Anda di halaman 1dari 41

TUGAS HUKUM KELEMBAGANEGARAAN

REVIEW DAN ANALISIS BUKU

“LEMBAGA KEPRESIDENAN: Sejarah dan Dinamika dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia”

Kelompok 8:

Disusun oleh:
Shafa Mahira Nurfaiza E1A021162
Anisa Putri Rachmasari E1A021163
Muhammad Rafly Fitriandi E1A021164
Alya Shafiqa Haqqani E1A021165
M. Galang Arya M. A. E1A021166

Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dosen Pengampu: Dr. Riris Ardhanariswari, S.H., M.H.
REVIEW MENGENAI BUKU TERKAIT

1. IDENTITAS BUKU
Judul : LEMBAGA KEPRESIDENAN
Sejarah dan Dinamika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Nama Penulis : Andryan, S.H., M.H.
Tahun Terbit : 2020
Penerbit : Setara Press
Jumlah Halaman : 114 halaman
Harga Buku : Rp.60.000,00 (Pulau Jawa)
Nomor ISBN : 978-602-6344-98-4
Buku ini disusun dan ditulis oleh ANDRYAN, S.H., M.H. yang merupakan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Beliau
mengajar mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan dan juga Ilmu Hukum Administrasi
Negara. Selain aktif mengajar, penulis juga aktif dalam berorganisasi, penelitian,
pengkajian, menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi Konstitusi dan Anti Korupsi.
Buku ini membahas mengenai Lembaga Kepresidenan, mulai dari sejarah,
dinamika, dan perubahannya. Cover berwarna putih dan memiliki daftar isi yang
cukup sedikit, yang terdiri dari 6 bagian. Masing-masing bagian membahas berbagai
aspek seputar Lembaga Kepresidenan di Indonesia. Buku ini terdiri dari daftar kata
pengantar, daftar isi, pengenalan tentang penulis serta bagian-bagian yang membahas
mengenai Lembaga Kepresidenan. Secara keseluruhan, buku ini memiliki total 120
halaman. Mengenai kelebihan dan kekurangannya, akan dibahas sebagai berikut:

2. KELEBIHAN
Cover pada buku ini menarik, tidak berlebihan, dan indah untuk dilihat
mata.Warna putih yang cukup sederhana, dan tidak terlalu banyak warna. Daftar isi
yang rapih, sesuai dengan judul dan tidak terlalu banyak bagian-bagian sehingga
pembaca bosan untuk membacanya. Buku ini juga menggunakan kata-kata dan bahasa
yang tidak sulit untuk dimengerti sehingga pembaca mudah untuk memahaminya.
Terlebih lagi, buku ini benar-benar memfokuskan mengenai Lembaga Kepresidenan
saja dan tidak terlalu membahas mengenai materi-materi lain. Hal ini membuat
pembaca bisa memahami betul mengenai Lembaga Kepresidenan. Terakhir, dalam
buku ini membahas tidak hanya tentang Presiden saja, namun tentang Wakil Presiden
dan para menteri yang turut membantu dalam menjalankan tugas eksekutif, sehingga
pembaca mengetahui secara keseluruhan mengenai Lembaga Kepresidenan.

3. KEKURANGAN
Dalam buku ini, memberikan bacaan yang terkesan kurang lengkap sehingga
pembaca perlu mencari tahu dalam sumber lain. Penjelasan pada buku ini juga masih
sangat umum dan hanya mengikis permukaan saja. Buku ini juga terkesan belum
mengikuti alur perkembangan zaman dalam perkembangan Lembaga Kepresidenan,
seperti halnya masa pemerintahan Bapak Joko Widodo belum sempat dibahas secara
mendetail. Selain itu, ada beberapa bagian yang dalam penjelasannya kurang efektif,
misalnya saja pada pembahasan mengenai kekuasaan kepresidenan dalam bidang
yustisial dimana isi Pasal 14 dituliskan sebanyak dua kali pada jarak yang berdekatan.
Secara keseluruhan, buku ini sangat membantu dalam memahami Lembaga
Kepresidenan di Indonesia baik secara riil atau materiil. Sangat cocok untuk dipelajari
untuk mahasiswa, walau terkadang perlu mencari informasi di sumber lain karena
adanya informasi yang kurang jelas dan diperbarui. Mengenai penjelasan dari materi-
materi yang ada dalam buku ini, terdapat di bawah berikut:

BAGIAN I. Lembaga Kepresidenan

A. Sejarah Lembaga Kepresidenan


Pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia secara de jure belum
memiliki pemerintahan, maka, pada 18 Agustus 1945, Indonesia memiliki konstitusi
UUD 1945 sebagai dokumen ottentik yang menjadi dasar dalam mengatur
pemerintahan dan lembaga kepresidenan yang memimpin seluruh bangsa Indonesia.
Dapat dikatakan juga bahwa pada 18 Agustus 1945 merupakan awal perjalanan
sejarah lembaga kepresidenan. Karena pada tanggal tersebut, Presiden dan Wakil
Presiden pertama telah terpilih yaitu Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Setelah terpilihnya
Presiden dan Wakil Presiden, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)) pada 22
Agustus 1945 pun terbentuk juga. KNIP merupakan organ negara yang bertugas untuk
membantu pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan Kabinet Soekarno yang baru
terbentuk pada 2 September 1945. namun, kabinet ini tidak lebih dari dua bulan
karena berganti menjadi kabinet parlementer, tanpa perubahan konstitusi. Moh. Hatta,
selaku Wakil Presiden RI mengeluarkan Maklumat No. X tanggal 16 Oktober 1945.
Maklumat ini merupakan dasar lahirnya fungsi konstitusional Komite Nasional
Indonesia sebagai lembaga legislatif. Komite inilah yang mengusulkan perubahan
sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Tidak hanya itu, komite
ini juga bertanggung jawab atas wewenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan
negara. Pergantian sistem pemerintahan Indonesia ditandai dengan adanya “Maklumat
Wakil Presiden” tanggal 14 November 1945. Inilah dasar pergantian sistem
pemerintahan Indonesia dari presidensial menjadi parlementer. Pada saat itu Kabinet
dan Perdana Menteri bertanggungjawab kepada KNIP. Selama berjalannya sistem ini,
UUD 1945 tidak mengalami perubahan secara tekstual. Oleh karena itu sebagian
orang berpendapat bahwa perubahan dalam sistem pemerintahan ini melanggar UUD
1945. Ketika bentuk negara Indonesia menjadi negara serikat, berdasarkan UUD RIS
1949 yang disebabkan agresi militer Belanda ke Yogyakarta, Republik Indonesia
berubah menjadi Republik Indonesia Serikat. Berdasarkan UUD RIS 1949, Moh.
Hatta berkedudukan sebagai Perdana Menteri RIS, dan Soekarno tetap menjadi
Presiden. Lembaga kepresidenan dalam periode ini hanya berumur pendek. RI dan
RIS mencapai kesepakatan untuk bergabung kembali dalam bentuk Negara Kesatuan
pada 19 Mei 1950, dan pada 15 Agustus 1950 proklamasi berdirinya kembali NKRI
menggantikan Federasi RIS diumumkan di depan DPR dan Senat. Konstitusi RIS
diubah menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dan pada hari itu
juga, pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali dari Mr. Asaat5 Datuk
Mundo selaku yang memegang kekuasan pemerintahan RI pada saat itu, kepada Ir.
Soekarno.
Dengan terbitnya UUDS 1950, maka Indonesia menganut sistem
pemerintahan demokrasi parlementer. Menteri-menteri bertanggung jawab atas
seluruh kebijakan pemerintah dan dipertanggung jawabkan langsung kepada DPR.
Adapun Presiden dan Wakil Presiden tidak memiliki fungsi pemerintahan sehari-hari
dan hanya sebagai simbol. Pemerintahan saat itu dipimpin oleh Moh. Natsir sebagai
perdana menteri. Dalam kurun waktu 9 tahun selama berlakunya UUDS 1950, terjadi
pergantian kabinet hingga 7 kali sebagai berikut:
1. Kabinet Mohammad Natsir (6 September 1950-21Maret 1951)
2. Kabinet sukirman dan Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952)
3. Kabinet Wilopo (3April 1952-30 Juli 1953)
4. Kabinet A. Sastroamijoyi (31 Juli 1953-12 Agustus 1955)
5. Kabinet Burhanudin Harrahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956)
6. Kabinnet A. Sastroamijoyo II (24 Maret1956-14 Maret 1957)
7. Kabinet Ir.Juanda (9 April 1957-5 Juli 1959)
Penghapusan aliran kiri dari posisi perdana menteri dalam era UUDS 1950 ternyata
tidak menjamin keberlangsungan kabinet menjadi kondusif dan bertahan lama.
Ketidakcocokan pun tetap terjadi baik dari segi kebijakan dan program yang dinilai
kurang berhasil atau gagal dilaksanakan. Hingga ketidakcocokan ideologi antar
pejabat. Untuk mengatasi hal ini, Ir. Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Setelah keluarnya dekrit tersebut, mulailah titik awal Indonesia sebagai
penganut sistem pemerintahan presidensial dengan membubarkan konsituante dan
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Ir. Soekarno mulai
memperkenalkan konsep demokrasi terpimpin pada 1957, yang terbukti telah
mengakhiri kekacauan politik di dewan konstituante, sekaligus menyudahi masa
demokrasi liberal. Keunikan pada lembaga kepresidenan di era demokrasi terpimpin
ini adalah Presiden dan Perdana Menteri disebut sebagai dua jabatan yang berbeda
namun diduduki oleh satu orang yang sama, yaitu Ir. Soekarno. Kedudukan beliau
sebagai Presiden adalah sebagai kepala negara. Adapun Soekarno sebagai Perdana
Menteri adalah pemimpin dari kabinet. Sedangkan Moh. Hatta sebagai Wakil
Presiden. Pemberontakan Gerakan 30 September oleh Partai Komunis Indonesia (G-
30S/PKI0 menjadi awal kehancuran dari kepemimpinan Presiden Soekarno. Berawal
dari Instruksi yang diberikan oleh Presiden Soekarno kepada Mayjen Soeharto untuk
mengamankan dan melakukan pemulihan kondisi pasca G-30S/PKI. Hingga terbitlah
Surat Perintah 11 Maret 1966 yang diteruskan dengan pembubaran PKI berdasarkan
Kepres. No. 1/3/1966 yang ditandatangani Soeharto. AKhir lembaga kepresidenan Ir.
Soekarno adalah ketika pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPRS. Sehingga
MPRS menerbitkan pencabutan gelar Presiden seumur hiudp serta memberhentikan
Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan kemudian mengangkat Soeharto sebagai
Presiden. Masa kepemimpinan soekarno biasa disebut dengan “Orde Lama”, saat dia
diberhentikan. Maka dimulailah masa “Orde Baru”.
Pada masa Orde Baru terjadi kekacauan dalam sistem ketatanegaraan.
Kekacauan ini diabaikan oleh MPRS, meskipun terdapat semangat untuk
menormalkan kehidupan ketatanegaraan sesuai prinsip-prinsip negara hukum. A.H.
Nasution yang berkedudukan sebagai Ketua MPRS menyadari hal ini. Dalam kata-
katanya, A.H. Nasution menegaskan bahwa kekacauan konstitusional yang diciptakan
Soekarno bahkan terus berlanjut hingga empat tahun pertama masa Orde Baru di
bawah kepemimpinan Soeharto sebagai presiden. Pada era kepemimpinan Presiden
soeharto selama 32 tahun berkuasa telah mengalami 6 kali berganti Wakil Presiden
yaitu:
1. Sri Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978)
2. Adam Malik (1978-1983)
3. Umar Wirahadikusumah (1983-1988)
4. Sudharmono (1988-1993)
5. Tri Sutrisno (1993-1998)
6. B.J. Habibie (1998)
Adapun kabinet yang dibentuk Soeharto telah membentuk Kabinet yang diberi nama
Kabinet Pembangunan I-VII. Tidak lagi seperti pada masa kepemimpinan Soekarno,
seluruh kabinet yang dibentuk berlangsung langgeng sesuai dengan masa periode
Presiden. Lembaga Presiden di masa Soeharto sangat juat, dengan hanya ada satu
kantor kepresidenan di bawah komando Sekretariat Negara.
Setelah 32 tahun berkuasa, pada 21 Mei 1998 akhirnya lengser dari jabatannya
setelah mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Dan digantikan kedudukannya oleh
Prof. DR. Ir. H. Bachruddin Jusuf Habibie. Dalam masa kepemimpinannya Presiden
Habibie sempat membentuk kabinet kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi
Pembangunan. Untuk segi Lembaga Kepresidenan, B.J. Habibie tidak dapat
melakukan banyak hal dalam penguatan lembaga kepresidenan, hal ini dikarenakan
masa jabatan beliau yang tidak berlangsung lama. Pada tanggal 21 Oktober 1999
pidato p-ertanggungjawaban Presiden B.J. Habibie ditolak oleh MPR. Maka beliau
pun mundur dari kedudukannya sebagai Presiden dan tidak mencalonkan diri dalam
pemilu. Berdasarkan Pemilu 1999 akhirnya terpilihlah DR. Kyai haji Abdurrahman
Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur sebagai Presiden didampingi oleh Megawati
Soekarno Putri sebagai Wakil Presiden.
Pada era Presiden Gus Dur ini, penguatan Lembaga Kepresidenan dengan
kembali dilakukannya pendelegasian wewenan ke Wapres Megawati sehingga ada
penguatan untuk Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) hal ini dilakukan karena
banyak pula tugas-tugas pemerintahan yang di emban oleh Wapres Megawati maka
dukungan Setwapres juga harus kuat. Presiden Abdurrahman wahid sempat
membentuk Kabinet Persatuan Nasional. Pemerintahan Gus Dur pun tidak
berlangsung hingga akhir periode masa jabatan. Pada 23 Juli 2001 akhirnya
dilengserkan melalui Sidang Istimewa MPR RI. Turunnya Presiden Abdurrahman
Wahid dari bangku kepresidenan mengantarkan Megawati Soekarno Putri yang
tadinya sebagai Wakil Presiden menjadi Presiden RI. Presiden Megawati menjadi
Presiden wanita pertama yang memimpin Indonesia. Tidak seperti B.J. Habibie yang
walau sama-sama naik jabatan diakibatkan oleh kekosongan kursi Presiden, Presiden
Megawati memiliki Wakil Presiden yaitu Dr. Hamzah Haz, M.A., P.h.D. dalam
menjalankan tugasnya. Presiden Megawati dibantu oleh kabinet yang dibuatnya yaitu
Kabinet Gotong Royong.
Pemilu 2004 menjadi pemilu yang paling demokratis di Indonesia dikarenakan
pertama kalinya rakyat Indonesia memilih langsung pasangan calon Presiden dan
calon Wakil Presiden dan begitu pula untuk pemilu legislatifnya. Pada pemilu ini
terpilihlah pula Jenderal TNI Prof. Dr. H. Susilo bambang Yudhoyono, M.A., GCB.,
AC sebagai Presiden dan pasangannya Dr. Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai
Wakil Presiden. Presiden SBY dan Wapres JK resmi dilantik pada 20 Oktober 2004.
Setelah dua periode menjabat, berdasarkan pemilu 2014 Presiden SBY digantikan
oleh Ir. H. Joko Widodo yang berpasangan dengan Jusuf Kalla. Dengan begitu, ini
adalah kedua kalinya Jusuf Kalla menjadi Wakil Presiden, namun dengan pasangan
yang berbeda. Setelah pelantikan 20 Oktober 2014, Presiden Joko Widodo
membentuk Kabinet Kerja. Dari segi Lembaga Kepresidenan, Presiden Jokowi
meleberukan UKP4 kembali kedalam Sekretariat Presiden. Presiden Jokowi kembali
terpilih untuk kedua kalinya pada pemilu 2019 dan dilantik pada 20 Oktober 2019
yang kali ini berpasangan dengan Prof. Dr. K. H. Ma’ruf Amin sebagai Wakil
Presiden untuk Kabinet Kementrian Presiden Jokowi membentuk Kabinet baru
dengan nama Kabinet Indonesia Maju tidak lagi menggunakan Kabinet Kerja.

