Anda di halaman 1dari 4

PENANAMAN NILAI-NILAI RELIGIUS PADA SISWA DI MADRASAH

Oleh : Hadiansyah Yudistira, S.Th.I

Pendidikan yang merupakan modal utama bangsa yang sedang dihadapkan pada
berbagai persoalan yang pelik seperti tuntutan untuk terus meng-upgrade dan mengubah sistem
pendidikan agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam skala lokal maupun global,
perubahan dan permasalahan tersebut mencakup perubahan yang dahsyat dalam hal social
change, turbulence, complexity dan chaos, pasar bebas (free frade), tenaga kerja bebas (free
labour), perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Bersamaan dengan itu, rendahnya
kualitas dan daya saing sumber daya manusia menjadi indikator yang semakin menambah
dramatis persoalan pendidikan di Indonesia.
Berkenaan dengan hal tersebut, pendidikan di Indonesia seharusnya menjadi perhatian
utama. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan dimensi penting dalam proses
pembangunan nasional yang saling berkaitan dengan dimensi ekonomi, sosial, budaya dan
agama. Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk watak, membebaskan manusia, serta
menanamkan nilai-nilai yang secara kodrati terkait dengan dua unsur dalam diri manusia yakni,
unsur lahiriah dan batiniah. Melalui pendidikan, suatu bangsa dapat mengetahui jati dirinya dan
mengembangkannya sehingga dapat mengangkat derajat dan martabatnya.
Penanaman secara etimologis berasal dari kata “tanam” yang berarti menabur benih,
yang semakin jelas jika mendapatkan awalan dan akhirat menjadi “penanaman” yang berarti
proses, cara, perbuatan menanam, menanami atau menanamkan.1
Sedangkan nilai adalah prinsip atau hakikatnya yang menentukan harga atau nilai dan
makna bagi sesuatu. Nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai
suatu identitas yang memberikan corakyang khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan
maupun prilaku.2
a. Pengertian Religius
Religius adalah nilai kerohanian yang tertinggi, sifatnya mutlak dan abadi, serta
bersumber pada kepercayaan dan keyakinan manusia. Religius merupakan kata sifat dari
religious (inggris) “connected with religion or with particular religion”. Glock dan Stark
menyatakan bahwa, Religius sebagai keyakinan yang berhubungan dengan agama, yang dapat
dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama dan keyakinan
yang di anut. Religius bukanlah merupakan sesuatu yang tunggal tetapi merupakan system yang
terdiri dari beberapa aspek. Didalam psikologi agama dikenal dengan religius consciousness
(kesadaran beragama) dan religius experiences (pengalaman beragama). Glock dan Stark
membagi religiuitas menjadi lima dimensi, yaitu religious belief, religious practice, religious
felling, religions knowledge dan religious effect.3
Religius atau sikap keagamaan dapat diartikan sebagai suatu proses terhadap daya
ruhaniyah yang menjadi motor penggerak mengarahkan tingkah laku manusia dalam kehidupan

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), hlm. 1134
2
Abu Ahmad dan Noor Salim, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm.
202.
3
Charles Y. Glock and Rodney Stark, Religion and Society in Tension, (Chicago: Rand McNally and
Company, 1965).

