Anda di halaman 1dari 16

1

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Akibat Hukum Terhadap Penjaminan yang Dilakukan oleh PT. PII
Dalam Keadaan Kahar Menurut Asas Pengendalian Dan Pengelolaan
Risiko
Jenis-jenis penjaminan di Indonesia ada 2 (dua), yaitu Jaminan Umum dan
Jaminan Khusus. Jaminan Khusus dibedakan lagi menjadi 2 (dua) yaitu Jaminan
Perorangan (Borgtoch) dan Jaminan Kebendaan (benda bergerak dan benda tidak
bergerak). Borgtocht dalam bahasa Indonesia disebut penjaminan atau
penanggungan. Orangnya disebut borg atau penjamin atau penanggung.1 Pada
umumnya penanggungan itu dapat timbul untuk menjamin perutangan yang
timbul dari segala macam hubungan hukum. Lazimnya hubungan hukum yang
bersifat keperdataan, namun dimungkinkan juga bahwa penanggungan diberikan
untuk menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang
bersifat hukum publik.2 Hermansyah di dalam bukunya mengemukakan bahwa
jaminan perorangan atau jaminan pribadi adalah jaminan seorang pihak ketiga
yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban- kewajiban dari debitur.
Dalam pengertian lain dikatakan bahwa jaminan perseorangan adalah suatu
perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang pihak ketiga, yang
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitur).3

Pengaturan hukum penanggungan di Indoensia diatur dalam Buku 3 Bab


17 Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 BW. Berdasarkan Pasal 1820 BW,
penanggungan adalah suatuu perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga, guna
kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si
berpiutang manakala orang ini sendiri tidak bisa memenuhinya. Pada prinsipnya
penanggung utang tidak memiliki kewajiban membayar utang debitur kepada
1
Trisadini Prasastinah Usanti dan Leonora Bakarbessy, Buku Referensi Hukum Perbankan
Hukum Jaminan, Revka Petra Media, Surabaya, 2016, h. 139.
2
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 2003, h. 80.
3
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Prenada Media Group, Jakarta,
2014, h. 74.
2

kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar utangnya. 4 Kedudukan penanggung


perorangan selaku penanggung utang debitur memiliki kewajiban dalam
memenuhi pembayaran utang milik debitur manakala debitur tidak mampu
melunasi utangnya. Dengan adanya perjanjian penanggungan antara kreditur
dengan penanggungan, maka lahirlah akibat-akibat hukum yang berupa hak-hak
dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus diperhatikan baik oleh si
penanggung maupun oleh si kreditur. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan
berpendapat bahwa hak yang diberikan oleh undang-undang kepada penanggung
adalah hak untuk mendapatkan perlindungan bagi penanggung terhadap
perlakuan/tindakan dari kreditur yang memberatkan penanggung.5 Pembayaran
yang telah dilakukan penanggung atas apa yang terutang oleh debitor utama
terhadap kreditor, membuat penanggung mempunyai hak untuk menuntut kembali
dari debitor utama.6 Hak untuk menuntut pembayaran kembali dari debitor utama
disebut dengan hak regres.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja
Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur,
Pemerintah dapat memberikan penjaminan terhadap KPBU. Penjaminan
Pemerintah tersebut diberikan dalam bentuk Penjaminan Infrastruktur yang
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang
Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan
Usaha yang dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. PT.
Penjamin Infrastruktur Indoenesia atau PT. PII selaku Badan Usaha Penjaminan
Infrastruktur dibentuk sebagai salah satu upaya Pemerintah untuk mendukung
pembangunan infrastruktur di Indonesia, melalui penyediaan jaminan yang
dilakukan dengan proses yang akuntabel, transparan dan kredibel. 7 Penjaminan
PT. PII dimaksudkan untuk menjamin risiko politik dari pemerintah baik pusat
4
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017,
(selanjutnya disebut Salim HS II) h. 220.
5
Ibid.
6
J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Tentang Perjanjian Penanggungan
Dan Perikatan Tanggung Menanggung, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 53.
7
https://ptpii.co.id/penjaminan-pemerintah#:~:text=Penjaminan%20PT%20PII
%20dimaksudkan%20untuk,kenyamanan%20bagi%20investor%20dalam%20berinvestasi,
dikunjungi pada 23 September 2022, pukul 22.06 WIB.
3

