Anda di halaman 1dari 9

MATAHARI 

mulai terbenam kala mereka memasuki Madinah. Keletihan di atas


keletihan terbayang di wajah. Luka sabetan pedang, tusukan tombak dan luka akibat anak
panah musuh yang tertancap di tubuh mengalirkan darah. Gigi seri Rosulullah Shallallahu
‘Alaihi Wassallam yang pecah juga tangan kanan beliau yang terluka akibat menangkis
pukulan yang diarahkan ke kepala beliau masih menyisakan sakit yang luar biasa. Kesedihan
atas meninggalnya tujuh puluh sahabat menambah perihnya luka yang diderita kaum
Muslimin di Perang Uhud itu.
Belum cukup mata terpejam untuk istirahat dari kerasnya peperangan, darah segar
masih mengalir dari luka-luka yang terbalut perban. Tiba-tiba di keheningan pagi Bilal
mengumumkan bahwa musuh harus dikejar. Sang komandan mensyaratkan perintah bahwa
yang ikut dengannya adalah orang-orang yang ikut dalam Perang Uhud sebelumnya.
Tholhah bin Ubaidillah menemui Rosulullah, memastikan keberangkatan. Dia
mendapati beliau telah siap di atas pelana kudanya di depan pintu masjid, lengkap dengan
topi baja yang menutupi seluruh wajah kecuali matanya. Tanpa pikr panjang Tholhah segera
berlari menuju kudanya dan segera menyiapkan diri.
Di antara orang-orang Bani Salimah yang telah siap mengijabahi seruan Allah dan
Rosulullah terdapat empat puluh tentara terluka, bahkan di antara mereka ada yang
mengalami lebih dari sepuluh luka tikam anak panah. Sungguh kekuatan jiwa mereka
melebihi kekuatan tubuh mereka. Doa Rosulullah seketika keluar dari lisannya kala
memeriksa barisan pasukan, “Ya Allah, berkahilah Bani Salimah!”
Pasukan yang dipimpin langsung oleh Rosulullah itu berhenti di Perang Hamra’ul
Asad, kira-kira delapan mil dari Madinah, tidak jauh dari musuh di depan mereka yang telah
berkemah selama beberapa waktu di Rawha. Para musuh menunggu waktu tepat untuk
menghabisi muslimin hingga ke akarnya.
Di Hamra’ul Asad, Rosulullah memerintahkan pasukannya untuk menyebar dan
mengumpulkan kayu kering sebanyak-banyaknya. Setiap orang menumpuknya dalam
tumpukan tersendiri. Ketika matahari terbenam, mereka dapat menyiapkan lebih dari lima
ratus perapian dan menyalakannya ketika malam tiba.
Tiga hari mereka berada di Hamra’ul Asad menghadang musuh dengan luka-luka
yang masih menganga, merancang srategi yang membuat takut musuh. Nyala api yang
sangat banyak yang terpencar di areal yang luas seolah-olah menunjukkan besarnya
pasukan yang sedang berkemah di sana. Kesan ini tersampaikan kepada Abu Sufyan yang
membuat dia dan juga kaumnya ciut nyali dan melarikan diri ke Makkah.

Ketaatan Tiada Banding

Allah mengabadikan kisah ini dalam sebuah firman Nya yang berbunyi:

َ‫ا َل لَ ُه ُم النَّاسُ ِإنَّ النَّاس‬66‫) الَّذِينَ َق‬172( ‫ ٌر عَ ظِ ي ٌم‬6 ْ‫سنُوا ِم ْن ُه ْم وَ اتَّ َقوْ ا َأج‬ َ ْ‫الَّذِينَ اسْ تَجَ ابُوا ِللَّ ِه وَ ال َّرسُو ِل مِنْ بَعْ ِد مَا َأصَ ابَ ُه ُم ا ْل َقرْ ُح ِللَّذِينَ َأح‬
)173(ُ‫سبُنَا اللَّ ُه وَ ِن ْع َم ا ْلوَ كِيل‬ْ َ‫شوْ ُه ْم َفزَ ا َد ُه ْم ِإيمَانًا وَ َقالُوا ح‬
َ ْ‫َق ْد جَ َمعُوا لَ ُك ْم َفاخ‬

(yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RosulNya sesudah mereka
mendapatkna luka. Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa ada pahala yang
besar. (yaitu) orang-orang yang jika ada yang mengatakan pada mereka “sesungguhnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah”, keimanan
mereka bertambah dan mereka menjawab” cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan
dialah sebaik-baik pelindung.” [QS Ali Imron(3): 172-173]

Kedua ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Perang Hamra’ul Asad. Walaupun


tidak ada kontak fisik, keluarnya Rosulullah dan para sahabat untuk menghadang musuh dan
menunjukkan bahwa mereka tidak gentar sedikitpun menghadapi Abu Sufyan dan
pasukannya di Hamra’ul Asad dihitung sebagai sebuah peperangan, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Katsir dalam tafsir Quranul Adzim.
Hamra’ul Asad adalah kisah keberanian dan ketangguhan Rosulullah dan para
sahabat mulia. Hamra’ul Asad menjadi saksi sebuah ketaatan tiada bandingnya, saksi atas
cinta yang tiada pernah padam di berbagai keadaan. Rasa sakit, keletihan, kepayahan, duka
cita yang tak hanya dirasa oleh fisik tapi juga membebani mental tak membuat mereka abai
ketika panggilan jihad dikumandangkan. Sungguh gambaran akan ketaatan yang membuat
diri semakin kerdil jika dibandingkan dengan mereka.
Saat ini, kala jiwa dipenuhi kecintaan pada materi, kala sakit fisik dan keletihan sedikit
dijadikan alasan tertahannya banyak kebaikan dan terhentinya panggilan dakwah, kisah
mereka dalam mengijabahi panggilan ribath membuat malu.
Hamra’ul Asad mengajarkan kepada kita sebuah ketaatan pada Allah dan RosulNya
yang tak memerlukan alasan apapun. Mengajarkan kepada kita bahwa tawakkal adalah
menyerahkan hasil pada Allah setelah ketaatan dijalankan. Hamra’ul Asad contoh ketaatan
tiada cela
Ketika kaum muslimain telah tertimpa apa yang menimpa mereka di Uhud  dan kaum
musyikin telah kembali sambil saling mencela diantara mereka, berkatalah seorang dari
mereka: “Kalian ini belum berbuat sesuatu untuk musuh kalian (muslimin), kalian telah
berhasil mengalahkan kekuatan mereka lalu kalian tinggal mereka begitu saja padahal
masih tersisa para petinggi mereka dan kelak akan menuntut balas kepada kalian, maka
kembalilah untuk benar-benar menghabisi mereka!.” Maka tatkala sampai berita tersebut
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau langsung menyeru para sahabatnya untuk
bersiap-siap kembali menghadapi musuh seraya berkata: “Jangan lah keluar menyertaiku
kecuali yang telah turut berperang kemaren (Uhud).”  Maka mereka memenuhi seruan
tersebut meski masih menderita luka parah dan diliputi ketakutan.
Ibnu Ishaq berkata: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi  wa sallam keluar
hanya untuk menakut-nakuti orang-orang musyrik dan menunjukkan kepada mereka
seakan-akan kaum musliminlah yang memburu mereka, sedangkan apa yang menimpa
mereka di Uhud tidaklah berarti apa-apa bagi mereka.”

“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat
luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan
yang bertakwa ada pahala yang besar. “

