BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Akibat Hukum Terhadap Penjaminan yang Dilakukan oleh PT. PII
Dalam Keadaan Kahar Menurut Asas Pengendalian Dan Pengelolaan
Risiko
Jenis-jenis penjaminan di Indonesia ada 2 (dua), yaitu Jaminan Umum dan
Jaminan Khusus. Jaminan Khusus dibedakan lagi menjadi 2 (dua) yaitu Jaminan
Perorangan (Borgtoch) dan Jaminan Kebendaan (benda bergerak dan benda tidak
bergerak). Borgtocht dalam bahasa Indonesia disebut penjaminan atau
penanggungan. Orangnya disebut borg atau penjamin atau penanggung.1 Pada
umumnya penanggungan itu dapat timbul untuk menjamin perutangan yang
timbul dari segala macam hubungan hukum. Lazimnya hubungan hukum yang
bersifat keperdataan, namun dimungkinkan juga bahwa penanggungan diberikan
untuk menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari hubungan hukum yang
bersifat hukum publik.2 Hermansyah di dalam bukunya mengemukakan bahwa
jaminan perorangan atau jaminan pribadi adalah jaminan seorang pihak ketiga
yang bertindak untuk menjamin dipenuhinya kewajiban- kewajiban dari debitur.
Dalam pengertian lain dikatakan bahwa jaminan perseorangan adalah suatu
perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang pihak ketiga, yang
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berutang (debitur).3
maupun daerah selaku penanggung jawab proyek kerjasama atau PJPK untuk
memberikan kepastian dan kenyamanan bagi investor dalam berinvestasi.
Kehadiran PT. PII sebagai BUPI juga berfungsi untuk mendorong masuknya
pendanaan dari swasta untuk membangun infrastruktur di Indonesia dengan aman
karena memiliki perlindungan hukum dari ketidakmampuan PJPK untuk
membayar.
Salah satu asas dalam KPBU menurut Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor
38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam
Penyediaan Infrastruktur adalah pengendalian dan pengelolaan risiko, yakni kerja
sama Penyedia Infrastruktur dilakukan dengan penilaian risiko, pengembangan
srtategi pengelolaan, dan mitigasi terhadap risiko. Risiko yang dimaksud dalam
hal ini adalah Risiko Infrastruktur dan Risiko Fiskal. Penjaminan infrastruktur
diberikan terhadap pembayaran kewajiban finansial PJPK, yaitu kewajiban untuk
membayar kompensasi finansial kepada badan usaha atas terjadinya risiko
infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pihak PJPK sesuai dengan alokasi
risiko sebagaimana disepakati dalam perjanjian kerja sama. Risiko Infrastruktur
adalah peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek KPBU selama
berlakunya perjanjian KPBU yang dapat memengaruhi secara negatif investasi
badan usaha, yang meliputi ekuitas dan pinjaman dari pihak ketiga. 8 Risiko Fiskal
dalam Nota keuangan dan APBN Tahun 2017, diartikan sebagai segala sesuatu
yang dimasa mendatang dapat menimbulkan tekanan fiscal terhadap APBN.
Sumber-sumber risiko fiscal dalam APBN Tahun 2017, meliputi :9
1) Risiko asumsi dasar ekonomi makro;
2) Risiko pendapatan negara;
3) Risiko belanja negara;
4) Risiko pembiayaan;
5) Risiko fiskal tertentu.
8
https://kpbu.kemenkeu.go.id/read/74-221/umum/kajian-opini-publik/mewaspadai-risiko-
fiskal-dari-perjanjian-kpbu, dilansir pada 24 September 2022, pukul 07.18 WIB.
9
https://www.djppr.kemenkeu.go.id/uploads/files/dmodata/in/6Publikasi/Pengungkapan
%20Risiko%20Fiskal%202018.pdf, dilansir pada 24 September 2022, pukul 07.33 WIB.
