Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ILMU KALAM

MU’TAZILAH
Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Kalam
Dosen pengampu :
Dra. Halimah S.M, M.Ag.

Disusun Oleh :
Gabriella Wulandari 11200340000052
Maharani 11200340000013
Saiful Amin 11200340000119

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala
puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, atas limpahan rahmat
dan inayah-Nya akhirnya penulis menyelesaikan tugas ini. Sholawat dan salam semoga
senantiasa Allah curahkan kepada kekasihNya, baginda Nabi Muhammad Shallaahu Alaihi
Wassalam yang telah membawa umat manusia dari keburukan akhlak menjadi kebaikan
akhlak terpuji.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Ilmu Kalam. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan tentang
Ilmu Kalam bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bu Halimah selaku dosen mata kuliah Ilmu
Kalam yang telah memberikan tugas ini. Sehingga menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terma kasih kepada
semua pihak yang telah membagi ebagian pengetahuannya. Sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang kami nantikan demi menyempurnakan makalah ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Bogor, 17 April 2022

Pemakalah

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................I
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................II
BAB I.....................................................................................................................................................III
PENDAHULUAN....................................................................................................................................III
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................III
C. Tujuan.......................................................................................................................................III
BAB II.....................................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................4
A. Pengertian Mu’tazilah................................................................................................................4
B. Penamaan Mu’tazilah................................................................................................................4
C. Sejarah dan Perkembangan Mu’tazilah......................................................................................2
D. Lima Pokok Ajaran Mu’tazilah...................................................................................................5
E. Tokok-Tokoh Mu’tazilah............................................................................................................9
F. Mihnah....................................................................................................................................10
BAB III..................................................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................................................12
A. Kesimpulan..............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aliran mu‟tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi


yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa
kaum khawarij dan murjia‟ah. Dalam pembahasan. mereka banyak memakai alat
sehingga mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum
Rasionalis Islam”. Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2H tahun 105-
110 H, tepatnya pada masa pemerintahan. Munculnya aliran mu‟tazilah sebagai reaksi
atas pertentangan antara aliran khawarij dan aliran murjiah mengenai soal orang mukmin
yang berdosa besar. Menurut khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat
dikatakan umum lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum murjiah tetap
menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin bukan kafir.
Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha‟ yang ketika itu
menjadi murid Hasan Al-Basri seorang ulama terkenal di Basra,mendahului gurunya
mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi
antara mukmin dan kafir.tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan orang kafir, tetapi
diantara keduanya.oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat diantara surga dan
neraka,maka orang itu dimasukan ke dalam neraka,tetapi siksaan yang diperolehnya lebih
ringan dari pada orang kafir.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah aliran mu’tazilah
2. Siapa saja totok-tokoh aliran mu’tazilah
3. Apa saja pokok-pokok aliran mu’tazilah

C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah mu’tazilah
2. Mengetahiu pokok-pokok aliran mu’tazilah
3. Mengetahui berbgai pokok mu’tazilah

III
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mu’tazilah
Muktazilah secara bahasa diambil dari kata ‫ اعتزل الشيئ وتعزله‬ yang bermakna
‫تنحى عنه‬  yang berarti memisahkan diri. Dalam Al-Quran disebutkan “ ‫َوِإ ْن لَ ْم تُْؤ ِمنُوا لِي‬
)21( ‫ فَا ْعت َِزلُو ِن‬yang artinya jika kalian tidak beriman kepadaku maka jangan
bersamaku. Maka Muktazilah secara bahasa berarti memisahkan diri (al-infishaal wat
tanahhii) Dan secara istilah, Muktazilah berarti nama sebuah kelompok yang muncul
pada awal abad kedua hijriyah, yang menggunakan akal dalam membahas teologi
Islam. Pengikut Washil bin Atha yang keluar dari Majlis Hasan Al-Bashri.
Ada anggapan lain bahwa kata Muktazilah mengandung arti tergelincir, dan
karena tergelincirnya aliran Muktazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama
Muktazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Kata I’tazala berasal dari kata
akar a’zala yang berarti”memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir. Kata
yang dipakai dalam bahasa Arab untuk tergelincir memang dekat bunyinya
dengan a’zala yaitu zalla. Tetapi bagaimanapun, nama Muktazilah tidak bisa berasal
dari kata zalla.

