Anda di halaman 1dari 43

ANALISIS PENGARUH HEAT TREATMENT TERHADAP

KEKASARAN PERMUKAAN BAJA ST 90 PADA PROSES


PEMBUBUTAN

SKRIPSI

OLEH
MUHAMMAD MA’REF FIRMANSAH
NIM 170511623069

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK MESIN

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


MARET 2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Mardiansyah (2014), dunia industri manufaktur terus berkembang
sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, hal ini dapat
dilihat dari peningkatan hasil produksi, peningkatan hasil produksi memerlukan
kualitas peralatan produksi yang digunakan seperti pada bidang pemesinan
logam, mesin bubut, milling, dan perkakas lainnya harus berada dalam kondisi
layak pakai. 
Proses pemesinan yang biasanya digunakan dalam proses produksi
memerlukan ketelitian yang tinggi untuk mendapatkan hasil yang baik.
Ketelitian, kepresisian, dan kualitas permukaan menjadi prioritas utama yang
menjadi acuan dalam pengerjaan proses pemesinan. Alfiansyah (2017), cara
yang digunakan untuk mendapatkan setingan kekasaran tertentu adalah dengan
mencoba-coba, atau dengan feeling. Biasanya dilakukan dengan memperbesar
atau memperkecil kecepatan spindel, kecepatan pemakanan dan kedalaman
pemakanan.
Menurut Nasution (2017), ada beberapa sifat teknis yang harus diperhatikan
sewaktu pemilihan bahan yang digunakan yaitu sifat mekanis, yaitu kekerasan,
struktur mikro, proses perlakuan, modulus elastisitas, batas mulur, kekuatan
tarik, sifat fatik, keuletan, impak, tahan aus dan perbandingan kekuatan (berat).
Sifat daya tahan terhadap, tekukan, torsi dan geser. Sifat selama proses
pembentukan, mampu pemesinan, mampu las, karakteristik pengerjaan
panas/dingin dan mampu tempa. Sifat terhadap pengaruh lingkungan, daya tahan
korosi, panas, aus dan pelapukan.
Pemilihan material akhirnya ditentukan oleh berbagai hal yang telah
dipertimbangkan sebelumnya, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa pemilihan
bahan yang tepat merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan perlu
ditinjau secara teknis, ekonomis dan objektifitas. Besi atau baja sangat luas
pemakaiannya dibidang teknik, atau boleh dibilang hampir sebagian besar
pengembangan teknologi selalu berhadapan dengan besi atau baja, baik untuk
transportasi, struktur bangunan, peralatan pertanian, mesin-mesin dan
sebagainya, jika besi maupun baja tidak dapat digunakan untuk keperluan
tertentu maka dapat dilakukan pengolahan baja terlebih dahulu, pengolahan baja
sendiri bertujuan untuk mendapatkan sifat baja yang diperlukan dengan cara
melakukan proses heat treatment.
Proses perlakuan panas adalah suatu proses pemanasan dan pendinginan
logam dalam keadaan padat dengan tujuan untuk mengubah sifat mekanik dan
struktur baja. Menurut Hadi (2010), perlakuan panas hampir dilakukan pada
material yang akan dilakukan pengerjaan lanjut, dengan kata lain perlakuan
panas menyiapkan material setengah jadi untuk dilakukan pengerjaan
selanjutnya.
Didalam proses perlakuan panas secara umum terdiri dari beberapa macam
yaitu normalizing, hardening, tempering, anealing dan quenching. Adapun
faktor yang mempengaruhi kekerasan heat treatment adalah temperature,
holding time dan media pendingin. Pada penelitian ini akan terfokus pada proses
hardening khususnya pada penggunaan media pendingin dalam proses
quenching.
Hardening adalah proses pemanasan hingga titik austenite, dimana untuk
mencapai titik austenite pada baja ST 90 terletak antara suhu 723°C - 760°C
dengan waktu penahanan (holding time) selama 10-30 menit. Kemudian untuk
mendapatkan struktur martensit pada baja dilakukan proses pendinginan cepat
(quencing) dengan media pendingin yang berbeda.
Pemaparan tersebut melatar belakangi penulis untuk membahas tentang
Analisis Pengaruh Heat Treatment Terhadap Kekasaran Permukaan Baja ST 90 Pada
Proses Pembubutan.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang sudah dipaparkan di atas, maka


rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Berapa nilai kekasaran baja ST 90 tanpa mendapat perlakuan?
2. Berapa nilai kekasaran baja ST 90 setelah mendapat perlakuan panas
dengan temperature 750°C menggunakan media quenching air sabun
dalam holding time selama 30 menit?
3. Berapa nilai kekasaran baja ST 90 setelah mendapat perlakuan panas
dengan temperature 750°C menggunakan media quenching air laut dalam
holding time selama 30 menit?
4. Berapa nilai kekasaran baja ST 90 setelah mendapat perlakuan panas
dengan temperature 750°C menggunakan media quenching oli SAE dalam
holding time selama 30 menit?
C. Batasan Masalah

Beberapa batasan masalah yang perlu diperhatikan dalam penelitian


ini adalah sebagai berikut: 
1. Benda kerja yang digunakan berbentuk silinder dengan permukaan rata.
2. Sebelum dilakukan proses pembubutan, benda kerja akan dipanaskan
dengan suhu 750°C selama 30 menit.
3. Benda kerja akan didinginkan dengan media pendingin larutan air sabun,
air laut dan oli.
4. Proses yang dilakukan adalah pembubutan permukaan rata pada setiap
benda kerja dengan kecepatan putaran spindle 630 rpm, depth cut 1 mm
dan feeding 0,2 mm menggunakan pahat insert karbida.
D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Memberikan pengetahuan tentang pengaruh proses heat treatment
terhadap sifat baja pada proses pembubutan baja ST 90.
2. Dapat digunakan sebagai referensi tambahan di bidang manufaktur, kajian,
sumber belajar, dan pengembangan evaluasi pembelajaran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Perlakuan Panas
Perlakuan panas adalah suatu proses pemanasan dan pendinginan logam
dalam keadaan padat dengan tujuan untuk mengubah sifat-sifat mekanik dan
struktur mikro dari logam tersebut. Menurut Hadi (2010), perlakuan panas
hampir dilakukan pada material yang akan dilakukan pengerjaan lanjut, dengan
kata lain perlakuan panas menyiapkan material setengah jadi untuk dilakukan
pengerjaan selanjutnya. Proses perlakuan panas pada dasarnya terdiri dari
beberapa tahapan, dimulai dengan pemanasan sampai ke temperatur tertentu,
lalu diikuti dengan penahanan selama beberapa saat, baru kemudian dilakukan
pendinginan dengan kecepatan tertentu.

Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh sifat yang diinginkan dengan meruba
h struktur mikronya. Struktur yang terjadi pada akhir suatu proses laku panas, sel
ain ditentukan oleh komposisi kimia dari material dan proses laku panas yang di
alami juga ditentukan oleh struktur awal material. Paduan dengan komposisi kim
ia yang sama, dan mengalami proses laku panas yang sama, mungkin akan meng
hasilkan struktur mikro dan sifat yang berbeda bila struktur awal materialnya ber
beda. Struktur awal ini banyak ditentukan oleh pengerjaan dan laku panas yang d
ialami sebelumnya. Menurut Pramono (2012), disamping itu dasar-dasar semua
proses laku panas melibatkan transformasi dan dekomposisi austenite.