maupun daerah selaku penanggung jawab proyek kerjasama atau PJPK untuk
memberikan kepastian dan kenyamanan bagi investor dalam berinvestasi.
Kehadiran PT. PII sebagai BUPI juga berfungsi untuk mendorong masuknya
pendanaan dari swasta untuk membangun infrastruktur di Indonesia dengan aman
karena memiliki perlindungan hukum dari ketidakmampuan PJPK untuk
membayar.
Salah satu asas dalam KPBU menurut Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor
38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur adalah pengendalian dan pengelolaan risiko, yakni kerja
sama Penyedia Infrastruktur dilakukan dengan penilaian risiko, pengembangan
srtategi pengelolaan, dan mitigasi terhadap risiko. Risiko yang dimaksud dalam
hal ini adalah Risiko Infrastruktur dan Risiko Fiskal. Penjaminan infrastruktur
diberikan terhadap pembayaran kewajiban finansial PJPK, yaitu kewajiban untuk
membayar kompensasi finansial kepada badan usaha atas terjadinya risiko
infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pihak PJPK sesuai dengan alokasi
risiko sebagaimana disepakati dalam perjanjian kerja sama. Risiko Infrastruktur
adalah peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek KPBU selama
berlakunya perjanjian KPBU yang dapat memengaruhi secara negatif investasi
badan usaha, yang meliputi ekuitas dan pinjaman dari pihak ketiga. 8 Risiko Fiskal
dalam Nota keuangan dan APBN Tahun 2017, diartikan sebagai segala sesuatu
yang dimasa mendatang dapat menimbulkan tekanan fiscal terhadap APBN.
Sumber-sumber risiko fiscal dalam APBN Tahun 2017, meliputi :9
1) Risiko asumsi dasar ekonomi makro;
2) Risiko pendapatan negara;
3) Risiko belanja negara;
4) Risiko pembiayaan;
5) Risiko fiskal tertentu.

8
https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/74-221/umum/kajian-opini-publik/mewaspadai-risiko-
fiskal-dari-perjanjian-kpbu, dilansir pada 24 September 2022, pukul 07.18 WIB.
9
https://www.djppr.kemenkeu.go.id/uploads/files/dmodata/in/6Publikasi/Pengungkapan
%20Risiko%20Fiskal%202018.pdf, dilansir pada 24 September 2022, pukul 07.33 WIB.
4

Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menetapkan
bahwa” segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya” Jaminan dalam perspektif yuridis
dimaknai sebagai salah satu upaya untuk memberikan kepastian hukum kepada
kreditor (pihak yang berhak) bahwa debitor (pihak yang memiliki kewajiban) akan
melaksanakan kewajibannya. Jaminan merupakan hal yang penting dalam
membuat dan melaksanakan perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam
uang, serta guna melindungi kepentingan para pihak khususnya kreditur (yang
meminjamkan). Djuhaendah Hasan mengatakan bahwasanya fungsi jaminan
secara yuridis adalah kepastian hukum pelunas hutang di dalam perjanjian kredit
atau dalam hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu
perjanjian. Kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian
hukum ini adalah dengan mengikat perjanjian jaminan melalui lembaga-lembaga
jaminan.10

Hukum penjaminan merupakan terjemahan dari Security of law, zakerheidsteeling,


atau zekerheidsrechten. Dalam seminar hukum jaminan yang diselenggarakan
oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman bekerjasama
dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, pada tanggal 9-11 Oktober
1978 di Yogyakarta, disepakati bahwa jaminan kebendaan meliputi utang-piutang
yang diistimewakan, gadai, dan hipotek, sedangkan jaminan perorangan yatitu
penanggungan utang (borgtocht).11 Dalam praktik, jaminan seringkali diartikan
sempit, yaitu adanya hubungan kontraktual yang secara khusus dibuat oleh para
pihak untuk memastikan bahwa debitor akan melaksanakan kewajibannya, dan

10
Djuhaenda Hasan, 1998, Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, Proyek Elips dan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 68.

