiap daerah serta upaya pencapaian
9
target SDG. Oleh karena itu, pengidentifikasian penyebab ketimpangan
2019.
Penelitian ini berisis dari lima bab yang saling berhubungan. Bab I memuat
latar belakang mengenai potensi yang dimiliki IMK dalam pembangunan ekonomi
hasil yang hendak dicapai pada penelitian ini, yaitu bertujuan untuk memberi
10
sistematika penulisan yang membahas informasi dan tata letak penulisan. Pada Bab
II memuat landasan teori yang berisi tentang teori-teori dan konsep yang digunakan
ini, selanjutnya terdapat kerangka pikir yang berisi uraian tentang keterkaitan
variabel yang dicakup dalam penelitian, dan bagian terakhir terdapat hipotesis
penelitian yang memuat dugaan atau pernyataan awal hasil penelitian yang akan
dibuktikan melalui hasil akhir penelitian. Pada Bab III memuat ruang lingkup
penelitian yang berisi variabel penelitian, tempat penelitian, dan periode data yang
menjelaskan sumber data serta prosedur pengumpulan data yang digunakan pada
analisis data yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian. Bab IV memuat
hasil penelitian berdasarkan data dan metode analisis penelitian yang telah
dipaparkan. Bab terakhir ialah Bab V yang memuat kesimpulan dari hasil penelitian
yang bertujuan untuk menjawab tujuan penelitian dan saran yang dapat diberikan
11
“… sengaja dikosongkan …”
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Industri Pengolahan
(bahan mentah) menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang
manufaktur; terletak pada suatu bangunan/lokasi tertentu serta ada seorang atau
jasa industri manufaktur adalah unit kegiatan dari suatu industri yang melayani
keperluan pihak lain. Pada kegiatan ini bahan baku disediakan oleh pihak yang
banyaknya tenaga kerja yang bekerja tanpa memperhatikan penggunaan mesin dan
berikut :
13
Industri Menengah : 20 sampai 99 tenaga kerja
usaha/perusahaan sebanyak 4,37 juta atau 99,03 persen pada tahun 2016 (BPS,
IMK juga dapat bertahan terhadap krisis ekonomi yang pernah dialami di Indonesia.
UMKM seperti IMK setelah krisis ekonomi sebagai berikut (BPS, 2017) :
dihasilkan.
ii. Sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga mereka
terhindar dari beban biaya bunga tinggi akibat adanya peningkatan suku
14
iii. Hambatan keluar-masuk dalam industri yang ditekuni pelaku UMKM
Teori Biaya Minimum (Least Cost Theory) dikemukakan oleh Alfred Weber
dalam publikasinya yang berjudul Über den Standort der Industrien dalam bahasa
Jerman pada tahun 1909 dan telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh C. J.
Friedrich yang berjudul Theory of the Location of Industries pada tahun 1929.
prinsip biaya terkecil (Weber & Friedrich, 1929). Menurut Weber, ada enam
1. Biaya lahan.
5. Biaya Transportasi.
6. Tingkat bunga.
15
1. Unit analisisnya adalah satu negara terisolasi yang homogen dalam hal
iklim, topografi, ras, keterampilan teknis rakyat, dan berada di bawah satu
otoritas politik.
2. Biaya tanah, peralatan bangunan, bunga dan depresiasi modal tetap tidak
berbeda-beda.
4. Lokasi sumber bahan baku diasumsikan sudah diketahui dan tidak merata
6. Adanya kondisi persaingan sempurna dengan sumber daya dan pasar yang
tidak terbatas pada lokasi tertentu dan tidak ada perusahaan yang dapat
bertujuan untuk menjelaskan lokasi kegiatan industri dalam tiga faktor ekonomi,
antara lain biaya transportasi, biaya tenaga kerja, dan aglomerasi. Biaya transportasi
menjadi faktor yang penting dalam teori yang dikemukakan oleh Weber. Menurut
Weber, lokasi usaha industri dipilih berdasarkan jarak optimum terhadap lokasi
bahan baku dan lokasi pasar. Selain itu, perbedaan biaya upah tenaga kerja di setiap
meminimalkan biaya, industri akan memilih lokasi dengan tingkat upah tenaga
kerja yang rendah. Faktor yang terakhir adalah faktor aglomerasi ekonomi.
memperoleh bahan baku yang diproduksi oleh industri lainnya. Oleh karena itu,
16
pada umumnya usaha industri yang baru memilih lokasi yang berdekatan dengan
Teori biaya minimum dari Weber menjelaskan bahwa biaya tenaga kerja
menjadi faktor penentu lokasi suatu usaha industri. Weber juga menekankan
bahwa biaya tenaga kerja yang dimaksud haruslah biaya tenaga kerja riil
(Weber & Friedrich, 1929). Biaya tenaga kerja bervariasi menurut lokasi,
sebagai variabel penjelas untuk upah tenaga kerja. Hasilnya, variabel tersebut
memiliki pengaruh yang negatif menunjukkan usaha industri kecil akan relatif
Aglomerasi Industri
berdasarkan teori biaya minimum dari Weber (Weber & Friedrich, 1929).
Istilah aglomerasi muncul pertama kali pada tahun 1920 oleh Marshall yang
17
mengatakan bahwa aglomerasi ekonomi terjadi ketika suatu industri memilih
dapat berlangsung dalam jangka panjang (BPS, 2017). Menurut Cholis, hal
Spesialisasi Industri (SI). Nilai Indeks Spesialisasi Industri (SI) diatas satu
Indeks Spesialisasi Industri (SI) maka semakin besar juga tingkat aglomerasi
𝐸𝑟𝑖
⁄𝐸
𝑘𝑖
𝑆𝐼𝑖 = (1)
𝐸𝑟𝑛
⁄𝐸
𝑘𝑛
Keterangan :
18
𝐸𝑟𝑖 : tenaga kerja industri di provinsi i
pengaruh positif terhadap lokasi suatu industri kecil. Penelitian lainnya yang
dilakukan An dan Wan (2019) juga menunjukkan hasil yang sama bahwa
merupakan salah satu faktor dalam penentu lokasi industri. Menurut Weber
(1929), biaya transportasi akan bervariasi sesuai dengan panjang dan sifat jalan
yang harus dilalui untuk mengantarkan bahan dari tempat produksi dan produk
jadi ke tempat pasar. Infrastruktur jalan dengan kualitas bagus tentunya akan
jalan dengan kualitas buruk akan mempersulit kegiatan usaha industri dan dapat
menambah biaya transportasi suatu usaha industri. Hasil penelitian dari Takano,
19
akan berjumlah lebih sedikit di daerah dengan aksesibilitas yang ke jalan raya
Modal Manusia
juga dapat menjadi faktor penentu lokasi industri. Tenaga kerja terampil dapat
Warf, 2002). Akan tetapi, terdapat kontradiksi bahwa tenaga kerja yang
terampil dengan upah buruh sebagai penentu lokasi industri. Menurut Harington
dan Warf (2002), pekerja yang kurang terampil dapat dipekerjakan dengan upah
dan tunjangan yang lebih rendah sehingga dapat mengurangi biaya pengeluaran.
dan Wan (2019) menggunakan persentase orang yang bekerja dengan gelar
sebagai tujuan utama suatu usaha. Salah satu faktor penentu lokasi industri
20
pasar disebabkan adanya perbedaan elastisitas harga yang dipengaruhi
Harrington dan Warf, jika perbedaan pasar seperti itu ada di seluruh wilayah
yang sedang dipertimbangkan, maka pasar dengan permintaan yang lebih elastis
memberikan daya tarik yang lebih kuat bagi usaha industri untuk berlokasi.
