Tugas Review Buku Hukum Kelembaganegaraan - Kelompok 8 - Kelas C
Tugas Review Buku Hukum Kelembaganegaraan - Kelompok 8 - Kelas C
Kelompok 8:
Disusun oleh:
Shafa Mahira Nurfaiza E1A021162
Anisa Putri Rachmasari E1A021163
Muhammad Rafly Fitriandi E1A021164
Alya Shafiqa Haqqani E1A021165
M. Galang Arya M. A. E1A021166
Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dosen Pengampu: Dr. Riris Ardhanariswari, S.H., M.H.
REVIEW MENGENAI BUKU TERKAIT
1. IDENTITAS BUKU
Judul : LEMBAGA KEPRESIDENAN
Sejarah dan Dinamika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Nama Penulis : Andryan, S.H., M.H.
Tahun Terbit : 2020
Penerbit : Setara Press
Jumlah Halaman : 114 halaman
Harga Buku : Rp.60.000,00 (Pulau Jawa)
Nomor ISBN : 978-602-6344-98-4
Buku ini disusun dan ditulis oleh ANDRYAN, S.H., M.H. yang merupakan
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Beliau
mengajar mata kuliah Ilmu Perundang-Undangan dan juga Ilmu Hukum Administrasi
Negara. Selain aktif mengajar, penulis juga aktif dalam berorganisasi, penelitian,
pengkajian, menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi Konstitusi dan Anti Korupsi.
Buku ini membahas mengenai Lembaga Kepresidenan, mulai dari sejarah,
dinamika, dan perubahannya. Cover berwarna putih dan memiliki daftar isi yang
cukup sedikit, yang terdiri dari 6 bagian. Masing-masing bagian membahas berbagai
aspek seputar Lembaga Kepresidenan di Indonesia. Buku ini terdiri dari daftar kata
pengantar, daftar isi, pengenalan tentang penulis serta bagian-bagian yang membahas
mengenai Lembaga Kepresidenan. Secara keseluruhan, buku ini memiliki total 120
halaman. Mengenai kelebihan dan kekurangannya, akan dibahas sebagai berikut:
2. KELEBIHAN
Cover pada buku ini menarik, tidak berlebihan, dan indah untuk dilihat
mata.Warna putih yang cukup sederhana, dan tidak terlalu banyak warna. Daftar isi
yang rapih, sesuai dengan judul dan tidak terlalu banyak bagian-bagian sehingga
pembaca bosan untuk membacanya. Buku ini juga menggunakan kata-kata dan bahasa
yang tidak sulit untuk dimengerti sehingga pembaca mudah untuk memahaminya.
Terlebih lagi, buku ini benar-benar memfokuskan mengenai Lembaga Kepresidenan
saja dan tidak terlalu membahas mengenai materi-materi lain. Hal ini membuat
pembaca bisa memahami betul mengenai Lembaga Kepresidenan. Terakhir, dalam
buku ini membahas tidak hanya tentang Presiden saja, namun tentang Wakil Presiden
dan para menteri yang turut membantu dalam menjalankan tugas eksekutif, sehingga
pembaca mengetahui secara keseluruhan mengenai Lembaga Kepresidenan.
3. KEKURANGAN
Dalam buku ini, memberikan bacaan yang terkesan kurang lengkap sehingga
pembaca perlu mencari tahu dalam sumber lain. Penjelasan pada buku ini juga masih
sangat umum dan hanya mengikis permukaan saja. Buku ini juga terkesan belum
mengikuti alur perkembangan zaman dalam perkembangan Lembaga Kepresidenan,
seperti halnya masa pemerintahan Bapak Joko Widodo belum sempat dibahas secara
mendetail. Selain itu, ada beberapa bagian yang dalam penjelasannya kurang efektif,
misalnya saja pada pembahasan mengenai kekuasaan kepresidenan dalam bidang
yustisial dimana isi Pasal 14 dituliskan sebanyak dua kali pada jarak yang berdekatan.