Proses perlakuan panas dapat diklasifikasikan dengan beberapa macam yaitu :

1. Normalizing menurut Thakur (2012), adalah proses perlakuan panas


dimana proses pemanasan mencapai temperature kemudian didinginkan
perlahan dengan udara. Normalizing baja adalah proses pemanasan baja ke
fase austenite sehingga diperoleh struktur mikro austenite, selanjutnya
didinginkan dengan udara normal hingga suhu kamar. Sehingga struktur
dalam material yang telah berubah akibat perlakuan mekanik, ataupun
karena bekerja pada temperature tinggi atau rendah dapat dikembalikan ke
struktur yang normal lagi melalui normalizing. Dalam normalizing,
material dipanaskan hingga rentang temperatur austenite dan diikuti
dengan pendinginan udara. Perlakuan ini biasanya dilakukan untuk
mendapatkan matriks terutama perlit, yang menghasilkan kekuatan dan
kekerasan yang lebih tinggi daripada kondisi yang diterima. Ini juga
digunakan untuk menghilangkan karbida bebas yang tidak diinginkan yang
ada dalam kondisi yang diterima.
2. Hardening menurut Pramono (2012), proses hardening berguna untuk
memperbaiki kekerasan dari baja tanpa dengan mengubah komposisi kimia
secara keseluruhan. Pengerasan adalah salah satu perlakuan panas dengan
kondisi non equilibrium, pendinginannya sangat cepat, sehingga struktur
mikro yang akan diperoleh juga adalah struktur mikro yang non
equilibrium. Hardening dilakukan dengan memanaskan baja hingga
mencapai temperatur austenite, dipertahankan beberapa saat pada
temperatur tersebut, lalu didinginkan dengan cepat, sehingga akan
diperoleh martensit yang keras. Biasanya sesudah proses hardening
selesai, segera diikuti dengan proses tempering.
3. Tempering menurut Aminuddin (2017), adalah proses pemanasan kembali
baja pada suhu kritis yang telah dikeraskan, kemudian didinginkan
kembali pada suhu ruangan untuk menghilangkan residu atau tegangan
sisa pada proses quenching.
4. Proses annealing menurut Trihutomo (2014), yaitu perlakuan panas yang
diberikan pada suatu logam atau paduan dapat mempengaruhi sifat-sifat
mekanik dari logam atau paduan tersebut. Salah satu proses perlakuan
panas yang dapat diberikan pada logam atau paduan setelah pengelasan
yaitu proses annealing. Proses annealing merupakan proses perlakuan
panas terhadap logam atau paduan dengan memanaskan logam tersebut
pada temperatur tertentu, menahan pada temperatur tadi beberapa saat dan
mendinginkan logam tadi dengan laju pendinginan yang sangat lambat.
Proses perlakuan panas yang diberikan bertujuan untuk memperbaiki sifat
mekanik dari logam atau paduan.
5. Quenching menuut Trihutomo (2016), adalah pendinginan secara cepat
berupa pencelupan baja yang telah berada pada temperatur pengerasannya
pada udara, air, air garam dan oli sebagai media pendingin. Kemampuan
suatu jenis media dalam mendinginkan spesimen bisa berbeda-beda,
semakin cepat logam didinginkan maka akan semakin keras sifat logam
tersebut.
B. Hardening
Menurut Trihutomo (2016), proses hardening adalah proses perlakuan panas
yang diterapkan untuk menghasilkan benda kerja yang keras. Proses ini
dilakukan dengan cara pemanasan baja sampai temperatur austenisasi dan
menahannya pada temperatur tersebut untuk jangka waktu tertentu dan
kemudian didinginkan dengan laju pendinginan yang sangat tinggi. Proses
hardening yang diterapkan pada pembuatan pisau pemotong bertujuan untuk
memperoleh pisau pemotong dengan tingkat kekerasan yang tinggi. Proses ini be
rguna untuk memperbaiki kekerasan dari baja tanpa dengan mengubah komposis
i kimia secara keseluruhan.
Proses ini mencakup proses pemanasan sampai pada austenisasi dan diikuti ol
eh pendinginan dengan kecepatan tertentu untuk mendapatkan sifat-sifat yang dii
nginkan. Temperatur yang dipilih tergantung pada jenis baja yang diproses, dima
na temperature pemanasan 50-100°C di atas garis A3 untuk baja hypoeutektoid.
Sedangkan proses pendinginannya bermacam-macam tergantung pada kecepatan
pendinginan dan media quenching yang dikehendaki. Untuk pendinginan yang c
epat akan didapatkan sifat logam yang keras dan getas, sedangkan untuk pending
inan yang lambat akan didapatkan sifat yang lunak dan ulet. Pada baja hypoeute
ktoid temperatur di atas garis A3, struktur baja akan seluruhnya berkomposisikan
butir austenite, dan pada saat pendinginan cepat akan menghasilkan martensit. Q
uenching baja hypoeutektoid dari temperatur di atas temperatur optimum akan m
enyebabkan terjadinya overheating. Menurut Pramono (2012), overheating dala
m hardening akan menghasilkan butir martensit kasar yang mempunyai kerapuh
an yang tinggi. Proses ini sangat dipengaruhi oleh parameter tertentu seperti:
a. Temperatur pemanasan, yaitu temperature austenisasi yang dikehendaki ag
ar dicapai transformasi yang seragam pada material.
b. Waktu pemanasan, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk mencapai t
emperatur pemanasan tertentu (temperature austenisasi).
c. Waktu penahanan, yaitu lamanya waktu yang diperlukan agar didapatkan d
istribusi temperature yang seragam pada benda kerja.
Waktu pemanasan atau holding time ini merupakan fungsi dari dimensi dan d
aya hantar panas benda kerja. Lamanya waktu penahanan akan menimbulkan per
tumbuhan butir yang dapat menurunkan kekuatan material. Martensit adalah mik
ro konstituen yang terbentuk tanpa melalui proses difusi. Konstituen ini terbentu
k saat austenit didinginkan secara sangat cepat, misalnya melalui proses quenchi
ng pada medium air. Transformasi berlangsung pada kecepatan sangat cepat, me
ndekati orde kecepatan suara, sehingga tidak memungkinkan terjadi proses difusi
karbon. Transformasi martensite diklasifikasikan sebagai proses transformasi tan
pa difusi yang tidak tergantung waktu (diffusionless time-independent transform
ation). Martensit yang terbentuk berbentuk seperti jarum yang bersifat sangat ker
as (hard) dan getas (brittle). Fasa martensit adalah fasa metastabil yang akan me
mbentuk fasa yang lebih stabil apabila diberikan perlakuan panas. Martensit yan
g keras dan getas diduga terjadi karena proses transformasi secara mekanik (gese
r) akibat adanya atom karbon yang terperangkap pada struktur kristal pada saat t
erjadi transformasi.
C. Quenching (Pendinginan Cepat)
Menurut Handoyo (2015), quenching adalah suatu proses pengerasan baja
dengan cara baja dipanaskan hingga mencapai batas austenite dan kemudian di
ikuti dengan proses pendinginan cepat melalui media pendingin air sabun, air
garam dan oli sehingga fasa austenite bertransformasi secara parsial membentuk
struktur martensite. Tujuan utama dari proses quenching ini adalah untuk
menghasilkan baja dengan sifat kekerasan tinggi.

Menurut Akbar (2019), media pendingin yang digunakan berpengaruh


terhadap laju pendinginan dalam pembentukan struktur austenit dan hasil
transformasi perlit. Austenit inilah yang akan menentukan seberapa jauh
peningkatan sifat mekanik perlakuan panas. Selain mempengaruhi sifat mekanik,
media pendingin dapat mempengaruhi sifat fisik.

Kemampuan suatu jenis media dalam mendinginkan spesimen bisa berbeda-


beda, perbedaan kemampuan media pendingin di sebabkan oleh temperature,
kekentalan, kadar larutan dan bahan dasar media pendingin. Semakin cepat
logam didinginkan maka akan semakin keras sifat logam itu. Karbon yang
dihasilkan dari pendinginan cepat lebih banyak dari pendinginan lambat. Hal ini
disebabkan karena atom karbon tidak sempat berdifusi keluar, terjebak dalam
struktur kristal dan membentuk struktur tetragonal yang ruang kosong antar
atomnya kecil, sehingga kekerasan .meningkat. Media pendingin yang
digunakan untuk mendinginkan baja bermacam-macam. Berbagai bahan
pendingin yang digunakan dalam proses perlakuan panas antara lain :