Pada peperangan ini telah terpancar dalam diri Rasulullah  kecerdikan seorang
panglima perang. Kecerdikan dalam segala hal sebagaimana juga terpancar dalam setiap
peperangan. Lalu ketika beliau menyeru pasukan untuk berperang, beliau sendirilah yang
pertama kali keluar. Dan ketika beliau membangunkan orang-orang yang terluka beliau
sendiri menderita luka seperti mereka. Maka keluarlah Nabi dalam peperangan ini dengan
membawa luka di wajah beliau yang mulia, dan tikaman di keningnya. Ditambah lagi gigi
geraham beliau yang copot dan bibir bagian dalam beliau yang luka. Belum lagi pundak
beliau yang melemah karena pukulan dari Ibnu Qom’ah dan kedua kakinyapun lemah.
Dan beginilah seharusnya setiap komandan beramal dan turut merasakan apa yang
ia perintahkan kepada para pasukannya. Sebagai faktor terbesar yang menggerakkan
mereka meskipun separah apapun luka mereka dan sebanyak apapun darah mengalir.
Berkata seorang salah sahabat, “Aku dan adikku ikut dalam perang Uhud, lalu kami
pulang dalam keadaan terluka. Maka tatkala muadzin rasulullah menyeru manusia untuk
keluar kembali mengejar musuh, aku berkata kepada saudaraku –atau dia berkata
kepadaku-, “Apakah kita rela tertinggal dari sebuah peperangan yang diikuti Rasulullah? Dia
menjawab, “namun tak ada kendaraan yang bisa kita naiki dan ditambah lagi dengan luka
parah yang kita derita”. Maka kamipun keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kebetulan lukaku lebih ringan dari lukanya, maka ketika dia tidak kuat lagi berjalan aku
menggendongnya, hingga tibalah kami ditempat berkumpulnya kaum muslimin.
Keluar juga Sa’ad bin Mu’adz, kemudian ia kembali ke rumahnya memerintahkan
seluruh kaumnya untuk keluar tatkala muadzin Rasulullah menyeru manusia untuk keluar.
Sedangkan luka yang diderita anggota kaumnya sangatlah parah,meliputi seluruh bani Abdil
Ashyhal. Maka datanglah Sa’d bin Mu’adz dan berkata, “sesungguhnya Rasulullah telah
menyeru kalian untuk keluar memburu musuh kalian.” Maka berkatalah Usaid bin Hudhoir -
yang ketika itu mendapatkan tujuh luka dan ia sudah berniat mengobatkannya-, “sam’an wa
tho’at untuk Allah dan RasulNya,” kemudian ia mengambil senjatanya sedangkan ia belum
jadi mengobati luka-lukanya, lalu ia temui Rasulullah.
Begitupula Sa’d bin Ubadah mendatangi kaumnya Bani Sa’adah dan memerintahkan
mereka untuk keluar maka mereka pun turut bergabung. Abu Qatadah mendatangi ahlu
khurba tatkala mereka sedang mengobati luka mereka, ia berkata, “Muadzin Rasulullah
telah menyeru kalian untuk memburu musuh kalian, maka mereka langsung melompat
bersegera mengambil senjata dan tidak menyelesaikan pengobatan. Maka keluarlah dari
bani Salamah 40 orang yang sedang terluka, luka luar dalam.

