Anda di halaman 1dari 3

CONTOH FIELD NOTE INDIVIDU/KELOMPOK

KKN TEMATIK MANDIRI ANGKATAN 51 2021

Kode File : L/Wawancara/Hari-Ke15/KKN


46

Judul : Kunjungan dan Wawancara dengan pengajar


KB Matahari
Informan : Yulaikha dan Ida
Lokasi : Dukuh Sijaran , Desa Kalirejo , Bawang
Waktu : Selasa , 2 November 2021 , Pukul 9:24 - 10:00

Lokasi KKN kelompok 60 terletak di Lebakbarang paling ujung atau puncak.


Saya menyebutnya “Desa Dekat Langit”. Untuk menuju lokasi KKN dari kecamatan
Lebakbarang, saya dan tim KKN menempuhnya menggunakan kendaraan roda dua,
tetapi masyarakat seringkali menggunakan mobil pick up sebagai alat transportasi.
Pertama kali memasuki desa menggunakan mobil pick up, saya histeris dengan
pemandangan sekitar yang cukup ekstrim. Seluruh Lebakbarang tampak dari atas sini,
kabut sudah turun ketika itu. Meskipun begitu, jarak pandang masih cukup jelas.
Hamparan pesawahan, hutan dan rumah-rumah warga Lebakbarang nampak kecil.
Sepanjang perjalanan saya tak henti berdzikir. Takut dengan ketinggian, namun dalam
waktu yang bersamaan, kagum pula pada ciptaan-Nya yang Maha Besar, Maha Luas,
dan Maha Indah. Pemandangan pohon pinus dengan hijaunya rumput gajah di
sepanjang jalan berkelok-kelok nan menanjak sepanjang dua kilometer yang kami
tempuh dari Kecamatan Lebakbarang melenakan mata kami. Sesekali saya merinding,
sebab kabut yang menyentuh kulit saya terasa begitu dingin. Bahkan di dalam posko
pun hawa dingin masih menusuk tulang. Air dalam bak mandi saja seperti es batu, hal
yang jarang saya nikmati di perkotaan.
Tiga belas hari sudah saya di Kutorembet, selama itu sedikit banyak saya telah
bersilaturahim dengan warga desa. Terutama anak-anak TPQ dan beberapa pengurus
organisasi desa serta ibu-ibu jama’ah yasin dan tahlil. Namun ada satu hal yang
membuat saya penasaran dengan masyarakat, yakni mata pencahariannya. Mulailah
saya bertanya kesana kemari, pada ibu-ibu jama’ah yasin, hingga ibu-ibu pedagang
warung yang saya temui. Ketika itu saya mendapat informasi bahwa banyak warga yang
mengolah buah kolang-kaling. Mulailah saya mencari tahu, kiranya siapa yang dapat
saya temui untuk belajar cara mengolah kolang-kaling langsung dari awal proses
pembuatan hingga siap dipasarkan. Tersebutlah Daryumi, salah satu nama yang saya
peroleh dari ibu-ibu pedagang warung. Kabarnya beliau adalah salah satu pengolah
kolang-kaling yang mengolah buahnya di rumah, tidak seperti pengolah lain yang
mengolahnya di sawah sehingga para warga kurang yakin mengajak kami—mahasiswa
KKN—ke sawah karena jaraknya yang terlalu jauh dan hanya bisa ditempuh dengan
berjalan kaki.
Kami mencari rumah Ibu Daryumi. Dari posko, saya dan teman-teman menaiki
motor ke dukuh Krajan, dukuh sebelah posko yang jaraknya tidak sampai 1 kilometer.
Namun, khas jalanan di pegunungan yang naik turun, kami melalui pula jalanan yang
menurun. Untung saja pengaspalan desa sudah merata sehingga akses jalan yang kami
lalui menjadi lebih mudah. Sesampainya di rumah Ibu Daryumi, kami tidak mendapat
jawaban setelah berkali-kali mengucapkan salam. Lalu saya pun berinisiatif untuk
menuju samping rumah, barangkali Ibu Darymi sedang sibuk di dapur. Maklum jika
suara salam dari depan rumah tidak terdengar, sebab rumah-rumah di desa ini cukup
luas, apalagi bagian dapur. Ternyata betul, Ibu Daryumi bersama dua ibu-ibu lainnya
tengah sibuk dengan pekerjaannya.Ibu- ibu berdaster, dengan bersarung tangan di
tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menghitam akibat terkena getah kolang-
kaling. Nampak buah kolang- kaling bertandan-tandan di samping rumah Ibu Daryumi