1. Air
Pendinginan dengan menggunakan air akan memberikan daya pendinginan
yang cepat. Biasanya ke dalam air tersebut dilarutkan garam dapur sebagai
usaha mempercepat turunnya temperatur benda kerja dan mengakibatkan
bahan menjadi keras. Menurut Akbar (2019), air memiliki karakteristik yang
khas yang tidak dimiliki oleh senyawa kimia yang lain. Karakteristik tersebut
adalah sebagai berikut pada kisaran suhu yang sesuai bagi kehidupan, yakni
0ºC (32ºF) – 100ºC, air berwujud cair. Suhu 0ºC merupakan titik beku
(freezing point) dan suhu 100ºC merupakan titik didih (boiling point) air.
Perubahan suhu air berlangsung lambat sehingga air memiliki sifat sebagai
penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini memungkinkan air tidak menjadi
panas atau dingin dalam seketika. Air memerlukan panas yang tinggi dalam
proses penguapan. Penguapan (evaporasi) adalah proses perubahan air
menjadi uap air. Proses ini memerlukan energi panas dalam jumlah yang
besar cepat.
2. Minyak
Menurut Murtiono (2012), minyak yang digunakan sebagai fluida
pendingin dalam perlakuan panas benda kerja yang diolah terlebih dahulu.
Selain minyak yang khusus digunakan sebagai bahan pendingin pada proses
perlakuan panas, dapat juga digunakan oli, minyak bakar atau solar. Derajat
kekentalan (viscosity) berpengaruh pada Severity of Quench. Minyak mineral
banyak dipilih karena kapasitas pendinginannya cukup baik. Pada umumnya
minyak memiliki kapasitas pendinginan tertinggi sekitar temperatur 600ºC,
dan agak rendah pada temperatur pembentukan martensit. Laju pendinginan
minyak bisa dinaikkan dengan tiga cara yaitu dengan agitasi, memanaskan
minyak pada temperatur diatas temperatur kamar dan mengemulsikan air
(water soluable). Jenis minyak mineral yang sering dipakai untuk aplikasi
quenching pada industri yaitu oli khusus, oil quench.
3. Udara
Menurut Armila (2019), pendinginan bertujuan untuk mendapatkan
kekerasan dengan proses pendinginan lambat sehingga memberikan ruang
pada logam untuk merubah struktur mikro logam dengan metoda
pertumbuhan butir atau rekristalisasi. Pendinginan udara dilakukan untuk
perlakuan panas yang membutuhkan pendinginan lambat. Untuk keperluan
tersebut udara yang disirkulasikan ke dalam ruangan pendingin dibuat dengan
kecepatan yang rendah. Udara sebagai pendingin akan memberikan
kesempatan kepada logam untuk membentuk kristal-kristal dan kemungkinan
mengikat unsur-unsur lain dari udara. Adapun pendinginan pada udara
terbuka akan memberikan oksidasi oksigen terhadap proses pendinginan.
D. Larutan Air Sabun

Air adalah media yang paling banyak digunakan untuk quenching karena
biayanya yang murah dan mudah digunakan serta pendinginannya yang cepat.
Menurut Gary (2011), air memberikan pendinginan yang sangat cepat yang
menyebabkan tegangan dalam, distorsi dan retakan. Air merupakan senyawa
dengan rumus kimia H2O yang berarti pada setiap molekul air ada dua atom
hidrogen yang terikat dengan atom oksigen. Air membeku pada suhu 273°K =
0°C dan menguap dibawah tekanan normal pada suhu 373°K = 100°C.

Pada tahun 1923, Johanes Bronsted (ahli kimia Denmark) dan Thomas Martin
Lowry (ahli kimia Inggris) secara terpisah mendefinisikan larutan basa adalah:
Basa didefinisikan sebagai zat yang dapat menerima proton (H+) dari zat lain
(akseptor proton).
Basa + H+ + Asam konjugasi
Asam + Basa konjugasi + H+

Dalam suatu persamaaan reaksi, asam basa berdasarkan teori Bronsted-Lowry


masing-masing mempunyai pasangan. Pasangan asam disebut basa konjugasi,
sedangkan pasangan basa disebut asam konjugasi.

E. Air Laut
Air laut adalah air yang berasal dari laut, memiliki rasa asin, dan memiliki
kadar garam (salinitas) yang tinggi. Rata-rata air laut di lautan dunia mamiliki
salinitas sebesar 3,5%, hal ini berarti untuk setiap satu liter air laut terdapat 35
gram garam yang terlarut didalamnya. Menurut Homig (1978), kandungan
garam-garaman utama yang terdapat dalam air laut antara lain klorida (55%),
natrium (31%), sulfat (8%), magnesium (4%), kalsium (1%), potasium (1%), dan
sisanya (kurang dari 1%) terdiri dari bikarbonat, bromida, asam borak,
strontium, dan florida. Keberadaan garam-garaman ini mempengaruhi sifat fisis
air laut seperti densitas, kompresibilitas dan titik beku.
F. Minyak atau Oli
Minyak yang digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panas
adalah yang dapat memberikan lapisan karbon pada permukaan benda kerja
yang diolah. Selain minyak yang khusus digunakan sebagai bahan pendingin
pada proses perlakuan panas dapat juga digunakan oli, minyak bakar atau solar.
Oli sebagai media pendingin lebih lunak jika dibandingkan dengan air. Oleh
karena itu medium oli tidak menghasilkan baja sekeras yang dihasilkan pada
medium air.
Pendinginan lambat bertujuan agar didapat struktur mikro yang lebih stabil
dikarenakan perubahan bentuk butir terjadi secara perlahan, sehingga
menghasilkan baja yang lunak dan ulet. Menurut Sukirno (2010), oli atau biasa
disebut dengan pelumas berfungsi sebagai pendingin, dimana pelumas tersebut
mampu menghilangkan panas yang dihasilkan baik dari gesekan atau sumber
lain seperti pembakaran atau kontak dengan zat tinggi. Perubahan suhu dan
oksidatif material akan menurunkan efisiensi pelumas.
G. Mesin Bubut (Turning)
Mesin bubut (turning machine) adalah suatu jenis mesin perkakas yang dalam
proses kerjanya bergerak memutar benda kerja dan menggunakan pahat potong
(cutting tools) sebagai alat untuk memotong benda kerja tersebut. Mesin bubut
merupakan salah satu mesin proses produksi yang dipakai untuk membentuk
benda kerja yang berbentuk silindris, namun dapat juga dipakai untuk beberapa
kepentingan lain. Pada prosesnya benda kerja terlebih dahulu dipasang pada
chuck (pencekam) yang terpasang pada spindel mesin, kemudian spindel dan
benda kerja diputar dengan kecepatan tertentu. Alat potong (pahat) yang dipakai
untuk membentuk benda kerja akan ditempelkan pada benda kerja yang berputar
sehingga benda kerja terbentuk sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.
Umumnya pahat bubut dalam keadaan diam, pada perkembangannya ada jenis
mesin bubut yang berputar alat potongnya, sedangkan benda kerjanya diam.

Gambar Komponen Mesin Bubut


Sumber : Manufacturing Processes (Gupta 2015)

Menurut Azhar (2014), kelompok mesin bubut juga terdapat bagian-bagian


otomatis dalam pergerakannya bahkan juga ada yang dilengkapi dengan layanan
sistem otomatis, baik yang dilayani dengan sistem hidraulik ataupun elektrik.
Ukuran mesinnya pun tidak semata-mata kecil karena tidak sedikit mesin
bubut konvensional yang dipergunakan untuk mengerjakan pekerjaan besar
seperti yang dipergunakan pada industri perkapalan dalam membuat atau
merawat poros baling-baling kapal yang diameternya mencapai 1.000 mm atau
lebih.
Menurut Upara (2009), pergerakan memanjang dari pahat sepanjang luncuran
(sliding) menghasilkan suatu permukaan yang bundar, dan pergerakan melintang
untuk “surfacing” (atau facing) menghasilkan suatu permukaan yang rata.
Gerak putar dari benda kerja disebut gerak potong relatif dan gerakan translasi
dari pahat disebut gerak umpan (feeding). Bila gerak umpan lebih lambat
dibandingkan dengan gerak potongnya akan dihasilkan benda kerja berbentuk
silindrik dengan alur spiral yang hampir tidak kelihatan, dapat dikatakan,
permukaan benda kerja tesebut halus. Bila gerak umpannya secara translasi
dipercepat dan gerak potongnya diperlambat maka bentuk alur spiral yang
mengelilingi benda kerja silindrik tersebut semakin jelas atau permukaan benda
kerja kasar.

Gambar Gerakan Pada Proses Pembubutan


Sumber : Handout Permesinan Bubut (Nurdjito 2015)

Mesin bubut merupakan salah satu metal cutting machine dengan gerak
utama berputar, tempat benda kerja dicekam dan berputar pada sumbunya,
sedangkan alat potong (cutting tool) bergerak memotong sepanjang benda kerja,
sehingga akan terbentuk geram. Menurut Nurdjito (2015), prinsip kerja mesin
bubut adalah:
1. Benda kerja berputar pada sumbunya
2. Gerakan alat potong :
a. Alat potong bergerak sejajar sumbu utama disebut pembubutan
memanjang.
b. Alat potong bergerak tegak lurus terhadap sumbu utama disebut
pembubutan permukaan.
c. Alat potong bergerak bersudut terhadap sumbu utama disebut pembubutan
konis atau pembubutan tirus.
Komponen dapat dikatakan mempunyai geometris yang ideal apabila
memiliki karakteristik permukaan yang halus. Pada komponen-komponen mesin
tertentu tingkat kehalusan menjadi sangat penting karena menyangkut gesekan,
keausan, dan ketahanan terhadap faktor lainnya. Seperti yang dikatakan oleh
Sudji Munadi (1988), walaupun hingga saat ini sudah banyak parameter yang
digunakan dalam pembahasan karakteristik permukaan, namun belum ada suatu
parameter yang bisa menjelaskan secara sempurna mengernai keadaan
sesungguhnya dari permukaan.
Menurut Munadi (1988), bentuk dari suatu permukaan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu permukaan yang kasar (roughness) dan permukaan yang
bergelombang (waviness). Berdasarkan kekasaran (roughness) dan gelombang
(waviness) inilah maka kemudian timbul yang namanya kesalahan bentuk.

