Anda di halaman 1dari 54

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Advokasi pasien merupakan esensi intrinsik dari etika keperawatan professional. Prinsip

etik ini sangat penting dalam hubungan perawat pasien dan penghormatan terhadap hak

pasien sebagai manusia. Kebutuhan pasien merupakan kunci advokasi dalam

keperawatan. Oleh karena itu, perawat mempunyai peran besar dalam mendorong dan

melindungi kepentingan pasien dengan memberikan informasi yang dibutuhkan pasien

untuk mengambil suatu keputusan (Motamed-jahromi, Abbaszadeh, Borhani, & Zaher,

2012).

Perawat harus benar-benar memahami masalah etik dan kebutuhan pasien yang saling

berkaitan. Perawat harus memahami apa yang diinginkan oleh pasien tanpa ada rasa takut

dari pasien untuk bertanya. Asosiasi medis di Jerman telah mencatat 11.000 kasus terkait

complain dari pasien selama tahun 2007, dimana terjadi peningkatan sebanyak 6,7%

dibandingkan jumlah kasus pada tahun 2006. Dan belum ada studi yang meneliti kasus ini

dari perspektif etika medis (Emrich, Fro, Bruns, Friedrich, & Frewer, 2014).

Otonomi pasien dengan penekanan pada informasi yang tepat dalam persetujuan dan

menolak pengobatan atau terapi adalah landasan bioetika modern. Dalam diskusi tentang

otonomi pasien, perawat dapat menjalankan peranya sebagai advokator dalam melindungi

hak dan kepentingan pasien (Charles, 2017). Pasien melihat peran advokasi perawat

sebagai penghubung dalam ketidakberdayaan pasien karena penyakitnya dengan potensi

harus menetap di rumah sakit. Pasien akan mempunyai harapan besar kepada perawat
untuk mendapatkan berbagai informasi yang dibutuhkan pasien karena perawat berada 24

jam bersama pasien (Emrich et al., 2014).

(Motamed-jahromi et al., 2012) menyatakan bahwa advokasi adalah elemen dasar dalam

keperawatan yang secara eksklusif menggambarkan esensi praktik keperawatan.

Advokasi adalah jenis kepedulian dalam praktik keperawatan. Advokasi adalah

keterampilan yang dipelajari oleh perawat dan berkembang sesuai dengan pengalaman

yang berbeda. Pernyataan ini menekankan peran perawat sebagai pemberi asuhan dengan

komitmen etis untuk memastikan kualitas pelayanan keperawatan.

Perawat harus memiliki pengetahuan dan keterampilan terkait advokasi pasien agar

perawat dapat menunjukkan sikap positif dalam melindungi hak dan kepentingan pasien

(Motamed-jahromi et al., 2012). Peran advokasi perawat akan terlihat dalam komunikasi

pasien dan perawat di rumah sakit. Hasil penelitian (Emrich et al., 2014) menunjukkan

bahwa pasien sering mengeluh tentang kurangnya rasa empati perawat saat berdialog

dengan pasien, hambatan istilah teknis yang tidak dipahami pasien, dan pasien merasa

kurang dihargai.

Kurangnya kemampuan komunikasi efektif perawat, khususnya kebutuhan empati pasien

sering menjadi keluhan. Hasil studi bahkan menunjukkan bahwa sikap kurang empati

yang didemonstrasikan perawat seperti melirik jam atau menguap terus menerus

mencerminkan kurangnya penghormatan perawat terhadap perannya sebagai advokasi

pasien (Emrich et al., 2014).


Pimpinan kesehatan dan keperawatan semakin menyadari pentingnya kebijakan kesehatan

dan pelatihan terkait kebijakan diantaranya berupa pelatihan advokasi pasien. Advokasi

dan kebijakan terkait kesehatan perlu dimasukkan dalam struktur pelatihan yang ada.

Pimpinan tenaga medis, perawat, dan kesehatan masyarakat bahkan praktisi pendidikan

telah menganjurkan pentingnya pelatihan advokasi untuk mendukung keterlibatan dalam

isu-isu yang mempengaruhi profesi mereka. Walaupun program pelatihan advokasi telah

dimasukkan dalam berbagai pelatihan kebijakan kesehatan, namun masih terdapat

kendala diantaranya kendala waktu dan penjadwalan, minat yang rendah serta kurangnya

data penelitian yang bermakna untuk menginformasikan pengajaran dan implementasi

pelatihan kebijakan kesehatan (Darko et al., 2017). Hasil penelitian (Darko et al., 2017)

menunjukkan bahwa kompetensi yang perlu ditingkatkan dalam pelatihan kebijakan

kesehatan adalah komunikasi efektif sebesar 63% (n=39), pemangku kepentingan 57%

(n=36), dan pengambil keputusan sebesar 54% (n=34). Kemampuan komunikasi perawat

dapat ditingkatkan melalui program pelatihan (Tanabe et al, 2012; Plantinga, 2012)

Rumah Sakit Umum Aisyiyah merupakan salah satu rumah sakit swasta tipe C dan

terakreditasi dasar yang berada di Kota Padang. RSU Aisyiyah dikelola oleh Pimpinan

Wilayah Persyarikatan Muhamadiyah Sumatera Barat. Studi pendahuluan yang

dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Aisyiyah pada tanggal 23 – 26 Januari 2018,

berdasarkan wawancara dengan 10 orang perawat didapatkan data bahwa 6 orang (60%)

perawat pelaksana menyatakan belum mengetahui tentang pelaksanaan peran dan fungsi

perawat sebagai advokator pasien. 8 orang (80%) menyatakan bahwa tugasnya hanya

memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. 10 orang (100%) menyatakan belum

pernah mendapatkan pelatihan komunikasi efektif terkait advokasi pasien, dan tidak

mengetahui bagaimana komunikasi efektif dalam menjalankan perawat perawat terkait


advokasi pasien. Disamping itu, berdasarkan wawancara dengan 10 orang pasien di RSU

Aisyiyah didapatkan data bahwa 7 (70%) orang pasien menyatakan bahwa perawat

tempat pasien mendapatkan informasi terkait pelayanan yang diterimanya. 8 (80%) orang

pasien menyatakan bahwa perawat kurang menunjukkan rasa empati dan peduli ketika

berkomunikasi dengan pasien.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Komite Keperawatan yang menyatakan belum

pernah diadakan pelatihan tentang pelaksanaan peran dan fungsi perawat sebagai

advokasi. Sehingga dalam pelaksaannnya belum dilaksanakan secara optimal. Padahal

sebagai seorang perawat harus mampu mengetahui dan melaksanakan peran perawat

sebagai client advocate.

Berdasarkan hasil observasi didapatkan bahwa perawat pelaksana belum melaksanakan

perannya sebagai advokator. Perawat hanya memberikan asuhan keperawatan tanpa

melaksanakan perannya sebagai client advocate. Begitu juga dengan pelaksanaan

komunikasi efektif yang menjembatani perawat dalam melaksanakan perannya sebagai

client advocate.

Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada pengaruh

pelatihan manajemen advokasi terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam

komunikasi efektif kepada pasien di rumah sakit.


B. Rumusan Masalah

Dari fenomena di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian: “Apakah ada pengaruh

pelatihan manajemen advokasi terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam

komunikasi efektif terkait advokasi pasien di rumah sakit.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan manajemen

advokasi terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif terkait

advokasi pasien di rumah sakit.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a) Distribusi frekuensi karakteristik perawat pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

b) Distribusi frekuensi pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif

terkait advokasi pasien sebelum dan sesudah pelatihan manajemen advokasi pada

kelompok intervensi.

c) Distribusi frekuensi pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif

terkait advokasi pasien sebelum dan sesudah pelatihan manajemen advokasi pada

kelompok kontrol.

d) Perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif

terkait advokasi pasien pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah pelatihan

manajemen advokasi.
e) Perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif

terkait advokasi pasien pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah pelatihan

manajemen advokasi.

f) Perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif

terkait advokasi pasien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sesudah

pelatihan manajemen advokasi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan manfaat bagi pelayanan keperawatan, pendidikan keperawatan

dan perkembangan ilmu keperawatan. Manfaat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Pelayanan Keperawatan

Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran pelaksanaan advokasi pasien dalam

praktik keperawatan. Hasil ini berguna sebagai motivasi untuk perawat agar lebih

meningkatkan peran dan fungsi perawat di rumah sakit.

2. Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memperluas khasanah keilmuan dan sumber

literatur tentang komunikasi dan advokasi perawat. Hasil penelitian ini diharapkan

dapat digunakan sebagai bahan kajian untuk melakukan evaluasi terhadap kompetensi

peserta didik dan kurikulum pendidikan.

3. Perkembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar dan rujukan bagi riset selanjutnya,

baik riset kualitatif maupun riset kuantitatif lainnya untuk peningkatan peran serta

perawat dalam tatanan kebijakan dan praktik keperawatan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Advokasi Pasien

2.1.1 Pengertian advokasi pasien

Mungkin pengertian advokasi menjadi sempit karena pengaruh yang cukup kuat dari

padanan kata advokasi itu dalam bahasa Belanda, yakni advocaat atau advocateur

yang berarti pengacara hukum atau pembela. Sehingga tidak heran jika advokasi

sering diartikan sebagai kegiatan pembelaan kasus atau beracara di pengadilan.

Pandangan ini kemudian melahirkan pengertian yang sempit terhadap apa yang

disebut dengan advokasi. Seolah-olah advokasi merupakan urusan sekaligus monopoli

dari organisasi yang berkaitan dengan ilmu dan praktek hukum semata (Klassen &

Valerie, 2012).

Dalam bahasa Inggris “to advocate” tidak hanya berarti membela (to defend),

melainkan mengemukakan atau memajukan (to promote), menciptakan (to create),

dan melakukan perubahan (to change). Sementara dalam konteks pemberdayaan

masyarakat advokasi tidak hanya berarti membela atau mendampingi masyarakat

melainkan pula bersama-sama dengan mereka melakukan upaya-upaya perubahan

sosial secara sistematis dan strategis (Sabo, Ingram, Reinschmidt, Schachter, &

Jacobs, 2013). Dengan kata lain, advokasi juga bisa diartikan melakukan perubahan

secara terorganisir dan sistematis (Klassen & Valerie, 2012).


