Anda di halaman 1dari 9

MASTITIS

Definisi
Infeksi Payudara (Mastitis) adalah suatu infeksi pada jaringan payudara.
Biasanya terjadi karena adanya bakteri jenis staphylococcus aureus. Bakteri
biasanya masuk melalui puting susu yang pecah-pecah atau terluka, atau
menyebar secara hematogen. Pada infeksi yang berat atau tidak diobati, dapat
terbentuk abses payudara (penimbunan nanah di dalam payudara). Mastitis adalah
reaksi sistematik seperti demam, terjadi 1-3 minggu setelah melahirkan sebagai
komplikasi sumbatan saluran air susu.1

Pada masa nifas dapat terjadi infeksi dan peradangan parenkim kelenjar
payudara (mastitis). Mastitis bernanah dapat terjadi setelah minggu pertama
pascasalin, tetapi biasanya tidak sampai melewati minggu ketiga atau keempat.2

Etiologi
Sebuah penelitian mengatakan bahwa Staphylococcus aureus merupakan
organisme yang paling banyak ditemukan, yakni mencapai angka 40%. S. aureus
menginvasi melalui perlukaan pada puting payudara yang didapat saat menyusui,
tepatnya dari hidung dan mulut bayi ataupun secara hematogen.2

Epidemiologi
Infeksi parenkimatosa kelenjar mammae merupakan komplikasi
antepartum yang jarang, tetapi diperkirakan terjadi pada sepertiga ibu menyusui.
Insidensinya ±1% dan gejalanya jarang tampak sebelum akhir minggu pertama
postpartum sampai minggu ketiga atau keempat. Masalah laktasi (Bendungan
ASI, mastitis, putting susu lecet dan abses pada payudara) akibat tidak dilakukan
perawatan payudara masih tinggi. Pada tahun 2010 di Indonesia kejadian mastitis
dan putting susu lecet sebesar 55% disebabkan karena perawatan payudara tidak
benar dan didapatkan 46% bendungan ASI akibat perawatan payudara yang
kurang. 3,4
Organisasi Kesehatan Dunia WHO (World Health Organitation)
memperkirakan insiden mastitis pada ibu menyusui sekitar 2,6% - 33% dan
prevalensi global adalah sekitar 10%. Persentase ibu post partum yang menyusui
melaporkan dirinya mengalami tanda gejala mastitis di Amerika Serikat adalah
9,5% dari 1000 wanita. Data masalah menyusui pada bulan April hingga Juni
2012 di Indonesia menunjukkan 22,5% mengalami puting susu lecet, 42% ibu
mengalami bendungan ASI, 18% ibu mengalami air susu tersumbat, 11%
mengalami mastitis, dan 6,5% ibu mengalami abses payudara yang disebabkan
oleh kesalahan ibu dalam menyusui bayinya.5

Faktor Resiko
Predisposisi dan faktor resiko adalah primipara, stres, teknik menyusui
yang tidak benar sehingga pengosongan payudara tidak terjadi dengan baik,
penggunaan bra yang terlalu ketat, dan pengisapan bayi yang kurang kuat juga
dapat menyebabkan stasis dan obstruksi kelenjar payudara sehingga terjadi breast
engorgement. Adanya luka pada puting payudara serta ibu yang kelelahan juga
dapat menjadi faktor resiko terjadinya mastitis.2

Patofisiologi
Terjadinya mastitis diawali dengan peningkatan tekanan di dalam duktus
(saluran ASI) akibat stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka terjadi
tegangan alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang
memproduksi ASI menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan
ikat meningkat. Beberapa komponen (terutama protein kekebalan tubuh dan
natrium) dari plasma masuk ke dalam ASI dan selanjutnya ke jaringan sekitar sel
sehingga memicu respons imun. Stasis ASI, adanya respons inflamasi, dan
kerusakan jaringan memudahkan terjadinya infeksi.6