Wilayah dengan tingkat konsumsi pasar yang tinggi menjadi daya tarik bagi
dari biaya yang berperan penting dalam proses produksi, namun, tingkat bunga
wilayah pada suatu negara. Hal ini dikarenakan tingkat bunga tidak memiliki
perbedaan yang signifikan atau sama untuk setiap wilayah di suatu negara
(Weber & Friedrich, 1929). Namun pernyataan Weber hanya mengacu pada
tingkat bunga dari bank karena tingkat bunga bank ditentukan oleh bank sentral
di suatu negara. Di Indonesia, tingkat bunga pada bank umumnya sama di setiap
wilayah karena diatur oleh Bank Indonesia. Akan tetapi, tingkat bunga pada
koperasi simpan pinjam beragam untuk setiap wilayah. Hal ini dikarenakan,
usaha koperasi simpan pinjam dikelola secara mandiri oleh anggota koperasi
tersebut. Selain itu, terdapat juga beberapa pengusaha IMK yang merupakan
anggota koperasi dan modal yang berasal dari koperasi (BPS, 2020a). Oleh
21
karena itu, tingkat bunga pada koperasi simpan pinjam dapat dijadikan faktor
lokasi sebagai modal finansial pada tingkat regional untuk IMK di Indonesia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sarwoko (2009), koperasi simpan pinjam
perpindahan suatu barang dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Ketersediaan dan
disparitas harga barang pokok antardaerah yang cukup tinggi menjadi faktor
Secara umum, Indonesia merupakan negara kepulauan. Akan tetapi, hal ini
adalah kegiatan perdagangan dan atau pendistribusian barang dari satu pulau ke
pulau lain dalam satu provinsi atau antarprovinsi, yang dilakukan oleh pelaku usaha
22
antarwilayah dapat diartikan sebagai perdagangan dan pendistribusian barang dari
satu provinsi ke provinsi lain yang berbeda dalam negara yang sama (BPS, 2020e).
usaha IMK. Berdasarkan publikasi Profil Industri Mikro dan Kecil 2019 (BPS,
dalam satu provinsi dan luar provinsi masing-masing sebesar 7,57 persen dan 2,79
persen. Untuk asal memperoleh bahan baku, terdapat 437 ribu atau 10 persen IMK
yang memperoleh bahan baku dari luar kabupaten/kota dalam satu provinsi
sedangkan untuk IMK yang memperoleh bahan baku dari luar provinsi terdapat 161
ribu atau 3,6 persen IMK (BPS, 2020a). Hal ini menunjukkan perdagangan
Analisis Regresi
antara dua atau lebih variabel kuantitatif, sehingga nilai dari salah satu variabel
tersebut dapat diprediksi oleh satu atau beberapa variabel lainnya (Neter, 1983).
Keterangan :
23
𝑌𝑖 : variabel dependen pada observasi ke-i
Uji Simultan
Uji simultan adalah uji statistik yang digunakan untuk melihat bagaimana
𝐻0 ∶ 𝛽1 = 𝛽2 = ⋯ = 𝛽𝑝 = 0
𝑅 2 /(𝑛 − 1)
𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = ~𝐹 (3)
(1 − 𝑅 2 )/(𝑛 − 𝑝) 𝑝−1;𝑛−𝑝
ketika 𝐻0 ditolak jika 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝐹𝑝−1;𝑛−𝑝 atau jika nilai p-value kurang dari tingkat
signifikansi yang artinya terdapat satu variabel independen yang secara signifikan
Uji Parsial
24
Uji parsial digunakan untuk melihat signifikan dari pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen secara individu. Hipotesis pada uji parsial
sebagai berikut :
𝛽
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 𝑠𝑒(𝛽𝑗 ) ~𝑡𝑛−2−𝑝 ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 (4)
𝑗
standar deviasi dari koefisien regresi ke-j, n merupakan banyaknya observasi, dan
𝐻0 ditolak jika 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑛−2−𝑝 atau jika nilai p-value kurang dari tingkat
Maka dari itu perlu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi tersebut. Secara
asumsi tersebut adalah agar hasil analisis regresi memiliki estimasi yang akurat,
25
Normalitas
residual (error) tidak berdistribusi normal, estimator regresi klasik (OLS) masih
dapat dinyatakan sebagai estimator tidak bias linier terbaik (Best Linear
Unbiased Estimator). Akan tetapi, uji t dan F yang telah digunakan selama ini
sebagai berikut :
𝑆 2 (𝐾 − 3)2 2
𝐽𝐵 = 𝑛 [ − ] ~𝜒𝛼;2 (5)
6 24
Keterangan :
1 ∑𝑛
𝑖=1(𝑥𝑖 −𝑥̅ )
𝑆 : skala kemencengan (skewness), 𝑆 = 𝑛 𝑠3
1 ∑𝑛
𝑖=1(𝑥𝑖 −𝑥̅ )
𝐾 : skala keruncingan (kurtosis), 𝐾 = 𝑛 𝑠4
𝑛 : banyaknya observasi
26
𝑥𝑖 : nilai observasi ke-𝑖
𝑥̅ : nilai rata-rata 𝑥
𝑠 : standar deviasi 𝑥
dengan derajat bebas dua. Keputusan menolak 𝐻0 pada taraf nyata 𝛼 apabila
nilai dari statistik uji 𝐽𝐵 melebihi nilai chi-square tabel dengan derajat bebas p
2
atau 𝐽𝐵 > 𝜒𝛼,2 ). Hal ini menunjukkan terdapat bukti bahwa residual tidak
Homoskedastisitas
memiliki varians minimum atau efisien. Hal ini menyebabkan penduga tersebut
tidak lagi merupakan penduga tak bias linier terbaik (Best Linear Unbiased
27
kesimpulan yang salah mengenai signifikansi statistik dari estimasi koefisien
regresi.
𝐻0 ∶ 𝛿0 = 𝛿1 = 𝛿2 = ⋯ = 𝛿𝑗 = 0 (homoskedastik)
𝑝
2
𝜀𝑖 = 𝛿0 + ∑ 𝛿𝑗 𝑋𝑖𝑗 + 𝑣𝑖 (7)
𝑗=1
(𝑅 2 𝑎𝑢𝑥 )
𝐿𝑀 = 𝑛 × 𝑅 2 𝑎𝑢𝑥 ~ 𝜒𝛼,𝑝
2
(8)
Keterangan :
28
𝛿0 : konstanta dari model regresi bantu
𝑛 : banyaknya observasi
𝛼 : taraf signifikansi
Multikolinearitas
Salah satu asumsi dari model regresi linier klasik (Classical Linear
Regression Model) adalah bahwa tidak ada hubungan linier yang pasti antara
regressors (variabel independen) (Gujarati, 2011). Jika ada satu atau lebih
konsekuensi antara lain, penduga OLS masih estimator tidak bias linier terbaik
(Best Linear Unbiased Estimator), namun memiliki varians dan kovarians yang
besar, sehingga membuat estimasi yang tepat menjadi sulit. Akibatnya, interval
kepercayaan cenderung lebih lebar. Oleh karena itu, rasio t dari satu atau lebih
tinggi. Penaksir OLS dan standar error-nya sangat sensitif terhadap perubahan
29
kecil dalam data. Menambahkan variabel kolinier ke model regresi yang dipilih
multikolinearitas adalah nilai variance inflation factor (VIF). Nilai VIF terbesar
1
𝑉𝐼𝐹 = ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 (9)
(1 − 𝑅𝑗2 )
variabel independen ke-j dengan variabel independen yang lain dan p adalah
Autokorelasi Spasial
2011). Asumsi ini sering terjadi pada analisis data deret waktu (time series
data). Namun, autokorelasi juga dapat terjadi pada data potong lintang (cross-
simbol ''t-1'' untuk menunjukkan variabel lag dalam waktu, sedangkan literatur
keterkaitan spasial unit geografis dalam sampel (La Sage dan Pace, 2009).