11
Keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman Bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, tanggal 9-11 Oktober 1978, Yogyakarta.
5

apabila tidak terlaksana, maka jaminan yang telah disepakati berfungsi untuk
memastikan bahwa kreditor memperoleh apa yang menjadi haknya. Jaminan
dalam arti sempit ini dapat diartikan baik jaminan perorangan
(penanggungan/borgtocht) maupun jaminan kebendaan. Esensi dari jaminan
perorangan adalah kesanggupan pihak ketiga (perorangan, korporasi, dan bank)
yang dituangkan dalam suatu perjanjian untuk melakukan kewajiban apabila
debitor tidak melakukan kewajibannya. Hak kreditor terhadap pemenuhan
kewajiban ini bersifat persoonlijk, artinya hak tersebut hanya dapat dituntut pada
pihak tertentu, yaitu penjamin atau penanggung. Mirip dengan jaminan
perorangan, dalam jaminan korporasi yang bertindak sebagai penjamin adalah
perusahaan. Lazimnya, jaminan korporasi ini diberikan karena ada kepentingan
antara perusahaan sebagai penjamin dan yang dijamin.12

Mariam Darus merumuskan Jaminan sebagai suatu tanggungan yang diberikan


oleh seorang debitur dan/atau pihak ketiga kepada kreditur untuk menjamin

kewajibannya dalam suatu perikatan.13 Hal yang sama dikemukakan oleh Hartono
Hadisaputro, yang menyatakan jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur
kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memnuhi
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.

Sesuai dengan perumusan mengenai pengertian jaminan diatas maka dapat


disimpulkan, jaminan itu merupakan suatu pertanggungan atas pinjaman fasilitas
kredit yang diberikan debitur kepada kreditur hingga pinjaman tersebut lunas
dibayar. Jaminan itu dapat berupa kebendaan dan perorangan dan apabila debitur
tersebut wanprestasi maka jaminan yang berupa kebendaan tersebut dapat dinilai
dengan uang sedangkan jaminan perorangan wajib mempertanggungjawabkan

12
Lastuti Abubakar, Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Obyek Jaminan (Gagasan
Pembaharuan Hukum Jaminan Nasional), Buletin Hukum Kebanksentralan, Volume 12, Nomor 1,
Januari-Juni 2015, hlm 2.

13
Mariam Darus Badrulzaman, 2000, Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis
volume 11, hlm 12.
6

pinjaman tersebut. Dengan kata lain, dapat dikatakan jaminan berfungsi sebagai
sarana pemenuhan utang.

Penjamin adalah pihak ketiga yang bukan merupakan debitur, bias saja orang
perorangan atau korporasi yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
dengan mengadakan perjanjian dengan pihak kreditur agar menjadi penjamin
dalam pelunasan hutang debitur kepada kreditur apabila debitur tersebut
melakukan wanprestasi.14Tujuan adanya penjamin adalah untuk menjamin agar
hutang yang telah diberikan kreditur kepada debitur dapat terjamin
pengembaliannya. Penjamin itu biasanya disebut juga dengan personal guarantee
atau jaminan perorangan.

Mengenai pengertian penanggung ditegaskan dalam Pasal 1820 KUHPerdata,


yang menyatakan bahwa: “Penanggung adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang pihak ketiga, guna kepentingan siberutang, mengikatkan diri untuk
memenuhi perikatannya siberutang manakala orang ini sendiri tidak
memenuhinya. ”Subekti mengartikan Jaminan Perorangan adalah: “Suatu
perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seseorang ketiga, yang
menjamin dipenuhinya kewajiban siberhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan
diluar (tanpa) siberhutang tersebut.”15

Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada


perseorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitor, terhadap harta
kekayaan debitor umumnya, jaminan perorangan dalam buku III Kitab Undang-
undang Hukum Perdata ini digolongkan menjadi 2, yaitu:

14
Tarsisius Muwaji, 2016, Paradigma Baru Hukum Jaminan: Penjaminan Hak Pengelolaan
Daratan Perairan Kepulauan Melalui Digitalisasi dan e cash collateral, Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 3 Nomor 2, Tahun 2016, hlm 219.

15
R. Subekti, 1996, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak
Tanggungan Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 17.
7

1. Penanggug hutang (Borgtocht) Pasal 1820 KUH Perdata, yaitu suatu


perjanjian dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan
siberhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan siber hutang
manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.
2. Penjamin Garansi/indemnity (Surety Ship) Pasal 1316 KUHPerdata, yang
berbunyi meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung
atau menjamin seseorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang
ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran
gantirugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga itu atau yang
telah berjanji, untuk menyuruh pihak ketiga tersebut menguatkan sesuatu
jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.