Secara keseluruhan, buku ini sangat membantu dalam memahami Lembaga
Kepresidenan di Indonesia baik secara riil atau materiil. Sangat cocok untuk dipelajari
untuk mahasiswa, walau terkadang perlu mencari informasi di sumber lain karena
adanya informasi yang kurang jelas dan diperbarui. Mengenai penjelasan dari materi-
materi yang ada dalam buku ini, terdapat di bawah berikut:
Pasca-Dekrit Presiden maka Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 berlaku kembali. Pada
tahun 1973 terbit ketetapan MPR No. II/MPR/1973 yang menambahkan ketentuan
syarat bagi calon presiden menjadi: 1) warga negara Indonesia; 2) telah berusia 40
tahun; 3) bukan orang yang sedang dicabut haknya untuk dipilih dalam pemilihan
umum; 4) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 5) setia kepada cita-cita
Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, dan Pasal 6 ayat (1) UUD 1945; 6) bersedia
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh
majelis dan putusan-putusan majelis; 7) berwibawa; 8) jujur; 9) cakap; 10) adil; 11)
dukungan rakyat yang tercermin dari majelis; 12) tidak pernah terlibat, baik langsung
ataupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang menghianati NKRI yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serat Gerakan G30S/PKI atau organisasi
lainnya; 13) tidak sedang menjalankan pidana berdasarkan keputusan pengadilan yang
tidak dapat diubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-
kurangnya lima tahun; 14) tidak terganggu jiwa/ingatannya.
Setelah perubahan UUD 1945 pada 2001, penafsiran terhadap “orang
Indonesia asli” telah diubah dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) dan ayat (2):
C. Presiden Berhalangan
Pasal 8 UUD 1945 mengatur keadaan presiden yang tidak dapat lagi
menjalankan jabatan kepresidenan untuk sisa masa jabatannya. TAP MPR Nomor
VII/MPR/1973 mengategorikan keadaan ini sebagai berhalangan tetap. UUD 1945,
setidaknya menegaskan ada tiga kategori keadaan presiden tidak dapat lagi
menjalankan jabatan untuk sisa masa jabatannya, tiga kategori ini adalah :
1. Presiden Mangkat dalam Masa Jabatan
Keadaan mangkat diartikan apabila, secara medis, presiden dinyatakan
meninggal atau, akibat suatu peristiwa, presiden dinyatakan meninggal. Presiden
secara medis dinyatakan meninggal apabila ada penetapan dari suatu tim medis yang
kompeten menurut hasil pemeriksaan medis, dan sesuai dengan syarat-syarat,
keadaan, dan kelaziman bagi setiap orang yang dinyatakan meninggal.
Pada saat yang sama, wakil presiden bersumpah atau berjanji di hadapan
Mahkamah Agung menggantikan presiden yang mangkat. Dalam TAP MPR
NO.VII/MPR/1973, sumpah wakil presiden dilakukan dihadapan DPR. Meskipun
demikian perdebatan konstitutional terhadap Pasal 8 UUD 1945, yakni mencegah
kekosongan jabatan presiden. Maka, tidak tepat apabila melibatkan badan perwakilan
karena harus dilaksanakan secara cepat.
2. Presiden Berhenti dalam Masa Jabatan
Makna kata berhenti dan diberhentikan memiliki makna yang berbeda. Alasan
berhenti dapat ditafsirkan muncul dari keinginan diri sendiri atau mengundurkan diri
karena alasan sakit parah dan lainnya. Sedangkan, diberhentikan merupakan alasan
yang dimaknai dengan pemecatan.
Dalam UUD telah diatur secara rinci mengenai alasan dan mekanisme
pemberhentian presiden dan/wakil presiden dalam masa jabatannya yaitu dalam
ketentuan Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Pasal 7A UUD 1945 mengatur alasan
pemberhentian presiden dan/wakil presiden dalam masa jabatannya yang sebelum
amandemen diatur dalam TAP. MPR Nomor III Tahun 1978. Berdasarkan rumusan
Pasal 7A UUD 1945 tersebut dapat diketahui bahwa alasan pemberhentian presiden
dan/atau wakil preside apabila terbukti : a). Melakukan pelanggaran hukum, berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela lainnya yang merupakan aspek pidana; b). Tidak lagi memenuhi
syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagai aspek tata negara dan
administratif.