30
Menurut La Sage dan Pace (2009), perlu ditekankan bahwa ekonometrika
dimensi ke dua dimensi. Satu perbedaan yang pasti adalah bahwa dua unit
geografis dapat saling mempengaruhi satu sama lain atau simultan, sedangkan
dua pengamatan dalam waktu tidak mempengaruhi secara simultan (La Sage
dan Pace, 2009). Dengan kata lain, autokorelasi spasial berbeda dari
nilai yang diamati di suatu lokasi atau wilayah bergantung pada nilai
pengamatan tetangga di lokasi terdekat (La Sage dan Pace, 2009). Asumsi
autokorelasi spasial memiliki fokus pada ada atau tidaknya korelasi residual di
setiap unit observasi spasial. Jika autokorelasi spasial diabaikan dalam estimasi
hasil yang bias dan tidak konsisten (La Sage dan Pace, 2009).
lingkup analisisnya (Fisher dan Getis, 2010). Ada dua lingkup yang digunakan
yaitu global dan lokal. Ruang lingkup global menguji semua elemen secara
hanya menguji pada satu unit spasial tertentu. Pengujian autokorelasi spasial
31
pada ruang lingkup global dapat digunakan uji Moran’s I. Nilai statistik
Keterangan :
𝑛 : banyaknya observasi
𝐼 − 𝐸(𝐼)
𝑍(𝐼) = ~ 𝑍𝛼⁄2 (11)
√𝑉𝑎𝑟(𝐼)
Keterangan :
1
𝐸(𝐼) : Nilai ekspektasi Moran’s I ; 𝐸(𝐼) = − 𝑛−1
𝛼 apabila nilai dari 𝑍(𝐼) > 𝑍𝛼⁄2 . Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bukti
32
Eksplorasi Data
Eksplorasi data merupakan hal yang penting dalam melakukan analisis data.
Tujuan dari eksplorasi data ialah untuk mempelajari karakteristik data dan
digunakan. Selain itu, eksplorasi data juga dapat digunakan sebagai acuan atau
dasar dalam pembentukan suatu model pada analisis regresi. Menurut Chatterjee
dan Hadi (2012), bentuk model yang merepresentasikan hubungan antara variabel
didasarkan pada latar belakang teoritis atau hipotesis yang akan diuji, namun jika
tidak ada informasi sebelumnya yang tersedia mengenai bentuk model, maka data
dapat digunakan untuk menyarankan model yang akan digunakan. Hubungan antara
dapat dilihat melalui grafik scatter plot. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan
umum mengenai distribusi variabel (Chatterjee & Hadi, 2012). Histogram dan
normal atau tidak. Distribusi variabel juga dapat diperiksa melalui kemencengan
(skewness) dan keruncingan (kurtosis) serta uji statistik normalitas seperti uji
Jarque-Bera.
Dalam analisis regresi linier klasik, model yang digunakan dalam analisis
spesifikasi yang benar dimaksud adalah satu atau lebih hal berikut:
33
1. Model tidak mengecualikan variabel "inti".
equation specification error test, disingkat RESET, adalah uji umum untuk
1. Lakukan regresi linier pada model awal yang akan diuji sebagai model
berikut :
3. Lakukan uji F pada model awal dan model bantu dengan hipotesis serta
𝐻0 ∶ 𝛾1 = 𝛾2 = ⋯ = 𝛾𝑘 = 0
34
Statistik uji yang digunakan adalah :
Pada Uji F, 𝑆𝑆𝐸𝑟 merupakan sum square error restricted model, 𝑆𝑆𝐸𝑢𝑟
dan k adalah jumlah variabel. Uji RESET ketika menolak 𝐻0 memberi kesimpulan
autokorelasi spasial pada data yang dianalisis dapat melanggar asumsi klasik
regresi, yaitu autokorelasi pada residual. Jika menggunakan regresi linear metode
kuadrat terkecil (OLS), maka estimasi yang dihasilkan akan bias dan estimasi
koefisien regresi yang kurang tepat karena asumsi error saling bebas tidak
terpenuhi (La Sage dan Pace, 2009). Oleh karena itu, regresi spasial dikembangkan
efek spasial di dalamnya. Persamaan model umum regresi spasial atau dikenal
𝑌 = 𝜌𝑊𝑌 + 𝑋𝛽 + 𝑢
𝑢 = 𝜆𝑊𝑢 + 𝜀 (14)
𝜀 ~ 𝑁(0, 𝜎 2 𝐼)
Keterangan :
35
𝑌 : vektor variabel dependen dengan ukuran 𝑛 × 1
autokorelasi spasial
𝑛 : banyaknya observasi
spasial lag, spasial error dan regresi linier berganda. Model spatial (autoregressive)
lag dependent model atau dikenal dengan Spatial Autoregressive Model (SAR)
merupakan model regresi yang didalamnya terdapat komponen spasial dari variabel
dependen. Komponen lag variabel dependen (𝑊𝑦) ini dijadikan sebagai variabel
Persamaan model spasial lag atau SAR diperoleh apabila 𝜌 ≠ 0 dan 𝜆 = 0 sehingga
𝑌 = 𝜌𝑊𝑌 + 𝑋𝛽 + 𝜀
(15)
𝜀 ~ 𝑁(0, 𝜎 2 𝐼)
36
𝑌 adalah vektor 𝑛 × 1 dari variabel dependen, 𝑋 adalah matriks 𝑛 × (𝑝 +
adalah vektor 𝑛 × 1 dari komponen residual (error) yang bersifat independen dan
regresi.
spasial dari error atau residual. Komponen lag residual (𝑊𝑢) ini dijadikan sebagai
baik untuk koefisien regresi. Persamaan model spasial error atau SEM diperoleh
𝑌 = 𝑋𝛽 + 𝑢
𝑢 = 𝜆𝑊𝑢 + 𝜀 (16)
𝜀 ~ 𝑁(0, 𝜎 2 𝐼)
adalah vektor 𝑛 × 1 dari komponen residual (error) yang bersifat independen dan
37
Estimasi parametrik dalam model regresi spasial paling umum didasari pada
metode kuadrat terkecil (OLS) akan bias dan juga tidak konsisten untuk parameter
model spasial, terlepas dari sifat-sifat komponen residual atau error (Anselin,
1988).
Uji Lagrange Multiplier (LM) adalah uji untuk menentukan jika model
menentukan model spasial antara spasial lag atau spasial error. Uji LM dihitung
dengan nilai residual yang diperoleh dari metode kuadrat terkecil dan matrik
pembobot spasial yang digunakan adalah W. Hipotesis dan uji statistik LM untuk
spasial lag dan spasial error dapat dituliskan sebagai berikut (Anselin, Florax, &
Rey, 2004) :
(𝑒 ′ 𝑊𝑦⁄𝜎̂ 2 )2
𝐿𝑀𝜌 = ~ 𝜒 2 (1) (17)
𝑛𝐽̂
38
[𝑒 ′ 𝑊𝑒⁄𝜎̂ 2 ]2
𝐿𝑀𝜆 = ~ 𝜒 2 (1) (18)
𝑇
Keterangan :
1
𝐽̂ = (𝑊𝑋𝛽)′𝑀(𝑊𝑋𝛽)
𝑛𝜎2
𝑀 = 𝐼 − 𝑋(𝑋 ′ 𝑋)−1 𝑋 ′
𝑇 = 𝑡𝑟[(𝑊 ′ 𝑊 + 𝑊)𝑊]
𝜎̂ 2 = 𝑒′𝑒/(𝑛 − 𝑝 − 1)
square. Hipotesis nol (𝐻0 ) akan ditolak pada taraf nyata 𝛼 jika nilai dari statistik
uji lebih besar dari 𝜒 2 (1) atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. Hal menunjukkan bahwa terdapat
Uji Robust Lagrange Multiplier (RLM) digunakan hanya saat kedua uji
LM-Lag dan uji LM-Error menunjukkan hasil yang signifikan. Statistik uji Robust
Lagrange Multiplier untuk spasial lag dapat dituliskan sebagai berikut (Anselin,
[(𝑒 ′ 𝑊𝑦 − 𝑒 ′ 𝑊𝑒)⁄𝜎̂ 2 ]2
𝑅𝐿𝑀𝜌 = ~ 𝜒 2 (1) (19)
𝑛𝐽̂ − 𝑇
Statistik uji Robust Lagrange Multiplier untuk spasial error dapat dituliskan
sebagai berikut :
39
2
[𝑒 ′ 𝑊𝑒⁄𝜎̂ 2 − 𝑇(𝑛𝐽̂)−1 − 𝑒 ′ 𝑊𝑦⁄𝜎̂ 2 ]
𝑅𝐿𝑀𝜆 = ~ 𝜒 2 (1) (20)
𝑇(1 − 𝑇(𝑛𝐽̂)−1 )
Sama seperti uji LM, kedua uji RLM untuk spasial lag dan spasial error
juga mengikuti distribusi Chi-square. Hipotesis nol (𝐻0 ) akan ditolak pada taraf
nyata 𝛼 jika nilai dari statistik uji lebih besar dari 𝜒 2 (1) atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. Jika
hasil uji RLM signifikan, maka terdapat dependensi spasial pada model.