Secara hukum jaminan berfungsi untuk memberikan perlindungan bagi


para kreditur yakni kepastian akan pelunasan utang debitur atau pelaksanaan suatu
prestasi oleh debitur atau penjamin debitur (pasal 1131 dab 1132
KUHPerdata).16Jaminan perorangan dalam buku II KUH Perdata yaitu perjanjian
penanggungan (borgtocht). Jaminan perorangan merupakan hak relative yaitu hak
yang hanya dapat dipertahankan kepada orang tertentu yang terikat oleh
perjanjian.

Jaminan perorangan timbul karena perjanjian antara kreditur dengan pihak


ketiga yang diadakan untuk kepentingan debitur. Dalam perjanjian tersebut pihak-
pihak ketiga menjamin dipenuhinya kewajiban debitur. Dalam jaminan
perorangan, tidakada benda tertentu yang diikat dalam perjanjian, akan tetapi
kesanggupan pihak ketiga untuk memneuhi kewajiban debitur. Dalam jaminan
perorangan berlaku ketengtuan pasal 1131- 1132 KUH Perdata. Penjaminan
infrastruktur merupakan suatu langkah yang diambil oleh pemerintah untuk
memenuhi keinginan para penyedia jasa konstruksi yang membutuhkan modal

16
Lastuti Abubakar, 2003, Materi Bimbingan USM MKN Tahun 2003 (Hukum Perdata),
Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm 16
8

lebih besar, serta memberikan kesempatan yang lebih baik dalam hal pelaksanaan
proyek konstruksi.

Pada tahun 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden (PP) Nomor 67 Tahun


2005 tentang “Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha dalam Penyediaan
Infrastruktur”, kemudian dikeluarkan lagi Peraturan Presiden (PP) Nomor 13
Tahun 2010 pada bulan Januari 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 67 Tahun 2005 tentang “Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
Penyediaan Infrastruktur”. Berdasarakan Peraturan Presiden yang ada tentang
Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, pada
tanggal 11 Mei Menteri Keuangan meresmikan operasionalisasi PT. Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII), atau Indonesia Infrastructure
Guarantee Fund (IIGF), sebuah institusi penting yang dirancang untuk
mendukung pengembangan proyek-proyek Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)
atau Public Private Partnership (PPP) infrastruktur di Indonesia. Perusahaan yang
telah memperoleh pengesahan Badan Hukum dari Menkumham pada 27 Januari
2010 tersebut telah siap beroperasi penuh untuk menyediakan penjaminan
terhadap proyek-proyek infrastruktur dengan skema KPS sebagaimana diatur
dalam Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 yang telah diamandemen dengan
Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010.17

Penjaminan infrastruktur adalah pemberian jaminan atas kewajiban finansial PJPK


untuk membayar kompensasi kepada badan usaha saat terjadi risiko infrastruktur –
sesuai dengan alokasi yang disepakati dalam perjanjian KPBU–yang menjadi
tanggungjawab PJPK. Penjaminan infrastruktur dilaksanakan oleh PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (PT PII) sebagai single window policy. Apabila cakupan
kebutuhan penjaminan melewati kapasitas modal PT PII, maka akan dilakukan
penjaminan Bersama antara Kementerian Keuangan dengan PT PII. Dalam
menstruktur penjaminan, PT PII memiliki akses penjaminan dari: 1) Modal PT

17
Antara News.com 12 Mei 2010, Menkeu Resmikan PT Penjaminan Infrastruktur
Indonesia (Persero), diunduh pada tanggal 9 Januari 2019.
9

PII; 2) Lembaga Pembangunan Multilateral seperti Bank Dunia atau institusi


terkait lainnya; 3) Pemerintah Indonesia, sebagai penjamin Bersama.

Salah satu yang menjadi faktor PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII)
sebagai penjamin dalam kesanggupannya untuk memneuhi kewajiban PPJK
sebagai debitur adalah timbul terjadinya keadaan memaksa atau force majeur.
Force Majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa”
merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan
prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya
kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debituur sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad
buruk.18 Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak
wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat
menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus.

