Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam

kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak

hanya dimulai dari sutu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak waktu permulaan

kehidupan. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran misalnya

kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih,

gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,

gerakan lambat, figur tubuh yang tidak proporsional. Sering kali keberadaan lanjut

usia dipersepsikan secara negatif, dianggap sebagai beban keluarga dan

masyarakat sekitarnya. Kenyataan ini mendorong semakin berkembangnya

anggapan bahwa menjadi tua itu identik dengan semakin banyaknya masalah

kesehatan yang dialami oleh lanjut usia. Lanjut usia cenderung dipandang

masyarakat tidak lebih dari sekelompok orang yang sakit-sakitan. Persepsi ini

muncul karenamemandang lanjut usia hanya dari kasus lanjut usia yang sangat

ketergantungan dan sakit-sakitan. Persepsi seperti ini tidak tentu semuanya benar

banyak pula yang lanjut usia justru berperang aktif, tidak saja dalam keluarganya,

tetapi juga dalam masyarakat sekitarnya. (Wahyudi Nugroho, 2012 ).

WHO dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lanjut Usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun

11
2

adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan

proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang kumulatif,

merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan

dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian. ( Wahyudi Nugroho,

2012 ). Saat ini, di seluruh dunia, jumlah lanjut usia diperkirakan lebih dari 629

juta jiwa ( satu dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun ), dan pada tahun 2025,

lanjut usia akan mencapai 1,2 milyar. Di negara maju, pertambahan

populasi/penduduk lanjut usia telah diantisipasi sejak awal abad ke-20. Tidak

heran bila masyarakat dinegara maju sudah lebih siap menghadapi pertambahan

populasi lanjut usia dengan aneka tantangannya. Namun, saat ini, negara

berkembang pun mulai menghadapi masalah yang sama. Fenomena ini jelas

mendatangkan sejumlah konsekuensi, antara lain timbulnya masalah fisik, mental,

social, serta kebutuhan pelayanan kesehatan dan keperawatan, terutama kelainan

degeneratif.(Wahjudi Nugroho, 2012).

Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2010, Jumlah lansia tahun

2009 sejumlah 18.425.000 jiwa dan tahun 2010 sejumlah 19.036.000 jiwa, dilihat

dari jumlah tersebut terjadi peningkatan lansia di Indonesia. Di Bali menurut data

BPS Provinsi Bali jumlah lansia di Bali pada tahun 2011 sebanyak 371.900 jiwa,

pada tahun 2012 sebanyak 680.114 jiwa dan pada tahun 2013 sebanyak 988.329

jiwa (BPS Provinsi Bali, 2013). Saat umur telah memasuki usia lansia, penyakit

akan bermunculan. Penyakit yang sering mucul pada usia lansia yaitu penyakit

rematik. Penyakit rematik adalah penyakit yang tidak hanya menyerang sendi,

tetapi juga menyerang organ atau bagian tubuh lainnya. Secara umum, penyakit
3

rematik adalah penyakit yang menyerang sendi dan struktur atau jaringan

penunjang di sekitar sendi.

Penyakit rematik yang paling umum adalah osteoarthritis akibat

degenerasi atau proses penuaan, arthritis rematoid (penyakit autoimun), dan goat

karena asam urat tinggi. (Iskandar Junaidi, 2012). Rematik adalah penyakit yang

menyerang anggota tubuh yang bergerak, yaitu bagian tubuh yang berhubungan

antara yang satu dengan yang lain dengan perantaraa persendian, sehingga

menimbulkan rasa nyeri. Semua jenis rematik menimbulkan rasa nyeri yang

mengganggu. Kemampuan gerak seseorang dapat terganggu oleh adanya penyakit

rematik Penyakit yang kronis dapat mengakibatkan gangguan gerak, hambatan

dalam bekerja maupun melaksanakan kegiatan sehari-hari sehingga dapat

menimbulkan frustasi atau gangguan psikososial penderita dan keluarganya

(Basudewa,2009). Ada beberapa factor penyebab penyakit rematik pada lansia

yaitu factor pola makan dan aktifitas fisik. Penderita rematik juga harus menjaga

pola makan , sebab jika sembarangan memakan makanan pasti penyakit rematik

akan bertambah parah . Makanan bisa menjadi sumber penyakit dan obat bagi

penyakit bagi tubuh. Selain makanan aktivitas fisik juga penting karena akan

membantu lancarnya peredaran darah dalam tubuh. Namun tidak banyak lansia

yang memahami hal tersebut.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati, dkk (2006) tentang

“Nyeri musculoskeletal dan hubungannya dengan kemampuan fungsional dan

fisik pada lanjut usia” menunjukkan bahwa saat seseorang memasuki usia lansi

kemampuan fungsional dan aktifitas fisiknya mengalami penurunan. Salah satu


4

penyebabnya yaitu gaya hidup seperti kurangnya olahraga, pola istirahat yang

tidak teratur dan pola makan yang kurang gizi. Gaya hidup yang tidak baik

menimbulkan keluhan-keluhan penyakit persendian, seperti osteoatritis dan

rheumatoid atritis.

Fenomena tersebut juga terjadi di desa Sidembunut, Kabupaten Bangli

yang termasuk dalam cakupan wilayah UPT Puskesmas Bangli Utara. Puskesmas

Bangli Utara memiliki jumlah lansia 3480 orang lansia baik jenis kelamin

perempuan maupun laki-laki. Selain desa sidembunut, Puskesmas Bangli Utara

juga menaungi wilayah Kelurahan Kubu, Pengotan, Cempaga. Dari hasil studi

pendahuluan diperoleh data bahwa ketiga kelurahan yang termasuk dalam wilayah

Puskesmas Bangli Utara, Kelurahan Cempaga dan lebih khusus yaitu Desa

Sidembunut memiliki kejadian rematik paling banyak. Desa Sidembunut,

Kelurahan Cempaga, adalah desa yang terletak di 8 kilometer dari pusat kota

Bangli. Desa ini masuk dalam kelurahan cempaga, kecamatan Bangli yang

memiliki jumlah lansia yang terdaftar tahun 2014 adalah sebanyak 334 lansia.

Dari hasil wawancara dengan petugas posyandu lansia di desa sidembunut pada

bulan Agustus 2015, lansia di pedesaan khususnya di desa sidembunut jarang

melakukan aktifitas fisik dan mengatur pola makan yg baik. Lansia di pedesaan

cenderung makan yang tidak bergizi dan enggan melakukan olahraga atau

aktifitas fisik yang menunjang kesehatannya. Dilihat dari posyandu dan senam

lansia yang dilakukan setiap 6 bulan di desa sidembunut, dari 334 lansia yang

terdata, hanya 20-25 orang yang menghadiri acara posyandu dan senam lansia

yang dilaksanakan oleh petugas kesehatan setempat. Menurut petugas kesehatan


5

setempat, kegiatan posyandu dan senam lansia yang dilaksanakan memberi

manfaat yang baik untuk kesehatan lansia di desa sidembunut. Dengan

diperolehnya data pendahuluan tersebut maka peneliti tertarik meneliti tentang

hubungan pola makan dan aktivitas fisik dengan kejadian rematik di desa

Sidembunut, Bangli.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka dapat dilihat bahwa kejadian

