Terhitung Sejak Awal Oktober 2021 Lalu
Terhitung Sejak Awal Oktober 2021 Lalu
Barangkali tak pernah terbayangkan oleh nenek moyang bangsa ini bahwa
kelak Indonesia akan menjadi bangsa pencinta aneka gorengan. Ikan, ayam, adonan
sayuran, hingga es krim pun kini disajikan dengan cara digoreng.
Dahulu, Indonesia adalah bangsa yang gemar dengan aneka makanan dengan
cara direbus atau dibakar. Cara pengolahan makanan ini diperkirakan telah dikenal
sejak masa neolitikum atau sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Pada periode neolitik awal saat manusia telah mengenal pembuatan tembikar,
daging yang sebelumnya dibakar diperkirakan telah diolah dengan cara yang berbeda.
Dengan menggunakan wadah tembikar, daging diolah dengan cara direbus sebelum
dimakan (Susilowati, 2009).
Salah satu bukti arkeologis yang juga menggambarkan tentang menu makanan
nenek moyang bangsa Indonesia tergambar dalam relief Candi Borobudur. Harang-
Harang Kasyam atau Sidat Bakar Madu menjadi salah satu menu yang diukir oleh
nenek moyang bangsa. Makanan dari ikan sidat ini diperkirakan diolah dengan cara
dibakar.
Hingga kini, pengolahan makanan dengan cara direbus dan dibakar masih
diwarisi secara turun-temurun. Suku Mentawai di Sumatera Barat, misalnya, hingga
saat ini masih memiliki tradisi memakan olahan sagu dengan ikan rebus.
Sejumlah warga mengangkat jerigen minyak sebagai bentuk protes pada kelangkaan
minyak goreng saat mengantre operasi pasar di Pasar Alang-Alang Lebar,
Palembang, Sumatera Selatan, Sampai saat ini, distribusi minyak goreng masih
bermasalah menyebabkan warga kesulitan mendapatkan minyak goreng.
Terlepas dari perdebatan ini, yang jelas, masyarakat Indonesia sejak lama telah
terbiasa mengonsumsi makanan gorengan. Salah satu catatan tentang kebiasaan ini
tergambar dalam catatan Justus van Maurik, pengusaha Belanda yang menjadi
pelancong di Pulau Jawa pada akhir abad ke-19.
Saat itu, ia menemukan warung di pinggir jalan yang menjual berbagai makanan,
termasuk ikan goreng. Ikan goreng juga ditemui di warung yang terletak di
perkampungan orang-orang Tionghoa (Soedewo, 2009).
Kebutuhan utama
Bahkan, dalam buku pelajaran pada era Orde Baru, makanan yang digoreng
kerap menghiasi gambar di buku pelajaran, seperti telur mata sapi, ikan goreng,
hingga ayam goreng. Sejak masa kanak-kanak pun, aneka makanan gorengan telah
menghiasi alam pikiran masyarakat Indonesia dalam pendidikan formal.
Boleh jadi, kondisi inilah yang bermuara pada tingginya kebutuhan terhadap
minyak goreng pada setiap generasi. Pada zaman Orde Baru, misalnya, saking
pentingnya, minyak goreng bahkan menjadi bagian dari bantuan luar negeri utama
yang diterima oleh Departemen Sosial pada tahun 1978-1979.
Berdasarkan catatan arsip Kompas, bantuan ini diberikan bersama beras dan
susu yang juga menjadi kebutuhan utama masyarakat.
Di tengah gejolak politik dan krisis ekonomi 1998, minyak goreng adalah salah
satu kebutuhan yang sulit untuk ditemukan saat itu. Daerah-daerah di Indonesia
bagian barat hingga Indonesia bagian timur mengeluhkan hal yang sama, yakni
kelangkaan stok minyak goreng.
Ratusan orang mengantre membeli minyak goreng saat operasi pasar minyak
goreng di kantor Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, Selasa
(11/1/2022). Sebanyak 4.000 liter minyak goreng yang dijual Rp 14.000 per liter
disiapkan dalam operasi pasar ini.
Produksi kopra dari petani mengalami penurunan yang diduga akibat perubahan
cuaca. Akibatnya, harga minyak goreng melambung hingga 86 persen dari Rp 35.000
menjadi Rp 65.000 per jeriken isi 22 liter.
Gejolak politik, stabilitas harga minyak sawit, pasokan bahan baku, hingga
biaya angkut menjadi faktor pendorong yang berdampak pada keresahan sosial di
tengah-tengah masyarakat
Kelangkaan minyak goreng juga masih terjadi pada Februari 1998 pada
sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, Surabaya, dan Medan. Saat itu kelangkaan
minyak goreng tidak terlepas dari gejolak nilai tukar rupiah sehingga berdampak pada
ketidakpastian biaya produksi.
Pada Mei 1998, kelangkaan minyak goreng masih dialami oleh sejumlah
daerah, seperti Bandar Lampung, Semarang, dan Bandung. Tingginya biaya angkut di
tengah gejolak politik dan krisis ekonomi turut menjadi salah satu penyebab
kelangkaan minyak goreng.
Pada periode reformasi, kelangkaan minyak goreng juga pernah terjadi di Bandung,
Jawa Barat, pada Mei 2007. Pada saat yang bersamaan, kenaikan harga minyak
goreng juga mencekik masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini disebabkan oleh membaiknya harga minyak kelapa sawit mentah
(CPO) dunia sehingga ekspor dari Indonesia meningkat. Kenaikan ekspor ini
berdampak pada berkurangnya pasokan bahan baku minyak goreng sehingga
mengurangi produksi minyak goreng di sejumlah daerah.