4
Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata yang menetapkan
bahwa” segala hak kebendaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya” Jaminan dalam perspektif yuridis
dimaknai sebagai salah satu upaya untuk memberikan kepastian hukum kepada
kreditor (pihak yang berhak) bahwa debitor (pihak yang memiliki kewajiban) akan
melaksanakan kewajibannya. Jaminan merupakan hal yang penting dalam
membuat dan melaksanakan perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam
uang, serta guna melindungi kepentingan para pihak khususnya kreditur (yang
meminjamkan). Djuhaendah Hasan mengatakan bahwasanya fungsi jaminan
secara yuridis adalah kepastian hukum pelunas hutang di dalam perjanjian kredit
atau dalam hutang piutang atau kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu
perjanjian. Kepastian realisasi suatu prestasi dalam suatu perjanjian. Kepastian
hukum ini adalah dengan mengikat perjanjian jaminan melalui lembaga-lembaga
jaminan.10
10
Djuhaenda Hasan, 1998, Perjanijan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit, Proyek Elips dan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm 68.
11
Keputusan Seminar Hukum Jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman Bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas
Gajah Mada, tanggal 9-11 Oktober 1978, Yogyakarta.
5
apabila tidak terlaksana, maka jaminan yang telah disepakati berfungsi untuk
memastikan bahwa kreditor memperoleh apa yang menjadi haknya. Jaminan
dalam arti sempit ini dapat diartikan baik jaminan perorangan
(penanggungan/borgtocht) maupun jaminan kebendaan. Esensi dari jaminan
perorangan adalah kesanggupan pihak ketiga (perorangan, korporasi, dan bank)
yang dituangkan dalam suatu perjanjian untuk melakukan kewajiban apabila
debitor tidak melakukan kewajibannya. Hak kreditor terhadap pemenuhan
kewajiban ini bersifat persoonlijk, artinya hak tersebut hanya dapat dituntut pada
pihak tertentu, yaitu penjamin atau penanggung. Mirip dengan jaminan
perorangan, dalam jaminan korporasi yang bertindak sebagai penjamin adalah
perusahaan. Lazimnya, jaminan korporasi ini diberikan karena ada kepentingan
antara perusahaan sebagai penjamin dan yang dijamin.12
kewajibannya dalam suatu perikatan.13 Hal yang sama dikemukakan oleh Hartono
Hadisaputro, yang menyatakan jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur
kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memnuhi
kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.
12
Lastuti Abubakar, Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Obyek Jaminan (Gagasan
Pembaharuan Hukum Jaminan Nasional), Buletin Hukum Kebanksentralan, Volume 12, Nomor 1,
Januari-Juni 2015, hlm 2.
13
Mariam Darus Badrulzaman, 2000, Permasalahan Hukum Hak Jaminan, Hukum Bisnis
volume 11, hlm 12.
6
pinjaman tersebut. Dengan kata lain, dapat dikatakan jaminan berfungsi sebagai
sarana pemenuhan utang.
Penjamin adalah pihak ketiga yang bukan merupakan debitur, bias saja orang
perorangan atau korporasi yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum
dengan mengadakan perjanjian dengan pihak kreditur agar menjadi penjamin
dalam pelunasan hutang debitur kepada kreditur apabila debitur tersebut
melakukan wanprestasi.14Tujuan adanya penjamin adalah untuk menjamin agar
hutang yang telah diberikan kreditur kepada debitur dapat terjamin
pengembaliannya. Penjamin itu biasanya disebut juga dengan personal guarantee
atau jaminan perorangan.
14
Tarsisius Muwaji, 2016, Paradigma Baru Hukum Jaminan: Penjaminan Hak Pengelolaan
Daratan Perairan Kepulauan Melalui Digitalisasi dan e cash collateral, Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 3 Nomor 2, Tahun 2016, hlm 219.
15
R. Subekti, 1996, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Termasuk Hak
Tanggungan Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 17.
7
16
Lastuti Abubakar, 2003, Materi Bimbingan USM MKN Tahun 2003 (Hukum Perdata),
Ikatan Mahasiswa Notariat Universitas Padjadjaran, Bandung, hlm 16
8
lebih besar, serta memberikan kesempatan yang lebih baik dalam hal pelaksanaan
proyek konstruksi.