rematik cukup banyak di Desa Sidembunut, Kelurahan Cempaga, Bangli yang

termasuk dalam cakupan wilayah Puskesmas Bangli Utara. Puskesmas Bangli

Utara juga menaungi wilayah Kelurahan Kubu, Pengotan, Cempaga. Dari hasil

studi pendahuluan diperoleh data bahwa ketiga kelurahan yang termasuk dalam

wilayah Puskesmas Bangli Utara, Kelurahan Cempaga dan lebih khusus yaitu

Desa Sidembunut dengan jumlah 334 lansia yang terdaftar di desa Sidembunut.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Apakah pola makan dan aktivitas fisik pada lansia berhubungan dengan

kejadian rematik di Desa Sidembunut, kelurahan cempaga, kabupaten Bangli

tahun 2015?
6

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pola makan dan aktivitas fisik dengan

kejadian rematik pada lansia di Desa Sidembunut, Kelurahan Cempaga,

Kabupaten Bangli tahun 2015.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui seberapa besar kejadian rematik pada lansia

berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, dan pekerjaan di Desa

Sidembunut Bangli tahun 2015.

b. Untuk mengetahui seberapa besar hubungan pola makan dengan kejadian

rematik pada lansia di Desa Sidembunut, Kelurahan Cempaga, Kabupaten

Bangli tahun 2015.

c. Untuk mengetahui seberapa besar hubungan aktivitas fisik dengan

kejadian rematik pada lansia di Desa Sidembunut, Kelurahan Cempaga,

Kabupaten Bangli tahun 2015.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Praktis

1. Bagi peneliti, sebagai bahan belajar dan meningkatkan wawasan

pengetahuan khususnya tentang hubungan pola makan dan aktifitas fisik

terhadap kejadian rematik pada lansia.


7

2. Bagi UPT. Puskesmas Bangli Utara, penelitian diharapkan dapat menjadi

referensi dan masukan untuk pihak puskesmas dalam mengidentifikasi

kejadian rematik pada lansia serta faktor resiko yang mempengaruhi

meningkatnya kejadian rematik tersebut.

3. Bagi lansia di desa sidembunut, penelitian ini diharapkan menjadi acuan

agar menjaga pola hidup sehat, yang salah satunya dengan menjaga pola

makan serta melakukan aktifitas fisik sehingga kejadian rematik tidak

meningkat setiap waktunya.

1.5.2 Manfaat Teoritis

1. Hasil penelitian sebagai sumbangan referensi dan pemikiran bagi

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan, khususnya

keperawatan gerontik.

2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan kepustakaan dan

informasi awal untuk melakukan penelitian selanjutnya.


8

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Lansia

2.1.1 Defenisi Lansia

Dari beberapa referensi yang ada menjelaskan bahwa pengertian lanjut

usia menurut undang-undang No. 4 tahun 1965 adalah seseorang yang mencapai

55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan

hidupnya sehari-hari (Darmojo & Martono, 2006). Sedangkan menurut undang-

undang No. 13 tahun dinyatakan bahwa usia 60 tahun keatas disebut sebagai

lanjut usia (Noorkasiani, 2009).

Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis yang

dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang diterapkan berdasarkan

pematangan jaringan dan usia psikologis yang dikaitkan dengan kemampuan

seseorang untuk dapat mengadakan penyesuaian terhadap setiap situasi yang

dihadapinya (Noorkasiani, 2009).

Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia.

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu

waktu terrtentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua

merupakan suatu proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Memasuki usia tua berarti mengalami

kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang

mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,

7
9

penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak

proporsional (Nugroho, 2008). Jadi usia lanjut dapat kita artikan sebagai

seseorang yang berusia 60 tahun keatas dimana proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya.

2.1.2 Batasan Usia Lanjut

Batasan umur lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut

usia meliputi usia pertengahan (middle age) adalah kelompok usia 45-59 tahun,

usia lanjut (elderly) adalah kelompok usia antara 60-70 tahun, usia lanjut tua (old)

adalah kelompok usia antara 71-90 tahun, usia sangat tua (very old) adalah

kelompok usia di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Depkes RI (2011), dalam

kategori umur lansia, usia 45-59 tahun termasuk dalam pra lansia, lansia antara

umur 60-69 tahun, lansia beresiko kelompok usia > 70 tahun.

2.1.3. Perubahan-Perubahan yang terjadi pada Lansia

a. Perubahan Pada Sistem Gastrointestinal

Proses penuaan memberikan pengaruh pada setiap bagian dalam saluran

gastrointestinal (GI) dalam beberapa derajat. Namun, karena luasnya persoalan

fisiologis pada sistem gastrointestinal, hanya sedikit masalah-masalah yang

berkaitan dengan usia yang dilihat dalam kesehatan lansia. Banyak masalah-

masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia lebih erat dihubungkan dengan

gaya hidup mereka. Mitos umum dikaitkan dengan fungsi normal saluran
10

gastrointestinal dan perubahan-perubahan kebutuhan nutrisi lansia (Stanley,

2007).

1) Rongga Mulut

Bagian rongga mulut yang lazim terpengaruh adalah gigi, gusi, dan lidah.

Kehilangan gigi penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa terjadi

setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi

yang buruk. Indera pengecap menurun disebabkan adanya iritasi kronis dari

selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf

pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, hilangnya sensitivitas dari syaraf

pengecap tentang rasa asin, asam, dan pahit (Nugroho, 2008).

2) Esofagus

Esophagus mengalami penurunan motilitas, sedikit dilatasi atau pelebaran

seiring penuaan. Sfingter esophagus bagian bawah (kardiak) kehilangan tonus.

Refleks muntah pada lansia akan melemah, kombinasi dari faktor-faktor ini

meningkatkan resiko terjadinya aspirasi pada lansia (Luecknotte, 2000).

3) Lambung

Terjadi atrofi mukosa. Atrofi dari sel kelenjar, sel parietal dan sel chief

akan menyebabkan sekresi asam lambung, pepsin dan faktor intrinsik berkurang.

Ukuran lambung pada lansia menjadi lebih kecil, sehingga daya tampung

makanan menjadi berkurang. Proses perubahan protein menjadi peptone

terganggu. Karena sekresi asam lambung berkurang rangsang lapar juga

berkurang (Darmojo & Martono, 2006). Kesulitan dalam mencerna makanan

adalah akibat dari atrofi mukosa lambung dan penurunan motalitas lambung.

Atrofi mukosa lambung merupakan akibat dari penurunan sekresi asam hidrogen-
11

klorik (hipoklorhidria), dengan pengurangan absorpsi zat besi, kalsium, dan

vitamin B 12. Motilitas gaster biasanya menurun, dan melambatnya gerakan dari

sebagian makanan yang dicerna keluar dari lambung dan terus melalui usus halus

dan usus besar (Stanley, 2007).

4) Usus Halus

Mukosa usus halus juga mengalami atrofi, sehingga luas permukaan

berkurang, sehingga jumlah vili berkurang dan sel epithelial berkurang. Di daerah

duodenum enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu juga menurun,

sehingga metabolisme karbohidrat, protein, vitamin B12 dan lemak menjadi tidak

sebaik sewaktu muda (Leueckenotte, 2000).

