Anda di halaman 1dari 15

Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Penduduk

Berdasarkan Peta Kerawanan Pangan Indonesia

(Ir. Aryago Mulia, M.Si)

1. Pendahuluan

Badan Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian telah menghasilkan peta


kerawanan pangan Indonesia yang dikeluarkan pada bulan September,
tahun 2005. (Sistem Informasi Ketahanan Pangan, Pusat Kewaspadaan
Pangan, Jl Harsono R.M. No 3, Ragunan, Jakarta Selatan, E-mail:
sikap@deptan. go.id).

Permasalahan kerawanan pangan yang bersifat kronis dan transien di


Indonesia perlu ditangani dengan lebih serius dan terprogram dengan baik.
Kerawanan pangan yang bersifat khronis (chronic food insecurity)
memerlukan penanganan jangka panjang, sedangkan kerawanan pangan
yang bersifat transien (transient food insecurity) terjadi akibat adanya
bencana alam: banjir, gempa bumi, tsunami, kekeringan, letusan gunung
berapi dan tanah longsor di daerah yang berpotensi atau rentan terhadap
bencana alam, memerlukan penanganan jangka pendek. Sejalan dengan
ikrar yang dirumuskan dalam World Food Summit (WFS) tahun 1996 di
Roma, diharapkan dari 800 juta penduduk dunia yang saat ini masih
mengalami kelaparan dapat dikurangi separuhnya pada tahun 2015.

Agar dapat mewujudkan harapan dari hasil WFS tersebut, Indonesia


menyikapinya dengan upaya tahap awal yaitu mengidentifikasi daerah
rawan pangan di tingkat kabupaten di seluruh Indonesia. Pada saat ini
daerah kota belum disertakan dalam pembuatan peta.

Untuk membuat perbandingan antar-kabupaten, digunakan tiga indikator


makro untuk menetapkan daerah rawan pangan, yaitu ketersediaan pangan,
penyerapan pangan dan konsumsi pangan. Ketiga indikator tersebut
digunakan untuk menetapkan kabupaten sasaran yang didokumentasikan
dalam peta kerawanan pangan/ food insecurity atlas (FIA), yang selanjutnya
dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prioritas daerah rawan
pangan dalam perumusan kebijakan di tingkat pusat, propinsi maupun
kabupaten untuk program pangan yang efektif karena dengan menggunakan
FIA berarti perumus kebijakan telah memanfaatkan informasi ketahanan
pangan yang akurat dan tertata dengan baik.
FIA Indonesia ini merupakan hasil kerja sama dari sekretariat Dewan
Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian dengan World Food Programme
(WFP) di mana dilibatkan pula beberapa nara sumber dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Badan Urusan Logistik (Bulog), Departemen Kesehatan
(Depkes), Badan Ketahanan Pangan propinsi, Badan Bimas Ketahanan
Pangan (BBKP).

2. Indikator/Goal

Upaya dari Departemen Pertanian ini merupakan kontribusinya memperkecil


populasi miskin sesuai dengan tujuan 1 (pertama) MDGs: Menanggulangi
kemiskinan dan kelaparan; target 2: Menurunkan proporsi penduduk yang
menderita kelaparan menjadi setengahnya antara tahun 1990-2015.

Tujuan utama pembuatan peta kerawanan pangan adalah:

.. Menyoroti titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia


berdasarkan indikator terpilih,

.. Mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu kabupaten,


dan

.. Menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang


tepat untuk kerawanan pangan kronis.

Dengan menggunakan beberapa variabel yang berhubungan dengan


kelaparan, hasil publikasi BPS dan hasil olahan Departemen Kesehatan,
dilakukan analisa di 265 kabupaten di 30 propinsi. Kemudian, data tersebut
dianalisis dengan komponen utama (principal component analysis), yang
menghasilkan 10 indikator yang dianggap berpengaruh sangat besar
terhadap terjadinya kerawanan pangan yang bersifat kronis (chronic food
insecurity). Dalam analisa komponen utama 3 faktor utama menunjukkan
pengaruh yang signifikan, sebagai berikut:

a. Faktor Ketersediaan Pangan (Food Availibility)