Konsep advokasi terus berkembang di berbagai bidang termasuk kesehatan, bahkan

dalam dunia keperawatan khususnya. Bahkan peran perawat sebagai advocator telah

dirintis oleh Florence Nigthtingale ( Gyamfi & Breya, 2016).

Advokasi pasien merupakan esensi intrinsik dari etika keperawatan professional.

Prinsip etik ini sangat penting dalam hubungan perawat pasien dan penghormatan

terhadap hak pasien sebagai manusia. Kebutuhan pasien merupakan kunci advokasi

dalam keperawatan. Oleh karena itu, perawat mempunyai peran besar dalam

mendorong dan melindungi kepentingan pasien dengan memberikan informasi yang

dibutuhkan pasien untuk mengambil suatu keputusan (Motamed-jahromi et al., 2012);

(Med, 2015).

Dalam diskusi tentang otonomi pasien, perawat dapat menjalankan peranya sebagai

advokator dalam melindungi hak dan kepentingan pasien (Abedsaeedi, n.d.) ;

(Charles, 2017). Otonomi adalah kapasitas dan kemampuan pasien untuk menerima

atau menolak pengobatan. Pemberdayaan pasien sangat penting, sehingga perlu

dukungan dari pemberi asuhan terutama perawat (Lanoix, 2013) ; (Tractenberg,

Garver, Ljungberg, Schladen, & Groah, 2017). Advokasi merupakan salah satu

bentuk komunikasi efektif dan persuasif yang bertujuan untuk mempengaruhi

pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan (Reyes, Hadley,

& Davenpor, 2013 ) ; (Tractenberg et al., 2017).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa pengertian advokasi pasien

adalah peran perawat untuk melindungi hak dan kepentingan pasien sesuai dengan

kebutuhan pasien dengan memberikan informasi yang dibutuhkan pasien berupa

komunikasi efektif dan persuasif, sehingga pasien mampu dalam mengambil

keputusan yang tepat terkait pelayanan kesehatan yang diterimanya.


2.1.2 Dasar advokasi pasien

(Rosiek & Leksowski, 2013) menyebutkan bahwa ada tiga dasar advokasi pasien

dalam konteks hubungan tenaga kesehatan dan pasien yaitu hak azazi manusia, etika

medis, dan empati. Selain itu, (Gelhaus, 2013) menambahkan dua hal yaitu belas

kasih dan peduli. Bagaimana kelima hal tersebut mendasari advokasi pasien dapat

dijelaskan sebagai berikut:

a. Hak azazi manusia

Deklarasi hak azazi manusia telah berperan dalam melindungi martabat manusia

dalam kebijakan hukum internasional. Tenaga kesehatan memiliki peran penting

dalam melindungi, mempromosikan dan memenuhi hak azazi pasien. Hak azazi

pasien dan etika medis akan saling melengkapi (Rosiek & Leksowski, 2013).

Hak azazi pasien memberikan landasan moral untuk peningkatan standar

perawatan berdasarkan tanggung jawab bersama dengan menggarisbawahi hak

dasar pasien terhadap privasi, kerahasiaan informasi medis, hak untuk menolak

perawatan, dan juga informasi tentang resiko masing-masing prosedur dan

pengobatan yang diterima (Rosiek & Leksowski, 2013). Dukungan terkait

perlindungan hak pasien di rumah sakit juga tertuang dalam Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

b. Etika medis

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethos, yang berarti “kebiasaan”, “model

perilaku” atau standar yang diharapkan dan kriteria tertentu untuk suatu tindakan.

Penggunaan istilah etika sekarang ini banyak diartikan sebagai motif atau

dorongan yang mempengaruhi perilaku. Etik merupakan prinsip yang


menyangkut baik dan buruk dalam hubungan dengan orang lain (Rusthoven &

Bioethics, 2014). Sementara itu, etika empiris meliputi studi empiris tentang nilai

dan norma dalam perawatan kesehatan, bagaimana nilai-nilai membentuk praktek

klinis (Exactly & Empirical, 2012) ; (Cline, Heesters, & Secker, 2012); (Elteren,

Abma, & Widdershoven, 2012).

Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etika dianggap sebagai

elemen dasar profesi keperawatan (Piryani, n.d.). Etik memiliki terminologi yang

berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk

penyelidikan filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu

(Dauwerse, Weidema, Abma, Molewijk, & Widdershoven, 2014). Moral

mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang

atau kelompok tertentu. Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan pola

atau cara hidup, sehingga etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang

yang mempengaruhi perilaku professional (Brown-saltzman, Fine, & Jakel,

2013). Cara hidup moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik keperawatan

(Rusthoven & Bioethics, 2014). Tenaga kesehatan perlu merenungkan norma dan

nilai professional mereka sendiri (Verkerk & Lindemann, n.d.).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang

digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa

yang seharusnya dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Prinsip-prinsip

etik meliputi : (Graber & Rizzo, 2016).


1. Otonomi (Autonomy)

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir

logis dan mampu membuat keputusan sendiri (Graber & Rizzo, 2016) ; (Brown-

saltzman et al., 2013). Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan

individu yang menuntut pembedaan diri (Mathu & Scott, 2012) ; (Rocha, n.d.).

Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak

klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya tidak memaksa dan

bertindak secara rasional (Graber & Rizzo, 2016).

2. Berbuat baik (Beneficience)

Benefecience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan

pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan

dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi

pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi (Brown-

saltzman et al., 2013) ;

3. Keadilan (Justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpal yang sama dan adil terhadap orang lain

yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal, dan kemanusiaan. Nilai ini

direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang

benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk

memperoleh kualitas pelayanan kesehatan (Brown-saltzman et al., 2013) ;


4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)

Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada

klien (Brown-saltzman et al., 2013)

5. Kejujuran (Veracity)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh

pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien

dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity

berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.

Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif, dan objektif untuk

memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan

yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan

keadaan dirinya selama menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat

beberapa argumen mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika

kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk pemulihan atau adanya

hubungan paternalistik bahwa “doctors knows best” sebab individu memiliki

otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang

kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan saling

percaya (Brown-saltzman et al., 2013) ;

6. Menepati janji (Fidelity)

Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya

terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk

mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan

kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab

dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,

memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan (Brown-saltzman et al.,

2013).

7. Kerahasiaan (Confidentiality)

Aturan dalam prinsip kerahasian adalah informasi tentang klien harus dijaga

privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan

klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun

dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan

bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan

pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus

dihindari (Brown-saltzman et al., 2013)

8. Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang profesional

dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali (Brown-saltzman

et al., 2013).

c. Empati

Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa

simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah (Gelhaus, 2013). Empati

meningkatkan kualitas komunikasi perawat dengan pasien, yang akan meningkatkan


efektifitas pengobatan dan pada akhirnya meningkatkan kepuasan pasien (Rosiek &

Leksowski, 2013). Empati juga termasuk salah satu teknik komunikasi.

d. Belas kasih

Belas kasih adalah respon yang baik terhadap penderitaan orang lain dan

kecenderungan untuk membantu. Dalam hubungan perawat-pasien sikap belas

kasih akan meningkatkan kepedulian kepada pasien (Gelhaus, 2013) ;

(Rusthoven & Bioethics, 2014).

e. Peduli

Peduli dalam hubungan perawat-pasien menunjukkan perhatian khusus perawat

terhadap kebutuhan pasien (Gelhaus, 2013) ; (Rusthoven & Bioethics, 2014).

2.1.3. Peran perawat dan advokasi pasien di rumah sakit

Mengingat interaksi hari demi hari antara perawat dan pasien, perawat memainkan

peranan penting dalam membantu pasien memahami penyakitnya dan membuat

keputusan dengan benar dan tepat (Charles, 2017) ; (Kendall-taylor & Levitt, 2017).

Peran perawat sebagai advocator telah dirintis oleh Florence Nigthtingale, meskipun

belum terkonsep langsung seperti perkembangan advokasi saat ini. Advokasi

didefinisikan sebagai dukungan publik yang kuat terhadap sesuatu. Florence

Nigthtingale menunjukkan advokasi dengan cara yang luar biasa seumur hidupnya,

melalui lingkungan, kepemimpinan, dan hak azazi manusia ( Gyamfi & Breya, 2016).

a. Advokasi melalui lingkungan pasien

Teori lingkungan Nigthtingale meyakini bahwa inti keperawatan adalah menggunakan

lingkungan pasien untuk membantu pasien dalam pemulihannya. Dia percaya bahwa
perawat dapat menggunakan sinar matahari, udara segar, air bersih, kebersihan dan

drainase yang efisien akan mempengaruhi secara positif tubuh pasien, pikiran, dan

jiwanya. Dia percaya bahwa pasien membutuhkan mental, emosional, fisik dan

spiritual untuk meningkatkan peluang pemulihan. Dia mengerti bahwa dokter akan

mengobati penyakit, tapi siapa yang bisa memfasilitasi memberikan lingkungan yang

baik seperti nutrisi yang baik, hubungan emosional bahkan bahan bacaan untuk

pasien. Perawat bisa mempengaruhi lingkungan pasien untuk meningkatkan

pemulihan. Nigthtingale mendorong pentingnya peran perawat dalam mengubah

lingkungan pasien untuk mempercepat penyembuhan ( Gyamfi & Breya, 2016).

b. Avokasi melalui kepemimpinan

Kepemimpinan adalah salah satu kualitas Florence Nigthtingale. Dia menawarkan

kenyamanan emosional dengan menyusuri lorong gelap sambil membawa lampu,

sehingga ia dijuluki “Lady with the Lamp”. Dia mengerti bahwa pentingnya keluarga

bagi orang sakit, dia membantu para tentara yang tidak bisa tulis baca untuk menulis

surat kepada keluarga. Dia menggunakan keterampilan kepemimpinan dalam

melaksanakan tugasnya. Hal ini menginspirasi pemimpin dan pendidik keperawatan

untuk mempromosikan kesehatan yang lebih baik. Advokasi dan kepemimpinan

Florence Nigthtingale membangun profesi keperawatan berdasarkan pendekatan

holistic. Advokasinya memberi pengaruh terhadap pengelolaan kesehatan di seluruh

dunia ( Gyamfi & Breya, 2016).

c. Advokasi terhadap hak azazi manusia

Florence Nigthtingale mempromosikan advokasi melalui hak azazi dan

kepemimpinan. Advokasi Florence Nigthtingale ditunjukkan melalui gagasan,

motivasi, dan komunikasi terkait hak azazi manusia ( Gyamfi & Breya, 2016).
Salah satu contoh advokasi terhadap hak azazi manusia adalah advokasi untuk

mengurangi stigma pada pasien HIV (Sunguya, Munisamy, Pongpanich, & Yasuoka,

2016) ; (Huang, Lin, & Saxton, 2016) ; (Bogart et al., 2012). Keterampilan advokasi

menjadi sesuatu yang penting (Brickle, 2015). Untuk meningkatkan kemampuan

komunikasi perawat perlu dilakukan pelatihan advokasi pasien (Mcclellan et al.,

2013).