5) Usus Besar dan Rektum

Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk penurunan

sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltic kolon yang melemah gagal

mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan konstipasi (Leueckenotte, 2000).

Pada usus besar kelokan-kelokan pembuluh darah meningkat sehingga motilitas

kolon menjadi berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan

elektrolik meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses

menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan keluhan

yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang seharusnya dibantu oleh

kontraksi dinding abdomen juga seringkali tidak efektif karena dinding abdomen

sudah melemah (Darmojo & Martono, 2006).

6) Pankreas

Produksi enzim amilase, tripsin dan lipase akan menurun sehingga

kapasitas metabolisme karbohidrat, protein dan lemak juga akan menurun. Pada
12

lansia sering terjadi pankreatitis yang dihubungkan dengan batu empedu. Batu

empedu yang menyumbat ampula Vateri akan menyebabkan oto-digesti parenkim

pankreas oleh enzim elastase dan fosfolipase-A yang diaktifkan oleh tripsin dan/

atau asam empedu (Darmojo & Martono, 2006). 14

7) Hati

Hati berfungsi sangat penting dalam proses metabolisme karbohidrat,

protein dan lemak. Disamping juga memegang peranan besar dalam proses

detoksikasi, sirkulasi, penyimpanan vitamin, konjugasi billirubin dan lain

sebagainya. Dengan meningkatnya usia, secara histologik dan anatomik akan

terjadi perubahan akibat atrofi sebagiab besar sel, berubah bentuk menjadi

jaringan fibrous. Hal ini akan menyebabkan penurunan fungsi hati (Darmojo &

Martono, 2006). Proses penuaan telah mengubah proporsi lemak empedu tanpa

perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Faktor ini memengaruhi

peningkatan sekresi kolesterol. Banyak perubahan-perubahan terkait usia terjadi

dalam sistem empedu yang juga terjadi pada pasien-pasien yang obesitas (Stanley,

2007).

b. Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal

Menurut Lueckenotte (2000), tulang-tulang pada sistem skelet (rangka)

membentuk fungsi penunjang, pelindung, gerakan tubuh dan penyimpanan

mineral. Jaringan otot rangka melekat pada rangka dan bertanggung jawab untuk

gerakan tubuh volunter. Persendian diklasifikasikan secara struktural dan

fungsional. Klasifikasi struktural didasarkan pada ikatan materi tulang dan apakah
13

ada rongga persendian. Klasifikasi fungsional didasarkan pada jumlah gerakan

yang dimungkinkan pada persendian. Bila artikulasis di antara tambahan tulang,

sendi menahan tulang dan memungkinkan gerakan.

Penurunan progresif pada massa tulang total terjadi sesuai proses penuaan.

Beberapa kemungkinan penyebab dari penurunan ini meliputi ketidakaktifan fisik,

perubahan hormonal dan resorpsi tulang. Efek penurunan tulang adalah makin

lemahnya tulang : vertebra lebih lunak dan dapat terteka dan tulang berbatang

panjang kurang tahanan terhadap penekukan dan menjadi lebih cenderung fraktur.

Serat otot rangka berdegenerasi. Fibrosis terjadi saat kolagen menggantikan otot,

mempengaruhi pencapaian suplai oksigen dan nutrisi. Massa, tonus, dan kekuatan

otot semuanya menurun : otot lebih menonjol dari ekstremitas yang menjadi kecil

dan lemah, dan tangan kurus dan tampak bertulang. Penyusupan dan sklerosis

pada tendon dan otot mengakibatkan perlambatan respon selama tes refleks

tendon.

Menurut Pujiastuti (2003), perubahan muskuloskeletal antara lain pada

jaringan penghubung, kartilago, tulag, otot dan sendi.

1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, kartilago, dan

jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan penurunan

hubungan pada jaringan kolagen, merupakan salah satu alasan penurunan

mobilitas pada jaringan tubuh. Sel kolagen mencapai puncak mekaniknya karena

penuaan, kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang

merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitas

dan kuantitasnya.
14

Perubahan pada kolagen ini merupakan penyebab turunnya fleksibilitas

pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan

untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri,

jongkok dan berjalan dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Upaya

fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan latihan untuk

menjaga mobilitas.

2) Kartilago

Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami

granulasi akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selanjutnya kemampuan

kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke

arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matrik kartilago,

berkurang atau hilang secara bertahap sehingga jaringan fibril pada kolagen

kehilangan kekuatannya dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi.

Kartilago mengalami klasifikasi di beberapa tempat seperti pada tulang rusuk dan

tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif tidak hanya sebagai peredam kejut,

tetapi sebagai permukaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya kartilago pada

persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan.

Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kakakuan, nyeri,

keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas sehari-hari. Untuk mencegah

kerusakan lebih lanjut dapat diberikan teknik perlindunga sendi.

3) Sistem Skeletal

Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami

penurunan. Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem skeletal
15

akibat proses menua: Penurunan tinggi badan secara progresif karena

penyempitan didkus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis.

Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan

penampilan barrel-chest. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang

berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban gerakan rotasi dan lengkungan.

Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur (Stanley, 2007).

4) Sistem Muskular

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat

proses menua: Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang.

Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang

kurang aktif. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan

sendi, penyusutan dan sklerosis tendon dan otot, dan perubahan degeneratif

ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan fleksi (Stanley, 2007).

5) Sendi

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses

menua: Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini

adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi dan deformitas. Kekakuan

ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera

(Stanley, 2007).

c. Perubahan pada Sistem Persarafan

Sistem neurologis, terutama otak adalah suatu faktor utama dalam

penuaan. Neuron-neuron menjadi semakin komplek dan tumbuh, tetapi neuron-


16

neuron tersebut tidak dapat mengalami regenerasi. Perubahan struktural yang

paling terlihat tejadi pada otak itu sendiri. Walaupun bagian lain dari sistem saraf

pusat juga terpengaruh. Perubahan ukuran otak yang dipengaruhi oleh atrofi girus

dan dilatasi sulkus dan ventrikel otak. Korteks serebal adalah daerah otak yang

paling besar dipengaruhi oleh kehilangan neuron. Penurunan aliran darah serebral

dan penggunaan oksigen dapat pula terjadi dengan penuaan.

Menurut Pujiastuti (2003), lanjut usia mengalami penurunan koordinasi

dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan

penurunan persepsi sensorik dan respon motorik pada susunan saraf pusat. Hal ini

terjadi karena SSP pada lanjut usia mengalami perubahan. Berat otak pada lansia

berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada

otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf

banyak mengalami kematian, sedang yang hidup banyak mengalami perubahan.

Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel mengalami perubahan menjadi

lebih tipis dan kehilangan kontak antar sel. Daya hantar saraf mengalami

penurunan 10% sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis

menurun 37%. Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan kognitif, koordinasi,

keseimbangan, kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan waktu reaksi. Hal itu

dapat dicegah dengan latihan koordinasi dan keseimbangan.

d. Perubahan pada Sistem Endokrin

Kelenjar endokrin dapat mengalami kerusakan yang bersifat age-related

cell loss, fibrosis, infiltrasi limfosit, dan sebagainya. Perubahan karena usia pada

reseptor hormon, kerusakan permeabilitas sel dan sebagainya, dapat menyebabkan


17

perubahan respon inti sel terhadap kompleks hormon-reseptor (Darmojo &

Martono, 2006). Perubahan pada sistem endokrin akibat penuaan antara lain

produksi dari hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya

tidak berubah, terjadinya pituitari yaitu pertumbuhan hormon ada tetapi lebih

rendah dan hanya di dalam pembuluh darah; berkurang produksi ACTH, TSH,

FSH, dan LH. Menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic

Rate) dan menurunnya daya pertukaran zat. Menurunnya produksi aldosteron dan

menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen dan

testosteron (Nugroho, 2008).