B. Penamaan Mu’tazilah
Selain memberi nama Muktazilah, juga memberikan nama-nama lain. Kaum
Ahlussunnah Waljamaah menamakan mereka dengan kaum Mu’attilah yakni
golongan yang menafikan sifat Tuhan. Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat-sifat yang berdiri sendiri pada zat. Ada yang menjuluki dengan
istilah kaum al-Qadariyah, karena mereka menganut paham manusia memiliki
kebebasan berkehendak dan kemampuan berbuat. Ada yang menamakan dengan al-
Wa’idiyah, karena mereka mengajarkan paham ancaman Tuhan terhadap orang-orang
yang tidak taat pasti berlaku.
Dan ada yang menjuluki Muktazilah dengan Jahmiyah karena kedua
kelompok ini banyak memiliki persamaan dalam hal meniadakan ru’yah dan shifat,
Al-Quran adalah makhluk dan dalam masalah keyakinan lainnya, bahkan Bukhari dan
Imam Ahmad menyamakan Muktazilah dengan Jahmiyah dalam bukunya Ar-Radd
alal Jahmiyah dimana yang dimaksud Jahmiyah adalah kelompok Muktazilah.

1
C. Sejarah dan Perkembangan Mu’tazilah
Kaum Mu`tazilah merupakan sekelompok manusia yang pernah
menggemparkan dunia Islam selama lebih dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka
yang menghebohkan, selama waktu itu pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan
darah kaum muslimin terutama para ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan
pedoman mereka.
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad
ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul
Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha'
Al-Makhzumi Al-Ghozzal yang lahir di Madinah tahun 700 M, kemunculan ini adalah
karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan
bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa
besar masih berstatus mukmin.
Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar
Murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.
Kemudian para petinggi mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar
di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar
diwarnai oleh manhaj ahli kalam yang berorientasi pada akal dan mencampakkan
dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah atau
memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri, Mu’tazilah, secara
etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai
suatu kronologi Yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah
seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: Suatu hari datanglah
seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam
agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa
Besar. Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang
lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar, dan dosa tersebut tidak
berpengaruh terhadap keimanan. Karena Dalam madzhab mereka, suatu amalan
bukanlah rukun dari keimanan dan Kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap

2
Keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka
Adalah Murji’ah umat ini.
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut.
Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha' Berseloroh:
“Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia Juga tidak kafir,
bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, Tidak mukmin dan juga
tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah Satu tiang masjid sambil
tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya.
Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata:
‘‫’اعتزل عنا واصل‬
“Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para Pengikutnya
dengan sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-
Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar
adalah Seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia
masih Disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq yakni keimanannya
menjadi tidak sempurna.

Perkembangan
Pada awalnya Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut oleh
masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal ini
menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintah kerajaan
Abbasiyah. Melihat hal demikian, Khalifah Al-Makmun (813-833 M) putera Harun
al-Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah sebagai
mazhab resmi Negara.3 Sejak itu resmilah aliran Mu’tazilah menjadi satu-satunya
aliran Teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah.

Dengan mendapat pengakuan resmi dari pemerintah, maka otomatis aliran ini
mendapat dukungan sekaligus perlindungan dari Penguasa waktu itu. Selanjutnya
aliran ini pun dengan leluasa dan berani menyebarkan paham-pahamnya secara
terbuka kepada public. Penyebaran tersebut mereka lakukan mulai cara lemah lembut
sampai pemaksaan dan kekerasan. Puncak kekerasan dan pemaksaan itu berkenaan
dengan paham “Al-Quran makhluk”. Masalah ini sampai menimbulkan peristiwa al-

3
Mihnah yaitu pemeriksaan terhadap para ulama ahli Hadits dan ahli fikih oleh
Khalifah Al-Makmun pada Dinasti Abbasiyah.