2.2. Konsep Komunikasi Efektif

2.2.1 Pengertian komunikasi efektif

Komunikasi efektif merupakan bagian yang sangat penting dalam organisasi kesehatan

(Unluturk, 2012) ; (Granot, Gordon, Perry, Rizel, & Stemmer, 2016). Komunikasi adalah

sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain

melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti betul apa yang dimaksud

oleh penyampai pikiran-pikiran atau informasic.

Komunikasi efektif adalah sebuah proses penyampaian pikiran atau informasi dari

seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut

mengerti betul apa yang dimaksud oleh penyampai pikiran-pikiran atau informasi. Secara

etimologis, kata efektif (effective) sering diartikan dengan mencapai hasil yang diinginkan

(producing desired result), dan menyenangkan (having a pleasing effect) (Horowitz,

Clovis, Wang, & Dushanka, 2013). Hambatan komunikasi antara perawat dan pasien

timbul karena perbedaan budaya. Penting bagi perawat untuk mengenali asuhan dalam

konteks budaya yang dianut pasien. Kurikulum keperawatan harus mengembangkan

kompetensi berbasis budaya dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku. ( Reyes, Hadley, &

Davenpor, 2013) ; Smith et al., 2015). Perawat yang memiliki teknik komunikasi yang

baik merupakan ciri dari “the good nurse” (Elteren et al., 2012). Pasien mengidentifikasi
pentingnya komunikasi (Salter, Brainard, Mcdaid, & Loke, 2014). Membangun

komunikasi yang baik dengan pasien akan memudahkan dalam transfer informasi

(Mcclellan et al., 2013).

2.2.2 Klasifikasi komunikasi

Berdasarkan kepada penerima pesan atau komunikan, komunikasi diklasifikasikan

menjadi ( Widjaja, 2012).

a. Komunikasi intrapersonal

Penggunaan bahasa atau pikiran yang terjadi di dalam diri komunikator sendiri

antara individu dengan Tuhannya. Komunikasi intra personal merupakan

keterlibatan internal secara aktif dari individu dalam pemrosesan simbolik dari

pesan- pesan. Seorang individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan,

memberikan umpan balik bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang

berkelanjutan.

a. Komunikasi interpersonal

Komunikasi interpersonal berlangsung dengan dua arah, antara komunikator dan

komunikan, antara seorang tenaga medis dengan teman sejawat atau antara

seorang tenaga medis dengan pasien (Armstrong, Mullins, Gronseth, & Gagliardi,

2017).

b. Komunikasi kelompok

Salah satu bentuk komunikasi yang terjadi di dalam sebuah kelompok.

Komunikasi tidak hanya terjadi antara seorang dengan seorang yang lainnya,

komunikasi juga dilakukan dengan sekelompok orang yang disebut dengan

komunikasi kelompok. Menurut Michael Burgoon, komunikasi kelompok adalah

interaksi secara tatap muka antara tiga orang atau lebih dengan tujuan yang telah
diketahui, seperti berbagi informasi, menjaga diri, pemecahan masalah, di mana

anggota-anggotanya dapat mengingat karakteristik pribadi anggota-anggota lain

secara tepat, misalnya organisasi profesi, kelompok remaja,dan kelompok-

kelompok sejenisnya. Komunikasi dapat dalam bentuk diskusi, rapat, dan

sebagainya (Armstrong et al., 2017).

c. Komunikasi publik

Komunikasi yang dilakukan secara aktif maupun pasif yang dilakukan di depan

umum. Dalam komunikasi publik, pesan yang disampaikan dapat berupa suatu

informasi, ajakan, gagasan. Komunikasi ini memerlukan ketrampilan

komunikasi lisan dan tulisan agar pesan dapat disampaikan secara efektif dan

efisien. Saat ini mulai berkembang komunikasi publik dalam dunia digital atau

online (Wibe, Hellesø, Varsi, Ruland, & Ekstedt, 2012).

d. Komunikasi organisasi

Merupakan komunikasi yang dilakukan dalam suatu organisasi atau antar

organisasi baik secara formal maupun informal. Komunikasi organisasi pada

umumnya membahas tentang struktur dan fungsi organisasi serta hubungan antar

manusia.

e. Komunikasi massa

Komunikasi ini melibatkan sejumlah besar komunikan heterogen yang tersebar di

suatu wilayah geografis yang luas dan berkepentingan pada pesan komunikan

yang sama.

2.2.3 Jenis-jenis komunikasi

Komunikasi dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu komunikasi tertulis, komunikasi

verbal, dan komunikasi non verbal.


a. Komunikasi tertulis

Merupakan komunikasi yang penyampaian pesannya secara tertulis baik manual

maupun melalui media seperti email, surat, media cetak, dan lainnya. Keuntungan

komunikasi tertulis:

 Adanya dokumen tertulis

 Sebagai bukti penerimaan dan pengiriman

 Dapat menyampaikan ide yang rumit

 Memberikan analisa, evaluasi, dan ringkasan

 Menyebarkan informasi kepada khalayak ramai

 Dapat menegaskan, menafsirkan dan menjelaskan komunikasi lisan

 Membentuk dasar kontrak atau perjanjian

 Untuk penelitian dan bukti di pengadilan

b. Komunikasi verbal

Merupakan komunikasi yang disampaikan secara lisan. Komunikasi dapat

dilakukan secara langsung atau melalui sarana komunikasi seperti telepon.

Kelebihan dari komunikasi lni terletak pada keberlangsungannya, yakni dilakukan

secara tatap muka sehingga umpan balik dapat diperoleh secara langsung dalam

bentuk respon dari pihak komunikan.

c. Komunikasi non verbal

Merupakan proses komunikasi di mana pesan disampaikan tidak menggunaan

kata-kata. Komunikasi ini adalah cara yang paling meyakinkan untuk

menyampaikan pesan kepada orang lain. Tenaga medis perlu menyadari pesan
verbal dan non verbal yang disampaikan oleh pasien mulai dan saat pengkajian

sampai evaluasi asuhan keperawatan karena pesan non verbal dapat memperkuat

pesan yang disampaikan secara verbal, misalnya menggunakan gerak isyarat,

bahasa tubuh, ekspresi wajah, kontak mata, simbol- simbol, serta cara berbicara

seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.

2.2.4 Model komunikasi

Model komunikasi adalah ilustrasi alur komunikasi yang menunjukkan unsur- unsur

penting di dalamnya. Model ini mensyaratkan adanya empat unsur komunikasi

(sumber informasi, pesan, saluran, dan penerima pesan) untuk terjadinya komunikasi.

a. Sumber informasi (source)

Sumber (pengirim pesan) adalah orang yang menyampaikan pemikiran atau

informasi yang dimilikinya keada orang lain (penerima pesan). Pengirim pesan

bertanggung jawab dalam menerjemahkan pemikiran atau informasinya menjadi

sesuatu yang berarti dapat berupa pesan verbal, non verbal dan tulisan atau

kombinasi dari ketiganya. Pengirim pesan (komunikator) yang baik adalah

komunikator yang menguasai materi, pengetahuannya luas tentang informasi

yang disampaikan, cara berbicaranya jelas dan menjadi pendengar yang baik saat

dikonfirmasi oleh si penerima pesan (komunikan).

b. Pesan atau informasi (message)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pesan komunikasi adalah:

 Tingkat kepentingan informasi

 Sifat pesan

 Kemungkinan pelaksanaannya

 Tingkat kepastian dan kebenaran pesan


 Kondisi pada saat pesan diterima

 Penerima pesan

 Cara penyampaian pesan

c. Saluran (channel)

Saluran komunikasi adalah media yang dilalui pesan. Jarang sekali komunikasi

berlangsung melalui hanya satu saluran, biasanya menggunakan dua, tiga atau

empat saluran yang berbeda secara simultan. Contohnya dalam interaksi tatap

muka, kita berbicara dan mendengarkan (saluran suara), tetapi kita juga

memberikan isyarat tubuh dan menerima isyarat ini secara visual (saluran

visual). Kita juga memancarkan dan mencium bau- bauan (saluran olfaktori) dan

seringkali kita saling menyentuh (saluran taktil). Media fisik yang sering

digunakan di rumah sakit adalah telpon, brosur, surat edaran, memo, internet, dan

lain- lain.

d. Penerima pesan (receiver)

Penerima pesan adalah orang yang menerima pesan dari sumber informasi

(komunikator). Penerima pesan akan menerjemahkan pesan (decoding)

berdasarkan pada batasan pengertian yang dimilikinya. Dengan demikian dapat

saja terjadi kesenjangan antara yang dimaksud oleh pengirim pesan dengan yang

dimengerti oleh penerima pesan yang disebabkan oleh adanya kemungkinan

hadirnya gangguan atau hambatan. Hambatan ini terjadi karena perbedaan sudut

pandang pengetahuan atau pengalaman, perbedaan budaya, masalah bahasa, dan

lainnya. Pada saat menyampaikan pesan, pengirim pesan (komunikator) harus

memastikan apakah pesan telah diterima dengan baik atau tidak. Sementara

penerima pesan perlu berkonsentrasi agar pesan diterima dengan baik dan

memberikan umpan bailik (feedback) kepada pengirim pesan.


e. Umpan balik

Umpan balik merupakan tanggapan komunikan terhadap pesan yang diberikan

oleh komunikator. Umpan balik dapat berupa tanggapan verbal atau non verbal

dan sangat penting sekali sebagai proses klarifikasi untuk memastikan tidak

terjadi kesalahan dalam menginterpretasikan pesan.

f. Gangguan.