Luka Luar dan Dalam


Luka yang menimpa kaum muslimin ketika itu bukan saja luka luar yang menimpa
fisik mereka saja, akan tetapi luka mereka memuncak hingga menimpa jiwa-jiwa mereka
karena menelan kepahitan yang mereka rasakan setelah menikmati kemenangan yang
mereka petik dalam peranh Badar.
Dan tidak diragukan lagi bahwa luka dalam jiwa itu lebih terasa dan menyakitkan
daripada luka luar. Karena luka badan itu pada umumnya mudah sembuh dan segera pulih
kembali lain halnya dengan luka dalam, luka jiwa akan susah untuk disembuhkan dan pulih
kembali. tidak diragukan pula bahwa luka dan tekanan pada jiwa itu lebih berbahaya,
apalagi jika hal itu menimpa sekumpulan masyarakat, tentu lebih dahsyat pengaruhnya dan
menyakitkan bahkan bisa menyamai kebinasaan karena kematian haqiqi adalah kematian
jiwa bukan kematian jasad. Oleh karena itu Nabi bersegera mengobatinya. Yaitu mengobati
luka mental ma’nawi mereka dengan mengadakan perang ini.
Maka apabila tidak serius mengobati lukanya karena takut akan biaya
pengobatannya maka mereka akan segera membayar mahal biaya yang berlipat-lipat.
Karena luka yang terlambat pengobatannya akan segera membusuk padahal sebelumnya
masih mungkin untuk disembuhkan. Dan anggota tubuhnya akan rontok terputus-putus
ketika sebelumnya masih mungkin untuk dipulihkan, serta keterlambatan tersebut akan
membawa kerugian yang sangat besar dalam hidupnya.
Oleh karena itu ketika umat Islam pada zaman ini berlambat-lambat dalam
menyembuhkan lukanya, yaitu luka kekalahan dan pukulan yang bertubi-tubi, yang mana
sebagian besar kelambatan tersebut disengaja, maka umat ini akan tertimpa kehinaan yang
akan menghentikan perannya dalam kehidupan ini dalam kurun waktu yang lama. Dan akan
menjadi semakin susah sekali bagi siapa yang ingin memperbaikinya bahkan hampir-hampir
tak mampu lagi seluruh dokter mengobati, serta akan semakin lemah azzam umat ini,
musnah semangat bertempurnya dan di penuhi hati mereka dengan ketakutan terhadap
musuh-musuhnya.
Sampai-sampai hampir seluruh kaum muslimin menyangka bahwa mereka tidak
mampu lagi mengalahkan musuhnya, dan sampai sekarang pun banyak yang tidak percaya
bahwa kau muslimin mujahidin telah berhasil mempecundangi Amerika, mereka menyangka
itu hanya sebatas mimpi. Dan engkau akan melihat sebagian kibar ulama –yang seharusnya
manusia yang paling kuat hatinya- mendistorsi makna jihad dengan bermacam-macam
makna bathil karena takut mati dan takut perang. Dan kalaulah bukan karena Allah –dengan
karuniaNya- telah memudahkan putra-putra terbaik umat ini untuk menjaga agama ini dan
mulai berbuat sesuatu untuk menyembuhkan luka, pasti umat ini akan hilang terkubur
tinggal cerita yang diingat manusia.
Selanjutnya, berkenaan dengan pengkhususan seruan perang hanya kepada
pasukan yang telah terluka (turut dalam perang uhud), Sayyid Quthb rahimahullah berkata,
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah mengeluarkan seruan,
seruan yang dibarengi dengan sambutan dari para sahabat ini memiliki pelajaran yang
bermacam-macam dan sebuah kenyataan yang besar diantaranya:
 Mungkin Rasulullah  tidak menginginkan hal terakhir yang menimpa kaum muslimin
adalah perasaan kekalahan dan kepedihan luka yang membekas. Maka Rasulullah
langsung membangunkan mereka untuk mengejar Quraisy dan memburu mereka,
agar terpatri dalam diri kaum muslimin bahwa apa yang menimpa mereka kemarin
berupa kekalahan itu hanyalah cobaan bagi mereka dan bukan akhir dari perjalanan
lalu setelah itu mereka kembali kuat dan menunjukkan bahwa musuh mereka yang
menang kemarin itu sebenarnya lemah.
 Dan mungkin disisi lain Rasulullah juga menginginkan agar kaum musyrikin yang
telah merasa menang kemarin, sekarang dikejar oleh pasukan yang sama, yang
mereka sangka telah kalah. Hal itu diharapkan agar kaum musyrikin meyakini bahwa
mereka belum dapat menimpakan apapun terhadap kaum muslimin karena kaum
muslimin masih mampu untuk mengejar mereka.
 Disisi lain Rasulullah hendak menunjukkan kepada kaum muslimin dan  seluruh
dunia munculnya sebuah kenyataan baru dalam hidup ini, suatu kenyataan akan
adanya sebuah aqidah yang menjadi segala-galanya bagi para pengusungnya, tidak
ada yang mereka butuhkan di dunia ini selainnya dan tidak ada tujuan tertinggi
dalam hidup ini kecuali aqidah tersebut. Sebuah aqidah yang mereka hidup hanya
untuknya. Hal ini adalah sesuatu yang baru dimuka bumi dikala itu, yaitu sebuah
kenyataan agung. Demikianlah perkataan Sayyid Quthb rahimahullah.
 Dan mungkin bisa ditambahkan lagi hikmah dari pengkhususan seruan Rasulullah
hanya kepada mereka yang terluka (turut dalam perang Uhud) bahwa beliau hendak
menjadikan mereka itu teladan bagi generasi setelah mereka, yaitu teladan tentang
kesabaran yang besar dalam menghadapi musuh dan contoh yang gemilang untuk
terus meneruskan perjalanan dalam kesusahan dan cobaan.
 Beliau juga hendak mengajarkan bahwa perang yang sesungguhnya adalah perang
ma’nawi, perang mental, karena perang senjata memang dibangun diatasnya, dan
kekalahan yang sesungguhnya adalah kekalahan mental.
Hikmah lain dari pengkhususan seruan ini agar para pasukan yang telah terluka luar dalam
ini tidak kembali ke Madinah bercampur dengan  yang lain kecuali telah dihilangkan dari
mereka nuansa kekalahan dan kehancuran jiwa. Hal itu agar penyakit wahn itu tidak
menular kepada kaum muslimin yang lain karena penyakit wahn itu ibarat penyakit tho’un
yang sangat cepat menular.
Dan gambaran kesabaran dan keteguhan mereka –setelah tertimpa luka yang
banyak- ini melahirkan ma’na yang mulia dan senantiasa mungkin akan diulang. Sungguh
saya berharap agar siapa saja yang ingin menghidupkan kembali jihad di zaman ini –setelah
umat ini ditimpa kekalahan yang bertubi-tubi- dia bisa diliputi oleh ayat-ayat ini dan menjadi
seperti pasukan Hamro’ul Asad. Dan saya juga sungguh berharap agar siapa yang menjadi
arsitek jihad Afghanistan setelah runtuhnya Imaroh Islamiyah (Taliban) juga dapat diliputi
makna ayat ini juga saya berharap kepada mereka yang senantiasa bersabar meneruskan
perjalanan ini setelah tertimpa luka-luka yang sangat pedih mampu menjadi seperti pasukan
Hamro’ul Asad dan sungguh Allah mempunyai karunia yang besar. (Habibi)
PASCA PERANG UHUD
Banyaknya kaum Muslimin yang syahîd (gugur sebagai syahîd) dalam perang Uhud
membuat orang-orang kafir mengira mental kaum Muslimin down. Dugaan ini membuat
mereka semakin berani dan lancang terhadap kaum Muslimin. Terbukti dengan beberapa
peristiwa pasca perang Uhud.

