Anda di halaman 1dari 9

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Latar Belakang Pendidikan Perempuan Jepang Zaman Meiji

Setelah jepang memutuskan untuk menjadi “Negara baru” pada paruh terakhir
abad ke-19, dimulailah proses pembinaan bangsa dalam segala aspek, termasuk
didalamnya adalah aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya. Proses inilah yang
dikenal sebagai Bunmei Kaika1. Dengan kebijakan tersebut, pemerintah Meiji
mengadopsi mulai kebijakan modernisasi dan memperkenalkan peradaban Barat,
diantara kebijakan-kebijakan tersebut salah satu nya adalah menghapuskan
diskriminasi derajat atau kelas yang menjadi ciri khas masyarakat feodal. Untuk
mempersiapkan sistem tersebut, pada tahun 1872 pemerintah Meiji mengirimkan
utusan ke eropa dan Amerika, yang mana misi tersebut di pimpin oleh Iwakura
Tomomi, guna untuk mencari suatu sistem pendidikan yang sesuai dengan negara
Jepang. Diantaranya terdapat lima anak perempuan yang berusia 9-16 tahun, yaitu
Nagai Shige, Yamakawa Sutematsu, Yoshimasu Ryo, Ueda Tei dan Tsuda Umeko.

Pada bulan September 1872 pemerintah Jepang mulai memberlakukan sistem


pendidikan yang disebut dengan istilah sistem Gakusei. Sistem Gakusei adalah sistem
pendidikan formal model Barat. Gakusei sendiri bersendikan pada tiga hal utama,
yaitu penghapusan kebiasaan lama bahwa anak perempuan tidak berpendidikan,
penghapusan perbedaan dalam sistem pendidikan antara laki-laki dengan perempuan
dan penghapusan perbedaan dalam moral manusia. Dalam sistem Gakusei tersebut,
sekolah dasar yang didirikan diperuntukkan bagi seluruh anak-anak yang sudah
mencapai umur 6-10 tahun, sehingga dapat dikatakan hal tersebut adalah pendidikan
wajib bagi anak laki-laki dan perempuan. Setelah itu barulah pada tingkat sekolah
menengah, kurikulum pendidikan mulai di bedakan kembali. Dengan begitu, dalam
sistem pendidikan yang di jalan kan oleh pemerintah pada waktu itu, terdapat
dualisme, yaitu pendidikan formal antara anak laki laki dan perempuan. Mengenai hal
tersebut, Okamura (1980) dan Yoshimi (1988), mengatakan bahwa,

“Sistem ganda dalam pendidikan ini telah menimbulkan banyak kemungkinan


bagi pelaksanaan diskriminasi antara kaum laki-laki dan perempuan, yakni praktik
yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam masayarakat Jepang. Sistem
diskriminasi ini berlandasan pada sebuah sikap yang terungkapkan dalam pepatah
feodal ‘pedidikan tak perlu bagi kaum perempuan’, yang berlanjut dalam versi baru
yang berbunyi ‘tiada memiliki pendidikan bagi kaum perempuan merupakan
kebaikan’”.

Sistem ganda yang dimaksud oleh Okamura (1980) dalam pernyataan nya diatas
sesuai dengan politik Bunmei Kaika yang dijalankan pemerintah, yaitu kehendak
1
Proses perubahan sistem pemerintahan dengan menganut budaya Barat pada zaman Meiji
untuk mencerdaskan bangsa melalui sistem pendidikan Gakusei. Namun di lain pihak,
sifat dan sikap feodalisme yang terbawa oleh para pemimpin dalam bidang
pendidikan Meiji, justru menganggap bahwa pendidikan perempuan tidak lah perlu.

Ajaran Konfusianisme dijadikan sebagai dasar dalam program pemerintah dan


dalam sistem pendidikan perempuan pada zaman Meiji. Pemerintah menganggap
bahwa wanita memegang peranan penting dalam mengurus semua hal yang
berhubungan dengan rumah tangga dan mengurus perawatan anak. Oleh sebab itu,
pendidikan tingkat dasar sampai dengan tingkat atas untuk kaum perempuan hanya
dibatasi pada pelajaran membaca, menulis, memasak, menjahit dan perawatan anak.
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar perempuan Jepang menjadi ibu yang baik
dan istri yang bijaksana, atau lebih dikenal sebagai sebutan Ryousai Kenbo.