3. Presiden Tidak Dapat Melakukan Kewajiban dalam Masa Jabatannya
Seseorang tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabtannya dapat
dipertimbangkan berdasarkan beberapa keadaan :
(i) Presiden dengan sengaja meninggalkan lingkungan jabatannya, karena suatu
peristiwa politik atau peristiwa hukum tertentu dan tidak akan kembali atau tidak
dikehendaki kembali memangkas jabatannya.
(ii) Presiden yang dalam keadaan tertentu baik atas kemauan sendiri atau bukan atas
kemauan sendiri berada pada suatu tempat atau keadaan yang tidak memungkinkan
lagi menjalankan kewajibannya.
Dalam hal terjadi kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden secara
bersama-sama maka pelaksana tugas kepresidenan dilaksanakan oleh lembaga
triumvirat,terdiri atas menteri luar negeri, menteri dalam negeri, dan menteri
pertahanan. Pasal 8 ayat (3) menyatakan bahwa :
“Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat
melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas
kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu,
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden
dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan Presiden dan
Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai habis masa jabatannya.”
D. Pertanggungjawaban Presiden
Dalam penjelasan sebelum amandemen UUD 1945 disebutkan, “Presiden
yang diangkat oleh Majelis bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis.”
Dalam praktik ketatanegaraan yang berlaku pengertian bertunduk dan bertanggung
jawab tersebut tidak sekadar diartikan pengawasan, tetapi termasuk juga
pemberhentian presiden dari jabatannya.
Praktik pertanggungjawaban dilaksanakan dalam betuk laporan
pertanggungjawaban yang disampaikan di hadapan Sidang Umum MPR pada saat
mengakhiri masa jabatan. Secara hukum, MPR dapat menolak laporan tersebut akan
tetapi tidak mempunyai makna hukum yang berarti. Karena jika ditolak akan ada dua
opsi yaitu Presiden akan diberhentikan atau diperintahkan untuk menyempurnakan
laporan tersebut, karena masa jabatan beliau diberhentikan pun tidak ada maknanya
dan tidak bisa disempurnakan karena masa jabatannya habis. Maka dari itu, laporan
pertanggungjawaban pada akhir jabatan lebih tidak menimbulkan peristiwa hukum
hanya peristiwa politik.
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia setelah Amandemen UUD
1945 adalah sistem presidensial. Ditandai dengan pengaturan oleh konstitusi yang
menyebutkan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat
dalam pemilu. Perubahan tersebut secara otomatis merekonstruksi pola pertanggung
jawaban politik presiden yang sebelumnya dilakukan kepada MPR menjadi kepada
rakyat yang memilihnya.
Tanggung jawab pemerintahan berada dipundak presiden, dan oleh karena itu
presidenlah yang pada prinsipnya berwenang membentuk pemerintahan, menyusun
kabinet, mengangkat dan memberhentikan para menteri serta pejabat-pejabat publik
yang pengangkatan dan pemberhentiannya dilakukan berdasarkan political
appointment. Karena itu, dalam sistem ini biasa dikatakan concentration of giverning
power and responsibility upon the president (pemusatan dari kekuasaan pemerintah
dan tanggung jawab diatas presiden). Diatas presiden tidak ada institusi yang lebih
tinggi, kecuali konstitusi. Karena nya dalam sistem constitutional state, secara politik
presiden dianggap bertanggung jawab kepada rakyat, sedangkan secara hukum
bertanggung jawab kepada konstitusi.
Karena MPR dan DPR belum terbentuk pada waktu itu, tugas kenegaraan
dilakukan oleh presiden dan komite nasional. Dipertegas pula dengan adan
ya Maklumat X wakil presiden yang mana komite nasional mengemban tu
gas legislatif sebelum adanya MPR dan DPR.
