Anda di halaman 1dari 12

SINDROM KOMPARTEMEN

A. Defenisi
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana tekanan
intrakompartemen meningkat sehingga menyebabkan mikrosirkulasi
jaringan dikompartemen menjadi berkurang (Raza & Mahapatra, 2015).
Sindrom kompartemen didefinisikan sebagai peningkatan tekanan yang
terbatas dalam ruang kompartemen sehingga menyebabkan penurunan
tekanan perfusi kejaringan dalam ruang kompartemen yang diakibatkan
meningkatnya tekanan interstitial dalam sebuah kompartemen osteofasia
(Donaldson et al, 2014 ).
compartemen sindrom adalah suatu kondisi dimana tekanan interstitial
dalam kompartemen melebihi tekanan perfusi pada tingkat kapiler
sehingga mengarah ke arteriol kompresi yang menyebabkan timbulnya
iskemia dan akhirnya mengarah ke anoksia seluler dan kematian jaringan
(Taylor et al, 2012)
B. Anatomi fisiologi
Kompartemen merupakan daerah tertutup yang dibatasi oleh tulang,
interosseus membran, dan fascia, yang melibatkan jaringan otot, saraf dan
pembuluh darah. Otot mempunyai perlindungan khusus yaitu fascia,
dimana fascia ini melindungi semua serabut otot dalam satu kelompok.
Secara anatomik, sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak
yaitu terletak di lengan atas (kompartemen anterior dan posterior), di
lengan bawah (yaitu kompartemen anterior, lateral, dan posterior). Di
anggota gerak bawah, terdapat tiga kompartemen di tungkai atas
(kompartemen anterior, medial, dan kompartemen posterior), empat
kompartemen di tungkai bawah (kompartemen anterior, lateral, posterior
superfisial, posterior profundus). Sindrom kompartemen yang paling
sering terjadi di daerah tungkai bawah dan lengan atas.
Setiap kompartemen pada tungkai bawah memiliki satu nervus mayor.
Kompartemen anterior memiliki nervus peroneus profundus, kompartemen
lateral memiliki nervus peroneus superfisial, kompartemen posterior
profunda memiliki nervus tibialis posterior dan kompartemen posterior
superfisial memiliki nervus suralis. Ketika tekanan kompartemen
meningkat, suplai vaskuler ke nervus akan terpengaruh menyebabkan
timbulnya parestesia.
Tabel 1 letak dan isi kompartemen
Letak Kompartemen Isi
Lengan Anterior M. Biceps brachii, M. Coracobrachialis, M.
Atas Brachialis;
A. Brachialis;
N. Musculocutaneus
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Musculocutaneus, N. Medius, M. Ulnaris, A.
Brachialis, V. Basilica
Posterior M. Triceps brachii;
A. Profunda brachii, A. Collateralis ulnaris;
N. Radialis
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Radialis dan N. Ulnaris
Lengan Anterior M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M.
Bawah Palmaris longus, M. Flexor carpi ulnaris, M.
Flexor digitorum superficialis, M. Flexor
pollicis longus, M. Flexor digitorum profundus,
M. Pronator quadratus;
A. Ulnaris, A. Radialis;
N. Medianus
Lateral M. Brachioradialis, m. Flexor carpi radialis
longus;
A. Radialis, a. Brachialis;
N. Radialis
Posterior M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor
digitorum, M. Extensor digiti minimi, M.
Extensor carpi ulnaris, M. Anconeus, M.
Supinator, M. Abductor pollicis longus, M.
Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis
longus, M. Extensor indicis;
Arteriae interoseus anterior dan posterior;
Ramus profundus nervi radialis
Tungkai Anterior M. Sartorius, M. Iliacus, M. Psoas, M.
Atas Pectineus, M. Quadriceps femoris;
A. Femoralis;
N. femoralis
Medial M. Gracilis, M. Adductor longus, M. Adductor
brevis, M. Adductor magnus, M. Obturatorius
externus;
A. profunda femoris, A. Obturatoria;
N. obturatorius
Posterior M. Biceps femoris, M. Semitendinosus, M.
Semimembranosus, M. Adductor magnus;
Cabang-cabang a. Profunda femoris
Tungkai Anterior M. Tibialis anterior, M. Extensor digitorum
Bawah longus, M. Peroneus tertius, M. Extensor
hallucis longus, M. Extensor digitorum brevis;
A. Tibialis anterior;
N. Peroneus profundus
Lateral M. Peroneus longus, M. Peroneus brevis;
Cabang-cabang dari a. Peronea;
N. peroneus superficialis
Posterior M. Gastrocnemius, M. Plantaris, M. Soleus;
Superfisial A. Tibialis posterior;
N. Tibialis
Posterior M. Popliteus, M. Flexor digitorum longus, M.
Profundus
Flexor hallucis longus, M. Tibialis posterior;
A. Tibialis posterior;
N. Tibialis
C. Klasifikasi sindrom kompartemen
Sindroma kompartemen dibagi menjadi dua tipe, yaitu :
1. Sindroma Kompartemen Akut.
Sindroma kompartemen akut merupakan suatu tanda kegawatan medis.
Ditandai dengan pembengkakan dan nyeri yang terjadi dengan cepat.
Tekanan dalam kompartemen yang meningkat dengan cepat dapat
menyebabkan tekanan pada saraf, arteri dan vena sehingga tanpa
penanganan yang tepat akan terjadi paralisis, iskemik jaringan bahkan
kematian. Penyebab umum terjadinya sindroma kompartemen akut adalah
fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada arteri dan luka bakar
2. Sindroma Kompartemen Kronik.
Sindroma kompartemen kronik bukan merupakan suatu kegawatan medis
dan seringkali dikaitkan dengan nyeri ketika aktivitas olahraga. Ditandai
dengan meningkatnya tekanan kompartemen ketika melakukan aktivitas
olahraga saja. Gejala ini dapat hilang dengan hanya menghentikan
aktivitas olahraga tersebut . Penyebab umum sindroma kompartemen
kronik biasa terjadi akibat melakukan aktivitas berulang – ulang, misalnya
pelari jarak jauh, pemain basket, sepak bola dan militer
D. Etiologi sindrom kompartemen
Ada banyak penyebab yang dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal
yang kemudian menyebabkan sindroma kompartemen, akan tetapi ada tiga
mekanisme yang seringkali mendasari terjadinya sindroma kompartemen
yaitu adanya peningkatan akumulasi cairan dalam ruang kompartemen,
menyempitnya ruang kompartemen dan tekanan dari luar yang
menghambat pengembangan volume kompartemen

1. Peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan kompartemen.


Merupakan mekanisme yang paling sering menyebabkan sindroma
kompartemen. Hal ini dapat disebabkan oleh hal – hal dibawah ini :
a. Fraktur, terutama fraktur tibia merupakan penyebab yang paling sering
menyebabkan peningkatan akumulasi cairan dalam ruangan
kompartemen.
b. Cedera pada pembuluh darah besar, dapat menyebabkan sindroma
kompartemen melalui tiga mekanisme yaitu :
1) Perdarahan yang masuk ke dalam ruang kompartemen.
2) Sumbatan partial pada pembuluh darah sedang tanpa disertai
adanya sirkulasi kolateral yang adekuat.
3) Pembengkakan post iskemia dan sindroma kompartemen terjadi
bila perbaikan arteri dan sirkulasi tertunda terlebih dari enam
jam.
c. Olahraga berat, dapat menyebabkan sindroma kompartemen akut dan
kronik. Seringkali dihubungkan nyeri pada kompartemen anterior pada
tungkai. Bila gejala ini timbul maka olahraga tersebut harus segera
dihentikan.
d. Luka bakar, selain dapat menyebabkan penyempitan ruang
kompartemen. Luka bakar juga dapat meningkatkan akumulasi cairan
dalam ruang kompartemen dengan timbulnya edema yang massif.
Maka dekompresi melalaui escharotomy harus segera dilakukan untuk
menghindari tamponade kompartemen
2. Menyempitnya ruang kompartemen.
a. Jahitan tertutup pada fascia, seringkali terjadi pada atlit marathon yang
memiliki otot hernia serta kerusakan fascia. Hernia biasanya bilateral
dan berkembang pada sepertiga tungkai bawah pada kompartemen
anterior dan lateral. Selama ini seringkali dilakukan jahitan ketat pada
hernia otot yang mengalami kerusakan fascia. Hal ini mengakibatkan
terjadinya pengurangan volume kompartemen, oleh karena itu terapi
utama pada pelari dengan nyeri pada tungkai dan hernia otot adalah
fascial release bukan fascial closure.
b. Luka bakar derajat tiga, luka bakar ini mengurangai ukuran
kompartemen dan menimbulkan jaringan parut pada kulit, jaringan
subkutan dan fascia menjadi satu. Hal ini membutuhkan dekompresi
escharotomy segera.
3. Tekanan dari luar.
a. Intoksikasi obat, ketidaksadaran akibat penggunaan obat yang
overdosis dapat memicu tidak hanya multiple sindroma kompartemen
akan tetapi sindroma crush bila orang tersebut berbaring dengan
tungkai terjepit. Tertekannya lengan serta tungkai menghasilkan
peningkatan tekanan intra kompartemen lebih dari 50 mmHg.
b. Penggunaan gips yang terlalu ketat, hal ini dapat menimbulkan tekanan
eksternal dikarenakan membatasi perkembangan dari kompartemen.
E. Manifestasi klinis
Secara klasik ada 5 P yang terkumpul dalam sindrom kompartemen, yaitu
Pain, Paresthesia, Pallor, Paralysis, Pulseness.
1. Pain (Nyeri ) :
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena,
ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling
penting, terutama jika munculnya nyeri tak sebanding dengan keadaan
klnik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan
analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada
kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. Gambarannya
biasa berat, konstan dan nyeri terlokalisasi.
2. Parestesia : Rasa kesemutan
3. Pallor (pucat) : diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daerah tersebut
4. Pulseness : berkurangnya atau hilangnya denyut nadi.
5. Paralisis : merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang
berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena sindrom
kompartemen.. Pemeriksaan dengan uji sensasi raba dengan jarum dan
peniti ) pada saraf kulit.
F. Patofisiologi
Ekstremitas atas dan bawah memiliki beberapa kompartemen yang
didalamnya terdapat otot, pembuluh darah dan saraf. Mesing – masing
kompartemen dibungkus oleh jaringan lunak dan tipis yang disebut dengan
fascia. Fascia inilah yang melindungi dan menjaga kompartemen tetap
pada tempatnya. Fascia ini tidak elastis sehingga tidak mempunyai
kemampuan untuk meregang. Sindroma kompartemen diawali dengan
beberapa kondisi berupa fraktur, cedera pembuluh darah, olahraga
berlebih, penekanan tungkai dalam waktu yang lama atau benturan.
Keadaan traumatik diatas menyebabkan perdarahan dan edema pada
sebuah kompartemen otot yang tertutupi oleh fascia yang tidak mampu
meregang. Tekanan yang meningkat pada kompartemen menghasilkan
kompartemen tamponade. Jika tekanan tersebut meningkat terus menerus
dalam beberapa jam maka akan terjadi kerusakan fungsi dari jaringan otot
dan saraf. Hal ini mengakibatkan terjadinya keadaan iskemia yang juga
menghasikan edema sehingga terjadinya sebuah lingkaran setan. Selain itu