B. Dinamika Lembaga Kepresidenan


Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, secara bersamaan disebut dengan
Lembaga Kepresidenan. UUD 1945 menempatkan Presiden dan Wakil Presiden
sebagai dwitunggal. Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga, menyatakan
sebagai berikut, “Calon Presiden dan Wakil Presiden harus seorang warga negara
Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain
karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara
jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan
Wakil Presiden.”. sejak awal kemerdekaan, lembaga kepresidenan di Indonesia
menjadi satu-satunya lembaga negara yang pembentukannya tidak diatur dengan
Undang-Undang tertentu dan hanya dalam batang tubuh UUD 1945. Oleh karena itu,
lembaga kepresidenan lazim disebut sebagai masa “executive heavy”. Setelah
amandemen atas UUD 1945, mulai terjadi perubahan mendasar terkait lembaga
kepresidenan yang biasa disebut sebagai pergeseran kekuasaan eksekutif yang
“executive heavy” menjadi “legislative heavy”. Dalam hal ini penting juga untuk
mengetahui bagaimana mekanisme pengisian jabatan Kepresidenan. Dalam UUD
1945, Lembaga Kepresidenan menjadi satu-satunya lembaga negara yang tidak dipilih
secara langsung oleh rakyat, namun melalui MPR. Setelah perubahan UUD 1945,
ditentukan pada Pasal 6 ayat (1) bahwa calon Presiden dan calon Wakil Presiden
harus warga negara Indonesia sejak kelahiranya dan tidak pernah menerimka
kewarganegaraa lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara,
serta mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden. Adapun syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan
Wakil Presiden yang diatur lebih lanjut melalui UU Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden Nomor 23 Tahun 2003 dan juga UU Nomor 42 Tahun 2008.
Pada masa sesudah amandemen UUD 1945, Presiden berkedudukan sebagai
Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan. Disamping kekeuasaan tersebut
Presiden juga berhak untuk mengajukan RUU, membahas RUU bersama-sama dewan
perwakilan rakyat, mengesahkan, mengundangkan UU dalam lembaran negara dan
beberapa kewenangan di bidang legislatif. Dalam hal ini, berdasarkan paparan di atas,
maka kekuasaan Presiden dapat dikelompokan menjadi empat, yaitu kekuasaan
penyelenggaran pemerintahan, kekuasaan di bidang perundang-undangan, kekuasaan
di bidang yudisial, dan pula kekuasaan dalam hubungan luar negeri.
Berdasarkan Pasal 6A ayat (1) setelah amandemen ketiga UUD 1945 yang
menyatakan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat”. Sedangkan MPR merupakan lembaga yang berwenang untuk
melantik serta memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur pada
pasal 3 ayat (3) Amandemen Ketiga UUD 1945. dengan dipilihnya Presiden dan
Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, maka pertanggungjawaban Presiden
tidak lagi kepada MPR, melainkan juga langsung kepada rakyat. Begitu juga dengan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Meskipun
MPR tetap diberikan kewenangan dalam memberhentikan Presiden dan Wakil
Presiden, tetapi dalam hal pelanggaran yang dilakukan Presiden dan Wakil Presiden
sebagaimana Pasal 7A UUD 1945, harus melibatkan proses di Mahkamah Konstitusi
sebagai salah satu lembaga yang lahir pasca perubahan UUD 1945.
Jimly Asshiddiqie membagi system pemerintahan menjadi tiga bagian, yaitu
sistem pemerintahan presidensial (presidential system), sistem pemerintahan
parlementer (parliamentary system), dan sistem pemerintahan campuran (mixed
system atau hybrid system). Dalam menjalankan sistem pemerintahan, suatu negara
perlu adanya cabinet sebagai organisasi pemerintahan yang didalamnya terdapat
menteri yang memiliki tugas dan fungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Pengertian pemerintahan dalam arti luas adalah perbuatan memerintah yang


dilakukan oleh badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk menacapai tujuan
negara. Sedangkan dalam arti sempit, pemerintahan adalah perbuatan memerintah
yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam mencapai tujuan
penyelenggaraan negara. Dengan demikian, maka sistem pemerintahan dapat
diartikan sebagai keselurahan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai
hubungan fungsional yang menimbulkan ketergantungan antara bagian-bagian yang
akibatknya jika salah satu ada yang tidak menjalankan fungsinya akan berakibat
kepada keseluruhan itu.
Sistem pemerintahan diartikan (konsep trias politica) sebagai suatu tatanan
utuh yang terdiri atas beberapa komponen yang bekerja saling bergantungan.
Klasifikasi trias politica antara lain adalah kekuasaan eksekutif yang berarti
menjalankan undang-undang atau menjalankan pemerintahan; kekuasaan legislatif
yang berarti membentuk undang-undang; dan kekuasaan yudikatif yang berarti
mengadili terhadap pelanggaran undang-undang.
Kesepakatan dalam pelaksanaan UUD 1945, Indonesia tetap mempertahankan
sistem presidensial, sekaligus menyempurnakan agar terpenuhi ciri-ciri umum sistem
presidensial. Sistem presidensial pemerintahan berdasarkan UUD 1945
praamandemen bersifat tidak murni. Hal ini disebabkan sistem tersebut bercampur
dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran tersebut tercermin dalam
konsep pertanggungjawaban presiden kepada MPR yang termasuk ke dalam
pengertian lembaga parlemen.
Tentunya dengan kekuasaan yang besar pada presiden menimbulkan dampak
positif dan negatif. Positifnya adalah presiden dapat mengendalikan seluruh
penyelenggaraan pemerintahan senhingga menciptakan pemerintahan yang solid dan
stabil. Namun, dalam praktiknya ternyata kekuasaan presiden yang besar lebih banyak
mendatangkan kerugian bagi bangsa dan negara.
Sejak era reformasi, Indonesia mulai bebenah untuk menciptakan sistem
pemerintahan yang demokratis dengan disusun pemerintahan yang berdasarkan pada
konstitusi. Pemerintahan konstitusional bercirikan:
1. Adanya pembatasan kekuasaan eksekutif;
2. Jaminan hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, maka reformasi yang dilakukan adalah melakukan perubahan
atau amandemen terhadap UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstisuional.
Amandemen UUD sudah dilakukan sebanyak empat tahap, yaitu pada 1999, 2000,
2001, dan 2002. UUD yang telah diamandemen menjadi pedoman hingga saat ini.
Hasil perubahan baru tersebut melahirkan pemilihan secara langsung, sistem
bikameral, mekanisme check and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar
kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, secara
konseptual atau teoritis kewenangan lembaga-lembaga negara dalam sistem
pemerintahan yang diterapkan berdasarkan UUD 1945 diperlukan kembali upaya
penyempurnaan, agar secara konsepsional dapat berjalan secara ideal. Kedua,
kemudian secara praktek dalam menjalankan fungsi dan kewenangan, lembaga negara
tidak mencerminkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut pemisahan
kekuasaan akan tetapi lebih dekat pada sistem pembagian kekuasaan. Secara
kenegaraan sistem yang demikian lazim digunakan oleh negara dengan sistem
pemerintahan yang bukan presidensiil seperti yang digunakan di Indonesia.