Gambar Kekasaran, gelombang, dan kesalahan bentuk dari suatu permukaan (Munadi, 1988).

Menurut Munadi (1988), ketidak teraturan permukaan dibedakan menjadi


empat tingkat, yaitu:
a. Tingkat pertama menunjukkan adanya kesalahan bentuk seperti gambar di
atas. Faktor yang menjadi penyebabnya antara lain karena adanya lenturan
dari mesin perkakas dan benda kerja, kesalahan pada pencekaman benda kerja
serta proses pengerasan juga mempengaruhi.

Gambar Tingkat pertama


b. Tingkat kedua memiliki profil pemukaan yang berbentuk gelombang.
Penyebabnya adalah karena ada kesalahan bentuk dari pisau atau pahat
potong, posisi senter yang kurang tepat, adanya getaran pada waktu proses
pemotongan.

Gambar Tingkat kedua

c. Tingkat ketiga permukaan benda berbentuk alur (grooves) ini disebabkan


antara lain karena adanya bekas-bekas proses pemotongan akibat bentuk
pisau atau pahat yang salah dan gerak makan yang kurang tepat.

Gambar Tingkat ketiga


d. Tingkat keempat permukaan yang berbentuk serpihan (flakes) ini
penyebabnya antara lain karena adanya tatal (geram) pada proses
pengerjaannya.

Gambar Gambar Tingkat Keempat


Adapun parameter-parameter untuk mengukur permukaan sebagai berikut:
a. Kedalaman Total (Rt)
Kedalaman total adalah besarnya jarak dari profil referensi sampai dengan
profil dasar (μm).
b. Kedalaman Perataan (Rp)
Kedalaman perataan merupakan jarak rata-rata dari profil referensi sampai
dengan profil terukur.

Gambar Kedalaman total dan kedalaman permukaan (munadi, 1988:308)


c. Kekasaran Rata-rata aritmatik (Ra)
Kekasaran rata-rata merupakan harga rata-rata secara aritmatis antara profil
terukur dan profil tengah. Adapun cara mencari Ra salah satunya sebagai
berikut :

Dimana:

Vv = Perbesaran vertikal luas P dan Q (mm)

L = Panjang sampel (mm)

Gambar Menentukan Kekasaran Rata-rata Ra (Munadi 1988:310)

Menurut Atedi (2005), proses pemesinan kualitas kekasaran permukaan


yang paling umum adalah harga kekasaran rata-rata aritmatik (Ra) yaitu, sebagai
standar kualitas permukaan dari hasil pemotongan maksimum yang diijinkan.
Menurut Munadi (1988), telah menjelaskan bahwa harga kekasaran rata-rata
aritmetis (Ra) juga mempunyai harga toleransi kekasaran yaitu N1 sampai N12.
Pada tabel 2.1 berikut dijelaskan mengenai kelas kekasaran, harga kekasaran,
serta ukuran panjang sampel yang akan diuji. Sedangkan tabel menjelaskan
mengenai klasifikasi tingkat kekasaran menurut proses pengerjaannya.
Tabel 2.1 Toleransi harga kekasaran rata-rata (Ra) (Munadi 1988)

Kelas Kekarasan Harga (Ra) μm Panjang Sampel mm

N1 0,025 0,08

N2 0,05

N3 0,1 0,25

N4 0,2

N5 0,4

N6 0,8

N7 1,6 0,8

N8 3,2

N9 6,3 2,5

N10 12,5

N11 25,0 8

N12 50,0

Tabel 2.2 Tingkat kekasaran rata-rata permukaan menurut proses pengerjaan


(Munadi 1988)
Proses pengerjaan Rentang (N) Nilai Ra
Flat and cylindrical lapping N1-N4 0,025-0,2
Superfinishing Diamond turning N1-N6 0,025-0,8
Flat cylindrical grinding N1-N8 0,025-3,2
Finishing N4-N8 0,1-3,2
Face and cylindrical turning, milling and N5-N12 0,4-50,0
Reaming
Drilling N7-N10 1,6-12,5
Shapping, planning, horizontal milling N6-N12 0,8-50,0
Sandcassting and forging N10-N11 12,5-25,0
Extruding, cold rolling, drawing N6-N8 0,8-3,2
die casting N6-N7 0,8-1,6
Angka kekasaran permukaan menurut standar ISO 1302:192 diklasifikasikan
menjadi 12 angka kelas sesuai Tabel .
Tabel 2.3 Angka kekasaran permukaan menurut standar ISO 1302
Roughness value Ra Roughness grade number (ISO)
µm µin (1302)
50 2000 N12
25 1000 N11
12,5 500 N10
6,3 250 N9
2,3 125 N8
1,6 63 N7
0,8 32 N6
0,4 16 N5
0,2 8 N4
0,1 4 N3
0,05 2 N2
0,025 1 N1

Kekasaran permukaan biasanya dilambangkan dengan simbol untuk


memberikan informasi pada gambar teknik. Munadi (1988), mengatakan “agar
diperoleh suatu keseragaman bahasa simbol maka badan standar internasional
ISO merekomendasikan R 1302 sebagai cara penulisan spesifikasi permukaan”.
Berikut merupakan gambar penjelasan mengenai simbol spesifikasi permukaan.
B

C (F)
A

E D

Gambar Simbol spesifikasi permukaan (ISO R1302:5)

Berdasarkan gambar diketahui bahwa terdapat 5 informasi yang diberikan


pada simbol tersebut antara lain (A) nilai kekasaran permukaan (Ra), (B) cara
pengerjaan produksi (C) panjang sampel (D) arah pengerjaan (E) kelebihan
ukuran yang dikehendaki (F) nilai kekasaran lain jika diperlukan. Banyak cara
yang bisa dilakukan untuk memeriksa tingkat kekasaran permukaan suatu benda.
Menurut Munadi (1988) Cara yang paling sederhana adalah dengan menggaruk
atau meraba permukaan benda. Bila dilihat dari proses pengukurannya maka
cara pengukuran permukaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: pengukuran
secara tidak langsung atau membandingkan dan pengukuran secara langsung.
a. Pengukuran kekasaran permukaan secara tidak langsung
1) Pengukuran kekasaran permukaan dengan cara meraba (touch inspection)
Pengukuran kekasaran ini adalah dengan meraba permukaan yang diukur
menggunakan ujung jari. Untuk mengetahui tingkat kehalusan biasanya
dilakukan dengan permukaan standar (surface finish comparator). Alat ini
ditempatkan dalam satu set yang terdiri dari beberapa lempengan baja
yang masing-masing lempengan mempunyai angka kekasaran sendiri, dan
dikelompokkan menurut jenis mesin yang digunakan.
2) Pengukuran kekasaran permukaan dengan makroskop (microscopic
inspection)
Pengukuran kekasaran dengan menggunakan makroskop ini lebih baik
bila dibandingkan dengan metode meraba. Keterbatasan pengukuran
dengan makroskop adalah pengambilan bagian permukaan yang sempit
setiap kali akan melakukan pengukuran, maka pengukuran harus dilakukan
berulang-ulang untuk dicari harga rata-ratanya. Pengukuran menggunakan
makroskop dilakukan dengan cara membandingkan.
3) Pengukuran kekasaran permukaan dengan foto (surface photograph)
Pengukuran dengan cara ini adalah dengan mengambil gambar atau
memotret permukaan yang akan diukur. Foto permukaan tersebut
diperbesar dengan pembesaran yang berbeda-beda, kemudian
membandingkan hasil perbesaran foto permukaan yang berbeda-beda ini
sehinnga dapat dianalisis ketidakteraturan dari permukaan yang diukur.
4) Pengukuran kekasaran permukaan dengan peralatan kekasaran secara
mekanik (mechanical roughness instrument)
Mechanical roughness instrument yang disingkat mecrin adalah peralatan
untuk mengukur kekasaran permukaan. Alat ini bekerja dengan sistem
mekanik dan diproduksi oleh Messrs. Ruber and Co. Alat ini hanya cocok
untuk permukaan yang tidak teratur. Alat ini terdiri dari pelat tipis sebagai
peraba, penutup pelat, jam ukur (dial indicator) dan kait pengatur.
5) Alat ukur kedalaman kekasaran (the dial depht gauge)
Keuntungan dari alat ini adalah dapat dilakukan pengukuran secara cepat
tanpa membuat grafik kekasaran permukaan terlebih dahulu. Dial depht
gauge sebenarnya dapat dikatakan sebagai pengukuran permukaan secara
langsung. Hanya saja sistem kerjanya secara mekanis dan juga tidak
diperoleh grafik kekasaran permukaan pada saat pengukuran dilakukan.
b. Pengukuran kekasaran permukaan secara langsung pengukuran kekasaran
permukaan secara langsung dalah dengan menggunakan peralatan yang
dilengkapi dengan peraba yang disebut stylus.
1) Pengukuran kekasaran permukaan dengan profilometer
Sistem kerja dari profilometer pada dasarnya sama dengan prinsip
peralatan gramophone. Perubahan gerakan stylus sepanjang muka ukur
dapat dibaca pada bagia amplimeter. Gerakan stylus bisa dilakukan
dengan tangan dan bisa secara otomatis dengan dilakukan dengan motor
penggerak. Angka yang ditunjukkan pada bagian skala adalah angka
tinggi rata-rata dari kekasarannya.
2) Alat ukur permukaan Tomlinson Surface Meter
Alat pengukur kekasaran permukaan ini memiliki prinsip kerja mekanis
optis yang dirancang oleh Dr. Tomlinson dari National Physical
Laboratory (NPL). Peralatan ukur Tomlinson Surface Meter terdiri dari
beberapa komponen antara lain, yaitu : stylus, skid, pegas spiral, pegas
daun, rol tetap, kaca tetap yang dilapisi bahan tertentu sehingga terdapat
bekas ada goresan pada permukaannya dan badan.
3) Alat ukur Taylor-Hobson Talysurf
Alat ukur ini merupakan alat ukur elektronik dan bekerja atas dasar
prinsip modulasi (modulating principle). Pada dasarnya, Taylor-Hobson
Talysurf ini bentuknya hampir sama dengan Tomlinson Surface Meter,
bedanya hanya terletak pada sistem perbesarannya. Alat ukur Taylor-
Hobson Talysurf ini dapat memberikan informasi yang lebih cepat dan
bahkan lebih teliti dari pada Tomlinson Surface Meter.

