Anda di halaman 1dari 3

Pengawasan Kinerja BUMD Masih Lemah


Kamis, 04/03/2010 - 08:12

BANDUNG, (PRLM).- Pengamat ekonomi dari Unpas, Acuviarta Kartabi mengatakan


permasalahan yang dihadapi BUMD di Jabar, secara garis besar bisa digolongkan pada
masalah eksternal (antara BUMD dan pemprov) dan masalah internal dalam manajemen
BUMD.

Acuviarta yang juga menjadi narasumber Pansus Peningkatan Kinerja BUMD DPRD Jabar,
menilai permasalahan eksternal umumnya berkaitan masalah pengawasan dan pelaporan
keuangan. Menurut dia, pengawasan terhadap kinerja BUMD-BUMD di Jabar umumnya
lemah. Begitu pun dalam hal pelaporan keuangan yang sering kali mekanismenya kurang
akuntabel.

”Banyak kasus penyertaan modal pemprov di BUMD dilakukan begitu saja, tanpa disertai
perencanaan usaha yang memadai. Malah ada yang membuat pengembangan usaha yang
tidak nyambung dengan core bisnisnya,” katanya.

Sementara itu, untuk masalah internal, umumnya karena kelemahan dalam manajemen. Mulai
dari kurang baiknya perekrutan SDM, pengelolaan aset yang lemah, sampai kepada target
usaha yang tidak jelas. ”Tetapi dalam melhat BUMD ini jangan disamaratakan. Karena core
bisnis dan karakter BUMD berbeda-beda,” katanya. (A-135/A-147)***

Istilah Badan Usaha Milik Daerah atau disingkat BUMD tidak terlepas dari perkembangan
kebijakan terkait dengan Badan Usaha Milik Negara. Pada awalnya, Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) adalah perusahaan-perusahaan negara baik yang berbentuk badan-badan
berdasarkan hukum perdata maupun yang berbentuk badan hukum berdasarkan hukum publik
antara lain yang berdasarkan Undang-Undang Perusahaan Indonesia/Indonesische
Bedrijvenwet, Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419 dan perusahaan-perusahaan milik negara
yang didirikan berdasarkan undang-Undang Kompatilbilitet Indonesia (Staatsblad Tahun
1925 Nomor 448). Dalam rangka mensikronkan segala kegiatan ekonomi pada saat itu,
Pemerintah mengeluarkan Perpu nomor 17 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara.
Selanjutnya, dalam rangka menertibkan usaha negara berbentuk Perusahaan Negara terutama
karena ada banyak usaha negara dalam bentuk Perusahaan Negara yang inefisien, maka
Pemerintah menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara.
Dalam Perpu ini, ditetapkan bahwa usaha-usaha negara berbentuk perusahaan dibedakan
dalam Perusahaan Jawatan (Perjan) yang didirikan dan diatur menurut ketentuan-ketentuan
dalam Indonesische Bedrijvenwet (Staatsblad Tahun 1927 Nomor 419), Perusahaan Umum
(Perum) yang didirikan dan diatur berdasarkan ketentuan UU 19 Prp. Tahun 1960 tentang
Perusahaan Negara, dan Persero yang merupakan penyertaan negara pada perseroan terbatas
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang atau KUHD (Wetboek Van
Koophandel, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23).

Seiring dengan perkembangan zaman serta dalam rangka menjamin kepastian dan penegakan
hukum mengingat terjadinya dualisme pengaturan pada Perseroan Terbatas yang selama ini
diatur dalam KUHD (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23) dan Ordonansi Maskapai Andil
Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen, Staatsblad 1939:
569 jo.717) Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas sebagai penganti Buku Kesatu Titel Ketiga Bagian Ketiga Pasal 36
sampai dengan Pasal 56 Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel,
Staatsblad 1847: 23) yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas berikut segala
perubahannya, terakhir dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1971 dan Ordonansi
Maskapai Andil Indonesia (Ordonnantie op de Indonesische Maatschappij op Aandeelen,
Staatsblad 1939: 569 jo.717).

