Allah mengabadikan kisah ini dalam sebuah firman Nya yang berbunyi:
َا َل لَ ُه ُم النَّاسُ ِإنَّ النَّاس66) الَّذِينَ َق172( ٌر عَ ظِ ي ٌم6 ْسنُوا ِم ْن ُه ْم وَ اتَّ َقوْ ا َأج َ ْالَّذِينَ اسْ تَجَ ابُوا ِللَّ ِه وَ ال َّرسُو ِل مِنْ بَعْ ِد مَا َأصَ ابَ ُه ُم ا ْل َقرْ ُح ِللَّذِينَ َأح
)173(ُسبُنَا اللَّ ُه وَ ِن ْع َم ا ْلوَ كِيلْ َشوْ ُه ْم َفزَ ا َد ُه ْم ِإيمَانًا وَ َقالُوا ح
َ َْق ْد جَ َمعُوا لَ ُك ْم َفاخ
(yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan RosulNya sesudah mereka
mendapatkna luka. Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan dan bertakwa ada pahala yang
besar. (yaitu) orang-orang yang jika ada yang mengatakan pada mereka “sesungguhnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah”, keimanan
mereka bertambah dan mereka menjawab” cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan
dialah sebaik-baik pelindung.” [QS Ali Imron(3): 172-173]
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat
luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan
yang bertakwa ada pahala yang besar. “
Pada peperangan ini telah terpancar dalam diri Rasulullah kecerdikan seorang
panglima perang. Kecerdikan dalam segala hal sebagaimana juga terpancar dalam setiap
peperangan. Lalu ketika beliau menyeru pasukan untuk berperang, beliau sendirilah yang
pertama kali keluar. Dan ketika beliau membangunkan orang-orang yang terluka beliau
sendiri menderita luka seperti mereka. Maka keluarlah Nabi dalam peperangan ini dengan
membawa luka di wajah beliau yang mulia, dan tikaman di keningnya. Ditambah lagi gigi
geraham beliau yang copot dan bibir bagian dalam beliau yang luka. Belum lagi pundak
beliau yang melemah karena pukulan dari Ibnu Qom’ah dan kedua kakinyapun lemah.
Dan beginilah seharusnya setiap komandan beramal dan turut merasakan apa yang
ia perintahkan kepada para pasukannya. Sebagai faktor terbesar yang menggerakkan
mereka meskipun separah apapun luka mereka dan sebanyak apapun darah mengalir.
Berkata seorang salah sahabat, “Aku dan adikku ikut dalam perang Uhud, lalu kami
pulang dalam keadaan terluka. Maka tatkala muadzin rasulullah menyeru manusia untuk
keluar kembali mengejar musuh, aku berkata kepada saudaraku –atau dia berkata
kepadaku-, “Apakah kita rela tertinggal dari sebuah peperangan yang diikuti Rasulullah? Dia
menjawab, “namun tak ada kendaraan yang bisa kita naiki dan ditambah lagi dengan luka
parah yang kita derita”. Maka kamipun keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
kebetulan lukaku lebih ringan dari lukanya, maka ketika dia tidak kuat lagi berjalan aku
menggendongnya, hingga tibalah kami ditempat berkumpulnya kaum muslimin.
Keluar juga Sa’ad bin Mu’adz, kemudian ia kembali ke rumahnya memerintahkan
seluruh kaumnya untuk keluar tatkala muadzin Rasulullah menyeru manusia untuk keluar.
Sedangkan luka yang diderita anggota kaumnya sangatlah parah,meliputi seluruh bani Abdil
Ashyhal. Maka datanglah Sa’d bin Mu’adz dan berkata, “sesungguhnya Rasulullah telah
menyeru kalian untuk keluar memburu musuh kalian.” Maka berkatalah Usaid bin Hudhoir -
yang ketika itu mendapatkan tujuh luka dan ia sudah berniat mengobatkannya-, “sam’an wa
tho’at untuk Allah dan RasulNya,” kemudian ia mengambil senjatanya sedangkan ia belum
jadi mengobati luka-lukanya, lalu ia temui Rasulullah.