17
Antara News.com 12 Mei 2010, Menkeu Resmikan PT Penjaminan Infrastruktur
Indonesia (Persero), diunduh pada tanggal 9 Januari 2019.
9
Salah satu yang menjadi faktor PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII)
sebagai penjamin dalam kesanggupannya untuk memneuhi kewajiban PPJK
sebagai debitur adalah timbul terjadinya keadaan memaksa atau force majeur.
Force Majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa”
merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan
prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya
kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada debituur sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad
buruk.18 Dengan demikian, dalam hal terjadinya keadaan memaksa, debitur tidak
wajib membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat
menuntut pembatalan karena perikatannya dianggap gugur/terhapus.
18
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014, h. 160
19
J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999,
(selanjutnya disebut J. Satrio I) h. 249.
20
Ibid.,
1
0
Dari ketentuan mengenai force majeure dalam KUH Perdata dapat dilihat
bahwa dua pasal ini terdapat dalam bagian yang mengatur tentang ganti rugi.
Dasar pikiran pembuat undang-undang ialah keadaan memaksa merupakan suatu
alasan bagi para pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian untuk
dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.21 Ketentuan ini memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, rugi, dan
bunga kepada kreditur, oleh karena suatu keadaan yang berada diluar
kekuasaanya.22 Sehingga debitur wajib membuktikan bahwa terjadinya
wanprestasi karena keadaan memaksa.
Sehubungan dengan force majeure yang bersifat temporer tersebut yang dialami
oleh debitur tersebut apakah secara mutlak mengalihkan tanggung jawab
pemenuhan prestasi debitur kepada penanggung. Tidak adanya pengaturan
mengenai force majeure dalam Perjanjian Penanggungan akan membawa
konsekuensi diantara para pihak yang saling mengikatkan dirinya dalam suatu
hubungan hukum dalam perjanjian penanggungan yakni berpotensi menimbulkan
sengketa di kemudian hari.
Jika didasarkan pada ketentuan Pasal 1244 dan Pasal 1245 BW, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa adanya force majeure berdampak pada pelaksanaan
suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang mengikatkan dirinya
21
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa cetakan ke XII, Jakarta 1990, h. 55
22
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta,
2017, (selanjutnya disebut Salim HS II) h. 101.
1
1
pada suatu perjanjian. Sehubungan dengan adanya force majeure yang dialami
para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian, Agus Yudha Hernoko di dalam
bukunya berpendapat bahwa peristiwa yang dikategorikan sebagai overmacht
membawa konsekuensi (akibat hukum) yaitu :23
satu pihak yang dirugikan dalam perjanjian, dengan ketentuan telah terpenuhinya
hal tersebut, pada dasarnya penerapan keadaan force majeure dapat didasarkan
pada perjanjian yang telah disepakati pada pihak. Jika dalam suatu perjanjian
penanggungan yang dibuat oleh para pihak tidak mengatur secara jelas mengenai
23 74
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., h. 272
24
Agri Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum
Kontrak (Perjanjian) Indonesia”, E-Journal Veritas Et Justitia Universitas Katolik
Parahyangan Vol. 1 No. 1, 2015,
http://journal.unpar.ac.id/index.php/veritas/article/download/1420/1366, h. 155, Diakses pada
19 Agustus 2020
1
2
kecuali jika debitur telah dinyatakan lalai untuk melakukan pembayaran kepada
kreditur dan barang-barang dari debitur harus terlebih dahulu disita dan dijual
berdasarkan surat perintah atau surat lainnya yang sejenis telah dinyatakan lalai
ataupun demi perikatannya sendiri debitur telah dianggap lalai dengan lewatnya
jangka waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan Pasal 1238 BW tersebut maka
