Anda di halaman 1dari 7

KEGIATAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI

a. Kasus Metritis
a. Definisi kasus: Metritis merupakan peradangan pada dinding uterus
termasuk lapisan myometrium dan juga endometrium. Sebagian kasus
metritis terjadi setelah partus atau pada masa puerpureum sampai hari ke-
20 postpartum dan sering disebut sebagai toxic puerpureal metritis (Geert
2015). Gejala metritis ditandai dengan uterus yang membesar berisi cairan
berwarna merah-coklat encer hingga cairan kental berwarna putih yang
purulen, yang seringkali memiliki bau busuk. Kondisi tersebut disebabkan
oleh masuknya bakteri saat atau setelah partus, saat perkawinan alami, dan
juga saat pelaksanaan IB (Negasee 2020). Metritis dan endometritis
dianggap sebagai penyakit multifaktorial dengan banyak faktor yang
memiliki efek langsung atau tidak langsung terhadap fungsi uterus. Faktor
resiko dikategorikan menjadi faktor ekstrinsik dan intrinsik. Faktor
ekstrinsik berkaitan dengan kondisi dan karakteristik lingkungan seperti
musim dan nutrisi, sedangkan faktor intrinsik adalah karakteristik spesifik
dari individu sapi seperti paritas (Mounir et al. 2017).

b. Anamnese dan signalemen: pada tanggal 19 April 2022, peternak


melaporkan sapinya mengalami penurunan napsu makan, dan terkadang
keluar leleran putih merah melalui vagina. Seekor sapi betina ras Friesian
Holstein, berusia sekitar 7 tahun dengan laktasi sudah 4 kali. Produksi
susu sebanyak 10 liter. Day in milk 6

c. Status Present: BCS 2,5. Suhu tubuh 38,5oC.

d. Gejala Klinis: Sapi terlihat mengalami dehidrasi ringan, bagian vagina


terlihat kotor dan berlendir, saat dipalpasi keluar leleran putih, sekitar bibir
vulva merah kebiruan, Sekitar vulva berbau amis, saat dipalpasi pervaginal
lubang cerviks terbuka 1 jari dan bagian tepi cervis terasa berukuran besar.

e. Pemeriksaan: dilakukan palpasi rektal oleh petugas keswan dan juga


mahasiswa untuk mengetahui kondisi organ reproduksi dengan hasil uterus
yang tegang dan keras tetapi tidak terasa adanya penumpukan cairan,
ovarium dan folikel tidak teraba. Saat dilakukan palpasi keluar cairan
kental bercampur darah dari vagina.
Gambar Pengobatan Sapi yang mengalami metritis

f. Diagnosa: Metritis

g. Prognosa: fausta

h. Terapi: Pengobatan yang dilakukan berupa pemberian antibiotik secara


intrauterine. Antibiotik yang digunakan adalah Penstrep-400® yang tiap
ml nya mengandung penicillin G 200.000 IU dan streptomycin sulfate 200
mg. Volume yang diberikan adalah 5 ml dicampur dengan aquadest
sebanyak 15 ml (dosis yang dianjurkan 1 mL/20 kgBB). Pemberian obat
dilakukan secara intrauterine dengan menggunakan syringe 25 ml yang
disambungkan dengan plastic sheath yang sebelumnya telah diposisikan
pada corpus uteri dengan bantuan gun IB.
Menurut Espadamala et al. (2018), pengobatan postpartum metritis
umumnya dilakukan dengan pemberian antibiotik atau hormone baik masing-
masing maupun dikombinasikan. Antibiotik dapat diberikan secara intrauterine
atau pun secara sistemik. Berbeda dengan pendapat Haimeri dan Heuweiser
(2014), pengobatan metritis dengan pemberian antibiotik secara intrauteri tidak
direkomendasikan. Pengobatan metritis bertujuan untuk menghilangkan bakteri
pathogen dari uterus, sehingga dalam proses tidak boleh merusak uterus ataupun
mengganggu mekanisme pertahanan normalnya. Pemberian antibiotik intrauteri
lebih baik dihindari sebagai pengobatan untuk metritis postpartum. Pemberian
antibiotik secara intrauteri memiliki ketidakpastian distribusinya ke seluruh
lapisan rahim. Selain itu, banyak obat yang diberikan secara intrauteri dapat
diserap secara sistemik sampai batas tertentu, oleh karena itu selalu ada
kekhawatiran mengenai withdrawal time pada produk daging dan susu. Pendapat
tersebut didukung olehyang menyatakan banyak obat umum yang tidak terdaftar
untuk pemberian intrauteri dan tidak efektif jika diberikan postpartus. Kinerja
antibiotik golongan penisilin dan sefalosporin dilaporkan menurun bila diberikan
secara intrauteri pada 30 hari pertama postpartus karena adanya organisme yang
memproduksi enzim ß-laktamase yang menginaktivasi kerja antibiotic tersebut.
Streptomisin dan tetrasiklin dapat mengiritasi mukosa uterus sapi dan sebagian
besar formulasinya tidak boleh digunakan untuk infus intrauterine.
Pemberian antibiotik sistemik dilaporkan memiliki banyak keuntungan, seperti
withdrawal time obat umumnya telah ditetapkan dengan baik, distribusi yang
lebih baik di dalam uterus, dan dikatakan memiliki efek lebih minim terhadap
lingkungan uterus (Phookan dan Deori 2015). Penisillin merupakan antibiotik
yang direkomendasikan untuk pengobatan postpartum metritis dikarenakan dapat
menembus ke seluruh lapisan uterus dan juga harganya yang relatif murah
(Espadamala et al. 2018). Alternatif lain adalah dengan pemberian ceftiofur
sodium dengan dosis 1mg/kg IM. Ceftiofur sodium dilaporkan terkonsentrasi di
uterus pada tingkat yang melebihi mean inhibitory concentration (MIC) untuk
Arcanobacterium pyogenes, Fusobacterium necrophorum, dan Escherichia coli.
Selama penelitian yang melibatkan sapi yang terkena metritis postpartum,
ceftiofur diberikan dengan dosis 2,2 mg/kg setiap hari selama 5 hari dan
ditemukan sama efektifnya dengan pemberian prokain penisilin G (McLaughlin et
al. 2012). Oxytetracycline tidak direkomendasikan untuk terapi sistemik karena
ada kesulitan untuk mencapai MIC yang diperlukan untuk A. pyogenes di lumen
uterus (Haimeri dan Heuweiser 2014).