H. Pahat Bubut
Kualitas benda kerja dan efisiensi kerjanya akan tergantung dari pahat yang
digunakan. Upara (2009), pahat memiliki arti proses memotong (cutting
process), yaitu memotong logam untuk mendapatkan bentuk dan ukuran, serta
kualitas permukaan potong yang direncanakan. Setiap pekerjaan diperlukan
pahat yang tepat, misalnya untuk pekerjaan kasar (roughing), halus (finishing),
permukaan (facing), bor, ulir dan lain – lain, diperlukan pahat yang khusus untuk
tujuan masing – masing.
Kekerasan dan tahan terhadap gesekan yang rendah tidak diinginkan pada
material pahat, sebab akan menyebabkan keausan pada material pahat tersebut.
Keuletan yang rendah dan ketahanan thermal yang rendah akan mengakibatkan
rusaknya pahat terhadap mata potong maupun retak mikro pada pahat yang
mengakibatkan kerusakan fatal pada pahat dan benda kerja. Sifat-sifat unggul
diatas memang perlu dimiliki oleh material pahat. Akan tetapi tidak semua sifat
tersebut dapat dipenuhi secara berimbang. Pada umumnya kekerasan, ketahanan
gesek dan ketahanan thermal yang tinggi selalu diikuti oleh penurunan keuletan.
Berbagai penelitian dilakukan untuk mempertinggi kekerasan dan menjaga
supaya keuletan tidak terlalu rendah sehingga pahat tersebut dapat digunakan
pada kecepatan potong yang tinggi.
Menurut Azhar (2014), proses pemilihan material pahat secara berurutan
dari yang paling lunak tetapi ulet sampai dengan yang paling keras tetapi getas
yaitu baja karbon tinggi, HSS (High Speed Steels), paduan cor nonferro, karbida,
CBN (Cubic Baron Nitride).
1. Geometri Pahat Bubut

Dalam pengerjaan mesin, geometri pahat merupakan aspek penting


untuk dipertimbangkan karena pengaruhnya dalam memotong kekuatan
dimensi dan pembentukan chip. Selain itu, faktor ini akan secara langsung
mempengaruhi masalah lain seperti defleksi pahat, getaran, dll. Parameter
geometris yang paling penting disertakan dalam gambar. Parameter ini
adalah sisi cutting edge angle, end cutting edge angle, cutting edge
inclination dan nose radius.
Geometri Pahat Bubut Sisipan (Insert)
Sumber: Pahat Tangan Kanan dan Pahat Tangan Kiri (Widarto 2008)

2. Pahat Karbida
Karbida memiliki kelas dari bahan keras, tahan aus, tahan api di mana
karbida keras partikel diikat menjadi satu, atau disemen, oleh pengikat
logam yang lunak dan ulet. Bahan-bahan ini pertama kali dikembangkan di
Jerman pada awal 1920-an menanggapi permintaan untuk bahan cetakan
yang memiliki ketahanan aus yang cukup untuk menggambar kabel
filamen pijar tungsten untuk menggantikan berlian yang mahal kemudian
digunakan. Karbida yang disemen pertama diproduksi adalah tungsten
karbida (WC) dengan pengikat kobalt.
Penggunaan tungsten sebagai elemen paduan memberi baja penahan yang
baik kekerasan pada suhu tinggi dari 900°C hingga 1000°C. Karbida dibuat
dengan cara mencampur bubuk logam tungsten dengan karbon dan memanaskan
campuran ke sekitar 1600°C di atmosfir hidrogen sampai kedua zat itu hilang zat
kimianya. Saat ini, tiga kelompok karbida berikut secara luas diterapkan untuk
elemen alat potong :
1. WC + Co + (WC-TiC-TaC-NiC) untuk digunakan dalam pemesinan baja.
2. WC + Co untuk digunakan dalam permesinan besi cor dan logam non
ferro.
3. TiC + Ni + Mo untuk digunakan dalam pemesinan logam kekuatan tinggi
dengan suhu tinggi.
Karbida semen memiliki kekerasan yang sangat tinggi (hanya setelah
berlian) dan keausan tinggi resistensi terhadap abrasi. Mereka tidak kehilangan
sifat pemotongannya, kekerasan melebihi suhu hingga 900oC- 1000°C.
Karenanya alat berujung karbida mampu mengolah logam yang paling keras
secara efisien, termasuk baja yang dikeraskan pada kecepatan potong tinggi.
Alat tersebut dapat beroperasi pada kecepatan potong dari 16 hingga 25 kali
lipat yang diizinkan untuk alat yang terbuat dari baja perkakas karbon. Karbida
disemen lemah pada tegangan dari pada kompresi. Mereka memiliki
kecenderungan kuat untuk terbentuk las tekanan pada kecepatan potong rendah.
Dalam pandangan ini mereka harus dioperasikan dengan kecepatan jauh lebih
banyak dari yang digunakan dengan alat baja kecepatan tinggi. Ini disebabkan
untuk peralatan mesin dari peningkatan daya. Karbida yang memperoleh
persentase kobalt tinggi adalah lebih keras dan lebih kuat dari yang mengandung
kobalt rendah.

I. Baja Karbon
Menurut Hamzah (2008), karbon merupakan unsur utama untuk menguatkan
baja, sehingga baja harus mengandung karbon sampai kadar tertentu. Baja
merupakan logam paduan, dengan logam besi yang berfungsi sebagai unsur
dasar dicampur dengan beberapa elemen, termasuk dengan unsur karbon. Baja
merupakan salah satu jenis logam ferro (Fe) yang mengandung unsur carbon
(C), sulfur (S), fosfor (P), Silikon (S), mangan (Mn), tembaga (Cu) dan juga
terdiri dari konsentrasi unsur-unsur paduan logam lain yang dibatasi. Baja
karbon merupakan salah satu logam yang umum dan banyak digunakan terutama
sebagai bahan baku untuk pemembuatan alat-alat perkakas, komponen mesin,
komponen otomotif, alat-alat pertanian, struktur bangunan atau konstruksi, alat-
alat rumah tangga dan lain sebagainya. Baja karbon dapat dikelompokkan menja
di 3 bagian berdasarkan kandungan karbonnya yaitu:

Tabel 2.4 Pengelompokan baja karbon karbon (Steelworker.Vol 1. 1996).