Bagian II. Jabatan Presiden


A. Persyaratan Presiden
Sebelum perubahan UUD 1945, pengaturan tentang syarat-syarat calon
presiden dan wakil presiden tidak diatur secara tegas, ketentuan syarat calon presiden
dan wakil presiden tertuang dalam Pasal 6 ayat (1), yang berbunyi: “Presiden ialah
orang Indonesia asli.” Penjelasan tersebut berkaitan dengan adanya ketentuan Pasal
163 IS yang menggolongkan menjadi tiga golongan dalam masyarakat Indonesia,
yaitu golongan Eropa, golongan Timur jauh, dan golongan Bumi Putera. Yang
dimaksud orang Indonesia asli ialah golongan Bumi Putera atau Pribumi.
Dalam UUD RIS 1949 mengenai syarat presiden diatur dalam Pasal 69 ayat
(3) yang bebunyi, “Presiden harus orang Indonesia yang berumur 30 tahun, beliau
tidak boleh orang yang tidak diperkenankan serta dalam atau menjalankan hak pilih
ataupun orang yang telah dicabut haknya untuk dipilih.” Jika dibandingkan dengan
Pasal 6 ayat (1) lebih jelas mengatur tentang syarat presiden yaitu: a) presiden adalah
orang Indonesia asli; b) berusia 30 tahun; c) mempunyai hak dipilih dan memilih.

Pasca-Dekrit Presiden maka Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 berlaku kembali. Pada
tahun 1973 terbit ketetapan MPR No. II/MPR/1973 yang menambahkan ketentuan
syarat bagi calon presiden menjadi: 1) warga negara Indonesia; 2) telah berusia 40
tahun; 3) bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan
umum; 4) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 5) setia kepada cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945; 6) bersedia
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh
majelis dan putusan-putusan majelis; 7) berwibawa; 8) jujur; 9) cakap; 10) adil; 11)
dukungan rakyat yang tercermin dari majelis; 12) tidak pernah terlibat, baik langsung
ataupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang menghianati NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serat Gerakan G30S/PKI atau organisasi
lainnya; 13) tidak sedang menjalankan pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang
tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-
kurangnya lima tahun; 14) tidak terganggu jiwa/ingatannya.
Setelah perubahan UUD 1945 pada 2001, penafsiran terhadap “orang
Indonesia asli” telah diubah dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2):

1. Calon presiden harus warga negara sejak kelahirannya dan tidak


pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri,
tidak pernah menghianati negara, serta mampu secara jasmani dan
rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagi presiden dan
wakil presiden.
2. Syarat-syarat untuk menjadikan presiden dan wakil presiden diatur
lebih lanjut dengan undang-undang (UU Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden). Ketentuan pasal diatas mengandung tiga ketentuan syarat
menjadi calon presiden: a) seorang warga negara Indonesia sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain; b)
tidak pernah menghianati negara; c) mampu secara rohani dan jasmani
untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagi presiden dan wakil
presiden.
Ketentuan selanjutnya terdapat dalam Pasal 7 yang berbunyi “Presiden dan
wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali.” Pasal tersebut menjadi perdebatan dan menyebabkan banyaknya
penafsiran terdapat dalam kalimat dan sesudahnya dapat dipilih kembali, ketentuan ini
menimbulkan praktik presiden yang sama dapat dipilih kembali secara terus-menurus
tanpa mengindahkan sistem pembatasan kekuasaan sebagai suatu prinsip dasar negara
berdasarkan konstitusi.
Pasal 7 UUD 1945 menyebutkan bahwa masa jabatan presiden hanya lima
tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali, pengertian tersebut dapat dipahami
bahwa presiden tersebut harus dipilih secara periodic dapat dipilih kembali, hanya
untuk satu kali masa jabatan. Walaupun, wakil presiden merupakan dwituggal dengan
presiden namun keduanya adalah jabatan konstitusional yang terpisah. Wakil presiden
merupakan pembantu presiden yang dapat mewakili presiden dalam kegiatan
kenegaraan dan wakil presiden juga dapat mendampingi presiden dalam menjalankan
tugas konstitusionalnya.

B. Masa Jabatan Presiden


Sejak tahun 1973 di Indonesia telah dilaksanakan pemilihan Presiden secara
teratur meskipun terhadap orang yang sama. Hal ini dianggap tidak bertentangan
dengan Pasal 7 UUD 1945 (sebelum perubahan) yang menyebutkan bahwa masa
jabatan presiden dan/atau wakil presiden lima tahun dn sesudahnya dapat dipilih
kembali. Ada dua konsep yang dimuat dalam ketentuan ini :pertama, presiden dipilih
secara periodik yaitu sekali setiap lima tahun; kedua, dapat dipilih kembali.
Bagir manan menegaskan bahwa pengertian “dapat dipilih kembali”
seyogyanya diartikan hanya dapat dipilih lagi untuk masa jabatan berikut. Sehingga
seseorang hanya dapat dipilih paling lama dua kali masa jabatan berturut-turut. Secara
praktis, pemerintahan yang terlalu lama cenderung power tends to corrupt. Secara
ideologis, pembatasan masa jabatan berkaitan erat dengan prinsip republik, paham
demokrasi, serta paham negara berdasarkan hukum.

C. Presiden Berhalangan
Pasal 8 UUD 1945 mengatur keadaan presiden yang tidak dapat lagi
menjalankan jabatan kepresidenan untuk sisa masa jabatannya. TAP MPR Nomor
VII/MPR/1973 mengategorikan keadaan ini sebagai berhalangan tetap. UUD 1945,
setidaknya menegaskan ada tiga kategori keadaan presiden tidak dapat lagi
menjalankan jabatan untuk sisa masa jabatannya, tiga kategori ini adalah :
1. Presiden Mangkat dalam Masa Jabatan
Keadaan mangkat diartikan apabila, secara medis, presiden dinyatakan
meninggal atau, akibat suatu peristiwa, presiden dinyatakan meninggal. Presiden
secara medis dinyatakan meninggal apabila ada penetapan dari suatu tim medis yang
kompeten menurut hasil pemeriksaan medis, dan sesuai dengan syarat-syarat,
keadaan, dan kelaziman bagi setiap orang yang dinyatakan meninggal.
Pada saat yang sama, wakil presiden bersumpah atau berjanji di hadapan
Mahkamah Agung menggantikan presiden yang mangkat. Dalam TAP MPR
NO.VII/MPR/1973, sumpah wakil presiden dilakukan dihadapan DPR. Meskipun
demikian perdebatan konstitutional terhadap Pasal 8 UUD 1945, yakni mencegah
kekosongan jabatan presiden. Maka, tidak tepat apabila melibatkan badan perwakilan
karena harus dilaksanakan secara cepat.
2. Presiden Berhenti dalam Masa Jabatan
Makna kata berhenti dan diberhentikan memiliki makna yang berbeda. Alasan
berhenti dapat ditafsirkan muncul dari keinginan diri sendiri atau mengundurkan diri
karena alasan sakit parah dan lainnya. Sedangkan, diberhentikan merupakan alasan
yang dimaknai dengan pemecatan.
Dalam UUD telah diatur secara rinci mengenai alasan dan mekanisme
pemberhentian presiden dan/wakil presiden dalam masa jabatannya yaitu dalam
ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 mengatur alasan
pemberhentian presiden dan/wakil presiden dalam masa jabatannya yang sebelum
amandemen diatur dalam TAP. MPR Nomor III Tahun 1978. Berdasarkan rumusan
Pasal 7A UUD 1945 tersebut dapat diketahui bahwa alasan pemberhentian presiden
dan/atau wakil preside apabila terbukti : a). Melakukan pelanggaran hukum, berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela lainnya yang merupakan aspek pidana; b). Tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagai aspek tata negara dan
administratif.
3. Presiden Tidak Dapat Melakukan Kewajiban dalam Masa Jabatannya
Seseorang tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabtannya dapat
dipertimbangkan berdasarkan beberapa keadaan :
(i) Presiden dengan sengaja meninggalkan lingkungan jabatannya, karena suatu
peristiwa politik atau peristiwa hukum tertentu dan tidak akan kembali atau tidak
dikehendaki kembali memangkas jabatannya.
(ii) Presiden yang dalam keadaan tertentu baik atas kemauan sendiri atau bukan atas
kemauan sendiri berada pada suatu tempat atau keadaan yang tidak memungkinkan
lagi menjalankan kewajibannya.
Dalam hal terjadi kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden secara
bersama-sama maka pelaksana tugas kepresidenan dilaksanakan oleh lembaga
triumvirat,terdiri atas menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri
pertahanan. Pasal 8 ayat (3) menyatakan bahwa :
“Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai habis masa jabatannya.”
D. Pertanggungjawaban Presiden
Dalam penjelasan sebelum amandemen UUD 1945 disebutkan, “Presiden
yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis.”
Dalam praktik ketatanegaraan yang berlaku pengertian bertunduk dan bertanggung
jawab tersebut tidak sekadar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga
pemberhentian presiden dari jabatannya.
Praktik pertanggungjawaban dilaksanakan dalam betuk laporan
pertanggungjawaban yang disampaikan di hadapan Sidang Umum MPR pada saat
mengakhiri masa jabatan. Secara hukum, MPR dapat menolak laporan tersebut akan
tetapi tidak mempunyai makna hukum yang berarti. Karena jika ditolak akan ada dua
opsi yaitu Presiden akan diberhentikan atau diperintahkan untuk menyempurnakan
laporan tersebut, karena masa jabatan beliau diberhentikan pun tidak ada maknanya
dan tidak bisa disempurnakan karena masa jabatannya habis. Maka dari itu, laporan
pertanggungjawaban pada akhir jabatan lebih tidak menimbulkan peristiwa hukum
hanya peristiwa politik.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia setelah Amandemen UUD
1945 adalah sistem presidensial. Ditandai dengan pengaturan oleh konstitusi yang
menyebutkan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat
dalam pemilu. Perubahan tersebut secara otomatis merekonstruksi pola pertanggung
jawaban politik presiden yang sebelumnya dilakukan kepada MPR menjadi kepada
rakyat yang memilihnya.
Tanggung jawab pemerintahan berada dipundak presiden, dan oleh karena itu
presidenlah yang pada prinsipnya berwenang membentuk pemerintahan, menyusun
kabinet, mengangkat dan memberhentikan para menteri serta pejabat-pejabat publik
yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan berdasarkan political
appointment. Karena itu, dalam sistem ini biasa dikatakan concentration of giverning
power and responsibility upon the president (pemusatan dari kekuasaan pemerintah
dan tanggung jawab diatas presiden). Diatas presiden tidak ada institusi yang lebih
tinggi, kecuali konstitusi. Karena nya dalam sistem constitutional state, secara politik
presiden dianggap bertanggung jawab kepada rakyat, sedangkan secara hukum
bertanggung jawab kepada konstitusi.