seorang debitur barulah dapat dikatakan lalai apabila ia terlebih dahulu telah
mendapatkan peringatan melalui surat somasi atau surat lainnya yang sejenis
Salah satu hak yang dimiliki oleh penanggung dalam hubungan hukum
menjelaskan secara lebih rinci bahwa hak untuk mengajukan tangkisan dari
penanggung sendiri, di samping itu juga lahir karena sifat accessoir dari
tangkisan yang dipakai oleh debitur terhadap kreditur yang lahir dari perjanjian
pokok.26
dipakai oleh si berutang utama dan mengenai utangnya yang ditanggung itu
dalam hal ini oleh BW diberikan hak dalam perjanjian penanggungan untuk
tangkisan tersebut tidak mengenai pribadi si debitur. Hak Borg berdasarkan Pasal
penggunaanya tidak bergantung dari debitur utama, sekalipun debitur utama tidak
pada Pasal 1831 BW yang mengatur bahwa “Si penanggung tidaklah diwajibkan
26
Ibid., hal 95
27
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Pribadi Tentang Perjanjian Penanggungan
dan Perikatan Tanggung Menanggung, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, (selanjutnya
disebut J. Satrio III), h. 113
1
4
benda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utang-
barang debitur setelah disita dan dijual terlebih dahulu, tetap tidak mencukupi
untuk membayar utang yang dimiliki debitur.28 Penanggung yang menuntut hak
tertentu milik debitur yang akan dijual dan membayar terlebih dahulu ongkos-
ongkosnya untuk pensitaan dan penjualan.29 Hal tersebut sejalan dengan pendapat
utama terhadap kreditur, sedang borg baru berperan kalau debitur wanprestasi.30
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam hal ini borg yang telah membayar
utang debitur utama kepada kreditur, diberikan dua sarana untuk mengambil
kembali pembayaran yang telah ia lakukan, yaitu melalui hak regres sebagaimana
diatur pada Pasal 1839 BW dan hak subrogasi sebagaimana diatur pada Pasal
kerugiannya.31 Hak regres pada Pasal 1839 BW memberikan sarana bagi borg
untuk menuntut kembali semua pengeluaran yang telah dibayarkan oleh borg
untuk memenuhi kewajiban debitur utama meliputi uang pokok, bunga, ongkos
28
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit., h. 92.
29
Ibid., h. 93.
30
J. Satrio III, Loc. Cit.
31
Ibid., hal 175
1
5
penagihan borg dan semua kerugian lainnya.32 Sebaliknya pada hak regres yang
lahir dari subrogasi hanya memberikan hak sebesar pembayaran borg kepada
kreditur dan karenanya ganti rugi dan ongkos perkara tidak termasuk di dalamnya
namun dalam hal ini beralihnya hak-hak yang dipunyai oleh kreditur terhadap
keistimewaan bagi borg sebagai pihak ketiga yang melakukan pembayaran yakni
Terhadap adanya dua macam hak regres tersebut yaitu yang merupakan
haknya sendiri karena telah membayar utang debitur dan hak regres karena
menentukan pilihan mengenai hak regres mana yang akan digunakannya karena
penanggung tetap dapat melaksanakan dua macam hak regres itu secara bersama-
Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII) sebagai penanggung dari PPJK sebagai
debitur yang mengalami force majeure yang bersifat temporer dapat secara
kepada kreditur maka penanggung dapat menuntut kepada debitur atas hak-hak
yang dimilikinya berdasarkan Pasal 1839 BW dan Pasal 1840 BW mengenai Hak
32
Ibid., hal 176
33
Ibid
34
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., h. 102.
1
6
Regres yang merupakan hak dari penanggung sendiri dan Hak Regres yang lahir
kepada Penanggung. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya Pasal 1839 BW dan
Pasal 1840 BW tersebut memberikan suatu jaminan bagi penanggung yang telah
debitur atas pelunasan pembayaran hutang yang telah dilakukan oleh penanggung
kepada kreditur.
asal 1839 BW, penanggung dapat menuntut kepada debitur mengenai penggantian
atas ongkos yang telah dikeluarkannya guna memenuhi prestasi debitur untuk
utang pokok yang telah dibayarkan oleh penanggung kepada kreditur, serta
kerugian yang dialami oleh penanggung akibat pemenuhan prestasi dari PPJK