Gangguan adalah sesuatu yang menghambat atau mengurangi kemampuan kita

untuk mengirim dan menerima pesan.

Gangguan komunikasi ini meliputi:

 Pengacau indra, misalnya suara terlalu keras atau lemah, bau menyengat,

udara panas, dan lain-iain

 Faktor- faktor pribadi, antara lain prasangka, lamunan, dan lain- lain

2.2.5 Syarat komunikasi efektif

Komunikasi merupakan proses yang kompleks (Studies & Studies, 2017). Syarat

dalam komunikasi efektif adalah tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan mudah

dipahami oleh penerima, sehingga dapat mengurangi tingkat kesalahan

(kesalahpahaman). Lima Hukum Komunikasi Yang Efektif (The 5 Inevitable Laws of

Efffective Communication) terangkum dalam satu kata yang mencerminkan esensi

dari komunikasi itu sendiri yaitu REACH, yang berarti merengkuh atau meraih.

a. Respect : sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita

sampaikan. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling

menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerjasama yang

menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektifitas kinerja kita baik sebagai

individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.


b. Empathy : kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau

kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki

sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih

dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan

menimbulkan respek atau penghargaan, dan rasa respek akan membangun

kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork.

c. Audible : dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita

harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan

baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh

penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui

media hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hukum ini

mengacu pada kemampuan kita untuk menggunakan berbagai media maupun

perlengkapan atau alat bantu audio visual yang  akan membantu kita agar pesan

yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik.

d. Clarity: kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi

interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Karena kesalahan penafsiran

atau pesan yang dapat menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan

dampak yang tidak sederhana. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan

transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka

(tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa

percaya dari penerima pesan atau anggota tim kita. Karena tanpa keterbukaan

akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat

dan antusiasme kelompok atau tim kita.

e. Humble : rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum

pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh
sikap rendah hati yang kita miliki. Sikap rendah hati pada intinya antara lain:

sikap yang penuh melayani, sikap menghargai, mau mendengar dan menerima

kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui

kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta

mengutamakan kepentingan yang lebih besar.

Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada hal-hal tersebut diatas maka

kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal dan pada gilirannya dapat

membangun jaringan hubungan dengan orang lain yang penuh dengan

penghargaan (respect), karena inilah yang dapat membangun hubungan jangka

panjang yang saling menguntungkan dan saling menguatkan dengan

menjalankan komunikasi efektif. Komunikasi efektif antara pasien dan perawat

terus berlangsung bahkan sampai proses pemulangan, diantaranya terkait

pengobatan. Perawat tidak hanya berinteraksi dengan pasien, tapi juga dengan

keluarga atau orang tua pasien anak (Jones, 2016 ) .

Kemampuan komunikasi perawat dapat ditingkatkan melalui program pelatihan

(Kendall-taylor & Levitt, 2017)(Plantinga et al., 2012).


2.3 Kerangka Teori

Advokasi pasien Komunikasi efektif:


(Jahromi et al, 2012) Klasifikasi komunikasi
Jenis komunikasi
Model komunikasi
Syarat komunikasi efektif
Dasar-dasar
advokasi: ( Widjaja, 2012) .
Hak azazi
Etika medis (Widjaja, 2012)
Empati
Belas kasih
Peduli
(Rosiek &
Leksowski, 2013) Pengetahuan dan sikap
(Leksowski, 2013; perawat
Gelhaus, 2013)

Peran perawat sebagai


advocator:
melalui lingkungan Pelatihan manajemen
melalui kepemimpinan advokasi
terhadap azazi manusia (Reyes, Hadley, &
( Gyamfi & Davenpor, 2013)
Breya, 2016). Davenpor, 2013)
BAB 3

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN

DEFINISI OPERASIONAL

Bab ini berisi kerangka konsep, hipotesis dan definisi operasional. Bab ini mempermudah

peneliti memahami masing-masing variabel penelitian.

3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian karena

kerangka konsep akan menggambarkan bagaimana penelitian akan dilakukan. Kerangka

konsep merupakan penjelasan mengenai variable yang akan diteliti berdasarkan konsep

terpilih ( Dharma, 2013) .

Adanya kerangka konsep akan membantu peneliti untuk berfokus pada variabel apa saja

yang akan diteliti.

Penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel

bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab timbulnya perubahan pada

variabel terikat ( Sugiyono, 2016) .Pada penelitian ini variabel bebas yang ditentukan oleh

peneliti adalah pelatihan advokasi. Variable terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau

menjadi akibat dari variable bebas ( Sugiyono, 2016) . Pada penelitian ini variabel terikat

yang akan diukur adalah sikap dan pengetahuan perawat dalam komunikasi efektif terkait

advokasi pasien.
Berdasarkan uraian di atas, kerangka konsep penelitian dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Variabel Terikat
Variabel Terikat

Pengetahuan dan sikap Pengetahuan dan sikap


perawat dalam komunikasi perawat dalam
efektif terkait advokasi komunikasi efektif terkait
pasien sebelum intervensi advokasi pasien setelah
intervensi

Pelatihan Manajemen
Advokasi

Variabel bebas

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Hipotesis

Hipotesis adalah suatu pernyataan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya dengan uji

statistik yang sesuai ( Dharma, 2013; Sugiyono, 2016). Berdasarkan rumusan masalah yang

terdahulu maka hipotesis yang diajukan dalam penelitiaan ini adalah sebagai berikut:

3.2.1 Ada perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi

efektif terkait advokasi pasien pada kelompok intervensi sebelum dan sesudah

pelatihan manajemen advokasi.


3.2.2 Ada perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi

efektif terkait advokasi pasien pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah

pelatihan manajemen advokasi.

3.2.3 Ada perbedaan tingkat pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi

efektif terkait advokasi pasien pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol sesudah pelatihan manajemen advokasi

3.3. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam sebuah penelitian membantu memberikan pemahaman yang sama

terhadap suatu variabel. Definisi operasional ditetapkan berdasarkan karakteristik variabel

yang akan diamati. Berikut adalah definisi operasional dalam penelitian ini.

Tabel 3.1. Definisi operasional variabel bebas

Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil Skala


operasional Ukur Ukur

Pelatihan Kegiatan pelatihan Modul Mengikuti 0= Nominal


manajeme manajemen pelatihan pelatihan kelompo
n advokasi advokasi pasien manajemen manajemen k yang
kepada perawat advokasi advokasi tidak
dan mengiku
dievalusi ti
menggunak pelatihan
an format
evaluasi 1=
kelompo
k yang
mengiku
ti
pelatihan

Tabel. 3.2. Definisi operasional penelitian variabel terikat


Variabel Definisi Alat ukur Cara ukur Hasil Skala
operasional Ukur Ukur

Pengetah Kemampuan Angket atau Menjawab 20 Rentan Rasio


uan teoritis perawat kuesioner pertanyaan yang g nilai
perawat mengenai diberikan terkait pengeta
dalam komunikasi komunikasi huan
komunik efektif terkait efektif dan adalah
asi advokasi pasien manajemen 0-100
efektif advokasi pasien
terkait
advokasi Benar: nilai 5

Salah: nilai 0

Sikap Persepsi Angket atau Diukur dengan Rentan Rasio


perawat perawat kuesioner kuesioner yang g nilai
terdiri dari 20
dalam terhadap sikap item pernyataan sikap =
komunik dalam memakai skala 20 s/d
asi komunikasi Likert yaitu: 100
efektif efektif terkait
terkait advokasi pasien 1:Hampir tidak
advokasi pernah
2: Jarang
3:Kadang –
kadang
4: Sering
5: Hampir Selalu
BAB 4

METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan metode penelitian yang digunakan selama pelaksanaan penelitian yang

berisikan jenis penelitian, populasi dan sampel, tempat dan waktu penelitian, etika penelitian,

alat pengumpul data, uji validitas dan reabilitas, prosedur pengumpulan data, dan analisis

data.

4.1. Jenis Penelitian

Desain penelitian adalah metode yang digunakan peneliti dan memberikan arah jalannya

penelitian ( Dharma, 2013). Penelitian ini menggunakan desain quasi-eksperimental atau

eksperimental semu dengan pretest-posttest nonequivalent control group. Desain ini dipilih

oleh peneliti karena sesuai dengan tujuan peneliti untuk melihat pengaruh pelatihan

manajemen advokasi terhadap pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif

perawat terkait advokasi pasien. Gambar 4.1 adalah bagan rancangan penelitian yang

digunakan:
Kelompok
intervensi O1 O2

Kelompok
kontrol O3 O4

Gambar 4.1
Quasi eksperimental pretest-post test nonequivalent control group
Keterangan:

O1 : Pretest pada responden di kelompok intervensi sebelum pelatihan

O2 : Postest pada responden di kelompok intervensi sesudah pelatihan

O3 : Pretest pada responden di kelompok kontrol

O4 : Posttest pada responden di kelompok kontrol

: perlakuan/intervensi berupa pelatihan manajemen advokasi

∆ O1-O2 : Perbedaan pengetahuan dan sikap perawat pada responden di kelompok intervensi
sebelum dan sesudah intervensi

∆ O3-O4 : Perbedaan pengetahuan dan sikap perawat pada responden di kelompok kontrol
sebelum dan sesudah intervensi

∆ O2-O4 : Perbedaan pengetahuan dan sikap perawat antara responden pada kelompok
intervensi dengan kelompok kontrol sesudah intervensi

4.2. Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari unit yang akan diamati ( Sabri & Hastono, 2014)

Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di RS Asyiyah Padang.