Faktor ketersediaan pangan diwakili oleh variabel �kebutuhan konsumsi


per kapita normatif terhadap ketersediaan serealia (padi + jagung + ubi
jalar + ubi kayu)� (per capita normative consumption to net cereal
availibility ratio).
b. Faktor Akses Terhadap Pangan dan Mata Pencaharian (Food and
Livelihoods Access)

Faktor akses terhadap pangan, diwakili oleh 3 variabel yang berkorelasi


kuat, yaitu: persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
(percentage of people below poverty line), persentase rumah tangga
yang tidak dapat mengakses listrik (percentage of people without access
to electricity), dan persentase infrastruktur desa yang tidak memiliki
daya hubung yang memadai (percentage of villages with inadequate
connectivity).

c. Faktor Penyerapan Pangan (Utilization)

Faktor penyerapan pangan, diwakili oleh 6 variabel yang berkorelasi kuat


yaitu: angka kematian bayi waktu lahir/infant mortality rate (IMR), umur
harapan hidup pada saat lahir (life expectancy at birth), persentase
anak yang kurang berat (children underweight), persentase penduduk
tanpa akses ke air bersih (percentage of population withaut access to
safe drinking water), persentase penduduk yang tinggal > 5 km dari
Puskesmas (percentage of people living more than 5 km away from
Puskesmas), dan persentase wanita yang buta huruf (percentage of
female illiteracy).

Mengacu pada sifat kerawanan pangan yang bersifat sementara


(transient food insecurity), digunakan 4 indikator kerawanan pangan
yang bersumber dari data Badan Metereologi dan Geofisika (BMGs) dan
Departemen Pertanian, antara lain persentase area tak berhutan,
persentase area yang terkena puso, persentase daerah yang rawan
terhadap bencana banjir dan tanah longsor (percentage of villages
affected by flood and landslide), dan penyimpangan curah hujan.

3. Metodologi Penghitungan Indikator

Peta kerawanan pangan komposit merupakan gabungan dari ketiga


aspek/dimensi ketahanan pangan, yaitu ketersediaan pangan, akses
terhadap pangan, dan penyerapan pangan. Dalam perhitungan untuk
pemetaannya, digunakan sejumlah indeks dari ketiga kelompok indikator
tersebut. Adapun range indeks dari kerawanan pangan komposit adalah
sebagai berikut.
Score dibuat dengan menghitung indeks komposit kerawanan pangan
dengan menggunakan metode principal component analysis, dengan total
score factor bernilai dari 0 sampai dengan 1, di mana nilai score semakin
mendekati nilai 1 dianggap semakin rawan sebagai berikut.

Score Kriteria Gradasi Warna Prioritas

> 0,8 Sangat rawan pangan Merah tua 1

0,64 - < 0,8 Rawan pangan Merah 2

0,48 - < 0,64 Agak rawan pangan Merah muda 3

0,32 - < 0,48 Cukup tahan pangan Hijau muda 4

0,16 - < 0,32 Tahan pangan Hijau 5

< 0,16 Sangat tahan pangan Hijau tua 6

4. Sumber Data

Masalah utama dalam penyusunan FIA adalah ketersediaan data,


sehingga sebagian data terpaksa dilengkapi oleh pusat yang diambil dari
hasil survei yang diselenggarakan oleh BPS, Badan Metrologi dan Geofisika
(BMG), Departemen Kesehatan (DEPKES) dan instansi lainnya. Adapun
data yang digunakan untuk penyusunan FIA adalah data tahun terakhir
(kebanyakan tahun 2002-2003). Beberapa indikator menggunakan data
individu, sedangkan yang lainnya ada yang menggunakan data rumah
tangga atau data komunitas, kecuali untuk indikator ketersediaan pangan
yang menggunakan data 3 tahun terakhir. Analisis dilakukan untuk 265
kabupaten di 30 propinsi berdasarkan data sekunder dengan sebaran data
di tingkat kabupaten.