Begitupula Sa’d bin Ubadah mendatangi kaumnya Bani Sa’adah dan memerintahkan
mereka untuk keluar maka mereka pun turut bergabung. Abu Qatadah mendatangi ahlu
khurba tatkala mereka sedang mengobati luka mereka, ia berkata, “Muadzin Rasulullah
telah menyeru kalian untuk memburu musuh kalian, maka mereka langsung melompat
bersegera mengambil senjata dan tidak menyelesaikan pengobatan. Maka keluarlah dari
bani Salamah 40 orang yang sedang terluka, luka luar dalam.
(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat
luka (dalam peperangan Uhud). bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka
dan yang bertakwa ada pahala yang besar [Ali Imrân/3:172][3]
“(yaitu) Orang-orang yang mentaati perintah Allâh dan Rasûl-Nya sesudah mereka
mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan
diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) Orang-orang (yang
mentaati Allâh dan Rasûl) yang dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, karena itu takutlah kepada mereka”, Maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allâh
menjadi penolong kami dan Allâh adalah Sebaik-baik Pelindung”. Maka mereka kembali
dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allâh, mereka tidak mendapat bencana apa-
apa, mereka mengikuti keridhaan Allâh. Dan Allâh mempunyai karunia yang besar.” [Ali
Imrân/3:172-174]
2. Pasukan (Sariyah) Abi Salamah Radhiyallahu anhu
Berita tentang perang Uhud telah tersebar dan terdengar oleh kaum musyrik yang
tinggal di sekitar Madinah. Ini mendorong Thulaihah al Asadi dan saudaranya Salamah
memobilisasi Bani Asad bin Khuzaimah untuk melakukan penyerangan ke Madinah. Mereka
ingin menguasai dan merebut kekayaan Madinah serta menampakkan dukungan mereka
kepada Quraisy dalam memusuhi kaum Muslimin. Untuk memuluskan ambisi ini, mereka
melakukan berbagai persiapan. Namun sebelum bergerak melakukan penyerangan,
rencana busuk mereka ini sudah terdengar oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam segera memberikan respon dengan mengirim seratus
lima puluh pasukan gabungan dari kaum Muhâjirîn dan Anshâr dibawah pimpinan Abu
Salamah bin Abdul Asad Radhiyallahu anhu. Pasukan ini segera bergerak melakukan
penyerangan ke daerah Qathan, tempat pasukan Thulaihah. Pasukan Thulaihah lari
ketakutan meninggalkan berbagai harta yang mereka miliki. Akhirnya harta ini diambil oleh
pasukan kaum Muslimin dibawa ke Madinah. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Muharram
di penghujung tahun ke-3 hijrah.
3. Pasukan Abdullah bin Unais
Dalam waktu yang tidak berselang lama dengan pengiriman pasukan Abu Salamah
Radhiyallahu anhu , Rasûlullâh juga mengirim pasukan ke Arafah. Disana ada Khâlid bin
Abu Sufyân bin Nubaih al Hudzali yang tengah mengerahkan massa untuk menyerang
Madinah. Pasukan kaum Muslimin ini dipimpin oleh Abdullah bin Unais al Jumahi. Sebelum
mulai bergerak, Abdullâh bin Unais Radhiyallahu anhu terlebih dahulu meminta Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menjelaskan ciri-ciri Khâlid bin Sufyân bin Nubaih, sang
provokator. Setelah dirasa cukup penjelasan dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu memimpin pasukannya untuk bergerak. Saat melihat
orang yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan penjelasan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , beliau Radhiyallahu anhu segera mengatur strategi untuk menyerangnya. Beliau
Radhiyallahu anhu berhasil menyusun strategi dan akhirnya beliau Radhiyallahu anhu
berhasil mengakhiri hidup Khâlid.
Beliau Radhiyallahu anhu kembali ke Madinah dan melaporkan keberhasilannya
kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan tugas yang
diembannya. Namun sebelum sempat berbicara, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sudah bisa membaca dari rona wajah Abdullâh. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengajak beliau Radhiyallahu anhu masuk rumah dan memberikannya tongkat yang
dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa tongkat ini akan menjadi bukti
pada hari kiamat. Demi mengetahui fungsi tongkat ini, Abdullah bin Unais Radhiyallahu anhu
menjaga tongkat pemberian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai wafat dan
tongkat itu ditanam bersama jasad beliau Radhiyallahu anhu[4].
