Anda di halaman 1dari 4

Minyak Goreng: Objek

Doktrin Ekonomi Politik


Klasik “Laissez-faire”

 by FADHILLAH LATIEF DASRI


 
 16 April 2022
 
in Esai
 1

https://unsplash.com/photos/JzpZ-6jPAdY
Pada bulan Ramadan ini gorengan merupakan makanan favorit penulis untuk menu buka puasa.
Sungguh tragis taun ini untuk membeli gorengan pun harus ngedumel dulu dan berpikir beberapa
kali “harga bakwan memang tetap sama 1000, tapi bakwan kok semakin kecil aja”. Ternyata efek
kelangkaan dan kenaikan minyak goreng sangat berdampak sekali. Dampak ini sudah sangat
dirasakan oleh setiap kalangan baik warga menengah ke bawah sampai menengah ke atas.
Sehingga pemerintah pun menyalurkan BLT minyak goreng.

Masuk akal tidak sih minyak goreng langka dan mahal di Indonesia? Secara data GAPKI
(Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) pada bulan Januari 2022 stok sebesar 8,363 juta
ton. Sedangkan total konsumsi minyak sawit dalam negeri Januari 2022 sebesar 1,506 juta ton.
Konsumsi terbesar adalah 732 ribu ton untuk bio diesel, 591 ribu ton untuk industri pangan, 183
ribu ton untuk olekimia. Ekspor minyak sawit pada bulan Januari 2,179 juta ton. Sehingga setiap
bulannya Indonesia selalu memiliki surplus stok setiap bulannya.

Sesuai amanat konstitusi UUD 1495 Pasal 33 ayat 3 “demikian pula bumi dan air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat”. Sedangkan pada kenyataan kekayaan alam di
Indonesia lebih banyak dikuasai swasta. Casson (2000) menunjukan kelapa sawit merupakan
salah satu subsektor pertanian yang paling dinamis di Indonesia. Areal perkebunananya
meningkat dari 106.000 Ha akhir 1960 menjadi 2,7 juta Ha tahun 1997. Pertumbuhan Kelapa
Sawit yang pesat ini didorong oleh faktor kebijakan ekonomi pemerintahan Soeharto. Kebijakan
ekonomi ini mendorong keterlibatan sektor swasta 1986-1996.

Pemerintah menyediakan kredit dengan bunga rendah dalam pengembangan perkebunan,


penanaman baru dan pembelian fasilitas pengolahan buah sawit (Anwar, 2011). Data kementrian
pertanian pada 2021 55,8% perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh swasta, 40,34% dimiliki oleh
rakyat 3,84% dimiliki oleh Negara. Dengan persentase perkebunan sawit yang dimiliki negara
seperti itu menteri perdagangan Muhammad Lutfi meminta maaf karena belum bisa mengatasi
mafia minyak goreng. Indonesia bagai Negara yang tunduk pada swasta.

Dari data forbes 2021 Kekayaan pengusaha yang menguasai minyak goreng Indonesia. Keluarga
Widjaja dengan kekayaan mencapai US$ 9,7 milyar, melalui Sinar Mas Group menjadi produsen
minyak goreng terbesar yaitu Filma
Keluarga Anthony Salim dengan kekayaan mencapai US$ 8,5 milyar, melalui Indofood Agri
Resources Ltd menjadi produsen minyak goreng seperti Bimoli, Delima dan Happy.

Keluarga Bachtiar Karim dengan kekayaan mencapai US$ 3,5 milyar, melalui Group Musim
Mas menjadi produsen minyak goreng seperti Sanco, Amago. Dan Viola.

Keluarga Martua Sitorus dengan kekayaan mencapai US$ 2,85 milyar, melalui Wilmar menjadi
produsen minyak goreng yaitu Fortune dan Sania

Keluarga Sukanto Tanoto dengan kekayaan mencapai US$ 8,5 milyar, melalui Asian Agri dan
Apical menjadi produsen minyak goreng yaitu Camar.

Dalam hal ini apakah Indonesia sedang mengimplementasi ekonomi politik klasik? Bahwa pasar
akan membangkitkan banyak kekayaan dan kebebasan individu tanpa perlu pengawasan oleh
negara. Para ekonom politik klasik berpendapat masa depan akan suram, tetapi upaya-upaya oleh
pemerintah untuk memberikan campur tangan hanya akan memperburuk lagi situasi, dan
memprediksi kemiskinan besar dan hambatan pertumbuhan. Para ekonom klasik ini tetap
berkomitmen terhadap Laissez – faire. Negara dan pasar adalah dua subjek dalam ekonomi
politik. Pasar dan Negara akan memunculkan persoalan, dimana pasar terlibat dalam mengejar
kepentingan sendiri, dengan negara melakukan tindakan kolektif demi kepentingan masyarakat
(Anwar, 2011).
Individu atau pasar bukan dilarang untuk memperkaya diri sudah sifat manusia yang ingin
memperkaya diri. Tetapi Negara pun harus bisa membuat kebijakan dan kontrol terhadap pasar 
yang tidak akan merugikan Negara. Suatu Negara sangat berbahaya jika elite politik yang
menguasai Negara adalah penguasai pasar. Kekuasaan bisa dipakai untuk mempengaruhi pasar
sehingga mengalami distorsi untuk kepentingannya. Ketika karekteristik  Laissez –
faire digunakan di sebuah Negara bisa efektif terutama jika digunakan dengan tepat di
pengaturan yang benar. Laissez – faire  adalah sebuah frasa prancis yang berarti “biarkan terjadi”,
dijadikan sebuah doktrin ekonomin pada abad 18 yang menentang segala intervensi pemerintah
dalam setiap urusan bisnis.
Referensi:
Anwar, D. K. (2011). Ekonomi Politik Formulasi Kebijakan dalam konteks yang
Berubah. Pekanbaru: ALAF RIAU.

Anda mungkin juga menyukai