Pada bulan November 1945, keluar maklumat pemerintah yang membentu
k kabinet baru dibawah Sutan Sjahrir, yang mana kabinet ini bertanggungj
awab kepada Sutan Sjahrir selaku perdana Menteri. Sejak saat itu, sistem p
residensiil di Indonesia bergeser ke sistem parlementer.
Pada 1948 terjadi agresi militer Belanda II, yang terjadi di ibukota RI di Y
ogyakarta, yang mengakibatkan Ir.Soekarno dan Moh.Hatta ditawan oleh p
ihak Belanda. Pada keadaan yang mendesak seperti itu, agar kedaulatan tet
ap tegak, dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang dipimp
in Syarifuddin Prawiranegara dengan pusat pemerintahan di Sumatera Bar
at.
2. Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950
Pada periode ini, akibat dari Konferensi Meja Bundar Republik Indonesia
bergabung kedalam negara federasi Republik Indonesia serikat, dengan ke
dudukan sebagai negara bagian. Hal ini mengakibatkan adanya dua konstit
usi yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1945. Presiden soekarno juga menyerah
kan pemerintahan kepada Mr.Assat sebagai pemangku jabatan presiden.
Lembaga kepresidenan pada periode ini hanya seumur jagung. RI dan RIS
menyepakati Kembali ke bentuk negara kesatuan pada mei 1950. Pada 15
Agustus 1950 diadakan sidang DPR dan senat, diproklamasikan Kembali b
erdirinya negara kesatuan republic Indonesia, menggantikan negeri federas
i republic Indonesia serikat. Konstitusinya berubah dari konstitusi RIS men
jadi UUDS 1950. Pemangku jabatan presiden RI menyerahkan Kembali ke
kuasaan pemerintahan RI kepada Ir. Soekarno sebagai presiden republic In
donesia.
3. Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1950
Pada periode ini awalnya ditandai dengan bersatunya RIS dengan RI menj
adi negara kesatuan kembali. Pada periode ini wakil presiden tidak dipilih,
melainkan diangkat oleh presiden dari tokoh yang diajukan oleh DPR.
Dalam perjalannya, terjadi kekosongan jabatan wakil presiden pada 1 Dese
mber 1956 karena Moh. Hatta mengundurkan diri. Kekuasaan lembaga ke
presidenan yang telah mengalami kekosongan jabatan wakil presiden ini b
erakhir ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959.
Pada awal penyatuan kembali RIS dan RI menjadi negara kesatuan, diranc
ang dan disepakati sebuah Undang-undang dasar sementara atau dikenal U
UDS 1950 untuk negara kesatuan Republik Indonesia. Sistem pemerintaha
nnya ialah parlementer.
Untuk ketentuan kekuasaan eksekutif, presiden dan wakil presiden dipilih
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Karena undang-u
ndang yang diperlukan belum dibuat, maka berdasarkan piagam persetujua
n antara pemerintah RIS dan RI ditetapkan Ir.Soekarno sebagai presiden n
egara kesatuan tersebut.
Sedangkan untuk pemilihan wakil presiden, untuk pertama kali wakil presi
den diangkat oleh presiden berdasarkan anjuran dari DPR. Presiden menga
jukan Moh. Hatta sebagai wakil Presiden. Tetapi seperti yang sudah disebu
tkan diatas, Moh.Hatta mengundurkan diri sehingga terjadi kekosongan hi
ngga 1973.
Pasal 5 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Ketentuan tersebut menegaskan bahwa peraturan pemerintah hanya dapat ditetapkan
oleh presiden jika ada induknya. Kewenangan presiden untuk menempatkan peraturan
pemerintah adalah merupakan salah satu wujud dari fungsi presiden sebagai kepala
pemerintahan, yakni kepala kekuasaan eksekutif dalam negara, sehingga dalam
rangka menjalankan UU, presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan PP
(pouvoir reglementair).