2.2 Reumatic (Rematik)

2.2.1 Definisi Rheumatik

Rematik adalah penyakit yang menyerang bagian tubuh pada anggota

gerak, seperti pada sendi, otot, tulang dan jaringan sekitar sendi.

Rematik adalah orang yang menderita rheumatism(Encok) , arthritis

(radang sendi) ada 3 jenis arthritis yang paling sering diderita adalah

osteoarthritis ,arthritis goud, dan rheumatoid artirtis yang menyebabkan

pembengkakan benjolan pada sendi atau radang pada sendi secara serentak.

(Sutomo.2005:60) Penyakit rematik meliputi cakupan luas dari penyakit yang

dikarakteristikkan oleh kecenderungan untuk mengefek tulang, sendi, dan jaringan

lunak (Soumya, 2011).

Penyakit rematik dapat digolongkan kepada 2 bagian, yang pertama

diuraikan sebagai penyakit jaringan ikat karena ia mengefek rangka pendukung

(supporting framework) tubuh dan organ-organ internalnya. Antara penyakit yang


18

dapat digolongkan dalam golongan ini adalah osteoartritis, gout, dan fibromialgia.

Golongan yang kedua pula dikenali sebagai penyakit autoimun karenaia terjadi

apabila sistem imun yang biasanya memproteksi tubuh dari infeksi danpenyakit,

mulai merusakkan jaringan-jaringan tubuh yang sehat. Antara penyakityang dapat

digolongkan dalam golongan ini adalah rheumatoid artritis,spondiloartritis, lupus

eritematosus sistemik dan skleroderma. (NIAMS, 2008).

2.2.2 Faktor Resiko Rematik

Penyebab dari reumatik hingga saat ini masih belum terungkap, namun

beberapa faktor resiko untuk timbulnya reumatik antara lain adalah :

a. Umur.

Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan

adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat

dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak,

jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun.

b. Jenis Kelamin.

Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih

sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara

keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki

dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita

dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis

osteoartritis.

c. Genetic
19

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada

ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal

terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-

anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dan

anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis.

d. Suku

Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya

terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis

paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia.

Osteoartritis lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli dari pada

orang kulit putih.

Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada

frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.

e. Pola makan

Pola makan adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan

jenis makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status

nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit (Depkes RI, 2009).

f. Aktifitas Fisik

Aktifitas fisik adalah pergerakan anggota tubuh yang menyebabkan

pengeluaran tenaga yang sangat penting bagi pemeliharaan kualitas hidup agar

tetap sehat dan bugar sepanjang hari. Olahraga secara teratur dapat membantu

para penderita Atritis Rheumatoid. Dengan berolahraga, nyeri akan berkurang dan
20

otot tidak akan kaku lagi. Bila tidak aktif melakukan olahraga, otot dan sendi akan

semakin lemah. Beberapa olahraga ringan yang dapat dilakukan adalah:

1. Lakukan aerobik ringan seperti naik tangga, berjalan dan menari. Aerobik

ringan ini dapat membantu tubuh tetap bugar serta memengurangi resiko

penyakit jantung dan nyeri sendi. Mulailah melakukan aerobik ringan

untuk beberapa menit setiap hari.Tingkatkan waktunya secara bertahap

dari 5 menit ke 10 menit hingga 60 menit (1 jam).

2. Tambahkan olahraga beban 2-3 kali seminggu. Olahraga yang

menggunakanbeban dapat meningkatkan kekuatan otot serta mobilitasnya

sehingga bisamengurangi nyeri sendi. Gunakan band elastis atau beban.

Mulai menggunakan beban paling ringan yang kemudian ditingkatkan

sedikit demi sedikit.

3. Berenang merupakan salah satu olahraga yang dianjurkan. Berenang akan

membantu memperkuat sendi di seluruh tubuh terutama sendi di pungung,

tangan dan kaki. Untuk permulaannya, berenanglah beberapa menit

dengan bantuan papan pengapung. Tingkatkan waktunya dari beberapa

menit menjadi10 hingga 30 menit (1/2 jam). Ketika sudah terbiasa dengan

air, papan pengapung bisa dilepas.

4. Isometric merupakan salah satu olahraga peregangan yang ringan namun

bagus untuk penderita nyeri sendi. Biasanya peregangan ini sering

dilakukan sebelum melakukan olahraga yang berat. Peregangan banyak

jenis jadi lebih baik mencari orang yang sudah menguasai isometrik

seperti pelatih GYM.


21

2.2.3 Tanda Dan Gejala Reumatik

Menurut Junaidi (2006), gejala utama dari rematik adalah adanya nyeri

pada sendi yang terkena, terutama waktu bergerak. Umumnya timbul secara

perlahan-lahan. Mula-mula terasa kaku, kemudian timbul rasa nyeri yang

berkurang dengan istirahat. Terdapat hambatan pada pergerakan sendi, kaku pagi,

krepitasi, pembesaran sendi dan perubahan gaya jalan. Lebih lanjut lagi terdapat

pembesaran sendi dan krepitasi.

Tanda-tanda peradangan pada sendi tidak menonjol dan timbul

belakangan, mungkin dijumpai karena adanya sinovitis, terdiri dari nyeri tekan,

gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan, antara lain:

a. Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama. Nyeri biasanya bertambah dengan

gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu

kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibandingkan gerakan yang

lain.

b. Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan

sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri.

c. Kaku pagi hari

Pada beberapa pasien, nyeri sendi yang timbul setelah immobilisasi,

seperti duduk dari kursi, atau setelah bangun dari tidur.

d. Krepitasi

Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.


22

e. Pembesaran sendi (deformitas)

Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya (lutut atau

tangan yang paling sering) secara perlahan-lahan membesar.

f. Perubahan gaya berjalan

Hampir semua pasien osteoartritis pergelangan kaki, tumit, lutut atau

panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi

sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien yang

umumnya tua (lansia).

2.2.4 Jenis-jenis Reumatik

Ditinjau dari lokasi patologis maka jenis rematik tersebut dapat dibedakan

dalam dua kelompok besar yaitu rematik artikular dan rematik Non artikular .

Rematik artikular atau arthritis (radang sendi) merupakan gangguan rematik yang

berlokasi pada persendian . diantarannya meliputi arthritis

rheumatoid,osteoarthritis dan gout arthritis. Rematik non artikular atau ekstra

artikular yaitu gangguan rematik yang disebabkan oleh proses diluar persendian

diantaranya bursitis,fibrositis dan sciatica(Hembing,2006)

Rematik dapat dikelompokan dalam beberapa golongan yaitu :

a. Osteoartritis.

b. Artritis rematoid.

c. Olimialgia Reumatik.

d. Artritis Gout (Pirai).