BAGIAN III. PENGISIAN JABATAN PRESIDEN.


Kedudukan Presiden yang amat penting yang mana perlu diadakan pengaturan
dalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis tertinggi, karena Preside
n dalam hal ini sebagai kepala negara dan juga sebagai kepala pemerintahan. Begitu p
entingnya jabatan Presiden hingga Supomo mengatakan bahwa yang merupakan penje
lmaan kedaulatan rakyat ialah presiden, bukan dewan perwakilan rakyat.
Menurut Deliar Noer, masalah terhadap kedudukan Presiden di Indonesia masi
h belum selesai walaupun telah melalui tiga macam konstitusi yang berbeda, yaitu UU
D 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950, namun yang menjadi dasar permasala
han di Indonesia ialah kewenangan dan penegakan kewenangan oleh presiden.
Cara yang lazim dilakukan dalam pengisian jabatan presiden terdapat dua cara
yaitu cara pengangkatan atau dengan cara pemilihan. Dalam konstitusi Indonesia yait
u UUD 1945, untuk pengangkatan itu digunakan untuk jabatan Menteri-menteri yang
diangkat oleh presiden, sedangkan untuk pemilihan baik itu langsung ataupun tidak la
ngsung, ada untuk anggota legislatif yaiut DPR, dan jabatan presiden. Pada pasal 6 U
UD 1945 sebelum amandemen berbunyi “Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh M
ajelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak”, dari ketentuan tersebut dapa
t dilihat dua hal, pertama Presiden itu dipilih oleh suatu lembaga negara yaitu MPR, y
ang mana ini termasuk pemilihan tidak langsung, artinya rakyat memilih terlebih dahu
lu wakilnya di MPR, kemudian lembaga MPR melakukan pemilihan terhadap preside
n dan wakil presiden. Yang kedua, presiden dipilih menggunakan voting atau pemung
utan suara, bukan musyawarah untuk mufakat.
Dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia, pemilihan presiden mengal
ami dinamika seiring dengan situasi politik pada setiap rezim. Dipandang dari sudut p
erkembangan demokrasi, sejarah peralihan jabatan presiden di Indonesia dapat dibagi
menjadi empat konsep yaitu
A. Masa Demokrasi Parlementer ( 1945-1959 )
1. Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Setelah diproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sehari setelahnya PPKI
mengadakan sidang dan menetapkan :
- Mengesahkan UUD
- Memilih Ir. Soekarno dan Moh, Hatta sebagai Presiden dan wakil Presi
den.
- Membentuk Komite Nasional untuk membantu presiden selama MPR
dan DPR belum tersusun.

Karena MPR dan DPR belum terbentuk pada waktu itu, tugas kenegaraan
dilakukan oleh presiden dan komite nasional. Dipertegas pula dengan adan
ya Maklumat X wakil presiden yang mana komite nasional mengemban tu
gas legislatif sebelum adanya MPR dan DPR.
Pada bulan November 1945, keluar maklumat pemerintah yang membentu
k kabinet baru dibawah Sutan Sjahrir, yang mana kabinet ini bertanggungj
awab kepada Sutan Sjahrir selaku perdana Menteri. Sejak saat itu, sistem p
residensiil di Indonesia bergeser ke sistem parlementer.
Pada 1948 terjadi agresi militer Belanda II, yang terjadi di ibukota RI di Y
ogyakarta, yang mengakibatkan Ir.Soekarno dan Moh.Hatta ditawan oleh p
ihak Belanda. Pada keadaan yang mendesak seperti itu, agar kedaulatan tet
ap tegak, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dipimp
in Syarifuddin Prawiranegara dengan pusat pemerintahan di Sumatera Bar
at.
2. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Pada periode ini, akibat dari Konferensi Meja Bundar Republik Indonesia
bergabung kedalam negara federasi Republik Indonesia serikat, dengan ke
dudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan adanya dua konstit
usi yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Presiden soekarno juga menyerah
kan pemerintahan kepada Mr.Assat sebagai pemangku jabatan presiden.
Lembaga kepresidenan pada periode ini hanya seumur jagung. RI dan RIS
menyepakati Kembali ke bentuk negara kesatuan pada mei 1950. Pada 15
Agustus 1950 diadakan sidang DPR dan senat, diproklamasikan Kembali b
erdirinya negara kesatuan republic Indonesia, menggantikan negeri federas
i republic Indonesia serikat. Konstitusinya berubah dari konstitusi RIS men
jadi UUDS 1950. Pemangku jabatan presiden RI menyerahkan Kembali ke
kuasaan pemerintahan RI kepada Ir. Soekarno sebagai presiden republic In
donesia.
3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1950
Pada periode ini awalnya ditandai dengan bersatunya RIS dengan RI menj
adi negara kesatuan kembali. Pada periode ini wakil presiden tidak dipilih,
melainkan diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR.
Dalam perjalannya, terjadi kekosongan jabatan wakil presiden pada 1 Dese
mber 1956 karena Moh. Hatta mengundurkan diri. Kekuasaan lembaga ke
presidenan yang telah mengalami kekosongan jabatan wakil presiden ini b
erakhir ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959.
Pada awal penyatuan kembali RIS dan RI menjadi negara kesatuan, diranc
ang dan disepakati sebuah Undang-undang dasar sementara atau dikenal U
UDS 1950 untuk negara kesatuan Republik Indonesia. Sistem pemerintaha
nnya ialah parlementer.
Untuk ketentuan kekuasaan eksekutif, presiden dan wakil presiden dipilih
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Karena undang-u
ndang yang diperlukan belum dibuat, maka berdasarkan piagam persetujua
n antara pemerintah RIS dan RI ditetapkan Ir.Soekarno sebagai presiden n
egara kesatuan tersebut.
Sedangkan untuk pemilihan wakil presiden, untuk pertama kali wakil presi
den diangkat oleh presiden berdasarkan anjuran dari DPR. Presiden menga
jukan Moh. Hatta sebagai wakil Presiden. Tetapi seperti yang sudah disebu
tkan diatas, Moh.Hatta mengundurkan diri sehingga terjadi kekosongan hi
ngga 1973.

B. Masa Demokrasi terpimpin ( 1959 – 1966 )


Periode ini ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959 salah satu pe
nyebabnya karena kegagalan konstituante menyusun undang-undang dasar. Sa
lah satu isi dari dekrit terseebut adalah untuk kembali pada UUD 1945.
Dengan berlakunya UUd 1945 maka mekanisme pengisian jabatan presiden da
n wakil presiden dipilih oleh majelis permusyawaratan rakyat. Tetapi karena b
elum terbentuknya MPR dan tidak ada badan yang berwenang seperti MPR, m
aka diberdasarkan aturan peralihan UUD 1945 pasal II, segala badan negara da
n peraturan yang masih ada langsung berlaku, selama belum diadakan yang ba
ru menurut UUD ini. Maka presiden Soekarno selaku presiden pada masa sebe
lumnya mengucap sumpah untuk mengisi jabatan presiden.
Pada UUD 1945, membuka peluang bagi presiden untuk bertahan selama lima
tahun. Tetapi TAP MPRS No.III/1963 menetapkan, mengangkat presiden soek
arno sebagai presiden seumur hidup.