1. Perang Hamrâ’ul Asad


Tidak lama setelah perang Uhud, kaum musyrikin berniat untuk menyerang kembali
demi menghabisi kaum Muslimin. Ketika mendengar rencana buruk mereka ini, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memobilisasi para shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam
untuk menyongsong kedatangan musuh. Namun dalam perang kali ini, para shahabat yang
diijinkan ikut hanyalah mereka yang sudah terjun dalam perang Uhud, kecuali Jâbir bin
Abdullah Radhiyallahu anhuma yang diijinkan ikut meski beliau Radhiyallahu anhu absen
dalam perang Uhud karena saat itu bapaknya menugaskannyanya menjaga saudara-
saudara perempuannya di Madinah. Mesti kondisi fisik para shahabat belum pulih pasca
perang Uhud, namun mereka tetap taat terhadap perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mereka berangkat sampai disuatu daerah yang bernama Hamra’ul Asad [2]. Tentang
peperangan ini, Allâh Azza wa Jalla berfirman :
‫ ٌر‬Gْ‫قَوا َأج‬
ْ ‫ ُنوا ِم ْن ُه ْم َوا َّت‬G‫ِين َأحْ َس‬ َ ‫ ِد مَا َأ‬Gْ‫ُول مِنْ َبع‬
َ ‫ا َب ُه ُم ْالقَرْ ُح ۚ ِللَّذ‬G‫ص‬ ِ ‫ِين اسْ َت َجابُوا هَّلِل ِ َوالرَّ س‬
َ ‫الَّذ‬
‫َعظِ ي ٌم‬

(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat
luka (dalam peperangan Uhud). bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka
dan yang bertakwa ada pahala yang besar [Ali Imrân/3:172][3]

Namun peperangan ini tidak berkecamuk, karena kaum kuffâr mengurungkan


niatnya. Respon cepat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan keberanian,
kemampuan beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam dalam menanggung beban dan kemampuan
politik beliau juga keperibadian beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mudah
menyerah dalam kondisi sulit. Juga tanggapan positif para shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi
wa sallam menunjukkan betapa mereka sangat taat dan bergegas melaksanakan perinatah
Allâh dan rasul-Nya juga menunjukkan kesabaran mereka dalam memikul beban. Ini yang
dijelaskan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya

, ُ‫ِين قَا َل َل ُه ُم ال َّناس‬ َ ‫﴾الَّذ‬١٧٢﴿‫ ٌر َعظِ ي ٌم‬Gْ‫قَوا َأج‬


ْ ‫ ُنوا ِم ْن ُه ْم َوا َّت‬G‫ِين َأحْ َس‬ َ ‫ُول مِنْ َبعْ ِد َما َأ‬
َ ‫صا َب ُه ُم ْال َقرْ ُح ۚ ِللَّذ‬ ِ ‫ِين اسْ َت َجابُوا هَّلِل ِ َوالرَّ س‬
َ ‫الَّذ‬
‫هَّللا‬ ْ ‫هَّللا‬ ُ
ْ ‫﴾فَا ْن َقلَبُوا ِبنِعْ مَ ٍة م َِن ِ َو َف‬١٧٣﴿ُ‫ل‬G‫ ُب َنا ُ َونِعْ َم ال َوكِي‬G‫اخ َش ْو ُه ْم َف َزادَ ُه ْم ِإي َما ًنا َو َقالوا َح ْس‬
‫و ٌء‬G‫م ُس‬Gْ ‫ ُه‬G‫ ٍل لَ ْم َي ْم َس ْس‬G‫ض‬ ْ ‫اس َق ْد َج َمعُوا لَ ُك ْم َف‬
َ ‫ِإنَّ ال َّن‬
َ ُ
‫ان ِ ۗ َو ُ ذو فضْ ٍل َعظِ ٍيم‬ ‫هَّللا‬ ‫هَّللا‬ َّ
َ ‫َوات َبعُوا ِرضْ َو‬