dengan estimasi dari standard error. Hipotesis dan uji statistik dalam uji Wald dapat
𝛽𝑗
𝑊𝑎𝑙𝑑 = ~𝑁(0,1) ; 𝑗 = 1,2, … , 𝑝 (21)
𝑠𝑒(𝛽𝑗 )
Keterangan :
40
𝑠𝑒(𝛽𝑗 ) : standar deviasi parameter regresi ke-j
𝑛 : banyaknya observasi
Pada uji Wald, statistik uji yang digunakan mengikuti distribusi normal
baku. 𝐻0 ditolak apabila |𝑊𝑎𝑙𝑑| > 𝑍𝛼⁄2 atau 𝑝 − 𝑣𝑎𝑙𝑢𝑒 < 𝛼. Jika 𝐻0 ditolak maka
dependen.
seperti negara, provinsi, kota atau unit geografis lainnya. Terdapat beberapa metode
Contiguity (Persinggungan)
yaitu Rook Contiguity, Bishop Contiguity, dan Queen Contiguity. Pada metode
41
menempel di sudut perbatasan tidak tergolong sebagai tetangga. Berlawanan
rook contiguity dan bishop contiguity. Pada metode ini, tetangga didefinisikan
Distance (Jarak)
memerlukan titik acuan di suatu wilayah untuk mengukur jarak yang pada
Customized
(2013), hubungan spasial tidak hanya terbatas pada ruang geografis, dan sudah
banyak penggunaan konsep spasial dalam situasi lain untuk interaksi cross-
section, seperti interaksi sosial seperti model interaksi sosial dan model
jaringan. Penelitian Bodson dan Peter pada tahun 1975 dalam Anselin (1988)
42
antarwilayah. Selain itu, Firmansyah dan Muchlisoh (2021) juga menyusun
lokasi suatu usaha baru dalam publikasinya yang berjudul “Location Choice of New
densitas atau kepadatan usaha baru yang merupakan rasio antara jumlah usaha baru
usaha baru, yaitu faktor ekonomi, faktor demografi dan faktor geografi. Variabel-
banyaknya lapangan kerja dalam jarak 3 mil, dominasi industri, dan rasio penduduk
penduduk berkulit putih, rata-rata usia penduduk, dan persentase unit rumah yang
tersedia. Faktor geografi hanya terdiri atas satu variabel, yaitu jarak ke jalan raya
terdekat.
determinan penentuan lokasi industri pada skala kecil dan besar pada 1652 kota di
Jepang dengan model regresi spasial SLX (spatial lag x model) yang berjudul “
43
Spatial Modeling Of Industrial Location Determinants In Japan: Empirical
berskala kecil menunjukkan ada beberapa faktor yang menjadi penentu lokasi suatu
industri. Faktor biaya yang diukur dengan upah tenaga kerja memiliki pengaruh
yang negatif menunjukkan jumlah industri akan menjadi sedikit di wilayah dengan
tingkat upah tenaga kerja yang tinggi. Faktor aglomerasi memiliki pengaruh positif
dengan aksesibilitas yang ke jalan raya yang kurang memadai. Faktor yang terakhir
kota di Korea Selatan dengan beberapa klasifikasi skala industri yang digunakan,
yaitu industri kecil, industri besar, dan industri berteknologi tinggi. Metode analisis
yang digunakan pada penelitian ini menggunakan analisis spasial. Namun, pada
skala industri kecil tidak terdapat ketergantungan spasial sehingga model yang
persentase penduduk sarjana, jumlah lahan industri yang tersedia, aglomerasi, dan
44
Santoso dan Wilantari (2017) melakukan penelitian mengenai pola spasial
Data Analysis”. Penelitian ini menganalisis data spasial terkait dengan distribusi
spasial industri manufaktur Indonesia, yang mengkaji apakah terdapat suatu pola
yang bersifat klaster, tersebar, atau acak. Metode analisis yang digunakan ialah
analisis eksplorasi spasial dengan statistik Moran’s I dan Local Indicator of Spatial
pulau jawa. Dari hasil analisis statistik LISA, tidak dapat dipastikan bahwa terdapat
provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah,
pendapatan IMK di Indonesia. Metode analisis yang digunakan ialah regresi spasial
45
signifikan. Selain itu, disimpulkan bahwa faktor-faktor yang signifikan
Penggunaan internet oleh IMK memberikan efek total yang negatif pada
mikro dan kecil, ditemukan efek spasial pada penelitian tersebut. Hal ini menjadi
dasar penelitian ini untuk menggunakan model spasial. Selain itu, variabel
dependen yang akan dianalisis pada penelitian ini menggunakan konsep indikator
yang mirip dengan penelitian yang dilakukan Chin (2020), yaitu jumlah IMK per
luas wilayah. Penelitian ini juga menggunakan konsep yang sama dengan penelitian
usaha/perusahaan IMK per l00 kilometer kuadrat luas wilayah provinsi. Selain itu,
berdasarkan kajian teori dan penelitian terkait antara lain upah tenaga kerja,
pasar, dan tingkat bunga koperasi simpan pinjam. Variabel upah tenaga kerja diukur
46
dengan menggunakan rata-rata upah buruh di setiap provinsi Indonesia. Variabel
dengan kondisi baik dan sedang. Variabel modal manusia diukur dengan
terhadap paritas daya beli. Variabel tingkat bunga koperasi simpan pinjam diukur
dengan rata-rata tingkat bunga koperasi simpan pinjam di setiap provinsi. Selain
47
Rata-Rata Upah Buruh
(𝑋1 )
Keterkaitan
Spasial (𝑊)
Pengeluaran Penduduk Per
Kapita Riil yang
Disesuaikan (𝑋5 )
48
2.4 Hipotesis Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa hipotesis yang akan diuji secara statistik.
IMK.
f) Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan paritas daya beli
49
“… sengaja dikosongkan …”
50
BAB III
METODOLOGI
unit analisis, yaitu jumlah usaha IMK per l00 kilometer kuadrat luas wilayah
pengklasifikasian IMK pada penelitian ini menggunakan konsep dari BPS, yaitu
usaha/perusahaan industri tergolong sebagai industri mikro dan kecil (IMK) apabila
mempunyai jumlah tenaga kerja dibawah 20 orang. Pada penelitian ini, unit
dengan periode waktu satu tahun, yaitu tahun 2019. Adapun variabel dependen
yang digunakan pada penelitian ini ialah densitas IMK, yaitu banyaknya unit
usaha/perusahaan IMK per luas wilayah provinsi. Kemudian terdapat enam variabel
Indonesia. Enam variabel independen tersebut antara lain rata-rata upah buruh,
indeks spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, rata-
rata lama sekolah, pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas
51
3.2 Metode Pengumpulan Data
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat
Statistik. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber lain yang telah ada
sebelumnya. Data yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari beberapa
a) Profil Industri Mikro dan Kecil 2019 digunakan untuk memperoleh data
52
f) Statistik Koperasi Simpan Pinjam 2020 digunakan untuk memperoleh
53
3.3 Metode Analisis
penelitian tersebut.