Mula-mula Khalifah Al-Makmun mengirimkan surat kepada Ishaq Ibn


Ibrahim (gubernur Bagdad) agar memerintahkan kepada para pejabat untuk mengakui
paham bahwa Al-Qur’an makhluk. Ada tiga langkah yang harus diambil, pertama
memberhentikan pejabat-pejabat yang tidak mau mengakui kemakhlukan Al-Quran.
Kedua memerintahkan untuk melakukan pemeriksaan terhadap para ulama ahli fikih
dan ahli Hadits serta yang terkait dengan urusan fatwa tentang makhluk tidaknya Al-
Quran. Bila upaya kedua ini tidak membawa hasil (mereka tawaqquf), maka perlu
dilakukan langkah ketiga yaitu mereka harus disiksa bahkan diancam hukuman mati.

Dalam peristiwa al-Mihnah, Ishaq telah memeriksa sekitar 30 orang hakim,


ulama ahli hadis dan ahli fikih, mereka sepakat mengakui kemakhlukan Al-Quran.
Namun ada empat orang ulama yang tawaqquf yaitu Ahmad ibn Hanbal, Sajjadah, al-
Qawariri dan Muhammad ibn Nuh. Karena itu, keempat ulama tadi dimasukkan ke
dalam tahanan dalam keadaan diborgol. Keesokan harinya Sajjadah mau mengakui
dan ia pun dibebaskan. Pada hari-hari berikutnya ketiga ulama yang masih ditahan
tadi terus dipaksa dan diancam agar mau mengakui kemakhlukan Al-Quran, hingga
akhirnya al-Qawariri mengakuinya dan ia pun dibebaskan. Sementara dua lainnya
dikirim kepada khalifah Al-Makmun di Thurus. Muhammad ibn Nuh meninggal
dunia dalam perjalanan. Di Tengah perjalanan tersiar kabar bahwa Al-Makmun
meninggal dunia, namun sebelumnya ia sempat berwasiat kepada penggantinya yaitu
al-Mu’tashim agar melanjutkan kebijakannya itu. Atas wasiat tersebut, Al-Mu’tashim
pun melanjutkan al-Mihnah terhadap mereka yang belum mengakui kemakhlukan Al-
Quran termasuk yang masih tawaqquf. Ahmad Ibn Hanbal karena tetap tawaqquf,
iapun dipenjarakan dan disiksa sampai beberapa tahun baru ia dibebaskan.

Setelah al-Mu’tashim meninggal, kekhalifahan diganti oleh al-Wasiq (842-847


M). Kebijakan melakukan al-Mihnah tampaknya tidak dihentikan, namun tidak lagi
terlalu keras seperti pendahulunya. Namun demikian, ada informasi bahwa khalifah
terakhir ini telah memancung seorang ulama terkenal Ahmad ibn Naser al-Khuza’i
karena tidak mengakui kemakhlukan Al-Qur’an. Setelah Al-Wasiq meninggal,
kekhalifahan digantikan oleh Al-Mutawakkil ( 232-247 H). Berbeda dengan khalifah-
khalifah sebelumnya, Al-Mutawakkil tidak menudukung aliran Mu’tazilah, sehingga

4
masalah al Mihnah tidak lagi ia teruskan. Sejak itu al-Mihnah pun terhenti, ia bahkan
berusaha meredam ketegangan situasi dan membebaskan semua ulama yang ditahan
sebelumnya.