Pada dasarnya, pengaturan mengenai force majeure diatur pada ketentuan


Pasal 1244 BW dan 1245 BW. Pembuat undang-undang dalam Pasal 1244 BW
memberikan ketentuan tentang adanya kerugian karena tidak dilaksanakannya
atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan, yang terjadi
disebabkan oleh “hal yang tidak terduga, pun tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya”. Sedangkan Pasal 1245 BW berbicara tentang kerugian yang
timbul karena berhalangannya debitur untuk memberikan atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan oleh karena adanya “keadaan memaksa” atau lantaran suatu
“keadaan yang tidak disengaja”.19 Selanjutnya, menurut V. Brekel yang
pendapatnya dikutip oleh J. Satrio dalam bukunya menyatakan bahwa akibat dari
overmacht tersebut adalah “kewajiban prestasi” debitur menjadi hapus dan
konsekuensinya lebih lanjut adalah bahwa debitur tidaklah memiliki kewajiban
untuk mengganti kerugian kreditur yang diakibatkan oleh adanya hal tersebut.20

18
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 160
19
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999,
(selanjutnya disebut J. Satrio I) h. 249.
20
Ibid.,
1
0

Dari ketentuan mengenai force majeure dalam KUH Perdata dapat dilihat
bahwa dua pasal ini terdapat dalam bagian yang mengatur tentang ganti rugi.
Dasar pikiran pembuat undang-undang ialah keadaan memaksa merupakan suatu
alasan bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian untuk
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.21 Ketentuan ini memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, rugi, dan
bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada diluar
kekuasaanya.22 Sehingga debitur wajib membuktikan bahwa terjadinya
wanprestasi karena keadaan memaksa.

Keberadaan perjanjian penanggungan (borgtocht) menimbulkan suatu


konsekuensi hukum bahwa penanggung wajib untuk melakukan pemenuhan
prestasi dari debitur manakala tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagaimana
telah disepakati pada perjanjian kredit. Terutama dalam hal terkait dengan
Perjanjian Penanggungan yang di dalamnya tidak mengatur mengenai
konsekuensi hukum apabila selama jangka waktu berjalannya perjanjian tersebut
yaitu saat terjadi force majeure yang bersifat temporer yang menyebabkan debitur
tidak dapat melakukan pemenuhan terhadap prestasi yang dimilikinya.

Sehubungan dengan force majeure yang bersifat temporer tersebut yang dialami
oleh debitur tersebut apakah secara mutlak mengalihkan tanggung jawab
pemenuhan prestasi debitur kepada penanggung. Tidak adanya pengaturan
mengenai force majeure dalam Perjanjian Penanggungan akan membawa
konsekuensi diantara para pihak yang saling mengikatkan dirinya dalam suatu
hubungan hukum dalam perjanjian penanggungan yakni berpotensi menimbulkan
sengketa di kemudian hari.

Jika didasarkan pada ketentuan Pasal 1244 dan Pasal 1245 BW, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa adanya force majeure berdampak pada pelaksanaan
suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang mengikatkan dirinya
21
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa cetakan ke XII, Jakarta 1990, h. 55
22
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
2017, (selanjutnya disebut Salim HS II) h. 101.
1
1

pada suatu perjanjian. Sehubungan dengan adanya force majeure yang dialami
para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian, Agus Yudha Hernoko di dalam
bukunya berpendapat bahwa peristiwa yang dikategorikan sebagai overmacht
membawa konsekuensi (akibat hukum) yaitu :23

a. Kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi,


b. Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai.
c. Debitur tidak wajib membayar ganti rugi.
d. Risiko tidak beralih kepada debitur.
e. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik
f. Perikatan dianggap gugur.

Force Majeure ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap salah

satu pihak yang dirugikan dalam perjanjian, dengan ketentuan telah terpenuhinya

syarat objektif dan/atau syarat subjektif suatu keadaan dapat digolongkan

sebagai force majeure.24

Perjanjian tersebut dapat ditentukan sendiri oleh para pihak.77 Berdasarkan

hal tersebut, pada dasarnya penerapan keadaan force majeure dapat didasarkan

pada perjanjian yang telah disepakati pada pihak. Jika dalam suatu perjanjian

penanggungan yang dibuat oleh para pihak tidak mengatur secara jelas mengenai

pemberlakuan force majuere, maka hal tersebut dapat dikembalikan pada

pengaturan di dalam BW.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1831 BW yang pada intinya mengatur bahwa