“(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasûl-Nya sesudah mereka
mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan
diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) Orang-orang (yang
mentaati Allâh dan Rasûl) yang dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allâh
menjadi penolong kami dan Allâh adalah Sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali
dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allâh, mereka tidak mendapat bencana apa-
apa, mereka mengikuti keridhaan Allâh. Dan Allâh mempunyai karunia yang besar.” [Ali
Imrân/3:172-174]
2. Pasukan (Sariyah) Abi Salamah Radhiyallahu anhu
Berita tentang perang Uhud telah tersebar dan terdengar oleh kaum musyrik yang
tinggal di sekitar Madinah. Ini mendorong Thulaihah al Asadi dan saudaranya Salamah
memobilisasi Bani Asad bin Khuzaimah untuk melakukan penyerangan ke Madinah. Mereka
ingin menguasai dan merebut kekayaan Madinah serta menampakkan dukungan mereka
kepada Quraisy dalam memusuhi kaum Muslimin. Untuk memuluskan ambisi ini, mereka
melakukan berbagai persiapan. Namun sebelum bergerak melakukan penyerangan,
rencana busuk mereka ini sudah terdengar oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam segera memberikan respon dengan mengirim seratus
lima puluh pasukan gabungan dari kaum Muhâjirîn dan Anshâr dibawah pimpinan Abu
Salamah bin Abdul Asad Radhiyallahu anhu. Pasukan ini segera bergerak melakukan
penyerangan ke daerah Qathan, tempat pasukan Thulaihah. Pasukan Thulaihah lari
ketakutan meninggalkan berbagai harta yang mereka miliki. Akhirnya harta ini diambil oleh
pasukan kaum Muslimin dibawa ke Madinah. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Muharram
di penghujung tahun ke-3 hijrah.
3. Pasukan Abdullah bin Unais
Dalam waktu yang tidak berselang lama dengan pengiriman pasukan Abu Salamah
Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh juga mengirim pasukan ke Arafah. Disana ada Khâlid bin
Abu Sufyân bin Nubaih al Hudzali yang tengah mengerahkan massa untuk menyerang
Madinah. Pasukan kaum Muslimin ini dipimpin oleh Abdullah bin Unais al Jumahi. Sebelum
mulai bergerak, Abdullâh bin Unais Radhiyallahu anhu terlebih dahulu meminta Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjelaskan ciri-ciri Khâlid bin Sufyân bin Nubaih, sang
provokator. Setelah dirasa cukup penjelasan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu memimpin pasukannya untuk bergerak. Saat melihat
orang yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan penjelasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , beliau Radhiyallahu anhu segera mengatur strategi untuk menyerangnya. Beliau
Radhiyallahu anhu berhasil menyusun strategi dan akhirnya beliau Radhiyallahu anhu
berhasil mengakhiri hidup Khâlid.
Beliau Radhiyallahu anhu kembali ke Madinah dan melaporkan keberhasilannya
kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan tugas yang
diembannya. Namun sebelum sempat berbicara, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah bisa membaca dari rona wajah Abdullâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajak beliau Radhiyallahu anhu masuk rumah dan memberikannya tongkat yang
dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tongkat ini akan menjadi bukti
pada hari kiamat. Demi mengetahui fungsi tongkat ini, Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu
menjaga tongkat pemberian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafat dan
tongkat itu ditanam bersama jasad beliau Radhiyallahu anhu[4].
Pengikut Khâlid bin Sufyân al Hudzali tidak bisa menerima kematian komandan
mereka dan berniat membalas dendam. Inilah yang mendorong mereka untuk menempuh
cara licik. Pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijrah utusan dari kabilah ‘Udhal dan al-Qarrah
mendatangi Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Mereka meminta kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengirim beberapa shahabat beliau Shallalahu
‘alaihi wa sallam untuk mengajari mereka agama ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim sepuluh[5]
shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam dibawah pimpinan ‘Ashim bin Tsâbit al-
aqlah Radhiyallahu anhu. Para shahabat yang terpilih ini mulai melakukan perjalanan tanpa
ada rasa curiga. Ketika tiba di lembah antara ‘Asfân dan Makkah, kedatangan mereka
diberitahukan kepada penduduk salah satu kampung Hudzail yaitu Banu Lihyân. Bani
Lihyaan tidak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk membalas kematian komandan
mereka. Mereka mengerahkan ratusan pasukan dan membuntuti para shahabat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sampai berhasil menyusul mereka. Menyadari bahaya yang
sedang mengancam, ‘Ashim bin Tsâbit Radhiyallahu anhu beserta para shahabat lainnya
segera menyelamatkan diri dengan mengambil posisi di atas bukit. Namun karena kalah
jumlah, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terkepung. Ketika itu para
pengepung ini memberikan janji, “Jika kalian mau turun, maka kami berjanji tidak akan
membunuh seorangpun diantara kalian.” Ashim Radhiyallahu anhu yang diangkat oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan bertekad, “Saya tidak sudi turun