Pengikut Khâlid bin Sufyân al Hudzali tidak bisa menerima kematian komandan
mereka dan berniat membalas dendam. Inilah yang mendorong mereka untuk menempuh
cara licik. Pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijrah utusan dari kabilah ‘Udhal dan al-Qarrah
mendatangi Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Mereka meminta kepada
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengirim beberapa shahabat beliau Shallalahu
‘alaihi wa sallam untuk mengajari mereka agama ini. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim sepuluh[5]
shahabat beliau Shallalahu ‘alaihi wa sallam dibawah pimpinan ‘Ashim bin Tsâbit al-
aqlah Radhiyallahu anhu. Para shahabat yang terpilih ini mulai melakukan perjalanan tanpa
ada rasa curiga. Ketika tiba di lembah antara ‘Asfân dan Makkah, kedatangan mereka
diberitahukan kepada penduduk salah satu kampung Hudzail yaitu Banu Lihyân. Bani
Lihyaan tidak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk membalas kematian komandan
mereka. Mereka mengerahkan ratusan pasukan dan membuntuti para shahabat Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sampai berhasil menyusul mereka. Menyadari bahaya yang
sedang mengancam, ‘Ashim bin Tsâbit Radhiyallahu anhu beserta para shahabat lainnya
segera menyelamatkan diri dengan mengambil posisi di atas bukit. Namun karena kalah
jumlah, para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini terkepung. Ketika itu para
pengepung ini memberikan janji, “Jika kalian mau turun, maka kami berjanji tidak akan
membunuh seorangpun diantara kalian.” Ashim Radhiyallahu anhu yang diangkat oleh
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pimpinan bertekad, “Saya tidak sudi turun
dan berada dalam jaminan orang kafir.” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu berdo’a, “Ya
Allâh, beritahukanlah kepada nabi-Mu tentang keadaan kami.” Ucapan ini menyulut emosi
para pengepung dan mendorong mereka melakukan penyerangan sehingga akhirnya 7
diantara para shahabat ini, termasuk Ashim Radhiyallahu anhu gugur sebagai syahîd dalam
pertempuran ini. Dengan demikian, tersisa tiga orang yaitu Khubaib, Zaid dan satu orang
lagi (dalam riwayat Ibnu Ishaq, orang ini adalah Abdullah bin Thariq).
Para pengepung ini mengulangi janji mereka. Mendengar janji manis ini, para
shahabat yang tersisa menerimanya dan turun mengikuti kemauan mereka. Namun ketika
para shahabat ini sudah berada dalam kekuasaan mereka, mereka mengingkari janji. Para
shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup ini diikat. Orang ketiga
(yang bernama Abdullah bin Thâriq, sebagaimana riwayat Ibnu Ishâq) tidak terima dengan
pengkhianatan ini dan beliau Radhiyallahu anhu berontak tidak mau mengikuti kemauan
musuh-mush Islam ini, akhirnya beliau Radhiyallahu anhu dibunuh. Tinggallâh Khubab bin
‘Adiy dan Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhuma yang menjadi tawanan. Keduanya
digiring ke Mekah dengan tangan terikat lalu dijual ke kaum Quraisy. Khubaib dibeli oleh
Bani al Hârits bin ‘Amir bin Naufâl untuk dibunuh sebagai balasan atas terbunuhnya Hârits.
Hârits sendiri terbunuh dalam perang Badar oleh Khubaib Radhiyallahu anhu. Bani Hârits
mengurung Khubaib Radhiyallahu anhu sampai ada kesepakatan diantara mereka untuk
mengeksekusinya.
Pasca munculnya kesepakatan ini, suatu saat Khubaib Radhiyallahu anhu meminjam
pisau ke salah seorang wanita Bani Hârits dan beliau Radhiyallahu anhu diberi pinjaman.