1
seharihari terdiri dari perasaan, fikiran, angan-angan untuk melaksanakan4 kepercayaan kepada
tuhan dengan anjuran dan kewajiban yang berhubungan dengan agamanya.
Religius adalah menjalankan ajaran agama secara menyeluruh dan hal yang paling
mendasar ialah menjadikan sebagai landasan pendidikan.5
b. Nilai Religius yang Ditanamkan Menurut Fathurrahman nilai-nilai religius terbagi
menjadi 5, sebagai berikut:6
1) Nilai Ibadah Secara istilah berarti khidmat kepada Tuhan, taat mengerjakan perintah-
Nya dan menjauhi laranganNya. Ibadah adalah ketaatan manusia kepada tuhan yang
diimplementasikan dalam kegiatan sehari-hari misalnya, sholat, puasa, zakat dan lain
sebagainya.7Ibadah baik umum maupun khusus merupakan konsekuensi dan implikasi
dari keimanan terhadap Allah SWT yang tercantum dalam dua kalimat
syahadat.”asyhadu alla ilaaha illallaah, waasyhadu anna Muhammadar Rasulullah.
Bahwa ibadah adalah ketaatan manusia kepada Tuhan yang diimplementasikan dalam
kegiatan sehari-hari
2) Nilai Ruhul Jihad Ruhul jihad adalah jiwa yang mendorong manusia untuk bekerja
atau berjuang dengan sungguh-sungguh. Hal ini didasari adanya tujuan hidup manusia,
yaitu Hablumminallah, Hamblumminnas dan Hamblum min alalam. Dengan adanya
komitmen ruhul jihad maka aktualisasi diri dan melakukan perkerjaan selalu didasari
sikap berjuang dan ikhtiar dengan sungguh-sungguh. Mencari ilmu merupakan salah satu
manifestasi dari sifat Jihadunnafsi yaitu memerangi kebodohan dan kemalasan.
3) Nilai Akhlak dan Disiplin Akhlak merupakan bentuk jama’ dari khuluq, artinya
perangai, tabiat, rasa malu dan adat kebiasaan. Sedangkan kedisiplinan itu termanifestasi
dalam kebiasaan dalam kebiasaan manusia ketika melaksanakan ibadah rutin setiap hari.
Apabila manusia melaksanakan ibadahnya dengan tepat waktu, maka secara otomatis
nilai kedisiplinan telah tertanam pada diri orang tersebut.
4) Nilai Keteladanan Nilai keteladanan tercermin dari perilaku guru, keteladanan
merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan dan pembelajaran.
5) Nilai Amanah dan Ikhlas Secara etimologi amanah artinya dapat dipercaya dan
tanggung jawab. Dalam konteks pendidikan, nilai amanah harus dipegang oleh seluruh
pengelola lembaga pendidikan. Sedangkan ikhlas diartikan bersih atau hilangnya rasa
pamrih atas segala sesuatu yang diperbuatnya.
c. Strategi Penanaman Nilai-nilai Religius
1) Pengertian Strategi Strategi adalah suatu pola yang direncanakan dan ditetapkan
secara sengaja untuk melakukan kegiatan atau tindakan. Menurut J.R David dalam
pendidikan strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian
kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Strategi
pendidikan pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan yang akan
diambil dalam suatu pembelajaran. Oleh karena itu, untuk mengimplementasikannya
strategi tersebut disesuaikan dengan metode pembelajaran tertentu sebagai cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan penanaman nilai religius
guna untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan.

4
Imam Bawai, Pengantar Ilmu Jiwa Perkembangan, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hlm. 19
5
Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, (Malang: UIN Maliki Pres, 2009), hlm. 27
6
Faturrohman, Budaya Religius Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Tinjauan Teoritik dan Praktik
Konstekstualisasi Pendidikan Agama Di Sekolah, (Yogyakarta: Kalimemedia, 2015), hlm. 60-69.
7
Ibid, hlm. 61

2
2) Strategi dan Metode Pembentukan Nilai Religius Strategi yang akan di teterapkan
sesuai dengan kebutuhan dan kapasitasnya. Strategi yang akan digunakan dalam
penenaman nilai-nilai religious pada peserta didik, yaitu Startegi internalisasi adalah
penghayatan terhadap suatu doktrin atau nilai, sehingga merupakan keyakinan dan
kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan
prilaku.
Maragustam berpendapat, bahwa jika karakter merupakan 100% keturunan atau bawaan
sejak lahir, maka karakter tidak bisa terbentuk. Namun, jika bawaan (hereditas) hanyalah salah
satu factor pembentuk karaker, maka bisa dibentuk semenjak dini. Dengan diajarkan secara
sistematis dalam model pendidikan karaker holistic integrative (pendidikan formal, informal, dan
non formal).
Ada lima rukun pembentukan karakter, yaitu : 1) Moral Acting (tindakan yang baik)
dengan cara habituasi (pembiasaan) dan pembudayaan, 2) Membelajarkan pengetahuan tentang
nilai-nilai yang baik (moral knowing), 3) Moral feeling dan loving (merasakan dan mencintai
yang baik), 4) Moral loving berawal dari mindset (pola pikir), 4) Keteladanan (moral modelling)
dari lingkungan sekitar, 5) Pertaubatan dari segala dosa dan hal-hal yang tidak bermanfaat
sekalipun.
Dengan demikian, pembinaan keagamaan di sekolah tidak bisa dilepaskan dari lima
aspek dimensi religiusitas yang bila dilaksanakan akan memunculkan sikap keberagamaan siswa,
yaitu dimensi keyakinan (belief), dimensi peribadatan atau praktek agama (practical), dimensi
pengalaman dan penghayatan (the experiential/religious feeling), dimensi pengalaman dan
konsekuensi (the consequential/religious effect), dan dimensi pengetahuan agama (intellectual).
d. Tujuan Pembiasaan Nilai-nilai religius
Pembinaan religius di sekolah memiliki tujuan untuk membantu setiap siswa yang
mendapatkan kesulitan rohaniah dalam hidupnya. Melalui bimbingan keagamaan, siswa
diharapkan mampu mengatasi persoalannya sendiri, yakni munculnya kesadaran atau penyerahan
diri terhadap kekuasaan Tuhan sehingga timbul pada pribadinya suatu harapan hidup, baik
sekarang maupun masa yang akan datang. Secara lebih rinci, pembinaan keagamaan memiliki
tujuan sebagai berikut:
1. Menambah keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
2. Menanamkan akhlak yang mulia kepada setiap siswa melalui berbagai kegiatan yang
bersifat positif.
3. Memberikan pemahaman, pengetahuan, dan pengalaman dalam pelaksanaan
pembiasaan dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dalam kehidupan.
4. Mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam kehidupan sehari- hari baik di sekolah,
rumah, serta lingkungan masyarakat.