sebagai berikut :
1. Eksplorasi Data.
54
contiguity dan hubungan perdagangan antarwilayah berdasarkan
sebagai berikut :
+ 𝛽6 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 𝜆 ∑ 𝑤𝑖 𝑢𝑖 + 𝜀𝑖
𝑗=1,𝑖≠𝑗
Multiplier.
sebagai berikut :
55
i. Uji Moran’s I digunakan untuk mengidentifikasi autokorelasi
ii. Jika pada uji Lagrange Multiplier hanya uji LM-Lag yang
regresi spasial lag (SAR) dan sebaliknya, jika hanya uji LM-Error
iii. Jika kedua uji LM signifikan, maka dilakukan uji Robust Lagrange
(RLM-Error). Keputusan pada uji RLM sama seperti uji LM. Jika
hanya uji RLM -Lag yang signifikan, maka model regresi yang
iv. Namun, apabila kedua uji LM tidak signifikan maka model regresi
56
a. Model Regresi Spasial
𝐻0 .
a. Normalitas
b. Homoskedastisitas
57
Pengujian asumsi homoskedastisitas pada model dapat
c. Multikolinearitas
d. Autokorelasi Spasial
autokorelasi spasial.
58
Gambar 6. Alur penelitian
59
“… sengaja dikosongkan …”
60
BAB IV
diduga memengaruhinya dapat digunakan peta tematik. Pada penelitian ini, metode
break atau Jenks Optimization Method. Metode ini digunakan pada data
celah atau jeda antar kelompok (Dent, 2009). Penggunaan metode natural break
pada penelitian ini dikarenakan beberapa data variabel memiliki celah antar
Densitas IMK
rasio terhadap luas wilayah provinsi, Pulau Jawa sangat mendominasi densitas IMK
Jawa dan Pulau Bali. Provinsi-provinsi di Pulau Jawa sangat mendominasi dengan
nilai densitas IMK lebih dari seribu. Provinsi DKI Jakarta menjadi provinsi paling
mendominasi dengan densitas IMK sebesar 9.477 atau setiap 100 kilometer kuadrat
terdapat 9.477 usaha IMK di Provinsi DKI Jakarta. Adapun provinsi lain di luar
jawa dengan nilai densitas IMK lebih dari seribunya hanya satu, yaitu Provinsi Bali
61
dengan nilai sebesar 2.787 usaha per 100 kilometer kuadrat. Densitas IMK relatif
rendah di Pulau Kalimantan dan Pulau Papua. Semua provinsi di kedua pulau ini
memiliki densitas IMK dibawah 50, kecuali Provinsi Kalimantan Selatan dengan
densitas IMK sebesar 149. Hal ini menunjukkan pola persebaran IMK di Indonesia
Padahal Provinsi DKI Jakarta juga merupakan provinsi dengan nilai densitas IMK
tertinggi di Indonesia. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan teori lokasi industri
Weber yang menyatakan industri relatif berlokasi di wilayah dengan tingkat upah
buruh rendah. Namun, apabila dilihat secara keseluruhan, rata-rata upah buruh
62
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur memiliki rata-rata
upah buruh yang rendah dan nilai densitas IMK yang tinggi. Selain itu, provinsi
dengan nilai densitas rendah seperti Papua Barat dan Papua memiliki rata-rata upah
buruh yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa rata-rata upah
Gambar 8. Sebaran rata-rata upah buruh per sebulan dalam rupiah menurut provinsi
tahun 2019
spesialisasi industri yang tinggi dengan nilai diatas 1 kecuali Provinsi DKI Jakarta.
Hal ini menunjukkan sebagian besar provinsi di Pulau Jawa mengalami aglomerasi
industri. Di luar Pulau Jawa, provinsi dengan nilai indeks spesialisasi industri diatas
1 hanya terdapat satu provinsi, yaitu Provinsi Kepulauan Riau. Adapun nilai indeks
Barat, dan Provinsi Papua dengan masing-masing nilai dibawah 0,5. Pola
63
persebaran indeks spesialisasi industri memiliki kemiripan dengan pola persebaran
densitas IMK. Indeks spesialisasi industri dan densitas IMK relatif lebih tinggi di
Pulau Jawa, Pulau Bali, dan Kepulauan Nusa Tenggara. Selain itu, indeks
spesialisasi industri dan densitas IMK juga sama-sama bernilai sangat rendah di
Pulau Papua. Hal ini dapat mengindikasi adanya hubungan positif antara indeks
Berdasarkan Gambar 10, persentase jalan kondisi baik dan sedang sangat
tinggi di Pulau Jawa. Seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki persentase diatas 78
persen yang menunjukkan kualitas infrastruktur jalan sudah mapan. Provinsi di luar
Pulau Jawa dengan persentase jalan kondisi baik dan sedang sangat tinggi hanya
terdapat satu, yaitu Provinsi Bangka Belitung. Provinsi Papua menjadi provinsi
dengan persentase jalan kondisi baik dan sedang terendah sebesar 51,32 persen.
Pola persebaran dengan persentase jalan kondisi baik dan sedang memiliki
64
kemiripan dengan pola persebaran densitas IMK. Kemiripan pola ini dapat
lokasi industri.
Gambar 10. Sebaran persentase jalan kondisi baik dan sedang menurut provinsi tahun
2019
indikator rata-rata lama sekolah (RLS) menurut provinsi. Berdasarkan Gambar 11,
RLS relatif tinggi di Pulau Sumatera. Di Pulau Jawa terdapat 2 provinsi yang relatif
sangat rendah, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur. Kedua
provinsi ini memiliki RLS yang sangat rendah, akan tetapi densitas IMK kedua
provinsi tergolong sangat tinggi. Pola yang sama juga terdapat pada Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur dengan RLS yang sangat rendah, namun
densitas IMK masih tergolong tinggi. Selain itu, terdapat juga provinsi dengan RLS
yang relatif tinggi tetapi densitas IMK yang rendah seperti Provinsi Kalimantan
65
Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Maluku, dan Provinsi Maluku Utara.
Kemudian, ditemukan juga pola ketika provinsi tersebut memiliki RLS serta
densitas tinggi seperti Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi DI Yogyakarta. Provinsi
DKI Jakarta menjadi provinsi dengan RLS sekaligus densitas IMK yang tertinggi
di Indonesia. Pola lain juga ditemukan ketika RLS dan densitas IMK yang sama-
sama bernilai rendah seperti Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Berdasarkan
penjelasan hubungan antara RLS dengan densitas IMK tersebut, terdapat beberapa
provinsi yang sesuai dengan hipotesis, akan tetapi ditemukan juga pola hubungan
yang tidak sesuai dengan hipotesis. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan uji
Gambar 11. Sebaran rata-rata lama sekolah dalam tahun menurut provinsi tahun 2019
Berdasarkan Gambar 12, pengeluaran per kapita relatif tinggi di Pulau Jawa.
Semua provinsi di Pulau Jawa memiliki pengeluaran per kapita yang diatas 11 juta
66
rupiah dalam sebulan. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan
pengeluaran per kapita tertinggi sebesar 18,52 juta rupiah dalam sebulan.
Pengeluaran per kapita relatif rendah terdapat di wilayah bagian timur seperti
Provinsi Maluku, Maluku Utara, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat.
Provinsi Papua menjadi provinsi dengan pengeluaran per kapita terendah sebesar
7,36 juta rupiah dalam sebulan. Selain itu, pengeluaran per kapita juga sangat
densitas IMK yang tergolong tinggi. Namun, jika dilihat secara keseluruhan,
pengeluaran per kapita memiliki pola persebaran yang mirip dengan densitas. Hal
Gambar 12. Sebaran pengeluaran per kapita yang disesuaikan terhadap paritas daya
beli per tahun dalam ribuan rupiah menurut provinsi tahun 2019
67
Rata-Rata Tingkat Bunga Tetap Koperasi Simpan Pinjam
relatif tinggi di Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Provinsi Sulawesi Utara
memiliki rata-rata tingkat bunga tetap tertinggi di Indonesia sebesar 3,46 persen.
