Anda di halaman 1dari 3

Fenomenologi atau yang dalam bahasa Inggris disebut phenomenology berasal dari

bahasa Yunani yang secara etimologi berasal dari kata phainomenon yang memiliki arti “yang

tampak”, serta lógos yang berarti “ilmu” (Adian, 2016: h 5). Fenomenologi berarti uraian tentang

phenomenon atau sesuatu yang sedang menampilkan diri, atau sesuatu yang sedang menggejala

(Daulay, 2010: h 17).

(filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan di balik realitas, sehingga perlu keterlibatan

subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna di balik

suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya.)

Dhonny (dalam Hajaroh, 2013: h 450) menyebutkan bahwa fenomenologi adalah ilmu

mengenai esensi ideal atas obyek-obyek sebagai korelasi dengan kesadaran. Fenomenologi

merupakan sebuah studi filsafat mengenai struktur pengalaman dan kesadaran. Fenomenologi

juga dapat digunakan sebagai sarana pendekatan filosofis untuk menyelidiki pengalaman

manusia. Pencetus prinsip penelitian ini ialah Edmund Husserl (1859-1938) yang

mengembangkan ide mengenai dunia kehidupan. Studi fenomenologi dapat digambarkan sebagai

penerapan metode kualitatif untuk mengeksplorasi dan menemukan makna umum dari suatu

konsep atau fenomena yang merupakan pengalaman hidup sekelompok individu.

Edmund husserl (dalam Endraswara, 2021: h 43) menyatakan bahwa obyek ilmu tidak

terbatas pada sesuatu yang empirik, namun juga mencakup fenomena yang tidak lain terdiri atas

persepsi, pemikiran, kemauan, serta keyakinan subjek yang menuntut pendekatan holistik,

menundukkan objek penelitian dalam suatu konstruksi ganda, melihat objek dalam suatu konteks

natural, serta bukan parsial. Maka dari itu fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logik

dibanding linier kausal. Penelitian fenomenologi bertujuan untuk membangun ilmu ideografik
budaya itu sendiri. Prinsip penelitian ini lebih menekankan pada rasionalitas serta realitas budaya

yang sudah ada karena realitas dipandang lebih penting dibandingkan dengan teori.

Fenomenologi berusaha memahami budaya melalui kacamata pemilik budaya atau si

pelaku. Endraswara (2021: h 42) dalam bukunya menyebutkan aksioma-aksioma dasar

fenomenologi yang terdiri atas:

1) Kenyataan ada dalam diri manusia baik sebagai individu maupun kelompok selalu bersifat

majemuk atau ganda yang tersusun secara kompleks, dengan begitu hanya dapat diteliti

secara holistik dan tidak terlepas-lepas

2) Hubungan antara peneliti dengan subjek inkuiri saling memengaruhi, keduanya sulit untuk

dipisahkan

3) Lebih mengarah pada kasus-kasus, bukan untuk menggeneralisasi hasil penelitian

4) Sulit membedakan sebab dan akibat karena situasi yang berlangsung secara simultan

5) Inkuiri terikat pada nilai bukan values free

Menurut Aminuddin (dalam Endraswara, 2021: h 43) pandangan utama dalam

fenomenologi adalah bahwa pengertian dan penjelasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari

gejala realitas itu sendiri. Dalam perkembangannya, fenomenologi terbagi menjadi beberapa

bagian, diantaranya:

1) Fenomenologi edidetik dalam linguistik

2) Fenomenologi ingarden dalam sastra

3) Fenomenologi transendental

4) Fenomenologi eksistensial
Fenomenologi eksistensial menentukan pengertiannya melalui gejala budaya yang

semata-mata tergantung pada individu. Refleksi individual menjadi acuan bagi individu itu

dalam menemukan kebenarannya.

Dalam penelitian fenomenologi subjek penelitian dipercaya mampu untuk dapat

menafsirkan pengalamannya sendiri melalui interaksi. Peneliti juga diharapkan cukup bijaksana

dalam prosesnya dengan cara memberi penekanan pada subjek penelitian untuk memaknai tindak

budaya tanpa mengabaikan realitas yang terjadi.

Fenomenologi berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana itu dapat

terstruktur. Menurut Phillipson, fenomena tersebut berkaitan dengan suatu persepsi yaitu

kesadaran (Endaswara, 2021: h 45).

Anda mungkin juga menyukai