Anda di halaman 1dari 8

1.

Definisi
Sindrom kompartemen adalah suatu keadaan dimana timbul gejala yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan intertitial di dalam ruang osteofascial yang kemudian akan mengakibatkan
menurunnya perfusi dan oksigenasi jaringan. Kompartemen sendiri adalah ruangan yang berisi
otot, saraf, dan pembuluh darah yang dilindungi oleh fascia dan tulang serta otot-otot.

Gambar 1. Rangka

Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak yaitu:


1. Lengan atas (kompartemen anterior dan posterior)
2. Lengan bawah (kompartemen anterior, lateral, dan posterior)
3. Tungkai atas (kompartemen anterior, medial, dan kompartemen posterior)
4. Tungkai bawah (kompartemen anterior, lateral, posterior superfisial, posterior
profundus)
Menurut Sugeng Krismawanto tahun 2015 dalam tesis “tekanan intra kompartemen
anterior tungkai bawah sebelum dan sesudah exercise” Kejadian sindroma kompartemen akibat
latihan atau aktivitas berlebihan (Exertional Compartment Syndrome) yang biasa terjadi pada
tungkai bawah, di Indonesia belum pernah dilaporkan. Ini bisa disebabkan memang tidak pernah
terjadi atau sistem pendataan yang kurang baik. Pengukuran tekanan intrakompartemen anterior
tungkai bawah pada siswa calon bintara Polri di SPN Pontianak, sebanyak 63 siswa didapatkan
tekanan intrakompartemen sebelum exercise rata-rata 7,3 mmHg dan setekah exercise dengan
Ian selama 20 merit didapatkan tekanan rata-rata 10,9 mmHg pada 1 menit setelah selesai lari,
dan tekanan rata-rata 8,0 mmHg 5 menit setelah selesai lari. Peningkatan tekanan tersebut masih
di bawah 15 mmHg yang merupakan batas tekanan sebelum exercise pada orang yang potensial
terjadi exertional compartment syndrome kraals sesuai kriteria dari Pedowitz. Dengan demikian
dapat diperldrakan bahwa orang Indonesia memiliki batas anibang yang cukup tinggi untuk
terjadinya sindroma kompartemen yang disebabkan oleh latihan atau aktivitas berlebihan.

Gambar 1. Arterior Compartemen


Bila tidak ada perbaikan yang terjadi, siapkan untuk alat bantu dengan pemantauan
tekanan jaringan, suatu cara untuk mengukur tekanan fascia (tekanan fasia yang normal adalah 0
sampai 30 mmHg dan apabila tekanan ini mendekati 30 mmHg kapiler dan arteri akan menutup
menyebabkan sumbatan). Pada keadaan normal kompartemen tungkai bawah mempunyai
tekanan ≤ 10 mmHg. Hasil percobaan memberikan kesan bahwa nekrose otot yang signifikan
mungkin terjadi pada penderita dengan aliran darah normal jika tekanan intrakompartmen naik
lebih dari 30 mmHg selama lebih dari 8 jam. Percobaan pada binatang, tekana 40 mmHg selama
14 jam tidak memberikan konduksi saraf, tetapi tekanan 50 mmHg menghentikan konduksi saraf
dalam waktu kurang dari 7 jam. Rorabeck menunjukkan bahwa durasi penurunan tekanan adalah
signifikan saraf permanen tetapi selama 12 jam atau lebih menyebabkan perubahan neurologis
permanen. Penelitian lebih lanjut pada sukarelawan menunjukkan variasi yang signifikan pada
toleransi terhadap tekanan. Oncet terjadinya tekanan intrakompartmen maksimal rata-rata 12 jam
pasca trauma.
Tabel 1. Letak dan Isi Kompartemen
Letak Kompartemen Isi
Lengan Anterior M. Biceps brachii, M. Coracobrachialis, M.
Atas Brachialis;
A. Brachialis;
N. Musculocutaneus
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Musculocutaneus, N. Medius, M. Ulnaris, A.
Brachialis, V. Basilica
Posterior M. Triceps brachii;
A. Profunda brachii, A. Collateralis ulnaris;
N. Radialis
Struktur yang Menembus Kompartemen : N.
Radialis dan N. Ulnaris
Lengan Anterior M. Pronator teres, M. Flexor carpi radialis, M.
Bawah Palmaris longus, M. Flexor carpi ulnaris, M.
Flexor digitorum superficialis, M. Flexor
pollicis longus, M. Flexor digitorum profundus,
M. Pronator quadratus;
A. Ulnaris, A. Radialis;
N. Medianus
Lateral M. Brachioradialis, m. Flexor carpi radialis
longus;
A. Radialis, a. Brachialis;
N. Radialis
Posterior M. Extensor carpi radialis brevis, M. Extensor
digitorum, M. Extensor digiti minimi, M.
Extensor carpi ulnaris, M. Anconeus, M.
Supinator, M. Abductor pollicis longus, M.
Extensor pollicis brevis, M. Extensor pollicis
longus, M. Extensor indicis;
Arteriae interoseus anterior dan posterior;
Ramus profundus nervi radialis
Tungkai Anterior M. Sartorius, M. Iliacus, M. Psoas, M.
Atas Pectineus, M. Quadriceps femoris;
A. Femoralis;
N. femoralis
Medial M. Gracilis, M. Adductor longus, M. Adductor
brevis, M. Adductor magnus, M. Obturatorius
externus;
A. profunda femoris, A. Obturatoria;
N. obturatorius
Posterior M. Biceps femoris, M. Semitendinosus, M.
Semimembranosus, M. Adductor magnus;
Cabang-cabang a. Profunda femoris
Tungkai Anterior Septume intermuskululare, M. Tibialis anterior,
Bawah M. Extensor digitorum longus, M. Peroneus
tertius, M. Extensor hallucis longus, M.
Extensor digitorum brevis;
A. Tibialis anterior;
N. Peroneus profundus
Lateral M. Peroneus longus, M. Peroneus brevis;
Cabang-cabang dari a. Peronea;
N. peroneus superficialis
Posterior M. Gastrocnemius, M. Plantaris, M. Soleus;
Superfisial A. Tibialis posterior;
N. Tibialis
Septum intermuskulare posterior
Posterior M. Popliteus, M. Flexor digitorum longus, M.
Profundus Flexor hallucis longus, M. Tibialis posterior;
A. Tibialis posterior;
N. Tibialis
Fasia kruralis posterior

2. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian
memicu timbullny sindrom kompartemen, yaitu antara lain:
a. Penurunan volume kompartemenKondisi ini disebabkan oleh:
1) Penutupan defek fascia
2) Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
b. Peningkatan tekanan eksternal
1) Balutan yang terlalu
2) Berbaring di atas lengan
c. Peningkatan tekanan pada struktur kompartemen. Beberapa hal yang bisa menyebabkan
kondisi ini antara lain:
1) Pendarahan atau Trauma vaskuler 
2) Peningkatan permeabilitas kapiler
3) Penggunaan otot yang berlebihan
4) Luka bakar
5) Operasi
6) Gigitan ular
7) Obstruksi vena
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana
45% kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi dianggota gerak bawah.

3. Patofisiologi
Patofisiologi sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan local normal yang
menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis
jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam beberapa
mengatakan sampai 6 jam. Peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam
ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar
intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler
sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya
tekanan dalam kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan
nyeri hebat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini
terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dannervus, yang akan menyebabkan kerusakan
ireversibel komponen tersebut.
Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom antara lain:
a. Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
b. Theory Of Critical Closing Pressure
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang kecil dan tekanan mural arteriol
yang tinggi. Tekanan transmural secara signifikan berbeda (tekanan arteriol-tekanan
jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan tekanan
jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan.
Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat
selanjutnya adalah arteriol akan tertutup.
c. Tipisnya Dinding Vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan vena maka
ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler
maka, tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan sehingga drainase
vena terbentuk kembali. McQueen dan Court-Brown berpendapat bahwa perbedaan
tekanan diastolic dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai
korelasi klinis dengan sindrom kompartemen.

4. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal dengan 5 P yaitu:
a. Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot otot yang terkena, ketika
ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika
munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak
semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang
tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. Nyeri yang
dalam dan biasanya tidak bisa diungkapkan.
b.  Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut.
c.   Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi )
d.  Parestesia (rasa kesemutan)
e.    Paralysis merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut
dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom.

5. Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium :
a. Comprehensive metabolic panel (CMP)
Sekelompok tes darah yang memberikan gambaran keseluruhan keseimbangan kimia tubuh
dan metabolisme. Metabolisme mengacu pada semua proses fisik dan kimia dalam tubuh
yang menggunakan energi.
b. Complete blood cell count (CBC)
Pemeriksaan komponen darah secara lengkap yakni kadar : Hemoglobin, Hematokrit,
Leukosit (White Blood Cell / WBC), Trombosit (platelet), Eritrosit (Red Blood Cell / RBC),
Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC), Laju Endap Darah atau Erithrocyte Sedimentation
Rate (ESR), Hitung JenisLeukosit (Diff Count), Platelet Disribution Width (PDW), Red
CellDistribution Width (RDW).
c. Amylase and lipase assessment.
d. Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) bila pasien diberi
heparin.
e. Cardiac marker test (tes penanda jantung).
f. Urinalisis and urine drug screen.
g. Pengukuran level serum laktat.
h. Arterial blood gas (ABG): cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa.
i. Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
j. Serum myoglobin
k. Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam
menentukan terapi pasiennya.
l. Urin awal : bila ditemukan myoglobin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis
rhabdomyolisis.
 Imaging :
a. Rontgen : pada ekstremitas yang terkena.
b. USG: USG membantu untuk mengevaluasi aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein
Thrombosis (DVT).

Anda mungkin juga menyukai