No. Jenis baja karbon Kadar karbon (%C)
1. Baja karbon rendah 0.05 % - 0.30 %
2. Baja karbon sedang 0.30 % - 0.45 %
3. Baja karbon tinggi 0.45 % - 0.75 %
Perbedaan prosentase karbon dalam campuran logam baja karbon menjadi sal
ah satu cara mengklasifikasikan baja. Menurut Amin (2016), kandungan karbon
dibagi menjadi tiga macam yaitu :

1. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)


Baja kabon rendah (low carbon steel) mengandung karbon dalam camp
uran baja karbon kurang dari 0,30%. Baja ini bukan baja yang keras karena
kandungan karbonnya yang rendah dan tidak dapat dikeraskan.
2. Baja Karbon Sedang (Medium Carbon Steel)
Baja Baja karbon sedang (medium carbon steel) mengandung karbon ,30%C –
0,45% C. Baja karbon sedang lebih keras serta lebih lebih kuat dibandingkan den
gan baja karbon rendah.

3. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)


Baja karbon tinggi (high carbon steel) mengandung 0,45% – 0,7%C, m
emiliki kekerasan tinggi namun keuletannya lebih rendah.

J. Baja ST 90
Menurut Furqon (2016), baja adalah paduan logam besi dan karbon yang
kemungkinan juga terdiri dari konsentrasi unsur-unsur paduan logam yang lain.
Ada beribu-ribu paduan logam, yang mempunyai komposisi yang berbeda-beda.
Sub kelas juga ada di dalam masing-masing kelompok menurut konsentrasi dari
campuran logam unsur- unsur paduannya. Dalam pengaplikasiannya baja karbon
sering digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan alat-alat perkakas,
komponen mesin, struktur bangunan, dan lain sebagainya.
Baja dibuat dari besi kasar dengan mengurangi jumlahnya karbon dan kotoran
lainnya dan menambahkan spesifik jumlah elemen paduan. Baja dengan dua
kelas umum besi: besi tuang (lebih dari 2% karbon) dan besi murni (kurang dari
0,15% karbon). Dalam pembuatan baja, dikendalikan jumlah elemen paduan
ditambahkan selama tahap cair untuk menghasilkan komposisi yang diinginkan.
Komposisi baja ditentukan oleh aplikasinya dan spesifikasi yang dikembangkan
oleh oleh organisasi atau asosiasi berikut American Society for Testing and
Materials (ASTM), American Society of Mechanical Engineers (ASME),
Society of Automotive Engineers (SAE), dan American Iron and Steel Institute
(AISI).

Secara umum baja ST 90 merupakan baja karbon sedang dengan persentase


kandungan karbon pada besi sebesar 0,45% C – 0,75% C dengan titik lebur
1130-1400OC. Baja karbon sedang banyak sekali digunakan untuk keperluan
industri seperti pembuatan kikir, pisau, mata gergaji, dan lain sebagainya.
K. Kajian yang relevan
1. Hasil penelitian Santoso & Suhadirman (2019), hasil dari uji kekasaran per
mukaan benda kerja baja karbon rendah tanpa proses heat treatment yaitu
2,236 μm. Sedangkan dengan proses heat treatment dengan media pending
in air hujan nilai kekasarannya sebesar 1,578 μm, dengan menggunakan m
edia pendingin Oli SAE 40 sebesar 1,519 μm, dengan media pendingin coo
lant radiator sebesar 1,845 μm, dan dengan media pendingin udara sebesar
1,895 μm.
2. Hasil penelitian Muddin dkk (2017), mendapatkan nilai kekasaran permuk
aan material St 90 pada proses pembubutan kering menggunakan mata pah
at karbida rata-rata terbesar (kasar) diperoleh Ra= 1,544 μm, Rq= 2,040 μ
m dan Rz= 11,021 μm yang terjadi pada kecepatan potong 110,658 m/men
it. Nilai kekasaran permukaan rata-rata terkecil (halus) diperoleh Ra= 0,95
4 μm, Rq= 1,210 μm dan Rz= 6,606 μm yang terjadi pada kecepatan poton
g 66,411 m/menit.
3. Hasil penelitian Firmansyah dkk (2021), pada penelitian ini menggunakan
variasi baja yaitu AISI 4140, AISI 4340 dan S45C menggunakan pahat HS
S dan kecepatan spindle 265 rpm dengan kedalaman pemakanan 1mm.
Pada penelitian ini menghasilkan getaran pada proses pembubutan baja
AISI 4340 memiliki getaran 3,81 mm/s2 , pada baja AISI 4140 memiliki
getaran sebesar3,75 mm/s2 dan pada baja S45C memiliki getaran sebesar
3,86mm/s2. Sedangkan hasil dari kekaksaran permukaan pada baja aisi
4140 mempunyai kekasaran sebesar 14,781 μm, pada baja AISI 4340
mempuyai kekasaran sebesar12,516μm dan pada baja S45C mempuyai
kekasaran sebesar 15,190 μm.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan penelitian eksperimental yang merupakan
suatu metode yang digunakan untuk menguji bagaimana pengaruh mengenai
pengaruh heat treatment terhadap kekasaran permukaan baja St 90 menggunakan
suhu 7500C pada proses pembubutan. Pengaruh yang diamati dilakukan dengan
memvariasikan media quenching (air sabun, air laut dan oli SAE) yang
digunakan untuk menentukan nilai kekasaran yang paling baik untuk kualitas
spesimen ST 90.
B. Variable Penelitian
1. Variabel Bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang telah ditentukan pertama oleh
peneliti yang nantinya akan mempengaruhi nilai dari variabel terikat.
Variabel bebas yang telah ditentukan dalam penelitian ini adalah:
a. Media pendingin air sabun
b. Media pendingin air laut
c. Media pendingin oli SAE
2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang nilainya tergantung pada nilai dari
variabel bebas yang telah ditentukan terlebih dahulu. Pada penelitian ini
variabel yang terikat adalah kekasaran permukaan benda.
3. Variabel Kontrol
Variabel control adalah variabel yang besarnya dibuat konstan selama
pelaksanaan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar hubungan variabel bebas
dan terikat didalam penelitian ini tidak terpengaruh oleh faktor lain yang
membuatnya semakin tidak terfokus. Adapun variabel kontrolnya sebagai
berikut:
a. Mesin bubut konvesional
b. Panjang benda 145 mm, diameter benda 30 mm
c. Kecepatan 630 rpm
d. Depth cut 1 mm
e. Feeding 0,2 mm
f. Pendingin dromus saat proses pembubutan

C. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menurut Sugiyono (2015), adalah Instrumen penelitian
adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang
diamati. Sedangkan menurut Mukhadis (2016), jenis instrument ini digunakan
untuk mengumpulkan data yang dapat dialami secara langsung dari subyek atau
obyek. Berdasarkan paparan diatas, alat dan bahan yang akan digunakan didalam
penelitian ini adalah:
1. Alat yang digunakan
Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Mesin bubut (Turning) konvensional
b. Tungku pemanas
c. Sketmat
d. Tang penjepit
e. Bak penampung media pendingin
f. Alat untuk mengukur kekasaran permukaan benda
2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Material baja ST 90
b. Air sabun, air laut, oli SAE
c. Pahat insert karbida
D. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2021 di Laboratorium Teknik
Mesin Universitas Negeri Malang yang bertempat di gedung G2 jurusan Teknik
Mesin, Fakultas Teknik.
E. Diagram Alir Penelitian

Mulai

Studi Literatur

Persiapan Penelitian

Pembuatan Spesimen

Proses heat treatment dan pendinginan

Variasi Air
Variasi Air Sabun Variasi Oli SAE
Laut

Proses pembubutan

Uji Kekarasan

Analisis Data

Kesimpulan

Selesai

Gambar Diagram alur penelitian

F. Prosedur Penelitian
1. Tahap Studi Literatur
Pada tahap studi literatur penulis akan mengkaji sumber yang sesuai
artikel,jurnal,dan sumber lain yang relevan dengan tema yang diteliti.