4.2.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan diukur dan kemudian dipakai untuk

menduga karakter populasi ( Sabri & Hastono, 2014). Jumlah sampel ditentukan dengan

menghitung besar sampel. Besar sampel ditentukan berdasarkan tujuan analisis data. Pada

penelitian ini peneliti menggunakan rumus besar sampel estimasi besar sampel beda 2 mean

kelompok independen ( Dahlan, 2016; Dharma, 2013) yaitu:


= jumlah sampel kelompok intervensi.

= jumlah sampel kelompok kontrol.

= deviasi baku alpa =kesalahan tipe I = 95%. (α = 1-0,95 =0.05). Nilai z untuk α=0.05

adalah 1,96.

= power of test = kesalahan tipe II= 80%. (β= 1-0,80=0,2). Jika β=0,2, maka nilai z adalah

0.842.

= rerata pengetahuan dan sikap perawat pada penelitian sebelumnya atau berdasarkan

literatur. Pada penelitian ini diambil dari penelitian sebelumnya yaitu 63,7 (McPerson

et al, 2012).

= rerata kompetensi perawat pada kelompok intervensi

= selisih minimal mean/rerata yang dianggap bermakna yaitu 20%

= standar deviasi gabungan berdasarkan literatur. Standar deviasi gabungan dihitung dengan

rumus varian yaitu ( Dahlan, 2016) :


Standar deviasi gabungan dalam penelitian sebelumnya adalah 13,7 (McPerson et al.,

2012)

Penghitungan besar sampel untuk penelitian ini adalah:

Berdasarkan rumus tersebut maka penghitungan besar sampel untuk penelitian ini adalah

18,13 atau dibulatkan menjadi 18 orang.

Pada penelitian selalu ada kemungkinan responden yang drop out. Sebagai langkah untuk

mengantisipasi kemungkinan responden drop out maka peneliti menambahkan jumlah

responden cadangan. Rumus yang digunakan peneliti adalah ( Dharma, 2012) :

n' = besar sampel yang telah dikoreksi

n = jumlah sampel berdasarkan penghitungan sebelumnya

f = prediksi persentase sampel drop out.

Pada penelitian ini peneliti memperkirakan kemungkinan sampel drop out adalah 10% (f=

0.1). Penghitungan besar sampelnya menjadi:


Besar sampel sesuai hasil perhitungan yang harus dipenuhi oleh peneliti paling sedikit adalah

20. Jadi jumlah responden minimal pada penelitian ini adalah 40 responden, yaitu 20 orang

pada kelompok intervensi dan 20 orang pada kelompok control.

4.3. Tempat Penelitian

Tempat penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah RS Asyiyah Padang sebagai rumah

sakit intervensi dan RS Siti Hawa Padang sebagai rumah sakit kontrol. Intervensi dilakukan

di RS Asyiyah Padang karena kesesuaian fenomena dengan masalah penelitian.

4.4. Waktu Penelitian

Proses penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Januari s/d Mei 2018.

4.5. Etik penelitian

Penelitian ini menggunakan manusia sebagai subyek penelitian, karena itu penelitian ini

harus memenuhi prinsip etik. Etika penelitian bertujuan untuk melindungi responden dalam

penelitian (Dharma, 2013). Prinsip etik yaitu prinsip kemanfaatan (beneficience), prinsip

menghormati harkat dan martabat manusia (human dignity); serta prinsip keadilan (justice)

(Polit & Beck, 2012 ; Dharma 2013).

Prinsip etik yang harus diperhatikan adalah prinsip kemanfaatan. (Polit & Beck, 2012 ;

Dharma 2013). Polit & Beck (2012) menyebutkan bahwa peneliti harus memperhatikan

prinsip kemanfaatan terutama kepada responden sebagai subyek penelitian, yaitu dengan
memperhatikan hak responden dari perasaan tidak nyaman atau terganggu, dan

memperhatikan hak responden untuk terlindungi dari eksploitasi akibat penelitian. Penelitian

ini juga memberikan hak yang sama kepada responden. Penelitian ini tidak melakukan

intervensi invasif kepada responden, sehingga tidak akan menimbulkan ketidaknyamanan

secara fisik. Peneliti akan memberikan penjelasan mengenai aktivitas penelitian dan manfaat

yang akan didapat dengan penelitian ini terutama bagi responden. Peneliti juga akan

memperhatikan dan mendiskusikan waktu yang tepat untuk memulai penelitian dan

diupayakan untuk meminimalisir pekerjaan responden terganggu. Sebagai upaya untuk

menghindari responden dari eksploitasi, peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas

responden.

Setiap penelitian harus lebih banyak memberikan manfaat daripada kerugian. ( Dharma,

2013) menyebutkan bahwa rasio antara manfaat penelitian harus lebih besar daripada

kerugiannya. Penelitian ini dilaksanakan dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan bagi

pengembangan SDM Keperawatan secara umum dan secara khususnya di RS Asyiyah dan

RS Siti Hawa Padang. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh

responden maupun oleh pihak yang terkait dengan pengembangan ilmu dan profesi

keperawatan.

Prinsip etik yang juga harus diperhatikan pada setiap penelitian adalah terkait harkat dan

martabat manusia. Polit & Beck (2013) menyebutkan ada dua hak yang terkait dengan prinsip

menghormati harkat dan martabat responden sebagai manusia yaitu hak untuk mengambil

keputusan dan mendapat penjelasan mengenai penelitian yang dilakukan. Pada penelitian ini

peneliti akan memberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan, termasuk

menjelaskan hak dan kewajiban responden, serta manfaat dan kerugiannya. Peneliti akan

memberikan kesempatan penuh kepada responden untuk mendapat penjelasan, bertanya, dan

mengambil keputusan untuk mengikuti atau menolak terlibat dalam penelitian. Peneliti akan
membuat lembar informed consent penelitian sebagai bagian dari pelaksanaan prinsip ini.

Informed consent adalah persetujuan untuk berpartisipasi sebagai responden setelah

mendapatkan penjelasan yang lengkap dan terbuka tentang keseluruhan pelaksanaan

penelitian (Dharma, 2013).

Prinsip etik yang juga penting adalah prinsip keadilan. Polit & Beck (2013) menyebutkan

dalam prinsip keadilan, terdapat dua hak responden yaitu hak untuk menerima perlakuan

yang sama dan hak untuk mendapatkan privasi. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan

seleksi responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan untuk

penelitian ini, bukan berdasarkan jabatan atau status sosial. Perlakuan yang diberikan saat

intervensi kepada setiap responden sama. Khusus pada kelompok kontrol, intervensi akan

dilakukan setelah selesai penelitian.

Sebagai usaha untuk menjaga privasi responden, peneliti akan menjaga anonimitas responden

dengan cara tidak mencantumkan nama reponden pada instrumen dan hanya diberi kode

untuk membantu mempermudah peneliti menganalisis data. Data yang diperoleh hanya akan

digunakan untuk kepentingan penelitian. Data yang diperoleh disimpan dalam bentuk

softcopy dan hardcopy. Data berupa softcopy di simpan dalam komputer, dan dikunci dengan

kata sandi (password) yang hanya diketahui oleh peneliti. Data dalam bentuk hardcopy akan

disimpan oleh peneliti dalam lemari yang kuncinya hanya disimpan oleh peneliti.

4.5.1. Informed Consent

Sebelum penelitian dilaksanakan peneliti akan meminta informed consent dari responden.

Kegiatan informed consent berarti responden sudah mendapatkan penjelasan yang adekuat

tentang penelitian yang akan dilakukan, dan responden yang memutuskan ikut atau tidak.

Dokumentasi informed consent dalam bentuk tertulis penting dilakukan sebagai bukti bahwa
peneliti telah memberikan penjelasan kepada responden dan bukti persetujuan responden

(Denis F Polit & Beck, 2013).

Pada penelitian ini informed consent berisi status responden, tujuan penelitian, data yang

akan diambil, prosedur penelitian, potensial resiko, penjelasan kerahasiaan, berpartisipasi

secara sukarela, hak untuk mundur dari penelitian serta nomor kontak peneliti. Pada lembar

informed consent juga terdapat kolom tanda tangan sebagai tanda persetujuan responden.

Informed consent dimintakan kepada perawat yang menjadi responden.

4.6. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpul data pada penelitian ini berupa kuesioner pre test dan post test. Instrument

penelitian yang disebarkan meliputi instrument A untuk data demografi, instrument B berupa

kuesioner untuk mengukur dimensi pengetahuan perawat, instrument C berupa kuesioner

untuk mengukur dimensi sikap perawat.

4.6.1 Instrumen A (Data Demografi)

Peneliti menggunakan instrumen A untuk mengetahui karakteristik responden dari penelitian.

Data karakteristik responden merupakan data primer, terdiri dari variabel usia, jenis kelamin,

tingkat pendidikan, status pernikahan dann masa kerja.

4.6.2 Instrumen B (Dimensi Pengetahuan Perawat)

Instrumen ini digunakan untuk mengukur dimensi pengetahuan perawat tentang komunikasi

efektif terkait advokasi pasien. Instrumen berisi pertanyaan pilihan ganda tentang manajemen

advokasi dan komunikasi efektif. Pertanyaan pada kuesioner B terdiri dari 20 pertanyaan

tertutup dengan 4 pilihan jawaban. Responden akan memilih salah satu jawaban dari 4 pilihan

jawaban tersedia dengan memberikan tanda silang (x) pada jawaban yang dianggap benar.

Jawaban yang benar diberi nilai 5 dan jawaban yang salah diberi nilai 0. Total jawaban benar
dimasukkan kedalam rumus . Nilai maksimum yang diperoleh adalah

100

Tabel 4.2 Kisi-kisi Instrumen B

No Dimensi Jumlah Pertanyaan


1 Definisi advokasi pasien 2
2 Dasar-dasar advokasi pasien 2
3 Prinsip-prinsip etik 2
4 Advokasi pasien oleh Florence Nightingale 2
5 Dasar hukum dalam advokasi 2
6 Ukuran baik dan buruk secara universal 2
7 Informed consent 2
8 Syarat komunikasi efektif 2
9 Tujuan konseling 2
10 Karakteristik mendengarkan aktif 2

Jumlah pertanyaan 20

4.6.3 Instrumen C (Dimensi Sikap Perawat)

Instrumen C digunakan untuk mengukur dimensi sikap perawat dalam komunikasi efektif

terkait advokasi pasien. Pada instrumen ini terdapat 20 pernyataan tertutup dengan 5 pilihan

jawaban yaitu HTP (hampir tidak pernah), JR (jarang), KK (kadang-kadang), SR (sering) dan

SL (selalu). Pernyataan positif diberikan nilai HTP=1, JR=2, KK=3, SR=4, dan SL=5.