b. Kasus Mumifikasi Fetus


a. Definisi kasus: Mumifikasi adalah kematian yang terjadi pada fetus yang
telah mengalami pembentukan plasenta dan pembentukan tulang antara
bulan ke tiga sampai bulan ke depalan kebuntingan tanpa terjadinya
luteolysis dan cervical yang terbuka. (Kumar dan Saxena 2018).
Mumifikasi dapat terjadi dengan adanya infeksi atau non-infeksi. Fetal
mumifikasi dapat disebabkan oleh infeksi agen seperti bovine viral
diarrhea, leptospirosis dan jamur, dan dapat juga disebabkan terpuntirnya
umbilical cord, torsion uteri, kelainan placenta, genetic abnormalities.
Non-infeksi dapat disebabkan oleh trauma, hyperthermia, dan stress
(Hendrawan et al. 2019).

b. Anamnese dan signalemen: pada tanggal 23 Mei 2022, Drh Asep dan
mahasiswa koas Ardiansyah datang kepeternakan untuk memeriksa
kebuntingan sapi. Seekor sapi betina ras Friesian Holstein, dengan laktasi
ke 4, usia kandungan 8 bulan, namun saat usia kebuntingan 7 bulan
produksi susu menurun dari 15 liter menjadi 8 liter.

c. Status Present: BCS 2,5 dan Os coxae bagian kanan lebih turun, Suhu
tubuh 38 oC.

d. Gejala Klinis: sapi terlihat lesu dan juga dehidrasi ringan, bagian perut
terlihat besar dengan tanda kebuntingan.
e. Pemeriksaan: dilakukan palpasi rektal oleh petugas keswan dan juga
mahasiswa untuk mengetahui kondisi fetus. Hasil pemeriksaan ditemukan
corpus luteum yang sangat besar dan juga fetus teraba seperti bola dengan
ukuran selebar telapak tangan. Fremitus tidak terasa. Fetus diduga mati
usia kebuntingan 3 bulan.

f. Diagnosa: Mumifikasi

Gambar Sapi yang mengalami mumifikasi fetus


g. Prognosa: Fausta

h. Terapi: Pengobatan yang dilakukan berupa pemberian hormon PGF2alfa


sebanyak 2 ml secara Intramuscular.
Mumifikasi fetus yang terjadi pada sapi bunting dapat diatasi dengan
menggunakan terapi berupa pemberian kombinasi prostaglandin, estradiol,
valethamate dan corticosteroid yang merupakan hormone yang secara natural
berguna sebagai proses kelahiran (Kumar dan Saxena 2018). Menurut
Hendrawan et al. (2019) terapi terhadap sapi yang fetusnya mengalami
mumifikasi adalah dengan pemberian PGF2α untuk meredresikan corpus luteum
persistent pada ovari. Pemberian estrogen juga dapat memberikan efek terhadap
regresi corpus luteum dan menyebabkan kontraksi pada myometrium, releksasi
cervix dan membantu pengeluaran fetus di dalam sapi. Pemberian antibiotik juga
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada uterus. Pemberian
antibiotik dapat dilakukan apabila terdapat gejala adanya discharge yang berwarna
kecoklatan, pyrexia, toxemia, dan infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah
discryticin (penicillin streptomycin) yang berguna untuk mencegah infeksi dari
bakteri gram negatif dan positif. Tindakan akhir yang dapat dilakukan untuk kasus
mumifikasi yaitu dengan melakukan operasi sesar untuk mengeluarkan fetus
(Kumar et al. 2017).
Daftar Pustaka
Kumar A, Saxena A. 2018. Clinical management of fetal mummification in a
cow: a case report. Indian Vet. J. 95(11): 81-82. Kumar PR, Prasad BC,
Bose GSC, Prasad VD,
Sreenu M. 2017. Diagnosis and management of fetal mummification in cow.
International Journal of Science, Environment and Technology. 6(5): 3044-
3048
Hendrawan VF, Sundari T, Wulansari D, Oktanella Y, Pratiwi H, Firmawat A.
2019. Managing fetal mummification in cows. Advances in Animal and
Veterinary Sciences. 7(11): 1006- 1009.
Geert O. 2015.Metritis and endometritis in high yielding dairy cows. Rev Bras
Reprod Anim Belo Horizonte. 3(1): 164-172.
Espadamala et al. 2018. Metritis diagnosis and treatment practices in 45 dairy in
California. J Dairy Sci. 101(10):9608-9616
Negasee KA. 2020. Clinical metritis and endometritis in dairy cattle: A review.
Vet Med Open J. 5(2):51-56.
12ptLampiran 1 (nama mahasiswa)
Tanggal/bulan/tahun
No Anamnesa/ Status present/ Pemeriksaan Terapi keterangan
Signalement gejala klinis peninjang/
Diagnosa/ Diff diag
1 Umur + foto + foto + foto +foto
BCS
Parity
DIM
Milk yield
2
3

Anda mungkin juga menyukai