Penanggung tidaklah diwajibkan untuk melakukan pembayaran kepada kreditur

23 74
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 272

24
Agri Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum
Kontrak (Perjanjian) Indonesia”, E-Journal Veritas Et Justitia Universitas Katolik
Parahyangan Vol. 1 No. 1, 2015,
http://journal.unpar.ac.id/index.php/veritas/article/download/1420/1366, h. 155, Diakses pada
19 Agustus 2020
1
2

kecuali jika debitur telah dinyatakan lalai untuk melakukan pembayaran kepada

kreditur dan barang-barang dari debitur harus terlebih dahulu disita dan dijual

sebelum meminta pembayaran kepada penanggung. Mengacu pada ketentuan

Pasal 1238 BW mengatur bahwa debitur dapat dikatakan lalai apabila ia

berdasarkan surat perintah atau surat lainnya yang sejenis telah dinyatakan lalai

ataupun demi perikatannya sendiri debitur telah dianggap lalai dengan lewatnya

jangka waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan Pasal 1238 BW tersebut maka

seorang debitur barulah dapat dikatakan lalai apabila ia terlebih dahulu telah

mendapatkan peringatan melalui surat somasi atau surat lainnya yang sejenis

namun ia tetap melalaikannya ataupun jika berdasarkan perikatan yang telah

dibuatnya, debitur tersebut telah dianggap lalai untuk melakukan pembayaran

dalam waktu yang telah disepakati oleh para pihak.

Pada Perjanjian penanggungan, dapat dilihat bahwa sekalipun perjanjian

penanggungan kelihatannya hanya memberikan kewajiban-kewajiban bagi

penanggung karena penanggung mengikatkan diri untuk memenuhi

prestasi/utang untuk kepentingan kreditur, namun dalam hubungan hukum

tersebut juga menimbulkan hak-hak bagi penanggung.25

Salah satu hak yang dimiliki oleh penanggung dalam hubungan hukum

antara kreditur dengan penanggung dalam perjanjian penanggungan adalah hak

untuk mengajukan tangkisan. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan di dalam bukunya

menjelaskan secara lebih rinci bahwa hak untuk mengajukan tangkisan dari

penanggung itu lahir dari perjanjian penanggungan yang merupakan hak


25
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 2003, h. 91.
1
3

penanggung sendiri, di samping itu juga lahir karena sifat accessoir dari

perjanjian penanggungan, maka penanggung juga dapat mengajukan tangkisan-

tangkisan yang dipakai oleh debitur terhadap kreditur yang lahir dari perjanjian

pokok.26

Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1847 BW yang mengatur

tentang hapusnya penanggungan utang yang mengatur bahwa “Si penanggung

utang dapat menggunakan terhadap si berpiutang segala tangkisan yang dapat

dipakai oleh si berutang utama dan mengenai utangnya yang ditanggung itu

sendiri, namun tak bolehlah ia memajukan tangkisan-tangkisan yang melulu

mengenai pribadi si berutang”. Berdasarkan pasal tersebut maka penanggung

dalam hal ini oleh BW diberikan hak dalam perjanjian penanggungan untuk

mengajukan tangkisan yang dapat dipergunakan terhadap kreditur selama

tangkisan tersebut tidak mengenai pribadi si debitur. Hak Borg berdasarkan Pasal

1847 BW merupakan hak yang diberikan oleh Undang-Undang sendiri, sehingga

penggunaanya tidak bergantung dari debitur utama, sekalipun debitur utama tidak

memanfaatkan tangkisan tersebut, tetapi borg tetap dapat menggunakannya.27

Hak lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang kepada penanggung

dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi penanggung dalam

perjanjian penanggungan adalah dengan adanya hak istimewa sebagaimana diatur

pada Pasal 1831 BW yang mengatur bahwa “Si penanggung tidaklah diwajibkan

membayar kepada si berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan benda-

26
Ibid., hal 95
27
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Pribadi Tentang Perjanjian Penanggungan
dan Perikatan Tanggung Menanggung, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, (selanjutnya
disebut J. Satrio III), h. 113
1
4

benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utang-

utangnya”. Penanggung barulah diwajibkan bertindak sebagai borg jika barang-

barang debitur setelah disita dan dijual terlebih dahulu, tetap tidak mencukupi

untuk membayar utang yang dimiliki debitur.28 Penanggung yang menuntut hak

penjualan barang milik debitur terlebih dahulu harus menunjukkan barang-barang

tertentu milik debitur yang akan dijual dan membayar terlebih dahulu ongkos-

ongkosnya untuk pensitaan dan penjualan.29 Hal tersebut sejalan dengan pendapat

J. Satrio di dalam bukunya mengemukakan bahwa tanggung jawab borg pada

dasarnya bersifat subsidair, yang pokok sebenarnya adalah kewajiban debitur

utama terhadap kreditur, sedang borg baru berperan kalau debitur wanprestasi.30

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal ini borg yang telah membayar