Sejalan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, Pemerintah menerbitkan


beberapa peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana Perpu Nomor 1 Tahun 1969 yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero)
dan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Umum.Namun
demikian, mengingat bahwa Perpu 1 Tahun 1969 dan kedua Peraturan Pemerintah tersebut
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, serta didorong dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara, Pemerintah
menerbitkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara
yang hanya mengatur dua bentuk hukum badan usaha negara yaitu Perum dan Persero.
Sementara Perjan, dengan terbitnya Undang-Undang ini, harus dirubah bentuk hukumnya
menjadi Perum atau Persero.

Istilah BUMD diilhami dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998. Namun demikian, definisi BUMD sampai
sekarang belum ditetapkan secara baku oleh peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan
BUMN yang definisinya telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang
BUMN. Dilain pihak, istilah BUMD telah tertuang baik dalam Peraturan Mendagri Nomor 3
Tahun 1999 tentang Bentuk Hukum BUMD, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 yang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah maupun dalam banyak Undang-Undang Sektoral seperti UU 1/2004
tentang Perbendaharaan Negara, UU Kelistrikan, UU Minerba, UU Pelayaran, UU Jalan, dsb.
Hal ini dapat dimaklumi karena pendirian dan pengaturan BUMD sampai saat ini masih
tunduk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah walaupun
undang-undang ini telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969, namun
karena ditegaskan bahwa UU 5/1962 tidak berlaku sejak diterbitkannya undang-undang
pengganti, dan sampai sekarang belum ada undang-undang penggantinya, maka UU 5/1962
masih berlaku sampai sekarang.

UU 5/1962 tentang Perusahaan Daerah merupakan undang-undang yang penyusunannya


diilhami dari terbitnya Perpu Nomor 17 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Berdasarkan
UU 5/1962, Perusahaan Daerah adalah perusahaan yang seluruh atau sebagian besar
modalnya berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Mengingat bahwa pembinaan
pemerintahan daerah berada di bawah tanggungjawab Menteri Dalam Negeri, maka peraturan
pelaksana UU 5/1962 diterbitkan oleh Mendagri baik berupa Instruksi Mendagri, Keputusan
Mendagri, maupun Peraturan Mendagri. Sejak terbitnya UU 1/1995 tentang Perseroan
Terbatas dan Permendagri Nomor 3/1999 tentang Bentuk Hukum BUMD, maka sebagian
BUMD ada yang berbentuk Perseroan Terbatas, seperti misalnya PT. Jaya Ancol, PT. Riau
Airlines, PT. Ratax, dsb. Mengingat definisinya sampai sekarang belum baku, maka BUMD
yang berbadan hukum Perseroan Terbatas terkadang tidak mencerminkan mayoritas
kepemilikan Daerah di perusahaan tersebut. Contoh yang paling nyata adalah PT. Delta Tbk
yang dianggap sebagai BUMD DKI Jakarta. Pemda DKI Jakarta hanya pemegang saham
minoritas dalam PT. Delta Tbk. sehingga saham pengendali berada di tangan swasta
sepenuhnya. Namun, karena ada unsur Pemda di dalamnya, maka Pemda menganggap PT.
Delta Tbk. sebagai BUMD. Jika berkasa dari definisi BUMN, maka hal ini seharusnya tidak
terjadi jika definisi BUMD sudah ditetapkan. Ketidakjelasan definisi BUMD berdampak
negatif terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan sektoral yang memberikan
priviledge atau keistimewaan dalam melakukan usaha dengan tujuan untuk lebih
meningkatkan pendapatan daerah namun pada kenyataannya perusahaan-perusahaan
perseroan terbatas yang dianggap sebagai BUMD justru memberikan keuntungan yang lebih
besar kepada pengusaha swasta karena Pemda hanyalah pemegang saham minoritas.

Anda mungkin juga menyukai