e. Langkah-langkah pembiasaan nilai-nilai religus


Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
1) Religiusitas melalui Peraturan. Sebagai sebuah madrasah dengan sistem boarding
school, peraturan menjadi sebuah keniscayaan. Tanpa peraturan maka akan sulit menumbuhkan
kesadaran para peserta didik. Peraturan bertujuan melatih kedisiplinan para peserta didik untuk
mau mengikuti segala yang menjadi ketetapan di sekolah. Lebih dari itu, peraturan di sekolah
dalam kegiatan keagamaan bertujuan membentuk kesadaran dan partisipasi para peserta didik.
Setiap aktivitas yang dilakukan secara rutin dan berkesinambungan akan memberikan
dampak terhadap diri sendiri maupun orang lain, seperti yang di ungkapkan oleh pengurus OSIS

3
bahwa beberapa peserta didik yang dulunya malas ikut shalat berjamaah, tetapi karena peraturan
yang diterapkan secara terus menerus, maka dirinya mulai belajar untuk membiasakan shalat
berjamaah dan memahami bahwa shalat yang dilakukan secara berjamaah akan mendapatkan
pahala yang lebih besar daripada shalat yang dilakukan sendiri. Secara umum ini bertujuan untuk
mendisiplinkan siswa dalam menengakkan tiang agama, karena pondasi awal beragama yaitu
shalat, sehingga harus diajarkan untuk membiasakan shalat terutama shalat berjamaah.
Melalui aktivitas keagamaan tersebut diharapkan siswa dapat terbiasa mengamalkannya
dalam semua apsek pendidikannya secara totalitas. Harun Nasution menyebutkan jika ibadah
yang terus menerus dilakukan dalam kelompok akan melahirkan rasa kebersamaan sehingga kita
terdorong untuk saling mengenal, saling menasihati atau musyawarah. Oleh karena pelaksanaan
kegiatan ini sangat efektif, maka penciptaan pembiasaan sebagaimana yang tertera di atas
menjadi sebuah kewajiban dan penting sekali untuk diterapkan.
c. Religiusitas melalui Kegiatan Keagamaan Kegiatan keagamaan di sekolah bertujuan
menambah wawasan keislaman baik fiqh, tauhid, akhlak, dan lain sebagainya. Kegiatan ini
menjadi menu utama yang wajib disajikan dalam upaya membentuk kepribadian/akhlak siswa
menjadi lebih baik. Kualitas manusia tidak hanya dari segi intelektual, keterampilan dan
kesehatan jasmaninya saja, tetapi yang lebih penting adalah kualitas rohani dan akhlaknya.
Pelaksanaan kegiatan keagamaan di MAN 3 Sukabumi dilaksanakan dalam bentuk ibadah sholat,
pengajian kitab, kultum, tahfidzul qur’an dan hadis, puasa sunnah, dan lain sebagainya. Kegiatan
ini memiliki peranan yang penting dalam upaya pembinaan akhlak mulia. Terutama dalam
mentransformasikan dan menginternalisasikan nilai secara bersama-sama dan serempak
Pelaksanaan ibadah merupakan pengaturan hidup seorang muslim, baik individual maupun
integritas seluruh umat Islam dalam ikatan perasaan sosial keagamaan. Pelaksanaan ibadah telah
menyatukan umat Islam dalam satu tujuan, yaitu penghambaan diri kepada Allah semata serta
penerimaan berbagai ajaran Allah baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Tujuan ibadah
dalam Islam sebagaimana pendapat Abdurahman An-Nahlawi, bukanlah menyembah, tetapi
mendekatkan diri kepada Tuhan, agar roh manusia selalu bersih dan suci. Roh yang suci
membawa kepada budi pekerti yang baik dan luhur, oleh karena itu ibadah di samping
merupakan latihan spiritual juga merupakan latihan moral.
Dengan realisasi ibadah Shalat tentu akan terjadi keseimbangan yang baik antara ranah
teoretis dan empiris pengalaman spiritual seseorang.

Anda mungkin juga menyukai