Pada tahun 1891, sekolah menengah atas perempuan hanya berjumlah tujuh
buah yang mana mulai diresmikan pada tahun 1899, ketika terdapat dua puluh
sembilan sekolah khusus perempuan lainnya. Meskipun jumlah dan skala sekolah
menengah atas perempuan tersebut berkembang pesat, mereka tidak bertujuan
membantu perempuan untuk berpartisipasi dalam masyarakat atau untuk memberikan
kontribusi sebagai bagian dari tenaga kerja yang berkualitas, namun untuk
menghasilkan perempuan yang mendukung keluarga patriarki tradisional. Hal tersebut
sesuai dengan dekrit yang dikeluarkan pada tanggal 9 Februari tahun 1899, yang
membahas tentang tujuan pendidikan perempuan sebagai Ryousai Kenbo. Meskipun
sekolah sekolah tersebut di beri nama sebagai sekolah tinggi, sekolah sekolah khusus
perempuan tersebut hampir sejajar dengan sekolah menengah untuk anak laki-laki.
Mereka lebih fokus pada keterampilan untuk menjadikan perempuan Jepang sebagai
Ryousai Kenbo daripada mata pelajaran akademis. Bagi kebanyakan orang Jepang
sendiri, anak perempuan yang telah menyelesaikan pendidikan nya di sekolah tinggi
akan mampu tampil lebih baik sebagai Ryousai Kenbo.

4.2 Latar Belakang di Didirikannya Joshi Eigaku Juku

Tsuda Umeko menjelaskan tentang kekhawatirannya mengenai, betapa


kurangnya pendidikan, rasa kemandirian dan tanggung jawab dalam pendidikan
Ryousai Kenbo yang perempuan dapatkan ketika nantinya mereka sudah berbaur
dengan masyarakat luas dan mendirikan sebuah hubungan keluarga. Hal tersebut
dapat dilihat dalam sumber data seperti di bawah ini;

「責任を重んずるの念に乏しい。独立して物を治めて行くという事が少
しも無い。依頼心が多くて、憤發心が少なくて、秩序とか整理とかいう
覯念が乏しくて、どうして此の複雑な社會に立って家を治めて行くこと
が出来やうかと思う位であります。」(一五四)

“kurangnya rasa tanggung jawab. Tidak ada yang bisa mengatur semuanya
secara mandiri. Terlalu banyak meminta bantuan, tidak ada perasaan untuk
menghidupkan perasaan, kurangnya keteraturan organisasi dan pemikiran,
oleh karena itu, saya bertanya bertanya bagaimana mereka (perempuan) dapat
berdiri sendiri dalam kehidupan sosial yang rumit dan mengatur kehidupan
dalam rumah?” (Hal. 154)

Dalam sekolah khusus perempuan milik Tsuda Umeko, yang diberi nama Joshi
Eigaku Juku, ia menilai kembali bahwa meskipun perempuan Jepang telah
menyelesaikan pendidikan tingkat dasar hingga tingkat menengah keatas dan dapat
dikatakan telah menyelesaikan seluruh pendidikan umum dan mendapat julukan
sebagai Ryousai Kenbo, mereka masih kurang mampu dalam memahami makna
dalam sebuah bacaan yang apabila di baca kembali dengan cermat, pada dasarnya
bacaan tersebut bukanlah termasuk dalam bacaan yang sulit. Hal tersebut di katakan
Tsuda Umeko yang dikutip dalam sumber data sebagai berikut ;

「私の塾はご存知の通り高等女学校卒業以上の程度の者を入学せしめる
ので、女子の普通教育はまづ終わったものと見なければなりません。年
齢も十六七以上、一通り学問をしてその学問を家政なり、何なり日常處
世の上に應用がして行けるはずでありますが、實際に就て見ますると
種々遣憾の點があるやうです。まず何よりも原書の讀書力に乞しいのは
意外でありました。それで授ける読本は難しいのかといふのに、決して
さう難しい書物ではありません。」(一四九)