C. Demokrasi Pancasila ( 1966 – 1998 )


Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan
sistem presidensiil. Landasan formal dari periode ini adalah Pancasila, UUD 1
945, TAP MPRS/MPR dalam rangka meluruskan kembali dari penyelewengan
terhadap UUD1945 pada masa demokrasi terpimpin. Tetapi pada praktiknya p
eran presiden lebih dominan daripada lembaga negara yang lain. Menurut Mah
fud MD, ‘Pertama, pada masa Orde Baru, hukum kita dalam arti undang-
undang bersifat elitis, bersumber dari lembaga eksekutif yang secara politik
dipaksakan agar menjadi hukum. Pada waktu itu, peran DPR maupun parpol
hampir tidak ada di dalam proses pembuatan hukum. Artinya, lebih bersifat
formalistis’.
Proses peralihan kekuasaan presiden dari era demokrasi terpimpin menuju de
mokrasi Pancasila ditandai dengan peristiwa G30S/PKI. Dengan adanya pemb
eromtakan ini keluarlah surat perintah 11 maret 1966 atau dikenal dengan supe
rsemar,dan soeharto dianggap sebagai pemegang mandate supersemar. Pada ta
hun 1966 pula keluarlah TAP MPRS No IX/MPRS/1966 yang isinya menyata
kan apabila presiden berhalangan maka pemegang surat perintah 11 maret 196
6 memegang jabatan presiden.
Pada 1968, soeharto kemudian resmi dilantik sebagai presiden kedua republic
Indonesia, ditandai dengan kelurnya TAP MPRS No XLIV/MPRS/1966 tentan
g pengangkatan pengemban TAP MPRS No IX/MPRS/1966. Dengan ini terja
dilah pergantian tampuk jabatan presiden kepada soeharto. Ketetapan MPRS y
ang menyatakan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup dicabut de
ngan keluarnya TAP MPRS No V/MPRS/1973 tentang peninjauan produk ber
upa ketetapan MPRS RI. Dengan demikian, pada 1973 dilaksanakan proses pe
milu untuk memilih presiden dan wakil presiden setelah terbentuknya MPR.
Soeharto terpilih menjadi presiden secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978,
1983, 1989, 1993, dan 1998. Pada 21 Mei 1998 soeharto mengundurkan diri s
ebagai presiden setelah terjadinya kerusuhan 1998, dan menurut UUD1945 pa
sal 8 maka digantikan oleh wakilnya yaitu B.J Habibie. Masa jabatan B.J Habi
bie sampai dengan pemilihan umum tahun 1999.
D. Masa Demokrasi Langsung ( 1998 – Saat Ini )
Pada masa ini, peran partai politik kembali menonjol sehingga demokrasi
dapat berkembang. Selama pelaksaan demokrasi setelah Pemilu, banyak
kebijakan yang tidak mendasarkan pada kepentingan rakyat, lebih berdasar
pada pembagian kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR.
Satu hal yang membuat Indonesia dianggap negara demokrasi oleh demokrasi
oleh dunia internasional adalah pemilihan langsung. Rakyat Indonesia masih
menunggu hasil dari demokrasi yang membawa masyarakat adil dan makmur
secara keseluruhan.
Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat
faktor kunci yakni : (a) Komposisi elit politik; (b) Desain institusi politik; (c)
Kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik dikalangan elite dan
nonelite; (d) peran civil society (masyarakat madani). Keempat faktor tersebut
harus berjalan sinergis sebagai modal pengonsolidasian demokrasi.
Berdasarkan amandeman UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat. Pasal 6A UUD 1945 menyatakan bahwa :
1) Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
2) Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan
pemilihan umum.
3) Pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapat suara lebih
dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum.
4) Dalam hal tidak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih,
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua
dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan
yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil
presiden.
5) Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden diatur lebih
lanjut dalam undang-undang.
Gagasan pemilihan Presiden langsung merupakan pemilihan presiden yang
lebih demokratis dibandingkan dengan pemilihan melalui MPR. Ada dua
alasan mengapa gagasan pemilihan secara langsung dianggap perlu. Pertama,
demi lebih membuka tampilnya presiden dan wakil presiden yang sesuai
dengan kehendak mayoritas rakyat sendiri. Kedua, demi menjaga stabilitas
pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan ditengah jalan sesuai yang berlaku
di dalam sistem presidensial.
1. Peralihan Kekuasaan Presiden ( 21 Mei 1998 – 21 Oktober 1999)
Pengangkatan BJ Habibie menjadi Presiden Republik Indonesia menggantikan
Presiden Soeharto menjadi polemik di kalangan ahli hukum. Sebagian ahli
menilai hal itu konstitusional, namun ada juga yang berpendapat
inkonstitusional. Perbedaan pendapat itu disebabkan karena hukum yang kita
miliki kurang lengkap, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.
Apabila perbuatan hukum itu dihasilkan dari acara yang tidak konstitusional,
maka perbuatan hukum itu menjadi tidak sah. Pada saat itu memang DPR
tidak memungkinkan untuk bersidang, karena Gedung DPR/MPR diduduki
oleh puluhan ribu mahasiswa dan para cendekiawan. Dengan demikian, hal itu
dapat dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus dinyatakan
sendiri oleh DPR.
2. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden ( 1999 – 2001 )
Abdurrahman Wahid memenagi pemilihan presiden oleh MPR pada 1999,
pemilihan presiden pada masa ini dirasa lebih demokratis dibanding
sebelumnya, sebab anggota MPR menggunakan hak suaranya untuk
menentukan presiden pilihannya.
Adapun mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden terlebih dahulu
dilakukan dengan kuorum rapat paripurna majelis, untuk pemilihan presiden
dan wakil presiden adalah sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah
anggota majelis.
Terhadap tata cara pencalonan dan pemilihan presiden, pemilihan presiden dan
wakil presiden dilaksanakan secara terpisah. Maksudnya adalah proses
pemilihan presiden dilaksanakan lebih dahulu daripada pemilihan wakil
presiden. Selanjutnya, dalam hal pencalonan presiden, setiap fraksi dapat
mengajukan seorang calon presiden.
Terhadap calon yang diajukan lebih dari satu orang, maka pemilihan
dilakukan dengan cara pemungutan suara secara rahasia. Apabila calon yang
diusulkan ternyata hanya satu orang, maka calon tersebut disahkan oleh rapat
paripurna majelis menjadi presiden. Dalam hal dilakukan pemungutan suara,
maka calon presiden yang memperoleh suara sekurang-kurangnya lebih dari
separuh jumlah anggota majelis yang hadir, ditetapkan sebagai presiden
terpilih.
3. Peralihan Kekuasaan Presiden (2001-2004)
Diberhentikannya Presiden Abdurrahman Wahid membuat amanat dari
Pasal 8 ayat (1) UUD NRI 1945 berlaku, yaitu “Jika presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melkaukan kewajibannya, ia
digantikan oleh wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.” Sehingga
dilakukan penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai
presiden menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid sampai habis
jabatannya.
4. Pemilihan Umum Presiden (2004-2009)
Pada tahun 2004 mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden
sudah tidak lagi melalui pemilihan di MPR, tetapi melalui pemilihan secara
langsung oleh rakyat. UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Salah satu wujud dari
kedaulatan rakyat adalah penyelenggaraan pemilihan umum untuk memilih
presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan secara demokratis dan beradab
melalui partisipasi rakyat seluas-luasnya berdasarkan asas Luber Jurdil.
Berdasarkan amanat Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, dibentuklah UU Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden dilakukan secara demokratis
dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik bersangkutan.
Partai politik atau gabungan partai politik hanya dapat mencalonkan satu
pasangan calon sesuai dengan mekanisme internal partai politik dan/atau
musyawarah gabungan partai politik yang dilakukan secara demokratis dan
terbuka.
Disebutkan di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, terhadap
tata cara penentuan pasangan calon presiden dan wakil presiden, bahwa calon
presiden dan calon wakil presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh
partai politik atau gabungan partai politik. Pasangan calon diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi
persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR
atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota
DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu presiden dan wakil presiden.
Dalam hal penetapan hasil pemilihan umum presiden dan wakil
presiden, KPU adalah pihak yang memiliki kewenangan menetapkan hasil
rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil Pemilu presiden dan
wakil presiden dalam sidangan pleno terbuka yang dihadiri oleh pasangan
calon dan Bawaslu. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lama tiga puluh hari sejak pemungutan suara. Pasangan calon terpilih
dilantik menjadi presiden dan wakil presiden oleh MPR.
Presiden da wakil presiden terpilih bersumpah menurut agamanya, atau
berjanji dengan sungguh-sungguh dihadapan siding paripurna MPR bertepatan
dengan berakhirnya masa jabatan presiden dan wakil presiden. Pengucapan
sumpah/janji yang dilakukan oleh presiden dan wakil presiden terpilih
merupakan agenda dalam pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih.
5. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (2014-Sekarang)
Pemilihan umum presiden dan wakil presiden Republik Indonesia
tahun 2014 mengalami perkembangan dalam system kepemiluan Indonesia,
terutama pascaputusan Mahkamah Konstitusi. Pemilihan ini menjadi
pemilihan presiden langsung ketiga di Indonesia. Mahkamah Konstitusi
membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat 92) dan
Pasal 112 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu presiden dan wakil presiden
(Pilpres) yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan
Pileg alias tidak serentak. Mahkamah menilai bahwa dalam penyelenggaraan
Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden
terpaksa harus bernegosiasi politik terlebih dahulu dengan partai politik yang
pada akhirnya memengaruhi roda pemerintahan. Faktanya, tawar-menawar
politik lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan
jangka Panjang, disini prsiden dangat tergantung pada partai-partai politik
yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan menurut system pemerintahan presidensial.
Presidential threshold dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
mengatur tentang syarat partai atau gabungan partai yang boleh mengusung
pasangan Capres dan cawapres harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25
persen suara sah di level nasional. Partai politik dipastikan harus berkoalisi
untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

BAGIAN IV. KEKUASAAN PRESIDEN


A. Kekuasaan dalam Bidang Pemerintahan

Dalam teori pembagian kekuasaan, yang dimaksud dengan kekuasaan


pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif,
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan presiden dapat dibedakan antara
penyelenggara pemerintahan yang bersifat umum dan kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan yang bersifat khusus. Dengan demikian, presiden memegang dua
kekuasaan sekaligus yaitu kekuasaan kepala negara, sekaligus kekuasaan kepala
pemerintahan.

1. Kewenangan Mengangkat Menteri

Keseluruhan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial


menempatkan kekuasan mengangkat menteri di tangan presiden, terlepas ada tidaknya
ketentuan persetukuan parlemen. Artinya, pengangkatan Menteri menjadi domain hak
prerogatif presiden. Oleh karenanya, satu-satunya parameter seorang presiden dalam
mengangkat Menteri-menteri adalah kapabilitas dan integritas dari seorang yang akan
diangkat menjadi Menteri. Jimly Asshiddiqie mengatakan, bahwa sistem
pemerintahan presidensial yang dibangun hendaklah didasarkan atas pemikiran bahwa
presiden berhak mengangkat dan memberhentikan Menteri negara untuk mendukung
efektivitas kinerja pemerintahannya guna melayani sebanyak-banyaknya kepentingan
rakyat. Penyusun kabinet tidak boleh didasarkan atas logika sistem parlementer yang
dibangun atas dasar koalisi antar partai-partai politik pendukung presiden dan wakil
presiden. Dengan demikian, seseorang yang dipilih dan diangkat oleh presiden untuk
menduduki jabatan Menteri harus didasarkan atas kriteria kecakapan bekerja, bukan
karena pertimbangan jasa politiknya ataupun imbalan terhadap dukungan kelompok
atau partai politik terhadap presiden.

2. Kekuasaan Penyelenggaraan Administrasi Negara

Kekuasaan administrasi negara merupakan kekuasaan pemerintah untuk


menyelenggarakan urusan publik agar tujuan negara dapat dicapai. Dalam pengertian,
administrasi negara merupakan Tindakan konkret atau nyata dari pemerintah dalam
usaha mencapai tujuan negara. Bagir Manan mengelompokkan Tindakan administrasi
negara dalam empat bidang besar yaitu:

a) Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum;


b) Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari
surat menyurat sampai pada dokumentasi dan lain-lain;
c) Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan umum;
d) Tugas dan wewenang administrasi negara dibidang penyelenggaraan
kesejahteraan umum.
Presiden memiliki kekuasaan penuh dalam menjalankan dan mengendalikan
pelaksanaan administrasi negara, meskipun secara teknis dilaksanakan oleh Menteri
sesuai dengan bidang yang dipegangnya. Salah satu indicator pencapaian kinerja
pemerintah dapat dilihat darinpencapaian pelaksanaan administrasi negara, terutama
bagaimana pemerintah memberikan pelayanan umum yang baik, kesejahteraan rakyat,
keamanan, Pendidikan dan segala hal yang menyangkut kepentingan rakyat.
Presiden dapat melaksanakan dan mengendalikan administrasi negara secara
independent sesuai dengan kebijaksnaannya hingga masa jabatannya berakhir. Sistem
pemerintahan presidensial sesuai dengan UUD 1945, secara murni juga menempatkan
presiden sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan administrasi negara, sehingga
kedudukan presiden begitu kuat serta terbebas dari intervensi Lembaga manapun
dalam melaksanakan kekuasaan adminnistrasi negara. Penempatan kekuasaan
administrasi negara di tangan presiden sebagai konsekuensi kedudukannya sebagai
kepala pemerintahan, dimaksudkan pula untuk menjamin pelaksanaan pemerintahan
berjalan stabil.