23

a. Osteoartritis.

Osteoartritis (OA) merupakan suatu penyakit yang berkembang dengan

perlahan tetapi merupakan penyakit aktif degenerasi kartilago artikular yang

berhubungan dengan simptom-simptom seperti nyeri sendi, kekakuan, dan

keterbatasan pergerakkan (Dubey, S., & Adebajo, A., 2008). OA membutuhkan

pertimbangan dari 3 area yang bertumpang tindih, yaitu, perubahan patologis,

ciriciri radiologi dan konsekwensi klinis. Secara patologis, terjadi perubahan

dalam struktur kartilago, secara radilogi, terdapat osteofit dan terjadi penyempitan

ruang sendi, dan secara klinis pula terjadi ketidakmampuan dan nyeri. (Kumar, P.,

& Clark, M., 2005). OA dapat terjadi pada semua sendi dalam tubuh, tetapi paling

sering terjadi di pinggul, lutut, dan sendi-sendi pada tangan, dan kaki.

1). Epidemiologi

OA merupakan penyakit dengan prevalensi yang tertinggi dalam

kelompok masyarakat kita dan penyebab kedua tersering dalam ketidakmampuan

pada orang tua di negara-negara barat. Prevalensi OA meningkat dengan usia

karena kondisi yang tidak reversible. Pada usia kurang dari 45 tahun, laki-laki

lebih rentan kena penyakit ini jika dibandingkan dengan wanita, tetapi wanita

lebih rentan kena OA pada usia lebih dari 55 tahun. Pada dekad seterusnya,

didapati kasus OA akan semakin meningkat akibat daripada peningkatan orang

usia lanjut, obesitas, dan kurangnya kebiasaan berolahraga. (Dubey, S., Adebajo,

A., 2008).
24

2). Etiologi

OA primer penyebabnya tidak diketahui. OA sekunder pula penyebabnya

adalah karena kerusakan sendi yang ada sebelumnya (artritis rematik, gout,

arthritis sepsis, penyakit Paget, spondiloartropati seronegatif), penyakit metabolik

(kondrokalsinosis, hemokromatosis bawaan, akromegali) dan penyakit sistemik

(hemofilia, hemoglobinopati, neuropati). (Kumar, P., & Clark, M., 2005)

3). Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang sering dapat dilihat adalah, nyeri sendi, kekakuan

sendi selepas tidak bergerak (terutamanya pada waktu pagi), sendi yang tidak

stabil, kehilangan fungsi, kelembutan pada sendi (joint tenderness), krepitus pada

pergerakkan, pergerakkan terbatas, tahap inflamasi yang bervariasi, dan

pembengkakan tulang. (Kumar, P., & Clark, M., 2005)

4). Diagnosis

Diagnosis OA biasanya berdasarkan tanda-tanda klinis dan radiogafi. Pada

tahap awal, radiografinya bisa normal tetapi penyempitan ruang sendi tampak

nyata apabila kartilago artikuler semakin menghilang. Selain itu, karakteristik

yang dapat diketemui adalah sklerosis tulang subkondral, kista subkondral, dan

osteofitosis.

b. Artritis Rematoid.

Artritis Reumatoid atau Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit

autoimun sistemik (Symmons, 2006). RA merupakan salah satu kelainan

multisistem yang etiologinya belum diketahui secara pasti dan dikarateristikkan

dengan destruksi sinovitis (Helmick, 2008). Penyakit ini merupakan peradangan


25

sistemik yang paling umum ditandai dengan keterlibatan sendi yang simetris

(Dipiro, 2008). Penyakit RA ini merupakan kelainan autoimun yang

menyebabkan inflamasi sendi yang berlangsung kronik dan mengenai lebih dari

lima sendi (poliartritis) (Pradana, 2012).

1). Etiologi Artitis Reumatoid

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiannya

dikorelasikan dengan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan

lingkungan (Suarjana, 2009)

a. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB1 dan faktor ini memiliki

angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

b. Hormon Sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental

Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron

(DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta.

Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2)

dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih

dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang

berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini (Suarjana, 2009).

c. Faktor Infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk

semang (host) dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul

timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).

d. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai

respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian (sequence) asam

amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana

antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host.
26

Sehingga bisa menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host

sehingga mencetuskan reaksi imunologis (Suarjana, 2009)

2). Faktor Resiko Artritis Reumatoid

Faktor resiko dalam peningkatan terjadinya RA antara lain jenis kelamin

perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita RA, umur lebih tua, paparan

salisilat dan merokok. Resiko juga mungkin terjadi akibat konsumsi kopi lebih

dari tiga cangkir sehari, khusunya kopi decaffeinated (suarjana, 2009). Obesitas

juga merupakan faktor resiko (Symmons, 2006).

3). Manifestasi Klinis Artritis Reumatoid

RA dapat ditemukan pada semua sendi dan sarung tendo, tetapi paling

sering di tangan. RA juga dapat menyerang sendi siku, kaki, pergelangan kaki dan

lutut. Sinovial sendi, sarung tendo, dan bursa menebal akibat radang yang diikuti

oleh erosi tulang dan destruksi tulang disekitar sendi (Syamsuhidajat, 2010).

Ditinjau dari stadium penyakitnya, ada tiga stadium pada RA yaitu (Nasution,

2011):

a. Stadium sinovitis.

Artritis yang terjadi pada RA disebabkan oleh sinovitis, yaitu inflamasi

pada membran sinovial yang membungkus sendi. Sendi yang terlibat umumnya

simetris, meski pada awal bisa jadi tidak simetris. Sinovitis ini menyebabkan erosi

permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi (Nasution,

2011). Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, termasuk sendi interfalang

proksimal dan metakarpofalangeal (Suarjana, 2009).

b. Stadium destruksi
27

Ditandai adanya kontraksi tendon saat terjadi kerusakan pada jaringan

sinovial (Nasution, 2011).

c. Stadium deformitas

Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali,

deformitas dan gangguan fungsi yang terjadi secara menetap (Nasution, 2011).

Manifestasi klinis RA terbagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan

manifestasi ekstraartikular (Suarjana, 2009).

Manfestasi artikular RA terjadi secara simetris berupa inflamasi sendi,

bursa, dan sarung tendo yang dapat menyebabkan nyeri, bengkak, dan kekakuan

sendi, serta hidrops ringan (Sjamsuhidajat, 2010). Tanda kardinal inflamasi

berupa nyeri, bengkak, kemerahan dan teraba hangat mungkin ditemukan pada

awal atau selama kekambuhan, namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin

tidak dijumpai pada RA kronik (Surjana, 2009). Sendi-sendi besar, seperti bahu

dan lutut, sering menjadi manifestasi klinis tetap, meskipun sendi-sendi ini

mungkin berupa gejala asimptomatik setelah bertahun-tahun dari onset terjadinya

(Longo, 2012).

c. Artritis Gout (Pirai)

Artritis gout adalah suatu sindrom klinik yang mempunyai gambaran

khusus, yaitu artritis akut. Artritis gout lebih banyak terdapat pada pria dari pada

wanita. Pada pria sering mengenai usia pertengahan, sedangkan pada wanita

biasanya mendekati masa menopause.