Walaupun tingkat bunga tetap sangat tinggi, namun densitas IMK juga tergolong
tinggi di Provinsi Sulawesi Utara. Pola yang sama juga dapat terlihat di Provinsi
Banten dan Provinsi DKI Jakarta. Selain itu, Provinsi Papua memiliki rata-rata
tingkat bunga tetap yang sangat rendah, namun densitas IMK-nya juga rendah. Hal
ini dapat mengindikasikan bahwa tingkat bunga tetap tidak begitu mempengaruhi
IMK. Di Pulau Kalimantan, tingkat bunga tetap relatif tinggi, akan tetapi densitas
IMK tergolong rendah. Hal yang juga terjadi di Provinsi Maluku, Provinsi Maluku
Utara, dan Provinsi Papua Barat dengan tingkat bunga tetap relatif tinggi, namun
densitas IMK tergolong rendah. Beberapa provinsi juga ditemukan dengan pola
hubungan tingkat bunga tetap relatif rendah dan densitas IMK tergolong tinggi
Provinsi Bali, Provinsi NTT dan Provinsi NTB. Hal ini mengindikasikan adanya
hubungan negatif antara rata-rata tingkat bunga tetap KSP dan densitas IMK di
Indonesia.
68
Gambar 13. Sebaran rata-rata tingkat bunga tetap KSP dalam persen menurut provinsi
tahun 2019
melakukan pemodelan analisis regresi. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi masalah
pada data yang mungkin dapat membuat asumsi regresi tidak terpenuhi. Eksplorasi
dengan menggunakan grafik histogram dan density plot. Berdasarkan Gambar 14,
histogram dan density plot menunjukkan densitas IMK sangat tidak normal dan
69
memberikan keputusan tolak 𝐻𝑜 sehingga terdapat bukti jika densitas IMK tidak
Uji 𝐽𝐵 2 p-value
𝜒(0,05;2)
(1) (2) (3) (4)
Jarque-Bera Test 298,26 5,9915 0,0000
70
Chatterjee dan Hadi (2012) merekomendasikan untuk menggunakan transformasi
logaritma. Transformasi logaritma hanya dapat digunakan pada data bernilai positif
Nilai ekstrim juga terlihat telah teratasi setelah dilakukan transformasi logaritma
natural.
Gambar 15. Histogram dan density plot variabel densitas IMK setelah transformasi.
71
normal. Penggunaan transformasi logaritma natural dapat mengatasi permasalahan
Tabel 3. Uji normalitas Jarque-Bera pada variabel densitas IMK setelah transformasi
Uji 𝐽𝐵 2 p-value
𝜒(0,05;2)
(1) (2) (3) (4)
Jarque-Bera Test 0,23057 5,9915 0,8911
linier ialah linieritas antara variabel dependen dan variabel independen. Salah satu
asumsi standar dalam analisis regresi ialah bahwa model yang menggambarkan data
harus linier (Chatterjee & Hadi, 2012). Linieritas dapat dilihat dengan
Pada Gambar 16, grafik scatter plot antara variabel densitas IMK terhadap
asumsi linieritas tidak terpenuhi ketika melakukan regresi linier. Selain itu, pencilan
Menurut Chatterjee dan Hadi (2012), ada beberapa model regresi nonlinier
dengan transformasi yang sesuai dapat menjadi linier. Salah satu model nonlinier
yang dapat ditransformasi menjadi linier ialah model eksponensial. Hal ini
72
Gambar 16. Scatter plot variabel densitas IMK terhadap masing-masing variabel
independen.
Gambar 17. Scatter plot variabel densitas IMK setelah transformasi variabel dependen
terhadap masing-masing variabel independen.
73
Berdasarkan Gambar 17, setelah dilakukan transformasi logaritma natural
pada variabel densitas IMK, grafik scatter plot antara variabel dependen terhadap
Hal ini menunjukkan transformasi logaritma natural pada variabel dependen terlihat
alternatif.
analisis regresi karena spesifikasi model yang tidak sesuai. Menurut Anselin
(1988), dalam regresi spasial, adanya bentuk lain dari kesalahan spesifikasi selain
autokorelasi spasial residual akan mempengaruhi sifat dari berbagai pengujian dan
estimator khususnya yang relevan dalam hal ini adalah potensi non-normalitas,
dilakukan uji RESET Ramsey. Model yang digunakan untuk menguji kesalahan
spesifikasi pada uji RESET Ramsey ialah model regresi linier berganda sebagai
berikut :
74
Berdasarkan Tabel 4, uji RESET Ramsey pada model tanpa transformasi
model regresi. Oleh karena itu, persamaan model ini kemungkinan tidak sesuai dan
dapat membuat distribusi menjadi normal dan mengurangi nilai ekstrim pada data.
keputusan gagal menolak 𝐻0 pada taraf signifikansi sebesar 5% (𝛼 = 5%). Hal ini
persamaan model regresi. Oleh karena itu, persamaan model dengan transformasi
75
logaritma natural pada variabel dependen sudah sesuai dan dapat dilanjutkan ke
faktor yang diduga berpengaruh terhadap densitas IMK, yaitu rata-rata upah buruh,
indeks spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, rata-
rata lama sekolah, pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas
Dalam analisis regresi spasial, tahap awal yang harus dilakukan terlebih
dahulu ialah menyusun matriks pembobot spasial. Pada penelitian ini, penyusunan
antarwilayah ini dikarenakan adanya IMK yang memperoleh bahan baku dari
provinsi lain atau melakukan pemasaran hasil produksi di provinsi lain. Oleh karena
76
antarwilayah dalam menyusun matriks pembobot spasial. Konektivitas keterkaitan
pemodelan persamaan umum regresi spasial. Model spasial lag (SAR) digunakan
jika 𝜆 = 0. Model spasial error (SEM) digunakan jika 𝜌 = 0. Model regresi linier
berganda (RLB) digunakan jika 𝜆 = 0 dan 𝜌 = 0. Model akhir akan dipilih dengan
logaritma natural pada pada variabel dependen dapat dituliskan sebagai berikut :
𝑛
+ 𝛽6 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝐵𝑢𝑛𝑔𝑎 𝑖 + 𝜆 ∑ 𝑤𝑖 𝑢𝑖 + 𝜀𝑖
𝑗=1,𝑖≠𝑗
77
Model regresi dapat dipilih berdasarkan hasil uji dependensi spasial
linier berganda. Apabila terdapat autokorelasi spasial pada residual, maka dapat
dilanjutkan dengan uji Lagrange Multiplier (LM) untuk menentukan model yang
akan digunakan.