Terdapat beberapa cara masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus


ke lobus sekresi, melalui puting yang retak ke kelenjar limfe sekitar duktus
(periduktal) atau melalui penyebaran hematogen (pembuluh darah). Organisme
yang paling sering adalah Staphylococcus aureus, Escherecia coli dan
Streptococcus. Kadang-kadang ditemukan pula mastitis tuberkulosis yang
menyebabkan bayi dapat menderita tuberkulosa tonsil. Pada daerah endemis
tuberkulosa kejadian mastitis tuberkulosis mencapai 1%.6

Gejala Klinis
Infeksi hampir selalu unilateral dan pembengkakan bermakna biasanya
terjadi sebelum inflamasi.6
1. Demam dengan suhu lebih dari 38,5°C.
2. Menggigil.
3. Nyeri atau ngilu seluruh tubuh.
4. Payudara menjadi kemerahan, tegang, panas, bengkak, dan terasa sangat
nyeri.
5. Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak
menyusu karena ASI terasa asin.
6. Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.
7. Jumlah leukosit meningkat.
8. Daerah merah, bengkak, dan nyeri pada payudara yang terkena.
9. Kulit mungkin tampak mengkilap dan kencang dengan garis-garis merah.
10. Gejala mirip flu: lesu, sakit kepala, mialgia, mual, dan kecemasan.

Diagnosis
Penegakan diagnosa dilakukan seperti pada umumnya, yaitu dengan
melakukan anamnesa terpimpin serta pemeriksaan fisis, dan kemudian ditemukan
gejala sesuai dengan gejala klinis untuk mastitis. Selain itu dilakukan pula
pemeriksaan penunjang, yakni dengan melakukan pemeriksaan jumlah sel
somatik , sitokin inflamasi, aktivitas enzim (mis., LDH atau NAGase), dan
konduktivitas listrik.6

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang


diagnosis tidak selalu diperlukan. World Health Organization (WHO)
menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan
yaitu bila:6
1. Pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik
dalam 2 hari
2. Terjadi mastitis berulang
3. Mastitis terjadi di rumah sakit
4. Penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan
yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus
dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh
puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit yang
dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur. Beberapa penelitian
memperlihatkan beratnya gejala yang muncul berhubungan erat dengan tingginya
jumlah bakteri atau patogenitas bakteri. Investigasi rutin tidak diperlukan.
Investigasi harus dimulai jika:6
1. Mastitis parah
2. Tidak ada respon yang memadai terhadap antibiotik lini pertama atau
Investigasi untuk mastitis berat, tidak menanggapi antibiotik lini pertama
atau perlu masuk harus meliputi:
a. Kultur dan sensitivitas ASI: sampel tangkapan tengah-tengah yang
diekspresikan dengan tangan ke dalam wadah steril (mis. Sejumlah
kecil susu yang diekspresikan secara internal dibuang untuk
menghindari kontaminasi dengan flora kulit)
b. Hitung darah lengkap (FBC)
c. Protein C-reaktif (CRP)
d. Investigasi lain yang perlu dipertimbangkan:Kultur darah harus
dipertimbangkan jika suhu> 38.5C, Ultrasonografi diagnostik jika
diduga ada abses.
Penatalaksanaan
Jika terapi yang tepat untuk mastitis diberikan sebelum terjadinya
supurasi, maka infeksi biasanya sembuh dalam 48 jam. Pembentukan abses lebih
sering pada infeksi S. aureus. Sangat direkomendasikan untuk mengambil swab
dari air susu yang dihasilkan oleh payudara yang mengalami kelainan kemudian
dikulur, sebelum di mulai terapi. Identifkasi bakteri dan sensitifitas antimikroba
memberikan informasi yang sangat penting untuk keberhasilan program
surveilans infeksi nosokomial.3

Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin yang


berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi
rasa nyeri pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi
seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang
berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau asetaminofen.
Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga
direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.5

Pilihan antimikroba awal dipengaruhi oleh pengalaman institusi dalam


menghadapi infeksi staflokokus pada saat itu. Walaupun sebagian besar dan
tersering adalah organisme yang terdapat di komunitas, seperti yang didiskusikan
di atas, termasuk CA-MRSA. Dicloxacillin 500 mg oral empat kali sehari, dapat
dimulai secara empiris. Eritromisin diberikan kepada wanita yang sensitif
terhadap penisilin. Jika infeksi disebabkan oleh staflokokus penghasil penisilinase
yang resisten, atau dicurigai terdapatnya organisme yang resisten ketika
menunggu hasil kultur, maka vancomycin atau anti- mikroba anti-MRSA lainnya
harus diberikan. Walaupun respons klinis cepat terlihat, namun terapi harus
dilanjutkan selama 10- 14 hari.3