Sebaliknya pada pernyataan negatif diberikan nilai HTP=5, JR=4, KK=3, SR=2, dan SL=1.

Nilai minimal adalah 20 dan nilai maksimal adalah 100.


Tabel 4.3 Kisi-kisi Instrumen C

No Dimensi Indikator Jumlah Pernyataan


1 Penerapan dasar-dasar 2
Hak Azazi Manusia
advokasi
2 Etik 2
3 Empati 2
4 Belas kasih 2
5 Peduli 2
6 Penerapan komunikasi 2
Respect
efektif
7 Empathy 2
8 Audible 2
9 Clarity 2
10 Humble 2

Total pernyataan 20

4.7 Pengujian Instrumen

Pengujian instrument dilakukan agar instrument kuesioner bersifat valid dan reliabel,

terutama untuk instrument yang belum baku atau bukan merupakan suatu standar. Instrumen

yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak agar hasil penelitian dapat dikatakan valid

dan reliabel (Sugiyono, 2016). Penelitian ini menggunakan instrument berupa kuesioner yang

berasal dari modifikasi kuesioner penelitian sebelumnya dan konsep yang digunakan peneliti.

Uji instrument dilakukan terhadap 30 perawat baru yang memenuhi kriteria inklusi yang

sama dengan responden penelitian. Pengujian instrumen direncanakan dilakukan di RSB

Cicik Padang.

4.7.1 Uji Validitas Instrumen

Uji validitas menunjukkan kesahihan alat ukur atau seberapa dekat instrument tersebut dapat

mengukur apa yang ingin diukur (Sugiyono, 2016). Tujuannya untuk mengurangi bias
pengukuran baik berupa bias pengamat, bias subjek maupun bias instrument (Sastroasmoro &

Ismael, 2013). Sebuah instrument disebut valid apabila dapat mengukur sesuatu dengan tepat.

Uji validitas terdiri dari uji validitas internal dan uji validitas eksternal. Uji validitas internal

adalah uji validitas terhadap instrument yang disusun berdasarkan konsep dan teori yang ada,

terdiri dari validitas konstruk dan validitas isi (Sugiyono, 2016). Instrumen kompetensi

adalah instrument tes sehingga harus dilakukan uji validitas internal berupa validitas konstruk

dan validitas isi. Adapun rumus uji statistic yang digunakan adalah rumus Pearson Product

Moment yaitu :

r= korelasi
n= jumlah sampel
X= skor item
Y= skor total

Apabila angka korelasi (r-hitung) antara skor item (X) dengan skor total (Y) lebih besar

daripada r-tabel, maka item tersebut adalah valid dan apabila r-hitung lebih kecil daripada r-

tabel maka item tersebut tidak valid (Sabri &Suhartono, 2014). Cara lain untuk melihat

korelasi item dengan kriteria adalah dengan menetapkan syarat minimum angka korelasi

r=0,3 baru kemudian item tersebut dianggap valid (Sugiyono, 2016 ).

4.7.2 Uji Reliabilitas Instrumen

Uji reliabilitas dilakukan untuk memastikan keandalan suatu instrumen, agar pengukuran

yang dilakukan dapat memberikan hasil yang tepat (Sugiyono, 2016 ).

Pada penelitian ini uji reliabilitas akan dilakukan setelah dilakukan uji validitas dan

menggunakan metode one shoot atau pengukuran satu kali saja (Hastono, 2016).
Uji statistic untuk mengukur reliabilitas suatu instrument menggunakan rumus Cronbach

Alpha yaitu :

r = reliabilitas instrument
k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
∑ = jumlah varian butir

= varians total

Reliabilitas instrumen penelitian ini menunjukkan konsistensinya jika nilai cronbach alpha ≥

0,6 yang artinya variable reliable (Hastono, 2016).

4.8 Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data merupakan tahapan pengumpulan data yang akan digunakan

dalam penelitian. Tahapan pengumpulan data dimulai dari tahapan persiapan penelitian,

pelaksanaan penelitian dan membuat kerangka alur kerja penelitian.

4.8.1 Tahap Persiapan Penelitian

Tahap persiapan meliputi pembuatan proposal penelitian beserta instrument yaitu berupa

kuesioner penelitian. Pada pembuatan proposal peneliti melakukan pendekatan dan studi

pendahuluan ke tempat yang akan digunakan sebagai tempat penelitian. Setelah melalui

seminar uji proposal maka peneliti mengajukan uji etik (ethical clearance) dari komite etik

penelitian Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Andalas. Langkah berikutnya peneliti

mengurus persyaratan administrasi di Rumah Sakit yang dijadikan penelitian termasuk ijin

untuk uji validitas instrument. Setelah mendapatkan izin uji validitas maka peneliti
melakukan uji validitas dan reliabilitas instrument di Rumah sakit yang tidak dijadikan

tempat penelitian.

4.8.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan segera setelah mendapatkan ijin tertulis dari direktur RS yang

dijadikan tempat penelitian. Adapun pelaksanaan penelitian terbagi dalam beberapa tahap

yaitu:

b. Pada kelompok intervensi

Ada 4 kegiatan utama yang akan dilakukan kepada kelompok intervensi yaitu informed

consent, pretest, intervensi dan posttest. Peneliti akan melakukan informed consent kepada

perawat yang menjadi responden pada penelitian ini dan kemudian akan dilakukan pretest

menggunakan kuesioner B dan C.

Pada tahap berikutnya peneliti akan melakukan pelatihan manajemen advokasi. Post test akan

kembali dilakukan kepada responden di kelompok intervensi setelah 2 minggu menggunakan

instrument B dan C.

c. Pada kelompok kontrol

Pada kelompok kontrol ada 3 kegiatan yang dilakukan yaitu informed consent, pre test dan

post test. Peneliti akan melakukan informed consent kepada perawat yang menjadi responden

penelitian dan kemudian melaksanakan pretest bagi responden. Setelah 2 minggu tanpa

intervensi peneliti kembali mengambil data post test pada kelompok kontrol. Instrument yang

digunakan pada pre test dan post test adalah intrumen A, B dan C.
Alur Kerangka Kerja Penelitian
Pengajuan ijin Pengajuan ijin
penelitian di RS penelitian di RS Siti
Aisyiyah Padang Hawa Padang

Responden Kelompok
Responden Kelompok
intervensi:
kontrol:
Informed consent
Informed consent
Pretest
Pretest

Intervensi:

Pelaksanaan pelatihan
manajemen advokasi

Responden Post test setelah 2 Responden Posttest


minggu setelah 2 minggu

Intervensi setelah
penelitian

Gambar 4.2
Alur Kerangka Kerja Penelitian
4.9 Pengolahan dan Analisis Data

Pada penelitian pengolahan dan analisis data merupakan tahapan penting. Pengolahan data

adalah kegiatan meringkas dan menyajikan data yang didapat dari instrument penelitian

( Hastono , 2016 )Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis

data yang telah dikumpulkan dengan berbagai cara.


4.9.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan peneliti setelah data terkumpul dan prosesnya meliputi editing,

coding, processing dan cleaning ( Hastono , 2016 ; Notoadmodjo, 2012).

1. Editing

Editing adalah kegiatan memeriksa isian instrument atau data yang telah dikumpulkan

(Hastono, 2016). Pada saat editing, peneliti akan melihat kelengkapan isian, jelas atau

tidaknya jawaban, relevansi dan konsisten. Jika ada data yang belum lengkap atau meragukan

maka peneliti akan mengklarisfikasi untuk melengkapi, mengkoreksi atau jika perlu

mengambil data ulang.

2. Coding

Coding adalah proses transformasi data menjadi simbol (Denise F Polit & Beck, 2011) .

Peneliti pada tahap ini akan memberikan kode pada setiap data yang termasuk dalam kategori

yang sama. Tujuannya adalah untuk memudahkan peneliti memasukkan data (data entry) dan

menganalisis data.

3. Processing

Processing atau pemrosesan data diawali dengan memasukkan data (data entry) lalu

mengolahnya menggunakan software pengolahan data di komputer. Pada tahap ini peneliti

akan melakukan entry data segera setelah data terkumpul dan di berikan kode.

4. Cleaning

Pembersihan data atau cleaning dilakukan setelah entri data untuk memeriksa kembali

kemungkinan kesalahan kode. Pada penelitian ini, peneliti akan melakukan pengecekan dari

output untuk melihat ada tidaknya data yang hilang (missing data).
4.9.2 Analisis Data

Analisis data menggunakan teknik analisis data. Ada 2 macam teknik analisis data dalam

penelitian ini yaitu analisis univariat dan analisis bivariat.

a. Analisis univariat

Analisis univariat merupakan analisis deskriptif yang mendeskripsikan karakteristik

responden atau variable penelitian. Pada penelitian ini analisis univariat dilakukan pada data

yang didapatkan dari kuesioner A yang berisi data demografi responden berupa umur,

pendidikan, jenis kelamin, status pernikahan dan masa kerja. Jenis data numerik seperti usia

dan masa kerja dihitung tendensi sentral (mean dan median) dan nilai dispersi (standar

deviasi dan CI). Jenis data kategorik seperti pendidikan, jenis kelamin, dan status pernikahan

dihitung proporsi (presentasenya ) lalu disajikan dalam bentuk tabel proporsi (persentase).

Tabel 4. 4 Analisis univariat

Variable Jenis analisis Penyajian

Usia Deskriptif Tabel mean, median, standar deviasi dan CI

Pendidikan Deskriptif Tabel proporsi

Jenis kelamin Deskriptif Tabel proporsi

Status pernikahan Deskriptif Tabel proporsi

Masa kerja Deskriptif Tabel mean, median, standar deviasi dan CI

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat adalah analisis yang menghubungkan antara 2 variabel yaitu variabel bebas

dan variabel terikat. Tujuan dari analisis penelitian ini untuk mengetahui perbedaan yang

signifikan pada kedua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Analisis
bivariat untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi

efektif terkait advokasi pasien sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing

kelompok (kontrol dan intervensi) adalah menggunakan dependent t-test. Analisis bivariat

untuk mengetahui perbedaan pengetahuan dan sikap perawat dalam komunikasi efektif

terkait advokasi pasien sebelum dan sesudah intervensi antar kelompok kontrol dan

kelompok intervensi menggunakan uji independent t-test.