Indikator yang berasal dari BPS:

a. Konsumsi makanan sereal perkapita per hari (Susenas),

b. Persentase penduduk di bawah garis kemiskinan (Analisa Statistik),

c. Persentase rumah tangga yang tidak mengakses listrik (Susenas),

d. Persentase rumah tangga yang tidak mengakses air bersih (Susenas),

e. Persentase wanita buta huruf (Susenas),

f. Persentase penduduk yang tinggal > 5 Km dari Puskesmas (Podes), dan

g. Persentase infrastruktur desa yang tidak memiliki daya hubung yang


memadai (Podes).
Indikator yang digunakan bersumber dari hasil olahan Depkes:

a. Persentase anak kurang gizi,

b. Umur harapan hidup, dan

c. Angka kematian bayi waktu lahir (IMR).

Indikator yang digunakan bersumber dari BMG dan Departemen Pertanian:

a. Persentase area tak berhutan,

b. Persentase area yang terkena puso,

c. Persentase daerah yang rawan terhadap bencana banjir dan tanah


longsor, dan

d. Penyimpangan curah hujan.

5. Waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan

Karena peta kerawanan pangan ini merupakan produk yang pertama kali
dibuat, maka untuk menghasilkan peta rawan pangan tersebut harus
ditempuh beberapa tahapan. Pada tahap awal ditentukan variabel,
dilanjutkan dengan seleksi variabel untuk menghasilkan indikator-indikator
yang berpengaruh terhadap kerawanan pangan kronis dan sementara.
Tahapan berikutnya adalah menentukan batasan score untuk penetapan
gradasi warna dan prioritas, yang kemudian dilanjutkan dengan pembuatan
peta.

Pada tahun 2002 dilaksanakan uji coba pada dua propinsi di Jawa Timur
dan Nusa Tenggara Barat dan dilanjutkan dengan pelatihan pembuatan peta
kerawanan pangan yang diikuti oleh 30 propinsi, dan selanjutnya
dilaksanakan workshop FIA guna menyatukan persepsi/pemahaman bagi
aparat pelaksana di propinsi sampai di tingkat kabupaten pada bulan
September tahun 2005, yang sekaligus merupakan peluncuran FIA di
Indonesia.

6. Kuesioner dan Buku Pedoman

Kegiatan pembuatan peta rawan pangan sepenuhnya menggunakan data


sekunder yang diperoleh dari hasil publikasi, sehingga tidak menggunakan
kuesioner di dalam perolehan data dan informasinya.
7. Angka Indikator untuk 5 Kabupaten pada Pengumpulan Data Tahun
Terakhir

Setelah hasil FIA nasional selesai dibuat, upaya selanjutnya yang sangat
penting adalah mengadvokasinya pada pimpinan daerah agar memiliki
respon terhadap hasil tersebut. Dalam kriteria �merah tua� yang artinya
kabupaten bersangkutan mempunyai kecenderungan sangat rawan pangan,
harus dipahami bahwa belum tentu semua kecamatan atau desa yang ada
di kabupaten tersebut mempunyai status sangat rawan pangan, bahkan
mungkin sekali ada kecamatan-kecamatan di dalam kabupaten tersebut
yang �sangat tahan pangan�. Oleh sebab itu, pimpinan daerah perlu
mengupayakan penyusunan peta kabupaten yang dirinci lagi per kecamatan
ataupun per desa untuk memperoleh gambaran daerah-daerah mana saja
yang mempunyai kecenderungan sebagai prioritas �sangat rawan pangan�
tersebut.

Status �sangat tahan pangan� pada kabupaten terpilih juga harus diartikan
bahwa belum tentu semua kecamatan atau desa di kabupaten tersebut
sudah �sangat tahan pangan�, karena dapat saja dijumpai desa-desa pada
kabupaten tersebut yang mungkin masuk katagori �sangat rawan pangan�.

Berdasarkan hasil analisa terhadap sebab-sebab terjadinya kerawanan


pangan maka dapat ditentukan program/kebijakan pada sektor terkait dalam
penanganan kerawanan pangan, yang dapat dirinci menjadi program kerja
terpadu untuk menghijaukan daerah yang dikatagorikan merah tua tersebut.
Departemen Pertanian melalui program �Desa Mandiri Pangan� berupaya
untuk mengimplementasikan hasil FIA pada level desa untuk mengupayakan
desa merah menjadi desa hijau.