Marshall dkk, (1975) menunjukkan pentingnya melanjutkan pemberian


ASI. Mereka melaporkan bahwa hanya terdapat tiga abses yang terjadi di antara
65 wanita yang mengalami mastitis dengan 15 orang wanica menghenikan
pemberian ASI. Thomsen dkk, (1984) mengobservasi bahwa dihasilkannya ASI
yang banyak sudah merupakan terapi tersendiri yang cukup. Kadang bayi tidak
disusui pada payudara yang mengalami inflamasi. Ini mungkin tidak berhubungan
dengan perubahan apapun pada rasa ASI, namun karena pembengkakan dan
edema, yang dapat membuat areola terasa keras untuk digenggam. Pemompaan
dapat mengurangi hal ini. Jika kedua payudara digunakan untuk menyusui, maka
yang terbaik adalah memulai menyusui pada payudara yang tidak terkena. Ini
memungkinkan let-down terjadi sebelum pindah ke payudara yang sakit.3
Bila terjadi abses payudara dapat dilakukan insisi/sayatan untuk
mengeluarkan nanah dan dilanjutkan dengan drainase dengan pipa/ handscoen
drain agar nanah dapat keluar terus. Sayatan sebaiknya dibuat sejajar dengan
duktus laktiferus untuk mencegah kerusakan pada jalannya duktus tersebut.2

Preventif
Untuk pencegahan dianjurkan perawatan payudara yang baik dan
membersihkan sisa air susu yang ada di kulit payudara. Pencegahan terhadap
kejadian mastitis dapat dilakukan dengan memperhatikan faktor risiko di atas.
Bila payudara penuh dan bengkak (engorgement), bayi biasanya menjadi sulit
melekat dengan baik, karena permukaan payudara menjadi sangat tegang. Ibu
dibantu untuk mengeluarkan sebagian ASI setiap 3 – 4 jam dengan cara memerah
dengan tangan atau pompa ASI yang direkomendasikan. Sebelum memerah ASI
pijatan di leher dan punggung dapat merangsang pengeluaran hormon oksitosin
yang menyebabkan ASI mengalir dan rasa nyeri berkurang. Teknik memerah
dengan tangan yang benar perlu diperlihatkan dan diajarkan kepada ibu agar
perahan tersebut efektif. ASI hasil perahan dapat diminumkan ke bayi dengan
menggunakan cangkir atau sendok. Pembengkakan payudara ini perlu segera
ditangani untuk mencegah terjadinya feedback inhibitor of lactin (FIL) yang
menghambat penyaluran ASI.3

Pengosongan yang tidak sempurna atau tertekannya duktus akibat pakaian


yang ketat dapat menyebabkan ASI terbendung. Ibu dianjurkan untuk segera
memeriksa payudaranya bila teraba benjolan, terasa nyeri dan kemerahan. Selain
itu ibu juga perlu beristirahat, meningkatkan frekuensi menyusui terutama pada
sisi payudara yang bermasalah serta melakukan pijatan dan kompres hangat di
daerah benjolan. 3

Pada kasus puting lecet, bayi yang tidak tenang saat menetek, dan ibu-ibu
yang merasa ASInya kurang, perlu dibantu untuk mengatasi masalahnya. Pada
peradangan puting dapat diterapi dengan suatu bahan penyembuh luka seperti
lanolin, yang segera meresap ke jaringan sebelum bayi menyusu. Pada tahap awal
pengobatan dapat dilakukan dengan mengoleskan ASI akhir (hind milk) setelah
menyusui pada puting dan areola dan dibiarkan mengering. Tidak ada bukti dari
literatur yang mendukung penggunaan bahan topikal lainnya.3