Berikut adalah jenis uji yang akan digunakan pada penelitian ini:

Tabel 4.5 Uji Bivariat

Jenis uji jika data Uji Alternatif jika


No Variable
normal data tidak normal

1 Pengetahuan dan sikap perawat Dependent t-test Wilcoxon test


dalam komunikasi efektif terkait
advokasi pasien sebelum dan
setelah intervensi pada
kelompok intervensi

2 Pengetahuan dan sikap perawat Dependen t-test Wilcoxon test


dalam komunikasi efektif terkait
advokasi pasien sebelum dan
setelah intervensi pada
kelompok kontrol

3 Pengetahuan dan sikap perawat Independent t-test Mann Whitney Test


dalam komunikasi efektif terkait
advokasi pasien setelah
intervensi antara kelompok
intervensi dengan kelompok
kontrol

Uji bivariat menggunakan dependent t-test atau paired t-test dilakukan untuk menguji beda

mean antara hasil pretest dengan post test dalam satu kelompok yang sama. Pada penelitian

ini dependent t-test dilakukan untuk menguji beda mean pre-test dan post-test pada kelompok

intervensi dan pada kelompok kontrol. Dependent t-test dapat dilakukan dengan syarat data
normal. Setelah itu dilanjutkan dengan Levine test untuk melihat homogenitas data untuk

menentukan asumsi nilai p. Nilai p uji T pada data yang homogen ditentukan berdasarkan

equal variance assumed, sedangkan pada data yang tidak homogen menggunakan equal

variance not assumed. Baik pada data homogen maupun tidak, jika nilai p≤α maka

perbedaan mean antar kelompok dianggap signifikan. Jika sebaran data tidak normal maka uji

alternatif yang digunakan untuk melihat beda mean dalam satu kelompok yaitu Wilcoxon test.

Uji bivariat menggunakan Independent T-Test digunakan untuk menguji beda mean antara

kelompok yang berbeda, dalam penelitian ini yaitu kelompok intervensi dengan kelompok

kontrol. Independent T-Test digunakan jika sebaran data normal, setelah itu dilanjutkan

dengan Levine Test untuk melihat homogenitas data. Nilai p uji T pada data yang homogen

ditentukan berdasarkan equal variance assumed, sedangkan pada data yang tidak homogen

menggunakan equal variance not assumed. Baik pada data homogen maupun tidak, jika nilai

p≤α maka perbedaan mean antar kelompok dianggap signifikan. Jika sebaran data tidak

normal maka untuk melihat perbedaan mean antar 2 kelompok (kelompok intervensi dan

kelompok kontrol) maka digunakan Mann Whitney test.


DAFTAR PUSTAKA

Abedsaeedi, Z. (n.d.). Nurses ’ Experience of the Perception of Nursing Conscience : A


Phenomenological Study, 210–226.

Armstrong, M. J., Mullins, C. D., Gronseth, G. S., & Gagliardi, A. R. (2017).


Recommendations for patient engagement in guideline development panels : A
qualitative focus group study of guideline-na ï ve patients, 1–17.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0174329

Bogart, L. M., Wagner, G. J., Mutchler, M. G., Risley, B., Mcdavitt, B. W., Mckay, T., … Al,
B. E. T. (2012). COMMUNITY HIV TREATMENT ADVOCACY pROGRAMS MAY
SUPPORT TREATMENT ADHERENCE, 24(1), 1–14.

Brickle, B. C. M. (2015). Guest editorial, (November), 2015–2017.

Brown-saltzman, C. P. K., Fine, A., & Jakel, P. (2013). Making the Call : A Proactive Ethics
Framework, 269–283. http://doi.org/10.1007/s10730-013-9213-5

Charles, S. (2017). The moral agency of institutions : effectively using expert nurses to
support patient autonomy, 506–509. http://doi.org/10.1136/medethics-2016-103448

Cline, C., Heesters, A., & Secker, B. (2012). Education for Ethics Practice : Tailoring
Curricula to Local Needs and Objectives, 227–243. http://doi.org/10.1007/s10730-012-
9187-8

Darko, V., Mckool, M., Bayer, C. R., Smith, L. L., Yan, F., & Heiman, H. (2017).
Understanding health policy leaders ’ training needs, 1–10.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0174054

Dauwerse, L., Weidema, F., Abma, T., Molewijk, B., & Widdershoven, G. (2014). Implicit
and Explicit Clinical Ethics Support in The Netherlands : A Mixed Methods Overview
Study, 95–109. http://doi.org/10.1007/s10730-013-9224-2

Elteren, A. H. G. V. A. N., Abma, T. A., & Widdershoven, G. A. M. (2012). Empirical Ethics


within Rapidly Changing Practices A Forced Detoxification Program in Psychiatry,
493–504. http://doi.org/10.1017/S0963180112000266

Emrich, I. A., Fro, L., Bruns, F., Friedrich, B., & Frewer, A. (2014). Clinical Ethics and
Patient Advocacy, 111–124. http://doi.org/10.1007/s10730-013-9225-1

Exactly, W., & Empirical, I. (2012). How Can Empirical Ethics Improve Medical Practice ?,
517–526. http://doi.org/10.1017/S096318011200028X

Gelhaus, P. (2013). The desired moral attitude of the physician : ( III ) care, 125–139.
http://doi.org/10.1007/s11019-012-9380-1

Graber, A. D., & Rizzo, M. (2016). Ethical Practice Under Accountable Care. HEC Forum,
28(2), 115–128. http://doi.org/10.1007/s10730-015-9280-x

Granot, T., Gordon, N., Perry, S., Rizel, S., & Stemmer, S. M. (2016). between Oncology
Staff and Family Members of Deceased Patients : A Cross- Sectional Study, 1–12.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0162813

Horowitz, A. M., Clovis, J. C., Wang, M. Q., & Dushanka, V. (2013). Use of Recommended
Communication Techniques by Maryland Dental Hygienists, 87(4).

Huang, Y., Lin, Y., & Saxton, G. D. (2016). GIVE ME A LIKE : HOW HIV / AIDS
NONPROFIT ORGANIZATIONS CAN ENGAGE THEIR AUDIENCE ON
FACEBOOK, 28(6), 539–556.

Kendall-taylor, N., & Levitt, P. (2017). NeuroView Beyond Hat in Hand : Science Advocacy
Is Foundational for Policy Decisions NeuroView, 708–713.
http://doi.org/10.1016/j.neuron.2017.04.039

Lanoix, M. (2013). The ethics of imperfect cures : models of service delivery and patient
vulnerability, 690–694. http://doi.org/10.1136/medethics-2011-100302

Mathu, P. O., & Scott, P. A. (2012). Patient autonomy and choice in healthcare : self-testing
devices as a case in point, 383–395. http://doi.org/10.1007/s11019-011-9356-6

Mcclellan, K. A., Kleiderman, E., Black, L., Bouchard, K., Dorval, M., Simard, J., … Avard,
D. (2013). Exploring resources for intrafamilial communication of cancer genetic risk :
we still need to talk, 21(9), 903–910. http://doi.org/10.1038/ejhg.2012.286

Med, D. P. (2015). Partnering With Patients in the Development and Lifecycle of Medicines :
A Call for Action.

Meretoja, R., Isoaho, H., & Leino-Kilpi, H. (2004). Nurse Competence Scale: development
and psychometric testing. Journal of Advanced Nursing, 47(2), 124–133.
http://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2004.03071.x

Motamed-jahromi, M., Abbaszadeh, A., Borhani, F., & Zaher, H. (2012). Iranian Nurses ’
Attitudes and Perception towards Patient Advocacy, 2012.
http://doi.org/10.5402/2012/645828

Piryani, R. M. A. L. (n.d.). Needs Assessment for Teaching / Learning Nursing Ethics for
Master of Nursing Students, 0–9.

Plantinga, M., Molewijk, B., Bree, M. De, Moraal, M., Verkerk, M., & Widdershoven, G. A.
M. (2012). Training healthcare professionals as moral case deliberation facilitators :
evaluation of a Dutch training programme, 630–635. http://doi.org/10.1136/medethics-
2012-100546

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2011). Nursing Research: Generating and Assessing Evidence for
Nursing Practice, 9th Edition. Philadelphia: Wolter Kluwer | Lippincott Williams &
Wilkins. http://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2013). Essential Of Nursing Research Appraising Evidence for
Nursing Practice. Journal of Chemical Information and Modeling (7th ed., Vol. 53).
Philadelphia: Wolter Kluwer | Lippincott Williams & Wilkins.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Rocha, J. (n.d.). Autonomous Abortions: The Inhibiting of Women’s Autonomy through
Legal Ultrasound Requirements, 22(1), 35–58.

Rosiek, A., & Leksowski, K. (2013). How the Practicing Physician Encounters Human
Rights in Daily Clinical Situations, 4(1). http://doi.org/10.5195/hcs.2013.110

Rusthoven, J. J., & Bioethics, M. (2014). E thical I ssues R aised by C ompassionate A ccess
to E xperimental T herapies.

Sabo, S., Ingram, M., Reinschmidt, K. M., Schachter, K., & Jacobs, L. (2013). Predictors and
a Framework for Fostering Community Advocacy as a Community Health Worker Core
Function to Eliminate Health Disparities, 103(7), 67–74.
http://doi.org/10.2105/AJPH.2012.301108

Salter, C., Brainard, J., Mcdaid, L., & Loke, Y. (2014). Challenges and Opportunities : What
Can We Learn from Patients Living with Chronic Musculoskeletal Conditions , Health
Professionals and Carers about the Concept of Health Literacy Using Qualitative
Methods of Inquiry ?, 9(11). http://doi.org/10.1371/journal.pone.0112041

Smith, S. K., Selig, W., Harker, M., Roberts, J. N., Hesterlee, S., Leventhal, D., … Leventhal,
D. (2015). Patient Engagement Practices in Clinical Research among Patient Groups ,
Industry , and Academia in the United States : A Survey, 1–11.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0140232

Studies, A., & Studies, A. (2017). Aspects of communication in medical life . Doctor-patient
communication : differentiation and customization, 10(1).