“seperti yang diketahui dalam sekolah saya (Joshi Eigaku Juku) yang dapat
mendaftar adalah anak perempuan yang telah lulus sekolah menengah atas,
yang telah menyelesaikan pendidikan umum untuk anak perempuan. Yang
berusia 16-17 tahun, yang pada umumnya dapat menggunakan ilmu nya untuk
mengurus rumah, dan kehidupan sehari hari namun, ketika saya (Tsuda
Umeko) melihat kembali, terdapat beberapa kesalahan. Yang pertama, saya
terkejut bahwa betapa kurangnya kemampuan dalam membaca bacaan.
Meskipun disebut sebagai bukuk bacaan yang sulit, namun itu bukanlah buku
yang sulit” (Hal. 149)

Kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah Meiji yang hanya memfokuskan


pendidikan untuk menjadi seorang Ryousai Kenbo daripada pendidikan akademis
untuk perempuan, dan menempatkan perempuan pada posisi kedua atau sekunder
dalam masyarakat itu lah yang menjadi alasan Tsuda Umeko mendirikan Joshi Eigaku
Juku pada tahun 1900. Tsuda Umeko sendiri percaya bahwa tanpa partisipasi
perempuan dalam setiap fase masyarakat, masyarakat tersebut tak dapat dianggap
sebagai masyarakat yang benar dan beradab. Tsuda Umeko berencana untuk
meningkatkan rasa tanggung jawab secara sosial dan mandiri secara ekonomi dan
psikologis dalam diri perempuan Jepang. Dengan kata lain, ia bertujuan untuk
mendidik perempuan dengan cara mereka akan “berpikir dan bertindak atas inisiatif
mereka sendiri.

4.3 Model Pengajaran Tsuda Umeko dalam Joshi Eigaku Juku

Kunci dalam pengajaran yang Tsuda Umeko lakukan di Joshi Eigaku Juku
adalah pengajaran mengenai pemikiran, ide ide dan sudut pandang Barat melalui
pelajaran bahasa dan sastra Inggris.2 Tsuda Umeko sebelumnya menyadari bahwa
kurang nya rasa kemandirian dalam diri para pelajar perempuan Jepang zaman Meiji,
pernyataan tersebut Tsuda Umeko sendiri ucapkan pada kutipan dibawah ini ;

「...どうも今日の女学生には兎角、自主獨立というこころに乏しいであ
ります。」(一五○)

“Ternyata, mahasiswi zaman sekarang (zaman Meiji) sekarang, intinya kurang


memiliki semangat kemandirian” (Hal. 150)

Oleh karena itu Tsuda Umeko berpikir bahwa perlu untuk melatih rasa
kemandirian tersebut terlebih dahulu. Dalam pengajarannya Tsuda Umeko selalu
mengingatkan untuk selalu melakukan riset atau pemecahan masalah dan membuat
keputusan dengan diri sendiri. Hal tersebut dimaksudkan agar para siswi-siswi nya
mengerti bahwa kemandirian dan rasa tanggung jawab akan mulai muncul setelah
mereka membuat penilaian sendiri dan mempraktekkannya. Rasa kemandirian sendiri
tidak akan muncul apabila sama sekali tak pernah memulai untuk mencoba
memecahkan masalah ringan ataupun berat secara mandiri. Hal tersebut sesuai dengan
pernyataan Tsuda Umeko dalam kutipan data sebagai berikut;
そのこわたし

「是では實に仕方がない、其故私は生徒に向かって常々斯う申して居り
ます。何事も自分で研究してごらんなさい、研究して見て自分で難問を
解しするやうになさい。これは強ち読書のみに限りません。何事も自分
で勇気を起し、難しいことでもわからないことでも何でも自分が主に成
てする気でなければ決して物は上達しません。」(一五○)

“dengan begini, tidak ada cara lain, jadi saya selalu mengingatkan para siswi
untuk mempelajari semuanya secara mandiri dengan melakukan riset dan
menyelesaikan masalah masalah yang sulit. Ini tidak hanya berlaku pada
bacaan yang sulit. Hal tersebut akan membentuk keberanian dan segalanya
tidak akan bisa berubah, kecuali anda tidak ingin atau bersedia melakukan
apapun yang sulit atau sesuatu yang tidak jelas.” (Hal. 150)