Kalau semula aliran Mu’tazilah mengalami kemajuan dan dapat meraih zaman
keemasan karena mendapat dukungan penguasa dan ajarannya disenangi kaum
intelektual, namun setelah mereka melancarkan kekerasan dan penyiksaan , terlebih
lagi pemenjaraan terhadap para ulama, maka sejak itu kaum muslimin mulai
membenci aliran Mu’tazilah. Merekapun mulai meninggalkan aliran tersebut.
Kebencian mereka itu seakan didukung oleh sikap khalifah Al-mutawakkil yang juga
tidak senang dengan aliran Mu’tazilah. Aliran ini perlahan-lahan mulai mengalami
kemunduran dan kehilangan kekuatannya. Lebih-lebih setelah Muhammad al-
Ghazwani, seorang pengikut mazhab Sunny dan Syafi’i berkuasa sampai ke wilayah
Irak Tahun 395 H mengeluarkan pengumuman larangan terhadap aliran Mu’tazilah di
wilayahnya, buku-bukunya banyak yang dibakar dan ajaran-ajarannya tak boleh lagi
dianut. Akhirnya Al-Mutawakkil pun membatalkan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab
resmi Negara pada tahun 848 M.

Umat Islam yang telah lama merasa tertekan akibat pemaksaan dan kekerasan
yang dilancarkan kaum Mu’tazilah, begitu mengetahui khalifah telah membatalkan
aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara, maka kaum muslimin pun mulai
berani angkat bicara, mendiskusikan, mengkritisi bahkan membantah paham-paham
Mu’tazilah dengan berbagai argumentasi. Situasi ini juga didukung oleh mulai
berkembangnya aliran Asy’ariyah yang telah digagas oleh seorang ulama besar, tokoh
sentral kaum Ahlusunnah Waljamaah yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H).
Dengan kharisma Al-Asy’ari dan ditambah dengan ajaran-ajaran yang dibawanya
agak moderat dan tradisional serta merupakan jalan tengah antara dua pemikiran yang
ekstrim, akhirnya semakin mendapat simpati dan dukungan masyarakat luas bahkan
juga pihak penguasa, semakin membuat aliran Mu’tazilah tidak berdaya lagi sampai
datangnya pasukan Mongolia yang meluluhlantakkan kota Baghdad dan kota-kota
lainnya tahun 1258 M, aliran inipun lenyap.

D. Lima Pokok Ajaran Mu’tazilah


Ajaran mu‘tazilah berdiri atas lima prinsip atau dikenal dengan al-ushul al-khomsah:
1. Tauhid.

5
Pengertian Tauhid bagi Mu‘tazilah bersifat tanzih muthlaq, sebagaimana
dituturkan oleh Abu al-Hasan al-Asy‘ari adalah sebagai berikut:
“Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda) bukan pribadi
(syahs), bukan jauhar (substansi), bukan aradl (non essential property), tidak berlaku
padanya masa.Tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada
pada makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tiada batas bagi-Nya, tiada
melahirkan dan tiada dilahirkan, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa
digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, Yang Berkuasa dan Yang
Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain- Nya, tiada pembantu
bagi-Nya dalam menciptakan.”
Ajaran dasar yang terpenting bagi kaum Mu'tazilah adalah Tauhid atau Ke-
Mahaesaan Allah. Bagi mereka, Allah baru dapat dikatakan Maha Esa jika Ia
merupakan Zat yang unik, tiada ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Oleh karena
itu kaum Mu'tazilah menolak paham Anthropomerphisme, yaitu paham yang
menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya. Mereka juga menolak paham
Beautific Vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia. Satu-
satunya sifat Tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah
sifat qadim.
Paham ini mendorong kaum Mu'tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan
yang mempunyai wujud sendiri di luar Dzat Tuhan. Menurut paham ini tidak berarti
Tuhan tidak diberi sifat-sifat. Tuhan bagi kaum Mu'tazilah tetap Maha Tahu, Maha
Kuasa, Maha Hidup, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya, tetapi itu
tidak dapat dipisahkan dari Dzat Tuhan, dengan kata lain sifatsifat itu merupakan
esensi Dzat Tuhan.
Adapun yang dimaksud kaum Mu'tazilah dengan pemisahan sifat-sifat Tuhan
adalah sebagaimana pendapat golongan lain yang memandang bahwa sifat-sifat
Tuhan sebagian esensi Tuhan dan sebagian lain sebagai perbuatan-perbuatan Tuhan.
Bagi kaum Mu'tazilah paham ini mereka munculkan karena keinginan untuk memeli-
hara kemurnian Ke-Mahaesaan Tuhan
2. Al-‘Adl (Keadilan).
Jika dalam ajaran pertama kaum Mu'tazilah ingin mensucikan Tuhan dari
persamaan dengan makhluk-Nya, maka ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan
perbuatan Tuhan dari persamaannya dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang
berbuat adil seadil-adilnya. Tuhan tidak mungkin berbuat zalim. Dalam menafsirkan