Pada saat yang sama, sang wanita yang telah meminjamkan pisau ke Khubaib Radhiyallahu
anhu ini agak lengah dalam menjaga anaknya. Sang anak berjalan menuju Khubaib
Radhiyallahu anhu lalu duduk tenang di pangkuannya. Menyadari anaknya sedang berada
di pangkuan tawanan dengan pisau tajam di tangan, sang ibu terperanjat. Dia sangat
mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Dia takut Khubaib Radhiyallahu anhu
membunuhnya sebagai bentuk pelampiasan amarahnya. Melihat gelagat ini, shahabat yang
mulia Khubaib mengatakan, “Apakah anda khawatir aku akan membunuhnya ? Insya Allâh,
Aku tidak akan pernah melakukan itu.” Baca Juga Perang Mu'tah Perempuan inilah yang
mengatakan, “Aku tidak pernah melihat tawanan yang lebih baik daripada Khubaib
Radhiyallahu anhu . Saya pernah melihat dia memakan setangkai anggur padahal kala itu di
Mekah tidak ada buah-buahan dan dia pun sedang dalam keadaan terbelenggu rantai besi.
Ini tiada lain hanyalah rizki dari Allâh Azza wa Jalla .” Lalu Bani Hârits membawa Khubaib
Radhiyallahu anhu keluar dari daerah haram untuk di eksekusi. Ketika hendak dibunuh,
Khubaib Radhiyallahu anhu meminta kepada mereka, “Ijinkan aku shalat dua raka’at !”
Setelah mendapatkan ijin, beliau Radhiyallahu anhu shalat dua raka’at. Setelah itu, beliau
Radhiyallahu anhu menoleh kearah orang-orang yang akan mengeksekusi beliau
Radhiyallahu anhu sambil mengatakan, “Seandainya aku tidak khawatir kalian akan
menduga bahwa apa yang lakukan ini hanyalah karena takut mati, maka tentu saya shalat
lebih dari dua raka’at.” Jadilah Khubaib Radhiyallahu anhu orang pertama yang melakukan
shalat dua raka’at ketika hendak akan dibunuh. Beliau Radhiyallahu anhu berdo’a, “Wahai
Allâh, hitunglah jumlah mereka, binasakanlah mereka dan janganlah engkau menyisakan
seorangpun dari mereka.” Beliau Radhiyallahu anhu juga membacakan syair, sebelum
akhirnya dihampiri oleh Uqbah bin Hârits sang eksekutor dan dibunuhlah Khubaib
Radhiyallahu anhu.[6] .
Diatas dijelaskan bahwa Zaid bin Datsinnah Radhiyallahu anhu dan Khubaib
Radhiyallahu anhu dibawa ke Mekah dalam keadaan terborgol lalu dijual. Khubaib
Radhiyallahu anhu dibeli Bani Hârits, sedangkan Zaid Radhiyallahu anhu dibeli Shafwân bin
Umayyah untuk dibunuh sebagai tebusan atas tewasnya Umayyah bi Khalaf dalam perang
badar. Saat beliau Radhiyallahu anhu digiring ke Tan’im meninggalkan tanah haram, ada
beberapa orang Quraisy sedang berkumpul, salah satunya adalah Abu Sufyân. Abu Sufyân
mengatakan, “Wahai Zaid, dengan nama Allâh, aku mau bertanya kepadamu, ‘Apakah
engkau mau, posisimu saat ini diganti oleh Muhammad untuk kami penggal lehernya
sementara engkau berada di tengah keluargamu ?” mendengar pertanyaan ini, Zaid
menjawab, “Demi Allâh, saya tidak mau (mendengar atau melihat) Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam ditempatnya sekarang ini terkena duri yang menyakitinya, sementara saya
duduk-duduk di tengah keluargaku.” Abu Sufyân mengatakan, “Saya belum pernah melihat
seseorang yang mencintai orang lain seperti cinta para shahabat nabi kepada Nabi
Shallalahu ‘alaihi wa sallam .” Kemudian beliau Radhiyallahu anhu dibunuh.[7]
Begitulah akhir keidupan para shahabat yang diutus oleh Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk mengajarkan agama ini kepada manusia. Bukan suatu yang mudah
untuk mendakwahkan ajaran ini kala itu. Bahaya yang selalu mengintai menuntut
pengorbanan bahkan pengorbanan nyawa.