Pengulangan materi dalam sistem belajar mengajar merupakan sebuah ketidak


efektifan. Dalam kegiatan belajar mengajar yang Tsuda Umeko lakukan di Joshi
Eigaku Juku, ia selalu meminta kepada para siswinya untuk mempersiapkan atau
mempelajari materi yang akan diajarkan terlebih dahulu. Hal itu dilakukan Tsuda
Umeko untuk memperdalam pemikiran para siswi mengenai materi yang akan dibahas
nantinya dalam kelas. Selain hal tersebut, untuk menumbuhkan sikap kemandirian
dalam diri para siswi, Tsuda Umeko hanya memberikan sebuah penanda pada hasil
pekerjaan atau jawaban para siswi yang keliru dan tanpa menjelaskan bagian apa yang
keliru dalam pekerjaan atau jawaban mereka. Dengan metode tersebut Tsuda Umeko
mengharapkan para siswi nya agar membaca ulang materi dengan cermat dan mencari
2
“Through Americanied Japanese Woman’s Eyes : Tsuda Umeko and the Women’s Movement in
Japan in the1910s” oleh Takeo Shibahara, dalam Journal of Asia Pacific Studies (2010) Vol.1 No. 2.
Hal. 225-234
jawaban mereka sendiri, dengan begitu mereka akan mencari lebih banyak informasi
atau bahan bahan pelajaran lain lebih banyak yang dapat mendukung jawaban mereka.
Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam kutipan data di bawah ini ;

「私の考では今日学生に物を教ゆるにしても、一度教えて忘れた處があ
れば、再度教える、また忘れたところがあればまた教えるといふやうな
教授法では中々その成効が覚束ないと思います。まず書物で言えば一度
教えた處はニ度教えない、よく熟読させて見て、どうしても解らなかっ
たならば、そのときは教えやう。また作文にしても間違った處があれば
め っ た てん せつめい

ただ印をつけて置くだけで、 滅多に間違いの 點を 説明して聞かさな


い。」(一五一)

“menurut pemikiran saya, zaman sekarang mengajar para siswi, apabila telah
diajarkan sekali, kemudian diajarkan kembali dan kembali diajarkan apabila
lupa, menurut saya hal tersebut merupakan pembelajaran yang tidak efektif.
Pertama-tama, contohnya dalam sebuah buku bacaan yang telah diajarkan
sekali,saya tidak akan mengajarkan untuk kedua kalinya, cobalah untuk baca
kembali dengan cermat, barulah akan saya ajarkan apabila memang benar
benar tidak paham. Dan apabila terdapat kesalahan dalam kalimat yang
keliru, saya hanya memberikan sebuah tanda dan jarang menjelaskan bagian
yang keliru” (Hal. 151)

Dengan cara tersebut para siswi akan lebih waspada pada masalah-masalah
yang akan datang berikut nya dan memperbanyak riset dan atau membaca materi-
materi lainnya, sehingga pendalaman materi para siswi pun akan semakin dalam dan
semakin luas, dengan cara tersebut mereka dapat menjelaskan secara detail kesalahan
dan hasil jawaban yang mereka temukan. Apabila mereka (para siswi) masih belum
dapat menemukan jawaban yang benar, meskipun mereka telah dengan cermat
membaca materi kembali dan mencari jawaban sendiri, barulah Tsuda Umeko akan
mengulang kembali penjelasan mengenai materi tersebut dan menjelaskan jawaban
yang benar pada para siswi nya. Itulah alasan Tsuda Umeko untuk menumbuhkan rasa
mandiri pada diri para siswi. Hal tersebut Tsuda Umeko jelaskan sendiri dalam
kutipan data di bawah ini;

「再三再四自分で研究して熟考して来た上で愈々解らねば、その時始め
てその理由を説明して聞かす位にして置くのであります。斯様にすれば
自分の発明心をやうせいし、事物に向かって注意力を熾んにするやうに
なりませう。即ち学生の自筥心を養い独立心を養う所以でありませ
う。」(一五一)