6
keadilan, mereka mengatakan sebagai berikut: Tuhan tidak menghendaki keburukan
dan tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan sendiri segala
perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan kodrat (kekuasaan) yang
dijadikan oleh Tuhan pada diri mereka.

Ia hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia menghendaki


kebaikan-kebaikan yang ia perintahkan dan tidak campur tangan dalam keburukan-
keburukan yang dilarang. Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan dalam paham
kaum Mu'tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu golongan,
Tuhan tidak bisa (la yaqdir) berbuat buruk (zhulm) karena perbuatan yang demikian
hanya dilakukan oleh orang yang bersifat tidak sempurna, sedang Tuhan bersifat
Maha Sempurna.

3. Al-wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)

Ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan Tuhan.
Kaum Mu'tazilah yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan akan
menjatuhkan siksa kepada manusia di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan tidak
dikatakan adil jika Ia tidak memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan
tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan menghendaki supaya orang
yang bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik diberi hadiah
berupa surga sebagaimana dijanjikan Tuhan.

Pendirian ini bertentangan dengan kaum Murji’ah, yang berpendapat bahwa


kemaksiatan tidak mempengaruhi iman dan tak mempunyai kaitan dengan
pembalasan. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan tidak akan ada
artinya. Hal yang demikian mustahil bagi Tuhan. Karena itu kaum Mu'tazilah
mengingkari adanya syafa’at (pengampunan) pada hari kiamat, karena syafa’at
menurut mereka berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.

4. Al-Manzilah bayn al-Manzilatain

Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan Tuhan.
Pembuat dosa bukanlah kafir, karena mereka masih percaya kepada Allah dan Rasul-
Nya, tetapi mereka bukan pula mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna.
Karena bukan mukmin, para pembuat dosa besar tidak dapat masuk surga dan tidak
masuk neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil mereka ditempatkan di antara

7
surga dan neraka. Akan tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan
neraka, maka mereka harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini.

Penempatan ini bagi kaum Mu'tazilah berkaitan dengan paham Mu'tazilah


tentang iman. Iman bagi mereka bukan hanya pengakuan dan ucapan, tetapi juga
perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman, tidak pula kafir
seperti disebut terdahulu. Berawal dari jalan tengah yang diambil untuk menentukan
posisi orang yang melakukan dosa besar, kemudian berlaku juga dalam bidang lain.
Berdasarkan sumber-sumber keislaman dan filsafat Yunani, kaum Mu'tazilah lebih
memperdalam pemikirannya mengenai jalan tengah tersebut, sehingga menjadi
prinsip dalam lapangan berfikir (ratio). Prinsip jalan tengah ini nampak jelas dalam
usaha mereka untuk mempertemukan agama dengan filsafat.

5. Al-amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar

Mengenai hal ini kaum Mu'tazilah berpendapat sama dengan pendapat


golongan-golongan umat Islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan hanya pada segi
pelaksanaannya, apakah seruan untuk berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu
dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan. Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa
seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk sebaiknya dilakukan dengan lemah
lembut.

Akan tetapi sewaktu-waktu, jika perlu dengan kekerasan. Dalam sejarah,


mereka menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi kaum
Mu'tazilah, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus
diluruskan. Karena keberanian dan keyakinan mereka dalam memegang hasil
pemikiran akal, maka mereka hanya mau menerima dalildalil naqli yang bagi mereka
sesuai dengan akal pikiran.