2. Tahap Persiapan Penelitian


Penulis mempersiapkan penelitian, mulai dari observasi mesin bubut
dan uji kekasaran di Laboratorium G2 Teknik Mesin Universitas Negeri
Malang. Serta persiapan alat dan bahan untuk membuat spesimen yang
akan di uji.
3. Pembuatan Spesimen
Pembuatan spesimen uji dengan spesifikasi baja ST 90 ukuran 145 mm
dan diameter 30 mm yang dibutuhkan sebanyak 12 spesimen, kemudian
masing-masing benda dipotong.
4. Tahap Heat Treatment
Pada tahap ini dilakukan proses pemanasan pada spesimen uji dimana
specimen setelah dipotong. Kemudian dipanaskan pada suhu 750℃
selama 30 menit.
5. Tahap Pendinginan
Spesimen uji yang telah dipanaskan dengan suhu 750℃. Kemudian
dilakukan proses pendinginan cepat pada media air sabun, air laut, dan oli
SAE.
6. Tahap Pembubutan
Setelah specimen mendapat perlakuan heat treatment dan pendinginan,
masing-masing benda dibubut dengan kecepatan spindle 630 rpm, depth
cut 1 mm dan feeding 0,2 mm.
7. Tahap Uji Kekasaran
Pada tahap ini spesimen yang sudah melalui tahap pembubutan akan
dilakukan pengujian kekarasan dengan alat uji kekasaran dengan pengujian
kekarasan disetiap masing-masing permukaan spesimen uji.
8. Tahap Analisis Data
Menganalisis hasil data uji nilai kekerasan spesimen.
9. Kesimpulan
Menyimpulkan hasil penilitan nilai kekarasan dari pengujian pengaruh
heat treatment dengan media quenching air sabun, air laut, dan oli SAE
terhadap baja ST 90 pada proses pembubutan.
G. Teknik Pengumpulan Data
Pada tahap pengambilan data kuantitatif, peneliti akan menguji tingkat
kekasaran permukaan benda sebanyak tiga kali dari masing-masing benda dan
menggunakan alat uji kekasaran permukaan benda sesuai prosedur yang berlaku
di Laboratorium G2 Teknik Mesin Universitas Negeri Malang.
Tabel Data Penelitian Uji Kekasaran permukaan benda

No Media Pendingin Nilai Kekasaran Rata-rata

1 Tanpa diberi perlakuan 3,28 µm 3,52 µm 4,76 µm 3,853 µm

2 Air Laut 3,07 µm 3,61 µm 4,29 µm 3,656 µm

3 Air Sabun 4,55 µm 5,09 µm 5,09 µm 4,91 µm

4 Oli SAE 3,29 µm 4,33 µm 5,38 µm 4,33 µm

H. Teknik Analisis Data


Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif, yang
bertujuan untuk menggambarkan data dari masing-masing variabel agar lebih
mudah untuk dipahami. Pada penelitian ini, pengujian tingkat kekasaran
permukaan benda dilakukan untuk mengetahui tingkat kekasaran disetiap media
pendingin.
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data
Data yang diolah pada bab ini berupa angka yang diperoleh setelah melakuka
n penelitian dan pengujian kekasaran dari hasil pembubutan baja karbon sedang
yang dilakukan di LAB Teknik Mesin UM. Pengujian baja karbon rendah peneli
ti memilih tipe baja ST 90, karena memiliki kadar karbon 0,42%. Data tersebut d
iambil dari Mill Certificate SeAH Besteel Corp.
B. Hasil Pengujian Kekerasan
Dilakukannya uji kekasaran agar memperoleh data hasil kekasaran mengguna
kan alat uji kekasaran dari masing – masing spesimen, spesimen yang tanpa heat
treatment dan spesimen yang di heat treatment dan quenching dengan mengguna
kan variasi yang berbeda. Adapun data yang diperoleh adalah :
1. Nilai hasil Uji Kekasaran Spesimen Baja ST 90 tanpa heat treatment dan
yang di heat treatment Sebelum pembubutan ada spesimen yang tanpa hea
t treatment dan spesimen yang di heat treatment, spesimen yang di heat tr
eatment akan di quenching menggunakan variasi media pendingin yaitu air
laut, air sabun dan oli SAE dengan suhu 750°C dilanjutkan penahanan sela
ma 30 menit. Adapun data hasil uji kekasaran Baja ST 90 yang telah di he
at treatment kemudian di quenching dengan media yang berbeda dirangku
m dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Hasil Uji Kekasaran Spesimen Baja ST 90 tanpa heat treatment dan setelah di hea
t treatment
Variasi Nilai Ke Rata – Rata Hasil
Holding
No Media Pengulangan kasaran Uji Kekerasan
Time
Pendingin Ra (µm) (µm)

Tanpa 1 3,28 µm

Perlakuan
1 2 3,52 µm 3,853 µm
Heat
Treatment 3 4,76 µm

Sesudah 1 3,07 µm

Heat
2 2 3,61 µm 3,656 µm
Treatment
Air Laut 3 4,29 µm
30
menit
Sesudah 1 4,55 µm

Heat
3 2 5,09 µm 4,91 µm
Treatment
Air Sabun 3 5,09 µm

Sesudah 1 3,29 µm

Heat
4 2 4,33 µm 4,33 µm
Treatment
Oli SAE 3 5,38 µm

Data Tabel 4.1 menyatakan bahwa pada spesimen I tanpa heat treatment
mendapat angka kekasaran µm = 3,853 µm, spesimen II yang di heat treatment
dan menggunakan media pendingin air laut dengan suhu 750°C penahan selama
30 menit mendapatkan angka kekasaran µm = 3,656 µm, spesimen III yang di
heat treatment dan menggunakan media pendingin air sabun dengan suhu 750°C
penahan selama 30 menit mendapatkan angka kekasaran µm = 4,91 µm,
spesimen VI yang di heat treatment dan menggunakan media pendingin oli SAE
dengan suhu 750°C penahan selama 30 menit mendapatkan angka kekasaran µm
= 4,33 µm. Berdasarkan hasil kekasaran dari masing – masing spesimen tanpa
heat treatment dan yang di heat treatment dengan media pendingin yang
bervariasi akan menghasilkan angka yang berbeda.

Diagram Kekasaran Baja ST 90


6

0
Tanpa Heat Air Laut Air Sabun Oli SAE
Treatment

Gambar 4.1 Diagram Kekasaran Baja ST 90

Dari gambar diagram 4.1 bisa dilihat nilai kekasaran permukaan rata– rata
baja ST 90 dari yang tertinggi sebesar 4,91 µm dan yang terendah ditunjukkan
dengan angka 3,656 µm. Dari hasil pengujian kekarasan permukaan, nilai rata–
rata kekarasan permukaan baja ST 90 paling tinggi didapatkan dengan media
pendingin air sabun, sebaliknya angka rata– rata kekarasan terendah terletak
pada media pendingin air laut yang mendapatkan nilai kekarasan 3,656 µm.
BAB V
PEMBAHASAN

Pembahasan pada bab ini meliputi kekasaran permukaan baja tanpa heat
treatment dan yang di heat treatment dengan temperature 750°C dan di holding
time kurang lebih 30 menit kemudian didinginkan dengan tiga media pendingin
yang berbeda. Pada penelitian ini spesimen yang digunakan adalah baja ST 90
dengan panjang 145 cm dan diameter 30 mm.

Alat uji kekasaran permukaan yang di gunakan untuk menguji tingkat


kekasaran permukaan spesimen setelah dilakukan proses pembubutan adalah alat
uji kekasaran permukaan surface roughnes merk MITUTOYO Model No SJ-
301.

A. Hasil pengujian kekerasan baja tanpa diberi perlakuan panas


Hasil pembubutan ini merupakan spesimen tanpa diberi perlakuan panas
dan kemudian dilakukan proses pemesinan dengan parameter pemotongan
yang digunakan antara lain: putaran spindle 630 rpm, depth cut 1 mm dan
feeding 0,2 mm.

Gambar 5.1 Hasil pembubutan spesimen tanpa proses perlakuan panas


Gambar diatas merupakan sampel yang memiliki nilai kekasaran tertinggi
4,76 µm dan nilai kekasaran terrendah 3,28 µm kemudian didapat nilai
kekasaran rata-rata 3,853 µm.

B. Hasil pengujian kekerasan baja dengan diberi perlakuan panas dan


didinginkan menggunakan media pendingin air laut
Hasil pembubutan ini merupakan spesimen yang diberi perlakuan panas
dan didinginkan dengan media pendingin air laut dan kemudian dilakukan
proses pemesinan dengan parameter pemotongan yang digunakan antara lain:
putaran spindle 630 rpm, depth cut 1 mm dan feeding 0,2 mm.