“ Jika tidak memahaminya setelah mempelajari dan merenungkannya sendiri,


maka anda dapat menjelaskan alasannya (alasan mengapa tak paham) dan
bertanya. Dengan cara ini, anda akan berkecil hati atas penemuan anda sendiri
dan akan waspada terhadap berbagai hal. Dengan kata lain, itu adalah alasan
untuk menumbuhkan kemandirian diri mereka sendiri (siswi)” (Hal. 151)
Tujuan Tsuda Umeko selain untuk membentuk sebuah rasa kemandirian dalam
diri perempuan Jepang adalah untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab. Sesuai
dalam kata pengantar buku berjudul “Onna Gakusei no Shiori” karya Matsubara
Iwagoro 3yang penulis pilih untuk menjadi data penelitian, diketahui bahwa
Matsubara Iwagoro sendiri menjelaskan apa sebenarnya tujuan dari pendidikan bagi
perempuan. Tujuan pendidikan untuk perempuan bukanlah untuk menjadi seorang
permpuan yang maha tau, menjadi seorang sarjana ataupun seorang guru. Sudah
menjadi hal umum bahwa apabila perempuan yang nantinya menikah akan menjadi
seorang istri, sudah sewajarnya apabila seorang perempuan melahirkan anak akan
menjadi seorang ibu. Masyarakat jepang zaman Meiji berpikir bahwa hal seperti itu
tak memerlukan sebuah pendidikan, namun pemikiran seperti itu adalah kesalahan.

Sebagai seorang istri dan seorang ibu, haruslah memiliki tanggung jawab yang
baik dalam mengurus persoalan rumah tangga dan tanggung jawab mendidik anak.
Sebuah keluarga merupakan dasar dari sebuah negara. Apabila keluarga tersebut
tertata, sehat dan harmonis, hal tersebut juga merupakan sebuah cerminan dari sebuah
negara. Dengan dasar tersebut peran seorang perempuan, istri atau seorang ibu dalam
rumah tangga merupakan kunci utama. oleh karena itu, untuk memenuhi tugas tugas
dan tanggung jawab sebagai seorang istri dan seorang ibu, Tidaklah cukup apabila
hanya mempelajari yang berhubungan dengan persoalan rumah tangga dan menjadi
seorang dengan sebutan Ryousai Kenbo, namun juga perlu untuk mempelajari mata
pelajaran-mata pelajaran akademis guna untuk memperbanyak ilmu pengetahuan dan
mengasah daya pikir.

Dalam Joshi Eigaku Juku sendiri, Tsuda Umeko menerapkan sistem keluarga
dan menggunakan prinsip Houninshugi (放任主義) atau dapat disebut sebagai prinsip
liberalisme. Prinsip Houninshugi atau liberalisme ini adalah prinsip dimana seluruh
kegiatan seseorang di lakukan berdasarkan kemauan atau kebebasan orang tersebut.
Penggunaan prinsip ini dimaksudkan untuk melatih rasa tanggung jawab seorang
perempuan apabila mereka sudah mulai berbaur dengan masyarakat umum yang luas
dan juga untuk melatih perempuan dalam menentukan pilihan atau jalan mereka
sendiri. Meskipun menggunakan prinsip yang didasarkan pada kebebasan tiap orang,
dalam Joshi Eigaku Juku milik Tsuda Umeko tetap menatapkan beberapa aturan, yang
mana akan tetap menjaga ketertiban dalam belajar. Meskipun menggunakan prinsip
yang berdasar dari kebebasan individu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
Tsuda Umeko sendiri menjelaskan bahwa kesadaran untuk melakukan semuanya
secara mandiri terdapat pada prinsip kebebasan diri sendiri. Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan data, seperti di bawah ini;

「これは家族的でありましてその主義は全く放任主義しかし放任主義と
申しても決して気儘放題にして置くというのではありません。その
ほうにんしゅぎ じきょどくりつ せいしん かご い

放任主義の中には自筥獨立の精神が籠つて居ます。」(一五ニ)