Gejolak politik, stabilitas harga minyak sawit, pasokan bahan baku, hingga
biaya angkut menjadi faktor pendorong yang berdampak pada keresahan sosial di
tengah-tengah masyarakat. Keresahan sosial ini tergambar dari sebagian masyarakat
yang rela antre lama untuk mendapatkan minyak goreng dengan harga murah.
Kebijakan ini disepakati pada Mei 2007 seusai pemerintah melakukan rapat
tertutup dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Asosiasi Industri
Minyak Makan Indonesia, dan Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia. Hal ini
dilakukan demi mengamankan stok minyak goreng dalam negeri dengan harga yang
normal.
Strategi lain yang pernah dilakukan oleh pemerintah dan pengusaha untuk
menjamin stok dan stabilitas harga minyak goreng adalah dengan melakukan operasi
pasar minyak goreng dan pembatasan pembelian sebelum harga semakin bergejolak.
Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat secara langsung di lapangan untuk tidak
membeli minyak goreng dalam jumlah banyak juga menjadi strategi tak kalah penting
yang pernah dilakukan pemerintah selama sekitar 20 tahun terakhir untuk
menghadapi kelangkaan minyak goreng.
Atau, jika di masa yang akan datang kebutuhan ini dirasa sulit untuk terpenuhi,
narasi tentang makanan yang digoreng perlu dikurangi. Narasi untuk kembali ke
makanan rebusan, kukus, atau pengolahan lainnya seperti nenek moyang bangsa
terdahulu perlu kembali disuarakan sama kerasnya seperti menyuarakan agar
masyarakat tidak menumpuk minyak goreng.
BAB I
A. PENDAHULUAN
C. Tujuan Penelitian
PEMBAHASAN
Terhitung sejak awal Oktober 2021 lalu, harga minyak goreng di Indonesia
naik secara signifikan. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis
Nasional dalam Katadata.id, harga minyak goreng pada pada 7 Oktober 2021 telah
mencapai Rp15.550,- per kilogram. Mirisnya lagi, harga minyak goreng di awal
Januari 2022 semakin melambung tinggi mencapai angka Rp18.550,- per kilogram
nya. Harga minyak goreng kemasan bermerek pun tak mau kalah dan mencetak harga
yang lebih tinggi lagi yakni seharga Rp21.150,- per kilogram.
Rupanya, kenaikan harga minyak goreng nabati tak hanya terjadi di Indonesia tetapi
terjadi juga di seluruh dunia. Saat ini, harga Crude Palm Oil (CPO) atau minyak
nabati mentah telah melonjak menjadi US$ 1.340/mT atau setara dengan
Rp19.291.243,-. Terjadinya kenaikan harga minyak mentah dalam skala global sangat
berpengaruh terhadap kenaikan harga minyak nabati mentah termasuk minyak goreng
di pasaran.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati
Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga, membeberkan alasan mengapa harga minyak
mentah di dunia melonjak tinggi. Beliau mengatakan bahwa permintaan minyak
nabati semakin meningkat setelah kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan
protokol kesehatan COVID-19 mulai longgar. Tetapi di sisi lain, produksi minyak
nabati dunia anjlok 3,5% di tahun 2021 dan menyebabkan terganggunya suplai
minyak mentah untuk olahan minyak lainnya.
Selain dari angka produksi minyak nabati mentah yang anjlok, arus logistik
yang berperan dalam distribusi minyak nabati mentah pun ikut macet. Penyebabnya
tak lain adalah pandemi COVID-19 yang masih belum kunjung teratasi. Banyak
pekerja kasar pada sektor logistik terkena PHK karena dampak dari pandemi COVID-
19 yang menyerang stabilitas perusahaan-perusahaan logistik. Selain itu, kondisi
finansial perusahaan logistik yang tak kunjung membaik juga berdampak langsung
pada jumlah unit transportasi yang mereka miliki untuk kegiatan distribusi bahan
baku.
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Dengan penerapan tiga, diharapkan kelangkaan minyak goreng dalam negeri bisa
teratasi. 1) Menaikkan Pajak Ekspor Minyak Goreng, 2) Relaksasi Kebijakan
Biodiesel 30 Persen (B30), 3) Melakukan Operasi Pasar Dalam jangka pendek,
pemerintah bisa melakukan operasi pasar. Misalnya dengan melacak dari produsen
harus memiliki kewajiban untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu
sebelum memenuhi kebutuhan ekspor.
1. Ahab, 2017, Permintaan dan Penawaran: Pengertian, Teori, Jenis dan Kurva.
Blogger.com Dominick Salvatore, 2006, Mikroekonomi, Erlangga, Edisi Keempat,
4. https://jatengprov.go.id/publik/stok-melimpah-kelangkaan-minyak-goreng-
disinyalir-karenamasalah-distribusi/ https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-
5960367/apa-penyebab-kelangkaan-minyak-gorengdi-indonesia-ini-kata-pakar-unair
5. https://news.unair.ac.id/2022/02/25/tiga-alternatif-kebijakan-pemerintah-untuk-
atasikelangkaan-minyak-goreng/ https://www.antikorupsi.org/id/beranda/icw
DAFTAR ISI
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................................ 14
B. Saran .......................................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA
MAKALAH
Popi Serliyanti
Nadira Salsabila
Thalita Ramadhania
Zaki Al-Mubarok
Guru pembimbing :
syarifah irmayani,S.pd