Berdasarkan hasil pemetaan FIA komposit dapat dilihat bahwa secara


nasional jumlah atau persentase kabupaten yang masuk ke dalam masing-
masing kategori dari sangat rawan pangan hingga sangat tahan pangan
dengan tidak begitu mencolok perbedaannya. Daerah yang sangat tahan
pangan (prioritas 6, warna hijau tua) terdapat di 65 kabupaten dari 265
kabupaten yang ada di Indonesia atau sebesar 24,53 persen. Daerah yang
tahan pangan (prioritas 5, warna hijau) terdapat di 50 kabupaten atau
sebesar 18,87 persen, begitu pun daerah yang cukup tahan pangan
(prioritas 4, warna hijau muda) terdapat di 50 kabupaten atau sebesar 18,87
persen. Daerah yang agak rawan pangan (prioritas 3, warna merah muda)
terdapat di 40 kabupaten atau sebesar 15,09 persen dan daerah yang rawan
pangan (prioritas 2, warna merah) serta daerah yang sangat rawan pangan
(prioritas 1, warna merah tua) sama-sama terdapat di 30 kabupaten atau
sebesar 11,32 persen.

Kriteria Prioritas Jumlah Kabupaten

Sangat rawan pangan 1 30

Rawan pangan 2 30

Agak rawan pangan 3 40

Cukup tahan pangan 4 50

Tahan pangan 5 50

Sangat tahan pangan 6 60

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa 100 kabupaten masuk dalam prioritas
1, 2 dan 3, yang merupakan kabupaten dengan status merah, artinya
pimpinan daerah dalam program kerjanya sudah harus mulai melihat dan
mengidentifikasi desa-desa yang masuk dalam katagori sangat rawan
pangan untuk dimasukkan dalam program �penghijauan�, artinya diberi
bantuan pembinaan, dan pemberdayaan agar supaya menjadi lebih baik.

Nama Kabupaten yang Masuk Katagori Rawan Pangan

No.

Rangking

Kabupaten

Propinsi

Keterangan

234

Polewali
Mamasa

Sulawesi
Selatan

Prioritas 2

213

Selayar
Sulawesi
Selatan

Prioritas 2

206

Jeneponto

Sulawesi
Selatan

Prioritas 2

197

Majene

Sulawesi
Selatan

Prioritas 3

Prioritas 1: Sangat rawan pangan/warna merah tua

Prioritas 2: Rawan pangan/warna merah

Prioritas 3: Cukup rawan pangan/warna merah muda


Nama Kabupaten yang Masuk Katagori Ketahanan Pangan

Propinsi

No.

Kabupaten

Prio-
ritas

Pe-
ringkat

Sulawesi Selatan

Soppeng

Sulawesi Selatan

Enrekang

32

Sulawesi Selatan

Sidenreng Rappang

37

Sulawesi Selatan

Pinrang

42

Sulawesi Selatan

5
Wajo

55

Sulawesi Selatan

Bantaeng

56

Sulawesi Selatan

Luwu

65

Sulawesi Selatan

Goa

66

Sulawesi Selatan

Bulukumba

81

Sulawesi Selatan

10

Tana Toraja

85

Sulawesi Selatan

11
Luwu Utara

107

Sulawesi Selatan

12

Maros

108

Sulawesi Selatan

13

Takalar

115

Sulawesi Selatan

14

Barru

128

Sulawesi Selatan

15

Bone

129

Sulawesi Selatan

16

Sinjai

136

Sulawesi Selatan
17

Mamuju

138

Sulawesi Selatan

18

Pangkajene Kepulauan

147

Sulawesi Selatan

19

Majene

197

Sulawesi Selatan

20

Jeneponto

206

Sulawesi Selatan

21

Selayar

213

Sulawesi Selatan

22

Polewali Mamasa

234
Prioritas 6: Sangat tahan pangan/warna hijau tua

Prioritas 5: Tahan pangan/warna hijau

Prioritas 4: Cukup tahan pangan/warna hijau muda

Prioritas 3: Cukup rawan pangan/warna merah muda

Prioritas 2: Rawan pangan/warna merah

Prioritas 1: Sangat rawan pangan/warna merah tua


Daftar Pustaka

Departemen Pertanian, 2005, Peta Kerawanan Pangan Indonesia, Pusat


Kewaspadaan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, September 2005.

Anda mungkin juga menyukai