dan berada dalam jaminan orang kafir.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berdo’a, “Ya
Allâh, beritahukanlah kepada nabi-Mu tentang keadaan kami.” Ucapan ini menyulut emosi
para pengepung dan mendorong mereka melakukan penyerangan sehingga akhirnya 7
diantara para shahabat ini, termasuk Ashim Radhiyallahu anhu gugur sebagai syahîd dalam
pertempuran ini. Dengan demikian, tersisa tiga orang yaitu Khubaib, Zaid dan satu orang
lagi (dalam riwayat Ibnu Ishaq, orang ini adalah Abdullah bin Thariq).
Para pengepung ini mengulangi janji mereka. Mendengar janji manis ini, para
shahabat yang tersisa menerimanya dan turun mengikuti kemauan mereka. Namun ketika
para shahabat ini sudah berada dalam kekuasaan mereka, mereka mengingkari janji. Para
shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ini diikat. Orang ketiga
(yang bernama Abdullah bin Thâriq, sebagaimana riwayat Ibnu Ishâq) tidak terima dengan
pengkhianatan ini dan beliau Radhiyallahu anhu berontak tidak mau mengikuti kemauan
musuh-mush Islam ini, akhirnya beliau Radhiyallahu anhu dibunuh. Tinggallâh Khubab bin
‘Adiy dan Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhuma yang menjadi tawanan. Keduanya
digiring ke Mekah dengan tangan terikat lalu dijual ke kaum Quraisy. Khubaib dibeli oleh
Bani al Hârits bin ‘Amir bin Naufâl untuk dibunuh sebagai balasan atas terbunuhnya Hârits.
Hârits sendiri terbunuh dalam perang Badar oleh Khubaib Radhiyallahu anhu. Bani Hârits
mengurung Khubaib Radhiyallahu anhu sampai ada kesepakatan diantara mereka untuk
mengeksekusinya.
Pasca munculnya kesepakatan ini, suatu saat Khubaib Radhiyallahu anhu meminjam
pisau ke salah seorang wanita Bani Hârits dan beliau Radhiyallahu anhu diberi pinjaman.
Pada saat yang sama, sang wanita yang telah meminjamkan pisau ke Khubaib Radhiyallahu
anhu ini agak lengah dalam menjaga anaknya. Sang anak berjalan menuju Khubaib
Radhiyallahu anhu lalu duduk tenang di pangkuannya. Menyadari anaknya sedang berada
di pangkuan tawanan dengan pisau tajam di tangan, sang ibu terperanjat. Dia sangat
mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Dia takut Khubaib Radhiyallahu anhu
membunuhnya sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. Melihat gelagat ini, shahabat yang
mulia Khubaib mengatakan, “Apakah anda khawatir aku akan membunuhnya ? Insya Allâh,
Aku tidak akan pernah melakukan itu.” Baca Juga  Perang Mu'tah Perempuan inilah yang
mengatakan, “Aku tidak pernah melihat tawanan yang lebih baik daripada Khubaib
Radhiyallahu anhu . Saya pernah melihat dia memakan setangkai anggur padahal kala itu di
Mekah tidak ada buah-buahan dan dia pun sedang dalam keadaan terbelenggu rantai besi.
Ini tiada lain hanyalah rizki dari Allâh Azza wa Jalla .” Lalu Bani Hârits membawa Khubaib
Radhiyallahu anhu keluar dari daerah haram untuk di eksekusi. Ketika hendak dibunuh,
Khubaib Radhiyallahu anhu meminta kepada mereka, “Ijinkan aku shalat dua raka’at !”
Setelah mendapatkan ijin, beliau Radhiyallahu anhu shalat dua raka’at. Setelah itu, beliau
Radhiyallahu anhu menoleh kearah orang-orang yang akan mengeksekusi beliau
Radhiyallahu anhu sambil mengatakan, “Seandainya aku tidak khawatir kalian akan
menduga bahwa apa yang lakukan ini hanyalah karena takut mati, maka tentu saya shalat
lebih dari dua raka’at.” Jadilah Khubaib Radhiyallahu anhu orang pertama yang melakukan
shalat dua raka’at ketika hendak akan dibunuh. Beliau Radhiyallahu anhu berdo’a, “Wahai
Allâh, hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka dan janganlah engkau menyisakan
seorangpun dari mereka.” Beliau Radhiyallahu anhu juga membacakan syair, sebelum
akhirnya dihampiri oleh Uqbah bin Hârits sang eksekutor dan dibunuhlah Khubaib
Radhiyallahu anhu.[6] .
Diatas dijelaskan bahwa Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhu dan Khubaib
Radhiyallahu anhu dibawa ke Mekah dalam keadaan terborgol lalu dijual. Khubaib
Radhiyallahu anhu dibeli Bani Hârits, sedangkan Zaid Radhiyallahu anhu dibeli Shafwân bin
Umayyah untuk dibunuh sebagai tebusan atas tewasnya Umayyah bi Khalaf dalam perang
badar. Saat beliau Radhiyallahu anhu digiring ke Tan’im meninggalkan tanah haram, ada
beberapa orang Quraisy sedang berkumpul, salah satunya adalah Abu Sufyân. Abu Sufyân
mengatakan, “Wahai Zaid, dengan nama Allâh, aku mau bertanya kepadamu, ‘Apakah
engkau mau, posisimu saat ini diganti oleh Muhammad untuk kami penggal lehernya
sementara engkau berada di tengah keluargamu ?” mendengar pertanyaan ini, Zaid
menjawab, “Demi Allâh, saya tidak mau (mendengar atau melihat) Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam ditempatnya sekarang ini terkena duri yang menyakitinya, sementara saya
duduk-duduk di tengah keluargaku.” Abu Sufyân mengatakan, “Saya belum pernah melihat
seseorang yang mencintai orang lain seperti cinta para shahabat nabi kepada Nabi
Shallalahu ‘alaihi wa sallam .” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu dibunuh.[7]
Begitulah akhir keidupan para shahabat yang diutus oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan agama ini kepada manusia. Bukan suatu yang mudah
untuk mendakwahkan ajaran ini kala itu. Bahaya yang selalu mengintai menuntut
pengorbanan bahkan pengorbanan nyawa.

Anda mungkin juga menyukai