3
Matsubara Iwagoro (1866-1935) adalah seorang jurnalis terkenal Jepang pada zaman Meiji, dengan
karyanya yang terkenal berjudul “The Darkest Tokyo” (1893)
“ini adalah sistem keluarga yang semuanya dilaksanakan dengan prinsip
kebebasan diri sendiri, namun meskipun begitu tidak berarti benar benar
dibiarkan apa adanya. Kesadaran melakukan sebuah kemandirian terdapat
pada prinsip kebebasan dari diri sendiri” (Hal. 152)

Sebuah aturan sudah menjadi hal umum pada setiap lembaga pendidikan,
termasuk dalam Joshi Eigaku Juku milik Tsuda Umeko. Sudah tentu yang disebut
aturan dalam lingkungan sekolah harus dipatuhi dan menjadi sebuah tanggung jawab
bagi setiap penghuni sekolah. Dalam Joshi Eigaku Juku milik Tsuda Umeko sendiri,
selain peraturan-peraturan umum dalam sekolah, terdapat peraturan yang mengatur
mengenai jam tidur dan bangun. Dalam penerapannya, Tsuda Umeko tidak pernah
selalu mengingatkan untuk selalu mematuhi semua peraturan yang ada, namun Tsuda
Umeko ingin para siswi nya mematuhi dan melaksanakan peraturan-peraturan
tersebut dengan semangat dari sebuah rasa kemandirian. Hal tersebut Tsuda Umeko
jelaskan dalam kutipan data seperti berikut ;

「成程私の塾には規則と申してもただ何時に寝る、起きるというだけで 、
その他に之を守れ、これを行えというやうな命令的の事は更に申さない
が、その代わり、何事も自筥獨立の精神を籠めて遣つて貰いたい。」
(一五ニ)

“bahkan jika saya (Tsuda Umeko) mengatakan peraturan di sekolah ku (Joshi


Eigaku Juku), itu hanya waktu tidur dan waktu bangun. Saya tidak akan
mengatakan untuk melakukan dan mentaati perintah ini, namun sebaliknya
lakukan segalanya dengan semangat kemandirian.” (Hal. 152)

Dengan kesadaran dan rasa kemandirian tersebut Tsuda Umeko ingin para siswi
nya mengetahui bahwa sekolah merupakan rumah dan juga bagian dari keluarga
mereka, maka setiap siswi harus bertanggung jawab sebagai pelajar dan sebagai
bagian dari keluarga. Tsuda Umeko menjelaskan bahwa tujuan sebuah aturan adalah
membentuk suasana nyaman dan tertata. Hal tersebut tentunya harus didasari dari
sikap tanggung jawab tiap individu pada peraturan-peraturan yang ada. Bukanlah
sebuah masalah untuk melakukan peraturan tersebut, namun Tsuda Umeko sendri
tidak mengerti bagaimana orang orang menganggap bagian dari sebuah kenyaman
aturan sebagai sebuah perintah dan seringkali terdapat suasana untuk mengabaikan
peraturan- peraturan tersebut. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam kutipan data
seperti dibawah ini ;

「一體多数の人が集まって一家を組織すれば自然の勢として多数人の便
宜という事を心掛ねばなりません、多数に都合の宜しいとやうにという
しごくけっこう

のが畢竟規則の精神目的であります。それを守って行くのは 至極結構で
む み か ん そ う

ありますが、如何せん無味乾燥なる一片の規則では銘々の好都合が解ら
おうおう

ず、ただ、他人から命令された事のやうに思われて、 往々その規則を
こつしょ

忽諸にするの風がある。」(一五ニ)
“jika sejumlah orang berkumpul dan membentuk sebuah kelompok keluarga,
kita harus ingat untuk membentuk suasana nyaman untuk orang lain, hal itulah
tujuan dari sebuah aturan. Bukanlah masalah untuk mentaati peraturan
tersebut, namun yang saya tidak pahami adalah bagaimana kenyamanan dari
sebuah peraturan menjadi tidak berarti, hanya, orang lain menganggap bahwa
peraturan sama halnya dengan perintah, yang mana seringkali terdapat
suasana untuk mengabaikan peraturan tersebut.” (Hal. 152)