Atritis Gout merupakan terjadinya penumpukan asam urat dalam tubuh

dan terjadi kelainan metabolisme purin. Gout merupakan kelompok keadaan


28

heterogenous yang berhubungan dengan defek genetik pada metabolisme purin

(hiperurisemia) (Brunner dan Suddarth, 2012)

b. Etiologi

Gejala artritis akut disebabkan karena inflamasi jaringan terhadap

pembentukan kristal monosodium urat monohidrat. Dilihat dari

penyebabnya penyakit ini termasuk dalam golongan kelainan metabolik.

Kelainan ini berhubungan dengan gangguan kinetik asam urat yaitu

Hiperurisemia.

c. Manifestasi Klinis

1) Artritisakut

Artritis Akut ini bersifat sangat berat. Pasien tidak dapat berjalan

(kalau yang terkena adalah kaki) tidak dapat memakai sepatu dan tidak

dapat terganggu, perasaan sakit sangat hebat (excruciating). Rasa sakit

ini mencapai puncaknya dalam 24 jam setelah mulai timbul gejala

pertama.

2). LokasiSendi

Serangan akut biasnaya bersifat monoartikular disertai gejala lengkap

proses inflamasi yaitu : merah, bengkak, teraba panas dan sakit. Lokasi

yang paling sering pada serangan pertama adalah sendi metaatarso –

falongeal pertama  (MTP–I). Hampir semua kasus lokasi artritis

terutama ada sendi perifer dan jarang pada sendi sentral.

3). Remisi sempurna antara serangan akut (Inter Critical Gout)

Serangan akut dapat membaik pada serangan pertama dan selanjutnya


29

diikuti oleh remisi sempurna sampai serangan berikutnya. Apabila

hiperurisemia (kalau ada) tidak dikoreksi, akan timbul artritis gout

menahun.

4). Hiperurisemia

Keadaan hiperurisemia tidak selalu identik dengan artritis gout akut

artinya tidak selalu artritis gout akut disertai dengan peninggalan kadar

asam urat darah. Banyak orang dengan peninggian asam urat, namun

tidak pernah menderita serangan artritis gout ataupun terdapat tofi.

5). Thopy

Thopy adalah penimbunan kristal urat pada jaringan. Mempunyai sifat

yang karakteristik sebagai benjolan dibawah kulit yang bening dan tofi

paling sering timbul pada seseorang yang menderita artritis gout lebih

dari 10 tahun.

2.3 Penelitian – penelitian terdahulu

Penelitian mengenai pengaruh factor pola makan dan aktivitas fisik

terhadap kejadian rematik pada lansia sudah pernah dilakukan namun dengan

objek dan teknik yang berbeda. Poniyah Simanullang,dkk ( 2011) melakukan

penelitian dengan judul “ Pengaruh Gaya Hidup Terhadap Status Kesehatan

Lanjut Usia (Lansia) Di Wilayah Kerja Puskesmas Darussalam Medan”.

Penelitian ini dilakukan dengan metode analitik observasional dengan rancangan

cross sectional untuk mengetahui hubungan gaya hidup dengan status kesehatan

pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Darussalam, Medan. Total populasinya

adalah 1339 lansia,dan sampel yang diteliti yaitu 107 lansia yang dipilih dengan
30

menggunakan teknik proportional sampling. , dengan menggunakan logistic

regression tests. Kesimpulan yang didapat bahwa gaya hidup seperti pola

makan,ativitas fisik dan kebiasaan istirahatn memiliki pengaruh terhadap status

kesehatan lansia, yang dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif,

penyakit sendi dan tulang sperti rematik,osteoporosis.

Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Suharjono dkk (2014)

dengan judul “ Pengaruh Senam Lansia Terhadap perubahan Nyeri pada

Persendian pada Lansia di Kelurahan Komplek Kenjeran, Kecamatan Bulak,

Surabaya”. Penelitian ini menggunakan desain penelitian quasy experiment.

Sampel penelitian berjumlah 20 responden yang diambil berdasarkan criteria

inklusi dan eksklusi. Sampel dibagi 2 menjadi kelompok control dan perlakuan.

Data di analisa dengan menggunakan wilcoxon test & mann-whitney test dengan

signifikasi ≤0,05. Diperoleh hasil bahwa dengan melakukan aktivitas fisik yg

salah satunya berupa senam lansia dapat mengurangi rasa nyeri pada lansia yang

mengalami nyeri persendian.

Kedua penelitian tersebut memberikan inspirasi pada peneliti untuk

meneliti “ Hubungan pola makan dan aktivitas fisik dalam menurunkan kejadian

rematik pada lansia di Desa Sidembunut, Kelurahan Cempaga, Kabupaten Bangli,

Tahun 2015” dengan menggunakan desain penelitian dan sampel yang berbeda.
31

BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
rematik :
a. Usia
b. Genetik
LANSIA c. Suku
d. Pengaruh
Lingkungan

e. Pola Makan
f. Aktfitas fisik Kejadian
Rematik
menurun

Gambar 3.1 Hubungan Pola Makan dan Aktifitas fisik dengan Kejadian Rematik
Pada Lansia

Sumber : Dimodifikasi dari (Depkes RI, 2009 dan Adelia, 2011)

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis Penelitian adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas

pertanyaan penelitian yang harus diuji validitasnya secara empiris.

( Sastroasmoro,2011)

Adapun hipotesis penelitian ini adalah :

a.Ha : Ada hubungan antara pola makan dan aktifitas fisik dengan

kejadian rematik
32

b. Ho : Tidak ada hubungan antara pola makan dan aktifisik dengan

kejadian rematik

3.3 Variabel dan Definisi Operasional

3.3.1 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah variabel penelitian pada dasarnya adalah segala

sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari

sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik

kesimpulannya ( Sugiyono, 2011). Ada 2 jenis variable penelitian yaitu

dependent variable dan independent variable. Variabel independen sering disebut

variabel stimulus, prediktor, antecedent.

Dalam bahasa Indonesia disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas

adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau

timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel dependen sering disebut variabel

output, kriteria, konsekuen. Dalam bahasa Indonesia disebut variabel terikat.

Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat,

karena adanya variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pola

makan dan aktivitas fisik lansia, sedangkan variable terikat dalam penelitian ini

adalah kejadian rematik pada lansia.

3.3.2 Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah endefinisikan variable secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati yang memungkinkan peneliti untuk


33

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena. (Alimul Hidayat, 2007).