Sementara itu, menurut Bagir Manan yang dikutip oleh King Faisal Sulaiman,
Keputusan Presiden dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Keputusan Presiden sebagai
pelaksanaan kewenangan konstitusional Presiden dan Keputusan Presiden sebagai
kepala negara maupun kepala pemerintahan, Presiden berwenang menetapkan
keputusan. Hal ini sesuai dengan asas umum, bahwa salah satu ciri yang selalu
melekat pada pejabat atau jabatan adalah adanya wewenang membuat keputusan.
Kewenangan ini merupakan kewenangan atribusi. Selain berdasarkan kewenangan
konstitusional (the original power), keputusan presiden dapat juga dikeluarkan
sebagai delegasi, keputusan presiden ditetapkan untuk melaksanakan perintah UUD
1945, UU/Perpu, atau PP. jadi, sebagai peraturan delegasi, keputusan presiden
mempunyai cakupan yang lebih luas daripada PP (hanya untuk menjalankan undang-
undang).
Jika melihat pada ketentuan tersebut, maka tindakan pemberian grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi bukan merupakan suatu bentuk proses yustisial karena tidak
didasarkan pada pertimbangan hukum, melainkan hanya atas dasar pertimbangan
kemanusiaan atau pertimbangan lain di luar hukum seperti pertimbangan politik dan
sebagainya (Bagir Manan, 2003). Dengan digunakannya diksi “memperhatikan
pertimbangan” maka jelas bahwa apapun pertimbangan yang diberikan, Presiden tetap
bisa memberikan pengampunan tersebut karena pertimbangan itu tidak dapat
digunakan sebagai pembatal atas keputusan Presiden. Ada pendapat lain yang
menyatakan bahwa pemberian pengampunan tersebut merupakan hak konstitusional
presiden dan bukan merupakan campur tangan presiden dalam bidang yudikatif.
Penggunaan hak konstitusional tersebut tentu tidak akan mereduksi kekuasaan
kehakiman dengan alasan bahwa kekuasaan kehakiman itu sendiri merupakan
kekuasaan yang merdeka dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun demi
tegaknya keadilan.
A. Impeachment Presiden
Pada naskah akhir yang disahkan, nama BPA diubah lagi menjadi Dewan
Pertimbangan Agung (DPA). Ketentuan mengenai DPA termasuk ke dalam Bab IV
UUD 1945, dengan judul Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Isinya hanya satu
pasal, yaitu pasal 16 yang terdiri dari dua ayat. Ayat (1) menyatakan bahwa “Susunan
Dewan Pertimbangan Agung ditetapkan dengan Undang-Undang”. Ayat (2)
menyatakan, “Dewan ini berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan Presiden
dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah”.
Menurut Bagir Manan, dalam naskah yang akhirnya disahkan, istilah yang dipakai
adalah Dewan Pertimbangan Agung, dengan fungsi :
DPA Masa Revolusi Fisik & UUDS ketika Konstitusi RIS 1949 dan UUDS
1950 dirumuskan, lembaga DPA ini tidak dicantumkan lagi dalam UUD, karena
dianggap tidak diperlukan lagi. DPA sementara itu diketuai langsung oleh Presiden
Soekarno, seperti Raad van State di Negeri Belanda. Tetapi Wakil Ketua DPAS ini
diberikan kedudukan oleh Presiden sebagai eks-officio Menteri.
Setelah disahkan Perubahan keempat UUD 1945 oleh MPR pada sidang
Tahunan MPR Tahun 2002, status konstitusional DPA sebagai “Lembaga Tinggi
Negara” telah dihapus keberadaannya. Rumusan Pasal 16 asli UUD 1945 yang
menjadi dasar pembentukan DPA selama ini, diubah secara mendasar, sehingga
keberadaanna secara konstitusional tidak dapat dipertahankan lagi.
1. Kedudukan Wantimpres
Sesuai dengan amanat Pasal 16 UUD 1945, Presiden membentuk suatu
dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan
kepada Presiden yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Sebelum
amandemen ke-empat UUD 1945 pada tahun 2002, undang-undang yang
mengatur tentang Dewan Pertimbangan Presiden adalah Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1978 Tentang Perubahan dan Penyempurnaan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1967 Tentang Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kedudukan Wantimpres ini berbeda dengan sebelum amandemen ke-
empat UUD 1945 tahun 2002, dimana Dewan Pertimbangan Presiden yang
dulu lebih dikenal dengan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), termasuk salah
satu dari lima Lembaga Tinggi Negara dalam struktur ketatanegaraan
Republik Indonesia.