Sunguya, B. F., Munisamy, M., Pongpanich, S., & Yasuoka, J. (2016). Ability of HIV
Advocacy to Modify Behavioral Norms and Treatment Impact : A Systematic Review,
106(8), 1–9. http://doi.org/10.2105/AJPH.2016.303179

Tractenberg, R. E., Garver, A., Ljungberg, I. H., Schladen, M., & Groah, S. L. (2017).
Maintaining primacy of the patient perspective in the development of patient- centered
patient reported outcomes, 1–21. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0171114

Unluturk, M. S. (2012). Advanced Nurse-Patient Communication System, (156), 2529–2536.


http://doi.org/10.1007/s10916-011-9725-y

Verkerk, M., & Lindemann, H. (n.d.). Toward a Naturalized Clinical Ethics, 22(4), 289–306.

Wibe, T., Hellesø, R., Varsi, C., Ruland, C., & Ekstedt, M. (2012). How Does an Online
Patient-Nurse Communication Service Meet the Information Needs of Men with
Recently Diagnosed Testicular Cancer ?, 2012. http://doi.org/10.5402/2012/260975

Abedsaeedi, Z. (n.d.). Nurses ’ Experience of the Perception of Nursing Conscience : A


Phenomenological Study, 210–226.

Armstrong, M. J., Mullins, C. D., Gronseth, G. S., & Gagliardi, A. R. (2017).


Recommendations for patient engagement in guideline development panels : A
qualitative focus group study of guideline-na ï ve patients, 1–17.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0174329
Bogart, L. M., Wagner, G. J., Mutchler, M. G., Risley, B., Mcdavitt, B. W., Mckay, T., … Al,
B. E. T. (2012). COMMUNITY HIV TREATMENT ADVOCACY pROGRAMS MAY
SUPPORT TREATMENT ADHERENCE, 24(1), 1–14.

Brickle, B. C. M. (2015). Guest editorial, (November), 2015–2017.

Brown-saltzman, C. P. K., Fine, A., & Jakel, P. (2013). Making the Call : A Proactive Ethics
Framework, 269–283. http://doi.org/10.1007/s10730-013-9213-5

Charles, S. (2017). The moral agency of institutions : effectively using expert nurses to
support patient autonomy, 506–509. http://doi.org/10.1136/medethics-2016-103448

Cline, C., Heesters, A., & Secker, B. (2012). Education for Ethics Practice : Tailoring
Curricula to Local Needs and Objectives, 227–243. http://doi.org/10.1007/s10730-012-
9187-8

Darko, V., Mckool, M., Bayer, C. R., Smith, L. L., Yan, F., & Heiman, H. (2017).
Understanding health policy leaders ’ training needs, 1–10.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0174054

Dauwerse, L., Weidema, F., Abma, T., Molewijk, B., & Widdershoven, G. (2014). Implicit
and Explicit Clinical Ethics Support in The Netherlands : A Mixed Methods Overview
Study, 95–109. http://doi.org/10.1007/s10730-013-9224-2

Elteren, A. H. G. V. A. N., Abma, T. A., & Widdershoven, G. A. M. (2012). Empirical Ethics


within Rapidly Changing Practices A Forced Detoxification Program in Psychiatry,
493–504. http://doi.org/10.1017/S0963180112000266

Emrich, I. A., Fro, L., Bruns, F., Friedrich, B., & Frewer, A. (2014). Clinical Ethics and
Patient Advocacy, 111–124. http://doi.org/10.1007/s10730-013-9225-1

Exactly, W., & Empirical, I. (2012). How Can Empirical Ethics Improve Medical Practice ?,
517–526. http://doi.org/10.1017/S096318011200028X

Gelhaus, P. (2013). The desired moral attitude of the physician : ( III ) care, 125–139.
http://doi.org/10.1007/s11019-012-9380-1

Graber, A. D., & Rizzo, M. (2016). Ethical Practice Under Accountable Care. HEC Forum,
28(2), 115–128. http://doi.org/10.1007/s10730-015-9280-x

Granot, T., Gordon, N., Perry, S., Rizel, S., & Stemmer, S. M. (2016). between Oncology
Staff and Family Members of Deceased Patients : A Cross- Sectional Study, 1–12.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0162813

Horowitz, A. M., Clovis, J. C., Wang, M. Q., & Dushanka, V. (2013). Use of Recommended
Communication Techniques by Maryland Dental Hygienists, 87(4).

Huang, Y., Lin, Y., & Saxton, G. D. (2016). GIVE ME A LIKE : HOW HIV / AIDS
NONPROFIT ORGANIZATIONS CAN ENGAGE THEIR AUDIENCE ON
FACEBOOK, 28(6), 539–556.

Kendall-taylor, N., & Levitt, P. (2017). NeuroView Beyond Hat in Hand : Science Advocacy
Is Foundational for Policy Decisions NeuroView, 708–713.
http://doi.org/10.1016/j.neuron.2017.04.039

Lanoix, M. (2013). The ethics of imperfect cures : models of service delivery and patient
vulnerability, 690–694. http://doi.org/10.1136/medethics-2011-100302

Mathu, P. O., & Scott, P. A. (2012). Patient autonomy and choice in healthcare : self-testing
devices as a case in point, 383–395. http://doi.org/10.1007/s11019-011-9356-6

Mcclellan, K. A., Kleiderman, E., Black, L., Bouchard, K., Dorval, M., Simard, J., … Avard,
D. (2013). Exploring resources for intrafamilial communication of cancer genetic risk :
we still need to talk, 21(9), 903–910. http://doi.org/10.1038/ejhg.2012.286

Med, D. P. (2015). Partnering With Patients in the Development and Lifecycle of Medicines :
A Call for Action.

Meretoja, R., Isoaho, H., & Leino-Kilpi, H. (2004). Nurse Competence Scale: development
and psychometric testing. Journal of Advanced Nursing, 47(2), 124–133.
http://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2004.03071.x

Motamed-jahromi, M., Abbaszadeh, A., Borhani, F., & Zaher, H. (2012). Iranian Nurses ’
Attitudes and Perception towards Patient Advocacy, 2012.
http://doi.org/10.5402/2012/645828

Piryani, R. M. A. L. (n.d.). Needs Assessment for Teaching / Learning Nursing Ethics for
Master of Nursing Students, 0–9.

Plantinga, M., Molewijk, B., Bree, M. De, Moraal, M., Verkerk, M., & Widdershoven, G. A.
M. (2012). Training healthcare professionals as moral case deliberation facilitators :
evaluation of a Dutch training programme, 630–635. http://doi.org/10.1136/medethics-
2012-100546

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2011). Nursing Research: Generating and Assessing Evidence for
Nursing Practice, 9th Edition. Philadelphia: Wolter Kluwer | Lippincott Williams &
Wilkins. http://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2013). Essential Of Nursing Research Appraising Evidence for
Nursing Practice. Journal of Chemical Information and Modeling (7th ed., Vol. 53).
Philadelphia: Wolter Kluwer | Lippincott Williams & Wilkins.
http://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Rocha, J. (n.d.). Autonomous Abortions: The Inhibiting of Women’s Autonomy through


Legal Ultrasound Requirements, 22(1), 35–58.

Rosiek, A., & Leksowski, K. (2013). How the Practicing Physician Encounters Human
Rights in Daily Clinical Situations, 4(1). http://doi.org/10.5195/hcs.2013.110

Rusthoven, J. J., & Bioethics, M. (2014). E thical I ssues R aised by C ompassionate A ccess
to E xperimental T herapies.

Sabo, S., Ingram, M., Reinschmidt, K. M., Schachter, K., & Jacobs, L. (2013). Predictors and
a Framework for Fostering Community Advocacy as a Community Health Worker Core
Function to Eliminate Health Disparities, 103(7), 67–74.
http://doi.org/10.2105/AJPH.2012.301108

Salter, C., Brainard, J., Mcdaid, L., & Loke, Y. (2014). Challenges and Opportunities : What
Can We Learn from Patients Living with Chronic Musculoskeletal Conditions , Health
Professionals and Carers about the Concept of Health Literacy Using Qualitative
Methods of Inquiry ?, 9(11). http://doi.org/10.1371/journal.pone.0112041

Smith, S. K., Selig, W., Harker, M., Roberts, J. N., Hesterlee, S., Leventhal, D., … Leventhal,
D. (2015). Patient Engagement Practices in Clinical Research among Patient Groups ,
Industry , and Academia in the United States : A Survey, 1–11.
http://doi.org/10.1371/journal.pone.0140232

Studies, A., & Studies, A. (2017). Aspects of communication in medical life . Doctor-patient
communication : differentiation and customization, 10(1).

Sunguya, B. F., Munisamy, M., Pongpanich, S., & Yasuoka, J. (2016). Ability of HIV
Advocacy to Modify Behavioral Norms and Treatment Impact : A Systematic Review,
106(8), 1–9. http://doi.org/10.2105/AJPH.2016.303179

Tractenberg, R. E., Garver, A., Ljungberg, I. H., Schladen, M., & Groah, S. L. (2017).
Maintaining primacy of the patient perspective in the development of patient- centered
patient reported outcomes, 1–21. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0171114

Unluturk, M. S. (2012). Advanced Nurse-Patient Communication System, (156), 2529–2536.


http://doi.org/10.1007/s10916-011-9725-y

Verkerk, M., & Lindemann, H. (n.d.). Toward a Naturalized Clinical Ethics, 22(4), 289–306.

Wibe, T., Hellesø, R., Varsi, C., Ruland, C., & Ekstedt, M. (2012). How Does an Online
Patient-Nurse Communication Service Meet the Information Needs of Men with
Recently Diagnosed Testicular Cancer ?, 2012. http://doi.org/10.5402/2012/260975

Anda mungkin juga menyukai