Pandangan kaum Mu'tazilah yang terlalu menitikberatkan penggunaan akal


pikiran (ratio) dinilai oleh sebagian umat Islam bahwa mereka meragukan bahkan
tidak percaya akan kedudukan wahyu. Kesalahpahaman terhadap aliran Mu'tazilah
timbul, karena buku-buku mereka tidak dibaca dan dipelajari lagi pada perguruan-
perguruan Islam, kecuali pada permulaan abad ke-20 ini.

Terlepas dari pandangan orang terhadap ajaran-ajaran aliran Mu'tazilah itu


salah atau benar, yang jelas kehadiran kaum Mu'tazilah banyak membela kemajuan

8
umat Islam. Dalam hal ini Ahmad Amin dan Abu Zahrah mengakui dan menghargai
jasa-jasa kaum Mu'tazilah dalam membela Islam terhadap serangan-serangan dari luar
Islam yang terjadi pada zaman mereka.

E. Tokok-Tokoh Mu’tazilah

 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Bashrah:


1. Washil ibn Atha (80-131 H). Ia dilahirkan di Madinah dan kemudian menetap di
Bashrah. Ia merupakan tokoh pertama yang melahirkan aliran Mu’tazilah.
Karenanya, ia diberi gelar kehormatan dengan sebutan Syaikh al-Mu‟tazilah wa
Qadimuha, yang berarti pimpinan sekaligus orang tertua dalam Muktazilah.
2. Abu Huzail Muhammad ibn Huzail ibn Ubaidillah ibn Makhul al-Allaf. Ia lahir di
Bashrah tahun 135 dan wafat tahun 235 H. Ia lebih populer dengan panggilan al-
Allaf karena rumahnya dekat dengan tempat penjualan makanan ternak. Gurunya
bernama Usman al-Tawil salah seorang murid Washil ibn Atha.
3. Ibrahim ibn Sayyar ibn Hani al-Nazham. Tahun kelahirannya tidak diketahui, dan
wafat tahun 231 H . Ia lebih populer dengan sebutan Al-Nazhzham.
4. Abu Ali Muhammad ibn Ali al-Jubba’i. Dilahirkan di Jubba sebuah kota kecil di
propinsi Chuzestan Iran tahun 135 H dan wafat tahun 267 H. Panggilan akrabnya
ialah Al-Jubba‟i dinisbahkan kepada daerah kelahirannya di Jubba. Ia adalah ayah
tiri dan juga guru dari pemuka Ahlussunnah Waljamaah Imam Abu Hasan al-
Asy’ari.
 Tokoh-Tokoh Mu’tazilah Baghdad:
1. Bisyir ibn al-Mu’tamir (wafat 226 H/840 M). Ia merupakan pendiri
Mu‟tazilah di Bagdad.
2. Abu al-Husain al-Khayyat (wafat 300 H/912 M). Ia pemuka yang mengarang
buku Al-Intishar yang berisi pembelaan terhadap serangan ibn Al-Rawandy.
3. Jarullah Abul Qasim Muhammad ibn Umar (467-538 H/1075-1144 M). Ia
lebih dikenal dengan panggilan al-Zamakhsyari. Ia lahir di Khawarazm
(sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Ia tokoh yang telah menelorkan karya
tulis yang monumental yaitu Tafsir Al-Kasysyaf.
4. Abul Hasan Abdul Jabbar ibn Ahmad ibn Abdullah alHamazani al-Asadi.
(325-425 H). Ia lahir di Hamazan Khurasan dan wafat di Ray Teheran. Ia lebih
dikenal dengan sebutan AlQadi Abdul Jabbar. Ia hidup pada masa

9
kemunduran Mu’tazilah. Kendati demikian ia tetap berusaha mengembangkan
dan menghidupkan paham-paham Mu’tazilah melalui karya tulisnya yang
sangat banyak. Di antaranya yang cukup populer dan berpengaruh adalah
Syarah Ushul al-Khamsah dan Al-Mughni fi Ahwali Wa al-Tauhid.