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Skala Alat Ukur Hasil Ukur


Operasional Ukur
1 Rematik Rematik adalah Nominal - Lembar 1. Rematik
penyakit yang observa 2. Tidak
menyerang si Rematik
bagian tubuh
pada anggota
gerak, seperti
pada sendi,
otot, tulang dan
jaringan sekitar
sendi. Terdapat
beberapa jenis
penyakit
rematik
diantaranya
arthritis
rheumatoid dan
atritis gout

2 Pola Pola makan Ordinal Cara pengukuran Pola Makan baik


makan adalah suatu cara menggunakan : 75-100% %
atau usaha dalam kuesioner, yang Pola Makan
pengaturan berupa pilihan Kurang baik : <
jumlah dan jenis ganda, dengan 75%
makanan dengan skor masing- (Nursalam,2008)
maksud tertentu masing jawaban
seperti yaitu:
mempertahankan - Jawaban A
kesehatan, status (skor 1)
nutrisi, - Jawaban B
mencegah atau (skor 0 )
membantu
kesembuhan
penyakit

3. Aktifitas pergerakan
34

Fisik anggota tubuh Ordinal Cara pengukuran -tingkat


yang menggunakan aktifitas fisik
menyebabkan kuesioner terstruktur baik> 75%
pengeluaran dengan menggunkan -Tingkat
tenaga yang skala likert. aktifitas fisik
sangat penting Kuesioner terdiri kurang <
bagi dari 10 pernyataan 75%
pemeliharaan dengan pilihan : (Pratomo,
kualitas hidup ya (skor 2) 2005)
agar tetap sehat - tidak(skor 1)
dan bugar
sepanjang hari
35

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan deskriptif

kuantitatif dan rancangan cross sectional yang merupakan metode penelitian

untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor faktor risiko dengan efek

dengan cara pendekatan, observasi, atau pengumpulan data sekaligus pada suatu

saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2005).

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Lingkungan Banjar Sidembunut, Kelurahan

Cempaga di Kabupaten Bangli. Waktu penelitian adalah sejak penyusunan

proposal dari bulan September 2015 – Januari 2016.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010). Populasi

terjangkau dalam penelitian ini ialah seluruh lansia yang bertempat tinggal di

Banjar Sidembunut, Kelurahan Cempaga di Kabupaten Bangli. Total populasi

lansia 334 orang.

30
36

4.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut, sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul

representative atau mewakili (Sugiyono A,2010). Sample dalam penelitian ini

diambil berdasarkan kriterian inklusi dan eksklusi kepada lansia di Lingkungan

banjar Sidembunut, Kelurahan Cempaga, Kabupaten Bangli. Kriteria inklusi dan

eksklusi yaitu sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi :

1). Lansia umur > 45 tahun. Dalam kategori umur, usia 45-59 tahun termasuk

dalam pra lansia, lansia antara 60-69 tahun, lansia beresiko > 70 tahun

( Depkes RI, 2011).

2). Pasien yang bersedian menjadi responden

b. Kriteria Eksklusi :

1). Lansia yang mengalami sakit berat.

2). Pasien yang tidak bisa baca tulis.

Besaran sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan rumus

Lameshow sebagai berikut ( Sastroasmoro, 2011):

n = (Z1-α/2)2.PqN

d2(N-1)+(z1-α/2)Pq

Keterangan:

n : Besar sample

N : Besar populasi
37

Z : Tingkat kepercayaan sebesar 95%= 1,96

P : proporsi subyek (0,24)

d : Tingkat presisi sebesar 10%= 0,1

q : 1-p 0,76

Berdasarkan rumus tersebut maka besar sampel minimal yang diperlukan

dalam penelitian ini adalah 81 orang.

4.3.3 Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampling yang digunakan dalam penelitian ini ialah

Non-probability Sampling. Teknik ini merupakan teknik yang tidak

memberikan peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sugiyono, 2010). Dalam penelitian ini

penentuan sampel diambil berdasarkan salah satu teknik dari teknik non-

probability sampling yaitu teknik purposive sampling. Teknik purposive

sampling adalah teknik pengambilan sampel yang dilakukan dengan memilih

satuan sampling atas dasar pertimbangan dari peneliti (Sastroasmoro, 2011).

Sampel diambil berdasarkan kriterian inklusi dan eksklusi kepada lansia yang

memiliki keluhan rematik di Desa Sidembunut, Kelurahan

Cempaga,Kabupaten Bangli.

Dengan menggunakan teknik Purposive Sampling didapatkan jumlah sampel

sebanyak 81 responden.
38

4.4 Pengumpulan Data

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan alat ukur berupa

kuesioner, yang terdiri dari pertanyaan tertutup. Seluruh pertanyaan yang terdapat

pada kuisioner diisi oleh responden yaitu lansia di Desa Sidembunut, Kelurahan

Cempaga, Kabupaten Bangli. Sebelumnya kuesioner akan diuji coba untuk kepada

20 lansia dengan keluhan rematik di Desa kubu, Kelurahan ,Kabupaten Bangli

untuk menilai keabsahan kuesioner tersebut.

4.5 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

4.5.1 Teknik Pengolahan Data

a. Editing

Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para

pengumpul data. Tujuannya adalah mengurangi kesalahan atau kekurangan

yang ada didaftar pertanyaan.

b. Coding

Coding adalah mengklasifikasi jawaban dari para responden ke dalam

kategori.

1. Variabel Rematik

Dalam aspek rematik, peneliti menggunakan lembar observasi. Lembar

observasi ialah sebuah daftar jenis kegiatan yang mungkin timbul dan

diamati. Dalam proses observasi, observatory ( pengamat) memberikan

tanda atau tally pada kolom tempat peristiwa itu muncul

( Arikunto,2009). Peneliti menggunakan daftar checklist sebagai alat


39

pengumpulan data. Terdapat 10 pedoman dalam lembar observasi untuk

menggolongkan lansia yang terkena rematik atau tidak.

2. Variabel factor pola makan

Variabel pola makan diukur dengan pertanyaan tertutup dengan

pilihan ganda yang berjumlah 5 pertanyaan dengan memilih pilihan a atau b.

masing- masing pilihan memiliki skor tertentu.

3.Variabel aktivitas fisik

Pengukuran aktivitas fisik berupa pertanyaan tertutup dengan

pilihan selalu, kadang-kadang dan tidak pernah yang berjumlah 10

pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan negatif dan positif. Masing-

masing pertanyaan memiliki skor tertentu.

Scoring

Scoring adalah memberikan penilaian terhadap item-item yang perlu diberi

penilaian atau skor.

1.Variabel Rematik

Berdasarkan hasil dari pengamatan peneliti dengan check list yang

telah dibuat, maka hasilnya akan terdapat penggolongan rematik:

a. Osteoatritis

b. Rheumatoid atritis

c. Rematik gout

2. . Variabel Pola makan

Skoring untuk variable pola makan adalah :

Jawaban A diberi nilai 1

Jawaban B diberi nilai 0


40

Skor maksimal adalah adalah 5 dan skor minimal adalah 0

Ukuran tingkat pengetahuan dan sikap:

Pola makan baik : 75-100% %

Pola makan kurang : <75 % (Nursalam,2008)

3.Variabel Aktivitas Fisik

Skoring untuk variable aktivitas fisik yang berjumlah 10 pertanyaan yaitu

dengan:

1. Untuk pertanyaan positif:

Jawaban ya diberi nilai 2

Jawaban tidak diberi nilai 1

2. Untuk pertanyaan negatif :

Jawaban ya diberi nilai 1

Jawaban tidak diberi nilai 2

Berdasarkan total skor yang diperolehnya maka aktivitas fisik yang

dilakukan responden dikategorikan sebagai berikut:

Aktivitas fisik baik > 75%

Aktivitas kurang < 75% (Pratomo, 2005)

d. Entry

Entry data yaitu memasukkan data ke komputer dengan program analisis

data. Data yang telah dikumpulkan lalu dilakukan analisis dengan menggunakan

metode statistik dengan tabel distribusi frekuensi dan narasi. Analisis deskriptif

merupakan cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang

telah terkumpul sebagaimana mestinya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku

untuk umum atau generalisasi dan tanpa menganalisa hubungan antar variabel.
41

4.5.2 Analisa Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran setiap

variabel, distribusi frekuensi berbagai variabel yang diteliti baik variabel

dependen maupun variabel independen. Dengan melihat distribusi frekuensi

dapat diketahui deskripsi masing-masing variabel dalam penelitian (Sugiyono,

2010). Pada analisis univariat diperoleh hasil frekuensi ataupun persentase dari

variabel kejadian rematik dan variabel factor makanan dan aktivitas fisik.

b. Analisis Bivariat

Untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan variabel

independent maka dilakukan anlisis bivariat. Pada penelitian ini menggunakan

uji Chi-aquare. Uji Chi-Square digunakan untuk menganalisa hubungan

kategorik dengan kategorik. Pada penelitian ini variabel pengetahuan dan

tingkat pendapatan serta kelengkapan imunisasi sebagai variabel kategorik.