Persepsi yang salah atas tujuan dibuatnya sebuah aturan seperti yang dijelaskan
pada sebelumnya, membuat perempuan-perempuan Jepang kurang akan rasa
tanggung jawab yang dikandung dalam diri mereka sendiri. Hal tersebut Tsuda
Umeko nilai sebagai salah satu faktor melemahnya rasa kemandirian dalam diri
perempuan-perempuan Jepang. Menurut Tsuda Umeko alasan dari faktor
melemahnya rasa kemandirian tersebut adalah karena banyaknya permintaan dan juga
tidak adanya kemauan keras dalam tiap usaha yang dilakukan perempuan-perempuan
Jepang. Berlatar belakang dengan alasan-alasan tersebut, Tsuda Umeko ingin
menekankan lebih pembentukan rasa tanggung jawab dalam diri perempuan-
perempuan Jepang. Penilaian Tsuda Umeko mengenai hal tersebut terdapat dalam
data penelitian seperti di bawah ini ;
はくじゃく したが

「それが第一自筥獨立の念を 薄 弱にするの原因で、 随 って日本婦人の


じゃくてん

大なる 弱 点であらうと思います。責任という事に重を置きたいのもこ
いらいしん ま た い し きょうこ

れが為め、依頼心が多いのも是が為め、 又意志の強固でないというのも
是が為めであらうと思います。」(一五三)

“menurut saya, hal tersebut merupakan salah satu faktor dari melemahnya rasa
kemandirian dan hal tersebut akan menjadi kelemahan besar perempuan-
perempuan Jepang. Menurut saya, banyak nya permintaan dan tidak adanya
kemauan keras merupakan alasan saya sangat ingin mengutamakan sebuah
tanggung jawab” (Hal. 153)

Dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dengan melaksanakan


dan menaati peraturan-peraturan yang ada, para siswi akan memahami kenyamanan
kehidupan sosial bersama. Dengan sepert itu, para siswi dapat menemukan sendiri
alasan, mengapa hal ini buruk dan mengapa hal ini baik. Dengan adanya aturan,
Tsuda Umeko menjelaskan selain untuk menahan diri, adanya sebuah aturan juga
untuk memperingatkan diri sendiri agar menekan diri sendiri untuk tidak menganggu
kehidupan sosial dengan masyarakat luas. Pernyataan Tsuda Umeko tersebut dapat
dilihat dalam kutipan sebagai berikut;
こんぼん かくこじん

「其故私の塾ではこの規則の精神、規則の 根本へ立ち帰って、格個人の
りょうかい ほうしん と い

都合という所を十分に 了 解せしむるという 方針を 取って 居るのであり


か よ う

ます。斯様すれば悪い、何故に悪いかという點を自分の心に問はせて見
なるほど よ

て、自分でその理由を発明し、成程これは善い、悪いという處を自分に
えんりょ よくせい

合點せしむる。斯様にして自ら 遠慮をし、また、自分から 抑制をして


きょうどうせいかつ ぼうがい

共同生活の 妨害にならぬやうにと注意をしてくるのである。」(一五
三)

“oleh karena itu, di sekolah saya (Joshi Eigaku Juku) menetapkan sebuah
aturan, kembali ke dasar sebuah aturan sendiri, akan membuat kita memahami
sebuah kenyaman. Apabila melakukan hal tersebut, anda akan menemukan
sendri alasan mengapa hal ini buruk dan mengapa hal ini baik. Dengan
melakukan hal tersebut, selain untuk menahan diri, namun juga anda akan
memperingatkan diri anda sendiri untuk tidak melakukan kesalahan dalam
kehidupan sosial dengan yang lainnya.” (Hal. 153)

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam model


pendidikan perempuan yang diupayakan dalam Sekolah Tinggi Bahasa Inggris
Khusus Perempuan atau Joshi Eigaku Juku yang didirikan oleh Tsuda Umeko pada
tahun 1900, ditujukan untuk mengasah dan membentuk rasa kemandirian dan rasa
tanggung jawab dalam diri perempuan Jepang. Melalui titik fokus pembelajaran
dengan mempelajari bahasa dan sastra Inggris, selain untuk membentuk rasa
kemandirian dan tanggung jawab, Tsuda Umeko mengharapkan perempuan-
perempuan jepang dapat memahami ide-ide dan sudut pandang pemikiran Barat.

Anda mungkin juga menyukai