2. Tugas Wantimpres
Berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 19 Tahun 2006 Tentang Dewan
Pertimbangan Presiden kemudian diatur dalam Pasal 3 dan 4 Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2007 tentang Tata Kerja Wantimpres dan
Sekretariat Wantimpres, tugas Wantimpres adalah memberikan nasihat dan
pertimbangan (Nastim) kepada Presiden dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahan negara.
Nastim yang diajukan oleh Wantimpres secara kelembagaan
merupakan Nastim yang disetujui secara mufakat oleh seluruh anggota
Wantimpres dan ditetapkan berdasarkan rapat yang dihadiri paling sedikit oleh
5 (lima) orang anggota Wantimpres dan ditandatangani oleh ketua
Wantimpres.
Sesuai dengan Pasal 6 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006,
Anggota Wantimpres tidak dibenarkan memberikan keterangan, pernyataan,
dan/atau menyebarluaskan isi Nastim kepada pihak manapun.
3. Keanggotaan Wantimpres
Sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 dan
kemudian diatur dalam Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2007, jumlah Anggota Wantimpres adalah sembilan orang yang
terdiri dari seorang ketua merangkap anggota serta delapan orang anggota.
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan Pertimbangan
Presiden, Presiden dapat melakukan pembidangan, antara lain bidang politik,
pertahanan dan keamanan, bidang ekonomi dan keuangan, dan bidang
kesejahteraan rakyat.
a) Persyaratan Menjadi Anggota Wantimpres
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Wantimpres, seseorang
harus memenuhi delapan persyaratan seperti diamanatkan dalam Pasal
8 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006.
1) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
2) Warga negara Indonesia
3) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 dan
cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945
4) Mempunyai sifat kewarganegaraan
5) Sehat jasmani dan rohani
6) Jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela
7) Tidak pernah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 (lima)
tahun atau lebih
8) Mempunyai keahlian tertentu di bidang pemerintah negara
b) Ketentuan Anggota Dari Unsur PNS, TNI, dan Polri
Berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2006 tidak ada larangan
bagi Pegawai Negeri menjadi Anggota Wantimpres, sebagaimana
tersirat dalam Pasal 12 UU Nomor 19 Tahun 2006 yang kemudian
diatur selanjutnya berdasarkan Pasal 6, 7, dan 8 Peraturan Presiden RI
Nomor 10 Tahun 2007.
Pasal 6 ayat (1) menyebutkan “Anggota Wantimpres dapat
berasal dari Pegawai Negeri atau bukan Pegawai Negeri”. Selanjutnya
ayat (2) menyebutkan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai
Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
c) Pemberhentian Anggota Wantimpres
Sejak amandemen ke-4 UUD 1945, lembaga Dewan
Pertimbangan Presiden berada dibawah Presiden, maka pemberhentian
Anggota Wantimpres merupakan kewenangan Presiden. Tetapi harus
sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang diatur dalam Pasal 11
Undang-Undang tentang Dewan Pertimbangan Presiden, seorang
Wantimpres diberhentikan dari jabatannya karena ima alasan, yaitu :
1) Meninggal dunia
2) Mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis
3) Tidak dapat melaksanakan tugas selama 6 (enam) bulan secara
berturut-turut
4) Tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8
5) Alasan lain yang ditentukan oleh Presiden.
DAFTAR PUSTAKA
Agesa, 2020. “LEMBAGA KEPRESIDENAN (STUDI PERBANDINGAN
ANTARA INDONESIA DENGAN NEGARA REPUBLIK KOREA
SELATAN”. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lembaga, U., Pertimbangan, D., Dalam, P., Indonesia, S. K., Studi, P.,
Hukum, I., Syariah, F., Hukum, D. A. N., & Hidayatullah, S. (2018). YUSRI
WAHYUNI.