sebelum dan setelah transformasi menunjukkan nilai statistik Moran’s I positif dan
menunjukkan bahwa nilai densitas IMK di suatu provinsi cenderung mirip dengan
nilai tetangganya dan yang memiliki hubungan perdagangan. Selain itu, uji
78
memiliki autokorelasi spasial. Karena adanya autokorelasi spasial pada residual
maka uji Lagrange Multiplier dapat dilanjutkan untuk memilih model regresi. Pada
Multiplier untuk spasial lag (LM-Lag) memberi kesimpulan gagal menolak 𝐻0 . Hal
ini menunjukkan model regresi yang sesuai untuk memodelkan densitas IMK yang
telah ditransformasi dengan logaritma natural ialah model regresi spasial error atau
Pengujian Asumsi
Berdasarkan hasil uji Lagrange Multiplier model yang sesuai ialah model
regresi spasial error (SEM). Persamaan model regresi spasial error dapat diperoleh
estimasi parameter model regresi linier berganda dan model regresi spasial error
79
Tabel 7. Hasil estimasi parameter model regresi spasial error (SEM)
Keputusan
Variabel Independen Koefisien Std Error P-value
(𝛼 = 5%)
(1) (2) (3) (4) (5)
Gagal Tolak
Constant -0.7170 1.0576 0.4978
𝐻0
Rata-Rata Upah Buruh (𝑋1 ) -1.1057 0.2180 0.0000 Tolak 𝐻0
Indeks Spesialisasi Industri (𝑋2 ) 1.8815 0.3630 0.0000 Tolak 𝐻0
Persentase Jalan Baik Dan
0.0566 0.0144 0.0001 Tolak 𝐻0
Sedang (𝑋3 )
Gagal Tolak
Rata- Rata Lama Sekolah (𝑋4 ) 0.1629 0.1632 0.3182
𝐻0
Pengeluaran Per Kapita
0.0003 0.0001 0.0006 Tolak 𝐻0
Disesuaikan (𝑋5 )
Rata-Rata Tingkat Bunga Tetap
-0.4781 0.1885 0.0112 Tolak 𝐻0
KSP (𝑋6 )
Lamda (𝜆) 0,6587 0,1292 0.0000 Tolak 𝐻0
terhadap densitas IMK dengan menggunakan model spasial error antara lain rata-
rata upah buruh, indeks spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik
dan sedang, pengeluaran per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli,
dan rata-rata tingkat bunga koperasi simpan pinjam. Hanya satu variabel yang tidak
berpengaruh terhadap densitas IMK, yaitu rata-rata lama sekolah. Persamaan model
terlebih dahulu uji asumsi pada model terpilih, yaitu model regresi spasial error.
80
Pengujian asumsi dilakukan untuk melihat model yang digunakan sudah sesuai atau
Pengujian asumsi pada model regresi spasial error perlu dilakukan untuk
melihat model yang digunakan sudah sesuai atau belum. Uji asumsi tersebut antara
sudah terpenuhi. Selain itu, uji Breusch-Pagan juga memberi keputusan gagal
bahwa terdapat bukti varians residual bersifat konstan pada setiap observasi
5%). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat bukti residual sudah tidak berkorelasi
81
Pengujian asumsi multikolinearitas pada variabel independen dapat
tidak ada nilai VIF diatas 10. Berdasarkan Tabel 9, nilai VIF tertinggi terdapat pada
variabel pengeluaran per kapita disesuaikan sebesar 3,615. Nilai VIF tertinggi
model spasial error, terdapat lima dari enam variabel independen yang berpengaruh
signifikan terhadap densitas IMK antara lain rata-rata upah buruh, indeks
spesialisasi industri, persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang, pengeluaran
per kapita yang telah disesuaikan dengan paritas daya beli, dan rata-rata tingkat
bunga tetap koperasi simpan pinjam. Variabel yang tidak berpengaruh signifikan
terhadap densitas IMK ialah rata-rata lama sekolah. Selain itu, parameter spasial
82
error 𝜆 juga berpengaruh signifikan terhadap densitas IMK. Pengaruh signifikan
ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh residual secara spasial terhadap densitas
IMK. Dengan kata lain adanya variabel diluar model yang berpengaruh terhadap
densitas IMK di suatu provinsi dan umum terjadi di antara tetangga provinsi
tersebut.
Indonesia. Pengaruh negatif dari rata-rata upah buruh menunjukkan bahwa semakin
tinggi upah di suatu provinsi akan menurunkan densitas IMK atau dengan kata lain
jumlah usaha IMK yang berlokasi di daerah tersebut relatif sedikit. Hal ini sesuai
dengan teori Weber (1929) yang berpendapat bahwa upah tenaga kerja merupakan
faktor yang memengaruhi lokasi industri. Selain itu, penelitian yang dilakukan
Takano, Tsutsumi, & Kikukawa (2018) juga memberi hasil upah tenaga kerja
industri di suatu provinsi. Hal ini menunjukkan bahwa densitas IMK semakin tinggi
di provinsi dengan tingkat aglomerasi industri yang tinggi. Hasil temuan ini sesuai
dengan teori Weber (1929) bahwa aglomerasi merupakan faktor penentu lokasi
industri. Penelitian yang dilakukan An dan Wan (2019) juga memperoleh hasil
Persentase jalan dengan kondisi baik dan sedang memiliki pengaruh positif
terhadap densitas IMK di Indonesia. Persentase jalan dengan kondisi baik dan
dari variabel ini menunjukkan semakin tinggi persentase jalan dengan kondisi baik
83
dan sedang, semakin tinggi juga densitas IMK di provinsi tersebut. Dengan kata
lain, kualitas infrastruktur jalan yang mapan di suatu provinsi dapat meningkatkan
ulur atau trade-off antara keterampilan tenaga kerja terhadap upah tenaga kerja.
Pengusaha harus memilih antara tenaga kerja terampil dengan upah yang tinggi atau
tenaga kerja kurang terampil dengan upah yang rendah. Usaha/perusahaan IMK
IMK relatif memilih tenaga kerja kurang terampil agar upah tenaga kerja rendah.
Hal ini juga menjadi alasan karakteristik tenaga kerja sektor IMK dominan
Pengaruh positif dari variabel ini menunjukkan bahwa IMK relatif berlokasi di
provinsi dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Harington dan Warf (2002) bahwa salah satu faktor penentu lokasi industri dalam
dan Wan (2019) juga menunjukkan tingkat konsumsi pasar memiliki pengaruh
tingkat bunga tetap koperasi simpan pinjam. Hasil temuan ini sesuai dengan
pendapat Harrington dan Warf (2002) bahwa tingkat bunga sebagai modal finansial
84
masih dapat menjadi faktor lokasi selama hal tersebut bisa menjadi sumber
keuntungan untuk berproduksi di suatu lokasi daripada yang lain. Variabel ini
trade-off antara keterampilan tenaga kerja dan upah tenaga kerja. Pengusaha harus
memilih antara tenaga kerja terampil dengan upah yang tinggi atau tenaga kerja
kurang terampil dengan upah yang rendah. Usaha/perusahaan IMK relatif memiliki
modal finansial yang kecil sehingga usaha/perusahaan IMK relatif memilih tenaga
kerja kurang terampil dengan upah yang rendah. Hal ini juga menjadi alasan
85
“… sengaja dikosongkan …”
86
BAB V
5.1 Kesimpulan
pulau Jawa. Selain itu, IMK sangat rendah di wilayah bagian timur
dengan kondisi baik dan sedang, pengeluaran per kapita yang telah
87
bunga tetap koperasi simpan pinjam memiliki pengaruh negatif terhadap
densitas IMK.
5.2 Saran
Jawa akan tetapi, sangat rendah di Pulau Papua. Hal ini menjadi salah
88
4. Pemerintah perlu meningkatkan daya beli masyarakat untuk menambah
beli masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan
masyarakat meningkat.
koperasi simpan pinjam (KSP) memiliki peran penting bagi usaha kecil
89
7. Untuk penelitian selanjutnya, dapat digunakan tingkatan wilayah
90
DAFTAR PUSTAKA
An, Y., & Wan, L. (2019). Monitoring Spatial Changes in Manufacturing Firms in
Seoul Metropolitan Area Using Firm Life Cycle and Locational Factors.
Academic Publishers.
Verlag.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2017). Sensus Ekonomi 2016 Analisis Hasil Listing
Badan Pusat Statistik (BPS). (2019). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Agustus
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020a). Profil Industri Mikro dan Kecil 2019. Jakarta:
BPS RI
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020b). Statistik Indonesia 2020. Jakarta: BPS RI
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020c). Statistik Transportasi Darat 2019. Jakarta:
BPS RI
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020d). Indeks Pembangunan Manusia 2019. Jakarta:
BPS RI
Badan Pusat Statistik (BPS). (2020e). Perdagangan Antar Wilayah Tahun 2019.