F. Mihnah
Pengertian Mihnah
secara bahasa kata Mihnah adalah kata jamak dari mahana yumhinu ‫ يمحن‬yang
memiliki arti cobaan, ujian atau bala’. Sedangkan secara istilah mihnah adalah ujian
keyakinan yang ditujukan kepada para ulama, ahli hadits dan hukum sehubungan
dengan permasalahan penciptaan al-Qur’an, Di antaranya adalah Ahmad bin Hambal
(W. 855/ 240 H), karena keteguhannya mempertahankan pendapat bahwa al-Qur’an
adalah qadim (tidak diciptakan).
Adapun peristiwa tersebut terjadi pada masa khalifah Abbasiyah yaitu khalifah
al-Ma’mun (170 H/ 785 M - 218 H/ 833 M).2 Peristiwa mihnah tersebut terjadi
selama tiga periode pemerintahan yaitu al-Ma’mun, al-Mu’tasim (W 227 H) dan al-
Watsiq (W 232 H).

Timbulnya Mihnah

Peristiwa mihnah yang terjadi pada masa khalifah al-Ma’mun itu karena
perbedaan pendapat sehubungan dengan paham khalq al-Qur’an. Mu’tazilah
berpendapat bahwa al-Qur’an adalah baru karena kalam Allah SWT yang tersusun
dari suara dan huruf-huruf. Al-Qur’an itu makluk dalam arti diciptakan Tuhan.
Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Qur’an itu
dikatakan qadim maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah
dan ini hukumnya musyrik.

Mu’tazilah menafikan sifat al-Kalam dari Allah karena menurut mereka sifat
itu termasuk sifat yang baru. Apa yang dihubungkan kepada-Nya , yaitu bahwa Dia
berkata-kata, adalah karena Dia yang menciptakan kata-kata itu pada suatu tempat.
Jadi, Allah berkata-kata kepada Musa ialah dengan menciptakan kata-kata di pohon
tertentu. Sedangkan para fuqaha dan muhadditsin menetapkan sifat al-kalam kepada
Allah. Atas dasar itu, menurut mereka, al-Qur’an adalah kalam Allah, dan karena itu
al-Qur’an bukan makhluk sebagaimana makhluk-makhluk yang lain. Demikianlah

10
pandangan kedua belah pihak yang masing-masing berawal dari sudut pandang yang
berbeda.

Ketika al-Ma’mun didekati oleh kalangan Mu’tazilah dan secara terang


terangan menyatakan bahwa dirinya menganut paham Mu’tazilah. Ia mengagungkan
Mu’tazilah secara berlebihan, Mu’tazilah menyadari kedudukan mereka dalam
pandangan al-Ma’mun, khususnya ketika ia memilih Ahmmad ibn Abi Dawud
menjadi teman dekat dan keluarganya. Dengan adanya hubungan antara al-Ma’maun
dan Mu’tazilah dalam bidang pemikiran dan kekeluargaan, kemudian Mu’tazilah
menggunakan kesempatan tersebut untuk menyebarluaskan pendapat bahwa al-
Qur’an adalah makhluk. Al-Ma’mun mengumumkannya pada tahun 212 H. Walaupun
demikian ia masih memberikan kemerdekaan kepada rakyatnya dalam beraqidah dan
berpendapat, dan tidak memaksa mereka untuk menganut pendapat yang tidak sejalan
dengan pendapat mereka.

Peristiwa mihnah yang digagas oleh tokoh Mu’tazilah dengan memanfaatkan


kekuasaan yang ada di masa itu ternyata menjadi bencana bagi Mu’tazilah. Mihnah
yang sebenarnya lebih dimaksudkan untuk makin memperkuat dominasi dan
meningkatkan popularitas Mu’tazilah, ternyata justru semakin memperpuruk posisi
Mu’tazilah dan sebagai titik awal bagi kemundurannya.