Gambar 5.2 Proses pendinginan spesimen menggunakan media pendingin air laut
Gambar diatas adalah proses pendinginan cepat dengan menggunakan
media pendingin air laut setelah spesimen di panaskan terlebih dahulu pada
tungku pemanas dengan suhu 750°C dan di holding time kurang lebih 30 men
it.
Gambar 5.3 Hasil pembubutan spesimen yang diberi
proses perlakuan panas dan menggunakan media pendingin air laut
Gambar diatas merupakan sampel yang memiliki nilai kekasaran tertinggi
4,29 µm dan nilai kekasaran terrendah 3,07 µm kemudian didapat nilai
kekasaran rata-rata 3,656 µm.

C. Hasil pengujian kekerasan baja dengan diberi perlakuan panas dan


didinginkan menggunakan media pendingin air sabun
Hasil pembubutan ini merupakan spesimen yang diberi perlakuan panas
dan didinginkan dengan media pendingin air sabun dan kemudian dilakukan
proses pemesinan dengan parameter pemotongan yang digunakan antara lain:
putaran spindle 630 rpm, depth cut 1 mm dan feeding 0,2 mm.
Gambar 5.4 Proses pendinginan spesimen menggunakan media pendingin air sabun
Gambar diatas adalah proses pendinginan cepat dengan menggunakan
media pendingin air sabun setelah spesimen di panaskan terlebih dahulu pada
tungku pemanas dengan suhu 750°C dan di holding time kurang lebih 30
menit.

Gambar 5.5 Hasil pembubutan spesimen yang diberi


proses perlakuan panas dan menggunakan media pendingin air sabun
Gambar diatas merupakan sampel yang memiliki nilai kekasaran tertinggi
5,09 µm dan nilai kekasaran terrendah 4,55 µm kemudian didapat nilai
kekasaran rata-rata 4,91 µm.
D. Hasil pengujian kekerasan baja dengan diberi perlakuan panas dan
didinginkan menggunakan media pendingin oli SAE
Hasil pembubutan ini merupakan spesimen yang diberi perlakuan panas
dan didinginkan dengan media pendingin oli SAE dan kemudian dilakukan
proses pemesinan dengan parameter pemotongan yang digunakan antara lain:
putaran spindle 630 rpm, depth cut 1 mm dan feeding 0,2 mm.

Gambar 5.6 Proses pendinginan spesimen menggunakan media pendingin oli SAE

Gambar diatas adalah proses pendinginan cepat dengan menggunakan


media pendingin oli SAE setelah spesimen di panaskan terlebih dahulu pada
tungku pemanas dengan suhu 750°C dan di holding time kurang lebih 30
menit.
Gambar 5.7 Hasil pembubutan spesimen yang diberi
proses perlakuan panas dan menggunakan media pendingin oli SAE

Gambar diatas merupakan sampel yang memiliki nilai kekasaran tertinggi


5,38 µm dan nilai kekasaran terrendah 3,29 µm kemudian didapat nilai
kekasaran rata-rata 4,33 µm.

Dari data hasil penelitian menunjukkan bahwa spesimen yang tidak diberi
perlakuan mendapatkan nilai kekasaran rata-rata 3,853 µm, sedangkan nilai hasil
kekasaran terrendah baja ST 90 setelah diberi perlakuan mendapatkan nilai
3,656 µm dan nilai kekasaran tertinggi baja ST 90 setelah diberi perlakuan
mendapat nilai 4,91 µm.

Terdapat perbedaan nilai hasil kekasaran permukaan benda kerja pada setiap
spesimen uji hal itu dapat disebabkan oleh adanya getaran yang diakibatkan saat
proses pencekaman benda kerja tidak lurus dan sejajar dengan titik tengah
ragum, hal itu dapat membuat benda kerja bergetar dan dapat mempengaruhi
perbedaan nilai hasil kekasaran setiap spesimen. Karena semakin benda bergetar
akibat benda tidak sejajar lurus dengan titik tengah ragum akan dapat
menghasilkan nilai hasil kekasaran yang tinggi.

Ada beberapa faktor yang juga dapat mempengaruhi perbedaan nilai hasil
penelitian yaitu :
1. Dapat akibat dari proses perlakuan panas yang diberikan sebelum proses
pembubutan dapat mempengaruhi nilai hasil kekasaran benda kerja, karena
pada saat proses pemanasan benda kerja akan dipanaskan hingga mencapai
titik austenit dan kemudian dilakukan pendinginan cepat (quenching), pada
saat proses pendinginan cepat disitu terjadi perubahan struktur baja yang
mana struktur awal pada baja akan bertransformasi menjadi martensit yang
dapat membuat baja semakin keras.
2. Dapat disebabkan oleh parameter pemotongan dimana pada penelitian ini
menggunakan parameter pemotongan depth cut 1 mm dan feeding 0,2 mm.
3. Dapat disebabkan oleh gram atau serpih akibat dari benda kerja yang keras
dan dapat mengakibatkan serpih ikut menggores benda kerja saat proses
pembubutan, hal itu dapat terjadi akbibat dari kedalaman potong saat
proses pemakanan.
4. Terjadinya getaran pada benda kerja itu disebabkan oleh benda kerja yang
keras dan posisi benda kerja tidak lurus sejajar dengan titik tengah ragum
hal itu juga dapat mempengaruhi nilai hasil kekasaran permukaan.

Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian tentang kekasaran permukaan benda
kerja sebagai berikut:

1. Bima (2006), menyatakan bahwa kekasaran permukaan yang tinggi


dihasilkan dari kedalaman pemakanan yang tinggi, karena kedalaman
pemakanan yang besar menghasilkan kekasaran permukaan yang tinggi.
Karena semakin besarnya beban pada pahat saat melakukan penyayatan
dengan kedalaman yang semakin tinggi. Sehingga tingkat kekasaran
permukaan semakin tinggi. Sedangkan kedalaman pemakanan yang sedikit
menghasilkan kekasaran permukaan hasil pembubutan menjadi rendah.
2. Saripuddin Muddin, Suradi dkk (2017), pada penelitian ini membahas
pengaruh kecepatan potong terhadap tingkat kekasaran permukaan hasil
pembubutan material baja ST 90, kecepatan potong saat proses
pembubutan dapat mempengaruhi nilai hasil kekasaran sehingga semakin
tinggi kecepatan potong yang digunakan dalam pembubutan maka
diperoleh nilai kekasaran permukaan yang besar, sebaliknya semakin kecil
kecepatan potong yang digunakan diperoleh nilai kekasaran permukaan
yang kecil.
3. Satriya Firmansyah dan Hendri Suryanto (2021), dari penelitian ini
didapatkan kesimpulan tentang pengaruh getaran saat proses pembubutan
terhadap kekasaran baja AISI 4140, AISI 4340 ,dan S45C bahwa semakin
keras baja yang digunakan dalam penyayatan menggunakan mesin bubut
semakin tinggi nilai getaran yang dihasilkan saat proses penyayatan yang
mengakibatkan gaya gesek pada pahat dan benda kerja yang berakibat
getaran pada proses penyayatan semakin besar, dengan besarnya getaran
pada proses penyayatan mengakibatkan kekasaran semakin tinggi.
BAB VI
PENUTUP

Bab ini akan memaparkan tentang jawaban dari rumusan masalah yang telah
dijelaskan pada bab pendahuluan, bab ini terdiri dari kesimpulan hasil dari
analisis penelitian yang sudah dilakukan mengenai pengujian kekasaran baja ST
90 tanpa heat treatment dan yang telah di heat treatment lalu didinginkan
dengan tiga variasi media pendingin yang berbeda.

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengujian dan Analisa dari penelitian yang telah
dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan antara lain :

1. Hasil nilai kekerasan baja ST 90 tanpa heat treatment mendapatkan hasil


3,853 µm dan yang di heat treatment lalu di quenching dengan media air l
aut mendapatkan hasil rata-rata 3,656 µm, dengan media air sabun mendap
atkan hasil rata-rata 4,91 µm, dengan media oli SAE mendapatkan hasil
rata-rata 4,33 µm.
2. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan hasil yaitu akibat
dari proses perlakuan panas, parameter pemotongan, penumpukan gram
atau serpih pada ujung pahat dan getaran pada benda kerja saat proses
pembubutan.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, terdapat beberapa saran yang bisa saya tulis
sebagai berikut :
1. Untuk pengujian selanjutnya agar lebih sempurna dengan menampilkan gr
afik Rouhgness test.
2. Pada penelitian selanjutnya agar lebih disempurnakan dengan memperhati
kan benda kerja dan parameter pemotongan sebelum proses pengujian.
3. Sebaiknya lebih memperhatikan kembali saat pengambilan data.

Anda mungkin juga menyukai