yang belum diolah. Beliau tengah sibuk membenarkan api dalam tungku di sebelah
selatan rumahnya. Udara menjadi penuh asap tungku, saya jadi panas dingin di
depannya sebab kabut yang turun berpadu dengan kepulan asap dari tungku. Nampak
di atasnya, sebuah tong besar yang sudah mulai menghitam berisi buah kolang-kaling
yang tengah direbus. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk menunggu rebusan mendidih,
jadi Ibu Daryumi mengarahkan kami masuk ke dapurnya. Di sana telah ada anak-anak
beliau yang sedang mengupas kolang-kaling yang sebelumnya telah direbus dan
didinginkan. Kamipun langsung ambil posisi, meminta ijin untuk bergabung mengupas
buah kolang-kaling, memisahkan kulit dengan buahnya. Dengan cekatan dua ibu-ibu
menyiangi kolang-kaling, sedang Ibu Daryumi sibuk dengan rebusan kolang-kaling di
tungku. Saya mendapat sarung tangan, namun saya justru merasa tidak nyaman karena
sarung tangan begitu tebal sehingga saya memutuskan bertelanjang tangan mengupas
kolang-kaling. Hanya saja kulitnya begitu keras sehingga saya mengikuti ibu-ibu lainnya
menggunakan pisau untuk mengupas. Jika dilihat secara dekat, buah kolang-kaling
terlihat seperti miniatur kelapa, sedang kulitnya keras seperti kulit jengkol namun dalam
bentuk yang lebih tebal sehingga pisau yang digunakan harus tajam.
Sambil mengupas, saya pun bercakap-cakap dengan Ibu Daryumi yang wajahnya
berkeringat akibat kepanasan berada di dekat tungku. Sudah sejak pagi ia merebus
kolang-kaling, satu gentong dan beberapa ember telah terisi penuh kolang-kaling putih
bak mutiara, namun yang lainnya masih tampak menghitam bekas kulitnya. “Menjelang
bulan puasa seperti ini, kolang-kaling banyak dicari untuk bahan campuran membuat es
buah atau kolak,” tuturnya. Sehingga ia hanya menjual dalam bentuk originalnya, hanya
direbus lalu dijual dalam bentuk kiloan. Dalam satu hari, Ia bisa merebus hingga 6 kali
yang dalam satu kali perebusan dapat menghasilkan 25kg kolang-kaling basah. 1
kilogramnya oleh tengkulak hanya dihargai lima ribu supiah saja, harga yang tidak
sebanding dengan sulitnya mengambil buah dari pohonnya, lalu membawanya pulang
dengan dipanggul naik turun perbukitan, hingga mengolahnya yang juga memakan
waktu lama.
Sebelum pulang, kami berkesempatan mencicipi kolang-kaling yang kami kupas
sendiri. Rasanya agak gurih walaupun hanya di rebus, sesekali ada rasa pahit dari
bekas kulit. Saya memakan cukup banyak. Ini adalah pengalaman pertama saya
menyaksikan pengolahan kolang-kaling hingga mencicipi olahannya tanpa bahan
tambahan. Besok kami masih ada janji untuk mengolah kolang-kaling lagi. Saya
bersyukur Ibu Daryumi masih mengijinkan kami belajar mengolah kolang- kaling
walaupun tidak menyentuh yang masih mentah karena beliau khawatir jika kami terkena
getah kolang-kaling mentah yang gatal.

Catatan Reflektif :
Dengan harga yang demikian murah, Ibu Daryumi dan pengolah kolang- kaling
lainnya masih tetap bertahan. Padahal potensi kolang-kaling yang ada di desa tidaklah
sedikit. Pengolahan lebih lanjut dengan bantuan lembaga desa yang berwenang
nampaknya harus digalakkan demi kesejahteraan pengolah kolang- kaling.
Pertanyaan Lanjutan :
Bagaimana strategi menstabilkan harga kolang-kaling dan membuat kualitas
kolang-kaling terjaga sehingga kolang-kaling dari Desa Kutorembet banyak diminati?
Hal ini akan saya tanyakan besok, sekalian belajar mengolah lagi.

Ditulis Oleh : Lalis/2041115031/KKN 60 Kutorembet-Labakbarang

Diperiksa oleh Pembimbing Tanggal :


Komentar atau Saran/Materi Bimbingan dari DPL :

(Tanda Tangan DPL)

Anda mungkin juga menyukai