utang debitur utama kepada kreditur, diberikan dua sarana untuk mengambil

kembali pembayaran yang telah ia lakukan, yaitu melalui hak regres sebagaimana

diatur pada Pasal 1839 BW dan hak subrogasi sebagaimana diatur pada Pasal

1840 BW. Sekalipun keduanya sama-sama dimaksudkan sebagai sarana

mengambil pembayaran borg, tetapi penggunaan masing-masing sarana

mempunyai akibat hukumnya masing- masing, dengan segala keuntungan dan

kerugiannya.31 Hak regres pada Pasal 1839 BW memberikan sarana bagi borg

untuk menuntut kembali semua pengeluaran yang telah dibayarkan oleh borg

untuk memenuhi kewajiban debitur utama meliputi uang pokok, bunga, ongkos

28
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., h. 92.
29
Ibid., h. 93.
30
J. Satrio III, Loc. Cit.
31
Ibid., hal 175
1
5

penagihan borg dan semua kerugian lainnya.32 Sebaliknya pada hak regres yang

lahir dari subrogasi hanya memberikan hak sebesar pembayaran borg kepada

kreditur dan karenanya ganti rugi dan ongkos perkara tidak termasuk di dalamnya

namun dalam hal ini beralihnya hak-hak yang dipunyai oleh kreditur terhadap

debitur utama berdasarkan perikatan yang dibayar oleh borg memberikan

keistimewaan bagi borg sebagai pihak ketiga yang melakukan pembayaran yakni

perikatan tersebut tetap hidup sekalipun pembayaran dengan konsekuensi semua

jaminan-jaminan accessoir turut berpindah dengan berpindahnya perikatan

pokok kepada borg.33

Terhadap adanya dua macam hak regres tersebut yaitu yang merupakan

haknya sendiri karena telah membayar utang debitur dan hak regres karena

menggantikan kedudukan kreditur karena subrogasi, penanggung tidak perlu

menentukan pilihan mengenai hak regres mana yang akan digunakannya karena

penanggung tetap dapat melaksanakan dua macam hak regres itu secara bersama-

sama (kombinasi) atau melakukan salah satu di antaranya.34

Akan tetapi berdasarkan penjelasan tersebut, maka PT. Penjaminan

Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII) sebagai penanggung dari PPJK sebagai

debitur yang mengalami force majeure yang bersifat temporer dapat secara

sukarela untuk melakukan pemenuhan prestasi dari debitur tersebut kepada

kreditur. Setelah pembayaran kredit dari debitur dilakukan oleh penanggung

kepada kreditur maka penanggung dapat menuntut kepada debitur atas hak-hak

yang dimilikinya berdasarkan Pasal 1839 BW dan Pasal 1840 BW mengenai Hak
32
Ibid., hal 176
33
Ibid
34
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., h. 102.
1
6

Regres yang merupakan hak dari penanggung sendiri dan Hak Regres yang lahir

karena adanya Subrogasi. Keberadaan Pasal 1839 BW dan Pasal 1840 BW

merupakan suatu bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-undang

kepada Penanggung. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya Pasal 1839 BW dan

Pasal 1840 BW tersebut memberikan suatu jaminan bagi penanggung yang telah

melakukan pembayaran kepada kreditur agar dapat menuntut pembayaran kepada

debitur atas pelunasan pembayaran hutang yang telah dilakukan oleh penanggung

kepada kreditur.

Disamping meminta pembayaran utang pokok kepada debitur, berdasarkan

asal 1839 BW, penanggung dapat menuntut kepada debitur mengenai penggantian

atas ongkos yang telah dikeluarkannya guna memenuhi prestasi debitur untuk

melakukan pembayaran hutang, menuntut adanya pembayaran bunga disamping

utang pokok yang telah dibayarkan oleh penanggung kepada kreditur, serta

kerugian yang dialami oleh penanggung akibat pemenuhan prestasi dari PPJK

sebagai debitur untuk melakukan pembayaran hutang kepada debitur.

Anda mungkin juga menyukai