Pembuktian uji Chi square menurut (Riyanto, 2009) dapat menggunakan

formula:

1. Mencari Chi square dengan rumus :

=
Keterangan :

: nilai Chi aquare

: frekuensi yang diharapkan


42

: frekuensi yang diharapkan


2. Mencari nilai tabel dengan rumus :

dk=(k-1)(b-1)

keterangan :

k : banyuakan kolom

b : banyaknya baris

Untuk mengetahi hubungan antara pengetahuan dan tingkat

pendapatan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar, digunakan taraf signifikan

yaitu α (0,05):

a. Apabila p ≤ 0,05 = Ho ditolak ,berarti ada hubungan anatara pengetahuan ibu

dan tingkat pendapatan keleuarga dengan kelengkapan imunisasi dasar,

b. Apabila p ≥ 0,05 = Ho diterima atau gagal menolak Ha, berarti tidak ada

hubungan antara pengetahuan ibu dab tingkat pendapatan keluarga dengan

kelengkapan imunisasi dasar.

Syarat uji Chi square adalah :

3. Tidak boleh sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E) kurang dari 1

4. Tidak boleh ada sel yang mempunyai nilai harapan (nilai E) kurang dari %,lebih

dari 20% dari keseluran sel

5. Hitung X2 sesuai aturan yang berlaku yaitu:

a. Bila tabelnya lebih dari 2x2 , gunakan uji Kai Kuadrat tanpa koreksi

(Uncrrected)

b. Bila tabelnya 2x2, gunakan Ksai Kuadrat Yate’s Correction

c. Bila tabelnya 2x2, ada sel yang E-nya <5, gunakan Fisher Exact
43

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Responden yang saya hormati,

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : I Made Dian Kharisma Putra

NIM : 1202105083

Alamat : Jl.Erlangga nomor 37, bangli

Adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan akan melakukan

penelitian tentang “Hubungan Pola Makan dan Aktifitas Fisik dengan Kejadian

Rematik Pada Lansia di Desa Sidembunut, Wilayah Kerja UPT. Puskesmas

Bangli Utara Tahun 2015”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan anatara pola

makan dan aktifitas fisik dengan kejadian rematik pada lansia di desa Sidembunut.

Oleh karena itu, saya mohon kesediaan Ibu/Bapak untuk menjadi responden serta

menjawab pertanyaan-pertanyaan pada lembar kuesioner. Jawaban Ibu/Bapak

akan saya jaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk kepentingan

penelitian.

Atas bantuan dan kerjasama yang telah Ibu/bapak berikan, saya

mengucapkan terima kasih.


Bangli,
Peneliti,

(I Made Dian Kharisma Putra)


44

PERSETUJUAN SEBAGAI RESPONDEN PENELITIAN

Dengan menandatangani lembar ini, saya :

Nama :

Tempat/tanggal lahir :

Pekerjaan :

Alamat :

Memberikan persetujuan untuk mengisi Kuesioner yang diberikan peneliti.

Saya mengerti bahwa saya menjadi bagian dari penelitian ini yang bertujuan untuk

mengetahui hubungan anatara pola makan dan aktifitas fisik dengan kejadian

rematik pada lansia di desa Sidembunut.

Saya telah diinformasikan oleh peneliti bahwa kuesioner ini bersifat

sukarela dan hanya dipergunakan untuk keperluan penelitian. Oleh karena itu,

dengan sukarela saya ikut berperan serta dalam penelitian ini.

Bangli,
Responden,

( )
45

KUESIONER

Identitas Responden

Nama :

Umur :

Pendidikan terakhir :

Pekerjaan :

Kode Responden : (Diisi oleh peneliti)

6. Variabel Pola Makan

a. Pola makan yang baik untuk lansia adalah makan sedikit tapi sering.

1). Ya 2). Tidak

b. Penggunaan garam yang banyak pada makanan lansia dapat menyebabkan

penyakit tekanan darah tinggi.

1). Ya 2). Tidak

c. Makanan berupa gorengan dan minum kopi sering digunakan sebagai pengganti

sarapan pago.

1) Ya 2). Tidak

d. Jenis makanan yang disiapkan sehari-hari terdiri dari makanan pokok( nasi),

lauk pauk ( ikan dan daging), sayuran dan buan.

1). Ya 2). Tidak ( sebutkan jenis makanannya?)

e. Makanan yang anda makan setiap hari dimasak dengan cara digoreng.
46

1). Ya 2). Tidak

f. Apakah setiap pagi anda sarapan?

1). Ya 2). Tidak

g. Makan makanan seperti sayur, nasi, ikan dan buah yang cukup menyebabkan

badan tetap sehat.

1). Ya 2). Tidak

h. Makanan yang baik untuk lansia adalah makanan yang lunak agar mudah

dikunyah.

1). Ya 2). Tidak

i. makan makanan yang sehat dapat memenuhi kebutuhan tubuh dengan mengatur

jumlah dan jenis makanan yang dimakan tiap hari.

1). Ya 2). Tidak

j. Untuk mencapai kesehatan yang baik perlu diperhatikan yaitu makanan

beraneka ragam dengan bahan makanan dalam jumlah dan kondisi yang benar dan

tepat.

1). Ya 2). Tidak

1. Variabel Aktifitas Fisik

a. Selama bekerja apakah anda sering duduk ?

1). Ya 2). Tidak

b. Selama bekerja apakan anda sering berdiri ?

1). Ya 2). Tidak

c. Selama bekerja apakah anda sering berjalan?

1). Ya 2). Tidak


47

d. Apakah anda sering berolahraga ?

1). Ya (sebutkan jenisnya! ) 2). Tidak

e. Selama waktu luang apakah anda menonton tv?

1). Ya 2). Tidak

f. Selama waktu luang apakah anda sering berjalan kaki ?

1). Ya 2). Tidak

g. Selama waktu luang apakah anda bersepeda ?

1). Ya 2). Tidak

h. Apakah anda pernah melakukan senam lansia ?

1). Ya 2). Tidak

i. Apakah anda rutin memeriksakan kesehatan anda ke pelayanan kesehatan

terdekat ?

1). Ya 2). Tidak

j. Apakah anda sering menghadiri posyandu lansia yang diadakan pihak

puksesmas di desa anda ?

1). Ya 2). Tidak

Anda mungkin juga menyukai