Dengan demikian dapat disimpulkan, sistem pemerintahan berdasarkan UUD


1945 menempatkan kedudukan presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan. Berdasarkan Pasal 4 UUD 1945 dikatakan, “Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar.”
Ketentuan pasal ini menegaskan bahwa presiden pemegang satu-satunya kekuasaan
eksekutif, yang berarti pula presiden berkedudukan sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan.

B. Kekuasaan dalam Bidang Legislasi

Kekuasaan presiden di bidang perundang-undangan sangatlah luas. Di


samping turut berbagi kekuasaan dengan badan legislatif dalam membuat undang-
undang, presiden juga berwenang membuat perundang-undangan, baik atas dasar
kewenangan mandiri maupun didasarkan pelimpahan dari suatu undang-undang.

1. Kekuasaan membentuk Undang-undang

Dalam pelaksanaannya, pembuatan undang-undang tidak benar-benar di


tangan DPR, karena dalam setiap proses pembuatan undang-undang tersebut harus
melibatkan peran presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Ketentuan Pasal
20 ayat (1), bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, tidak
berdiri sendiri melainkan masih terdapat ayat selanjutnya yang juga mengatur
pembuatan undang-undang yaitu Pasal 20 ayat (2) yang berbunyi, “Setiap rancangan
Undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama.” Ketentuan ayat ini paling tidak mengandung dua hal
yang mengharuskan keterlibatan presiden dalam proses pembuatan undang-undang
yaitu pembahasan dan persetujuan.
2. Kewenangan membentuk Peraturan Pemerintah

Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa peraturan pemerintah hanya dapat ditetapkan
oleh presiden jika ada induknya. Kewenangan presiden untuk menempatkan peraturan
pemerintah adalah merupakan salah satu wujud dari fungsi presiden sebagai kepala
pemerintahan, yakni kepala kekuasaan eksekutif dalam negara, sehingga dalam
rangka menjalankan UU, presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan PP
(pouvoir reglementair).

3. Kekuasaan Membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

Presiden berhak dalam mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-


undang Ketika terjadi kepentingan yang memaksa. Sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan
yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-
undang.” Dalam praktik, hal ihwal kegentingan yang memaksa sering diartikan secara
luas, tidak hanya terbatas pada keadaan yang mengandung suatu kegiatan atau
ancaman, tetapi termasuk juga kebutuhan yang dipandang mendesak.

4. Kewenangan Membuat Peraturan Presiden

Peraturan presiden dikenal dengan singkatan Perpres adalah peraturan


perundang-undangan yang dibuat oleh presiden. Materi muatan peraturan presiden
adalah materi yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk
melaksanakan peraturan pemerintah.

Sementara itu, menurut Bagir Manan yang dikutip oleh King Faisal Sulaiman,
Keputusan Presiden dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Keputusan Presiden sebagai
pelaksanaan kewenangan konstitusional Presiden dan Keputusan Presiden sebagai
kepala negara maupun kepala pemerintahan, Presiden berwenang menetapkan
keputusan. Hal ini sesuai dengan asas umum, bahwa salah satu ciri yang selalu
melekat pada pejabat atau jabatan adalah adanya wewenang membuat keputusan.
Kewenangan ini merupakan kewenangan atribusi. Selain berdasarkan kewenangan
konstitusional (the original power), keputusan presiden dapat juga dikeluarkan
sebagai delegasi, keputusan presiden ditetapkan untuk melaksanakan perintah UUD
1945, UU/Perpu, atau PP. jadi, sebagai peraturan delegasi, keputusan presiden
mempunyai cakupan yang lebih luas daripada PP (hanya untuk menjalankan undang-
undang).

C. Kekuasaan dalam Bidang Yustisial

Meskipun Presiden merupakan pemegang kekuasaan eksekutif menurut trias


politika, tetapi pada kenyataannya masih memiliki kekuasaan dalam bidang yustisial
yang pada dasarnya merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Kekuasaan Presiden dalam bidang
yustisial berkaitan dengan pemberian pengampunan berupa grasi, amnesti, abolisi,
dan rehabilitasi. Seperti yang kita ketahui, grasi merupakan kewenangan Presiden
memberi pengampunan dengan cara meniadakan, mengubah, atau mengurangi pidana
bagi seorang yang dijatuhi pidana dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
amnesti merupakan kewenangan presiden untuk meniadakan sifat pidana atas
perbuatan seseorang atau kelompok orang; abolisi merupakan kewenangan Presiden
meniadakan penuntutan; dan rehabilitasi merupakan pengembalian pada kedudukan
atau keadaan semula sebelum atau sesudah seseorang dijatuhi pidana atau dikenai
pidana. M. Solly Lubis dalam bukunya yang berjudul Pembahasan UUD 1945
mengatakan bahwa kekuasaan yustisial merupakan salah satu hak prerogatifnya
sebagai kepala negara. Tindakan presiden dalam memberikan pengampunan tersebut
tercantum dalam Pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi:

1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan


Mahkamah Agung.

2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan mempertahikan pertimbangan


Dewan Perwakilan Rakyat.

Jika melihat pada ketentuan tersebut, maka tindakan pemberian grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi bukan merupakan suatu bentuk proses yustisial karena tidak
didasarkan pada pertimbangan hukum, melainkan hanya atas dasar pertimbangan
kemanusiaan atau pertimbangan lain di luar hukum seperti pertimbangan politik dan
sebagainya (Bagir Manan, 2003). Dengan digunakannya diksi “memperhatikan
pertimbangan” maka jelas bahwa apapun pertimbangan yang diberikan, Presiden tetap
bisa memberikan pengampunan tersebut karena pertimbangan itu tidak dapat
digunakan sebagai pembatal atas keputusan Presiden. Ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa pemberian pengampunan tersebut merupakan hak konstitusional
presiden dan bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif.
Penggunaan hak konstitusional tersebut tentu tidak akan mereduksi kekuasaan
kehakiman dengan alasan bahwa kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan
kekuasaan yang merdeka dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun demi
tegaknya keadilan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemberian pengampunan berupa


grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi merupakan hak konstitusional dan juga hak
prerogatif yang dimiliki oleh Presiden sebagai kepala negara dimana hak tersebut
tetap tidak dapat mengesampingkan kekuasaan kehakiman yang dimiliki oleh
lembaga yudikatif, karena memang dalam pelaksanaan hak tersebut hanya melibatkan
Mahkamah Konstitusi sebagai pemberi pertimbangan, bukan pemberi putusan.

D. Kekuasaan dalam Bidang Pertahanan dan Keamanan

Berdasarkan Pasal 10 UUD 1945 yang berbunyi, “Presiden memegang


kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.”
Maka jelas bahwa Presiden sebagai lembaga eksekutif, juga memegang peranan
dalam kekuasaan di bidang pertahanan dan keamanan. Hal tersebut juga berarti bahwa
komando tertinggi dalam TNI berada ditangan seorang Presiden. Presiden dapat
mengerahkan kekuatan bersenjata dalam rangka menjaga kedaulatan negara, usaha
perdamaian dunia, maupun dalam misi-misi lain diluar kepentingan militer. Selain itu,
kedudukan Presiden sebagai panglima tertinggi juga berfungsi untuk membatasi
kekuatan terbesar yang dilatih secara khusus, yaitu angkatan bersenjata, agar
pemerintahan bisa tetap berjalan dengan stabil dan mencegah terjadinya kudeta.

E. Kekuasaan dalam Bidang Luar Negeri

Hanya Presiden beserta jajarannya di lingkungan lembaga eksekutif yang


memiliki kewenangan untuk melakukan hubungan luar negeri. Hal tersebut
menandakan bahwa lembaga eksekutif memiliki hak prerogatif terkait dengan
hubungan luar negeri. Beberapa kewenangan dari lembaga eksekutif dalam
melakukan hubungan luar negeri diantaranya yaitu melakukan setiap bentuk inisiatif
hubungan luar negeri, mengadakan perjanjian atau hubungan dengan negara lain, dan
mengadakan perdamaian atau menyatakan perang dengan negara lain. Akan tetapi,
menganut pada ketentuan Pasal 11 dan Pasal 13 UUD 1945, maka segala kewenangan
tersebut harus atas persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat terutama yang
berkaitan dengan perjanjian yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
keberlangsungan bangsa. Adanya persetujuan tersebut menunjukkan diterapkannya
sistem checks and balances dalam rangka mencegah salah satu kekuasaan berkuasa
secara absolut dan mendominasi dalam suatu sistem pemerintahan.

BAGIAN V. PEMBERHENTIAN PRESIDEN


UUD 1945 dalam kurun periode 1999-2002 mengalami banyak perubahan
mendasar baik dari tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Salah
satu perubahan yang signifikan aalah kedaulatan rakyat secara langsung, tak lagi
melalui MPR. Dengan demikian, MPR tidak lagi lembaga tertinggi negara, dan sejajar
dengan yang lainya. Pemilihan presiden dan wapres juga dipilih langsug oleh rakyat
melalui pemilihan umum (Pilpres).
Mahkamah Konstitusi, hasil dari reformasi konstitusi, diharapkan mewujudkan
negara yang berdasarkan hukum (rechstaats). Negara hukum mempunyai lembaga
peradilan konstitusi yang menjadi benteng pengawal UUD 1945 sebagai hukum
tertinggi. Dengan pelaksanaan pemilihan presiden dan wapres melalui rakyat, maka
mekanisme impeachment juga tak sama dengan mekanisme amandemen sebelum
UUD 1945, yakni MPR memiliki kewenangan mutlak atas impeachment terhadap
presiden/wakil presiden.
Impeachment merupakan suatu model pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang banyak diterapkan, selain model forum previlegiatum. Impeachment
adalah mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa
jabatannya yang dilakukan oleh lembaga legislatif. Sebaliknya pengertian forum
previlegiatum (peradilan khusus) yaitu mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden di tengah masa jabatannya
dilakukan oleh suatu lembaga peradilan yang dibentuk khusus untuk mengadili
perihal pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya.
Dalam pasca amandemen UUD 1945, impeachment diberikan kepada
Mahkamah Konstitusi dengan adanya kewajiban untuk memeriksa, mengadili,
member putusan terhadap setiap keputusan dari DPR. Impeachment sendiri tidak
diartikan sebagai turunnya/berhentinya presiden dari jabatannya, melainkan menurut
Jimly Asshidique, Impeachment merupakan tuduhan/dakwaan yang lebih menegaskan
kepada prosesnya dan tidak harus berakhir dengan pelengseran jabatan. Dan dalam
implementasinya, hanya beberapa proses impeachment yang menghasilkan
pemberhentian seorang pimpinan negara.
Impeachment sendiri merupakan salah satu kekuasaan yang dipegang lemaga
legislative untuk mengontrol parlmen atas tindaktanduk setiap pejabat public yang
diberikan amanat oleh rakyat. Yang apabila, semasa jabatanya, pejabat tersebut
melakukan perlanggaran yang telh tertera secara konstitusi atau hukum positif
berlaku, maka yang bersangkutkan dapat dihadapkan oleh proses impeachment yang
berakhir dengan pemberhentian. Perubahan UUD 1945 menjadikan Indonesia
mengadopsi impeachment yang objeknya hanya pada presiden dan wakil presiden.
Alasan Impeachment bermacam- macam, di Indonesia khususnya, berlaku
secara limitative dalam konstitusi antaralain pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden dan wakil presiden. Ketentuan tersebut tertera pada Pasa; 7A
dan 7B Perubahan Ketiga UUD 1945. Adapun definisi alasan impeachment
dijabarkan pada Pasal 10 ayat 3 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi yaitu :
a) Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagimana diatur dalam Undang-Undang
b) Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
c) Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih
d) Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat presiden
atau wakil presiden
e) Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden adalah
syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Pendapat DPR bahwa presiden dan wakil presiden telah melakukan alasan
pemberhentian yang telah disebutkan secara limitative dalam konstusi, selanjutnya
akan diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dan ditinjau apakah
pendapat DPR tersebut mempunyai landasan konstitusional atau tidak.
Adapun amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang kurangnya
terdiri dari 3 kemungkinan. Pertama, amar putusan menyatakan bahwa permohonan
tidak dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat, kedua, amar putusan menyatakan
membenarkan pendapat DPR apabila presiden dan wakil presiden terbukti melakukan
tindakan yang dituduhkan, ketiga, amar putusan menyatakan bahwa permohonan
ditolak apabila presiden/ wakil presiden terbukti tidak melakukan tindakan yang
dituduhkan.
Putusan MK yang memutuskan bahwa presiden dan wakil presiden terbukti
telah melakukan pelangaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagaiman yang
tertuang dalam Pasal 7A UUD 1945 tidak serta merta membuat presiden atau wakil
presiden dapat diberhentikan sejak dibacakan Putusan Mahkamah Konstitusi. Proses
selanjutnya masih bermuara pada sidang paripurna MPR. Kemudian, pengambilan
keputusan pemberhentian presiden/wakil presiden harus dihadiri sekurang kurangnya
¾ dari jumlah anggota MPR dan disetujui oleh sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah
anggot MPR yang hadir. Implikasinya, MPR sebagai lembaga politik harus
menjunjung supremasi hukum dan melaksanakan putusan MK yang bersifat final dan
mengikat harus dipatuhi.