Kelelahan sering menjadi pencetus terjadinya mastitis. Seorang tenaga


kesehatan harus selalu menganjurkan ibu menyusui cukup beristirahat dan juga
mengingatkan anggota keluarga lainnya bahwa seorang ibu menyusui
membutuhkan lebih banyak bantuan. 3

Ibu harus senantiasa memperhatikan kebersihan tangannya karena


Staphylococcus aureus adalah kuman komensal yang paling banyak terdapat di
rumah sakit maupun masyarakat. Penting sekali untuk tenaga kesehatan rumah
sakit, ibu yang baru pertama kali menyusui dan keluarganya untuk mengetahui
teknik mencuci tangan yang baik. Alat pompa ASI juga biasanya menjadi sumber
kontaminasi sehingga perlu dicuci dengan sabun dan air panas setelah digunakan.
Untuk pencegahan mastitis bisa juga dilakukan dengan ibu melahirkan cukup
istrirahat dan secara teratur menyusui bayinya agar payudara tidak menjadi
bengkak. Gunakan BH yang sesuai dengan ukuran payudara.Usahakan selalu
menjaga kebersihan payudara dengan cara membersihkan dengan kapas dan air
hangat sebelum dan sesudah menyusui. 3
Pengobatan mastitis biasanya menggunakan antibiotic. World Health
Organization mengemukaan kekhawatiran penggunaan antibiotik secara
berlebihan dapat menimbulkan resistensi terhadapnya. Tetapi penggunaan jenis
antibiotic yang tepat sesuai dengan tanda gejala dan diagnosis nya merupakan
pilihan yang bijak. Pendekatan pengobatan lainnya meliputi mempromosikan
pengeluaran ASI untuk mengurangi pembengkakan payudara; kompres panas
pada payudara untuk membantu meringankan pembengkakan payudara dan rasa
sakit ; dan mengendalikan peradangan dengan antibiotik.3

Pasien mastitis yang parah dapat dirawat dengan konservatif terapi, berupa
hisap tekanan negatif untuk meningkatkan produksi air susu , kompres hangat (32-
36 ° C air hangat) 15 mnt setiap 2 jam; suhu kamar dipertahankan pada ~ 20 ° C;
minum air), intravena penisilin untuk memerangi infeksi (4 juta unit dua kali
sehari). Perawatan utama mastitis biasanya diberikan dengan salep atau
intramuscular atau injeksi antibiotik intravena, seperti streptomisin, ampisilin,
cloxacillin, penicillin, dan tetrasiklin . Namun, perawatannya diantisipasi menjadi
bermasalah dalam waktu dekat karena peningkatan pesat patogen resisten
antibiotik. 3

Manajemen mastitis saat ini umumnya berpusat pada manajemen gejala


(misal. menerapkan kompres panas / dingin, analgesik), dorongan kelanjutan
menyusui (termasuk mengosongkan payudara yang terkena, menyusui lebih
sering, dan mengubah posisi makin sering), dan terapi antibiotik memeriksa
efektivitas terapi antibiotik dalam mengobati gejala mastitis pada wanita.
Intervensi lain yang bisa dilakukan antara lain pendidikan cara menyusui yang
benar, perubahan kebiasaan menyusui, kompres panas / dingin pada payudara,
teknik relaksasi, dan penggunaan antibiotik profilaksis untuk mencegah
terulangnya mastitis. 3
Komplikasi
Komplikasi dari mastitis adalah abses payudara yang dapat menimbulkan
luka besar pada payudara.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : FKUI; 2001.


2. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo; 2008.
3. Cunningham. Obstetri Williams. Jakarta : EGC; 2013
4. Rosyati H, Sari WA. Pengetahuan Ibu Nifas tentang Perawatan Payudara
di Puskesmas Kecamatan Pulo Gadung Jakarta Timur. Jurnal Kedokteran
dan Kesehatan. Juli 2016; 12(2): 138-139.
5. Hasanah, et al. Hubungan Teknik Menyusui dengan Risiko Terjadinya
Mastitis pada Ibu Menyusui di Desa Kemuning Kecamatan Arjasa
Kabupaten Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan. Mei 2017; 5(2): 261.
6. Tristanti I, Nasriyah. Mastitis. Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan.
2019; 10(2): 330-337

Anda mungkin juga menyukai