keadaan infark jaringan otot dan cedera saraf mengakibatkan terjadinya
kontraktur Volkmann. Maka dari itu diagnosis yang tepat dan dekompresi
melalui fasciotomi yang menyebabkan peregangan otot dapat
berkembangan merupakan hal yang penting guna mengembalikan sirkulasi
dan mencegah keadaan menjadi lebih parah hingga akhirnya reversible.
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan
aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan
hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan
jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup.
Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan
arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi
darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke
dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya  tekanan dalam
kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan
menimbulkan nyeri hebat. bila terjadi peningkatan intrakompartemen,
tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan
berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti,
Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut,
maka terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan
ireversibel komponen tersebut.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen
sindrom yaitu, antara lain:
Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
a. Theory Of Critical Closing Pressure.
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan
tekanan mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural secara
signifikan berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini
dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka
tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan
dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya
adalah arteriol akan menutup
b. Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan
melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila
kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler maka,
tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan
sehingga drainase vena terbentuk kembali. McQueen dan Court-
Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan
tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai
korelasi klinis dengan sindrom kompartemen.
Patogenesis dari sindroma kompartemen) kronik telah digambarkan
oleh Reneman. Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan
dan akan menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra
kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan
tekanan intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia
berulang. Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan
antara kontraksi yang terus – menerus tetap tinggi dan mengganggu
aliran darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran
arteri selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan
mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari
tungkai bagian bawah biasanya yang terkena.
G. Diagnosis
Diagnosis klinik pada sindroma kompartemen didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1. ANAMNESIS
a. Nyeri
Nyeri merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada
sindroma kompartemen. Nyeri yang bertambah dan khususnya meningkat
dengan gerakan pasif yang meregangkan otot yang bersangkutan
merupakan salah satu tanda khas dari “ 6P’s “. Akan tetapi nyeri ini
merupakan gejala yang sangat subjektif karena kemampuan seseorang
menahan rasa sakit berbeda – beda. Selain itu pengurangan fungsi sensoris
seringkali mengaburkan rasa nyeri yang terjadi.
b. Perestesi
Parestesi merupakan gejala yang sering ditemukan pada penderita
sindroma kompartemen yang dalam keadaan sadar dan kooperatif. Hal ini
merupakan manifestasi klinis akibat defisit sensorik. Pada awalnya defisit
sensorik mengakibatkan paresthesia akan tetapi lama kelamaan jika
penanganannya tertunda, keadaan ini dapat memicu terjadinya hipesthesia
dan anesthesia
c. Riwayat trauma
Semua trauma ekstremitas potensial untuk menimbulkan terjadinya
sindroma kompartemen. Sejumlah cedera yang mempunyai resiko tinggi
yaitu fraktur tibia dan antebrakhi, balutan kasa atau immobilisasi dengan
gips yang ketat, crush injury pada massa otot yang luas, tekanan setempat
yang cukup lama, peningkatan permeabilitas kapiler dalam kompartemen
akibat perfusi otot yang mengalami iskemia, luka bakar atau latihan berat.
Kewaspadaan yang tinggi sangat penting pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau keadaan lain yang tidak dapat merasakan nyeri.

2. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada inspeksi dapat ditemukan di daerah yang sakit terlihat bengkak, kulit
tampak berwarna pink dan pasien tampak kesakitan.
b. Palpasi
Pada palpasi didapatkan beberapa tanda khas dari sindroma kompartemen,
yakitu : pain, pulse present dimana perabaan pulsasi pada daerah distal
biasanya masih bisa teraba, parestesi pada daerah distribusi saraf perifer
dan menurunnya sensasi pada kulit daerah yang terkena, serta tegang dan
bengkak pada daerah yang terkena.
3. Pemeriksaan penunjang

a. Foto Rontgen

Untuk mengetahui apakah terdapat fraktur pada tulang atau tidak


yang berguna untuk mengetahui asal dari rasa nyeri tersebut
b. Arteriografi
Untuk mengetahui ada atau tidak cedera pada arterinya
c. Pengukuran Tekanan Kompartemen
Pengukuran tekanan secara langsung merupakan gold standard
untuk menegakkan diagnosa sindroma kompartemen. Pengukuran tekanan
kompartemen ini dapat dilakukan dua kali, yaitu sebelum dan setelah
latihan dan tidak semua kompartemen biasanya diuji, tetapi tergantung
pada berapa banyak tempat yang dirasakan sakit oleh pasien.
Normalnya tekanan kompartemen adalah nol. Perfusi yang tidak
adekuat dan iskemia relatif terjadi ketika tekanan meningkat antara 10 – 30
mmHg dari tekanan diastolik. Tidak ada perfusi yang efektif ketika
tekanannya sama dengan tekanan diastolik. Selama tekanan pada salah
satu kompartemen kurang dari 30 mmHg ( tekanan pengisian kapiler
diastolik ), maka tidak perlu khawatir tentang terjadinya sindroma
kompartemen. Tes dianggap positif jika memiliki tekanan ≥ 15 mmHg
sebelum latihan atau ≥ 30 mmHg setelah latihan selama satu menit atau ≥
20 mmHg setelah latihan selama 5 menit.

Anda mungkin juga menyukai