A. Impeachment Presiden

Ketika zaman penjajahan Inggtis di Amerika, Impeachment mulai digunakan


pada abad ke-17. Akan tetapi, dalam perkembangannya impeachment lebih dikenal di
Amerika Serikat daripafaa Inggris. Di AS, imperachment diatur dalam UUD AS yang
menyatakan DPR memiliki kekuasaan untuk mmelakukan Impeachment dengan senat
mempunyai kekuasaan untuk mengadili tuntutan impeachment. Jadi, impeachment
merupakan suatu lembaga resmi untuk mempersoalkan tindak pidana yang
dituduhkan pada presiden dan wakilnya, para hakim, dan pejabat sipil lainnya dari
pemerintahan federal yang sedang berkuasa.
Sejatinya, impeachment merupakan instrument untuk mencegah adanya
penyalahgunaan kekuasaan dari pemegangnya. Ketika konstitusi dirancang pada 1787
di Philadelphia, Pennsylvania, bapak bangsa AS sudah melihat tendensi korup
penguasanya juga tendensi untuk tidak turun dari kekuasaannya. Oleh karena itulah
diciptakan konstitusi berdasarkan checks and balances yang dapat meminimalisasi
penyalahgunaan kekuasaan. Impeachment sendiri didesain sebagai instrument untuk
untuk menegur perbuatan menyimpang, penyalahgunaan dan pelanggaran terhadap
kepercayaan public dari orang yang mempunyai jabatan public.
Sidang impeachment merupakan sidang politik yang padanya tidak dikenal
sanksi pidana/kurungan. Namun, setelah di impeach, seorang pejabat dapat
disidangkan kembali dalam peradilan umum dengan proses penuntutan yang dimulai
dari awal sesuai dengan dakwaan yang diberatkan padanya. Proses impeachment
merupakan salah satu kekuasaan yang dipegang oleh lembaga legislative sebagai
bentuk dari fungsi control parlemen atas tindakan setiap pejabat yang telah
diamanatkan oleh rakyat. Apabila selama jabatannya dilakukan pelanggaran baik yang
telah diatur konstitusi maupun hukum positif yang berlaku, maka padanya dapat
dihadapkan proses impeachment yang mengarah pada pemakzulan yang bersangkut
dari jabatannya.
Pejabat negara yang dapat di impeach di Indonesia menurut UUD setelah
perubahan hanyalah presiden dan wakilnya. Hal ini tertera pada Pasal 7A UUD 1945
yang menyebutkan “Presiden dan wakil Presiden dapat diberhentikan jabatannya oleh
MPR atas usul DPR,…”
Dalam hal kedudukan permohonan serta presiden dan atau wakil presiden yang
menjadi focus perhatian dalam proses impeachment di MK adalah bahwa MK
memutus benar atau salahnya pendapat DPR atas tuduhan impeachment yang
ditujukan pada presiden atau wakil presiden. Dengan demikian, ketika proses
impeachment di MK, MK berarti tidak sedang mengadili presiden atau wakilnya atas
tuduhan impeachment, melainkan menjadi objek dalam proses impeachment di MK
adalah pendapat DPR. MK wajib memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan
atas pendapat tersebut. Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna lebih
bernuansa politis. Oleh karena itu, impeachment di MK adalah untuk melihat tuduhan
impeachment kepada presiden atau wakilnya dalam prespektif hukum. Hal ini karena
MK merupakan institusi peradilan, dan putusan yang dijatuhkan MK atas pendapat
DPR adalah untuk memberi justifikasi secara hukum.

B. Mekanisme Impeachment di Mahkamah Konstitusi


Mekanisme ini menempatkan kedudukan DPR sebagai pemohon, yakni DPR
yang memiliki inisiatif dan pendapat. Sebagaimana Pasal 7B ayat 1 UUD 1945, usul
pemberhentian presiden atau wakilnya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR setelah
mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
pendapat DPR bahwa presiden atau wakilnya telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain,
perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil
presiden.
Kehadiran pihak selain pemohon dalam persidangan adalah bukan untuk saling
berhadapan dengan pemohon namun untuk dimintai keterangan oleh majelis hakim
konstitusi dalam pemeriksaan silang atau memperkaya data yang dibutuhkan. Dengan
demikian, dalam proses impeachment di MK, kehadira presiden dan wakilnya
bukanlah sebagai termohon, dan bukan merupakan kewajiban melainkan gak. Hak
presiden dan wakilnya yang mengalami tuduhan untuk memberikan keterangan dalam
persidangan MK menurut versinya bila presiden atau wakilnya menganggap pendapat
atau keterangan yang diberikan DPR dalam persidangan MK tidak benar.
Dalam hal penunjukan kuasa hukum dalam persidangan MK, maka presiden atau
wakilnya juga memiliki hak untuk didampingi atau diwakili oleh kuasa hukum.
Namun, untuk menegah adanya distorsi, akan lebih baik bila presiden atau wakil
presiden hadir dalam persidangan MK sebagaimana keduanya diwajibkan hadir untuk
memberikan keterangan dalam rapat pembahasan panitia khusus yang dibentuk oleh
DPR sebagaimana diatur dalam peraturan tata tertib DPR. Terkait dengan pelaksanaan
kewajiban memutus pendapat DPR atas tuduhan impeachment kepada presiden atau
wakil presiden, UU MK menambah satu persyaratan formil yang harus dipenuhi oleh
DPR yaitu bahwa DPR harus memenuhi prosedur pengambilan keputusan atas
tuduhan impeachment sesuai dengan UUD 1945 (Pasal 7B ayat 3) serta peraturan tata
tertib. Persyaratan formil ini secara implicit diatu dalam Pasal 80 ayat 3 UU MK yang
mengatur ketentuan bahwa pemohon wajib menyertakan keputusan DPR dan proses
pengambilan keputusan yang diatur dalam Pasal 7B ayat 3 UUD 1945, risalah dan
atau berita acara rapat DPR juga bukti atas tuduhan impeachment tersebut.
Dengan demikian, sidang panel hakim yang melakukan sidang pemeriksaan
pendahuluan harus memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan
kemudia memberi nasihat untuk pemohon agar melengkapi permohonan. Dalam hal
pemeriksaan syarat formil permohonan memutus pendapat DPR atas tuduhan
impeachment kepada presiden dan atau wakil presiden, ada 3 persyaratan yang harus
dipenuhi yaitu : a) masalah legal standing, b) masalah kewenangan MK untuk
mengadili, c) dan masalah procedural yang harus dipenuhi DPR dalam mengambil
keputusan atas pendapat tersebut. Konsekuensi bilamana salah satu persyaratan ini
tidak dipenuhi adalah amar putusan MK akan menyatakan bahwa permohonan tidak
dapat diterima.
Pasal 7B ayat 2 UUD 1945 menjelaskan, pendapat DPR yang menyatakan
bahwa presiden atau wakilnya telah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi
memenuhi syarat adalah dalam rangka fungsi pengawasan DPR. Selanjutnya Pasal 7B
ayat 2 UUD 1945 menjelaskan, pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang kurangnya 2/3 dari jumlah
anggota DPR.
Setelah jumlah kuorum, anggota DPR memenuhi persyaratan sebagaimana
ditentukan, maka MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus seadil adilnya
pendapat DPR, paling lama 90 hari setelah permintaan DPR diterima oleh MK.
Apabila MK memutuskan bahwa presiden/wakilnya terbukti melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lain, perbuatan tercela, atau tidak lagii memenuhi syarat sebagai presiden dan
wakil presiden, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan
usul pemberhentian presiden/wakilnya kepada MPR.
MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR paling lama 30
hari setelah MPR menerima usul tersebut. Adapun terhadap keputusan majelis
permusyawaratan rakyat atas usul pemberhentian presiden/wakilnya harus diambil
dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah
anggota dan disetujui 2/3 jumlah yang hadir, setelah presiden dan wilnya diberikan
kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR tersebut.
Adapun tata cara Impeachment dalam lembaga MPR diatur dalam bab XV Pasal
83 mengenai tata cara pemberhentian presiden dan atau wakil presiden, dalam masa
jabatanya, pimpinan MPR kemudian mengundang anggota MPR untuk mengikuti
rapat paripurna yang mengagendakan memutus usulan pemberhentian
presiden/wakilnya yang diajukan oleh DPR. Pimpinan MPR juga mmengundang
Presiden/wakilnya untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan
pemberhentianya di rapat paripurna majelis.
Presiden/wakilnya wajib hadir untuk memberikan penjelasan atas usul
pemberhentianya. Apabila tidak hadir, maka majelis tetap mengambil putusan
terhadap usul pemberhentian presiden dan wakilnya. Pengambilan putusan teerhadap
usul pemberhentian yang diajukan DPR setalah adanya putusan MK dilaksanakan
melalui mekanisme voting suara terbanyak. Persyaratannya adalah dihadiri sekurang
kurangnya dari jumlah seluruh anggota Majelis (kuorum), dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah yang hadir yang memenuhi kuorum.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan MK itu memberikan harapan ditegakannya
konstitusi dalam negara hukum serta penetralisir lembaga politik. Dalam proses
impeachment yang dilakukan MK sesuai Pasal 7A UUD 1945, tidak serta merta
presiden/wakilnya dapat diberhentikan sejak dibacakan putusan MK. Terlebih, ketika
proses pemberhentian presiden/wakilnya harus melalui mekanisme politik di lembaga
legislative.
MK yang melakukan proses impeachment, hanya mengadili pendapat DPR,
bukan berarti menyatakan presiden dan wakil presiden dapat dinyatakan bersalah
menurut hukum. Pembentukan MK, dapat dipahami dari 2 sisi, politik dan hukum.
Dari sisi politik, keberadaan MK diperlukan guna mengimbangi kekuasaan
pembentuk UU, DPR, dan Presiden. Hal ini menjadi sangat penting agar tidak ada
legitimasi bagi tirani mayoritas wakil rakyat di DPR dan Presiden yang dipilih rakyat.
Dari sisi hukum, keberadaan MK sebagai salah satu konsekuensi perubahan dari
supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi, prinsip negara kesatuan, prinsip
demokrasi, dan prinsip negara hukum.