Tindakan politisasi kekuasaan untuk memaksakan faham Mu’tazilah, terutama


faham ke-makhlukan al-Qur’an, kepada para pejabat dan tokoh masysarakat masa itu,
bahkan diikuti dengan kekerasan dan penyiksaan terutama terhadap fuqaha’ dan ahli
hadis, telah memperburuk citra Mu’tazilah dan sebaliknya mengundang munculnya
simpati terhadap fuqaha’ dan ahli hadis. Mu’tazilah menuai banyak kecaman keras
dari banyak kalangan, terutama dari fuqaha’ dan ahli hadis, sehingga keberadaan
Mu’tazilah semakin ditinggalkan oleh masyarakat.

Terjadinya mihnah sebagai dukungan untuk melanjutkan ajaran mu’tazilah


tentang menafikan sifat Allah karena bagi mereka masalah kalam Allah sangat rentan
dengan pemahaman mereka, dan mendakati berbilangnya Tuhan. Maka dari itu
mereka berusaha menghapus pernyataan bahwa kalam Allah itu qodim.

zaman al-Ma’mum tersebut berubah secara drastis menjadi tindak pemaksaan


untuk mengikuti doktrin Mu’tazilah tentang kemakhlukan al-Qur’an lewat kebijakan
politik uji keyakinan yang dinamakan mihnah. Kebijakan al-Ma’mun tentang mihnah

11
ini adalah atas saran menteri dan sekretasrisnya dari kalangan Mu’tazilah yakni
Ahmad bin Abi Daud alMu’tazili, yang tampaknya setelah ia sadar hubungan
dekatnya dengan al-Ma’mun, ia bermaksud memanfaatkan kekuasaan yang ada
menjadi alat memaksakan ajarannya Mu’tazilah tentang al-Qur’an itu baru (makhluk).

Al-Ma’mun pada tahun 212 H memberlakukan kebijakan mihnah itu dengan


sasaran utamanya para pejabat pengadilan dan sejumlah tokoh masyarakat. al-
Ma’mun hanya menetapkan sanksi berupa pencopotan jabatan bagi yang tidak
mengakui kemakhlukan al-Qur’an, tetapi akhirnya sanksi itu ditingkatkan hingga
dalam bentuk hukuman penjara dan bahkan mati.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ada 3 alasan disebut dengan “Mu‟tazilah yaitu :

1. Karena mereka menjauhkan dari semua pendapat yang telah ada tentang hukum orang
yang mengerjakan dosa besar.

2. Karena wasil bin „Atha dan amr bin Ubaid menjauhkan diri (I‟tizala) dari pengajian
Hasan Basri di Masjid Basrah, dengan berpendapat bahwa orang yang mengerjakan dosa

12
besar tidak mu‟min sepenuhnya, juga tidak kafir sepenuhnya, tetapi berada dalam satu
tempat diantara dua tempat tersebut, sehingga menjauhkan diri atu memisahkan diri dan
disebut orang “Mu‟tazilah”.

3. Karena di tinjau dari sifat si pembuat dosa besar itu sendiri, kemudian menjadi sifat
atau nama aliran yag berpndapat demikian, yaitu si pembuat dosa besar menyendiri dari
orang-orang kafir.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Jumal, Muktazilah: Penamaan, Sejarah dan Lima Prinsip Dasar (Ushul Al-
Khamsah), Jakarta, November 2019.

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al- Munawwir, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, cet ke
25, hlm, 1315.

Lestari, Oktaviana, Peristiwa Mihnah dalam Konsep Mu'tazilah, Pekalongan, Desember,


2021

13
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, ( UI Press, 1986) jilid II hlm.36 dan
hlm.47
Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, juz III, (Cairo Al-Nahdhah al-Mishriyah,
1966), hlm.22 dan hlm.176
Abu Zahrah, Tarikh Mazahib al-Islamiyah, hlm.180-183
Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlussunnah Waljamaah?(Surabaya: Bina
Ilmu, 1987). hlm.44
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, hlm.102-103

14

Anda mungkin juga menyukai