Jakarta: BPS RI
91
Badan Pusat Statistik (BPS). (2021a). Statistik Industri Manufaktur Indonesia 2019.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2021b). Statistik Koperasi Simpan Pinjam 2020.
Jakarta: BPS RI
Chatterjee, S., & Hadi, A. S. (2012). Regression Analysis by Example (5th ed.).
Dent, B. D., Torguson, J., & Hodler, T. W. (2009). Cartography: Thematic map
Drukker, D. M., Peng, H., Prucha, I. R., & Raciborski, R. (2013). Creating and
Macmillan.
92
Harrington, J.W. & Warf, B. (2002). Industrial Location: Principles, Practice, and
LeSage, J., & Pace, R.K. (2009). Introduction to Spatial Econometrics. Boca Raton:
Neter, J., Wasserman, W., & Kutner, M. H. (1983). Applied linear regression
Rostiana, E. & Djulius, H. (2019). Micro, Small, and Medium Scale Industry as
93
Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science
328(1), 12-38.
Todaro, Michael P. & Smith, Stephen C. (2015). Economic Development (12th ed.).
Newyork: Pearson.
Micro, Small and Medium sized Enterprises (MSMEs) and their role in
2022 https://sdgs.un.org/publications/micro-small-and-medium-sized-
enterprises-msmes-and-their-role-achieving-sustainable.
Weber, A., & Friedrich, C. J. (1929). Alfred Weber's theory of the location of
Webber, M.J. (1985). Industrial Location. Reprint. Edited by Thrall, Grant I. WVU
Zhou, M., Yuan, M., Huang, Y., & Lin, K. (2021). Effects of Institutions on Spatial
94
LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
9 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
14 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
17 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0
24 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
29 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.5 0.5 0 0 0 0 0 0 0 0
95
Lampiran 2. Data Variabel Penelitian
No Provinsi 𝑌 ln(𝑌) 𝑋1 𝑋2 𝑋3 𝑋4 𝑋5 𝑋6
1 Aceh 184.48 5.22 2.362 0.55 59.97 9.18 9603 2.27
2 Sumatera Utara 174.23 5.16 2.475 0.66 57.78 9.45 10649 1.43
3 Sumatera Barat 239.72 5.48 2.682 0.63 62.68 8.92 10925 1.20
4 Riau 68.76 4.23 2.800 0.52 60.48 9.03 11255 1.32
5 Jambi 56.25 4.03 2.321 0.37 66.12 8.45 10592 2.22
Sumatera
6 87.68
Selatan 4.47 2.309 0.42 67.30 8.18 10937 2.48
7 Bengkulu 108.77 4.69 2.496 0.39 66.19 8.73 10409 1.41
8 Lampung 274.50 5.61 2.282 0.75 59.09 7.92 10114 2.14
Kep. Bangka
9 138.81
Belitung 4.93 2.937 0.51 79.47 7.98 12959 2.78
Kepulauan
10 207.65
Riau 5.34 4.276 1.59 56.65 9.99 14466 2.71
11 Dki Jakarta 9477.12 9.16 4.463 0.82 95.81 11.06 18527 2.36
12 Jawa Barat 1779.64 7.48 3.338 1.41 79.82 8.37 11152 2.07
13 Jawa Tengah 2781.71 7.93 2.190 1.49 81.83 7.53 11102 1.45
14 D I Yogyakarta 4680.85 8.45 2.312 1.14 78.56 9.38 14394 1.42
15 Jawa Timur 1804.16 7.50 2.480 1.06 78.69 7.59 11739 1.60
16 Banten 1170.86 7.07 3.843 1.61 85.57 8.74 12267 2.94
17 Bali 2787.51 7.93 2.989 1.00 77.05 8.84 14146 1.50
Nusa Tenggara
18 584.10
Barat 6.37 2.340 0.89 69.47 7.27 10640 1.70
Nusa Tenggara
19 287.70
Timur 5.66 2.113 0.68 54.12 7.55 7769 1.48
Kalimantan
20 29.21
Barat 3.37 2.529 0.40 57.56 7.31 9055 1.99
Kalimantan
21 16.58
Tengah 2.81 2.999 0.40 52.07 8.51 11236 1.94
Kalimantan
22 149.06
Selatan 5.00 2.852 0.61 61.23 8.20 12253 1.66
Kalimantan
23 24.83
Timur 3.21 3.906 0.51 61.04 9.70 12359 2.46
Kalimantan
24 9.53
Utara 2.25 3.374 0.53 65.93 8.94 9343 3.04
25 Sulawesi Utara 266.55 5.59 3.315 0.60 69.19 9.43 11115 3.46
Sulawesi
26 138.06
Tengah 4.93 2.456 0.49 52.58 8.75 9604 2.43
Sulawesi
27 277.89
Selatan 5.63 2.855 0.60 62.48 8.26 11118 1.59
Sulawesi
28 129.86
Tenggara 4.87 2.625 0.63 56.61 8.91 9436 1.70
29 Gorontalo 255.08 5.54 2.403 0.52 64.38 7.69 10075 3.00
30 Sulawesi Barat 156.64 5.05 2.161 0.57 51.69 7.73 9235 2.48
31 Maluku 53.30 3.98 2.941 0.61 58.84 9.81 8887 3.20
32 Maluku Utara 44.44 3.79 2.813 0.39 58.43 9.00 8308 2.32
33 Papua Barat 6.55 1.88 3.365 0.26 53.20 7.44 8125 2.52
34 Papua 4.85 1.58 4.001 0.14 51.32 6.65 7336 0.95
96
Lampiran 3. Persamaan model regresi tanpa transformasi pada variabel
dependen
RLB = lm(Persamaan.Model.1,data=spat.data)
RESETtest(RLB)
##
## RESET test
##
## data: RLB
## RESET = 78.249, df1 = 2, df2 = 25, p-value = 1.731e-11
RLB.2 = lm(Persamaan.Model.2,data=spat.data)
RESETtest(RLB.2)
##
## RESET test
##
## data: RLB.2
## RESET = 1.2243, df1 = 2, df2 = 25, p-value = 0.311
97
moran.test(log(Data$Densitas.IMK), listw = listw.wts)
##
## Moran I test under randomisation
##
## data: log(Data$Densitas.IMK)
## weights: listw.wts
##
## Moran I statistic standard deviate = 5.015, p-value = 2.652e-07
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Moran I statistic Expectation Variance
## 0.60294788 -0.03030303 0.01594469
lm.morantest(RLB.2,listw.wts)
##
## Global Moran I for regression residuals
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## Moran I statistic standard deviate = 3.8894, p-value = 5.024e-05
## alternative hypothesis: greater
## sample estimates:
## Observed Moran I Expectation Variance
## 0.38977154 -0.08977233 0.01520146
lm.LMtests(RLB.2,listw.wts,test=c("LMlag","LMerr","RLMlag", "RLMerr"))
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## LMlag = 2.8083, df = 1, p-value = 0.09378
##
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## LMerr = 8.5158, df = 1, p-value = 0.003521
##
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:
98
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## RLMlag = 0.44227, df = 1, p-value = 0.506
##
##
## Lagrange multiplier diagnostics for spatial dependence
##
## data:
## model: lm(formula = Persamaan.Model.2, data = spat.data)
## weights: listw.wts
##
## RLMerr = 6.1497, df = 1, p-value = 0.01314
99
Lampiran 10. Uji normalitas Jarque-Bera pada residual model SEM
jarque.bera.test(SEM.2$residuals)
##
## Jarque Bera Test
##
## data: SEM.2$residuals
## X-squared = 1.3068, df = 2, p-value = 0.5203
bptest.Sarlm(SEM.2)
##
## studentized Breusch-Pagan test
##
## data:
## BP = 1.977, df = 6, p-value = 0.9218
100
Lampiran 14. Hasil Estimasi Model Regresi Spasial Error
𝑛
101
RIWAYAT HIDUP
102