BAGIAN VI. LEMBAGA PENASIHAT PRESIDEN

A. Sejarah Penasehat Presiden Indonesia

Di awal kelahirannya, Wantimpres dikenal sebagai Dewan Pertimbangan


Agung (DPA). DPA berubah menjadi Wantimpres pada masa pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebelum amandemen keempat UUD 1945 tahun 2002, Wantimpres dikenal


sebagai Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Ketika pertama kali dibentuk pada
tanggal 25 September 1945, para pendiri bangsa yang merumuskan UUD 1945, Mr.
Mohammad Yamin mengusulkan nama Majelis Pertimbangan (MP). Dalam
rancangannya naskah ini disusun oleh Hoesein Djajadiningrat, Soepomo, Soewandi,
Singgih, Sastromoeljono, Soetardjo dan Soebardjo, sehingga pada saat itu nama
Majelis Pertimbangan diubah menjadi Badan Penasihat Agung (BPA).

Pada naskah akhir yang disahkan, nama BPA diubah lagi menjadi Dewan
Pertimbangan Agung (DPA). Ketentuan mengenai DPA termasuk ke dalam Bab IV
UUD 1945, dengan judul Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Isinya hanya satu
pasal, yaitu pasal 16 yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menyatakan bahwa “Susunan
Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang-Undang”. Ayat (2)
menyatakan, “Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden
dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah”.

Menurut Bagir Manan, dalam naskah yang akhirnya disahkan, istilah yang dipakai
adalah Dewan Pertimbangan Agung, dengan fungsi :

a) Memberi jawaban atas pertanyaan Presiden


b) Berhak mengajukan usul kepada Pemerintah.

DPA Masa Revolusi Fisik & UUDS ketika Konstitusi RIS 1949 dan UUDS
1950 dirumuskan, lembaga DPA ini tidak dicantumkan lagi dalam UUD, karena
dianggap tidak diperlukan lagi. DPA sementara itu diketuai langsung oleh Presiden
Soekarno, seperti Raad van State di Negeri Belanda. Tetapi Wakil Ketua DPAS ini
diberikan kedudukan oleh Presiden sebagai eks-officio Menteri.

B. Memorabilia Dewan Pertimbangan Agung

Pengaturan DPA yang lebih lengkap ketika masa pemerintahan Soeharto.


Dimana, kedudukan Menteri eks-officio dihilangkan, yaitu dengan Penetapan
Presiden Nomor 3 Tahun 1966. Namun, ketuanya masih tetap dijabat oleh Presiden.
Pengaturan DPA yang baru, setelah diberlakukannya UU Nomor 3 Tahun 1967 pada
tanggal 5 Mei 1967, yang kemudian disempurnakan dengan UU No.4 Tahun 1978.

Secara empiris, setiap Presiden membutuhkan fungsi penasihat atau pemberi


nasihat yang dapat membantu Presiden melaksanakan tugas-tugasnya. Ketentuan
mengenai DPA diatur dalam Pasal 16 yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) “Susunan
Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang-Undang”. Pada ayat (2)
“Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak
mengajukan usul kepada Pemerintah”.

Setelah disahkan Perubahan keempat UUD 1945 oleh MPR pada sidang
Tahunan MPR Tahun 2002, status konstitusional DPA sebagai “Lembaga Tinggi
Negara” telah dihapus keberadaannya. Rumusan Pasal 16 asli UUD 1945 yang
menjadi dasar pembentukan DPA selama ini, diubah secara mendasar, sehingga
keberadaanna secara konstitusional tidak dapat dipertahankan lagi.

C. Peran dan Fungsi Dewan Pertimbangan Presiden dalam UUD 1945

Menurut UUD 1945, Presiden dalam menjalankan kewenangannya sebagai


pemegang kekuasaan pemerintahan, memerlukan nasihat dan pertimbangan. Karena
itu keanggotaan Dewan Pertimbangan Presiden terdiri atas orang-orang yang jujur,
adil, berkelakuan tidak tercela, negarawan, dan mempunyai keahlian di bidangnya,
sebagaimana persyaratan yang ada di dalam undang-undang.

1. Kedudukan Wantimpres
Sesuai dengan amanat Pasal 16 UUD 1945, Presiden membentuk suatu
dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Sebelum
amandemen ke-empat UUD 1945 pada tahun 2002, undang-undang yang
mengatur tentang Dewan Pertimbangan Presiden adalah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1978 Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1967 Tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kedudukan Wantimpres ini berbeda dengan sebelum amandemen ke-
empat UUD 1945 tahun 2002, dimana Dewan Pertimbangan Presiden yang
dulu lebih dikenal dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), termasuk salah
satu dari lima Lembaga Tinggi Negara dalam struktur ketatanegaraan
Republik Indonesia.
2. Tugas Wantimpres
Berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan
Pertimbangan Presiden kemudian diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Wantimpres dan
Sekretariat Wantimpres, tugas Wantimpres adalah memberikan nasihat dan
pertimbangan (Nastim) kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan negara.
Nastim yang diajukan oleh Wantimpres secara kelembagaan
merupakan Nastim yang disetujui secara mufakat oleh seluruh anggota
Wantimpres dan ditetapkan berdasarkan rapat yang dihadiri paling sedikit oleh
5 (lima) orang anggota Wantimpres dan ditandatangani oleh ketua
Wantimpres.
Sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006,
Anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan,
dan/atau menyebarluaskan isi Nastim kepada pihak manapun.
3. Keanggotaan Wantimpres
Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 dan
kemudian diatur dalam Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2007, jumlah Anggota Wantimpres adalah sembilan orang yang
terdiri dari seorang ketua merangkap anggota serta delapan orang anggota.
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Pertimbangan
Presiden, Presiden dapat melakukan pembidangan, antara lain bidang politik,
pertahanan dan keamanan, bidang ekonomi dan keuangan, dan bidang
kesejahteraan rakyat.
a) Persyaratan Menjadi Anggota Wantimpres
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Wantimpres, seseorang
harus memenuhi delapan persyaratan seperti diamanatkan dalam Pasal
8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006.
1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2) Warga negara Indonesia
3) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan
cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
4) Mempunyai sifat kewarganegaraan
5) Sehat jasmani dan rohani
6) Jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
7) Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima)
tahun atau lebih
8) Mempunyai keahlian tertentu di bidang pemerintah negara
b) Ketentuan Anggota Dari Unsur PNS, TNI, dan Polri
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006 tidak ada larangan
bagi Pegawai Negeri menjadi Anggota Wantimpres, sebagaimana
tersirat dalam Pasal 12 UU Nomor 19 Tahun 2006 yang kemudian
diatur selanjutnya berdasarkan Pasal 6, 7, dan 8 Peraturan Presiden RI
Nomor 10 Tahun 2007.
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan “Anggota Wantimpres dapat
berasal dari Pegawai Negeri atau bukan Pegawai Negeri”. Selanjutnya
ayat (2) menyebutkan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
c) Pemberhentian Anggota Wantimpres
Sejak amandemen ke-4 UUD 1945, lembaga Dewan
Pertimbangan Presiden berada dibawah Presiden, maka pemberhentian
Anggota Wantimpres merupakan kewenangan Presiden. Tetapi harus
sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden, seorang
Wantimpres diberhentikan dari jabatannya karena ima alasan, yaitu :
1) Meninggal dunia
2) Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis
3) Tidak dapat melaksanakan tugas selama 6 (enam) bulan secara
berturut-turut
4) Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8
5) Alasan lain yang ditentukan oleh Presiden.

DAFTAR PUSTAKA
Agesa, 2020. “LEMBAGA KEPRESIDENAN (STUDI PERBANDINGAN
ANTARA INDONESIA DENGAN NEGARA REPUBLIK KOREA
SELATAN”. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ahmad Yani. “SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA: PENDEKATAN


TEORI DAN PRAKTEK KONSTITUSI UNDANG-UNDANG DASAR
1945”. Jurnal.

Baital, Bachtiar. (2014). Pertanggungjawaban Penggunaan Hak Prerogatif


Presiden di Bidang Yudikatif Dalam Menjamin Kemerdekaan Kekuasaan
Kehakiman. Jurnal Cita Hukum, II, 19—38.

Nyoman Mas Aryani dan Bagus Hermanto “REKONSTRUKSI PEMILIHAN


PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN YANG IDEAL DALAM IKHWAL
KEKOSONGAN JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
DALAM RANGKA PENEGASAN DAN PENGUATAN SISTEM
PRESIDENSIIL INDONESIA”

LEMBAGA KEPRESIDENAN SEJARAH DAN DINAMIKA DALAM


SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA, Andriyan, S.H, M.H. ,

PENERAPAN MODEL IMPEACHMENT DALAM PEMBERHENTIAN


PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN DI Indonesia, jurnal Putu Eva
Ditayani Antari, Fakultas Hukum Universitas Pendidikan Nasional
(UNDIKNAS), Denpasar, Bali

Lembaga, U., Pertimbangan, D., Dalam, P., Indonesia, S. K., Studi, P.,
Hukum, I., Syariah, F., Hukum, D. A. N., & Hidayatullah, S. (2018). YUSRI
WAHYUNI.

Mahfud MD. “Capaian dan Proyeksi Kondisi Hukum di Indonesia”. Jurnal.


Widya Hartati & Ratna Yuniarti “Mekanisme Pencalonan dan Pengisian
Jabatan Presiden dan Wakil Presiden” (Volume 11 Nomor 1, April 2020 (76-
97))
Repository UIR “Pelaksanaan Demokrasi dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”

Ahmad Husen, “Eksistensi Peraturan Presiden Dalam Sistem Peraturan


Perundang-Undangan”.

Anda mungkin juga menyukai